Category: Uncategorized

  • Tantangan Peran Global Indonesia

    MENYAMBUT INDONESIA 2012
    Tantangan Peran Global Indonesia
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Tahun 2012 akan menjadi masa yang berat bagi Indonesia. Banyak tantangan yang harus dihadapi di tingkat regional dan internasional, di dalam negeri pun masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

    Di level regional, kiprah Indonesia di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 2012 akan semakin kurang dominan karena sudah tidak menjadi ketua. Pada 2012 posisi ketua ASEAN dipegang Kamboja. Padahal pada tahun itu kondisi geopolitik regional dan global sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan signifikan.

    Penempatan 2.500 marinir Amerika Serikat (AS) di Australia akan semakin memperkeruh stabilitas regional ASEAN. Ditambah lagi dengan semakin memanasnya konflik di Laut China Selatan. Di sisi lain, ASEAN sedang berkutat dengan berbagai masalah internal masing-masing anggota yang belum terselesaikan. Lantas bagaimana dengan kiprah Indonesia pada 2012? ”Sebetulnya diplomasi kita pada 2012 akan jauh lebih sulit dan lebih keras.

    Banyak tantangan yang dihadapi dalam hubungan bilateral dan multilateral.Pekerjaan rumah kita dengan negara tetangga masih banyak yang belum diselesaikan,misalnya dengan Malaysia,Singapura,Timor Leste,bahkan Papua Nugini,” ujar Profesor Anak Agung Banyu Perwita, Ketua Jurusan Hubungan Internasional, President University,kepada SINDO.

    Menurut Profesor Banyu, banyak masalah domestik Indonesia yang belum selesai, antara lain di Papua, mekanisme koordinasi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan yang belum beres,serta masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga.”Di tahun depan kita masih disibukkan oleh berbagai masalah di tingkat domestik. Sementara ada penempatan 2.500 marinir AS di Australia. Penempatan marinir AS itu berpengaruh besar dalam perubahan geopolitik kawasan,” tuturnya.

    Tantangan semakin berat bagi ASEAN karena organisasi regional ini mencoba menggelindingkan rencana Bali Concord 3 tahun depan, dengan keanggotaan Timor Leste,serta ambisi pembentukan komunitas ekonomi, politik,d an keamanan kawasan. Pertanyaan besar lainnya adalah apakah Kamboja mampu berperan maksimal sebagai ketua ASEAN pada 2012?

    ”Kamboja akan mengalami kesulitan dalam pola interaksi negara-negara besar di ASEAN. Kita ingin mendorong ASEAN Community, dan komunitas politik dan keamanan, serta menyelesaikan banyak masalah perbatasan di ASEAN. Padahal Kamboja berkonflik perbatasan dengan Thailand. Apalagi China juga memberikan respons terhadap penempatan marinir AS di Australia,” ungkap Profesor Banyu.

    Banyu memperkirakan masa yang muram bagi ASEAN pada 2012.” Di bawah kepemimpinan Kamboja, ASEAN akan stagnan dan lebih banyak menghadapi masalah internal, ”katanya. Dengan semakin menguatnya pengaruh China di Asia Tenggara, Profesor Banyu melihat kemungkinan Kamboja akan lebih mengandalkan Beijing sebagai pengimbang AS.

    ”Selain itu ada perkembangan hubungan Myanmar dan AS. China tak akan tinggal diam dengan menguatnya pengaruh AS di Myanmar.China akan lebih menguatkan pengaruhnya di ASEAN,” ungkapnya. Di tengah kompleksitas permasalahan domestik, regional, dan global, lantas bagaimana kiprah Indonesia dalam berbagai organisasi multilateral seperti G20 dan APEC pada 2012?

    ”Tahun depan tak banyak yang bisa diharapkan dari kiprah Indonesia di dunia global,” papar Banyu, ”saya tak terlalu berharap Indonesia dapat memerankan peran lebih baik. Masih banyak pekerjaan rumah di dalam negeri yang harus diselesaikan. Indonesia di G-20 atau organisasi multilateral lain akan lebih banyak menerapkan diplomasi megafon, yakni diplomasi yang formal dan tidak terlalu banyak mempengaruhi arah kebijakan.”

    Namun,di tengah ketidakpastian dalam konflik di Laut China Selatan Profesor Banyu melihat perkembangan baik dengan adanya kesepakatan yang tercapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali tahun 2011.” Kita sudah cukup maju, saat ini ada Code of Conduct, meski secara implementasi saya tak melihat terlalu jauh. Terkait apakah China akan mematuhinya, penerapannya ditentukan apakah kepentingan China tak terganggu,” kata Profesor Banyu yang juga mengajar di Universitas Pertahanan Indonesia.

    Profesor Banyu memperingatkan agar Indonesia lebih waspada dengan langkah-langkah militer AS di Asia. ”Penempatan marinir AS di Darwin, Australia, akan membuat China lebih agresif. China akan tetap menggunakan kekuatan softpowerdan kekuatan militernya. Juru Bicara Pemerintah China sudah mengatakan bahwa penempatan marinir AS di Darwin menunjukkan mentalitas perang dingin yang dicirikan dengan unjuk kekuatan militer,” tuturnya.

    Indonesia merupakan negara kaya dengan sumber daya alam,namun yang menikmatinya justru negaranegara asing. Padahal jika semua potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya dimanfaatkan secara maksimal,itu akan menjadi kekuatan besar bagi Indonesia. Menurut Banyu, Indonesia memiliki kekuatan yang belum dimainkan dalam diplomasi multilateral.” Kita memiliki kekuatan ekonomi yang baik.Krisis Eropa yang sedang terjadi dampaknya tidak terasa di negara kita.

    Bahkan tanda-tanda krisis itu pun belum muncul di sini. Selain itu,Indonesia memiliki posisi strategis,” katanya. Posisi strategis yang dapat dimainkan Indonesia adalah dengan memanfaatkan perebutan pengaruh yang sedang terjadi di Asia, antara AS dan China. Ketegangan yang terjadi antara kedua pihak itu seharusnya dapat dimanfaatkan bagi tujuan strategis Indonesia.

    Sayangnya,Indonesia terkesan tidak memiliki daya tawar dalam menghadapi berbagai manuver negaranegara besar di Asia.Misalnya saja terkait rencana penempatan 2.500 marinir AS di Australia pada 2012.” Saya khawatir kita mengiyakan kehadiran pasukan AS di Australia.Pemimpin kita tidak melakukan apa-apa dengan rencana penempatan pasukan AS tersebut. Kita sangat tidak konsisten dalam menerapkan politik bebas aktif di kawasan,” sesalnya.

    Tak ada pilihan lain, pemimpin Indonesia harus bertindak cepat dengan mengamankan kepentingan nasional.Keberadaan marinir AS di Australia dapat dilihat sebagai shockdan pressure nyata di Asia Tenggara. Meskipun Washington berdalih penempatan pasukan itu untuk kerja sama dalam penanganan bencana. Namun,motif lain dari keberadaan pasukan asing dalam jumlah besar itu sudah jelas dapat terbaca.

    Keberadaan ribuan anggota pasukan marinir AS itu tampaknya memiliki pengaruh atas semakin beraninya Gerakan Papua Merdeka memublikasikan aksi-aksi mereka. Pemimpin kita juga terkesan kurang tegas dalam menindak Gerakan Papua Merdeka karena seakan ada intervensi asing yang menghalangi. ”Kita harus melindungi kepentingan nasional dalam diplomasi-diplomasi kita.

    Caranya antara lain dengan modernisasi alutsista, perubahan kebijakan militer, prioritas penempatan pasukan di wilayah timur Indonesia,dan penguatan pangkalan militer di Natuna, Manado,dan Makassar,” papar Profesor Banyu, ”dalam kebijakan luar negeri,kita harus melakukan pendekatan ke China, Filipina ,Australia, dan Papua Nugini.” Posisi strategis Indonesia seharusnya dapat dimaksimalkan dengan menjalin berbagai kerja sama dengan negara-negara lain.

    ”Indonesia juga perlu menjajaki kerja sama dengan Rusia, sebagai pengimbang AS. Kita bangun hubungan strategis antara Indonesia dan Rusia, serta Indonesia dan China, ” ungkapnya. Rusia dan China dianggap dapat memainkan peran pengimbang bagi berbagai manuver AS di Asia Tenggara. Rusia yang mumpuni dalam bidang persenjataan dan China yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, dapat dimanfaatkan untuk membantu Indonesia membangun ekonomi dan kekuatan militernya.

    Jika ekonomi dan militer yang kuat itu ditambah dengan kematangan bangsa dalam berdemokrasi,ketiga hal ini menjadi kekuatan Indonesia dalam diplomasi global. Tanpa tiga pilar itu, kita hanya akan menjalankan diplomasi megafon, entuk diplomasi yang formal, lemah, dan tak banyak diperhitungkan negara lain.  

      
  • Saatnya yang Muda Memimpin

    MENYAMBUT INDONESIA 2012
    Saatnya yang Muda Memimpin
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Hasil survei calon presiden belakangan ini yang menyatakan politik 2014 masih didominasi wajah lama seolah membenarkan bahwa dunia politik Indonesia tidak mengenal regenerasi.

    Sebetulnya ada banyak politisi muda yang kini namanya sedang bersinar berpotensi memimpin bangsa ke depan. Misalnya Anas Urbaningrum yang berhasil terpilih sebagai ketua umum partai terbesar di Indonesia.Kemudian ada Puan Maharani,cucufounding fatherSoekarno,dari PDIP. Namun,elektabilitas mereka masih tenggelam dibandingkan politisi lain. Regenerasi politik sudah terjadi di dunia legislatif.

    Di DPR, mayoritas penghuni Senayan berasal dari usia relatif muda, yaitu 40–50 tahun. Sayangnya, Tidak ada satu pun parpol yang mengusung tokoh muda sebagai capres. Tokoh-tokoh muda kalah pamor dari seniorseniornya. Seberapa besar peluang politisi muda untuk menjadi pemimpin bangsa? Jika melihat peta politik nasional, peluang tokoh muda dalam Pilpres 2014 cukup besar.

    Dua figur sentral yang selalu mendominasi kepemimpinan nasional selama delapan tahun terakhir, SBY dan Megawati, hampir dapat dipastikan tidak akan mencalonkan diri. SBY sudah menjabat sebagai presiden dua periode, sedangkan Megawati yang kalah di dua pilpres sudah berusia senja. Pada pembukaan rapat koordinasi Hipmi di kawasan SCBD Jakarta Juni 2011 lalu, Presiden SBY telah mengisyaratkan bahwa dirinya dan keluarganya tidak akan maju dalam Pilpres 2014.

    Pernyataan itu merespons isu yang muncul di publik bahwa Ibu Negara Ani Yudhoyono disebut akan maju sebagai capres pada 2014. Sinyal yang sama juga ditunjukkan Ketua Dewan Pertimbangan PDIP Taufiq Kiemas yang mengatakan bahwa Megawati sebaiknya tidak mencalonkan lagi. ”Megawati sudah 68 tahun (pada 2014), sudah waktunya kaderisasi,” ujar Taufiq beberapa waktu lalu.

    Dengan demikian, peluang tokoh muda untuk muncul sebagai pemimpin alternatif sangat terbuka lebar. Karena itu, sudah saatnya pemimpin muda bersaing di pentas kepemimpinan nasional, bahkan menjadi pemenang pada Pilpres 2014. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mengatakan, pentas Pemilu 2014 bisa diambil sebagai kesempatan emas bagi para pemimpin muda untuk menduduki tampuk kepemimpinan nasional.

    “Perjalanan reformasi sudah cukup panjang dan kita sudah melewati empat pemilu. Dari perjalanan itu, para figur muda sudah mendapat banyak pengalaman dan banyak pelajaran sehingga 2014 adalah saatnya para pemuda tampil di depan,” ujarnya. Anies menambahkan, banyak pos kepemimpinan yang bisa diisi para tokoh dan pemimpin muda potensial di negeri ini.

    Kualifikasi kepemimpinan dan daya saing pemuda sangat dibutuhkan untuk menduduki kursi-kursi strategis nasional,termasuk di instansi pemerintahan. “Sekarang kepemimpinan pemuda itu dibutuhkan dan karena itu porsi figur muda dalam pembangunan bangsa ke depan akan semakin banyak. Para figur muda itu kansangat dinamis, memiliki karakter serta kemampuan berkompetisi.

    Keunggulan pemuda ini akan menjadi modal utama dalam pembangunan Indonesia ke depan,” ucapnya. Anies menjelaskan,sejak dibukanya keran demokrasi melalui Reformasi 1998,para pemimpin muda sebenarnya sudah menancapkan kiprahnya di berbagai bidang. Kondisi ini akan menciptakan persaingan sehat dan positif, tidak hanya antara politikus muda dan tua,tapi juga kompetisi antarsesama politisi muda.

    “Kondisi ini tentu sangat sehat bagi kemajuan bangsa Indonesia,” terangnya. Pengamat politik dari Indo Barometer M Qodari menilai animo publik terhadap pemimpin muda masih terbentur pada realitas politik. Menurut dia, realitas politiknya selalu didominasi tokoh-tokoh senior.“ Padahal masyarakat pemilih yang dari kalangan muda itu sangat signifikan. Tapi kenapa itu tidak diikuti oleh munculnya pemimpin muda,” ujarnya.

    Dia memprediksi realitas seperti itu masih akan terjadi di Pilpres 2014.Menurut beberapa survei,jelas dia, nama-nama tokoh muda pimpinan parpol yang umurnya di bawah 50 tahun itu seperti Muhaimin Iskandar, Lutfi Hasan Ishaaq, Anas Urbaningrum, Puan Maharani, dan Sri Mulyani ternyata belum muncul dan tidak mendapat dukungan signifikan.“ Apalagi, beberapa di antaranya disebut-sebut tersangkut kasus korupsi.

    Maka sulit bagi mereka untuk tampil pada 2014,”jelasnya. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto mengatakan,para calon pemimpin dari kalangan pemuda harus memiliki kompetensi dan berani melawan pragmatisme politik. “Keberanian dan idealisme itu baru bisa terwujud jika ada kompetensi dari calon pemimpin muda.

    Sebab yang akan mereka kembangkan adalah karya nyata berdasarkan kompetensi yang dimiliki,” ujar Bima kepada SINDO. Bima menjelaskan, pemimpin muda tak bisa hanya mengandalkan retorika,sedangkan dalam praktik nyata mereka justru alpa.“ Jika punya kompetensi, saya yakin pemimpin muda akan tahan ujian. Sebab ujian terbesar yang harus dilawan adalah korupsi dan pragmatisme,” ujarnya.

    Lebih jauh dia menjelaskan, politisi muda bisa bersaing bukan dengan senjata retorika ataupun hanya berdasarkan semangat juang. Lebih dari itu,para pemimpin muda dituntut mampu menunjukkan integritas, kapasitas, sekaligus rekam jejak mereka.“ Artinya harus ada prestasi dan kiprah yang menunjukkan bahwa pemuda itu mampu.Jadi sangat terbuka lebar pintu bagi para pemimpin muda untuk bersaing di pentas atas politik nasional,” terangnya.

    Agen Perubahan

    Tampilnya banyak calon pemimpin muda memberikan energi positif karena dinilai lebih mampu membawa perubahan bagi negeri ini.Tak salah apabila kaum muda dikatakan sebagai agen perubahan sosial.Berkaca pada sejarah,setiap tonggak kebangkitan nasional selalu dimotori kaum muda, misalnya Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928,dan masa pergerakan dan revolusi 1945-1949.Dinamika perubahan politik tahun 1965,1974 dan 1998 juga dimotori pemuda.

    Di setiap lintasan sejarah itu muncul tokoh-tokoh muda yang menjadi pemimpin di masanya. Bung Karno,Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka adalah sedikit di antara banyak nama yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia.Tidak hanya itu, pemikiran, gagasan, dan tindakan mereka tidak terbatas di lingkup politik dalam pengertian sempit, tapi juga bergulat dalam ide-ide kebangsaan.

    Merekalah peletak dasar-dasar kebangsaan Indonesia. Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada usia 26tahun,dan berhasil menjadi presiden RI pertama di usia 44 tahun. Gagasan besarnya tentang Pancasila menjadi perekat bangsa dan tidak pernah pudar setelah lebih dari 60 tahun. Bung Hatta pada usia 19 tahun sudah bertolak ke Belanda untuk belajar ekonomi,dan akhirnya menjadi wakil presiden RI pertama di usia 43 tahun.

    Di sela-sela studinya Hatta memimpin organisasi Perhimpunan Indonesia dari Belanda, dan memperkenalkan nama ”Indonesia”- nama yang sangat tabu bagi pemerintah Kolonial Belanda- di forumforum dan acara liga bangsa internasional. Sjahrir menjadi perdana menteri pertama pada usia 36 tahun.

    Tan Malaka berpidato di Moskow sebagai pemimpin forum Komintern IV, sebuah perserikatan buruh dari seluruh penjuru dunia,pada usia kurang dari 30 tahun. Luar biasa, sebab apa yang diraih para founding father di atas tidak diperoleh secara instan, bahkan sebagian waktunya dihabiskan di tanah pengasingan.  

      
  • Mencontoh Semangat Sabar Gorky-Nelson Tansu

    MENYAMBUT INDONESIA 2012
    Mencontoh Semangat Sabar Gorky-Nelson Tansu
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Ditengah berbagai persoalan kebangsaan yang belum terselesaikan,ada secercah optimisme yang dibawa kaum muda. Mereka adalah juara,mereka memberikan contoh,dan mereka meraih kebanggaan dalam usia yang masih muda.

    Munculnya tokoh-tokoh muda berprestasi di berbagai bidang turut memberikan angin segar di tengah karutmarut yang terjadi di negeri ini.Ternyata,di luar masalah korupsi atau masalah kesejahteraan yang hingga kini belum terselesaikan,ada hal-hal lain yang bisa membawa Indonesia pada sebuah pencerahan. Kita bangga kepada anakanak muda yang meraih medali emas Olimpiade Sains Internasional.

    Kita juga bangga kepada para olahragawan muda kebanggaan nasional seperti petinju Chris John,32,atau pembalap GP3 Series Rio Haryanto,18,yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Mereka bagai oase di tengah-tengah kondisi masyarakat yang merasa kering atas kebanggaan sebagai sebuah bangsa.

    Salah satunya adalah Sabar Gorky yang berhasil menembus puncak Gunung Elbrus di Rusia dan menaklukkan puncak Gunung Kilimanjaro di Tanzania hanya dengan satu kaki! Mungkin tidak ada yang menyangka, seorang penyandang difabel (different ability) mampu mendaki sampai puncak gunung di tengah dinginnya suhu di bawah nol derajat. Namun,Gorky mampu membuktikannya.

    Gunung Elbrus adalah satu dari 7 puncak gunung tertinggi di dunia (Seven Summit) dan merupakan puncak tertinggi di Eropa.Bertepatan dengan HUT RI ke-66 yang lalu,pria 43 tahun itu berhasil menancapkan Merah Putih di puncak gunung berketinggian 5.642 mdpl tersebut. Pria kelahiran 9 September 1968 yang menggeluti dunia petualangan sejak 1985 ini tiba di puncak Elbrus yang saat itu bersuhu minus 15 derajat Celsius.

    Kang Sabar,sapaan Sabar Gorky,yang kehilangan kaki kanan akibat kecelakaan kereta api pada 1996 itu disebut-sebut menjadi tunadaksa pertama yang berhasil menapak di puncak Elbrus.Namanya pun disejajarkan dengan pendaki legendaris Elbrus lain seperti dua pendaki berkaki lumpuh, Vladimir Krupennikov (1997) dan Yakov London dari Rusia (2001),termasuk “si buta” Erik Weihenmayer dari Amerika Serikat (2002) yang juga menjadi orang buta pertama yang sukses menggapai puncak tertinggi di dunia, Everest pada 25 Mei 2001.

    Perjalanan Sabar bersama tim tidaklah mudah.Sehari sebelum mencapai puncak,dia bersama tim harus menghadapi badai salju.Kondisi ini membuat stamina Sabar terkuras. Beberapa kali dia terjatuh dan terus berusaha meraih tongkatnya yang terlepas. Pantang menyerah.Itulah prinsip yang dipegang Sabar untuk terus melangkahkan kakinya.Karena kegigihan itu pula dia berhasil mencapai puncak Elbrus.

    Karena kegigihannya mencapai puncak Elbrus, Sabar pun mendapat nama Gorky di belakang namanya. Dalam sejarah Rusia,Gorky berarti pahit atau perjalanan hidup yang berliku.Nama ini terinspirasi dari pujangga Alexey Maximovich Peshkov yang mendapat panggilan baru Maxim Gorky alias “Maxim yang hidupnya pahit”.

    Tak hanya sukses menggapai puncak gunung Elbrus, Sabar pun berhasil menapakkan kaki di Gunung Kilimanjaro,Tanzania,pada 13 November 2011.Lagi-lagi, Sabar disebut-sebut menjadi tunadaksa pertama yang menginjakkan kaki di puncak tertinggi di Afrika (5.895 m dpl) tanpa bantuan orang lain. Kisah anak-anak muda Indonesia lainnya turut memberikan warna cerah terhadap bangsa ini.Misalnya kegemilangan Nelson Tansu.

    Pria kelahiran Medan ini membawa harum nama Indonesia karena prestasinya di bidang akademis. Dia berhasil mendapatkan gelar doktor di Universitas Lehigh,Amerika Serikat,dalam usia yang masih sangat muda,yakni 25 tahun. Pada usia 32 tahun,dia diangkat sebagai profesor. Kini,sepak terjang profesor muda itu semakin gencar.Berbagai karya ilmiahnya banyak dipublikasikan jurnal-jurnal internasional.

    Tiga temuannya di bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor laserspun mendapat 11 penghargaan. Temuannya tersebut mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Inspiratif karena Nelson tidak meraih prestasinya dengan mudah,melainkan melalui kerja keras memperoleh beasiswa. Semasa kecil dia sangat terinspirasi kedua orang tuanya.

    Terutama ayahnya yang seorang pekerja keras. Sang ayah mengajari pentingnya memiliki dedikasi tinggi, fokus, komitmen, kerja keras, dan ketekunan untuk mewujudkan cita-cita. Pelajaran berharga itulah yang akhirnya membawa Nelson Tansu sukses menggapai cita-citanya di AS. Nelson adalah salah satu profesor termuda di negeri adidaya itu.

    “Ibu adalah orang yang mengajari saya nilai kejujuran, keluarga, moralitas, dan kesabaran dalam menjalani hidup,” ujar Nelson seperti dilansir forwardunder40.com. Sebagai anak muda yang tumbuh di Indonesia,pria kelahiran Medan,Sumatera Utara,20 Oktober 1977 ini sejak kecil bercita-cita menjadi profesor bidang sains dan rekayasa (engineering). Putra pasangan Iskandar Tansu dan Auw Lie Min itu pun mampu mewujudkannya.

    Lulusan terbaik SMA Sutomo 1 Medan yang pernah menjadi finalis tim Indonesia di Olimpiade Fisika itu mengawali jalan untuk meraih mimpi ketika berusia 17 tahun. Dia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Wisconsin, Madison, AS. Hanya dalam waktu 2 tahun 9 bulan dia meraih gelar sarjana pada bidang matematika aplikasi (applied mathematics, electrical engineering and physics/AMEP) dengan predikat summa cum laude.

    Kemudian Nelson meraih gelar master pada bidang yang sama dan meraih gelar doktor (PhD) di bidang electrical engineering pada usia 26 tahun. Orang tuanya hanya membiayai hingga sarjana (strata-1) saja.Selebihnya, dia dapat dari beasiswa hingga meraih gelar doktor. Sejak mahasiswa Nelson bekerja dengan beberapa kelompok penelitian. Berbagai pengalaman inilah yang menuntun dia menggarap penelitian tugas doktoral dengan Profesor Luke J Mawst.

    Tesis doktoralnya mendapat penghargaan sebagai The 2003 Harold A Peterson Best ECE Research Paper Award, mengalahkan 300 tesis doktoral lain. Saat ini Nelson menjadi visiting professor di 18 perguruan tinggi dan institusi riset. Dia juga aktif diundang sebagai pembicara di berbagai event internasional di AS, Kanada, Eropa, dan Asia.

    Indonesia layak bangga atas kesuksesan Nelson yang didapat dengan komitmen tinggi dan bekerja keras. Menurut suami Adela Gozali ini,kunci suksesnya adalah kecerdasan,kerja keras,dan ketekunan. Sedikit contoh kecil di atas membuktikan Indonesia masih boleh optimistis untuk menjadi bangsa yang besar.  (wiendy hapsari/ esti setiyowati/ yani andriansyah)

      
  • Kualitas SDM Indonesia Menghadapi Tantangan

    MENYAMBUT INDONESIA 2012
    Kualitas SDM Indonesia Menghadapi Tantangan
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Laju perekonomian Indonesia sejak beberapa tahun menunjukkan prestasi membanggakan. Bahkan salah satu negara Asia yang cepat pulih dari krisis Asia tahun 1997 dan lolos dari krisis finansial Amerika Serikat tahun 2008 lalu.

    Indonesia juga berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi 6,5% tahun ini ketika negara-negara ASEAN lainnya justru merevisi ke bawah pertumbuhan ekonominya. Namun,di balik capaian positif tersebut,secara sosial Indonesia masih belum mengimbangi capaian di bidang ekonomi.Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diukur dari dimensi pendidikan,kesehatan dan pendapatan masih menunjukkan stagnasi.

    Berdasarkan laporan Human Development Report 2011 (UNDP),Indonesia berada di peringkat 124 dengan skor 0,617 dan tergolong sebagai negara berkembang dengan tingkat IPM medium (medium human development). Penghitungan IPM UNDP mengacu pada empat indikator utama yaitu angka harapan hidup (life expectancy), tingkat partisipasi sekolah (school enrolment), dan pendapatan per kapita.

    Acuan yang digunakan UNDP berlaku universal dengan asumsi bahwa indikator-indikator tersebut merupakan kebutuhan dasar (basic needs) manusia yang harus dipenuhi. Di banding dengan negaranegara tetangga,Indonesia harus mengakui bahwa kualitas SDM Indonesia masih kalah. Peringkat IPM Indonesia lebih rendah dari Malaysia dan Thailand yang masing-masing berada di ranking 61 dan 103.

    Indonesia bahkan masih kalah tipis dibanding Filipina (112), apalagi dibanding Singapura (26). Posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dibanding Laos atau Kamboja.Hal tersebut jelas membuat miris.Dengan peringkat tersebut,Indonesia gagal naik kelas dari negara berkembang (developing country) ke negara maju (high developed country).

    Peringkat IPM Indonesia yang masih rendah menunjukkan pemerintah belum optimal meningkatkan kualitas manusia. IPM sangat terkait dengan dimensi pendidikan, kesehatan,dan pendapatan masyarakat.Dapat dikatakan, program-program pemerintah pusat dan daerah seperti pendidikan dan kesehatan gratis,serta peningkatan daya beli belum dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

    Dari aspek pendidikan, tingkat partisipasi sekolah dan angka melek huruf menunjukkan kecenderungan positif setiap tahun. Menurut data BPS (2009),hampir sebagian besar anak-anak usia 7-12 tahun pernah mengenyam pendidikan dasar, atau di atas 96% setiap tahun. Hal yang sama juga dialami sebagian besar anakanak berusia 13-15 tahun di mana 84% di antara mereka pernah menduduki bangku SMP.

    Tetapi, hal serupa tidak terjadi pada remaja usia 16-18 tahun.Tidak semua golongan ini mampu melanjutkan partisipasi pendidikan ke jenjang SMA,terlebih ke perguruan tinggi.Tercatat,hanya lebih dari separuh remaja usia 16-18 yang melanjutkan ke jenjang SMA (54%). Berdasarkan laporan UNDP, rata-rata lama sekolah manusia Indonesia adalah 6 tahun, sedangkan di Filipina dan Malaysia 9 tahun.Persoalan ini harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah yang saat ini gencar mendengungkan program pendidikan dasar 12 tahun.

    Dari aspek kesehatan,harus diakui bahwa aksesabilitas masyarakat terhadap lembaga kesehatan cenderung meningkat. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap naiknya angka harapan hidup manusia Indonesia dari 68 tahun ke 69 tahun. Namun, angka itu masih di bawah rata-rata angka harapan hidup ASEAN yakni 71 tahun.

    Hal ini disebabkan masih terdapat keluhan mengenai mahalnya biaya kesehatan dan adanya kesenjangan fasilitas dan tenaga medis antara daerah satu dengan lain, terutama di daerah terpencil. Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia juga masih tinggi, masing-masing 228 kematian per 100.000 ibu melahirkan dan AKB 34 kematian per 1.000 bayi.

    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional- /Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengakui, pertumbuhan ekonomi penting untuk meningkatkan Gross National Incomeyang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat. ”Pendapatan merupakan komponen IPM sehingga kita jaga bagaimana agar ekonomi terus tumbuh dan juga tumbuh secara merata,” kata Armida.

    Namun, menurut Armida, untuk mendapatkan dampak positif dari berbagai program pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan itu sendiri membutuhkan waktu. ”Efek positifnya mungkin baru terasa lima tahun ke depan,” ungkapnya. Dia menyontohkan, misalnya lama sekolah saat ini sudah ada yang 13 tahun. Maka, setelah dana BOS bergulir diharapkan lima tahun lagi masa sekolah bisa lebih lama.  ● (m azhar/ dyah ayu Pamela)

  • Senjakala Tuinstad Menteng

    Senjakala Tuinstad Menteng
    J.J. Rizal, PENELITI SEJARAH
    Sumber : KORAN TEMPO, 19 Desember 2011
    Kalau ada yang bilang “a city without old building is like people without remembrance,” berani sumpah, itulah Jakarta.
    Bagaimana tidak kalau saben-saben terdengar ada saja bangunan bersejarah yang dilenyapkan. Belum tiga bulan setelah satu gedung tua di Cikini yang berkaitan erat dengan sejarah proklamasi dihancurkan, sudah santer lagi penghancuran salah satu bangunan khas Menteng dari 1930-an yang sohor dengan sebutan “rumah cantik”.
    Bangunan-bangunan tua di Jakarta bukan tanpa payung hukum sebagai warisan sejarah. Ada rupa-rupa peraturan. Sebut saja mulai Monument Ordonantie 1931 sampai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Bahkan untuk kawasan Menteng diperkuat lagi dengan Keputusan Gubernur
    Kepala Daerah DKI Jakarta Nomor D.IV-6098/d/33/1975, yang disempurnakan
    lagi melalui Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya. Tapi semua tinggal di atas kertas.
    Menteng is lost,” begitu kata Adolf Heuken sebagai kronikus Jakarta, yang lama tinggal di Menteng, pada 2001. Heuken melihat budaya korup Pemerintah Kota DKI Jakarta membuat orang kaya baru dan kaum menak politik bersama arsitek-arsitek dekaden leluasa merajalela bikin bopeng wajah historis Menteng sebagai
    tuinstad atau kota taman. Para antikuarian hitam ikut ambil untung dengan jadi penadah (kalau perlu mencuri) bagian-bagian antik rumah-rumah lama Menteng yang mulai dirobohkan atau sengaja diabaikan sampai waktunya dibangun istana-istana kaum aristokrasi uang dan menak politik.
    Adalah benar Menteng digagas para arsitek terdidik pada awal abad ke-20 sebagai permukiman modern pertama di Hindia Belanda.Tapi keterlibatan P.A.J. Moojen (1879-1955) sebagai arsitek yang juga anggota Gemeenteraad atau Dewan Kotapraja Batavia membuat Menteng mengarah pada permukiman modern yang bukan hanya arsitekturnya ramah pada budaya lokal, tapi juga bagaimana menempatkan suasana tropis berlingkungan hijau sebagai nilai terpenting.
    Moojen sebagai anggota Commissie van toesich op het beheer van het Land Menteng, yang ditugasi merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia
    —nama awal Menteng —sebagai tuinstad atau kota taman di atas tanah seluas
    500 hektare. Untuk mengembangkan Nieuw Gondangdia pada 1912, Moojen
    mendirikan dan menjadi Direktur NV de Bouwploeg. Moojen mendirikan bangunan kantor yang dirancangnya sangat manis untuk tempat bekerja para arsitek membantu mengembangkan pemikiran tentang tuinstad Menteng sebagai
    terusan suasana Weltevreden atau sekitar Gambir yang sangat dipengaruhi kota
    khas Jawa.
    Tidak jauh dari kantor de Bouwploeg, yang sejak 1985 sampai sekarang dipakai sebagai Masjid Cut Meutiah, Moojen juga membangun Bataviasche unstkringgebouw. Gedung inilah yang pada masa Orde Baru sohor sebagai gedung Imigrasi dan pada 1997 ditukar-guling dengan tanah-rumah di Kemayoran untuk dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto. Lantas, bersama jatuhnya Soeharto, niat itu pun lenyap dan terdengarlah sayembara serta pelaksanaan pemugaran Kunstkringgebouw oleh pemerintah DKI Jakarta. Saat itu banyak harapan bahwa karakter historis Kunstkringgebouw sebagai tempat pameran seni dan temu intelektual akan dihidupkan kembali. Tapi, ironis, setelah
    selesai, malah dijadikan Buddha Bar. Kabarnya itu bisa terjadi karena keterlibatan putri dua menak politik.
    Protes pun terjadi, tapi bukan pada ketersinggungan betapa telah terjadi pelecehan atas warisan sekaligus identitas sejarah Jakarta, melainkan pada perasaan keterlanggaran salah satu agama. Lantas Buddha Bar pun berganti nama menjadi Bistro Boulevard. Pencantuman nama “boulevard” memang mengingatkan pada gedung Kunstkringgebouw itu, yang dirancang Moojen terletak pada ujung boulevard utama daerah Nieuw Gondangdia.Tapi, ironisnya,
    juga melupakan nilai historis Kunstkringgebouw, yang jelas-jelas merupakan bangunan bersejarah yang dianggap sebagai karya pembuka arsitektur modern Indonesia.
    “Moojen adalah pelopor gaya indische bouwstijl, yang baru dan dengan itu menduduki tempat sebagai arsitek sungguhan pertama di Hindia Belanda,”
    begitu H.P. Berlage sebagai mahaguru arsitek paling masyhur dan berpengaruh di Belanda memuji Moojen. Bahkan, ketika pada 1923, Berlage berkunjung ke Batavia, kesannya tentang cap Moojen di Menteng semakin positif.“ Gaya
    bangunan vila modern dengan iklim tropis memberi kesan baik,” Berlage menegaskan. Pada 1918, Moojen memang sudah meninggalkan pengerjaan
    Menteng kepada sederetan nama arsitek baru, seperti F.J.Kubatz, F.J.L. Ghijsels, J.F. van Haytema, dan H. van Essen, tapi konsepnya terus direalisasi.
    Ketika kuasa militeristik Jepang datang pada 1942, Menteng sudah menjelma menjadi tuinstad alias kota taman dengan kekayaan arsitekturnya yang sohor punya wajah khas tiada duanya di Asia. Bahkan, setelah Indonesia merdeka dan Jakarta resmi menjadi ibu kota, saat semangat anti-Belanda menguat dalam bentuk penghancuran yang berbau kolonial, Sukarno malah meminta Menteng dipertahankan. Kaveling-kaveling di Menteng yang masih kosong pun diisi dalam gaya pra-Perang Dunia II oleh arsitek Han Groenewegen.
    Tapi, bersama dijatuhkannya Sukarno dan bangkitnya Soeharto, pelan-pelan Menteng sebagai city planning pertama Ibu Kota Jakarta mulai digerogoti oleh kaum aristokrasi uang yang sohor disebut orang kaya baru dan menak politik penderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Mereka tidak mengerti old is gold, tapi old is odd. Dalam konteks Menteng, sama sekali tiada pemahaman  saving the past for our future, karena mereka lebih melihatnya sebagai investasi politik di masa depan yang menjanjikan jika dapat berada di lingkaran terdekat kekuasaan Orde Baru.
    Saat itu “Prabu”Soeharto sebagai penguasa Orde Baru memang tengah membangun “keraton”di Jalan Cendana dan segera saja para abdinya berlomba-lomba memasuki kawasan negara gung Menteng. Apalagi pada 1970-an itu juga ada oil boom, yang membuat para elite mandi uang. Maka bukan hanya para elite kekuasaan, tapi orang kaya baru pun berbondong-bondong memasuki kawasan Menteng. Sejak itulah apa yang diceritakan Firman Lubis sebagai Anak Menteng dalam sebuah kenang-kenangannya, Jakarta 1960-an, bahwa daerah mainnya itu masih relatif bersih dan sepi, mulai berganti dengan keriuhan lalu lintas.
    Firman terutama menekankan bagaimana jejak Menteng sebagai tuinstad dengan rumah ramah lingkungan pelan-pelan menghilang. Banyak rumah peninggalan zaman kolonial dirombak, direnovasi, bahkan dihancurkan diganti dengan rumah-rumah berarsitektur “aneh-aneh”dan norak. Tindakan ini menandai era baru Menteng yang mulai dikuasai orang kaya baru dan para menak politik baru yang kaya tapi berselera rendah, juga arogan karena rumahnya dibangun tanpa meninggalkan secuil tanah pun untuk pekarangan.
    Hilang pula ikon-ikon penting Menteng, seperti toko Li, Oranje Nassau Apotheek,
    Lapangan Voetbalbond Indische Omstreken, dan gedung apartemen unik di ujung Jalan Sutan Sjahrir yang sangat penting untuk sejarah arsitektur. Menjamur pembangunan gedung modern yang terlalu tinggi dan besar di Menteng dan sekitarnya.
    Menteng dalam masa senjakala. Is Menteng lost? Ya, jika pemerintah dan warga Jakarta diam tanpa kepedulian dan keterlibatan menolak kota taman, tuinstad Menteng yang historis sebagai identitas diubah menjadi dierentuin alias kebun binatang utama tempat para binatang politik dan binatang ekonomi mempertontonkan peradaban rendah mereka. 
  • Warisan Profesor Sajogyo untuk Studi Agraria Indonesia

    Warisan Profesor Sajogyo
    untuk Studi Agraria Indonesia
    Endriatmo Soetarto, GURU BESAR TETAP PADA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB, BOGOR; KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL, YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 19 Desember 2011
    Penghargaan Habibie Award 2011 untuk Profesor Sajogyo untuk kategori ilmu sosial pada 10 November 2011 adalah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya pribadi sebagai salah seorang yang sangat beruntung mendapatkan kemewahan berinteraksi cukup intens dengan Profesor Sajogyo untuk waktu yang relatif panjang. 
    Dalam hal ini, saya pernah berkiprah dalam beragam posisi akademis yang berbeda-beda di hadapan beliau. Dalam sudut pandang subyektif, tampak terlihat perguliran pemikiran Profesor Sajogyo yang datang dari waktu ke waktu, dari yang semula beraksen sosiologi pedesaan Indonesia yang empiris-kritis berlanjut menjadi sosiologi pedesaan Indonesia kritis-aplikatif bagi kebijakan dan praktek pembangunan pedesaan.
    Profesor Sajogyo dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia atau Bapak Ekonomi-Sosiologi Indonesia sebagaimana disebut oleh Profesor Mubyarto, yang bukan hanya meletakkan fondasi bagi tersedianya pengetahuan, alat-alat konseptual, dan pendekatan yang memadai untuk memahami perubahan agraria di pedesaan Indonesia, lebih dari itu, menunjukkan bagaimana sosiologi pedesaan Indonesia dapat memberi sumbangan konkret yang layak dan bisa dikerjakan oleh para praktisi pembangunan pedesaan. Beliau telah menunjukkan cara bagaimana kelangkaan pengetahuan tentang masalah-masalah agraria di Indonesia, khususnya mengenai kehidupan lapisan terlemah di pedesaan, dapat diisi dengan penelitian dan keterlibatan langsung secara partisipatif bersama mereka yang lemah itu, sekaligus mengembangkan kemampuan berdialog dengan segenap pihak yang memberi pengaruh bukan hanya pada kalangan akademisi, tapi juga para praktisi lapangan dan pemegang kebijakan pemerintahan. Dengan demikian, mudah dimengerti jika sosiologi pedesaan Sajogyo dapat diterima dengan baik dalam proses-proses kebijakan di sejumlah badan pemerintahan.
    Ilustrasi mengenai hal ini adalah andilnya kebijakan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Pada 1972, ia memimpin survei UPGK selama dua tahun dengan melibatkan peneliti-peneliti berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UNICEF. Hasil kajiannya antara lain disajikan menjadi panduan para kader program Taman Gizi, yakni kumpulan orang yang berorganisasi meningkatkan gizi anak balita dan keluarga. Perhatiannya ini mengantarkannya menjadi Ketua Pergizi Pangan Indonesia pada 1978, yang berafiliasi dengan International Union of Nutrition Science. Dari riset UPGK ini pulalah pada 1977 ia merumuskan pengukuran garis kemiskinan: Garis Kemiskinan Sajogyo. Sumbangsih ini berhasil mengatasi kemacetan metodologis dalam menilai dan mengukur kemiskinan, satu konsep penting dalam kajian ekonomi dan sosial. Pengukuran berdasarkan kecukupan pangan ini kemudian berkembang dan diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam rumusan lain sebagai food basket atau yang sering dikenal sebagai paket kebutuhan dasar pangan empat sehat lima sempurna.
    Fokus dan tema gagasan Sajogyo selalu memperkaya dan mempertajam kerangka pembangunan yang diagendakan pemerintah serta berusaha mempengaruhi arah dan keberpihakannya. Namun tentu saja ia juga mengkritiknya dengan mengemukakan nasib golongan paling lemah di pedesaan. Di sinilah kita menyaksikan Profesor Sajogyo sangatlah peduli dan prihatin terhadap apa yang ditengarai oleh gurunya, Profesor W.F. Wertheim, sebagai sociology of ignorance dari kebanyakan akademisi Indonesia dalam memahami dan memposisikan lapis termiskin masyarakat pedesaan Indonesia,
    yaitu mereka yang tidak bertanah.
    Karya klasiknya pada 1973 berjudul Modernization without Development in Rural
    Java melakukan evaluasi-kritik terhadap Revolusi Hijau. Telaah yang diajukan untuk acara badan dunia FAO di Bangkok ini menunjukkan Revolusi Hijau—di sisi lain kesuksesan dari swasembada beras waktu itu—ternyata hanya menguntungkan petani golongan atas dan mempercepat proses hilangnya akses terhadap tanah para petani gurem dan jatuhnya kebanyakan mereka menjadi lapis termiskin di pedesaan: petani tak bertanah. Karya ini menjadi rujukan utama dalam kajian Green Revolution yang terjadi di berbagai benua.
    Selanjutnya, pada 1976, tatkala isu Reforma Agraria atau land reform masih dianggap tabu, Sajogyo secara halus tapi teguh mengusulkan kembali perlunya pemerintah memberikan akses permanen buruh tani di desa-desa pada tanah melalui program penyediaan tanah kolektif. Profesor Sajogyo menulis, “… (J)ika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan land reform!”
    Pada 1980, Sajogyo memberi kontribusi gagasan yang disebut dengan Ekologi Pedesaan. Melalui buku ini, beliau hendak menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa untuk memahami pedesaan di Indonesia, selain keniscayaan keragaman sejarah, karakteristik, serta lapisan dan dimensi sosial ekonomi dan budayanya, diperlukan pemahaman relasional yang baik antara “bentang alam”dan “bentang sosial”sebagai potret utuh pedesaan di Indonesia itu sendiri. Kedua, bahwa segala bentuk usaha untuk tujuan pembangunan ekonomi pedesaan mesti bertumpu pada swadaya dan “tenaga dalam” yang ada di pedesaan. Artinya, dengan pemahaman semacam ini, Profesor Sajogyo ingin mengingatkan pentingnya memastikan keberlanjutan “siklus reproduksi” (sosial, ekonomi, dan budaya) di pedesaan.
    Di akhir karier akademisnya sebagai intelektual paripurna, Sajogyo menuliskan suatu refleksi perjalanan hidupnya Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek Berteori.
    Dengan merujuk pemikiran Robert Chambers, beliau menunjukkan jalan hidupnya “mendahulukan yang terbelakang”, yang menurut saya ini uraian paling jelas mengenai kiprah Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia tersebut. Lebih dari itu, ia melintasinya dengan menganjurkan metode kerja praksis intelektual untuk perubahan nasib “golongan paling lemah”di pedesaan, yakni mengedepankan hubungan dialektika yang tak pernah henti antara teori dan praktek atau praktek dan teori.
    Dalam perspektif bidang keilmuan yang ditekuninya, sosiologi pedesaan, Sajogyo mengajak para ilmuwan dan intelektual memiliki wawasan yang utuh dan komprehensif memahami masyarakat di Indonesia. Ungkapannya yang sangat populer, mewakili watak metodologis lain dari Profesor Sajogyo, adlah,“If you want to understand the economy of my country… study my culture and our political system. If you want to understand our culture and political system…study our economy.”
    Warisan intelektual Sajogyo adalah untukmasa depan studi agraria Indonesia. Untuk mendukung cita-citanya itu, pada 2005, para murid, pengagum, kolega, dan keluarganya berprakarsa mendirikan Sajogyo Institute, yang berkedudukan di kediamannya, Bogor. Profesor Sajogyo mewakafkan harta benda melalui lembaga ini. Ia tak henti-hentinya menjaga imajinasi dan selalu menyadarkan bahwa dunia agraris adalah pelahir Indonesia, penghidup bagi sekian juta penduduk, baik di desa maupun kota. Menyelamatkan Indonesia adalah membangun desa dengan segenap kedaulatan manusia dan alat-alat produksinya.
    Cita-cita Sajogyo ini berkesinambungan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.
    Cita-cita itu adalah cita-cita besar kita semua, membangun Keindonesiaan yang Cerdas dan Merdeka: “slamatkan tanahnya, slamatkan puteranya, pulaunya, lautnya semuanya. Indonesia Raya, merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya”.  
  • Setelah Investment Grade, Lalu?

    Setelah Investment Grade, Lalu?
    Anggito Abimanyu, DOSEN DI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM
    Sumber : REPUBLIKA, 19 Desember 2011
    Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade. Meski dianggap agak sedikit terlambat, status ini akan membuat Indonesia setara dengan sejumlah negara-negara berkembang lainnya.

    Fitch adalah salah satu dari tiga lembaga pemeringkat utang dunia terkemuka setelah Standard and Poor’s dan Moody’s. Meskipun tidak memiliki reputasi dan kredibilitas sehebat dua yang lain, pemeringkatan utang oleh Fitch tetap dapat dipercaya. Biasanya setelah penilaian oleh Fitch diikuti dengan S&P dan Moody’s.

    Lembaga pemeringkat melakukan penilaian suatu negara berdasarkan prestasi di bidang makroekonomi, seperti ketahanan perekonomian dalam menghadapi external shock, rasio utang dan kekuatan fiskal, dan stabilitas kebijakan makro serta sektor keuangan.

    Fitch dalam keterangannya menjelaskan telah menaikkan Long-Term Foreign-and Local-Currency Issuer Default Ratings (IDR) Indonesia menjadi BBB- dari BB+ dengan outlook atas kedua peringkat tersebut stabil. Country Ceiling dinaikkan menjadi BBB dan Short-Term Foreign-Currency IDR dinaikkan menjadi to F3.

    Peringkat investment grade masih ada 10 peringkat lagi sebelum menuju “prime grade” (triple A) dan saat ini Indonesia sudah menapak ke peringkat terbawah dari zona investasi atau disebut sebagai medium grade. Dalam zona ini, Indonesia dianggap bebas risiko berinvestasi, tetapi masih memiliki risiko pembalikan kondisi.

    Makna Investment Grade

    “Kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan resilient, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, likuiditas eksternal yang menguat, dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati,” kata Philip McNicholas, director Group Fitch’s Asia-Pacific Sovereign Ratings dalam siaran persnya, Kamis (15/12).

    Lembaga pemeringkat ini pun tetap menyoroti sejumlah masalah struktural, seperti pendapatan per kapita dan rasio penerimaan pajak yang rendah, pasar keuangan domestik yang dangkal, serta permasalahan-permasalahan di bidang kualitas infrastruktur dan pemberantasan korupsi yang masih perlu diatasi. Sekalipun demikian, Fitch memandang permasalahan itu tidak menghalangi kenaikan peringkat Indonesia. Apabila masalah-masalah struktural tersebut dapat ditangani, niscaya kenaikan peringkat bisa langsung melaju dua tingkat.

    Fitch pun memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata lebih dari 6,0 persen per tahun selama periode proyeksi sampai 2013 di tengah kondisi ekonomi global yang kurang kondusif. Proyeksi Fitch ini sekaligus mengingatkan bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi 6,7 persen sangat tidak realistis.

    Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyambut baik lembaga pemeringkat Fitch Ratings yang menaikkan peringkat Indonesia dari BB+ menjadi BBB- dengan gambaran stabil. Ini menandakan keberhasilan Indonesia menjaga stabilitas ekonomi makro. “Upgrade membuktikan keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi makro sekaligus mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global,” ujar Darmin dalam rilisnya, Kamis (15/12) malam.

    Darmin pun berharap, dengan memasuki level investment grade ini, penguatan fundamental ekonomi dan reformasi struktural terus berlanjut. Sambutan positif juga datang dari pemerintah. “Kita sambut gembira di tengah situasi perekonomian global justru tak begitu optimistis di Eropa banyak yang downgrade dan masih banyak terancam. Tapi, Indonesia mengalami investment grade,” kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa berbangga.

    Kenaikan peringkat Indonesia oleh Fitch Ratings ini menunjukkan tidak hanya kondisi makroekonomi Indonesia saja yang baik, tapi pengelolaan fiskal juga demikian. “Ini sangat menguntungkan kita dan berakibat terhadap yield (imbal hasil surat utang) akan turun. Biaya-biaya kita akan drop. Ini kita capai di 2011 dan ini hadiah akhir tahun kita,” jelas Hatta.

    Kenaikan peringkat ini juga bakal menjadi penarik minat investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Dan, pemerintah berharap proyek infrastruktur bakal bergerak deras karena investment grade ini serta penguatan fundamental ekonomi dan reformasi struktural terus berlanjut.

    Memanfaatkan Momentum

    Reformasi struktural yang diperlukan saat ini adalah pada sektor energi dan infrastuktur. Dua sektor ini berprestasi jauh di bawah harapan pada 2011. Pengelolaan energi yang meliputi investasi, produksi dan konsumsi, serta subsidi sumber daya energi sepanjang 2011 dapat dikatakan buruk. Target-target yang telah ditetapkan jauh melenceng. Investasi hilir dan listrik tidak tercapai, produksi atau lifting di bawah target, dan volume konsumsi BBM serta listrik membengkak.

    Peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti gas dan panas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, belum terealisasi. Sementara, masalah Newmont dan Freeport mencuat dan menjadi barometer kemunduran iklim investasi asing di Indonesia. Sektor ini menjadi prioritas utama perbaikan struktural.

    Sementara itu, infrastruktur, jalan, bandara, dan pelabuhan benar-benar masih menjadi momok bagi republik ini. Karena infrastruktur yang buruk pula, biaya transportasi Indonesia tergolong paling mahal sejagat. Alhasil, itu memengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi di Indonesia. Pembangunan listrik oleh PLN dan kerja sama swasta juga banyak yang mengalami kemunduran.

    Mundurnya penyelesaian proyek 10 ribu mw berbahan bakar batu bara mengakibatkan pembengkakan subsidi listrik tahun ini sebesar Rp 20 triliun. Sektor ini sama pentingnya.

    Satu lagi yang harus dipikirkan adalah dengan status investment grade, akan membuat banjirnya arus modal masuk (capital inflow). Adalah menjadi tugas pemerintah dan Bank Indonesia agar investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam jangka panjang. Ini adalah kesempatan kedua yang dimiliki setelah arus dana deras masuk pada 2010 tidak dimanfaatkan untuk pendanaan investasi jangka panjang.

    “Investment grade membawa beberapa implikasi, pertama, persepsi pasar yang walau bukan sesuatu yang tahan lama, pengaruhnya membawa persepsi baik kepada perekonomian. Implikasi kedua, itu kalau negara sudah investment grade, pemilik dana jangka panjang menjadi lebih terbuka untuk ke sini (menanamkan modal),” ungkap Gubernur BI Darmin Nasution, Jumat (15/12).

    Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS), pemilik dana jangka panjang yang mengelola banyak uang, seperti dana pensiun, merasa sulit untuk menempatkan dananya di negara-negara yang belum masuk peringkat investment grade. Dengan kita investment grade, terbuka kemungkinan mengelola dana jangka panjang untuk menempatkan dana. Sifat capital inflow berubah, dari yang tadinya banyak jangka pendek dan spekulatif menjadi jangka panjang.

    Jika dana yang ditempatkan di pasar modal lebih bersifat jangka panjang, gejolak pasar finansial terhadap situasi krisis di pasar global pun relatif akan lebih tenang. Investment grade akan berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia.

    Investment grade dari suatu negara berpengaruh pada grade berbagai perusahaan. Perusahaan terbaik kita ikut terangkat. Ketika menerbitkan obligasi, misalnya, mereka dapat lebih murah (membayar yield obligasi). Pada dasarnya, itu bentuk benefit yang bisa kita harapkan. Selamat kepada kita semua, saatnya memanfaatkan dan jangan lengah.  

  • Demokrasi dan Kesejahteraan

    Demokrasi dan Kesejahteraan
    Bestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 19 Desember 2011
    Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya, apakah demokrasi memang menjadi faktor pemicu kesejahteraan masyarakat, ataukah sebaliknya justru kesejahteraanlah yang memampukan demokrasi berjalan dengan baik?
    Di luar pertanyaan itu sebenarnya terdapat pula beragam pertanyaan hipotetis lain yang tidak kurang menjadi perhatian. Misalnya, apakah benar demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat bakal terciptanya kesejahteraan, ataupun sebaliknya kesejahteraan menjadi syarat penentu? Apabila memang kedua entitas tersebut berkaitan, apakah selinier itu hubungan yang terbentuk?
    Masih banyak lagi yang dapat diperdebatkan dari keduanya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ”mana yang lebih dahulu” di antara variabel demokrasi dan kesejahteraan belakangan ini menjadi semakin krusial dipersoalkan, terutama bagi negara-negara yang pada satu sisi kini berubah struktur politiknya, sementara di sisi lain negara tersebut tengah pula bergulat dalam pemakmuran masyarakatnya.
    Bagi Indonesia, pertanyaan semacam ini menjadi semakin relevan, terutama tatkala kedua persoalan itu dihadapkan pada realitas yang berkembang di masyarakat saat ini. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan. 
    Sebagian besar di antara mereka berpandangan bahwa reformasi politik yang 12 tahun terakhir mampu melembagakan demokrasi di negeri ini sayangnya dianggap belum juga mampu menjawab harapan mereka. Kinerja sejumlah institusi politik demokratik, baik partai politik, DPR, maupun pemerintahan, yang hadir selama kurun waktu tersebut, dinilai tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebagaimana yang mereka harapkan.
    Bibit Frustrasi
    Tidak heran dalam situasi semacam ini, bibit-bibit frustrasi sosial merekah. Terdapat kalangan yang memandang, ketika kesejahteraan yang diekspektasikan tidak juga kunjung dirasakan, jalan demokrasi yang sebelumnya telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di antaranya tampak cukup fatal, adanya kerinduan mereka pada masa ”kegemilangan” Orde Baru. Terdapat pula sebagian kalangan lainnya yang mulai merasakan bahwa kesejahteraanlah yang sepatutnya terlebih dahulu dicapai. Dalam kondisi sejahtera, mewujudkan demokrasi tidak lagi menjadi masalah.
    Sebenarnya, potret hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan mulai dapat terbaca di negeri ini. Hasil pengujian kuantitatif terhadap kedua variabel tersebut menunjukkan adanya korelasi positif yang cukup signifikan.
    Artinya, keduanya dapat dipersandingkan dan saling terpaut satu sama lain. Dalam hal ini, semakin tinggi indeks demokrasi suatu wilayah, semakin tinggi pula indeks kesejahteraan ataupun kemakmurannya. Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi indeks kesejahteraan suatu wilayah, kecenderungan indeks demokrasinya juga semakin tinggi.
    Selain itu, pola hubungan yang terbentuk menunjukkan pula kausalitas di antara keduanya. Yang tampak menonjol, kesejahteraan menjadi faktor determinan yang memungkinkan kualitas demokrasi yang terbentuk. Hanya, model kausalitas demikian tidak serta-merta menjadi suatu pijakan yang akurat lantaran terindikasi pula faktor-faktor lain yang seharusnya hadir dalam pembentukan kualitas demokrasi.
    Dalam kajian ini, indeks demokrasi yang dimaksud mengacu pada hasil rumusan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Setelah tidak kurang dari tiga tahun bereksperimen dalam peramuan indikator ini, tahun 2011 lembaga tersebut memublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks ini dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek kebebasan sipil, pemenuhan hak-hak politik, dan kelembagaan politik pada 33 provinsi Indonesia. Hasilnya, skor nasional IDI mencapai 67,3.
    Dengan skor sebesar itu, tergolong tinggikah kualitas demokrasi di negeri ini? Masih serba relatif. Jika mengacu pada skor tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi demokrasi yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional yang sebesar itu tergolong tidak buruk.
    Namun, skor sebesar itu tidak juga tersimpulkan tinggi. Sebenarnya, cukup banyak gugatan yang dapat dialamatkan kepada sistem pengukuran indeks demokrasi semacam ini. Akan tetapi, tidak dapat diingkari, sejauh ini indeks politik demikian yang paling layak digunakan dalam memenuhi kebutuhan analisis.
    Tiga dimensi
    Berbeda dengan IDI, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menyarikan kinerja pembangunan suatu kawasan yang didasarkan pada tiga dimensi dasar. Ketiganya merupakan kapasitas dasar penduduk, yaitu berupa besar umur panjang dan kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan masyarakat yang layak.
    Dalam perhitungannya, masing-masing dimensi tersebut diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli. Berbagai indikator tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan segenap aspek kesejahteraan manusia, cukup memadai dijadikan rujukan.
    Berdasarkan pengukuran tahun 2009, skor IPM Indonesia sebesar 71,76. Dengan mengaitkan kedua indeks IDI dan IPM inilah, relasi antara demokrasi dan kesejahteraan terbentuk.
    Di sisi lain, berdasarkan pola hubungan yang terbentuk, dapat pula dipetakan antara demokrasi dan kesejahteraan pada setiap provinsi di negeri ini. Masih banyak celah gugatan memang. Namun, pengelompokan semacam ini sedikit banyak dapat menguak konfigurasi masing-masing provinsi dalam kehidupan demokrasi ataupun kesejahteraan masyarakatnya.
    Setidaknya terdapat tiga kelompok yang terbentuk. Pertama, kelompok dengan kedua indeks memiliki nilai yang sama-sama kuat di atas nilai indeks nasional. Dapat dikatakan, inilah kelompok yang terdiri atas provinsi-provinsi dengan indeks demokrasi yang relatif lebih tinggi dari indeks nasional. Demikian juga, kelompok ini memiliki nilai kesejahteraan yang lebih baik dari perolehan nasional.
    Tampaknya, bagaikan lahan yang subur, bibit demokrasi bertumbuh di wilayah ini. Atau sebaliknya, demokratisasi yang berjalan tampaknya mampu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan beberapa provinsi lain ada dalam kelompok ini.
    Kedua, kelompok yang bertolak belakang dengan kelompok pertama. Pada kelompok ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai skor nasional. Artinya, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya masih relatif kecil lantaran di bawah angka nasional.
    Bagaikan lahan yang tandus yang sulit tertanami, wilayah-wilayah demikian memiliki beban yang berat memperbaiki ketertinggalannya. Sejauh ini, pergulatan mereka dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan. Sementara di sisi lain, kebutuhan akan kebebasan sipil, hak-hak politik warga, ataupun berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi masih dipermasalahkan. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Kalimantan Selatan, dan beberapa provinsi lain masuk dalam kelompok ini.
    Ketiga, kelompok dengan masing-masing indeks yang berbeda kualitas perolehannya. Ada sekelompok provinsi yang memiliki indeks demokrasi melebihi indeks demokrasi nasional. Akan tetapi, skor IPM provinsi-provinsi tersebut masih berada di bawah skor nasional. Nusa Tenggara Timur, Banten, Kalimantan Barat, Lampung, di antaranya, menjadi contoh kelompok ini. Sebaliknya terdapat pula sekelompok provinsi yang memiliki IDI rendah, tetapi IPM masih di atas skor nasional. Beberapa provinsi di Sumatera, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Bangka Belitung, menjadi bagian dari kelompok.
    Pada kelompok inilah tampaknya pertaruhan demokrasi dan kesejahteraan terus berlangsung. Apakah geliat demokrasi yang terjadi memampukan peningkatan kesejahteraan warganya atau kondisi kesejahteraan mereka menjadi pendorong kehidupan yang lebih demokratis. Keduanya masih serba dilematis.
    Namun, lepas dari angka-angka itu, menjadi tugas negaralah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.  
  • Musim Semi di Arab, Musim Dingin di Israel

    Musim Semi di Arab, Musim Dingin di Israel
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 19 Desember 2011
    Saat ini, sikap skeptis-konservatif dalam melihat fenomena demokratisasi di Timteng tampaknya sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan mereka, demokratisasi di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta menguntungkan partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada gilirannya, akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis, seperti ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat Dubes Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi, pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan ekstrem.”
    Ada dua mazhab dalam melihat perubahan radikal di Timur Tengah saat ini – perubahan yang oleh pengamat dan media Barat disebut Musim Semi Arab (Arab Spring; al-Rabi’ al-‘Arabi). Yang pertama adalah mazhab optimis-liberal; yang kedua mazhab pesimis-konservatif. Mazhab pertama melihat perubahan-perubahan di Timteng saat ini sebagai kabar baik yang akan mengubah kawasan itu menjadi lebih demokratis di masa-masa mendatang, dan karena itu harus didukung.
    Kekuatan sipil yang demokratis dan liberal justru akan diuntungkan oleh perubahan tersebut. Kekuatan ini, dalam waktu yang sangat panjang, dihambat dan dimatikan oleh rejim-rejim otoriter di kawasan itu, begitu rupa sehingga akhirnya hanya ada satu kekuatan yang mampu membangun oposisi terhadap pemerintah yang otoriter di sana – yakni kekuatan oposisi yang memakai bahasa agama (religious opposition). Biasanya, mereka menjadikan masjid sebagai basis kekuatannya. Sementara kekuatan oposisi sekular sama sekali tak diberi kesempatan. Dengan tumbangnya rejim-rejim otoriter di Timteng sekarang, diharapkan kekuatan-kekuatan oposisi sekuler akan tumbuh dan berkembang guna mengimbangi kekuatan Islamis. Inilah tafsiran kubu optimis-liberal.
    Mazhab kedua (yakni mazhab pesimis-konservatif) memandang perubahan itu sebagai pintu gerbang dari mana Islamisme akan masuk dan menguasai negeri-negeri Arab. Menurut mazhab ini, runtuhnya rezim-rezim otoriter di Timteng akan membuka lebar kesempatan bagi kelompok Islamis-fundamentalis untuk naik ke permukaan dan memenangkan pemilu. Mazhab kedua ini mencoba menjustifikasi dirinya dengan menunjuk kepada kemenangan sejumlah partai Islamis di beberapa negara di kawasan itu: al-Nahdah di Tunisia, Partai Pembangunan dan Keadilan di Maroko, dan Partai Kebebasan dan Keadilan di Mesir.
    Di Barat, ada dua sosok yang mewakili kedua mazhab tersebut. Mazhab optimis-liberal disuarakan kolumnis koran The New York Times, Thomas L. Friedman (biasa dipanggil Tom, dan seorang keturunan Yahudi). Sementara itu mazhab pesimis-konservatif disuarakan oleh kaum Republikan-konservatif di AS dan diikuti oleh Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu.
    Dalam kolomnya yang disiarkan baru-baru ini di koran NYT (29/11/2011) , Tom Friedman melancarkan kritik keras terhadap sikap PM Netanyahu yang melihat dengan skeptis, bahkan sinis, perubahan-perubahan yang terjadi di Timteng saat ini. Netanyahu, dalam pidatonya di Knesset (parlemen Israel) pada 9/11/2011 yang lalu, antara lain, mengatakan bahwa “revolusi Arab” hanya akan membawa kawasan itu mundur ke belakang. Dengan revolusi itu, negeri-negeri Arab justru akan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan Islamis yang anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel dan tidak demokratis.
    Netanyahu juga mengkritik sikap pemerintah Obama yang ia anggap mendukung gerakan sipil di Medan Tahrir (Tahrir Square, simbol perlawanan terhadap otoritarianisme Hosni Mobarak) di Kairo, Mesir. Mestinya, demikian menurut Netanyahu, pemerintah Obama harus membela rejim otoriter Mubarak agar tidak lengser. Sebab rejim inilah yang selama ini bisa diandalkan sebagai sahabat Israel. “Demokratisasi” Arab justru akan melambungkan kekuatan-kekuatan Islamis ke kursi kekuasaan dan sudah bisa dipastikan akan mempunyai sikap bermusuhan dengan Israel.
    Tom Friedman mengkritik pandangan Netanyahu ini. Menurut dia, pandangan “hawkish” ala Netanyahu dan kaum konservatif di Amerika itu justru akan menghalangi proses perdamaian yang langgeng di Timteng. Menurutnya, sikap keras-kepala Netanyahu ini akan menghambat terlaksananya solusi dua-negara (two states solution) yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya opsi paling masuk akal untuk menyelesaikan masalah Palestina-Israel.
    Menurut Tom Friedman, sikap terbaik yang harus diambil oleh pemerintah Israel adalah persis seperti yang ditempuh Presiden Obama sekarang: berdiri bersama serta mendukung gerakan reformasi yang menghendaki demokratisasi di Timteng, bukan malah membenci serta menjauhi mereka. Negeri-negeri Timteng yang kian demokratis justru akan menguntungkan Israel. Bercokolnya rejim-rejim otoriter di sana, di atas permukaan, memang tampak seolah-olah menguntungkan Israel, sebab mereka selama ini bersahabat dengan negeri Yahudi itu. Tetapi, membiarkan rejim-rejim seperti itu bercokol terus di Timteng justru akan menyuburkan kekuatan-kekuatan Islamis yang anti-Israel. Otoritarianisme, tidak seperti disangkakan oleh Netanyahu, akan menguntungkan kelompok Islamis-radikal dan fundamentalis.
    Ringkasnya, menurut Tom Friedman, pemerintah Israel harus merangkul, bukan menjauhi, kekuatan-kekuatan reformis yang hendak menjadikan Timteng lebih demokratis.
    Dalam kolomnya yang lain (NYT, 13/12/2011), Tom Friedman mengkritik sikap “pro-Israel-kebablasan” yang diperlihatkan oleh para politisi Partai Republik yang saat ini sedang bertarung untuk memperebutkan tiket calon presiden dari GOP (Grand Old Party, julukan populer untuk Partai Republik) pada pemilu presiden 2012 mendatang. Baru-baru ini, Newt Gingrich, salah satu kandidat presiden dari Partai Republik, mengatakan bahwa bangsa Palestina adalah ciptaan belakangan. Mereka bukanlah bangsa yang secara historis ada sejak dahulu kala. Karena itu, menurut dia, mereka tak layak mendapatkan sebuah negara tersendiri.
    Kandidat lain, Mitt Romney, mantan gubernur negara bagian Massachusetts, mengatakan bahwa pemerintah Amerika tak seharusnya memainkan peran terdepan untuk mendorong proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Menurutnya, proses semacam itu hanya akan memojokkan posisi Israel saja. Pemerintah AS, menurut Romney, harus melakukan apa saja yang dianggap baik oleh pemerintah Israel. Dengan kata lain, pemerintah AS seharusnya membebek saja pada segala kemauan negara Yahudi itu, tanpa sikap cadangan (reserve) apapun. 
    Tentu saja, sikap pro-Israel-kebablasan semacam ini dikemukakan oleh Gingrich dan Romney sebagai taktik untuk memenangkan sokongan dari komunitas dan lobby Yahudi di AS—dua blok kekuatan yang memang memainkan peranan penting dalam politik domestik di Amerika selama ini. Sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap pemilu presiden di AS, hampir semua kandidat berlomba-lomba untuk menarik simpati Israel dan komunitas Yahudi di sana – sebut saja semacam perlombaan “Israelier than thou politics”. Di kalangan Partai Republik, perlombaan ini berlangsung lebih vulgar dan “norak”.
    Sikap pesimis-konservatif yang dianut kalangan Republikan di AS dan PM Israel Netanyahu ini sebetulnya bukanlah sikap yang dominan. Sebagian besar masyarakat dan media Barat justru menyambut dengan baik dan antusias perubahan-perubahan di Timteng saat ini. Sikap inilah yang juga diadopsi oleh Pemerintah Obama. Meskipun pada awalnya ragu-ragu, pada akhirnya Pemerintah Obama memberikan sokongan penuh kepada gerakan pro-reformasi yang menghendaki lengsernya penguasa-penguasa otoriter di kawasan itu. Ini jelas kontras dengan keadaan pada dekade 90an. Pada 1991, kita ingat, kemenangan FIS, partai Islamis di Aljazair, digagalkan oleh kubu militer di negeri itu, dengan alasan bahwa kemenangan FIS akan mengubah corak negeri itu menjadi lebih “Islamis” dan anti-sekularisme. Intervensi itu didukung oleh negeri-negeri Barat, terutama Perancis. Kita tahu, saat itu, pandangan yang umum diikuti oleh pemerintah Barat adalah: Jangan biarkan kelompok Islamis memenangkan kursi kekuasaan, sebab kemenangan mereka, lewat jalur demokrasi, akan mematikan demokrasi sendiri. Kalangan Islamis, demikian pandangan mereka, menempuh jalur demokrasi hanya untuk kebutuhan sesaat saja. Setelah menang, partai-partai itu akan menghentikan demokrasi. Istilah yang populer saat itu: One man, one vote, one time.
    Saat ini, sikap skeptis semacam itu tampaknya sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan mereka, demokratisasi di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta menguntungkan partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada gilirannya, akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis, seperti ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat Dubes Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi, pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan ekstrem.
    Dengan kata lain, angin Musim Semi Arab bukan saja bertiup di dunia Arab sendiri, tetapi juga melebar menerpa negeri-negeri Barat. Perubahan sikap pemerintah Barat ini, meskipun tidaklah segala-galanya, jelas penting untuk menjaga momentum demokratisasi di kawasan Arab. Akan lain keadaannya manakala negeri-negeri Barat, misalnya, masih kekeuh berpegang pada cara pandang konservatif ala Netanyahu yang menyokong otoritarianisme dan mencurigai segala bentuk relaksasi politik di sana.
    Dunia Arab berubah. Tetapi dunia Barat juga berubah. Tampaknya yang keras kepala menolak perubahan saat ini adalah Israel di bawah kepemimpinan PM Netanyahu. Jika Israel bersikap “hawkish” terus-terusan semacam ini, jelas dia akan kian terisolasi dan ditinggalkan oleh “kereta” sejarah yang melaju cepat.  
  • Mengapa Indonesia Tahan Krisis?

    Mengapa Indonesia Tahan Krisis?
    A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM;
    KOMISARIS INDEPENDEN BANK PERMATA
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Krisis ekonomi global benar-benar akan datang pada 2012. Kita semua sudah tahu hal itu, dan mustahil menghindarinya. Yang belum diketahui, seberapa besar krisis tersebut akan menyebabkan kerusakan perekonomian Indonesia?

    Transmisi krisis ekonomi global ke Indonesia terutama terjadi melalui transaksi perdagangan internasional dan aliran modal.Ekspor kita cenderung melemah,karena pasar potensial seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa sedang “sakit”.Negara-negara pasar kita yang lain, meski sakitnya tidak separah kedua kawasan itu,juga kemungkinan besar akan sedikit menurunkan permintaannya terhadap produk-produk ekspor kita. Mereka adalah Jepang, China dan Asia Tenggara.

    Namun Indonesia beruntung. Kontribusi ekspor kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kini sekitar Rp7.000 triliun, tidaklah besar. Ekspor neto atau neraca perdagangan (selisih antara ekspor terhadap impor) dalam dua tahun terakhir sekitar USD20 miliar,atau ekuivalen 3% PDB. Ini persentase yang relatif kecil,sementara penyumbang terbesar PDB adalah konsumsi rumah tangga sebesar 60%. Sisanya disumbang oleh investasi (30%) dan belanja pemerintah (7%).

    Struktur ini mirip dengan yang terjadi di AS,yang penduduknya sekitar 310 juta orang.Dengan kata lain,perekonomian yang memiliki pasar domestik kuat akan bisa bertahan dengan mengandalkan potensi lokal. Inilah alasan terbesar perekonomian Indonesia mampu tumbuh 4,5% saat terjadi krisis subprime mortgage di AS pada 2009. Sementara itu,negara yang ketergantungan ekonominya terhadap ekspor,terutama produk manufaktur,sangat terkena krisis.

    Contoh terbaik adalah Singapura. Saat krisis memuncak pada semester I- 2009, perekonomian Singapura bahkan mengalami kontraksi hingga di atas 10%. Kejadian ini tampaknya bakal terulang pada 2012. Meski demikian,saya masih optimistis,situasi 2012 lebih baik daripada 2009.Artinya, perekonomian Singapura kendati bakal melemah, rasanya tidak bakal mengalaminya sedramatis 2009.

    Pertumbuhan ekonomi memang akan melambat,tapi tidak akan sampai minus 13%. Lebih masuk akal jika Singapura bakal tetap tumbuh positif namun landai, misal pertumbuhan di bawah 3%. Kalaupun pertumbuhan negatif,katakanlah hanya minus 1 atau 2% saja. Mengapa? Pertama, timbulnya kesadaran bersama, bahwa terlalu riskan membiarkan Yunani dan Italia bangkrut, karena efek dominonya terlalu besar.Kebangkrutan mereka dipandang sebagai too big to fail.

    Karena itu, banyak negara maju dan sebagian emerging markets terkemuka yang akan membantu menolong. Caranya adalah membeli obligasi negara-negara tersebut untuk menopang stabilitas. Pemerintah AS juga akan menempuh segala cara agar negaranya tidak bangkrut. Kedua, meski harga komoditas primer (pertambangan dan perkebunan) tetap tinggi, namun level harga kali ini belum setinggi saat krisis 2008-2009. Bahkan masih terbuka kemungkinan harga-harga tersebut akan tertekan turun, seiring dengan pelemahan permintaan akibat krisis. Ini akan membantu upaya pemulihan.

    Karena itu, krisis memang akan memberi dampak negatif terhadap seluruh dunia, namun daya rusaknya belum sebesar krisis 2009. Perekonomian dunia masih tetap akan tumbuh, namun dengan level landai. Tidak seperti 2009, negara-negara emerging markets Asia masih akan mencapai pertumbuhan ekonomi positif, namun melemah. Pertahanan penting perekonomian Indonesia adalah sektor finansial.

    Pada akhir 2011, pasar finansial memang cenderung panik karena aroma ketidakpastian penyelesaian krisis zona euro. Namun pada jangka menengah ke depan, saya yakin investor akan tetap memandang Indonesia sebagai negara penting untuk menerima investasi portofolio, sebagaimana China dan India. Krisis ekonomi tahun 2012 nanti tetap akan menyisakan China, India dan Indonesia sebagai tiga negara dengan kinerja pertumbuhan ekonomi tertinggi.

    China tetap mampu tumbuh 9%; India 7 atau 7,5%; dan Indonesia antara 6 hingga 6,3%. Jadi, tidak ada alasan bagi investor untuk meninggalkan Indonesia. Kalaupun sekarang terjadi kepanikan, itu bersifat sementara. Yang membuat kita tetap optimistis adalah kondisi industri perbankan. Pada saat krisis 1998, industri ini merupakan “pintu masuk” terjadinya krisis yang kemudian menjalar ke mana-mana.

    Kini industri perbankan jauh lebih sound. Aspek terpentingnya adalah posisi modal. Kini rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) adalah 16,7%, atau jauh melebihi persyaratan minimal 8%. Sedangkan kemampuan mengelola risiko tercermin pada non-performing loan(NPL) yang kini 3%, atau jauh di bawah batas aman 5%. Secara kualitatif, industri perbankan juga terus mendorong tata kelola (governance).Ini semua bermuara pada profil industri perbankan yang lebih tahan guncangan.

     Namun itu semua belum cukup untuk menghadapi krisis 2012. Pemerintah harus lebih tangkas mengendalikan sisi fiskal. Jangan biarkan pembangunan infrastruktur berjalan lambat atau bahkan jalan di tempat, dan terjebak pada wacana “menunggu investor swasta yang tak kunjung datang”. Pemerintah harus berani “pasang badan” membiayai proyek infrastruktur. Belanja pemerintah yang sangat tidak disiplin,sehingga menyisakan begitu banyak anggaran tak terserap, tidak boleh terjadi lagi pada 2012.

    Problem birokrasi dan kepemimpinan yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi bottleneck, harus diurai. Saya selalu ingat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal selalu mendengungkan istilah yang indah, yakni perlunya debottlenecking. Namun sayang, itu cuma sebatas wacana. Semoga tahun 2012 memberi semangat baru, agar istilah tersebut benar-benar diimplementasikan. Jika semua itu dilakukan, saya yakin perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh antara 6,0-6,3% pada 2012. Tetaplah optimistis, dan tetaplah bekerja keras untuk mencapainya. ●