Category: Uncategorized

  • PNS Muda dan Godaan Korupsi

    PNS Muda dan Godaan Korupsi
    Lukman Santoso Az, PENELITI PADA STAIDA INSTITUTE;
    ALUMNUS PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UII YOGYAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 17 Desember 2011
    Berbagai gemuruh skandal korupsi di negeri ini tampaknya tidak akan pernah surut dan bahkan semakin mengakar dan membudaya. Virus korupsi tersebut telah menyebar dari tingkat pusat hingga daerah, dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Belum tuntas kasus Nazaruddin dan kebenaran ‘nyanyiannya”, kasus cek pelawan Nunun Nurbaetie dengan kelihaiannya. Kini sudah ada lagi kasus rekening ‘Gendut’ PNS Muda.

    Semuanya bertema sama, korupsi pejabat pemerintah. Yang lebih mengerikan lagi dalam kasus terbaru ini adalah PNS yang diduga korupsi masih berusia muda. Memang, korupsi tak pernah mengenal usia, lantas bagaimana jadinya meraka ketika sudah tua, tentu akan lebih membahayakan lagi.

    Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebutkan bahwa 50 persen PNS berusia muda di negeri ini terindikasi korupsi. Dari data tersebut, terdapat 10 PNS golongan IIIB usia muda yang memiliki rekening gendut, bernilai miliaran rupiah yang jauh dari nilai gaji dan pendapatan resmi mereka. Bahkan, PPATK juga menemukan transaksi dua PNS golongan IIIB berusia 28 tahun yang menilap uang negara dari proyek fiktif.

    Seandainya Bung Karno masih hidup saat ini, betapa prihatinnya ia melihat perilaku para pemuda. Padahal, bagi Bung Karno, pemuda adalah harapan bangsa dan mampu mengguncang dunia, dalam artian yang positif. Sekarang, sejumlah pemuda memang mampu mengguncang dunia, sayangnya itu dalam hal korupsi.

    Tahun lalu, kita disuguhi aksi seorang Gayus Tambunan yang melakukan korupsi miliaran rupiah. Dengan harta hasil korupsi itu, meskipun sudah di tahanan, dia bisa menyuap ratusan juta untuk bisa bepergian ke luar negeri. Tahun ini, kita disuguhi oleh atraksi lain, yakni sepak terjang sang koruptor bernama Nazaruddin. Kedua orang itu boleh dibilang anak-anak muda yang masih memiliki kiprah panjang. Mereka yang mestinya menjadi tumpuan dan harapan bangsa, yang terjadi justru melakukan pengkhianatan terhadap bangsa.

    Dari realitas itu tampaknya birokrat muda saat ini telah terjerembab dalam kubangan korupsi. Korupsi bukan hanya membudaya, tetapi menjadi prasyarat bagi PNS muda untuk menyesuaikan dengan kehidupan yang hedonis. Fenomena gaya hidup tersebut telah menjerat mereka dalam sebuah struktur untuk mengotak-atik kemungkinan, memanfaatkan celah, dan mengelaborasi relasi-relasi untuk melakukan sesuatu yang mempertemukan kepentingan. Skandal korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan kasus anggaran dengan episentrum M Nazaruddin yang telah disinggung di atas merupakan sekelumit contoh dari realitas ini.

    Kecenderungan budaya korupsi di Indonesia memang begitu luas. Perilaku korup sudah melebar dan sangat mendalam (widespread and deep rooted). Tidak hanya di tingkat puncak kekuasaan seperti di level pemerintah pusat, tetapi hampir merata di semua jaringan birokrasi yang berjalan pada semua level. Hampir sulit mencari tatanan birokrasi yang steril dari jerat korupsi.

    Bobroknya moralitas elite politik yang korup tersebut semakin memperkuat tesis EF Schumacher dan Fritjof Capra, bahwa krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan hidup pada sebuah bangsa sejatinya berakar dari krisis moralitas anak bangsa. Dampaknya adalah korupsi telah dianggap sebagai bagian integral dari struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia atau dalam bahasa lain sebagai cultural determinism (determinasi kultural).

    Sekarang tinggal apakah penegak hukum, pemerintah, juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkomitmen nyata memberangus koruptor, membersihkan negeri ini dari para maling uang rakyat, termasuk terhadap koruptor dari kalangan PNS muda. Jika serius dan bukan hanya sebatas retorika, tentu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, misalnya, dengan membuat Undang-Undang Pembuktian Terbalik untuk mengusut dari mana asal kekayaan para pejabat, para PNS, dan elemen lain yang dicurigai memiliki kekayaan tak wajar.

    Dengan realitas ini, tentu kita selalu terusik untuk menggugat apa sebenarnya hakikat pelaksanaan, pengawalan, dan pengaruh reformasi birokrasi yang saat ini berlangsung untuk membangun good governance. Apakah remunerasi di instansi-instansi tertentu berhenti sebatas penyesuaian dan kenaikan pendapatan, tanpa mampu menyentuh perubahan mentalitas PNS? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan dalam hal ini.

    Dalam pandangan Jamil Mubarok (2011), percepatan reformasi birokrasi untuk membersihkan para birokrat korup menjadi agenda yang sangat mendesak saat ini. Terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah agar bencana kemanusiaan ini tidak meluas. Pertama, adalah dengan mengkaji ulang proses rekrutmen PNS. Perlu dilengkapi dengan profile assessment dan kompetensi harus dibarengi dengan kualitas moral dan etika. Kedua, perlu mengkaji ulang materi diklat CPNS, dan diklat lainnya dengan memasukkan materi yang menekankan nilai-nilai kejujuran.

    Ketiga, pembenahan di dalam promosi, rotasi, dan mutasi jabatan PNS yang harus dijadikan pertimbangan kapabilitas dan rekam jejak perilaku atau etikanya. Keempat adalah dengan melakukan audit kinerja secara berkala, terutama pada penyimpangan perilaku. Adapun kelima, adalah dengan mengkaji ulang proses hukuman (punishment) yang panjang dan berbelit-belit bagi PNS yang melanggar. PNS harus bisa dikenai sanksi secara cepat dan tepat untuk memotong generasi PNS korup dan kinerja yang buruk.

    Langkah-langkah strategis tersebut tentu menjadi tidak berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama pemerintah, aparat penegak hukum, termasuk masyarakat dalam memberi pengawasan, untuk menjunjung hukum seadil-adilnya sekaligus melakukan pembenahan birokrasi di semua level pemerintahan. Maka, pemerintah-khususnya Presiden SBY-harus benar-benar membuktikan komitmennya dalam berjihad melawan korupsi sebagaimana pidatonya pada peringatan hari antikorupsi beberapa hari lalu. Termasuk mengawal penegakan hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Tindak tegas para koruptor tersebut, berikan hukuman yang berat dan sita semua aset mereka, buat mereka miskin agar memberi efek jera bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. Kita tidak akan pernah bisa menggali akar untuk membangun atmosfer antikorupsi tanpa ketegasan hukum yang berdaya-efek penjeraan kuat.

    Sangat tidak layak jika seorang PNS yang telah bersumpah mengabdi pada negara dan rakyat (civil servant) hidup bak raja-raja kecil yang abai dan menelikung aliran dana negara yang dialokasikan untuk rakyat. Di sinilah komitmen, sistem, dan kultur sadar hukum untuk menopang upaya menciptakan good governance yang serius dan konsisten di semua lini sangat dibutuhkan, bukan sekadar konsep, jargon, dan retorika.  

  • Buktikan Indonesia Layak Investasi…!

    Buktikan Indonesia Layak Investasi…!
    Andi Suruji, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Pelaku pasar menyambut gembira, Indonesia memperoleh ”kembali” investment grade dari lembaga pemeringkat surat berharga untuk investasi, Fitch Ratings.
    Sambutan ”hangat” pasar itu, antara lain, terlihat dari kegairahan pelaku pasar di bursa efek untuk memburu dan mengoleksi saham-saham yang berpotensi mendatangkan capital gain. Indeks Harga Saham Gabungan melonjak walaupun nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, misalnya, tetap stabil, tidak menguat setajam harga saham.
    Mungkin ada yang mengatakan, ah itu kan hanya reaksi sesaat pelaku pasar di tengah kecenderungan window dressing, suatu tindakan mengatur kembali portofolio investasi, agar wajahnya terlihat cantik pada akhir periode tutup buku. Ada benarnya sebab, sebagaimana biasanya menjelang akhir tahun, para pengelola dana investasi dan investor institusi ataupun individual memanfaatkan momentum ”efek Desember” ini untuk mengatur ulang isi basket portofolio mereka.
    Meski demikian, perolehan kembali investment grade bagi Indonesia, di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian dan panas-dinginnya suhu perekonomian Eropa serta masih belum stabilnya perekonomian Amerika Serikat, tetaplah sesuatu banget. Seharusnya ”hadiah” akhir tahun itu menjadi kabar yang benar-benar menggembirakan.
    Di awal tulisan ini, kata kembali diberi tanda petik sebagai penegasan ataupun pengingat bahwa peringkat itu pernah digenggam. Indonesia kehilangan investment grade pada tahun 1997. Peringkat itu merosot setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis parah multidimensi, yang berujung jatuhnya Presiden Soeharto.
    Gelembung ekonomi dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun saat itu ternyata menyimpan pula bibit-bibit penyakit. Ibarat kolesterol, lemak, asam urat, dan gula darah yang tidak normal. Ketika terinfeksi suatu virus ekonomi dari negara lain, seketika pula fisik atau bangunan perekonomian Indonesia ikut limbung lalu ambruk. Pasalnya, bersamaan dengan pertumbuhan pesat perekonomian itu ternyata tersimpan pula bibit-bibit penyakit.
    Ada macam-macam alasan yang disebutkan sebagai faktor, tetapi intinya adalah perekonomian kurang sehat walafiat. Utang menumpuk dan ketika rupiah dijadikan ajang spekulasi, nilai tukarnya merosot. Jumlah uang yang harus disediakan untuk membayar utang atau mengimpor bahan baku menjadi berlipat-lipat kali dari sebelumnya. 
    Perusahaan kesulitan likuiditas. Ratusan triliun rupiah digelontorkan untuk menolong perbankan dari kebangkrutan total.
    Suatu pelajaran berharga bahwa sesuatu yang kita miliki bisa hilang seketika manakala tidak dikelola secara baik dan benar. Ini mengingatkan nasihat orang tua, pelihara dan rawatlah (tepatnya kelola dengan baik) apa yang dimiliki.
    ”Ketika kita memiliki sepeda baru, kadang-kadang sepeda tua diabaikan, dibiarkan tergeletak, tidak pernah dilap, tidak diberi gemuk, dan remnya tidak pernah diservis. Namun, ketika sepeda tua itu dicolong orang lain, barulah rasa penyesalan timbul bersama sejuta kenangan mengenai sepeda tua itu. Wah, sepeda tua saya itu hebat sekali dulu, bla… bla… blaaa…,” begitu nasihat para orang tua.
    Kini, permata Indonesia telah kembali setelah bertahun-tahun diperjuangkan. Ya, investment grade itu ibarat permata, yang dikejar semua negara. Ia memancarkan kemilau perekonomian, menjanjikan pertumbuhan investasi dan nilai aset di kemudian hari. Investment grade berarti Indonesia adalah negara dengan perekonomian sehat, terkelola baik, dan layak dijadikan ”lahan” penanaman modal. Baik investasi langsung, seperti membangun pabrik dan mendirikan usaha baru, maupun investasi tidak langsung berupa surat-surat berharga.
    Pemerintah mesti mengingat bahwa peringkat itu hanyalah indikator yang dianalisis dari berbagai faktor. Jika ada sesuatu yang tersembunyi, atau disembunyikan, tentu indikator itu bisa mengirimkan sinyal lain. Namun, tanpa investment grade itu pun Indonesia sebenarnya masih bisa berharap banyak soal aliran modal dari berbagai sumber investasi, sebagian berupa lungsuran dari negara lain yang lebih siap menerima investasi.
    Kini, kembalinya Indonesia ke dalam layar monitor dengan sinyal investment grade yang menyala terang seharusnya menyadarkan pemerintah untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi agar aliran dana-dana investasi itu bisa bersemayam lebih lama, nyaman, dan aman di negeri ini.
    Dengan kondisi global dan regional yang sakit parah, Indonesia yang masih tergolong sehat mesti mempertahankan, bahkan meningkatkan, daya tahan dan daya tariknya. Caranya, memacu lebih cepat perbaikan daya saing perekonomian. Misalnya, memangkas biaya tinggi berbisnis, mempermudah birokrasi bagi pendatang baru di dunia bisnis, membangun infrastruktur andal, membenahi sistem logistik agar efisien, dan memberangus semua praktik korupsi.
    Tanpa semua itu, investment grade tidak berarti, tidak membumi, dan kurang bermakna bagi kaum miskin serta penganggur. Ia hanya akan memicu spekulasi berlebihan, meningkatkan aliran masuk uang panas untuk mencari imbal hasil sesaat. Jika terjadi guncangan, pemilik uang langsung menghamburkan kembali dananya keluar mencari tempat stabil, nyaman, dan menjanjikan keuntungan memadai. Buktikan Indonesia layak investasi dengan investment grade tersebut…!  
  • Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Kegembiraan masyarakat menyusul raihan gelar juara umum SEA Games XXVI/2011 belum pupus. Di dalam negeri, beberapa pemerintah daerah masih terus memberikan bonus kepada para atlet peraih medali.
    Nyaris tiada suara sumbang terkait keberhasilan atlet-atlet kita di Jakarta dan Palembang itu. Kalaupun ada sedikit suara sumbang, tertelan kegembiraan yang terus meluap. Itu tecermin dalam pergelaran Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas) KONI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, awal bulan ini.
    Namun, ke mana arah prestasi olahraga kita akan melangkah? Tiada seorang pun dapat menjawab. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng hanya mengulang jawaban yang sama setiap kali ditanya soal ini. Dalam musornas pun pembahasan soal mempertahankan prestasi juara umum pada SEA Games XXVII/ 2013 di Myanmar bukan bahasan serius. Peserta lebih fokus pada pergantian ketua umum.
    Belum Terdengar
    Praktis, hingga kini belum pernah terdengar dan terlihat cetak biru pembinaan olahraga prestasi di Indonesia, baik dari KONI maupun Kantor Menpora. Rencana Strategis Kantor Menpora 2010-2014 hanya menyebutkan enam kegiatan prioritas untuk meningkatkan kualitas pembinaan olahraga prestasi. Hal itu mencakup, antara lain, mendukung peningkatan prestasi olahraga dan mengembangkan industri olahraga.
    Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Menpora berwenang mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan nasional. Namun, kewenangan itu belum dimanfaatkan secara maksimal mengingat Menpora tidak membuat detail sasaran prestasi yang harus diraih, walau bersama KONI Pusat, Menpora membentuk Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) pada 2010 untuk membina dan mengembangkan atlet elite.
    Pembinaan atlet elite sebenarnya dimulai dengan apa yang disebut Program Atlet Andalan (PAL) tahun 2008. Direktur PAL Achmad Sutjipto membuat penanganan atlet mulai bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap atlet memiliki jurnal atau log book untuk mencatat pola latihan dan pencapaian masing-masing. Jurnal itu secara periodik dievaluasi. Bahkan, mereka mengontrak ahli dari Australia.
    Meski belum lancar, upaya ini dapat mendongkrak prestasi atlet, seperti tecermin pada perolehan medali pada SEA Games 2009 dan pemecahan rekor Asia Tenggara lari 100 meter putra di tangan Suryo Agung Wibowo menjadi 10,17 detik. Namun, KONI belum mau mengakui secara terbuka keberhasilan upaya yang dilakukan PAL.
    Ketika PAL berganti nama menjadi Satlak Prima, penggunaan ilmu pengetahuan olahraga malah surut. Tak hanya itu, peran Satlak Prima menjelang dan selama pergelaran SEA Games juga belum optimal. Banyak persoalan di cabang tak segera diatasi atau terkesan dibiarkan Satlak Prima. Beberapa cabang tak dapat menggelar pelatnas dengan baik karena pengadaan peralatan latihan tersendat.
    Anehnya, dalam musornas di Mataram, awal Desember lalu, untuk pembinaan olahraga di Tanah Air empat tahun ke depan tidak dibuatkan program jangka pendek atau panjang yang jelas. Padahal, mestinya ajang empat tahunan itulah tempat paling tepat untuk merumuskan rencana tersebut.
    Sudah berulang kali dikatakan, arah prestasi olahraga Indonesia seharusnya sudah beranjak dari sekadar kawasan Asia Tenggara. Memegang gelar juara umum ini, pemangku olahraga dapat melirik prestasi lebih tinggi, semisal Asian Games.
    Memang, kita harus sadar tak semua cabang olahraga prestasi dapat digenjot hingga mencapai level Asian Games. Sekadar menyebut beberapa contoh, mungkin bulu tangkis, angkat besi, dan beberapa cabang bela diri dapat berkompetisi di tingkat Asia.
    Untuk renang, atletik, dan senam, kualitas atlet Indonesia di Asia masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Mereka bertaburkan atlet yang mampu berlaga pada olimpiade dan kejuaraan dunia. Rasanya, minimal untuk lima tahun ke depan, kita harus rela melepaskan cabang-cabang itu pada negara-negara tersebut.
    Di olimpiade, Indonesia mulai meraih medali pada Olimpiade Seoul 1988. Ketika itu, trio pemanah putri membawa pulang sekeping perak. Pada Olimpiade Barcelona 1992, tradisi meraih emas bermula melalui bulu tangkis. Dibandingkan dengan prestasi negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia paling berkilau di olimpiade dengan dua emas dari bulu tangkis.
    Namun, sejak Olimpiade Athena 2004, bukan Indonesia yang paling perkasa di antara negara-negara Asia Tenggara. Thailand mengambil alih dominasi tersebut dengan merebut tiga emas dari angkat besi dan tinju. Adapun Indonesia, sejak 2004, pada setiap olimpiade hanya merebut satu emas melalui bulu tangkis. Di Beijing 2008, Thailand juga meraih dua emas.
    Bahkan, pada Olimpiade London 2012, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam bakal mengejutkan. Mereka serius memasang target dan menempa diri demi ambisi tersebut.
    Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini memiliki sumber daya atlet relatif banyak. Apalagi, di setiap provinsi ada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) bagi pelajar yang berbakat di bidang olahraga. Dari data kontingen pada ajang PON dan SEA Games, bisa dibilang 60 persen atlet Indonesia adalah alumni PPLP, mulai atletik hingga sepak bola.
    Jika negara lain serius mengembangkan olahraga dengan rutin menggelar kompetisi dan berambisi mengukir prestasi tertinggi serta aktif menawarkan diri sebagai tuan rumah pesta olahraga apa pun, mengapa Indonesia tidak? (MBA/TIA/ADP)
  • Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Cerita sepak bola Indonesia 2011 di lapangan tidaklah buruk. Di tengah konflik PSSI, pemain Indonesia lolos ke putaran ketiga Pra-Piala Dunia 2014 bersama 19 negara Asia dan lolos ke final SEA Games. Namun, ceritanya lain di balik dinding kantor PSSI, klub-klub, ruang-ruang rapat, dan kongres.
    Pencapaian timnas Pra-Piala Dunia 2014 yang selalu kalah di putaran kedua dan medali perak SEA Games 2011 memang tidak memenuhi harapan publik. Namun, mengingat hadir saat krisis sepak bola mendera negeri ini, dua pencapaian itu tidak buruk.
    Di level yunior, prestasi itu tidak menggembirakan. Diwakili tim SAD yang tampil di kompetisi Uruguay, Indonesia kembali gagal lolos ke Piala Asia U-19 2012. ”Merah Putih Junior” juga gagal tampil di Piala Asia U-16 2012. Negeri ini memang tidak punya fondasi pembinaan usia muda.
    Di tengah perkembangan sepak bola negara-negara Asia lain yang berlari kencang, sepak bola negeri ini jalan di tempat dan kian tertinggal. Di level klub, pada Liga Champions Asia (LCA), ceritanya setali tiga uang. Arema Indonesia mengikuti jejak Persipura Jayapura musim sebelumnya, yang jadi lumbung gol.
    Persipura kebobolan 29 gol dari enam laga, sedangkan Arema kemasukan 22 gol! Keduanya mencatat rekor kebobolan gol terbesar di penyisihan grup yang diikuti 32 klub top Asia.
    LCA jauh di atas level klub-klub kita. Mereka baru mampu bersaing di level bawahnya, Piala AFC. Di ajang ini, Persipura lolos ke perempat final dan Sriwijaya ke babak 16 besar.
    Di level usia muda, cerita manis ditorehkan pemain Indonesia usia di bawah 15 tahun (U-15) yang menjuarai Piala Pelajar Asia 2011. Pemain muda bibit-bibit sepak bola negeri ini juga ambil bagian pada ajang lain.
    SSB Hasanuddin mewakili Indonesia tampil dan menempati peringkat ke-33 dari 40 negara di Piala Danone 2011. Lalu, tim Indonesia ASIOP-Apacinti bertahan hingga 16 besar Gothia Cup, yang sering disebut Piala Dunia mini karena selalu diikuti lebih dari 80 negara, di Swedia.
    Begitulah, apa pun hasilnya, cerita sepak bola di lapangan tetap mengasyikkan. Permainan kulit bundar selalu menjadi daya tarik dan hiburan, terlebih lagi jika kemenangan bisa diraih. Namun, tidak demikian jika berbicara sepak bola di luar lapangan dengan pengurus PSSI, klub, atau pengurus daerah (provinsi dan cabang) sebagai ”pemainnya”.
    Cerita Memilukan
    Mengikuti sepak terjang pengurus sepak bola itu sangat memilukan dan, di tahap tertentu, menjijikkan. Sepak bola negeri ini tidak diurus lewat pendekatan dan prinsip-prinsip keolahragaan (sportsmanship), tetapi dikelola seperti mengurus partai politik.
    Kita mulai cerita menjijikkan ini dari awal tahun 2011, Januari akhir, saat PSSI menggelar kongres di Bali. Kongres berlangsung sekitar dua pekan setelah kick-off Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi yang bergulir sebagai ketidakpuasan atas liga resmi PSSI pimpinan Nurdin Halid selama hampir delapan tahun.
    Seperti kongres-kongres sebelumnya, forum itu ”bersahabat”. Tak satu pun anggota PSSI bersuara kritis. Bahkan, sekadar abstain pun tidak. Diakui terbuka, forum itu ditunggangi untuk melanggengkan rezim Nurdin.
    Seperti sulap, sikap anggota PSSI berubah total bulan-bulan berikutnya, yang—singkat cerita—berujung lengsernya Nurdin dan lahirnya pengurus baru dipimpin Djohar Arifin Husin.
    Transisi kepemimpinan PSSI itu, seperti kita catat, berjalan tak mulus dan tak normal. FIFA turun tangan, membekukan Komite Eksekutif PSSI dan menunjuk Komite Normalisasi. Empat kongres telah berlalu: di Bali, Pekanbaru, Jakarta, dan Solo.
    Satu hal yang dilupakan, termasuk oleh FIFA, dan tak pernah tersentuh, yakni pertanggungjawaban pengurus PSSI era Nurdin Halid. Ibarat sebuah lagu, PSSI seperti di-restart, berakibat komplikasi persoalan sana-sini dengan segala eksesnya hari ini.
    PSSI melakukan blunder pertama, mencopot Alfred Riedl dengan alasan kontraknya dengan pengurus PSSI lama bermasalah (tiga versi). Mencopot pelatih hal biasa dalam sepak bola. Namun, pada kasus Riedl, itu tak dilakukan memadai dan bijak. Andai berpikir jernih, PSSI bisa saja menegosiasi ulang kontraknya dan, jika tak ada titik temu, apa boleh buat mungkin harus stop.
    Blunder serupa terulang saat PSSI akan me-restart kompetisi dari titik nol, mengacu lima kriteria yang ditetap Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), yakni legal, finansial, infrastruktur, personel, dan sporting. Akan tetapi, proses penilaian (assessment) itu tidak dijalankan memadai dan tahu-tahu muncul nama-nama klub pada divisi teratas.
    Andai saja, sekali lagi andai saja, proses penilaian itu berlangsung fair, transparan, profesional, dan bukan hanya verifikasi dokumen, tetapi juga verifikasi lapangan—berapa pun jumlah klub yang diperoleh atau jika tak ada yang memenuhi syarat, klub dengan skor tertinggi yang lolos—boleh jadi tak sekisruh kini.
    Walhasil, publik sepak bola kini disuguhi dua kompetisi: Liga Prima Indonesia yang diakui PSSI dan Liga Super Indonesia peninggalan pengurus PSSI lama. Polemik seputar kasus tercoretnya Persipura dari Piala AFC adalah ekses persoalan itu.
    Klub-klub anggota PSSI dan para pengurus daerah (provinsi dan cabang) juga setali tiga uang. Keputusan AFC yang merilis tak satu pun klub Indonesia memenuhi syarat tampil di Liga Champions Asia adalah bukti pengurus klub tidak berbuat apa-apa untuk memajukan klub mereka. Pengurus daerah juga berpangku tangan tidak memutar kompetisi usia muda yang idealnya harus mereka gelar di level regional.
    Akumulasi semua persoalan itu berujung pada tidak kunjung majunya sepak bola negeri ini. Sekadar pengingat, awal tahun ini, Indonesia di posisi ke-126 peringkat FIFA. November lalu, peringkat itu anjlok ke-144.
    ”Quo Vadis”?
    Ya, quo vadis (ke mana hendak melangkah) sepak bola Indonesia? Tahun 2012 terbentang di depan mata. Sejumlah agenda telah terpampang nyata, bahkan hingga 2014. Untuk 2012 saja, mulai September bergulir kualifikasi Piala Asia 2015 Australia.
    Pada Desember juga berlangsung Piala AFF di Malaysia dan Thailand. Di level antarklub Asia, pertengahan Maret, Arema berlaga di Piala AFC. Belum lagi kalender laga internasional timnas senior yang tidak kurang 11 kali setahun ke depan meski Indonesia telah tersingkir saat dijamu Bahrain, 29 Februari.
    Untuk keluar dari karut-marut, jika mau mencontoh Nelson Mandela di Afrika Selatan saat negeri itu ganti rezim, seharusnya ada ruang rekonsiliasi bagi pengurus sepak bola yang kini bertikai bak pengurus parpol.
    Tanpa rekonsiliasi, kapan lagi kita benar-benar membangun sepak bola? Ataukah memang ingin semua tenggelam bersama dalam keterpurukan tanpa ujung?

    (MH SAMSUL HADI)

  • Jalan Terjal Menuju London 2012

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Jalan Terjal Menuju London 2012
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Bagaimana proyeksi prestasi pebulu tangkis kita di Olimpiade London 2012? Becermin dari raihan prestasi sepanjang musim ini, peluang menjaga tradisi medali emas sejak di Barcelona 1992 agak sulit. Harapan selalu ada, tetapi jalannya akan terjal dan berliku.
    Perjalanan menuju London 2012 sebenarnya sudah dimulai sejak 2 Mei lalu dan akan berakhir pada 29 April 2012. Pada rentang waktu itu, pemain harus berlomba meraih poin kemenangan setinggi-tingginya. Maksimal hanya hasil terbaik dari 10 turnamen yang akan diperhitungkan.
    Aturan dalam sistem kualifikasi Olimpiade 2012 menyebutkan, negara yang memiliki empat pemain di empat besar dunia sektor tunggal dapat mengirimkan tiga wakil ke London. Jika para pemain itu ada di rentang 16 besar, jatah yang diberikan adalah dua tiket.
    Sementara di sektor ganda, dua pasangan dapat melenggang ke olimpiade jika ada setidaknya dua tandem yang mengisi peringkat delapan besar dunia. Menempatkan dua wakil di satu nomor bulu tangkis olimpiade jelas menjadi keuntungan. Ini membuat peluang meraih medali emas menjadi kian besar.
    Di luar zona itu, satu tiket olimpiade bagi setiap negara akan diurut berdasarkan peringkat dunia pemain setiap negara. Merujuk aturan itu, posisi pemain Indonesia bisa dibilang jauh dari aman. Di tunggal putra, hanya Simon Santoso dan Taufik Hidayat yang masuk posisi 16 besar (peringkat ke-8 dan ke-10).
    Posisi tunggal putri jauh lebih memprihatinkan. Peringkat tertinggi ditempati Fransiska Ratnasari, di posisi ke-32. Sementara pemain pelatnas Lindaweni Fanetri, Adriyanti Firdasari, dan Aprilia Yuswandari masing-masing berada di peringkat ke-38, ke-40, dan ke-47.
    Di ganda putra, Indonesia berpeluang meloloskan dua pasangan. Namun, peringkat pemain masih belum nyaman dan butuh upaya keras untuk menaikkan peringkat di sisa waktu dan turnamen yang ada. Peringkat tertinggi dipegang Bona Septano/Muhammad Ahsan di urutan keenam. Berikutnya adalah Alvent/Hendra Gunawan di peringkat kesembilan. Juara Olimpiade 2008, Markis Kido/Hendra Setiawan, berada di posisi ke-10.
    Di ganda putri, hanya pasangan Greysia Polii/Meiliana Jauhari yang masuk posisi delapan besar. Pasangan lain, Vita Marissa/Nadya Melati, berada di peringkat ke-12, sedangkan Anneke Feinya/Nitya Krishinda di posisi ke-19. Posisi paling mantap cuma pemain ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang bertengger di empat besar. Secara realistis pasangan ini menjadi harapan terbaik untuk olimpiade mendatang.
    Meski baru dipasangkan, Tontowi/Liliyana sudah mendapat hasil lumayan bagus dengan menjadi juara di Super Series India dan di Singapura serta runner-up di Premier Super Series Indonesia Terbuka. Hal lain yang juga melegakan, pasangan ini cukup kompetitif untuk menghadapi pemain papan atas China, Korea, Taiwan, ataupun Denmark.
    Kalah Bersaing
    Bagaimana dengan pemain lain? Becermin dari hasil turnamen sepanjang tahun 2011, hampir semua pemain kita kalah bersaing dengan pemain negara lain di turnamen besar, seperti Super Series dan Premier Super Series. Taufik Hidayat dan Simon Santoso bahkan tak mampu menjuarai turnamen level Grand Prix Gold sekalipun.
    Di sektor ganda putra, pasangan Bona Septano/Muhammad Ahsan hanya mengoleksi satu gelar di GP Gold Indonesia Terbuka. Sementara Alvent/Hendra AG prestasi tertingginya menjadi runner-up di turnamen Singapura Terbuka. Markis Kido/Hendra Setiawan lebih apes. Hasil terbaik mereka cuma sampai babak semifinal Premier Super Series di Denmark.
    Hasil serupa terjadi di ganda putri. Pasangan Greysia Polii/Meiliana Jauhari mengalami paceklik gelar. Greysia bahkan mengalami cedera otot tangan yang memaksanya absen di beberapa turnamen, termasuk SEA Games.
    Lebih memprihatinkan lagi di sektor tunggal putri. Pemain-pemain kita bukan cuma tak mampu meraih gelar, melainkan juga tak mampu bersaing dengan pemain-pemain papan tengah.
    Kehadiran pelatih asal China, Li Mao, belum bisa mengangkat prestasi pemain-pemain tunggal. Li Mao, yang masuk pelatnas Cipayung sejak awal 2011, datang dengan membawa konsep yang sederhana, yakni perbaikan teknik dan strategi dalam pertandingan.
    Dengan mengesampingkan faktor stamina dan fisik, Li Mao begitu percaya diri dengan metodenya. Namun, faktanya pemain tunggal kita juga tetap tidak bisa banyak bicara di setiap turnamen. Teknik dan strategi permainan mereka tak berjalan sempurna karena stamina selalu kedodoran. Sayangnya, Li Mao juga terkesan tidak mengevaluasi masalah ini karena dia juga sangat jarang mendampingi pemain saat bertanding.
    Dengan sisa waktu lima bulan dan masih sekitar 32 turnamen yang bisa diikuti, sebenarnya peluang memenuhi kuota maksimal masih terbuka. Strateginya, PBSI harus memaksimalkan prestasi pemain di kelas kejuaraan yang memungkinkan perolehan poin setinggi mungkin.
    (GATOT WIDAKDO)
  • Mempertahankan Itu Sulit

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Mempertahankan Itu Sulit
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Siapa sangka tim perahu naga putra Indonesia mampu meraih tiga emas sekaligus di ajang Asian Games 2010? Siapa sangka tim Indonesia berbalik dikalahkan di ajang SEA Games XXVI/ 2011 oleh rival sengit di Asian Games 2010?
    Serba tidak terduga! Itulah games, olahraga. Hasil cemerlang Asian Games 2010 maunya dijadikan modal untuk menyapu bersih nomor-nomor perahu naga dalam SEA Games 2011. Namun, fakta berbicara lain.
    Tim perahu naga Indonesia, baik yang terdiri atas 12 pedayung maupun 22 pedayung, tidak sanggup membuktikan ketangguhan mereka di nomor-nomor yang amat mereka kuasai: 2.000 meter putra/putri, 1.000 meter putra/putri, dan 500 meter putra/putri. Di nomor jarak pendek 250 meter yang diincar sanggup diselesaikan oleh tim perahu naga Indonesia, hasilnya nihil juga.
    Alhasil, harapan di nomor-nomor unggulan kandas. Myanmar membalikkan keunggulan Indonesia. Myanmar meluluhlantakkan skuad Merah Putih.
    Myanmar akhirnya pulang dengan sembilan emas dan satu perak. Indonesia selesai dengan lima perak dan empat perunggu.
    Mental Pemain
    Itu cerita hampir satu bulan yang lalu. Akan tetapi, rasanya itu menjadi ganjalan bagi tim Merah Putih yang harus dicari tahu penyebabnya.
    ”Mereka sudah terus berusaha dan menyiapkan diri dengan keras. Namun, catatan waktu mereka tidak pernah bisa menyamai catatan waktu selama di Asian Games,” ujar Koordinator Cabang Terukur Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Prima) Utama, Sebastian Hadi Wihardja, Rabu (14/12).
    Di Asian Games 2010, catatan waktu sekitar tiga menit dibukukan untuk melahap habis jarak 1.000 meter. Di SEA Games, mereka membukukan empat menit hingga lima menit untuk menuntaskan jarak tersebut.
    Apa ada yang salah? ”Rasanya kesalahan itu ada pada mental pemain. Mereka belum siap menjadi juara. Padahal, manajer ataupun pelatih sudah selalu mengingatkan para atlet untuk berhati-hati. Myanmar adalah lawan yang belum ketahuan kekuatannya,” ujar manajer tim perahu naga Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PB PODSI), Young Mardinal Djamaludin.
    Selama persiapan menghadapi SEA Games, tim perahu naga Indonesia selalu mendominasi setiap uji coba yang diikuti, baik kejuaraan perahu naga di Malaysia maupun kejuaraan di Korea Selatan.
    Sayangnya, tiap kali mengikuti uji coba, Myanmar tak pernah turun. Tim Indonesia boleh merajai semua nomor. Namun, tim Indonesia belum berarti apabila belum bertemu tim Myanmar.
    Dari awal, seharusnya tim Indonesia terus mempertahankan kewaspadaan. Di Asian Games 2010, meski unggul, catatan waktu Indonesia berselisih tipis saja dari Myanmar.
    Di nomor 250 meter putra, Indonesia mencatatkan 48,681 detik, sementara Myanmar 49,401 detik. Di nomor 500 meter putra, tim Indonesia mencatat waktu 1 menit 44,506 detik, sedangkan Myanmar 1 menit 45,622 detik. Begitu juga di nomor 1.000 meter putra, catatan waktu Indonesia dengan Myanmar juga tidak begitu jauh. ”Catatan waktu ini seharusnya menjadi catatan penting tim Indonesia,” ujar Hadi.
    Apalagi, menurut Hadi, tak sekalipun dalam setiap uji coba di luar negeri tim Indonesia berjumpa dengan rival berat dari Asia Tenggara itu. ”Tim kita seperti lengah,” tuturnya.
    Hal lain yang kurang dicermati adalah jadwal perlombaan. Di Asian Games 2010, tim perahu naga turun lebih dahulu kemudian para pedayung Indonesia turun di nomor kano serta kayak.
    Di SEA Games XXVI/2011, dengan kekuatan tim yang sama dengan tim di Asian Games, para pedayung Indonesia rupanya sudah turun lebih dahulu di nomor kano dan kayak. Kemudian mereka tampil di nomor perahu naga.
    Baik di Asian Games maupun SEA Games, tim Indonesia diperkuat para pedayung terkuat kano dan kayak. Dari dua pembagian jadwal itu, saat di Asian Games, Indonesia diuntungkan dengan pedayung yang masih segar bugar. Energi mereka amat berguna saat menuntaskan nomor-nomor lomba. Sementara di SEA Games, para pedayung terlihat kelelahan.
    Padahal, secara teori iptek keolahragaan, seharusnya para pedayung Indonesia bisa pulih cepat setelah berlomba di nomor sebelumnya. Apalagi, dayung memiliki dukungan ilmu keolahragaan yang cukup.
    ”Saya juga kurang bisa memastikan mengapa para pedayung sepertinya tidak bisa pulih dengan cepat untuk turun di perahu naga,” ujar Mardinal.
    Justru ketika para pedayung kano/kayak turun ke perahu naga, mereka kesulitan untuk menyamakan irama dan kecepatan kayuhan. Semakin dipacu kayuhan, perahu makin tidak terpacu.
    ”Sepertinya saat tim kita tersusul lawan, para pedayung kita, kok, malah grogi dan panik. Saya kira masalah mental juga berpengaruh,” ujar Mardinal.
    Harus Spesialisasi
    Mencermati kandasnya tim Merah Putih di pesta negara-negara Asia Tenggara itu, tim dayung Indonesia rasanya harus mengubah strategi.
    Sudah saatnya tim manajer dan pelatih dayung memfokuskan para pedayung. Untuk disiplin kano dan kayak, para pedayung sebaiknya disiapkan khusus untuk tim kano dan kayak saja, juga untuk tim perahu naga. Dengan begitu, setiap pedayung mempunyai spesialisasi dan bisa difokuskan untuk kejuaraan single event atau multi-events seperti SEA Games.
    Mardinal mengatakan, saat ini cabang dayung tengah menggelar kualifikasi Pekan Olahraga Nasional. Ia berharap para pedayung terbaik bisa diambil dari hasil tersebut untuk diarahkan ke spesialisasi.
    Memang, mempertahankan hasil terbaik jauh lebih berat ketimbang saat berupaya meraihnya.
    (Helena F Nababan)
  • Sampai Kapan Jika Sendirian?

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Sampai Kapan Jika Sendirian?
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Dalam lima-enam hari, Indonesia diguyur medali emas lewat atletik dan renang di SEA Games XXVI lalu. Untuk mewujudkan pesta yang temponya kurang dari sepekan itu, diperlukan bertahun-tahun latihan tak terputus dan dana besar. Namun, untuk kesinambungan prestasi jauh ke depan, induk organisasi atletik dan renang tak akan mampu berjalan sendirian.
    Dalam pesta olahraga Asia Tenggara di Jakabaring, Palembang, itu, atletik Indonesia kembali mengulang kejayaan yang pernah ditoreh 18 tahun lampau. Tahun inilah atletik bisa kembali menyumbang emas dalam jumlah dua digit, 13 (ditambah 12 perak dan 11 perunggu). Jumlah itu sama seperti yang dihasilkan dalam SEA Games 1993.
    Di kolam akuatik Jakabaring yang bersebelahan dengan stadion atletik, para perenang muda Indonesia meraup 6 emas, 8 perak, dan 10 perunggu. Dari segi jumlah, perolehan Indonesia memang masih kalah oleh Singapura yang raja renang Asia Tenggara (17 emas, 9 perak, dan 13 perunggu) dan dari Thailand yang mengumpulkan 8 emas, 7 perak, dan 5 perunggu.
    Namun, para perenang Indonesia memecahkan lima rekor SEA Games di Jakabaring. Itu nyaris separuh dari total pemecahan rekor (11) yang tercipta di cabang renang dalam SEA Games kali ini.
    Indonesia pun melakukan lompatan besar. Pasalnya, Indonesia hanya memegang rekor di satu nomor begitu SEA Games Laos 2009 usai, yaitu di estafet 4 x 100 meter gaya ganti putra. Padahal, renang memiliki 38 nomor lomba.
    ”Di SEA Games, empat perenang kita lolos limit B Olimpiade 2012,” ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) Tonny P Sastramihardja. Keempat perenang itu adalah I Gede Siman Sudartawa (17 tahun), Triady Fauzi Sidiq (19), Glen Victor Susanto (22), dan Indra Gunawan (23).
    Memang, para atlet tidak otomatis lolos ke London 2012 karena—dengan kuota 900 perenang (lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya 1.000 perenang)— akan ada seleksi lagi berdasarkan catatan waktu para atlet. Namun, berdasarkan catatan waktu mereka, Tonny optimistis keempat perenang Indonesia tidak akan tergusur.
    Ditambahkan, perenang putri Yessy Yosaputra, Nicko Biondi, dan M Idham Dasuki juga punya peluang untuk tampil sebagai olimpian, atlet yang berlaga di panggung tertinggi pesta olahraga dunia.
    ”Catatan waktu Yessy (di SEA Games) sedikit lagi. Batas waktu kualifikasi 11 Juni tahun depan. Kami melihat ketiganya punya peluang,” kata Tonny.
    Tak Tercipta Dalam Sekejap
    Panen medali yang diraih oleh dua cabang induk olahraga itu tercipta lewat proses yang serupa, yaitu hasil dari ketekunan program latihan yang dilakukan, dimulai lama sebelum SEA Games XXVI dibuka, 11 November lalu. ”Ini adalah buah kesabaran. Kami memang selalu fokus pada jangka panjang. Di antara itu memang ada sasaran-sasaran jangka pendek, tetapi semua dalam rangka pelatnas jangka panjang,” kata Sekretaris Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Tigor M Tanjung.
    Bertahun-tahun PB PASI telah menggelar pemusatan latihan nasional (pelatnas) yang tak terputus di Jakarta. Bahkan, pelatnas seperti itu dibentuk dalam empat jenjang, yaitu untuk atlet praremaja dengan usia atlet di bawah 16 tahun, remaja (16 tahun hingga sebelum 18 tahun), yunior (18-19 tahun), dan senior (atlet elite).
    PB PRSI pun sama. Pelatnas jangka panjang digelar untuk atlet utama dan pratama di Jakarta dan Bandung. ”Seusai SEA Games 2009, kami langsung memulai pelatnas lagi,” tutur Tonny.
    Bagi sebuah induk organisasi, keputusan itu tentu bukanlah pilihan yang murah. Misalnya, dana yang diperlukan PB PASI untuk menggelar pelatnas jangka panjang seperti itu mencapai Rp 12 juta per atlet (termasuk untuk biaya sekolah dan pemantauan psikologis atlet belia).
    Di renang, biaya akomodasi di hotel atlet di kawasan Senayan saja besarnya Rp 150.000 per malam. Itu pun hanya untuk para perenang dan peloncat indah pratama yang jumlahnya 20 atlet.
    PB PRSI memutuskan menyewa rumah bagi atlet utama mereka. Alasan Tonny, hotel atlet di Senayan tidak lagi cocok untuk pembinaan atlet utama dengan menjamurnya mal di kawasan itu. ”Terlalu banyak yang bisa mengganggu fokus atlet di usia mereka,” katanya.
    PB PRSI juga harus menyewa kolam renang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yang biayanya puluhan juta rupiah per bulan. Bagi Tonny, kolam renang Senayan juga tak lagi memenuhi syarat sebagai tempat berlatih tim nasional.
    ”Saat berlatih, atlet perlu seluruh lintasan,” ujar dia. Sementara di Senayan, kolam dipakai bersamaan dengan anggota masyarakat yang lain. Itu belum menghitung kualitas air kolam Senayan yang sering kurang bagus.
    Tigor dan Tonny sepakat, investasi pada pelatih juga berperan besar dalam mendongkrak prestasi atlet pelatnas mereka. Di kedua cabang itu, sebagian besar pelatih kerap dikirim dan didanai untuk mendapatkan sertifikasi internasional.
    Dengan pola seperti itu, PB PASI dan PB PRSI tak khawatir akan kesinambungan prestasi. Paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Kedua organisasi itu beruntung karena memiliki ketua umum Mohammad Bob Hasan dan Hilmy Panigoro, pengusaha mapan yang memang ”gila” olahraga.
    Tak Bisa Sendiri
    Kesinambungan prestasi yang merupakan puncak dari bangunan piramida olahraga juga tak lepas dari terus tersedianya potensi-potensi belia yang bisa dibentuk menjadi atlet elite. Kedua induk organisasi atletik dan renang pun sepakat akan hal itu.
    Oleh karena itu pula PASI rutin menggelar kejuaraan atletik anak-anak dan sekolah di sela-sela pelaksanaan kejuaraan nasional ataupun daerah. PRSI juga mengandalkan Kejuaraan Renang Antar-perkumpulan yang rutin digelar di tingkat nasional dan daerah.
    Namun, Tigor mengakui, bentuk pencarian bibit dan pembinaan (khususnya di luar pelatnas) yang ada belumlah ideal, misalnya belum semua pengurus daerah rutin menggelar kejuaraan dan pemantauan. Selain itu, banyak daerah (yang meski kaya-raya dengan adanya otonomi daerah) tidak memiliki sarana atletik cukup baik. Tak perlu trek sintetis, lapangan rumput yang terawat pun jarang.
    Memang, tidak ada rumus baku berapa persen talenta yang ada dari satu populasi. Namun, semakin besar populasi itu bisa dipantau, semakin besar pula peluang untuk menjaring atlet berbakat. Tigor menamsilkannya dengan, ”Saat ini masih banyak beras yang belum tertampung dalam tampah yang ada.”
    Di renang, hal tersebut kian berat setelah cabang itu tak lagi menjadi olahraga wajib di sekolah dasar dan menengah pertama. Yang jelas, PASI dan PRSI semata tak akan mampu memperbesar ”tampah” itu. ”PASI itu cuma LSM. Kami tak mungkin bisa sendirian,” ujar Tigor.
    (Yunas Santhani Aziz)
  • Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?

    Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?
    Iding R Hasan, DOSEN ILMU POLITIK FSH UIN JAKARTA DAN DEPUTI DIREKTUR BIDANG POLITIK
    THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Setelah penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bandung, baru-baru ini ada isu yang menarik tentang merapatnya partai kepala banteng tersebut ke Partai Golkar (PG).

    Pernyataan sejumlah elite politik dari kedua partai itu agaknya memberikan sinyal ke arah sana, seperti yang diungkapkan Taufik Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Lalu Mara,Wasekjen Golkar yang notabene orang dekat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Di antaranya menyebutkan bahwa telah terjalin komunikasi yang baik antar kedua ketua umum partai besar tersebut untuk mencoba menjajaki kemungkinan koalisi.

    Merapatnya partai kepala banteng ke partai beringin dapat diduga mengarah pada kepentingan Pemilu 2014, terutama terkait dengan calon presiden (capres) dan calon presiden (cawapres). Sebagaimana diketahui, Golkar telah resmi mencalonkan Ical sebagai capres, sedangkan PDIP––meskipun belum secara resmi menetapkan, telah memberikan sinyal untuk mempromosikan putri Megawati, Puan Maharani. Jika ini kemudian berakhir pada koalisi, kemungkinan besar Ical akan berduet dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.

    Peluang

    Isu koalisi banteng dengan beringin dengan muara penduetan Ical-Puan sebagai capres- cawapres pada Pemilu 2014, secara politik tentu sesuatu yang mungkin. Bahkan, ada sejumlah faktor yang tampaknya bisa mendukung kemungkinan koalisi tersebut. Pertama, sekarang ini dengan banyaknya partai politik (parpol) yang ikut dalam pemilu, sulit bagi setiap parpol untuk melenggang sendirian dalam kontestasi pemilihan presiden, termasuk partai besar seperti Golkar dan PDIP.

    Kedua, duet Banteng-Beringin, kalau benar-benar terjadi agaknya relatif mudah,karena justru keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan,baik secara ideologis, platform politik dan sebagainya. Ketiga,peluang Puan Maharani untuk dicalonkan PDIP sangat besar dilihat dari hasil kongres. Sebagaimana diketahui, jika pada Kongres PDIP I dan II ditegaskan bahwa ketua umum partai otomatis menjadi capres, pada Kongres III tahun yang lalu tidaklah demikian.

    Ketua umum tidak dinyatakan otomatis sebagai capres,tetapi hanya diberikan hak prerogatif untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan.Dengan kata lain,Megawati meskipun tidak secara otomatis menjadi capres, tetapi tetap merupakan decision maker di tubuh partai kepala banteng. Dalam konteks seperti ini, tentu saja peluang Puan Maharani sangat besar bahkan mungkin terbesar dibandingkan kader-kader PDIP yang lain.

    Keempat, kecenderungan seiramanya kader-kader PDIP dan Golkar di DPR dalam sejumlah kasus setidaknya bisa memuluskan niatan koalisi. Meskipun PDIP memainkan peran oposisi, sementara Golkar tergabung dalam koalisi pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, namun hal itu agaknya tidak menjadi penghalang. Pada kasus-kasus seperti dana talangan (bailout) Bank Century,pemilihan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

    dan rencana pengajuan interpelasi atas kebijakan Kemenkumham terkait pengetatan pemberian remisi bagi nara pidana koruptor belum lama ini, kader kedua partai tersebut tampak satu suara. Kelima, peluang duet Ical- Puan juga cukup menjanjikan dalam peta persaingan pimpinan nasional pada Pemilu 2014 dilihat dari beberapa aspek.

    Dari aspek generasi, duet ini memperlihatkan kolaborasi antara generasi tua dan muda sehingga bisa menjawab aspirasi masyarakat yang menghendaki kalangan muda tampil di pentas nasional. Sementara itu kalau dilihat dari aspek etnis, duet ini juga menampilkan percampuran antara Sumatera dan Jawa sehingga bisa saling mengisi. Dan dari aspek gender, tentu kemunculan Puan Maharani cukup menjadikan magnet bagi para pemilih terutama dari kalangan perempuan.

    Melangkahi Tradisi

    Namun demikian, rencana koalisi Banteng dan Beringin bukan berarti tidak memiliki kendala sama sekali. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menghambat kemungkinan koalisi. Pertama, bagi PDIP, figur Ical agaknya akan menjadi catatan tersendiri terutama terkait dengan kasus lumpur Lapindo, yang notabene akan mengganggu pencitraan mereka sebagai partai pengusung kerakyatan.

    Demikian pula nama Ical kerap disebut dalam kaitannya dengan kasus mafia pajak yang telah menyeret Gayus Tambunan ke balik jeruji. Realitas ini tentu harus dikalkulasikan secara matang supaya tidak menjadi bumerang bagi PDIP. Kedua, secara historis PDIP dan Golkar tidak pernah berkoalisi dalam setiap pemilu. Meskipun antara kedua partai tersebut lebih banyak memperlihatkan persamaan dalam berbagai hal, ada barrier yang cukup kuat antara keduanya, antara lain egoisme sebagai partai besar.

    Sejak dulu,baik PDIP maupun Golkar tidak pernah mau mengajukan kadernya untuk menjadi cawapres bagi capres dari partai lain.Kasus Jusuf Kalla (JK), yang notabene kader Golkar,yang pernah menjadi cawapres SBY pada Pemilu 2004, merupakan kasus yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa JK ketika itu maju sebagai cawapres tidak dicalonkan oleh Golkar.Golkar sendiri ketika itu mengusung Wiranto sebagai capresnya yang resmi.

    Ketiga, keputusan kedua partai tersebut yang akan menentukan koalisi secara resmi pascapemilihan legislatif (pileg), juga bisa menghambat. Tentu saja baik PDIP maupun Golkar sama-sama ingin mengukur kekuatan dulu. Kalau PDIP yang memenangi pileg, bukan tidak mungkin partai ini akan lebih memprioritaskan kadernya sebagai capres, bukan cawapres. Kalau ini yang terjadi, tentulah Golkar tidak akan bersedia karena sudah memutuskan Ical sebagai capres secara final.

    Peluang koalisi akan sangat besar kalau suara yang diperoleh Golkar melebihi perolehan suara PDIP. Jika ini yang terjadi,mau tidak mau PDIP harus bersedia melepaskan egonya, sekaligus melangkahi tradisi selama ini dengan hanya menjadikan kadernya sebagai cawapres. Bagaimanapun,koalisi merupakan langkah yang sah dalam politik.Hanya,PDIP harus cermat memperhitungkan berbagai konsekuensi politik yang mungkin akan timbul dari langkah tersebut. Jangan sampai hanya karena terdorong ambisi untuk menjadi pemenang, tetapi justru malah menjadi bumerang di kemudian hari.  

  • Jokowi untuk DKI-1?

    Jokowi untuk DKI-1?
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Dalam seminggu ini, saya pulang ke Solo dua kali memenuhi undangan dua perguruan tinggi yang sedang demam dengan hal yang berkaitan dengan kata kreatif. Saya menggunakan kata “pulang”, dan bukan pergi, karena inilah bahasa percakapan masyarakat Solo untuk menyebutkan mereka yang dilahirkan di kota budaya yang bersemboyan “masa depan Solo adalah kejayaan masa lalu”.

    Bahwa kenyataannya saya sudah ber-KTP Jakarta, dan termasuk KTP seumur hidup, tidak menghalangi istilah pulang. Dua kali pula saya bertemu dengan kelompok warga yang melakukan “demo Jawa”— berpawai dengan tertib, sebagian mengenakan busana Jawa—yang bertujuan menahan Wali Kota Jokowi, agar tidak maju dalam pemilihan sebagai gubernur DKI Jakarta. Bagi mereka, posisi DKI-1 adalah godaan politik,bukan dinamika kepemimpinan.

    Perahu dan Uang Perahu

    Ini peristiwa menarik. Sebagian warga Solo yang nggondeli— melepas kepala tapi menahan ekor—merasakan selama ini kepemimpinan anak pinggiran yang insinyur kayu dan berjualan mebel ini memberi bukti keamanan dan kenyamanan kota, yang juga dijuluki “sumbe pendek”—mudah meledak dalam huru-hara. Bagi sebagian yang lain, yang bukan warga setempat, kehadiran Jokowi melintasi batas geografis kota yang hanya memiliki lima kecamatan.

    Prestasi memindahkan 957 pedagang kaki lima yang sudah bercokol sejak zaman Jepang di suatu tempat ke tempat lain dengan damai, bahkan dalam bentuk kirab—iringan pawai kemenangan,dianggap pendekatan yang memenangkan semua pihak.Baik para pedagang mempunyai izin resmi maupun pemda yang diuntungkan dengan pajak. Media massa masih mengulang keberhasilan ini, mana kala di tempat lain terjadi kerusuhan untuk hal yang sama.

    Juga ketika masalah kemewahan berlebihan menjadi sorotan, ingatan kepada Jokowi yang tak berganti mobil bekas menjadi perbandingan. Atau bagaimana wong cilik mendapat pelayanan kesehatan gratis, atau pendidikan, sampai pembagian sentra produksi kerajinan rakyat, dan atau juga menaikkan peringkat sebagai kota tujuan wisata. Dibuktikan dengan pengukuhan berbagai penghargaan resmi— termasuk pejabat yang antikorupsi.

    Ibarat kata,modal sosial Jokowi lumayan harum dan mendapat apresiasi tinggi. Dalam peta keseluruhan di mana wajah calon atau pemimpin yang mengerikan atau penuh polesan, Jokowi justru tampil sederhana, apa adanya. Ini menjadi pesona yang tak semua kandidat memiliki. Namun, realitas politik dalam alam demokrasi ini bukan hanya modal pesona dan prestasi belaka, melainkan harus ada “perahu”, atau kendaraan politik, yang diusung dan didukung partai politik.Maju sebagai calon perorangan, untuk DKI yang menggiurkan ini sangat riskan.

    Dan kandang Jokowi adalah PDIP,yang menemukan wujud keberpihakan pada wong cilik. Namun, agaknya PDIP masih bersikap gendulakgendulik, terbaring antara yes atau no,antara ya dan tidak. Padahal dalam kejaran waktu yang pendek ini,semboyan “lebih cepat lebih baik”— tanpa visual menggulung lengan baju yang memberi kesan menantang—adalah jawaban tegas yang ditunggu.

    Akan banyak merugikan kalau soal perahu dan “uang perahu” banyak menghabiskan waktu dan mempertebal sikap ragu, yang justru mengganggu. Kalau saya menggunakan istilah “uang perahu”, karena dalam kosakata Jawa, buruh prau, adalah buruh yang harus dibayar cash, kontan,ketika menyeberangkan penumpang. Ini berbeda dengan buruh batik misalnya, yang biasa dibayar mingguan atau bulanan.

    Banjir dan Macet

    Sejauh saya tahu—dan yang saya ketahui tidak jauh-jauh amat, atau menurut pendapat saya—dan pendapatan saya masih pas-pasan,atau juga menurut hemat saya—yang memang harus berhemat, modal kepemimpinan dan penampilannya selama ini membuktikan kata kunci: jujur,kerja keras, memihak kepada wong cilik tanpa memerangi orang gede, telah menyatu.

    Lebih dari itu,kemampuannya mengelola atau mengoordinasi potensi yang ada merupakan kelihaian yang selama ini jarang diperlihatkan. Kemampuan yang disejajarkan dengan kemauan dalam koordinasilah yang memungkinkan tempat baru bagi para pedagang kaki lima, memungkinkan berubahnya pasar tradisional tanpa menggusur, atau pengadaan KTP dalam satu hari.

    Semua ini menunjukkan bagaimana mengoordinasikan kekuatan yang ada. Bahkan kalau DKI selalu diasosiasikan dengan hantu laten bernama macet dan banjir, rasa-rasanya juga soal tidak becusnya pengelolaan kemampuan yang ada.Karena permasalahannya jelas, ahliahlinya lebih dari cukup,dana bukan masalah. Tinggal bagaimana melakukan koordinasi, mempertanggung jawabkan secara transparan, dan memberi prioritas serta yang penting menekuninya secara profesional.

    Pendekatan yang sama dan bisa sekaligus dengan penanganan transportasi apakah namanya kereta api yang tiangnya kini mangkrak, atau gedung sekolah yang roboh. Kepemimpinan dan pembenahan DKI sangat menarik. Bukan hanya karena inilah ibu kota kita, bukan karena menjadi pusat segalanya, juga bukan karena anggarannya mencapai sekian triliun belaka, melainkan dan terutama adalah bagaimana mengelola dinamika masyarakatnya yang merupakan keindonesiaan kita.

    Kadang saya merasa bahwa ungkapan yang ditertawakan bahwa “Jakarta is my country”mengandung kebenaran dari sisi ini. Pada akhirnya, atau sebenarnya pada awalnya, inilah yang akan kita saksikan bersama. Apakah para elite politik lebih mementingkan kepentingan komunitas intern semata, atau mampu memandang lebih jauh dari batang hidungnya. Dan atau,agar tidak mempertajam dikotomi umum ini, apakah mampu mengelola dua atau tiga kepentingan ini.Dan bisa juga berpuas diri atas frustrasi yang masih memberikan rezeki. DKI menjadi taruhannya.  

  • Kebijakan Iklim di ASEAN

    Kebijakan Iklim di ASEAN
    Handa S. Abidin, PENELITI HUKUM PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL;
    KANDIDAT PH.D DARI EDINBURGH LAW SCHOOL
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Negosiasi perubahan iklim skala internasional baru saja berakhir di Durban, Afrika Selatan (28 November– 11 Desember 2011). Dalam pertemuan Durban, ASEAN tidak memberikan suatu pernyataan khusus ketika pertemuan tingkat tinggi (high-level segment) berlangsung.

    Walaupun demikian, pemimpin ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap dengan menyepakati ASEAN Leader’s Statement on Climate Change to the COP-17 and CMP-7 pada pertemuan ASEAN di Bali pada November 2011 lalu, dengan tujuan untuk menyikapi pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) di Durban. Terdapat paling tidak dua hal penting dalam pernyataan ASEAN mengenai perubahan iklim tersebut.

    Pertama, ASEAN mendesak suatu perjanjian penurunan emisi oleh negara maju yang mengikat secara hukum setelah tahun 2012 berakhir. Namun demikian, desakan ini tidak berhasil diwujudkan.Negosiasi Durban berakhir dengan kekecewaan bagi sebagian pihak karena tidak adanya suatu kesepakatan mengikat secara hukum untuk melanjuti komitmen penurunan emisi periode kedua di bawah Protokol Kyoto. Kedua, ASEAN menekankan pentingnya kegiatan tukar pandangan dan peningkatan kerja sama antarnegara ASEAN untuk menangani masalah perubahan iklim.Poin kedua ini dirasa perlu untuk dikembangkan lebih lanjut.

    Kebijakan Negara ASEAN

    Walaupun ASEAN tidak mengeluarkan pernyataannya di COP-17, sebagian besar negara yang tergabung dalam ASEAN telah memberikan pernyataan mewakili negara masing-masing ketika pertemuan tingkat tinggi berlangsung di Durban. Pada umumnya, negara ASEAN mendukung kesepakatan pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto dan mendesak pemberian dana oleh negara maju untuk kepentingan penanganan masalah perubahan iklim di negara berkembang.

    Indonesia tidak begitu menjelaskan kebijakan perubahan iklim dalam negeri melalui pernyataan sikapnya. Indonesia lebih mendesak pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto, mendukung pelaksanaan Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs),mempertanyakan pendanaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD-plus), pengoperasian Adaptation Committee dan masalah transfer teknologi.

    Filipina dalam pernyataannya menekankan pentingnya bantuan finansial dari negara maju dan berharap Dana Iklim Hijau dapat mengakomodasi hal tersebut. Thailand dalam pernyataannya menjelaskan komitmen untuk secara nasional menggantikan 25% energi tidak terbarukan dengan energi terbarukan mulai dekade mendatang. Pernyataan sikap yang menjelaskan kebijakan dalam negeri secara lebih mendalam datang dari Malaysia dan Singapura.

    Malaysia dalam pernyataan sikapnya memberikan sejumlah inspirasi menarik. Pertama, Malaysia telah memberikan insentif secara finansial (cash rebate incentive) apabila konsumen membeli produk ramah lingkungan. Kedua, Malaysia juga telah menghapus pajak impor dari kendaraan hibrida ramah lingkungan dan mendukung penggunaan kendaraan hibrida tersebut.Ketiga,

    Malaysia kini memiliki suatu kebijakan yang dinamakan Green Building Index Certification Scheme, yang saat ini telah memberikan sertifikat ramah lingkungan kepada 44 gedung di Malaysia. Keempat, pemerintah Malaysia tidak memperbolehkan suhu udara di perkantoran lebih dingin dari 24 derajat Celsius.Adapun Singapura dalam pernyataan sikapnya juga menyatakan dukungannya terhadap kendaraan elektrik, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan gedung ramah lingkungan (green building).

    Contoh Malaysia dan Singapura

    Saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang- undangan untuk mengakomodasi upaya penanganan masalah perubahan iklim. Salah satu peraturan teranyar adalah Perpres Nomor 61/2011 yang mengatur target penurunan emisi per sektor secara nasional, dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk mengerjakan hal serupa.Walaupun Indonesia sudah dipenuhi oleh berbagai instrumen hukum mengenai penanganan perubahan iklim, hal ini tidak menjadikan Indonesia sertamerta sebagai negara terdepan dalam melakukan terobosan baru dalam konteks pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim.

    Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama,Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim di Indonesia masih terbilang lemah dalam melaksanakan fungsinya. Koordinasi terhadap para anggota yang sebagian besar terdiri atas sejumlah menteri dirasa masih sekadar formalitas.Kedua,DNPI dinilai masih kurang inovatif dalam menelusuri kegiatan penanganan perubahan iklim yang sebetulnya beraneka ragam bentuknya.

    Pelaksanaan dari Perpres 61/2011 harus dapat lebih banyak menangkap berbagai bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim dari skala kecil sampai dengan skala besar.Apa yang telah dilakukan di Malaysia dan Singapura seperti yang telah dijelaskan di atas,dapat dijadikan sebagai suatu referensi dalam penanganan masalah perubahan iklim di Indonesia.

    Kebijakan-kebijakan seperti ini bukan hanya akan membantu mengurangi tingkat emisi Indonesia secara nasional, namun juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di arena negosiasi perubahan iklim tingkat global sebagai negara berkembang penganut ekonomi ramah lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara ASEAN. Upaya apa pun baik skala kecil, menengah, maupun besar perlu dilakukan untuk mencegah dampak perubahan iklim menjalar semakin luas.Tukar pandangan dan kerja sama antarnegara ASEAN perlu ditingkatkan lebih jauh.