Category: Uncategorized

  • Setelah Putin Menang

    Setelah Putin Menang
    Chusnan Maghribi, ALUMNUS HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA (UMY), TINGGAL DI YOGYAKARTA
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 7 Maret 2012
    AKHIRNYA Vladimir Putin memenangi pilpres 4 Maret 2012. Putin yang didukung Partai Rusia Bersatu (pemenang pemilu parlemen 4 Desember 2011) mengalahkan tiga rivalnya, Sergei Mironov, Mikhail Dmitrievitch Prokhorov, dan Vladimir Zhirinovsky. Putin meraih 64 persen suara sehingga pilpres digelar cukup satu putaran, dan dia akan dilantik menjadi Presiden Rusia (periode ketiga) untuk masa bakti enam tahun ke depan pada Mei mendatang.

    Kemenangan Putin langsung diprotes ribuan pendukung oposisi yang menuduhnya curang. Dalam orasinya di lapangan Moskow (5/3) Alexey Navalny (salah seorang pemuka demonstran) mengatakan kalau pemilu berlangsung fair dan transparan, Putin tak bakal menang.

    Bagi Putin, aksi protes itu tentu tidak mengagetkan dan pasti sudah mengantisipasinya. Pasalnya, jauh hari sebelum hari H, pendukung oposisi sering turun ke jalan memrotes keabsahan pemilu legislatif tahun lalu dan majunya kembali Putin dalam pilpres 4 Maret 2012 itu.

    Pria kelahiran Saint Petersburg 59 tahun silam itu tentu tidak risau dengan munculnya aksi-aksi demo yang memprotes kemenangannya dalam pilpres. Apalagi mantan anggota KGB era Uni Soviet itu sudah mendapat ucapan selamat dari sejumlah pemimpin Barat atas kemenangannya. Perdana Menteri Inggris David ’’James’’ Cameron dan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy  mengucapkan selamat lewat telepon. Malah Menlu Prancis Alain Juppe selain mengucapkan selamat kepada Putin, juga (kepada wartawan) mengatakan, ’’pemilu Rusia memang bukanlah suatu contoh demokrasi yang sempurna, namun kemenangan Putin tidak diragukan.’’

    Arti Politik

    Ucapan selamat dari sejumlah pemimpin Barat itu tentu menjadi kemenangan politik tersendiri bagi Putin hingga membuat kemenangannya dalam pilpres 4 Maret lalu menjadi lebih berarti. Kemenangan Putin dalam pilpres ke-4 Rusia ini mempunyai arti penting dan strategis baik dalam konteks kepemimpinannya di Rusia maupun dunia ke depan.

    Dalam konteks Rusia, kembalinya Putin di kursi presiden untuk 6 tahun ke depan tentu merupakan momen strategis baginya untuk membenahi segala kekurangan dan lebih memperbaiki lagi capaian-capaian selama Partai Rusia Bersatu memerintah.

    Dalam sebuah kampanye di Moskow pertengahan Februari lalu Putin mengakui memang terdapat banyak lubang yang menjadi kekurangan pemerintahan Rusia Bersatu selama ini, dari merebaknya praktik korupsi di jajaran birokrasi hingga defisitnya jumlah penduduk Republik Federasi Rusia. Luas teritorial Negeri Beruang Merah itu mencapai 17 juta km2 namun jumlah penduduknya hanya 142,9 juta orang. Sejak Putin pertama menjabat presiden akhir 1999 jumlah penduduk Rusia mengalami penurunan 2,5 juta (SM, 15/02/12).

    Sebelum pilpres, ia mengatakan bila kembali mendapat kesempatan memimpin Rusia, dia berjanji akan menutup semua lubang kekurangan tersebut. Terkait defisit jumlah penduduk, dia akan memberi insentif 140 poundsterling (Rp 1,9 juta) per bulan  kepada tiap ibu yang mau mempunyai anak ketiga.

    Mengenai capaian-capaian positif  pemerintahan Rusia Bersatu, satu di antaranya adalah keberhasilannya memulihkan ekonomi Rusia. Saat Putin menggantikan Boris Yeltsin (yang wafat) akhir 1999 perekonomian Rusia dalam keadaan hancur. Utang luar negerinya 78 miliar dolar AS. Tetapi, 6 tahun kemudian utang tersebut dilunasi lebih cepat dari tenggat waktu yang ditetapkan International Monetary Fund) Sejak itu peran Rusia diperhitungkan kembali dalam percaturan politik dan ekonomi global.

    Dengan kemampuan ekonominya sekarang, Rusia tentu mampu melanjutkan unjuk peran politik dan ekonomi di pentas dunia di kemudian hari. Apalagi Putin memang berniat serius melanjutkan peran politik dan ekonomi negerinya di kancah global demi terjaganya perimbangan kekuatan global (Kompas, 26/02/12). Maka, kemenangan Putin dalam pilpres Rusia 4 Maret lalu sungguh mempunyai arti sangat penting dan strategis dalam konteks global. ●

  • Menuntut Kejujuran Politikus

    Menuntut Kejujuran Politikus
    Ahmad Maskur, JURNALIS LPM SOLIDARITAS,
    AKTIVIS PMII SYARIAH IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
    SUMBER : SUARA KARYA, 7 Maret 2012
    Rupanya panggung politik negeri ini, kini semakin seru dan memanas. Sejumlah politisi dari partai politik masing-masing saling mencari celah untuk menyindir kesalahan guna menggulingkan reputasi yang lain di mata publik. Hal ini merupakan bagian dari langkah untuk memuluskan jalan guna memenangkan Pemilu 2014 mendatang?
    Dalam posisi seperti ini, partai-partai besar dan penguasa sangat rawan. Kebohongan dan kebobrokannya akan dicari-cari untuk kemudian dibeberkan di media. Partai yang mempunyai media, biasanya akan lebih tajam lagi mengekspos kebohongan dan kejahatan yang dilakukan oleh politisi dari partai lawannya. Media pun bisa jadi tidak fair. Dalam upaya menutupi kebohongan itu, adakalanya partai yang kadernya bermasalah gemar melakukan ‘pengalihan isu’. Uakni, dengan membesar-besarkan kasus lain, sehingga seakan kesalahannya tertutupi di mata publik.
    Ketika kepentingan politik yang besar melingkupi media, maka perlu dipertanyakan lagi keidealan pers. Kemerdekaan pers bisa saja disalahgunakan hanya untuk tujuan politik tertentu. Sehingga, diharapkan kepada rakyat agar lebih selektif dan harus bisa membaca muatan politik yang dibawa oleh setiap media. Ini penting agar tidak diombang-ambingkan oleh pemberitaan.
    Saling kecam dan menghujam seakan sudah menjadi hal yang lumrah. Hal-hal macam ini mereka lakukan seakan tanpa salah. Mungkin bagi mereka, ‘debat kusir’ itu dianggap dapat menaikkan reputasinya. Sehingga, publik akan tertarik padanya. Padahal, nyatanya berbanding terbalik dari anggapan itu.
    Perseteruan sudah pasti terjadi. Meminjam istilah Gus Dur, ‘bak anak TK yang sedang beraksi’. Sehingga, rakyat pun menjadi korban. Korban kemunafikan dan ketamakan politisi. Ambisius para penguasa untuk menduduki jabatan telah melupakan mereka kalau saat ini mereka mempunyai amanah Allah yang sangat besar, yaitu mengurusi, memakmurkan, dan menyejahterakan rakyat.
    Reputasi Turun
    Semakin para politisi saling menuding dan mengecam, reputasinya di mata publik tidak akan bertambah baik melainkan akan semakin buruk. Kesalahan tetap kesalahan dan kebaikan pun demikian. Rakyat kita saat ini bukanlah rakyat terdahulu yang mudah diombang-ambingkan oleh isu publik. Rakyat sudah bisa membaca dan memilah-milah mana berita yang bermuatan tujuan politik dan mana yang tidak.
    Semakin ia menutupi kesalahan yang sejak dahulu dan saat ini masih dipertahankan, maka kesalahan itu akan semakin tampak jelas di mata rakyat. Oleh karenanya, sebagai politisi yang tangguh sebaiknya sadarilah setiap kesalahan yang lalu-lalu dan kemudian meminta maaflah kepada publik atas kesalahannya.
    Sungguh aneh dan memalukan, ketika mau melaksanakan pemilu lalu, ada beberapa politisi yang menggembor-gemborkan kata-kata anti korupsi. Ironisnya, justru malah saat ini dirinya sendiri yang terbelit kasus yang sangat mendzolimi masyarakat itu. Di tengah kemelaratan dan berbagai persoalan yang membelit masyarakat, sejumlah politisi diduga masih sempat-sempatnya melakukan aksinya yang merugikan rakyat.
    Ketika tindakan-tindakan semacam ini tidak segera dihentikan, maka wajah politik akan segera hancur. Kewibawaan dan pamornya serta kemuliaannya karena terkait dengan persoalan umat menjadi hilang.
    Dicap Jelek
    Rupanya kejujuran masih menjadi kata-kata yang ramai diceramahkan di masjid-masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Kejujuran hanya sebagai retorika yang tidak ada realisasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula para politisi kita, kata-kata manis nan menggiurkan seakan hanya menjadi bumbu untuk menyedapkan tujuan politiknya, ketika pemilu akan dilangsungkan.
    Uang dan berbagai benda kesukaan rakyat lainnya dibagi-bagikan ketika hendak pelaksanaan pemilu. Sedangkan setelah menduduki jabatan kursi empuk, mereka lupa akan tugas dan amanahnya, karena telah dibutakan dengan buaian uang. Rupanya yang ada di benak mereka hanyalah mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk pemenangan pemilu.
    Bagaimanapun perbuatan politik semacam itu, pada akhirnya merupakan tugas politik yang pada awalnya sangat mulya karena berkaitan dengan masalah ummat, potretnya akan menjadi buram. Saat ini saja rakyat kita sudah jenuh dengan sajian berita-berita politik yang kian memalukan.
    Masyarakat sudah banyak menganggap pekerjaan politik adalah pekerjaan haram begitu juga uang dari hasil politik. Karena ulah segelintir politisi yang berkelakuan bejat sehingga semua politisi tak luput politisi yang memang benar memperjuangkan hak rakyat pun harus menanggung risiko dicap jelek dan merusak.
    Ke depan dengan mengambil pelajaran dari kondisi perpolitikan nasional di negeri ini, para politisi harus mengubah citra politik dengan sikap baik dan penuh kejujuran dalam melakukan tugas yang diembannya. Layanilah masyarakat dengan baik sehingga kepercayaan publik pada politik pun akan menjadi pulih.
  • Kesaksian Palsu dan Sanksi Pidana

    Kesaksian Palsu dan Sanksi Pidana
    Tigor Damanik, ALUMNUS FHUI, DOSEN FH UNIJA JAKARTA 1983-1990
    SUMBER : SUARA KARYA, 7 Maret 2012
    Akhir-akhir ini ramai dibicarakan mengenai kesaksian atau keterangan palsu di pengadilan. Saksi itu diduga telah menyampaikan keterangan secara tidak pantas, tidak sewajarnya dan, atau tidak masuk akal sehat, yang dapat dikategorikan sebagai kesaksian palsu. Hampir seluruh pertanyaaan majelis hakim, jaksa maupun pengacara dan, atau terdakwa yang ditujukan kepada saksi dijawab dengan serba “tidak.” Yakni, “tidak tahu”, “tidak ingat alias lupa”, “tidak ada”, “tidak kenal”, “tidak pernah”, “tidak mengerti”, “tidak menerima uang” dan berbagai kata “tidak” lainnya.
    Perihal, saksi dan kesaksian, dalam konteks kasus pidana telah diatur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (Bahasa Belanda) dan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang, Hukum Acara Pidana dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan pidana ini (materi dan acara) merupakan hukum positif di Indonesia, atau hukum/ketentuan yang berlaku saat ini.
    Mengenai kesaksian, oleh KUHP diatur pada Pasal 242 Buku Kedua tentang Kejahatan Bab IX berjudul, Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Pasal 242 ayat (1) menyatakan, Barang siapa dalam hal-hal yang menurut peraturan UU menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Pada ayat (2) disebutkan, “Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberikan dalam perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau si tersangka, tersalah itu dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Sedangkan pada ayat (3) ditambahkan, “Yang disamakan dengan sumpah, yaitu perjanjian atau pengakuan, yang menurut UU umum, menjadi ganti sumpah”.
    Agar seorang saksi yang memberikan keterangan palsu dapat dihukum, unsur yang harus dipenuhi adalah, keterangan itu harus atas sumpah. Keterangan itu diwajibkan menurut UU atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh pemberi keterangan.
    Sejak zaman dahoeloe kala memberikan keterangan palsu dipandang sebagai kesalahan yang sangat buruk. Hingga saat ini, perbuatan tersebut dianggap merusak kewajiban terhadap kesetiaan umum, berdusta/berbohong, tidak jujur dan mengelabui, bukan hanya kepada hakim, jaksa dan pengacara dalam sidang pengadilan, tetapi telah berdusta terhadap masyarakat/publik, terutama kepada Tuhan. Supaya dapat dihukum, saksi pemberi keterangan diduga palsu harus mengetahui. Bahwa, ia memberikan suatu keterangan dengan sadar yang bertentangan dengan kenyataan, serta telah memberikan keterangan palsunya di atas sumpah. Tetapi, mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran belum tentu berarti sebagai suatu keterangan palsu. Karena, suatu keterangan palsu adalah menyatakan keadaan lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan disengaja oleh yang bersangkutan/saksi).
    Sesuai ketentuan, sumpah dapat diucapkan sebelum atau sesudah memberikan keterangan. Menurut Lembaran Negara (LN) 1920 No 69, sumpah dilakukan menurut agama atau keyakinan/ kepercayaan orang yang bersumpah. Suatu perjanjian juga dapat disamakan dengan sumpah. Sebelum KUHAP berlaku, UU yang memerintahkan keterangan atas sumpah adalah Herziene Indoneisa Reglement (HIR). Pasal 147 dan 265 HIR menentukan, saksi dalam perkara pidana dan perdata harus terlebih dahulu disumpah menurut agama dan kepercayaannya.
    Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah pernyataannya di sidang pengadilan. Sehingga, dengan memberikan keterangan palsu (lisan), atau tidak dengan sebenarnya atau tidak sesuai fakta, padahal saksi sendiri sebenarnya mengetahui, melihat dan mengalami hal (fakta) sebenarnya. Namun, dikatakannya tidak tahu, atau lupa, tidak (pernah) melakukannya, tidak ikut melakukan, tidak mengenal si terdakwa/tersangka atau saksi lain, tidak ikut menerima (misal sejumlah uang), dan seterusnya. Maka, saksi dikenakan sanksi pidana dengan memberikan keterangan palsu.
    Sedangkan membuat keterangan palsu (tertulis), yakni berupa surat pernyataan, mengubah (menambah, mengurangi atau merekayasa) surat tersebut sedemikian rupa, sehingga isinya tidak sesuai dengan (fakta) yang sebenarnya. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa perlu, bahwa surat keterangannya itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari isi surat tersebut (pembohongan), sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kriteria pemberian keterangan palsu, baik lisan maupun tertulis, yang isinya tidak sesuai dengan yang sebenarnya (fakta). Setiap perbuatan memberikan keterangan palsu, lisan atau tertulis diancam dengan hukuman pidana (pasal 242 ayat 1, 2 dan 3 KUHP).
    Mengingat, setiap keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang memberikan petunjuk kepada hakim bahwa telah terjadi tindak pidana (korupsi), baik terhadap terdakwa maupun kemungkinan/petunjuk keterlibatan saksi yang ikut melakukan tindak pidana (korupsi), karena akan disinkronkan dengan saksi lain dan alat bukti lainnya. Jika keterangan saksi diduga palsu, maka ia dikenakan sanksi pidana (pasal 242 KUHP jo pasal 185 KUHAP).
    Oleh karenanya, seorang saksi dalam kasus mega korupsi dari sebuah partai besar, termasuk oleh dua orang menteri dari KIB II baru-baru ini, jelas masuk kategori telah melakukan tindak pidana dengan memberikan/menyampaikan keterangan palsu. Saksi yang memberikan kesaksian palsu, menurut KUHP dapat dihukum atau dikenai sanksi pidana di atas tujuh tahun, karena telah melakukan tindak kejahatan.
  • Siapa Sembunyikan RUU Penyitaan Aset?

    Siapa Sembunyikan RUU Penyitaan Aset?
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 6 Maret 2012
    Seorang oknum mantan pegawai Ditjen Pajak, berinisial DW, tengah disidik Kejaksaan Agung, karena ada transaksi mencurigakan di rekeningnya. Namun belum terbukti apakah dia berperilaku seperti Gayus Tambunan (juga anak muda mantan pegawai Ditjen Pajak yang sudah divonis karena korupsi).
    Disebut-sebut perputaran uang dalam rekening bank milik DW mencapai lebih Rp 60 miliar, didapat antara lain dari bisnis jual beli mobil.
    Untuk membandingkan saja, seorang general manager sebuah diler mobil, di bilangan Jakarta Timur, bertutur rata-rata sebulan dia menjual 120 unit mobil baru, dan 40 persen di antaranya adalah mobil “sejuta umat”. Saya perkirakan omzet di diler mobilnya berkisar Rp 20-24 miliar/bulan.
    Kalau benar omzet DW berdagang mobil sampai Rp 60 miliar maka sebenarnya dia lebih cocok menjadi pengusaha ketimbang PNS; sehingga biarlah dibuktikannya sendiri dari mana asal usul uang-uang itu. Soal membuktikan asal usul kekayaan memang harus menjadi faktor krusial dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
    Terima Jadi
    Pekan lalu saya mengobrol dengan seorang mantan gubernur mengenai berbagai modus korupsi di kalangan pemerintahan.
    Misalnya, para pemimpin daerah kerap hanya diminta menandatangani proyek-proyek yang disodorkan oleh kementerian, tak peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Proyek-proyek pengadaan itu bervariasi, nilainya satu sampai ratusan miliar rupiah, dan jumlahnya ada banyak mulai yang ecek-ecek sampai yang serius.
    Salah satu contoh modus korupsi itu dapat dipelajari pada kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran untuk sejumlah provinsi, yang melibatkan mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
    Oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dia dinyatakan bersalah, divonis 2,5 tahun penjara, dan hanya ditambah denda Rp 150 juta (subsider kurungan tiga bulan). Kasus itu juga menyeret seorang mantan dirjen, sejumlah mantan gubernur, sejumlah anggota DPR, dan juga seorang pengusaha.
    Pada kesempatan lain, seorang pengacara yang tengah berperkara membela dalam sebuah kasus korupsi, bertutur kliennya “hanya” menyiapkan uang sekian miliar rupiah untuk oknum anggota dewan guna meloloskan sebuah proyek di daerah, namun dia keburu ditangkap tangan KPK.
    Menurut advokat tersebut, biasanya kalau dana berbagai proyek di daerah mau cair sekurangnya harus disiapkan 10 persen dari nilai anggarannya untuk dibagi-bagi kepada para pejabat di Jakarta (termasuk anggota dewan) yang berwenang mencairkan. Komisi itu bisa dibayarkan di muka atau bayar belakangan setelah uang cair.
    “Proceed of Crime”
    Banyak kalangan memperkirakan kebocoran APBN kita hari ini karena dikorupsi berkisar pada level 40-45 persen. Jika APBN kita mencapai Rp 1.200 triliun, hitung saja betapa kecilnya jumlah yang sampai ke rakyat dalam bentuk pembangunan. Padahal, sekitar 50 persen APBN hanya habis untuk membayar gaji pegawai dan belanja rutin.
    Maka lega rasanya ketika mengetahui majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis Gayus Tambunan untuk kasus korupsinya yang keempat dengan enam tahun penjara ditambah sita sebagian besar harta yang diperoleh dengan cara tak wajar.
    Artinya, dengan total hukumannya, Gayus akan mendekam lebih dari 20 tahun penjara, dan yang penting sebagian besar harta hasil korupsi tidak bisa dinikmati dengan mudah oleh dirinya dan keluarga.
    Ada hal baru di situ: vonis tambahan bukan lagi denda, melainkan penyitaan aset. Horeee . . .!
    Dalam dunia penegakan hukum di negeri lain, penyitaan aset hasil kejahatan pidana itu dinamakan proceed of crime, dan itu berlaku bukan hanya untuk kasus tipikor, tetapi juga perdagangan narkoba, penyelundupan barang dan manusia, atau berbagai uang hasil organized crime. Intinya, jangan ada pihak yang menikmati keuntungan dari uang hasil kejahatan.
    Masalahnya, di Indonesia belum ada undang-undangnya. Sejauh ini baru asas pembuktian terbalik yang masuk dalam UU Tipikor maupun Undang-Undang Pencucian Uang, yakni ketika terdakwa harus membuktikan bahwa kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana.
    Namun, pasal pencucian uang biasanya hanya dakwaan tambahan dalam kasus-kasus korupsi. Akibatnya, bila masalah pokoknya bebas, kasus pencucian uangnya juga gugur termasuk penyitaan asetnya.
    Maka merupakan perjuangan kita bersama untuk mengawal agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan RUU Penyitaan Aset yang sudah hampir lima tahun sejak didengungkan tahun 2007, tanpa jelas muaranya.
    Bahkan dalam Program Legislasi Nasional 2012 ia tak masuk. Jangan-jangan RUU Penyitaan Aset itu sengaja disembunyikan, demi melindungi para pencuri uang negara? ●
  • Sensasi Piramida Bohong

    Sensasi Piramida Bohong
    Djulianto Susantio, ANGGOTA IKATAN AHLI ARKEOLOGI INDONESIA, DI JAKARTA
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 6 Maret 2012
    Berita tentang (katanya) temuan piramida di Jawa Barat, antara lain di Gunung Lalakon dan Sadahurip, ramai diperbincangkan orang. Banyak pihak meragukan kebenaran temuan tersebut. Ahli geologi menganggap “bangunan” berbentuk piramida itu merupakan bentukan alam. Kemungkinan besar sisa-sisa kegiatan gunung purba.
    Meskipun begitu, sejumlah ahli geologi tetap yakin bahwa itu merupakan bangunan piramida. Apalagi penelitiannya menggunakan teknik-teknik canggih, seperti geolistrik dan georadar. Untuk membuktikannya, kata mereka, perlu dilakukan ekskavasi.
    Sementara itu, ahli arkeologi menganggap kebudayaan piramida belum pernah ada di Indonesia. Yang ada adalah bangunan atau punden berundak. Lagi pula tidak ada tanda-tanda budaya di sekitar kedua gunung. Karena tidak ada indikasi temuan permukaan, tidak perlu dilakukan ekskavasi.
    Sensasi adanya piramida pertama kali diembuskan sebuah komunitas pencinta sejarah yang juga pelestari kebudayaan Nusantara bernama Turangga Seta (TS). Mereka rupanya terobsesi oleh teori seorang ahli geologi dan ahli fisika nuklir dari Brasil, Prof Arysio Santos. 
    Santos yakin Nusantara merupakan tempat lahir peradaban dunia. “Nusantara merupakan pusat peradaban Atlantis yang hilang,” begitu Santos menekankan.
    Saking ultranasionalisme TS sangat tinggi, mereka meneliti di sejumlah daerah di Nusantara. Mereka menggaet beberapa ahli geologi dan sarjana dari berbagai bidang keilmuan. Dukungan lain berasal dari orang-orang muda yang berjiwa petualang. Beberapa dari mereka konon punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka parallel existence.
    Metode penelitian yang mereka lakukan adalah menggunakan kemenyan dan dupa untuk berhubungan dengan leluhur. Dalam laku tirakatnya mereka mengakui bertemu dengan makhluk nonmanusia yang menggunakan aksara dan bahasa kuno, seperti Pallawa dan Sanskerta.
    Berdasarkan bisikan gaib plus kemampuan ilmiah inilah mereka aktif bergerak mencari fakta-fakta baru tentang fenomena purba di Tanah Air.
    Bahkan mereka menggali (ekskavasi) dengan pacul, hanya dengan izin lurah setempat. Hasil perjalanan spiritual mereka sudah jelas hanya bisa dinikmati kalangan mereka sendiri. Hasil ekskavasi katanya ditimbun lagi supaya tidak dicolong orang.
    Piramida
    Sasaran utama penelitian mereka adalah piramida, karena menurut mereka piramida merupakan bangunan yang ada di kaputren kahyangan Tenjomoyo. Bangunan tersebut menjadi tempat penyimpanan perhiasan untuk Batari Ratih. Harta karun itu dinamakan Kacu Mas, benda kesayangan Sang Hyang Batari Ratih.
    Kacu Mas menjadi bagian penting dari benda yang dipersyaratkan dalam pelantikan seorang raja. Karena Batari Ratih termasuk dalam Hastabrata, semua raja harus punya benda itu. Di Nusantara konon banyak tersisa keraton peninggalan para raja. Isinya sebagian besar berupa emas yang mencapai berat 1 juta ton.
    Kreator secara fisik bangunan bentuk piramida hidup pada masa Kerajaan Medang Gili (Gilingaya), yakni Resi Kaspa, yang merupakan penginisiasinya. Merasa tertarik, Adipati dari Kadipaten Pasir Mesisir (kata mereka sekarang bernama Mesir) meminta izin untuk membangun di kadipatennya.
    Resi Kaspa segera membukakan teknologi pembuatannya yang presisinya luar biasa. Selain itu, dia meminjamkan peralatan untuk membangunnya.
    Setelah terbangun di Kadipaten Pasir Mesisir, piramida tersebut dinamakan Piramida Kaffra, sebagai bentuk penghormatan kepada Resi Kaspa. Atas dasar cerita seperti itulah mereka berpendapat bahwa piramida di Jawa Barat lebih tua daripada piramida di Mesir.
    TS juga mengklaim telah menemukan landasan lapangan terbang kuno di Sulawesi yang terbuat dari batu andesit tanpa sambungan. Selain itu, mereka juga berhasil memetakan dan mendokumentasikan lebih dari 20 jenis aksara purba asli Nusantara pada prasasti dan rontal kuno.
    Bahkan, mereka mampu membuktikan cerita mitos tentang keberadaan Kerajaan Hastina Pura, Kerajaan Ngamartalaya, Kerajaan Dahana Pura, dan Kerajaan Gilingwesi.
    Pada 2011 di Sukabumi memang pernah “ditemukan” sebuah prasasti yang dikatakan peninggalan Prabu Siliwangi. Namun, setelah diteliti sejumlah ahli arkeologi, ternyata prasasti tersebut bertuliskan huruf Latin yang distilir sedemikian rupa sehingga mengesankan huruf purba.
    Di mata ilmuwan, Prabu Siliwangi dipandang merupakan tokoh mitos, bukan tokoh sejarah sebagaimana yang disebutkan selama ini sebagai raja terbesar Kerajaan Pajajaran. Sejauh ini nama Siliwangi hanya disebutkan dalam naskah Sang Hyang Siksakanda ng Kareksian.
    Dicemooh
    Ironisnya, sejumlah hasil “temuan” mereka diberitakan secara luas dan fantastik oleh media massa. Mereka pun mem-postingkeberadaan piramida di Indonesia dalam blog dan situs jejaring sosial Facebook.
    Bahkan, mereka memasukkan video aktivitas mereka ke dalam situs broadcastyoutube. Berbagai pihak sempat mendukung upaya mereka, termasuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu dan staf khusus Presiden.
    Namun, di forum-forum internet upaya mereka menuai cemoohan dan tertawaan. Termasuk dari sejumlah anggota TS yang di-(keluar)-kan karena tidak setuju dengan doktrin ala TS. “Mereka berambisi terhadap sesuatu tapi kekurangan referensi, jadinya mengarang sendiri,” kata mantan anggota TS.
    Dia mencontohkan nama-nama Brasil (dari kata berhasil), Maya (sinonim dari samar), Teheran (dari kata heran), dan Swiss (dari kata Jawa: wis). “Pokoknya di mata mereka, semua berasal dari Nusantara,” katanya lagi.
    Konon, dalam pahatan relief Candi Panataran tergambar nenek moyang kita pernah melakukan “ekspansi” hingga  Benua Amerika. Mereka mampu mengalahkan bangsa Indian dan bangsa Maya. Mereka kemudian menguasai wilayah tersebut, sehingga diangkat sebagai penguasa. Bangsa Han (China), Bangsa Campa, Bangsa Yahudi, dan Bangsa Mesir juga tunduk pada leluhur kita.
    Pada Candi Borobudur, mereka mengatakan, ada pesawat UFO di panel relief Ramayana. Padahal, Ramayana merupakan peninggalan Hindu, sementara yang ditafsirkan pesawat UFO itu adalah roda dharma dalam agama Buddha.
    Godiwaseso
    Meskipun banyak anggota TS yang keluar, yang masuk pun selalu saja ada. Konon, untuk mendapatkan “kesaktian” mereka melakukan Godiwaseso, yakni sebuah laku yang terinspirasi dari relief Mahakarmawibhanggadi Candi Borobudur. Saat ini relief tersebut ditutup karena menggambarkan adegan-adegan seksual.
    Laku Godiwaseso dilakukan dengan cara meminum cairan seksual (air mani) perjaka, bagi pelaku pria dan “nyucup stupa” (isap payudara) perawan, bagi pelaku wanita. Rupanya mereka terinspirasi dari pernyataan Presiden RI pertama Bung Karno, “Berikan saya 10 pemuda…” yang ternyata dipersepsikan salah.
    Masa lampau Nusantara memang tidak pernah dapat dipastikan dengan bantuan alat secanggih apa pun dan bukti sejarah sekuat apa pun. Hal ini terjadi karena sumber tertulis dan sumber tak tertulis yang kita miliki masih amat terbatas.
    Di pihak lain, dana penelitian yang dianggarkan pemerintah begitu minim. Yang pasti, manusia diberi kemampuan untuk menggali masa lalu demi hari depan yang cerah, melalui cara-cara interdisipliner.
    Disayangkan, cara-cara penelitian dan penafsiran yang mereka lakukan jauh dari kesan sebuah ilmu, malah membohongi masyarakat. Padahal, prinsip utama seorang ilmuwan adalah “boleh salah asal tidak bohong”. Kalau begini terus, ilmu dan ngelmu tidak akan pernah bertemu. Tidak tertutup kemungkinan sensasi serupa piramida bodong ini bakal menjalar ke artefak-artefak kuno lain.  
  • Mafia Senayan

    Mafia Senayan
    Reza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 6 Maret 2012
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kembali merilis temuan 2.000 transaksi mencurigakan (suspicious transaction) milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Koran Tempo, 22 Februari). Temuan ini terungkap di tengah pengusutan berbagai kasus korupsi yang diduga melibatkan sebagian besar anggota DPR.
    Sebut saja kasus Nazaruddin, yang mengungkap keterlibatan anggota DPR lainnya, termasuk rekan separtainya sendiri, Angelina Sondakh, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu yang lalu. Keduanya diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait dengan pengerjaan beberapa proyek yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, misalnya Wisma Atlet dan Hambalang. Ditambah lagi kasus sana percepatan infrastruktur daerah di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang menyeret anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, ke kursi pesakitan.
    Fenomena ini sebetulnya mulai menunjukkan titik terang keberadaan mafia anggaran yang selama ini agak sulit dibuktikan. Aktornya tentu saja sebagian besar anggota DPR. Jika dirunut kembali ke belakang, sejak 2009 kinerja DPR memang berbanding terbalik dengan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Selain itu, DPR menjadi aktor utama dalam hal pemborosan anggaran publik.
    Disfungsi Parlemen
    Dalam banyak literatur sejarah demokrasi, kehadiran lembaga perwakilan rakyat (DPR) merupakan keniscayaan. Lembaga ini lahir sebagai wujud adanya kedaulatan rakyat atau sovereignty yang menggantikan kekuasaan raja yang absolut.
    Awalnya perwujudan kedaulatan rakyat ini, menurut Plato (427-347 sebelum Masehi), tidak perlu dilembagakan, tapi diserahkan pada kebijaksanaan pemimpin negara. Namun pandangan ini ditentang oleh kaum pluralis, karena menggantungkan harapan pada kebijaksanaan pemimpin negara tampaknya sulit dipertahankan, apalagi pada era modernisasi saat ini. Maka muncul usulan untuk melembagakan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum (Charles Simabura, 2011: 15).
    Dalam konteks fungsi, lembaga perwakilan secara umum dapat dikategorikan atas tiga fungsi, yakni fungsi penentu kebijakan (legislation), fungsi pengawasan atas lembaga eksekutif, dan fungsi lainnya (Miriam Budihardjo). Dalam prakteknya di beberapa negara, fungsi lainnya ini misalnya meliputi fungsi ratifikasi kovenan internasional. Di Amerika, fungsi pemakzulan pejabat tinggi, termasuk presiden, juga menjadi fungsi lembaga perwakilan.
    Di Indonesia, selain ketiga fungsi di atas, terdapat fungsi lain yang dimiliki oleh DPR, yakni terkait dengan anggaran (budgeting). Pada fungsi inilah DPR berkontribusi besar dalam memunculkan dugaan korupsi ataupun pemborosan anggaran. Undang-Undang Dasar memang memberikan jaminan konstitusional kepada DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi anggaran (pasal 20A ayat 1). Namun fungsi ini patut dikaji ulang untuk melihat sejauh mana kewenangan DPR masuk dalam konteks penganggaran, mengingat fungsi parlemen umumnya hanya terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.
    Praktek yang terjadi dalam proses pembahasan anggaran, DPR justru menjadi aktor yang terlalu dominan dalam menentukan secara mendetail pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Proses pembahasan kerap dilakukan di tempat-tempat yang tidak mampu diakses oleh publik. Bahkan, dalam beberapa hal sangat tertutup walaupun pembahasannya di gedung DPR.
    Di lingkup internal DPR sendiri dimunculkan alat kelengkapan tetap yang khusus membidangi masalah anggaran, yaitu Badan Anggaran. Posisi pada alat kelengkapan inilah yang paling diincar oleh setiap fraksi di DPR, karena fungsinya yang sangat strategis. Tidak mengherankan jika penempatan anggota fraksi pada alat kelengkapan ini memiliki akses kuat ke partai politik, misalnya yang bersangkutan memiliki posisi penting dalam kepengurusan partainya.
    Sudah menjadi rahasia publik, dalam proses pembahasan anggaran yang terkait dengan pengadaan barang/jasa atau proyek pembangunan, selalu muncul dugaan adanya pembagian fee di awal jika proyek yang diminta oleh pihak tertentu diakomodasi dalam APBN.
    Maka, dengan munculnya ribuan transaksi mencurigakan ini, setidaknya memang mengindikasikan telah terjadi disfungsi parlemen. Ada indikasi DPR telah menggunakan fungsinya secara melawan hukum dan mengkhianati fungsi-fungsi lain untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
    Sarang Mafia
    Keberadaan DPR di Indonesia yang dihasilkan melalui pemilu agaknya mulai meninggalkan fungsi dasarnya sebagai lembaga perwakilan. Kehadiran lembaga perwakilan, menurut Aristoteles (384-322 SM), setidaknya dibentuk untuk memenuhi tiga unsur. Pertama, adanya prioritas pada kepentingan publik atau rakyat. Kedua, penyelenggaraan fungsi harus didasarkan pada hukum (rule of law). Dan ketiga, pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan dilaksanakan atas kehendak rakyat.
    Ketiga unsur ini hampir tidak bisa ditemui dalam pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, baik di bidang legislasi, pengawasan, maupun anggaran. DPR seolah-olah menjadi institusi formal yang digunakan untuk melegalkan setiap tindakan mengeruk keuntungan dari pendanaan publik.
    Fakta ini semakin menguatkan dugaan adanya konspirasi terencana yang begitu rapi di antara kelompok mafia anggaran. Ada upaya mencari dan memanfaatkan setiap celah dalam tiap pengambilan keputusan di DPR. Bahkan, dalam beberapa hal, terlihat vulgar dilakukan, misalnya, ketika anggota Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, fraksi membuat kebijakan memindahkan yang bersangkutan dari Komisi X ke Komisi III yang membidangi masalah hukum.
    Tindakan fraksi ini kemudian digunakan dengan cara berlindung di balik argumentasi bahwa pemindahan tersebut kewenangan fraksi. Padahal ini mengindikasikan upaya perlindungan partai terhadap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi. Bisa dibayangkan ketika Komisi III, yang merupakan mitra kerja KPK, melakukan pertemuan tertentu. Di sinilah terjadi pertentangan kepentingan antara fungsi pengawasan dan kasus hukum yang melibatkan individu anggota DPR.
    Peristiwa ini hanyalah bagian kecil dari buruknya fungsi representasi publik yang dijalankan DPR. Di masa mendatang memang harus dipikirkan bagaimana memaksa DPR agar menjalankan fungsi representasi sesuai dengan kehendak dan aspirasi publik. Jika tidak, DPR tidak akan pernah menjadi lembaga perwakilan rakyat, tapi justru menjadi sarang mafia. ●
  • Perlindungan Nelayan

    Perlindungan Nelayan
    Muhamad Karim, DIREKTUR PUSAT KAJIAN
    PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 6 Maret 2012
    Komunitas nelayan hingga kini tergolong kelompok rentan yang bermukim di wilayah pesisir. Selain bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan, kondisi iklim dan cuaca juga penting bagi mereka. Amatlah pantas bila ada kebijakan perlindungan nelayan, karena itu sesuai konstitusi UUD 1945. 
    Hingga kini kebijakan negara melindungi nelayan hampir dikatakan absen. Berbagai program pengentasan kemiskinan pun luput dari upaya meningkatkan kehidupan sosial ekonomi nelayan. Ironisnya, pemerintah malah memproduksi peraturan perundangan dan kebijakan yang meminggirkan nelayan secara ekonomi maupun politik. 
    Akibatnya, amat sulit bagi nelayan keluar dari jerat kemiskinan, ketergantungan utang pada tengkulak, dan pendidikan yang rendah. Apalagi, kini ancaman perubahan iklim makin menjadi.
    Simaklah UU No 27 Tahun 2007 lalu membuat aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) nyaris memasukkan nelayan ke jurang kemelaratan bila diberlakukan. Untunglah, pada 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal soal itu. 
    Kemudian, UU Perikanan No 45 Tahun 2009 yang masih membiarkan kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Pada tataran pemerintahan lokal, baik provinsi maupun kabupaten/kota, amat jarang membuat kebijakan yang berpihak kepada nelayan, apalagi melindunginya. 
    Kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) malah menggembar-gemborkan kebijakan industrialisasi perikanan. Sebelumnya, kebijakan minapolitan. Sayangnya, semua kebijakan itu tak mampu melindungi nelayan. 
    Unsur Perlindungan
    Perlindungan nelayan bersifat kompleks, mulai dari unsur sumber daya alam, ekonomi, sosial-budaya, ekologis, politik, hingga kelembagaan. Mengapa demikian? Sebab nelayan memilliki “arena” (bahasa ekologis niche) dan “habitus” yang amat berbeda dengan komunitas petani dan peternak.
    Dalam perspektif heterodoks, nelayan memiliki konstruksi sosial, dan fenomena historis yang khas bergantung pada pola relasi sosial, sumber daya yang tak jarang melekat (embedded) dengan sosial-budaya (sistem nilai, kelembagaan, dan kearifan lokal), hingga dinamika ekonomi politik lokal. Bahkan, tak jarang unsur geopolitik dan geografis juga berkonstribusi dalam dinamika kehidupan nelayan. 
    Faktor-faktor itulah yang membuat penulis kesulitan tatkala menemukan dasar teori-teori kemiskinan dan kesenjangan saat merampungkan penyusunan tesis soal kemiskinan nelayan pada 2005 silam.
    Ada unsur-unsur lokal yang tak ditemukan pada masyarakat nelayan di negara maju atau Asia lainnya, misalnya hubungan patron client yang didasari pada nilai agama maupun identitas lokal. 
    Umpamanya, nelayan Bugis di Delta Mahakam mampu menjadi kekuatan ekonomi lokal, tanpa mesti bergantung pada negara maupun penetrasi pasar yang digerakkan kekuatan perusahaan multinasional (baca: Lenggono, 2012). Soal-soal macam ini mesti dipertimbangkan tatkala menyusun UU Perlindungan Nelayan, agar jangan sampai UU ini malah mencelakakan.
    Pelbagai aspek yang mesti dipertimbangkan dalam UU Perlindungan nelayan yaitu; pertama, perlindungan sumber daya alam, yakni sumber kehidupan mereka dari tindakan destruktif maupun penjarahan.
    UU Perikanan No 45 Tahun 2009 tak tegas melarang penggunan trawl sebagai alat tangkap destruktif yang menghancurkan sumber daya ikan dan ekosistemnya di perairan Indonesia. Kemudian juga soal perlindungan nelayan Indonesia dari serbuan kapal ikan asing yang kerap mencuri ikan di perairan Indonesia.
    Kedua, perlindungan ekonomi nelayan, yaitu bagaimana negara memberikan kebijakan afirmatif agar nelayan tak semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan akibat tingginya harga bahan bakar minyak (BBM).
    Negara juga mesti memberi jaminan kepastian harga ikan. Negara wajib menolak impor ikan demi melindungi pasar lokal dan kehidupan nelayan. Negara tak boleh membuat asumsi-asumsi dan perhitungan yang menyesatkan hingga melegalkan impor ikan. 
    Ketiga, perlindungan sosial-budaya, yaitu bagaimana negara mampu melindungi kelembagaan hingga kearifan lokal (wisdom) dalam mengelola sumber daya ikan dan ekosistem pesisir.
    Bahkan, bila ada nelayan yang mengonservasi sumber daya ikan dan ekosistem pesisir, secara individu hingga komunal, mestinya negara memberikan insentif berupa jaminan kesehatan dan beasiswa bagi anak-anak nelayan. 
    Perlindungan Ekologis
    Keempat, perlindungan ekologis amat diperlukan bagi nelayan, sebab arena dan habitusnya memiliki karakterisitik yang bergantung perubahan ekologis, baik secara evolusioner maupun ekstrem.
    Aktivitas manusia di pesisir dan laut mulai yang bersifat fisik (pertambangan dan reklamasi) hingga ekstraktif akan langsung memengaruhi kondisi ekologis, bahkan berimbas pada kehidupan manusia.
    Faktanya, maraknya eksploitasi pertambangan bauksit dan pasir laut di pulau-pulau kecil Kepulauan Riau berimbas pada pencemaran laut yang mengakibatkan menurunnya tangkapan nelayan. 
    Kelima, negara mesti memberikan perlindungan politik terhadap nelayan. Selama ini nelayan hanya dijadikan sebagai “komoditas” politik penguasa maupun partai politik.
    Negara mestinya memberikan “hak” politik di parlemen, sehingga kelompok nelayan dan masyarakat adat di wilayah pesisir memiliki saluran perjuangan hak-hak ekonomi dan politiknya. Selama 15 tahun reformasi (1998-2012) hak-hak pollitik dan ekonomi nelayan belum terpenuhi.
    Mestinya “utusan golongan” di DPR/DPRD  dikembalikan karena hakikat sila ke-4 Pancasila mengandung makna bahwa demokrasi di Indonesia bukan demokrasi prosedur langsung semacam sekarang ini. Melainkan demokrasi “permusyawaratan/perwakilan”.   
    Keenam, dari sisi kelembagaan, perlindungan terhadap nelayan adalah bagaimana peraturan perundangan di level nasional dan lokal tak membuat nelayan makin teralienasi dari habitusnya.
    Negara melalui peraturan perundangan tak hanya mengakui institusi lokal dan nilai-nilai budaya yang mengelola sumber daya ikan dan ekosistemnya. Negara juga melindungi dan menghormatinya sebagai instrumen hukum tak tertulis yang mengelola sumber daya alam secara lestari hingga mendamaikan konflik pengelolaannya. ●
  • Cincin Api Konflik Sosial

    Cincin Api Konflik Sosial
    Amirudin al Rahab, DIREKTUR THE RESEARCH INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND PEACE
    SUMBER : KORAN TEMPO, 6 Maret 2012
    Konflik dengan kekerasan antara masyarakat dan polisi yang terjadi di Mesuji, Bima, dan sebelumnya di Timika menunjukkan gejala yang sama, yaitu derasnya intervensi kapital ke seluruh pelosok Indonesia. Kapital lapar tanah yang kini merajalela memaksa masyarakat berjibaku menghadapinya. Masalah pelanggaran hak asasi manusia kerap terjadi dalam situasi seperti itu.
    Manusia Indonesia secara sosial-politik seperti hidup di atas cincin api (ring of fire) dari tumbukan antar-ratusan suku/etnik dan agama. Konfigurasi dan komposisi suku/etnik dan agama selalu menghadirkan ketegangan ketika bertemu dengan gejolak atau gesekan kepentingan ekonomi-politik. Karena itu, mudah meledak. Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS) yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat sama sekali tidak memakai perspektif itu. Akibatnya, RUU PKS tersebut terasa hambar. Agar RUU PKS itu berguna, beberapa hal berikut ini perlu dikaji secara mendalam.
    Karakter Demografi Konflik
    Paling tidak, saat ini ada 700 etnik grup di Indonesia dengan lima agama besar serta puluhan kelompok sempalan dan keyakinan tradisional (Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1996). Dari ratusan etnik itu, hanya sembilan etnik yang besar (populasi dan pengaruh politik), selebihnya kecil-kecil. Etnik-etnik kecil secara geografis bersebaran di wilayah timur. Sebanyak delapan etnik yang besar ada di wilayah barat, yaitu Jawa, Sunda, Minang, Batak, Melayu, Aceh, Madura, dan Bali. Satu etnik besar di timur adalah Bugis, Makassar.
    Dari ratusan etnik di Indonesia, hanya 15 etnik yang memiliki populasi di atas 1 juta jiwa, yaitu Jawa; Sunda; Melayu; Madura; Batak; Minang; Betawi; Bugis, Makassar; Banten; Banjar; Bali; Sasak; Cirebon; dan Tionghoa. Etnik-etnik inilah yang berimigrasi ke berbagai daerah dan membentuk komunitas di daerah tujuan, sekaligus mewarnai situasi politik serta perkembangan ekonomi wilayah tujuan tersebut (Leo Suryadinata, Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, 2003).
    Di wilayah barat Indonesia terdapat bongkahan besar, di mana etnik dan agama bertindihan, yaitu Islam dan etnik sebangun. Komunitas yang berbeda agama sangat kecil dan berada di tengah komunitas Islam. Sementara itu, wilayah timur terdiri atas serpihan kecil-kecil komunitas etnik dan agama yang saling silang dalam ketegangan yang kronis sepanjang waktu.
    Dengan karakter etnik dan agama yang demikian, konflik vertikal dengan dukungan yang kuat kemungkinan besar bisa pecah di wilayah barat. Aceh adalah contohnya. Adapun konflik horizontal lebih berpeluang terjadi di wilayah timur Indonesia. Maluku dan Poso adalah faktualnya.
    Ranah Konflik
    Beberapa karakter dasar sosial-politik dan komposisi demografi Indonesia di atas belum menjadi pertimbangan dalam RUU Penanganan Konflik Sosial. Karena itu, perlu diberi beberapa catatan agar tidak jauh panggang dari api.
    Pertama, ranah konflik dalam RUU PKS ini terlalu direduksi sekadar menjadi persoalan teknik-mekanis. Seakan-akan konflik bisa diterka terlebih dulu. Padahal konflik terbuka dengan melibatkan gelombang massa selalu mengandung pendadakan. Gelombang massa yang ikut dalam konflik sangat ditentukan oleh kemampuan para propagandis konflik itu dalam menjalin komunikasi dan memperkuat identitas kelompok di dalamnya. Karena itu, konflik terbuka tidak pernah terjadi dengan pola, modus, dan karakter yang sama.
    Kedua, RUU ini terlalu bernafsu memposisikan diri menjadi undang-undang sapu jagat dalam mengelola dan menangani konflik. Hal itu tampak dari hendak diaturnya cara-cara penanganan konflik mulai fase pra-konflik, saat konflik, dan pasca-konflik. Sayangnya, dalam pasal-pasal pendukungnya tidak ada pasal terperinci mengenai bagaimana penggunaan sumber daya untuk setiap fase itu. Akibatnya, RUU ini lebih merupakan sejenis curah pikir para pemerhati konflik ketimbang sebuah RUU yang matang.
    Ketiga, RUU ini juga tidak jelas menempatkan penanganan konflik antara penegakan hukum dan rekayasa sosial (social engineering). Akibat kerancuan mengenai dua hal itu, cara penyelesaian konflik dalam RUU ini juga menjadi rancu. Hal itu tampak dari adanya pengaturan ulang hal-hal yang telah menjadi kewajiban instansi pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola serta menghadapi konflik. Misalnya, pengaturan mengenai fungsi dan tugas pemerintah daerah, Kepolisian RI, TNI, serta intelijen.
    Keempat, mengenai Komisi Penanganan Konflik Sosial (KPKS). Inti dari RUU PKS ini adalah pembentukan komisi ini. KPKS ini sepertinya beranjak dari cara pandang yang sembrono tentang konflik karena terlalu menekankan faktor pranata adat dalam menangani konflik. Hal itu tampak dari penempatan KPKS sebagai alat penyelesai konflik di luar pengadilan, dan KPKS bekerja secara ad hoc serta bertingkat-tingkat mulai nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Bagaimana mungkin lembaga ad hoc bisa dibentuk secara bertingkat hierarkis.
    Rombak RUU PKS
    Jika DPR dan pemerintah tetap ingin membahas RUU PKS ini, perombakan total perlu dilakukan. Untuk itu, beberapa usul ini perlu dipertimbangkan. Dari kacamata ekonomi-politik, ada empat faktor utama penyebab konflik di Indonesia. Pertama, terjadinya reposisi dan rekonfigurasi elite serta struktur politik Indonesia pascareformasi. Hal itu tampak dari hadirnya kekuatan-kekuatan politik baru dan menyurutnya kekuatan politik lama.
    Kedua, terjadinya negosiasi dan renegosiasi antar-kekuatan ekonomi di sekujur Indonesia. Dalam konteks ini, seluruh proses ekonomi dan penguasaan kekayaan sumber daya alam memicu konflik terbuka di mana-mana. Sengketa agraria adalah simtomnya. Selanjutnya, terjadi perubahan konfigurasi dan sekaligus pertarungan antarkomposisi kelas dalam masyarakat.
    Ketiga, kian besarnya urbanisasi dan migrasi antarpulau. Susunan demografi di beberapa provinsi berubah dan terjadi pelepasan tanah yang sangat luas yang diiringi oleh proletarisasi di pedesaan. Gambaran populasi demografi saat ini adalah 78,5 persen penduduk menghuni Jawa dan Sumatera. Sementara itu, Papua, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi diisi oleh 21,5 persen penduduk. Arus manusia dari barat Indonesia ke timur menjadi gelombang besar setiap tahun.
    Keempat, terus berlangsungnya perubahan struktur dan infrastruktur lembaga kenegaraan dan kepemerintahan. Pemekaran provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa menunjukkan hal ini. Implikasinya adalah terjadi pergumulan politik dan ekonomi yang sangat keras di tengah masyarakat dalam upaya bertahan atau terpental dari seluruh proses perubahan struktur itu. Pada 1999-2011 telah hadir 205 daerah otonom baru, tentu dengan pelakon-pelakon politik dan ekonomi baru versus lama dalam prosesnya.
    Maka ahli sosiologi politik Charles Tilly dalam buku The Politics of Collective Violence (2003) mencatat konflik komunal bisa pecah dan membesar ketika wibawa pemerintah rendah (lemah). Namun, ketika wibawa pemerintah kuat, konflik cenderung mengecil. Pemerintahan yang korup dapat dipastikan tidak akan bisa menangani konflik, sekecil apa pun konflik itu, karena aparaturnya tidak berwibawa. Pemerintah yang tidak berwibawa akan selalu menyalakan “cincin api” konflik itu. ●

  • Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah

    Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah
    Ginus Partadiredja, STAF PENGAJAR PROGRAM STUDI S2 ILMU KEDOKTERAN DASAR DAN BIOMEDIS, FAKULTAS KEDOKTERAN UGM YOGYAKARTA
    SUMBER : REPUBLIKA, 6 Maret 2012
    Baru-baru ini, Ditjen Dikti Kemendiknas mengeluarkan surat edaran (No 152/E/T/2012) yang mewajibkan publikasi skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Sebagai sebuah langkah untuk memacu publikasi ilmiah, kebijakan ini patut diparesiasi. Hanya saja, ada banyak catatan yang perlu diperhatikan sebelum kebijakan ini diimplementasikan.
    Beberapa di antaranya sudah disuarakan oleh kalangan akademisi, seperti terbatasnya jumlah jurnal ilmiah di Indonesia untuk menampung semua produk karya ilmiah perguruan tinggi (PT). Selain itu, juga soal waktu tunggu penerbitan yang bisa lebih dari satu tahun sejak makalah dikirim, di-review, diperbaiki, diserahkan kembali, dinyatakan diterima, hingga dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi penghambat kelulusan mahasiswa.
    Titik Lemah
    Sebenarnya, sebuah publikasi ilmiah hanyalah merupakan ujung produk dari proses panjang sebuah penelitian. Masalah publikasi dalam jurnal hanya merupakan masalah hilir dari serangkaian masalah hulu dunia penelitian di perguruan tinggi (PT). Apabila pemerintah berkomitmen untuk membenahi masalah publikasi ilmiah di PT, seharus nya tidak memecahkan masalah tersebut secara parsial di muaranya saja, tetapi juga berupaya mengurai masalah secara komprehensif mulai dari pangkalnya.
    Beberapa masalah pokok di hulu yang dapat diinventarisasi adalah, pertama, kebiasaan/budaya menulis yang tidak begitu menggembirakan di kalangan dosen maupun mahasiswa. Bagaimanapun harus diakui bahwa kebiasaan menulis yang lemah ini berakar dari pola pendidikan sejak pendidikan dasar yang tak banyak memberi ruang untuk berlatih menulis atau mengarang.
    Kedua, dosen sangat sibuk mengurusi banyak hal administratif (di luar kegiatan utama Tri Darma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian            masyarakat) serta mencari penghasilan tambahan (untuk menutup kekurangan gaji). Hal ini menyebabkan waktu yang didedikasikan dosen untuk menulis atau membimbing mahasiswa menulis pun menjadi amat terbatas.
    Ketiga, jumlah dana penelitian yang terbatas serta birokrasi dana yang kompleks. Kebanyakan skema bantuan dana penelitian hanya berjumlah terbatas dan tidak memungkinkan dosen peneliti (khususnya di bidang ilmu-ilmu alam) leluasa menerapkan teknik penelitian berbiaya tinggi.
    Memang ada skema bantuan dana penelitian dengan jumlah nominal sedang atau besar. Tetapi, pola pengelolaan dananya kadang dirasakan amat birokratik, kaku, dan kurang bersahabat dengan kebutuhan riil/praktik penelitian. Misalnya, pengadaan bahan-bahan kimiawi harus dilakukan melalui lelang, dengan segala macam kepelikan masalahnya, proses yang bertele-tele ataupun hasil pengadaan yang tak sesuai dengan kebutuhan peneliti (dan menjadi pemubaziran uang negara).
    Dana penelitian juga tidak diperbo lehkan dipakai untuk membeli peralatan penelitian. Padahal, kebutuhan akan alat penelitian ini merupakan keharusan dan tidak mudah pula untuk mendapat kannya dari alokasi anggaran lain.
    Keempat, minimnya ketersediaan alat penelitian dan reagen kimiawi. Sebuah penelitian yang bagus memang tidak selalu membutuhkan alat ataupun bahan kimiawi mahal. Tetapi, juga tidak sedikit penelitian (apalagi penelitian dengan tuntutan publikasi internasional) yang mengharuskan pemakaian peralatan dan bahan kimiawi mahal, yang pengadaannya pun sering kali sukar.
    Kesulitannya dapat bersumber dari ketiadaan dana yang memadai untuk      membeli atau proses impor yang menyusahkan. Kendala dalam proses impor dapat disebabkan oleh waktu pemesanan dan pengiriman yang lama (sementara peneliti dikejar tenggat waktu untuk segera menyelesaikan penelitiannya), atau aturan pajak bea cukai yang dirasakan membuat harga alat atau bahan penelitian menjadi jauh berlipat kali mahalnya.
    Kelima, akses ke jurnal ilmiah internasional yang terbatas. Untuk membuat sebuah desain penelitian yang baik, akses ke referensi jurnal-jurnal ilmiah internasional merupakan keharusan. Kebanyakan jurnal ilmiah internasional yang bagus harus dilanggan dengan biaya mahal dan kebanyakan PT kita tak sanggup membayarnya. Dengan demikian, peneliti sering kali hanya dapat mengandalkan akses ke artikel ilmiah gratis (yang notabene berjumlah terbatas) atau terpaksa meminta salinan PDF dari naskah penelitian langsung ke penulisnya.
    Keenam, batas waktu penelitian yang pendek, sering kali hanya dalam hitungan bulan. Kegiatan penelitian dipandang dan dipatok secara kaku sebagai proyek—disamakan dengan proyek peme rintah lainnya—yang harus selesai dilaporkan pada akhir tahun anggaran yang tengah berjalan. Setelah seorang dosen peneliti menguras energi untuk berakrobat dan bergulat dengan berbagai tetek bengek nonteknis penelitian di atas, sejak menyiapkan sarana dan prasarana penelitian (yang amat mungkin serba lambat), hingga menyiasati bantuan dana yang juga turun lambat, dicicil, serta serbabirokratik. Menyimak hal-hal di atas, sudah seharusnyalah jika tuntutan publikasi pada jurnal ilmiah menjadi satu paket tak terpisahkan dengan pemecahan (minimal) enam permasalahan tersebut oleh pemerintah.
  • Reformasi Pajak Gagal?

    Reformasi Pajak Gagal?
    Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
    SUMBER : REPUBLIKA, 6 Maret 2012
    Kasus rekening gendut milik mantan pegawai Ditjen Pajak, Dhana Widyatmika, membuat sebagian pihak mengaitkannya dengan kegagalan reformasi perpajakan. Pendapat ini memiliki hipotesis bahwa reformasi perpajakan akan membuat Ditjen Pajak menjadi bersih, profesional, dan bertanggung jawab.
    Ketika tujuan ini ternoda oleh kasus Dhana Widyatmika, yang sebelumnya     sempat juga terkotori oleh kasus Gayus Tambunan, hipotesis tersebut berubah menjadi kesimpulan. Parahnya lagi, kegagalan reformasi perpajakan juga          dikaitkan dengan kebijakan memberikan remunerasi. Kebijakan remunerasi, yaitu memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai Ditjen Pajak agar dapat hidup layak, dipandang salah, dan tidak memberikan efek dalam mewujudkan Dit jen Pajak yang bersih. Namun, apakah cukup adil memberikan vonis gagal ke pada proses reformasi di Ditjen Pajak tanpa menilainya secara lebih komprehensif?
    Soal Remunerasi
    Ada tiga komponen pokok dalam proses reformasi perpajakan, yaitu penerapan pengukuran kinerja, penegakan disiplin, dan pemberikan remunerasi. Wujud nyata dari pengukuran kinerja adalah revitalisasi organisasi dengan mentransformasikan unit kerja di Ditjen Pajak menjadi kantor dengan administasi perpajakan modern, penyempurnaan proses bisnis, standard operating procedure (SOP), pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, peningkatan kompetensi, integritas sumber daya manusia, serta pengembangan manajemen berbasis kinerja Balanced Score Card (BSC). Saat ini, juga telah ditetapkan dan ditandatangani kontrak kinerja pada semua level eselon dan pelaksana yang memuat indikator kinerja utama (IKU) yang harus dicapai.
    Penegakan disiplin dimulai dengan penerapan kode etik, budaya kerja, dan nilai-nilai sampai dengan sistem deteksi pelanggaran dini, whistle blowing system. Bahkan, penegakan disiplin telah dimulai pada saat pegawai melakukan absensi finger print dengan skema pemotongan tunjangan. Tentunya, setiap bentuk pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang tidak dapat ditoleransi. Data empiris menunjukkan bahwa proses ini berjalan efektif. Contohnya, pada 2011 telah dijatuhkan hukuman disiplin kepada 263 pegawai, 27 di antaranya diberhentikan dengan tidak hormat.
    Remunerasi sebagai komponen pokok reformasi perpajakan akan membuat dua komponen pokok lainnya, pengukuran kinerja dan penegakan disiplin. Kedua komponen tersebut berjalan sempurna. Namun, remunerasi bukanlah cek kosong. Pemberian remunerasi erat kaitannya dengan kinerja dan disiplin.
    Oleh karena itu, Ditjen Pajak menjalankan skema remunerasi berbasis kinerja dan grading. Pegawai dengan kinerja baik, otomatis masuk ke grading yang lebih tinggi dengan remunerasi yang lebih besar.
    Sebaliknya, pegawai dengan performa kinerja kurang baik, akan memiliki grading yang rendah. Belum lagi, hukuman disiplin yang dikenakan sesuai dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil juga dikaitkan dengan pemotongan remunerasi. Pegawai yang menerima sanksi hukuman berat akan kehilangan 100 persen remunerasinya. Bahkan, untuk pegawai yang masuk kerja tidak sesuai jadwal yang ditentukan, akan dikenakan pemotongan remunerasi maksimal lima persennya.
    Membaca Indikator
    Untuk menilai apakah reformasi perpajakan berhasil atau tidak maka perlu dilihat indikatornya terlebih dahulu. Ada dua indikator yang dapat digunakan, yaitu pertama adalah evaluasi terhadap keberhasilan Ditjen Pajak menggapai misinya dan kedua, hasil survei yang dilakukan oleh pihak eksternal.
    Misi Ditjen Pajak adalah mengumpulkan penerimaan pajak. Sangat relevan apabila data perkembangan realisasi penerimaan pajak per tahun dijadikan acuan untuk indikator pertama tadi. Pada 2008, saat mulainya reformasi perpajakan, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 658,7 triliun. Pada 2011, angka realisasi penerimaan pajak meningkat 40 persen lebih hingga    diperkirakan tahun ini tembus di angka Rp 1.032 triliun.
    Di lain pihak, jumlah wajib pajak terdaftar terus meningkat setiap tahunnya, dari sekitar empat juta pada 2006 menjadi 22 juta lebih pada 2011. Angka-angka ini mengandung arti bahwa fondasi pembayar pajak semakin kuat karena ditopang oleh jutaan wajib pajak.
    Indikator hasil survei pihak eksternal akan memperkuat jawaban bahwa reformasi perpajakan berhasil atau gagal. Setidaknya, ada beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen yang dapat dijadikan acuan, mulai dari survei kepuasan wajib pajak oleh Nielsen (2006, 2007, dan 2008), penilaian inisiatif antikorupsi KPK (2010), survei integritas KPK (2011), hingga survei ke puasan wajib pajak oleh IPB (2011).
    Hasil survei kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan perpajakan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak menunjukkan hasil tinggi. Pada 2006, ketika survei dilaksanakan di Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, indeks kepuasan yang dihasilkan adalah 81 (skala 0100). Nilai indeks ini jauh di atas nilai indeks untuk sektor publik Australia, yaitu 74. Kemudian, pada survei integritas KPK (2011), Ditjen Pajak memperoleh skor 7,65 di atas ambang batas yang ditetapkan 6,0. Pun, untuk urusan inisiatif promosi antikorupsi, Ditjen Pajak memperoleh nilai tinggi 9,82 (skala 0-100).
    Reformasi perpajakan merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus mengubah cara pandang dan budaya kerja. Ketika perubahan tersebut terjadi maka segala bentuk penyalahgunaan wewenang akan semakin sempit ruang geraknya.
    Namun, sistem yang diciptakan sebagai wujud nyata reformasi birokrasi tentunya butuh penyempurnaan yang berkesinambungan. Adanya kasus Gayus dan Dhana Widyatmika bukan berarti reformasi perpajakan telah gagal, melainkan malah membuat reformasi perpajakan semakin sempurna. Kasus-kasus tersebut terlalu kecil untuk menghilangkan semangat reformasi perpajakan yang nyata-nyata telah memberikan hasil positif.