Category: Uncategorized

  • Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy

    Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy
    Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU SENI
    Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011
    Seorang komedian dalam acara Stand-Up Comedy naik panggung. Di depan mikrofon, di hadapan 240 juta penonton, dengan berusaha melucu, komedian itu memulai monolognya.
    “Saudara-saudaraku, dahulu kita sering mendengar pidato yang meneriakkan: Jangan pupuskan semangat banteng ketaton! Kepakkan sayap elang, berkelebatlah di angkasa raya! Penyebutan satwa-satwa itu bisa kita pahami, lantaran satwa memang punya tempat yang penting dalam jagat politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Karena itu, satwa acap diangkat sebagai subyek yang menandai sebuah simbol. Yang menarik, saudara-saudara, munculnya karakter positif dan negatif simbol-simbol satwa ini sangat berkait dengan kurun waktu yang melingkupinya.
    Coba simak, pada masa Orde Lama yang sering dientak heroisme melawan neo-kolonialisme dan imperialisme Barat, kita melihat satwa yang diposisikan sebagai
    simbol kehebatan serta keberanian melawan. Dan semua itu ditempelkan kepada figur-figur istimewa yang layak diberi julukan. Bung Karno, yang cakap berpidato, disebut sebagai Singa Podium. Adam Malik, yang bertubuh kecil namun cekatan, dijuluki Si Kancil sejak diangkat sebagai Ketua Delegasi Perundingan Indonesia-Belanda 1962. Semangat olahraga Indonesia yang dominan di Asia menyebabkan Indonesia dijuluki Macan Asia.
    Pada zaman Orde Baru, penyair dan dramawan Rendra disebut sebagai Burung
    Merak. Sedangkan Soeharto, yang kuat bertahan jadi presiden selama tiga dekade, disebut Kuda Besi.Kuda dimaknai sebagai hewan yang amat panjang napasnya. Sedangkan besi dikonotasikan sebagai pemimpin yang memerintah dengan tangan besi. Namun, seperti saudara lihat, bagai tampak dalam karikatur karya Schot di majalah Asiaweek edisi 27 Februari 1998, Kuda Besi ini menjadi kuda pedati kurus yang dikusiri Tuan IMF. Schot memakai kiasan kuda karena tahu bahwa orang Indonesia suka bermain satwa.
    Saudara-saudaraku, ingat enggak, pada 1997 mahasiswa yang tergabung dalam
    Front Perlawanan Rakyat (Fropera) dan Serikat Masyarakat NU Anti-Militerisme
    (Sekat NU) berdemo di kebun binatang Gembira Loka,Yogyakarta. Di situ para
    mahasiswa mendiskusikan penghapusan dwifungsi ABRI dengan beberapa orang utan. Ketika mahasiswa membeber poster anti-Soeharto dan spanduk tak percaya terhadap Habibie, para orang utan itu melongo dan kemudian bertepuk tangan.Keesokan harinya para mahasiswa datang lagi ke Gembira Loka. Di atas punggung seekor gajah, mahasiswa membacakan teks “Proklamasi Republik Binatang”.
    O ya, sejarah Indonesia juga sulit melupakan peristiwa sekelompok masyarakat
    yang mempredikati Jaksa Agung Andi Ghalib sebagai chicken karena tak berani
    mengusut mantan presiden Soeharto. Andi Ghalib bahkan diberi hadiah ayam potong oleh sekelompok demonstran.”
    “Saudara-saudaraku di gedung yang pengap ini. Satwa memang penghuni kebun binatang dunia rasa dan pikir orang Indonesia. Itu sebabnya, lambang negara Indonesia adalah burung garuda, bukan ubi jalar, sapu ijuk, atau keong racun. Sementara dalam pergumulan budaya yang berkonteks dengan kehidupan sosial, satwa sering kali dipakai sebagai lambang perumpamaan, dengan makna yang kadang menyindir atau mengkritik.
    Dalam budaya Jawa, ada ungkapan ‘Kodhok mangongkang jroning leng’, yang
    artinya katak bernyanyi dalam liang. Ungkapan ini mengiaskan figur yang ingin terlihat berwibawa dengan menghadirkan kesan seram bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya, pejabat yang selalu diiringi rombongan stafnya ke mana-mana.
    Ada pula ungkapan ‘Kebo ilang tombok kandhang’ atau kerbau hilang tambah kandang. Maknanya, sudah kehilangan masih harus mengeluarkan biaya lagi, sehingga kemalangan pun datang bertubitubi. Contohnya, ketidakpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan menyebabkan pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk mengawasi KPK, pemerintah membentuk Komite Etik KPK, dan seterusnya. Biaya akhirnya menumpuk bertimpa-timpa.
    Ah, saudara-saudara pasti sudah tahu, apabila ada kritik atas sikap dan sistem
    itu, para pejabat biasanya bersyak-wasangka sembari gusar dengan menghadirkan seribu argumentasi. Person-person Dewan Perwakilan Rakyat militan maju ke depan, dengan tidak menafikan perkelahian. Atas hal ini, budaya bahasa telah pula menyediakan ungkapan: ‘Asu gede menang kerahe’, yang artinya anjing besar hanya hebat dalam berkelahi (melawan yang kecil). Dan kita tahu, perkelahian itu tak akan menghasilkan buah positif apa-apa.
    Padahal Butir-butir Budaya Melayu Riau dengan baik-baik mengajarkan lewat pantun satwa berikut ini: ‘Kalau suka memelihara itik/Tentulah banyak dapat telurnya/Kalau suka bersangka baik/Hidup selamat banyak mujurnya.’
    Lalu, memasuki dekade kedua pascareformasi, keberadaan satwa tampak semakin kukuh. Namun, anehnya, satwa-satwa itu semakin hari semakin buruk sifatnya. Bila dulu kerbau disanjung sebagai hewan berharga, pada masa sekarang kerbau dinistakan, bahkan diolok-olok, di Bundaran Hotel Indonesia. Bila dulu kancil lambang kecekatan pikiran, kini jadi julukan untuk seorang Gayus Tambunan yang bisa ringan melompati tembok penjara.”
    “Saudara-saudara saya penggemar Stand-Up Comedy. Pada era sekarang koleksi satwa Indonesia bertambah. Cuma tambahannya adalah satwa yang rendah derajatnya. Catat, setelah garuda, macan, singa, kancil, merak, kuda, kerbau, orang utan, gajah, sampai itik, tiba-tiba muncul cicak, buaya, kucing garong, tokek, tikus, dan kecoa. Satwa-satwa lambang predikat ini lalu jadi inspirasi ratusan karikatur tentang politik satwa dan satwa berpolitik.
    Cicak dan buaya bergabung ketika kepolisian bertikai melawan KPK, dengan
    maskot jenderal polisi Susno Duadji. Cicak simbol dari KPK, dan buaya simbol dari kepolisian. Eksistensi satwa makin menonjol ketika kasus korupsi Badan Anggaran DPR terungkap, dan KPK mencoba membongkarnya. Cicak KPK kadang berubah jadi kucing, karena kucing suka mengendus-endus, dan kalau ada kesempatan, ya, mencuri barang sedikit. Sementara DPR punya satwa yang beragam.
    Ada karikatur lho yang menggambarkan oknum DPR sebagai tikus. Karikatur lain melukiskan DPR sebagai kucing garong yang tak lelah menakuti dua ekor cicak
    KPK. Ada pula karikatur yang menggambarkan DPR sebagai kecoa ijo. Kelahiran satwa ini diilhami oleh atap hijau gedung DPR yang bila dihayati memang mirip sayap kecoa.Tokek juga sering muncul untuk menggambarkan teka-teki politik dan ketidakpastian keputusan. Tak terasa, pada masa sekarang kita tiba-tiba kehilangan kegagahan banteng, kecekatan elang, dan keanggunan garuda. Untung kita masih punya….komodo.
    Untuk mengakhiri perjumpaan, bolehlah saya sebagai komedian mengusung ucapan Thomas Carlyle ini: manusia adalah satwa yang menggunakan alat. Adakah kata-kata sejarawan dan penulis Irlandia abad ke-19 itu merujuk ke taman margasatwa bangsa Indonesia?”
    Ratusan juta penonton Stand-Up Comedy yang berwajah merana itu terdiam. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Karena yang mereka pikirkan: adakah satwa-satwa sontoloyo itu akan menyerbu rumahnya?  
  • Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama

    Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama
    Ramadhani Ray, PENYANDANG DISABILITAS, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG; AKTIF DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011
    Peringatan Hari Penyandang Cacat pada 3 Desember telah berlalu. Gemanya kurang terasa. Padahal momentum itu dapat mengingatkan kita mengenai hak-hak penyandang disabilitas di negeri ini yang masih terabaikan. Bagaimanapun, penyandang disabilitas juga ciptaan Tuhan serta bagian dari warga negara.
    Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam berbagai hal. Mereka berhak menikmati fasilitas umum, memperoleh pendidikan, serta memiliki pekerjaan.Tetapi, apakah semua itu sudah benar-benar dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas?
    Kita tengok saja sarana transportasi di negeri ini. Jembatan penyeberangan yang
    berundak-undak, atau terlalu curam, tentu sangat sulit dilewati oleh para  pengguna kursi roda.Tombol navigasi lift di gedung-gedung bertingkat pun masih jarang yang dilengkapi dengan huruf Braille, sehingga menyulitkan tunanetra untuk menggunakan fasilitas tersebut secara mandiri.Walhasil, mereka harus bergantung pada orang-orang normal yang ada di sekeliling mereka. Namun agaknya sebagian besar dari orang-orang tersebut tak terlalu peduli kepada kesulitan yang dialami penyandang disabilitas. Kalaupun di dalam hati ingin membantu, terkadang mereka segan, malu, atau tidak tahu bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas.
    Dari segi pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang masih sulit memperoleh pendidikan. Minimnya jumlah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak siapnya infrastruktur sekolah umum untuk menerima murid penyandang disabilitas menjadi kendala. Padahal pada dasarnya siswa-siswi penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran di sekolah regular bersama siswa normal, serta mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana.
    Sebagai contoh, saat ini penyandang tunanetra telah dapat mengoperasikan komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar. Dengan demikian, siswa tunanetra tersebut dapat mencatat materi pelajaran serta menyerahkan tugas kepada guru mereka dalam bentuk print out. Siswa tunanetra juga menggunakan tape recorder untuk merekam penjelasan guru atau dosen untuk kemudian disalin kembali ke dalam catatan, baik dalam bentuk tulisan Braille maupun dokumen di komputer. Sejauh pengetahuan penulis, SMAN 66 Jakarta, yang telah banyak menerima siswa tunanetra, memberi pinjaman fasilitas laptop dan tape recorder kepada siswa tunanetra yang kurang mampu agar dapat mengikuti pelajaran. Fasilitas tersebut harus dikembalikan kepada sekolah jika mereka lulus, agar dapat dimanfaatkan kembali oleh adik-adik kelas mereka. 
    Agaknya, tindakan semacam ini perlu ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Di samping siswa penyandang disabilitas dapat memperoleh pengetahuan dan pergaulan yang lebih luas, hal ini dapat mendidik siswa-siswa normal agar dapat berinteraksi dengan teman-teman mereka yang memiliki  keterbatasan, sehingga tumbuh kepedulian dan pengertian dalam diri mereka sejak dini terhadap penyandang disabilitas.
    Setelah menempuh pendidikan, penyandang disabilitas pun membutuhkan pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga. Tetapi masih sangat banyak perusahaan yang enggan menerima karyawan penyandang disabilitas. Hal ini mungkin karena paradigma masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas adalah orang cacat. Kata cacat tentu mengacu kepada sesuatu yang rusak dan layak untuk dibuang. Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan sarana pendukung. Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang normal.Tetapi sepertinya masih sangat banyak perusahaan yang enggan mengeluarkan dana untuk memberikan fasilitas tambahan tersebut.
    Stasiun televisi Indosiar memiliki karyawan penyandang disabilitas yang cukup banyak. Mereka menerima berbagai jenis disabilitas yang ditempatkan di berbagai divisi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi disabilitas mereka. Beberapa perusahaan lain juga turut berpartisipasi meski dengan jumlah karyawan disabilitas yang tidak terlalu banyak. Tetapi, sejauh pengamatan penulis, kesempatan-kesempatan kerja semacam ini justru lebih banyak dibuka oleh pihak swasta. Lantas, ke mana pemerintah kita? Penyandang disabilitas tak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Alangkah baiknya jika departemen-departemen lain juga turut berpartisipasi dengan membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, karyawan-karyawan di lembaga pemerintah pun akan terbiasa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
    Masyarakat inklusif yang mampu menerima segala bentuk perbedaan tidak akan terwujud tanpa peran masyarakat itu sendiri. Percuma saja jika pemerintah hanya berceloteh tanpa melakukan tindakan apa pun. Mulailah dengan melakukan penyuluhan kepada anggota masyarakat, seperti pendidik dan pemilik perusahaan, untuk memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas. Berikan pengetahuan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap penyandang disabilitas. Perbaikan fasilitas umum yang accessible juga sangat diperlukan. Para pejabat negara yang telah sering bepergian ke luar negeri tentu cukup mengetahui seperti apa fasilitas umum di mancanegara, yang amat memperhatikan penyandang disabilitas. Selain itu, pemerintah perlu memberi pendidikan kepada masyarakat umum mengenai bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas. Jika telah ada iklan layanan masyarakat yang berkaitan dengan program KB,wajib sekolah, atau pun HIV/AIDS, mengapa iklan serupa tak dibuat untuk penyandang disabilitas? Sampaikan kepada masyarakat bagaimana cara membantu warga tunanetra menyeberang jalan, bagaimana cara berinteraksi jika bertemu dengan  penyandang tunarungu, dan sebagainya.
    Jika pejabat negara mampu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk berpesta-pora sekadar menikahkan anak-anak mereka, tentu seharusnya negara ini memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan demi mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin yang baik tentu akan menjadi contoh untuk rakyatnya. Karena itu, masyarakat inklusif akan terbentuk jika pemerintah menjadi lokomotif. Pembukaan UUD ’45 menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tentu mengacu kepada seluruh warga negara, tak terkecuali para penyandang disabilitas. Semoga Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh pemerintah pada 18 Oktober lalu tak hanya menjadi janji hitam di atas putih, namun juga dapat direalisasi secepatnya dan sebaik-baiknya.  
  • Telisik Brutalisme Mesuji

    Telisik Brutalisme Mesuji
    Herie Purwanto, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEKALONGAN (UNIKAL)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 17 Desember 2011
    APA yang harus segera diperbuat pemerintah bila benar ada pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung oleh personel pamswakarsa PT Silva Inhutani yang dibekingi polisi? Pengaduan warga Mesuji dan keluarga korban tidak main-main mengingat mereka membawa rekaman video kekerasan itu sebagai bukti di hadapan anggota Komisi III DPR. Mereka juga didampingi mantan Aster KSAD Mayjen (Purn) Saurip Kadi dan aktor-politikus Pong Harjatmo

    Pembantaian di Mesuji bermula dari keinginan PT Silva membuka lahan perkebunan kepala sawit dan karet pada 2003. Namun penduduk menetangnya. Perusahaan kemudian membentuk pamswakarsa dan dengan beking polisi, mengusir penduduk dari lahan yang akan dijadikan perkebunan. Konflik pun pecah, hingga menewaskan 30 petani dan melukai sejumlah warga (SM, 15/12/11)

    Dalam tayangan di televisi, termasuk di Youtube, terlihat petugas keamanan (ada yang berseragam polisi) bertindak arogan. Yang menjadi pertanyaan, apakah tindakan polisi itu sudah sepengetahuan atasan? Apakah pelaksanaan tugas perbantuan mengamankan sebuah kegiatan atau objek itu sudah melalui tahapan sebagaimana standard operating procedure(SOP)? Secara khusus di internal kepolisian, apakah sudah menyusun rencana pengamanannya lebih dulu?

    Rangkaian pertanyaan itu perlu dikemukakan mengingat muncul tuduhan dari beberapa pihak, seakan-akan ada pembiaran dalam kasus tersebut. Setiap muncul tindakan anarkis oleh polisi di lapangan sebagai bentuk reaksi atas aksi dari masyarakat, memunculkan pertanyaan tadi. Padahal, pembiaran merupakan bentuk kesengajaan atau mengetahui konspirasi atau tindakan inkonstitusional namun tidak berusaha mencegah.

    Bagaimana menakar sebuah perbuatan bisa dikategorikan pembiaran? Pertama; perbuatan yang dilakukan di lapangan dan berbenturan dengan massa hingga menimbulkan korban dilakukan bukan oleh perorangan melainkan dalam ikatan pasukan, walaupun setingkat regu. Mereka ada yang memimpin dan memegang kendali perintah di lapangan. Pemimpin lapangan ini, punya jalur kendali dengan pimpinan di atasnya. Jadi logikanya, ada rentang kendali tanggung jawab antara pemberi perintah dan operator di lapangan.

    Seandaianya terjadi eskalasi di luar perkiraan pemberi perintah, pemimpin atau operator di lapangan, tidak bisa keluar dari SOP atau rencana pengamanan yang sudah disusun. Pasalnya SOP sudah menguraikan beberapa alternatif solusi bila terjadi kontijensi atau kejadian luar biasa. Semua ini masuk ranah HAM. Seandainyapun harus dilakukan tindakan polisional yang mengarah pada kekerasan fisik maka harus dilakukan secara terukur dan sesuai dengan keadaan (asas nesesitas).

    Kebenaran Sejati

    Kedua; sekecil apa pun tindakan kepolisian harus dipertanggungjawabkan kepada komandan yang berwenang menilai apakah tindakan tadi sesuai prosedur atau tidak. Bila terbukti tindakan itu di luar ketentuan maka polisi bisa diajukan ke sidang disiplin, bahkan sidang kode etik profesi sampai sidang umum yang digelar pengadilan negeri. Sebuah pembiaran membawa konsekuensi tanggung jawab berjenjang dari pelaksana di lapangan hingga dua tingkat atasannya.

    Logikanya, mungkinkah pejabat setingkat kepala satuan kerja (kapolres atau komandan batalyon) membiarkan anak buahnya yang notebenenya pangkatnya dua tingkat di bawahnya sebagai pelaksana di lapangan, demi sejumlah kompensasi dari pihak pengguna jasa pengamanan polisi?

    Dalam konteks kasus Mesuji, sangkaan kepada polisi yang menjadi beking PT itu pasti terkait dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak yang dilibatkan dalam proses pengamanan tersebut. Terlebih perusahaan itu membentuk pamswakarsa, yang belakangan dipertanyakan dari mana sumber perekrutannya, apakah murni dari lingkungan warga sekitar atau merekrut preman jalanan?

    Tindakan brutal ala premanisme di Mesuji harus diusut tuntas. Dua fakta yang berbeda, yaitu versi Polri dan temuan Komnas HAM, harus ditarik ke ranah kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Jangan mencari pembenaran sendiri-sendiri karena akhirnya kembali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan.  

  • Ada “DOM” di Mesuji

    Ada “DOM” di Mesuji
    Teuku Kemal Pasya, DOSEN DI UNIVERSITAS SYAH KUALA, BANDA ACEH;
    INISIATOR SUKARELAWAN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN (SI PERUBAHAN)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Desember 2011
    Penggusuran, teror, dan pembantaian yang terjadi di Mesuji betul-betul menampar wajah kemanusiaan kita.
    Kasus yang merebak setelah terjadi pertemuan para korban dengan Komisi III DPR, Rabu (14/12), dan rekaman video sadisme yang menimpa para petani di Mesuji, telah menunjukkan ada fakta kejahatan luar luar biasa (extraordinary crimes) yang tidak bisa ditoleransi.
    Kasus ini membuka mata, bahwa di tengah alam reformasi masih ada tradisi kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan hanya karena protes warga.
    Dari kasus ini kita melihat resolusi konflik (aparat) negara tidak memihak kepada warga, tapi lebih menyandarkan bahu pembelaannya pada korporasi. Penjelasan singkat ini akan melihat tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Mesuji.
    Mesuji adalah nama untuk dua daerah yang berbeda. Satu adalah Kabupaten Mesuji, Lampung, dan yang lainnya adalah Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kasus yang terjadi di Mesuji Lampung adalah endapan kasus lama yang dibiarkan terkait sengketa atas tanah ulayat warga yang telah berdiam di daerah itu sejak puluhan tahun.
    Namun sejak 1997, sebagian lahan telah dikuasai PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Lampung Inter Pertiwi (LIP) melalui izin Hak Guna Usaha (HGU).
    Sejak itu hak-hak sipil masyarakat diabaikan pemerintah daerah, dan aparat keamanan akhirnya lebih berpihak kepada perusahaan. Dari hasil investigasi Komnas HAM, sejak 2009, ratusan warga mengalami kekerasan, 30 orang terbunuh, rumah-rumah mereka dirubuhkan, dan ada juga kasus perkosaan.
    Kasus di Mesuji OKI Sumatera Selatan juga berhubungan dengan perusahaan, yaitu Silva Inhutani, perusahaan sawit yang dikuasai pemodal Malaysia. Dengan motif serupa, hak tanah ulayat warga tergusur konsesi bisnis perusahaan asing.
    Dari publikasi video yang diperkirakan terjadi April 2011 itu, tujuh warga dibantai dengan sadis, termasuk mayat tanpa kepala yang digantung di atas tiang, serta mayat yang dicacah dan dibiarkan menjadi tontonan publik.
    Perilaku barbar ini juga melibatkan aparat keamanan (TNI, polisi, dan Brimob), meskipun tindakan kekerasan langsung dilakukan para preman yang dibiayai perusahaan (Pam Swakarsa). Namun militiapartikelir itu dibina aparat keamanan resmi negara. Bahkan perusahaan itu telah memperluas izin usahanya hingga ke Lampung dan ikut meneror masyarakat Mesuji Lampung.
    Rakyat Tumpah Darah
    Kasus yang terjadi di Mesuji memang bukan sesuatu yang sederhana. Pertama, problem yang muncul di permukaan ini juga endapan masalah yang disumbangkan undang-undang pokok agraria masih menempatkan “negara” di atas “rakyat” terkait penguasaan atas tanah.
    Bahkan bunyi konstitusi yang menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945) sangat bisa dimanipulasi menjadi kepentingan bisnis negara.
    Bagi pengelola negara, cukup berkonsentrasi pada frasa pertama, “dikuasai oleh negara”. Cukup sering negara dalam situasi ini abai dan tidak menjalankan amanat spirit of a nation, yang mencakup tumpah darah seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya malah menjadi regulator yang menguntungkan asing dan perusahaan swasta.
    Secara praksis, frasa kedua hilang dalam tindakan negara, “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Salah satu bentuk penghinaan konstitusi adalah Perpu No 1/2004 yang membolehkan penambangan di hutan lindung. Demi kepentingan eksploitasi dan devisa nasional, hak asasi lingkungan dan masyarakat dipinggirkan.
    Kedua, orientasi neoliberalisme Kementerian Kehutanan, dengan mengubah status hutan lindung dan hutan rakyat menjadi hutan industri atau kawasan non-hutan.
    Kebijakan ini makin menyudutkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan mudah dikriminalisasi karena memanfaatkan hutan yang telah dikuasai swasta itu. Kinerja Kementerian Kehutanan di dua periode pemerintahan SBY ini cukup gencar merevisi status hutan di Indonesia.
    Kasus terakhir adalah revisi SK Menteri Kehutanan yang hingga November 2011 masih memberikan izin pakai kawasan hutan di daerah yang terjadi pembantaian, baik di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan, padahal konflik itu telah menumbalkan nyawa, dan berbilang tahun.
    Ketiga, postur kinerja aparat keamanan yang belum banyak berubah, terutama yang bertugas di pelosok dan jauh dari pusat.
    Peran TNI dan Polri, terutama terkait pengamanan perusahaan transnasional, masih seperti “anjing penjaga” yang mengamankan aset-aset perusahaan yang membayarnya, dan bukan mengedepankan pendekatan hukum yang profesional, berbasis pada penghargaan HAM, dan lain-lain.
    Reformasi telah memisahkan Polri dari angkatan militer, tapi tidak membantu kultur polisi semakin dekat dengan kultur sipil.
    Dalam banyak kasus, terutama di daerah konflik, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Poso, Polri dan TNI membagi wilayah kekuasaan dalam menjalankan bisnis keamanan. Kejadian di Mesuji seperti membuka kembali memori darurat operasi militer (DOM), di mana yang berkuasa bukan hukum, tapi yang memiliki senjata.
    Terapi Khusus
    Dengan terbukanya kasus Mesuji ke publik, kiranya perlu tindakan khusus dari pemerintah pusat dalam menanganinya. Kasus ini tidak boleh dilokalisasi dan diserahkan penanganannya pada kepolisian daerah masing-masing.
    Mungkin dapat belajar dari pendekatan “sentralistik” di masa kepemimpinan Kapolri Sutanto yang mengambil komando langsung pemberantasan illegal logging dan premanisme di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah, termasuk mencopot kapolda yang terlibat dalam kejahatan sistemik itu.
    Dengan implikasi pelanggaran HAM berat dan adanya konflik kepentingan aparat negara, baik sipil maupun militer, presiden perlu mengeluarkan peraturan presiden agar menjamin aspek legalitas untuk penyelesaian komprehensif, baik berhubungan sengketa tanah, status usaha perusahaan asing yang mengabaikan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), pelanggaran HAM, dan keterlibatan aparat keamanan.
    Mungkin kasus ini bukan yang terakhir. Seperti pernyataan tim advokat masyarakat Mesuji, Mayjen (purn) Saurip Kadi, masih banyak kasus yang serupa yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara yang melibatkan aparat keamanan.
    Kita tak tahu, seperti membuka kotak pandora, akan ada “Mesuji-Mesuji” lain. Namun Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan ini harus diselesaikan secara tuntas. Prahara kemanusiaan ini tidak lebih kecil aspek politisnya dibandingkan gonjang-ganjing politik di seputar Senayan, Merdeka Barat, Teuku Umar, dan Cikeas. ● 
  • Tantangan dan Harapan Demokrasi (1)

    Tantangan dan Harapan Demokrasi (1)
    R William Liddle, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK THE OHIO STATE UNIVERSITY
    Sumber : REPUBLIKA, 16 Desember 2011
    Di mana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang. Tiga tahun lalu, Presiden Barack Obama menjanjikan sebuah permulaan baru buat Amerika, negara demokratis tertua di dunia, namun dia belum berhasil mengabulkan semua tuntutan masyarakatnya. Usaha presiden langsung direspons pemberontakan Tea Party (“Partai Teh”). Partai Teh terdiri atas aktivis kanan yang ingin menciutkan peran pemerintah, membebaskan pebisnis dari apa yang mereka anggap belenggu peraturan negara, serta menjatuhkan Obama.

    Baru-baru ini, Obama dipukul lagi oleh Occupy Wall Street (“Menduduki Wall Street”), pemrotes kiri yang justru ingin mengencangkan peraturan tersebut dan mengutuk Obama selaku kaki-tangan pebisnis dan bankir besar.

    Di Indonesia, dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipilih kembali dengan mayoritas mutlak suara pemilih, suatu prestasi yang luar biasa. Namun, setelah itu, dukungan rakyat merosot terus menurut hasil survei pendapat umum. Di Jakarta, Yudhoyono kini diserang dari segala penjuru angin. Para aktivis kiri menganggapnya antek kapitalis Barat atau “neo-liberal”, sementara aktivis propasar mengeluh atas keengganannya menurunkan subsidi bahan bakar minyak. Begitu juga lainnya yang menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk mundur.

    Mengingat keadaan ini, apa yang harus kita perbuat untuk memperbaiki mutu demokrasi? Bagi saya dan banyak pengamat lain, hambatan utama terhadap perbaikan demokrasi di negara modern adalah kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.

    Tentu saya memaklumi bahwa serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan oleh teoretikus sosial Karl Marx pada pertengahan abad ke-19. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita untuk mengerti apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Justru sebaliknya, mereka cenderung menyuruh kita untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian (throw out the baby with the bathwater).

    Padahal, kedua-duanya perlu diselamatkan. Dalam usaha penyelamatan itu, ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat. Machiavelli terkenal selaku teoretikus kejahatan politik-dan reputasi buruk itu wajar belaka. Namun, yang lebih pokok dan penting, pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.

    Lepas dari kontribusi Machiavelli beserta penerus modernnya, kita perlu pula membicarakan langsung masalah penciptaan, distribusi, dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi yang bermutu tinggi di masa depan. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah itu sedang dilakukan atas nama “pendekatan kemampuan” (capabilities approach) oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf. Perintisnya adalah Amartya Sen dan Martha Nussbaum.

    Cak Nur
    Perhatian saya kepada perlunya teori tindakan diilhami pengalaman saya selaku pengamat up close, dari dekat, politik Indonesia. Ketika saya masih pengamat muda, Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur oleh semua orang, sangat memengaruhi pemikiran saya (Liddle 1996, khususnya Bab 5; Mujani dan Liddle 2009).

    Pada 1960-an, teori-teori mapan mengenai negara-negara sedang berkembang yang saya pelajari di Amerika terasa sulit diterapkan di Indonesia. Misalnya, ramalan teori modernisasi tentang susutnya peran agama dalam politik modern tidak dibenarkan penelitian saya di Sumatra Utara. Teori dependencia, ketergantungan, yang popular di Amerika Latin pada dasawarsa 1960-an hingga 1980-an, juga kurang tajam sebagai pisau analitis untuk menguraikan keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia waktu itu.

    Terdorong rasa kecewa saya dengan teori-teori mapan, saya mencoba membuka mata dan otak saya kepada ide dan wawasan baru setiap kali saya kunjungi Indonesia. Akhirnya, saya temukan beberapa aktor penting, individu-individu di dunia politik, yang secara sadar memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat. Dalam sejumlah tulisan, saya berusaha menguraikan pilihan dan tindakan Presiden Soeharto (Liddle 1996).

    Menurut analisis saya, dampak pilihan dan tindakan tersebut pada masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Burma di bawah Jendral Ne Win atau masyarakat Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos.

    Dari hampir awal Orde Baru, Cak Nur termasuk aktor penting yang memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat Indonesia. Berikut ringkasan analisis saya: “Bagi banyak orang Muslim Indonesia, dunia berubah pada 2 Januari 1970 … Nurcholish secara kreatif mendefinisikan kembali hubungan antara akidah dan ibadah dalam Islam demi memenuhi keperluan duniawi dan ukhrawi sebagian masyarakat yang berpotensi luar biasa besar.” (Mujani dan Liddle 2009:586).

    Kemudian, lama-kelamaan, di Columbus, pendekatan baru saya dibentuk oleh lima penulis yang saya anggap sekaligus ilmuwan, aktivis politik, serta panutan: Niccolo Machiavelli (2008 [1527]); Richard E Neustadt (1990 [1960]); James MacGregor Burns (2010 [1978]); John W Kingdon (1995 [1984]); dan Richard J Samuels (2003). Kecuali Machiavelli, mereka adalah ilmuwan politik masa kini-setelah Perang Dunia Kedua-di Amerika.

    Sumbangan Dahl
    Menurut Robert Dahl, tantangan terbesar terhadap demokrasi yang bermutu tinggi di masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Secara ideal, setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negaranya.

    Setidaknya, demokrasi dimaknai sebagai political equality, kesetaraan politik antara semua warga negara. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di masyarakat ekonomi bersistem kapitalisme pasar (capitalist market economies), baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.

    Menjelang akhir kariernya, dalam On Democracy (1998), Dahl meringkaskan lima kesimpulan tentang hubungan antara kapitalisme pasar dan demokrasi. Ringkasan itu merupakan sekaligus penjelasan paling canggih mengenai hubungan ini dan titik berangkat yang penting bagi semua usaha serius untuk memperbaiki mutu demokrasi pada zaman kita.

    Pertama, sepanjang sejarah modern, demokrasi hanya bertahan di negara-negara dengan ekonomi kapitalis pasar serta belum pernah bertahan di negara-negara dengan ekonomi nonpasar. Kedua, akrabnya hubungan empiris itu beralasan. Dalam ekonomi pasar, aktor-aktor utama sebagian besar terdiri atas individu-individu dan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak sendiri, didorong oleh insentif untung-rugi, tanpa arahan sebuah pusat.

    Ketiga, demokrasi dan kapitalisme pasar berseteru terus sambil saling mengubah sifatnya masing-masing. Di Inggris menjelang pertengahan abad ke-19, kapitalisme dalam bentuk ideologi laissez faire (propasar bebas murni) berhasil menaklukkan semua pesaingnya.

    Keempat, kesimpulan Dahl bahwa potensi demokrasi bermutu tinggi di sebuah negara dibatasi kapitalisme pasar yang menciptakan beberapa ketidaksamaan penting dalam distribusi sumber daya politik. Sumber daya politik didefinisikan sebagai “semua hal yang bisa digunakan untuk memengaruhi, langsung atau tidak langsung, perilaku orang lain.”

    Kesimpulan kelima dan terakhir Dahl mengemukakan tensi tak terelakkan di masa kini dan depan yang juga merupakan ironi besar. Pada satu segi, terciptanya lembaga-lembaga demokrasi sangat dimungkinkan dan dibantu oleh kapitalisme pasar.

    Di mana-mana selama berabad-abad, negara-negara otoriter diruntuhkan ketika kelas-kelas tuan tanah (yang menguasai hampir semua sumber daya politik dalam masyarakat pramodern) dan petani (yang kurang sekali sumber daya politiknya) digantikan dengan struktur kelas yang lebih rumit.

    Tugas Kita
    Menurut saya, Dahl telah menunjukkan secara implisit namun jelas dua tugas pokok kita, baik di Amerika maupun di Indonesia sebagai anggota bangsa modern. Pertama, kita dianjurkan untuk bertindak selaku full citizens, warga negara penuh, sambil menyadari bahwa sementara ini sumber daya politik di tangan kita bersifat amat terbatas. Kita harus ikut main di lapangan politik meskipun kita tahu bahwa lapangan itu tidak datar melainkan curam. Segelintir pemain mengungguli pemain lain dalam jumlah dan bobot sumber daya politik yang dikuasainya.

    Kedua, kita dianjurkan secara implisit oleh Dahl untuk mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik menuju distribusi yang lebih merata dan demokratis. Hal ini tidak sederhana sebab kita belum punya kerangka konseptual yang memadai tentang makna dan perincian konsep sumber daya politik. Jadi, tugas ini bersifat lebih menyeluruh atau jangka panjang.   

  • Memperhitungkan Kebangkitan Perekonomian Daerah

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Memperhitungkan Kebangkitan
    Perekonomian Daerah
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Jika menyusuri wilayah-wilayah Indonesia bagian timur, dengan cepat Anda akan menemukan kehausan sebagian besar orang untuk menjadi pegawai negeri sipil dan politisi. Hal itu amat mencolok.
    Jalur pegawai negeri sipil, partai politik, dan anggota DPRD sangat memukau publik karena dua jalur ”profesi” itu paling terlihat dominan di masyarakat. Mereka cepat kaya dan, karena itu, menimbulkan kelaparan jiwa di tengah dera kemiskinan.
    Ironisnya, muncul kecenderungan berlawanan yang serentak: birokrasi pemerintah dan politisi selalu absen, tidak hadir untuk membela dan menyejahterakan rakyat.
    Fakta negatif-kontradiktif inilah yang menggerogoti sendi-sendi berbangsa di wilayah-wilayah nun jauh di sana. Anda mungkin sependapat; gejala itu—absennya negara secara telak—sebenarnya mewabah di seluruh wilayah negeri ini.
    Pendek kata, masyarakat terus dibiarkan berjuang sendirian. Tidak ditemani, tidak dibina, dan tidak didukung, tetapi justru diperas. Cara melihatnya gampang. Lihat saja bagaimana kinerja para menteri secara umum dan dinas-dinas. Apa mereka turun ke lapangan dan konsisten mengawal pemberdayaan?
    Jangan-jangan rekaman ”sejarah suram” seperti itulah yang menggerakkan kesadaran publik kemudian membelokkan otonomi pemerintahan jadi kebablasan? Padahal, kalau kita saksama mengamati, aduhai… betapa dahsyat potensi alam, kreativitas dan kecerdasan sumber daya manusia kita, serta betapa unik warisan tradisi lokal dan filosofi entitas-entitas Indonesia Raya ini.
    Sebagai contoh, keinginan pemerintah mempunyai pabrik garam di sejumlah provinsi sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang nol hasilnya. Deklarasi kemandirian pangan dan daging ternak karena potensi ternak kita yang besar di sejumlah daerah cuma wacana angin lalu. Belum lagi kekayaan tambang dari Papua sampai Aceh, hortikultura,
    dan industri kelautan tidak jelas ujung pangkalnya karena tak pernah ada grand design-nya. Ironis sekali. Negeri bahari dan negeri agraris ini saban tahun terus mengimpor garam, ikan asin, beras, dan ternak.
    Sebutlah Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Anda pasti tidak mengenalnya. Sumba adalah salah satu cermin lemahnya birokrasi kita. Dua bandara di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, dan Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (yang sedang dibenahi), kondisinya sebenarnya di bawah standar. Jadwal penerbangan tidak tertib, padahal pasar pengguna jasa penerbangan begitu besar. Begitu juga dermaga feri di Sumba Barat Daya yang terbengkalai akibat lemahnya koordinasi dan tak adanya grand design transportasi negara kepulauan dengan banyak silang atribusi yang memang unik itu.
    Pulau Sumba dengan potensi ”ekspor” kuda, kerbau, dan sapi rata-rata total 800 ekor per bulan cuma tinggal tunggu waktu mengalami krisis ternak. Konsumsi daging kuda, kerbau, dan sapi di luar Sumba terus meningkat, tetapi pengembangan populasi ternak nyaris tidak digarap.
    Perihal tenun Sumba yang terkenal indah, kerajinan parangnya yang unik, serta warisan budaya Marapu yang mewarnai seluruh perilaku masyarakat Sumba bagaikan intan yang terkubur lumpur. Potensial dan menawan, tetapi secara umum tidak menolong menyejahterakan penduduknya dan tidak pula terakses oleh pasar. Apa penyebab utama semua kemandekan dan menciutnya seluruh energi masyarakat tadi? Seperti kami jelaskan di atas, yaitu tidak hadirnya birokrasi pemerintah yang memang seharusnya bertanggung jawab menyejahterakan rakyat. Lebih khusus lagi, tidak ada sama sekali gagasan membangun center point—pusat-pusat produksi dan reproduksi cara mempertahankan kehidupan—dan pada akhirnya menjadi jaringan ”hilir-hulu” (peradaban sekadar) agar masyarakat bisa bertahan. Ini semua tidak ada di daerah!
    ”Kami harus mulai dari mana, Bapak? Padahal, kami sebenarnya memilikinya,” kata Hendrik Pali (64), pengusaha dan pemimpin Sanggar Tari Ori Angu, di Waingapu, Sumba Timur. Istrinya, Yuli Emu Lindi Jawa (61), adalah perintis kerajinan tenun Sumba serta pengusaha pakaian khas Sumba dan material bangunan. Hendrik kesal terhadap perilaku birokrasi di daerah yang bukannya membina, melainkan justru memanipulasi nama sanggar Hendrik untuk mengirim misi kesenian ke luar negeri. ”Padahal, grup kami tidak diajak,” kata Hendrik.
    ”Mereka selalu menggunakan kami untuk kepentingan mereka,” ujar Umbu Angga (35), ahli waris dan aktivis komunitas budaya rumah adat Rindi, di Sumba Timur.
    Pengabaian terhadap hajat hidup rakyat banyak juga terlihat dalam kasus sawit di Kalimantan dan Sumatera yang kini booming. Di Kalimantan Barat (Kalbar), pada tahun 2011 tercatat luas perkebunan kelapa sawit mencapai 700.000 hektar dengan 400.000 hektar di antaranya berproduksi. Namun, dari produksi 1 juta ton minyak sawit per tahun dari Kalbar, 60 persen di antaranya diangkut ke Malaysia untuk diolah karena Kalbar tidak memiliki pabrik pengolah minyak sawit. Kalbar hanya menjadi basis perkebunan dengan nilai tambah sangat kecil. Sementara Malaysia memiliki pabrik itu. Kalbar juga kehilangan potensi pendapatan pajak ekspor Rp 200 miliar per tahun karena tidak memiliki pelabuhan internasional yang bisa memungut pajak ekspor.
    Menggembirakan jika potensi perekonomian rakyat bisa tumbuh besar tanpa campur tangan pemerintah. Saatnya wacana ketidaktergantungan pada bantuan pemerintah kita kibarkan. Meski demikian, pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kemiskinan rakyatnya. Di Kabupaten Sanggau, Kalbar, misalnya, muncul industri pakan ikan air tawar maggot berbahan baku larva lalat hutan. Di Desa Negeri Baru, Kabupaten Ketapang, juga muncul kerajinan tangan berbahan lupu (sejenis rotan kasar) beberapa tahun terakhir. Di Pontianak, korban kerusuhan etnis di Sambas dan mantan pekerja kayu kini belajar membuat kerajinan akar keladi.
    Kelompok Tani Anggur Amartha Nadi, Kabupaten Buleleng, Bali, mengolah buah anggur Buleleng menjadi kopi bubuk biji anggur, jus anggur, serta dodol anggur. Namun, Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya mengaku tak mudah mengajak masyarakat berwirausaha. Ia mencatat, dibutuhkan ketelatenan untuk itu. Ini persis catatan Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Telaten, setia, dan jujur.
    Sejumlah kota di Jawa Timur bisa jadi model ketelatenan itu. Kepala Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan Lamongan Mubarok menjelaskan, Lamongan memiliki 12.337 unit usaha kecil dan menengah (UKM) serta menyerap tenaga kerja 22.145 orang. Di Gresik, ada Klinik Konsultasi Bisnis sejak tahun 2006, tetapi sayang kini terbengkalai. 
    Padahal, klinik tersebut telah mengembangkan UKM kluster dengan sentra industri camilan, rotan, kopiah, dan makanan khas Gresik. Lamongan juga memiliki Pusat Informasi UKM dan Pusat Komunikasi Kreatif.

    (HRD/AHA/ACI/AYS)

  • Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Selama 40 tahun hidup bersama ternyata tidak menjamin ikatan akan terjalin sedemikian intim. Tak hanya perkara konflik berkepanjangan, stigma separatis yang susah hilang—mirip cap PKI zaman Orde Baru—tetapi juga belenggu saling tak percaya antara Jakarta dan Papua terus memasung masing-masing dalam kecurigaan.
    Dalam ruang sosial-politik, kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi hingga pengujung 2011. Korbannya tak hanya warga sipil, tetapi juga aparat keamanan. Ruang tahanan dan penjara terus terisi oleh mereka yang dikenai pasal makar. ”Sesuatu yang aneh ini terjadi di negara demokratis seperti Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Kondisi itu berbalut erat dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Papua yang tak berbanding lurus dengan alamnya yang kaya raya.
    Data PT Freeport Indonesia menunjukkan, total cadangan terbukti untuk tahun pelaporan sampai 31 Desember 2010 adalah 2,57 miliar ton batuan mineral dengan kadar rata-rata dari cadangan itu adalah 0,98 persen tembaga, lalu 0,83 gram per ton emas, dan 4,11 gram per ton perak. Dari kinerja perusahaan itu, pada semester pertama 2011, kewajiban berupa pajak yang dibayarkan perusahaan itu mencapai 1,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 11,7 triliun.
    Jika dihitung sejak kontrak karya 1992, hingga Juni 2011 perusahaan tambang itu telah membayar kewajiban mereka dalam bentuk pajak, royalti dan dividen masing-masing 12,8 miliar dollar AS, 1,3 miliar dollar AS, dan 1,2 miliar dollar AS. Kinerja perusahaan itu memberi kontribusi hingga 60 persen pada PDRB Provinsi Papua dan 96 persen pada PDRB Kabupaten Mimika.
    Papua juga memiliki hutan lebih dari 32 juta hektar. Pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan, hutan di Papua memiliki nilai ekonomis sekitar 74 miliar dollar AS dari kayu, karbon, dan jasa lingkungan, termasuk air serta makanan. Hutan produksi konversi yang luas seperti di Merauke berdaya tarik kuat. Saat ini Merauke dilirik 48 investor yang ingin menggarap perkebunan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di laut pun demikian. Produksi ikan tangkap tahun 2010 di Merauke, misalnya, tercatat 2 juta kilogram.
    Setiap tahun Papua mendapat dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 2,6 triliun atau sekitar Rp 3,8 triliun jika dihitung bersama-sama dengan Provinsi Papua Barat. Dana tersebut diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur Papua. Namun, hingga 10 tahun berjalan (total kurang lebih Rp 28 triliun), misi otsus, yaitu membangun keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua, tidak terwujud optimal.
    Transformasi Mandek
    Saat ini angka kematian bayi di Papua adalah 362 per 100.000 kelahiran hidup atau di atas angka nasional, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Malaria juga terus jadi penyakit langganan warga. Di Boven Digoel, misalnya, pada 2010 tercatat 7.583 orang terserang malaria. Jumlah itu melonjak dibandingkan 2009, yaitu 5.988 orang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengakui, meski jumlah puskesmas bertambah, tenaga medis belum mencukupi. Papua masih kekurangan 2.524 bidan, 212 tenaga gizi, 427 perawat, 241 analis kesehatan, 241 ahli kesehatan lingkungan, dan 280 ahli farmasi.
    Demikian pula dalam bidang pendidikan. Ketertinggalan itu tampak dari minimnya jumlah guru di pedalaman sehingga harus mengajar rangkap beberapa mata pelajaran ataupun beberapa kelas sekaligus. Selain itu, gedung sekolah yang rusak, alat belajar-mengajar yang minim, dan banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Merauke, pada tahun 2010 sedikitnya 2.574 anak usia 7-12 tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar. Angka melek huruf dan rata-rata sekolah sangat rendah. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, angka melek huruf 27 persen dengan rata-rata lama sekolah hanya 1,8 tahun.
    Sekretaris Daerah Papua Constan Karma mengungkapkan, banyak tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah pemekaran terserap birokrasi. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah pemekaran rendah. Kabupaten Nduga salah satunya. IPM kabupaten pecahan dari Jayawijaya itu hanya 48,02 atau terbawah di Papua. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di sana mengingat IPM Papua menduduki peringkat terbawah di Indonesia.
    Hal itu menyumbang pada tingginya jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua, yang mencapai 944.000 orang lebih atau sepertiga total penduduk Papua (2,8 juta jiwa). Jumlah itu meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2010, yaitu lebih dari 761.000 orang. Meskipun persentase penduduk miskin berkurang dari 36,80 persen tahun 2010 jadi 31,98 persen tahun 2011, tetap saja angka itu memprihatinkan.
    Apalagi, penduduk yang masuk kategori itu umumnya orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan pedalaman lainnya. Upaya pemerintah untuk mendekatkan pembangunan dengan membentuk kabupaten baru di Papua nyaris tidak berdampak.
    Di Papua Barat, jumlah penduduk miskin tahun 2010 tercatat 34,88 persen atau 356.350 jiwa dari 798.601 jiwa. Meski jumlahnya turun dibandingkan 2009, tingkat kemiskinan kian tinggi. Tahun 2008, tingkat keparahan miskin penduduk miskin adalah 9,18 poin dan jadi 10,47 poin pada tahun 2010. Penyebabnya, naiknya nilai pengeluaran yang tak diimbangi peningkatan daya beli masyarakat. Agustus 2010, tercatat 26.341 penduduk usia kerja menganggur, sedangkan Agustus 2011 bertambah jadi 33.031 orang. Tren pengangguran naik dari 7,68 persen jadi 8,94 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak terjadi di sektor pertanian, sampai 10.639 orang. Padahal lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan di bumi Papua ini terbentang luas.
    Ketua DPR Papua Barat Yosep Johan Auri mengatakan, dana otsus belum menyentuh masyarakat dan belum tepat sasaran. Banyak dugaan dana digunakan tanpa perencanaan dan pertanggungjawaban. Anggaran ganda, dari dana APBD dan dana otsus, untuk satu proyek kerap ditemukan. Masalahnya, hingga 10 tahun otsus berjalan, pemerintah provinsi belum punya peraturan daerah khusus yang mengatur perencanaan, peruntukan, dan pertanggungjawaban dana otsus.
    Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan untuk penggunaan dana otsus tahun 2010, masih ditemukan sejumlah dana tidak jelas atau tidak tepat digunakan. Beberapa terindikasi diselewengkan. Tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pengelolaan dana otsus tidak efektif.
    Saat ini, pemerintah menawarkan kebijakan baru, yakni percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Akankah itu menjawab? Atau sebaliknya justru menambah luka baru?

    (B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)

  • Daerah Terbius Kepentingan Sesaat

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Daerah Terbius Kepentingan Sesaat
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Mendongkrak pendapatan daerah. Itulah ambisi semua pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi selama beberapa tahun terakhir.
    Sikap ini positif, tetapi dalam banyak kasus selama 2011 upaya itu menyisakan persoalan serius bagi daerah, yakni kehancuran komoditas andalan rakyat dan makin meluasnya kerusakan lingkungan. Kasus yang cukup menonjol adalah maraknya penambangan pasir besi, seperti di Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di semua lokasi penambangan, masyarakat menolak kehadiran investor karena diyakini hanya memiskinan mereka. Namun, para pemodal pantang mundur karena telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemerintah daerah setempat.
    Kasus sejenis tampak pula di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Di sana, banyak bermunculan perusahaan swasta dengan mengantongi IUP batubara. Lokasi penambangan yang diperoleh bukan hanya hutan, melainkan juga dalam perkebunan karet rakyat dan rumah warga. Penambangan batubara pun kian marak dan kerusakan lingkungan makin tak terkendali. Lubang-lubang berdiameter belasan meter dengan kedalaman sekitar 10 meter tersebar di sejumlah lokasi.
    Bahkan, di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, muncul pula industri penimbunan batubara. Industri ini berkembang tanpa kendali hingga ke zona inti kompleks percandian Muaro Jambi. Jelas akan mengancam keberadaan situs peninggalan Melayu kuno tersebut.
    Sekitar 8.000 petani telah menjadi penggali batubara, tukang ojek, dan sopir truk pengangkut. Satu lokasi galian menghasilkan sekitar 1.500 karung batubara per hari. Bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang membayangi usaha rakyat tersebut.
    Lain lagi di Provinsi Bangka Belitung. Daerah tersebut sejak awal abad ke-19 memiliki lada putih yang telah mendunia. Hingga akhir 1990-an, lada dari Bangka paling disukai konsumen dunia, terbukti menguasai 80 persen dari total kebutuhan di pasar dunia. Akan tetapi, selama satu dekade terakhir, suplai lada dari bangka turun tajam. Tahun 2010, misalnya, volume ekspor hanya 4.334,5 ton dari total kebutuhan di pasar dunia sekitar 100.000 ton. Penurunan itu tidak lepas dari menyusutnya lahan budidaya lada akibat ekspansi penambangan timah dan perkebunan kelapa sawit.
    Berbagai Dalil
    Dengan berbagai dalil, pemerintah daerah selalu menyatakan, semua yang dilakukan sebagai upaya menyejahterakan masyarakat, menambah pendapatan asli daerah, dan lainnya. Jika demikian, mengapa kebijakan itu menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat?
    Dari kasus-kasus ini menunjukkan pemerintah daerah kurang mengenal secara baik kekuatan ekonomi lokal yang bisa digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka cenderung terbius tawaran-tawaran jangka pendek dari para pemodal yang ingin berinvestasi tanpa peduli dampak kehancuran lingkungan dan risiko lain yang bakal menimpa warga.
    Kasus tersebut juga membuktikan bahwa sejumlah pemerintah daerah tidak punya konsep jelas dan terarah dalam menggali dan menggerakkan ekonomi lokal. Ketika menyaksikan daerah lain berhasil membudidakan komoditas tertentu, mereka pun langsung ingin meraih sukses dengan komoditas sama.
    Itu terbukti di Bangka Belitung. Meski lada putih telah menjadi komoditas unggulan dan memakmurkan masyarakat setempat, pemerintah setempat kurang memedulikan. Mereka lebih tergiur kelapa sawit. Padahal, hingga kini belum ada komoditas asal Indonesia yang mampu menguasai 80 persen pasar dunia, kecuali lada putih dari Bangka.
    Pengabaian terhadap lada di Bangka Belitung sungguh nyata. Perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, misalnya, hanya 2.507 hektar, tahun 2010 telah 42.657 ha. Sebaliknya, tanaman lada yang tahun 2004 seluas 45.797 ha, pada 2010 tersisa 36.372 ha. Krisis lada sulit terhentikan karena antusiasme pemilik modal untuk menanam sawit di Bangka begitu tinggi.
    Di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, atas nama perluasan lahan sawit, kawasan gambut seluas 600 ha di Rawa Pacing, Menggala, Tuba, yang menjadi habitat burung rawa dikorbankan. Aksi penolakan warga sama sekali tidak dipedulikan. Pemerintah setempat nyaris tidak bersuara.
    Kondisi ini membuat kita bertanya: untuk siapa pembangunan dilakukan? Benarkah demi kesejahteraan masyarakat atau ada motif keuntungan pribadi pihak tertentu di balik kebijakan itu?
    Bukan rahasia lagi pemilihan langsung kepala daerah selama ini memaksa calon mengeluarkan ongkos miliaran rupiah. Dana itu bukan semata dari modal pribadi, melainkan subsidi dari berbagai pihak, termasuk pemodal besar. Setelah berkuasa, pejabat bersangkutan mencari cara untuk membalas jasa para sponsor.
    Memasuki 2012, praktik semacam ini bakal terulang lagi. Maka, semua pihak yang terkait harus bangkit melawan praktik kebijakan ekonomi sesaat yang mengatasnamakan rakyat.

    (Jannes Eudes Wawa/ Irma Tambunan/Yulvianus Harjono/Kris Razianto Mada)

  • Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Kebun Binatang Surabaya, satu dari banyak aset Pemerintah Kota Surabaya, tidak pernah sepi dari incaran pemilik modal. Lokasi strategis dengan luas sekitar 15 hektar itu cocok disulap untuk kawasan perdagangan, perkantoran, apartemen, dan hotel.
    Misi investor untuk bisa menguasai tempat wisata utama bagi warga Surabaya itu dilakukan dengan berbagai taktik, termasuk mengorbankan hewan koleksi Kebun Binatang Surabaya (KBS) hingga merana, bahkan mati. Tak tanggung-tanggung, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bahkan mencabut izin Lembaga Konservasi KBS mulai Agustus 2010.
    Pencabutan izin dilakukan karena berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan, KBS tidak memenuhi standar pengelolaan sesuai peraturan perundang-undangan, baik dari segi etika maupun kesejahteraan satwa. Akibatnya, banyak satwa liar yang mati tidak dilaporkan dan tidak dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, pengelolaan KBS diserahkan kepada Tim Pengelola Sementara (TPS).
    Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memilih mengundurkan diri dari TPS sebagai penolakan atas turunnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.281/Menhut-IV/2001 pada 18 Agustus 2011 tentang TPS KBS. Padahal, tanah yang dimanfaatkan KBS adalah aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dengan bukti kepemilikan sertifikat hak pakai Nomor 2 dan 3 Tahun 2001 seluas masing-masing 55.700 dan 97.860 meter persegi. Dengan demikian, TPS tidak bisa mencari investor sendiri, tetapi harus melalui mekanisme lelang.
    Hingga kini, keinginan Pemkot Surabaya untuk mengelola asetnya masih terganjal izin dari Kementerian Kehutanan. Sementara itu, hingga awal Desember 2011 sudah 15 ekor satwa koleksi KBS mati, antara lain, akibat kandang yang tidak sehat.
    Pemkot Surabaya kini memperjuangkan kembalinya aset mereka yang dikuasai pengelola Yayasan Kas Pembangunan yang membangun kompleks perumahan di Surabaya.
    Hutan Kota Terancam
    Nasib serupa juga menimpa Babakan Siliwangi, hutan kota seluas 3,8 hektar di jantung Kota Bandung. Kawasan hijau ini diapit Kebun Binatang Bandung dan Sasana Budaya Ganesha.
    Dialiri Sungai Cikapundung, kawasan ini relatif masih terjaga di tengah maraknya alih fungsi kawasan. Namun, kondisi tersebut dikhawatirkan bakal terganti dengan penandatanganan kontrak pengelolaan antara Pemkot Bandung dan PT Esa Gemilang Indah (EGI) pada 2007 untuk pengelolaan selama 20 tahun alias hingga 2027.
    PT EGI dan Pemkot Bandung sepakat membangun kembali restoran masakan Sunda di lokasi bangunan lama yang pernah berdiri. Pihak ketiga ataupun pemkot berjanji lahan yang terpakai hanya 2.000 meter persegi untuk bangunan dan 5.000 meter untuk tempat parkir. Namun, dalam kontrak tersebut disebutkan bahwa PT EGI juga berwenang untuk mengelola sisa kawasan meski dikatakan oleh direkturnya, Iwan Soenaryo, tidak akan ada perubahan fungsi dari hutan.
    Masyarakat kini berkonsolidasi untuk memanfaatkan hutan kota itu sebagai ruang publik. Pasalnya, selama ini daerah tersebut cenderung ditelantarkan dan terkesan angker.
    Salah satu inisiatif datang dari Ridwan Kamil dari Bandung Creative City Forum. Mereka berupaya menata kembali kawasan itu dengan menggelar sayembara desain hutan kota secara nasional. Proyek awal adalah membangun jembatan kayu sepanjang 400 meter sehingga pengunjung bisa menikmati rimbunnya dedaunan di Babakan Siliwangi.
    Meski baru sebagian, jembatan kayu tersebut disambut positif masyarakat. Kini, bermunculan komunitas yang sering beraktivitas di Babakan Siliwangi, mulai dari fotografi hingga pencinta lingkungan.
    Puncaknya adalah penganugerahan predikat hutan kota dunia terhadap Babakan Siliwangi sewaktu berlangsungnya perhelatan Tunza Indonesia, September 2011, oleh Menteri Lingkungan Hidup (saat itu) Gusti Muhammad Hatta bersama Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner.
    Akan tetapi, Wali Kota Bandung Dada Rosada menegaskan, restoran tetap bakal dibangun di pinggiran Sungai Cikapundung.
    Di Solo, Jawa Tengah, keberadaan Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) di atas lahan 13,9 hektar yang dikelola Perusahaan Daerah TSTJ Surakarta kini dalam proses pengalihan pengelolaan kepada investor. Keuangan yang bersumber dari tiket masuk, parkir, dan wahana permainan belum memberi keuntungan bagi pengelola. Padahal, saat ini terdapat 60 ekor satwa dan 100 jenis pohon.
    Dengan menggandeng swasta, Pemerintah Kota Solo tidak perlu mengeluarkan dana untuk revitalisasi. Diperkirakan butuh dana Rp 150 miliar-Rp 200 miliar. Dari lahan 13,9 hektar akan diperluas menjadi 21 hektar. Namun, direksi PD TSTJ Surakarta mengakui sulit mencari investor untuk membangun TSTJ.
    Berubah Peruntukan
    Pengalihan pengelolaan aset pemerintah daerah kepada investor tidak menimbulkan persoalan jika peruntukannya tidak berubah. Karena itu, sikap Pemkot Surabaya yang menolak keputusan hukum tentang taman flora seluas 2,3 hektar di Surabaya yang diubah peruntukan dari hutan kota menjadi pusat perdagangan patut dipuji.
    Sudah menjadi rahasia umum, banyak aset milik pemerintah daerah lenyap dan ada pula yang sudah berubah status kepemilikannya. Jadi, pemerintah di daerah harus berani menolak intervensi banyak pihak untuk menguasai aset daerah.
    Memang butuh kiat yang jitu untuk menghadang keinginan investor, termasuk mengajak warga secara bersama-sama mengamankan aset pemerintah daerah agar tidak tinggal nama.

    (Agnes Swetta Pandia/Sri Rejeki/Putra Erlangga)

  • Salah Urus pada Hasil Bumi

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Salah Urus pada Hasil Bumi
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Sepanjang 2011, karut-marut mewarnai tata niaga sejumlah komoditas hasil bumi. Perkaranya terkait kebijakan ekspor-impor yang berimbas pada kehidupan pelaku usaha dari hulu hingga hilir. Kasus yang menonjol di antaranya rotan, hasil perikanan, dan hortikultura.
    Rotan dan hasil perikanan contoh anomali kebijakan. Keran ekspor rotan mentah ditutup demi industri mebel dalam negeri. Sebaliknya, keran impor ikan dibuka untuk menghidupi industri perikanan dalam negeri. Kebijakan dan solusinya bersifat jalan pintas dan parsial.
    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 melarang ekspor rotan mentah, asalan, dan setengah jadi. Rotan hanya boleh diekspor dalam bentuk produk mebel. Aturan ini membidik nilai tambah rotan.
    Masalahnya, daya serap industri mebel dalam negeri selama ini hanya 15 persen dari 250.000 ton produksi rotan Indonesia per tahun. Dari sekitar 300 jenis spesies rotan yang tumbuh di hutan tropis Indonesa, hanya 7-8 jenis di antaranya yang bisa terpakai oleh industri mebel dalam negeri. Sisanya mau diapakan?
    Agar nilai tambah tercipta dan tidak membuat kalangan pemetik rotan dan pelaku industri ”berhadap-hadapan”, kebijakan itu sejatinya tidak hanya berhenti pada pelarangan ekspor rotan mentah. Harus ada kelanjutan berupa pembangunan industri rotan baru di daerah bahan baku, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Dengan begitu, industri tidak hanya terpusat di Jawa. Sebetulnya hal ini sudah pernah dijanjikan pemerintah enam tahun silam, tetapi belum terwujud.
    Mewujudkan janji memang tidak semudah membalik telapak tangan. Persoalannya tidak lepas dari soal infrastruktur. Juru bicara Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia, Badruddin Hambali, menyebutkan, untuk pabrik rotan skala besar dengan kapasitas produksi 100 kontainer per bulan dibutuhkan 1 hektar lahan, 500 tenaga kerja, dan 30.000 watt listrik. Adapun pabrik skala kecil berkapasitas di bawah 100 kontainer butuh minimal 15.000 watt listrik.
    Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh yang menyatakan siap membangun industri rotan di daerahnya perlu berhitung cermat. Potensi listrik di Sulbar masih jauh dari memadai. Tenaga listrik 1.800 megawatt yang digadang-gadang dari PLTA Karama masih sebatas wacana. Selain infrastruktur, juga perlu transformasi kecakapan pengrajin rotan dari sentra industri ke daerah penghasil rotan.
    Menembak Negeri Sendiri
    Mengekspor rotan ibarat memang memberi peluru kepada negara lain untuk menembak negeri sendiri. China yang agresif membeli rotan mentah dianggap pesaing karena produknya bisa dibuat lebih murah daripada produk Indonesia. Namun, apakah fair apabila negara lain yang lebih efisien dan berdaya saing di kancah global dijadikan momok tanpa mengintrospeksi negeri sendiri?
    Lisman Sumardjani, peneliti dari Yayasan Rotan Indonesia, mengungkapkan, di Indonesia biaya logistik mebel dari pabrik ke pelabuhan yang berjarak 60 kilometer mencapai 775 dollar AS. Di China, untuk jarak yang sama biayanya kurang dari 300 dollar AS. Biaya logistik di Indonesia menyedot 30 persen dari biaya produksi. Sementara di China, biayanya kurang dari 10 persen.
    Mahalnya biaya produksi di Indonesia terutama karena jauhnya jarak sumber bahan baku dengan industri. Rotan mentah harus dikapalkan dari luar Jawa ke Cirebon (Jabar) dan Surabaya (Jatim).
    Upaya memberi nilai tambah pada rotan hendaknya ditangani menyeluruh. Terapi kebijakan tutup ekspor jangan sampai seperti memberi obat penurun panas kepada anak yang demam, sementara penyakit sesungguhnya kanker kronis. Penutupan keran ekspor hendaknya mempertimbangkan secara arif kehidupan 5 juta pemetik rotan di hulu. Kebijakan parsial akan melesukan 1.600 usaha rotan skala rumahan yang menghidupi sekitar 600.000 pekerja di hilir.
    Jangan lupa, di tengah polemik buka-tutup keran impor, rotan plastik yang merupakan produk substitusi rotan alam kini terus merambah pasar dalam negeri. Di saat rotan alam yang menjadi sumber penghidupan jutaan rakyat Indonesia ”direcoki”, pengusaha rotan plastik malah bisa melenggang tenang. Indonesia selaku penghasil 85 persen rotan dunia sejatinya ”terlarang” untuk rotan plastik. Lagipula rotan plastik tidak sejalan dengan kampanye produk ramah lingkungan.
    Jalan Pintas
    Bagaimana sektor perikanan? Impor ikan dibiarkan mengalir terus demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri. Ironisnya, koperasi nelayan ikut jadi agen pengimpor. Pembiaran ini mengkhianati hakikat koperasi yang sejatinya melindungi ekonomi kerakyatan. Impor ikan mengimpit 2,6 juta nelayan.
    Dengan garis pantai sepanjang 95.000 kilometer, produksi ikan Indonesia baru 10,82 juta ton per tahun. Dari potensi itu yang diekspor baru 1,05 juta ton. Di tengah timpangnya angka produksi dan impor, justru impor perikanan mencapai 318.000 ton, mencakup ikan tongkol, lele, dan teri. Diduga, ikan impor itu berasal dari negeri sendiri yang distempel impor China, Malaysia, Vietnam, dan India.
    Impor sayuran juga mengalir. Impor bawang putih mencapai 400.000 ton atau 90 persen dari kebutuhan. Wortel juga harus diimpor 20.000 ton karena produksi hanya memenuhi 400.000 ton dari kebutuhan 450.000 ton. Impor buah tak perlu diurai dengan statistik. Sebab, jeruk, durian, dan pisang dari luar negeri terpajang di kedai kaki lima hingga restoran mewah.
    Perekonomian yang sehat hanya bisa dicapai dengan meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan produksi dan konsumsi domestik, bukan mengimpor. Ini mencerminkan betapa pihak terkait tak ingin memberdayakan sumber daya lokal, termasuk nelayan. Buka-tutup keran ekspor-impor adalah jalan pintas.

    (Nasrullah Nara/ Harry Susilo/Dwi Bayu Radius/Rini Kustiasih)