Category: Uncategorized

  • Selamat Bekerja ‘The Dream Team’ KPK

    Selamat Bekerja ‘The Dream Team’ KPK
    Ahmad Yani, ANGGOTA KOMISI III DPR FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
    Sumber : SINDO, 21 Desember 2011
    Akhirnya kita memiliki pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru. Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru beserta para wakilnya— Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, dan Busyro Muqoddas—telah dilantik pada 16 Desember lalu.

    Sosok Abraham mampu memberi harapan karena ia adalah aktivis yang dikenal idealis dan berani. Ia masih muda sehingga diyakini belum terkontaminasi oleh noda politik kekuasaan. Partner Abraham juga cukup meyakinkan. Ada nama Bambang Widjojanto, advokat cerdas dan bernyali besar, serta Busryo Muqoddas yang dikenal bersih dan memiliki jaringan yang bagus. Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain juga diyakini memiliki semangat untuk memberantas korupsi di Indonesia.

    Tim Abraham akan langsung bekerja, nyaris tanpa bulan madu. Mereka bakal dihadapkan pada banyak kasus besar yang menyita perhatian publik. Sebut saja, kasus cek pelawat, kasus wisma atlet Kemenpora, kasus mafia pajak, kasus mafia pertambangan, dan yang utama adalah kasus Bank Century. Saat fit and proper test digelar, Abraham Samad berjanji akan mundur dari KPK jika dalam setahun ia tidak mampu mengungkap kasus- kasus besar tersebut. Kalau sudah begini, Abraham Samad selaku ketua KPK harus pintar-pintar mengelola persoalan.

    Kasus-kasus besar tadi memang sangat penting dan harus segera ditangani— sesuai janjinya saat sidang fit and proper test.Namun, ia juga tak bisa melupakan persoalan penting lain yang ada di tubuh KPK. Kita tahu KPK adalah superbody, tapi lembaga ini masih jauh dari sempurna. Memang kinerja KPK sulit diukur pertanggungjawabannya. Selama proses pemilihan pimpinan KPK kemarin, masalah audit kinerja KPK pun mengemuka. Semua kandidat sepakat bahwa KPK perlu diaudit kinerjanya, sesuai Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK.

    Audit terhadap KPK selama ini dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, sepertinya BPK hanya efektif melakukan audit keuangan. Terkait dengan kinerja, tentu bukan porsi dan kewenangan BPK. Karena itu, untuk melakukan audit kinerja diperlukan sebuah komite audit tersendiri yang bersifat independen, dapat bekerja secara rutin, dan menjaga agar kinerja KPK dapat tetap terjaga. Komite Audit ini juga diharapkan mampu mendongkrak keterbukaan informasi di tubuh KPK.

    Tingkat keterbukaan informasi KPK masih terbilang rendah dibanding lembaga-lembaga lain. Padahal, berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik,setiap lembaga negara harus terbuka dalam laporan keuangan dan perjanjian- perjanjian kerja. KPK kurang memberikan informasiinformasi semacam itu ke hadapan publik secara berkala. KPK bahkan tidak pernah mengumumkan hasil audit BPK tentang KPK di situs resmi KPK.

    Koordinasi, Monitoring, dan Supervisi

    PR (pekerjaan rumah) lain bagi Tim Abraham adalah pelaksanaan fungsi koordinasi, monitoring, dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan yang juga mempunyai wewenang menyelidik dan menyidik kasus korupsi.

    Optimalisasi fungsi ini sesuai dengan janji seluruh pimpinan baru KPK yang akan lebih fokus menangani kasus-kasus korupsi skala besar.Pelaksanaan fungsi koordinasi, monitoring, dan supervisi akan memastikan kasus- kasus korupsi yang nilainya lebih kecil tetap akan tertangani—oleh polisi dan jaksa—,namun tetap berada di bawah kontrol KPK. Untuk memaksimalkan fungsi koordinasi, monitoring, dan supervisi, KPK sebaiknya menambah struktur baru. Perlu penambahan tiga deputi baru yang bertanggung jawab pada masalah koordinasi, monitoring, dan supervisi.

    Jika fungsi koordinasi, monitoring, dan supervisi itu sudah optimal, kita boleh berharap, pemberantasan korupsi akan semakin efektif. Saat ini saja KPK—secara tidak langsung—sudah bisa mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk lebih giat memerangi kasus korupsi. Sejak ada KPK pada 2003, penyidikan kasus korupsi di kejaksaan sudah mencapai 3.000 kasus dan di kepolisian mencapai 800 kasus. Tak heran jika Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia bisa meningkat, dari 2,4 pada 2004 menjadi 3 pada tahun ini.

    Bayangkan jika fungsi koordinasi, monitoring, dan supervisi itu sudah benar-benar efektif. Di tingkat penyidik dan penuntut perlu pula dilakukan penambah personel. Saat ini saya melihat tenaga penyidik dan penuntut di KPK masih jauh dari mencukupi. Tugas lain yang semestinya menjadi agenda Tim Abraham adalah benar-benar menjalankan fungsi KPK yang independen. Pemantapan fungsi independen itu harus dimulai dari memastikan agar KPK bisa melakukan rekrutmen pegawai sendiri.

    Untuk memantapkan fungsi independensi KPK tersebut, ada baiknya dilakukan perubahan terhadap UU No 30/2002 sehingga KPK menjadi berhak melakukan rekrutmen pegawainya, tanpa harus bergantung pada pasokan sumber daya manusia (SDM) dari pemerintah melalui kejaksaan atau kepolisian. Untuk sementara ini, bisa saja KPK melakukan rekrutmen dari lembaga hukum yang sudah ada. Namun, proses itu harus disertai kejelasan status pegawai yang direkrut. Ketika seorang pegawai direktur menjadi pegawai KPK, ia mutlak bekerja kepada KPK selamanya.

    Dengan begitu, loyalitas pegawai tersebut kepada KPK menjadi total. Jika tidak, loyalitas pegawai akan mendua, satu ke KPK dan satu lagi ke lembaga asalnya —tempat nanti ia akan kembali bertugas. Hal lain yang tak kalah penting adalah pimpinan KPK ke depan jangan banyak bicara. Utamakan kinerja. Bukan pada porsinya seorang pimpinan KPK terlalu banyak bicara guna mencari popularitas. Sangat lucu ketika pimpinan KPK semisal mengungkapkan kepada publik seseorang akan menjadi tersangka baru dalam kasus tertentu.

    Bukan tidak mungkin orang yang akan dijadikan tersangka telah melarikan diri terlebih dahulu. Saya tegaskan, pemimpin KPK tidak perlu populer. Yang populer cukup tindakannya. Pada akhirnya semua terpulang kepada Abraham Samad dan kawan-kawan di KPK. Kita akan selalu berharap tim Abraham bakal mendulang sukses dan mampu memberantas korupsi di Indonesia hingga ke pusat-pusat kekuasaan.

    Sebagaimana sebuah ilustrasi, penyejahteraan dan pemberantasan korupsi harus dimulai dari dua titik yang berbeda. Penyejahteraan harus dimulai dari masyarakat paling bawah, sementara pemberantasan korupsi harus dimulai dari penguasa tertinggi. Itu jangan dibolak-balik seperti sekarang. Selamat bekerja, The Dream Team KPK! ● 

  • Masa Depan Bernama Indonesia

    Masa Depan Bernama Indonesia
    Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UI
    Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011
    Sejarah tidak pernah beringsut secara linier. Evolusi senantiasa disertai oleh involusi. Ada kemajuan sekaligus kemunduran. Tidak terkecuali Indonesia. Sejak Reformasi 1998, sudah banyak kemajuan yang dicatat republik ini. Demokratisasi menjanjikan kebebasan sipil dan politik yang merupakan barang langka sebelumnya.
    Ekonomi mencatat pertumbuhan yang cukup konsisten. Pemberantasan korupsi berjalan cukup lumayan. Pendeknya, segenap indikator makro mewartakan kabar gembira.
    Namun, di balik gempita kemajuan makro, selalu terselip berbagai kisah orang kecil dan kalah. Indikator makro tidak dapat menjelaskan mengapa nelayan di sentra produksi ikan nasional, seperti di Bagansiapi-api, tetap miskin. Indikator kemajuan demokrasi tidak dapat menjelaskan mengapa orang sulit sekali mendirikan tempat ibadah. Diskursus pembangunan senantiasa berfokus pada pencapaian-pencapaian raksasa dan gagal memeriksa nasib mereka yang paling tidak beruntung.
    Diktum Pertumbuhan
    Pertumbuhan, apa pun kata sifat yang disandangnya, mengandaikan sejarah yang berlangsung linier. Masa depan bukan rahasia, melainkan angka, peringkat, atau rating. Masa depan bukan negativitas yang membikin kita berfokus pada ketidakmungkinan. Dia adalah kemungkinan yang dijemput dengan strategi, langkah, atau rencana. Dengan kata lain, diktum pertumbuhan melihat masa depan sebagai realisasi atau misrealisasi dari rencana.
    Republik pun jadi kumpulan rencana demi memenuhi indikator kinerja kunci. Sejarah adalah buatan rencana kerja Presiden. Sementara rencana kerja Presiden bertumpu pada diktum pertumbuhan. Tengok saja pidato Presiden di DPR setiap tanggal 16 Agustus. Presiden senantiasa menyampaikan apa saja yang sudah dicapai berdasarkan diktum pertumbuhan. Patokan kemajuan yang paling sering disebut pertumbuhan ekonomi. Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil (6,5 persen) di tengah krisis yang melanda Eropa dan Amerika.
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pasar domestik yang cukup besar dengan kelas menengah yang terus bertambah. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi membutuhkan pasokan, dari mana pun datangnya.
    Sebab itu, Indonesia membuka diri seluas-luasnya bagi modal asing. Modal asing membuka lapangan pekerjaan, yang artinya daya beli. Buat apa menolong nelayan lokal apabila industri pengalengan ikan dapat bernapas melalui impor ikan.
    Pertumbuhan hanya berfokus pada kenaikan konsumsi serta bagaimana menjaga agar pasokan stabil dan daya beli kuat. Indonesia saat ini sedang harap-harap cemas agar dapat memperoleh peringkat investment grade di 2012. Peringkat itu bakal membuat Indonesia kian kinclong di mata investor asing. Peringkat tersebut menjanjikan peluang besar bagi Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
    Masa depan Indonesia tidak lebih dari kumpulan angka dan peringkat. Namun, angka dan peringkat itu bukan masa depan mereka yang miskin. Nasib orang miskin hanya tergantung pada efek berantai dari naiknya jumlah investasi asing.
    Angka dan peringkat adalah masa depan bagi mereka yang berkocek tebal sehingga mampu membeli surat berharga. Angka dan peringkat adalah masa depan para pemodal asing yang berniat menanamkan duitnya di republik ini.
    Masa Depan tanpa Masa Depan
    Sejarah yang dipersepsi sebagai yang bergerak maju memiliki masalah. Kita pun tersedot perhatiannya pada segala sesuatu yang positif dan terukur. Sementara gerak sejarah tak hanya menghasilkan kemajuan positif, tetapi juga jejak-jejak negatif.
    Sejarah sebagai dialektika positif membuat kita lalai memeriksa negativitas. Negativitas bukan isyarat perbaikan. Dia bukan got mampat dan banjir yang dapat diperbaiki secara struktural. Negativitas adalah lonceng abadi yang menyabot perhatian kita bahwa masa depan adalah ketidakmungkinan bagi sebagian orang.
    Pertumbuhan senantiasa menyoroti pencapaian positif di masa depan. Sementara negativitas bersembunyi di dalam kekinian yang buram. Dia bersemayam di dalam kisah orang-orang yang berkesusahan.
    Nelayan Bagansiapi-api adalah negativitas itu. Bayangkan! Setelah 12 jam melaut, nelayan di sana hanya mampu memperoleh ikan senangin sekitar 15 kilogram dengan harga jual Rp 320.000. Dengan penghasilan tersebut, keuntungan yang diperoleh hanya Rp 120.000. Setiap nelayan pun memperoleh Rp 40.000. Uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tabungan tidak ada dan masa depan pun menjadi deus absconditas bagi para nelayan tersebut.
    Pertumbuhan senantiasa menyoroti pentingnya pasokan. Saat nelayan Bagansiapi-api dan juga sebagian besar nelayan lainnya gagal memasok industri pengalengan ikan, impor ikan pun dibuka lebar. Semua itu dilakukan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi.
    Kita tidak pernah berpikir tentang masa depan nelayan yang hidupnya ”senin-kamis”. Masa depan adalah pidato Presiden di depan DPR yang membeberkan berbagai capaian ekonomi makro. Kita berharap kenaikan produksi tembakau di sentra tembakau seperti di Jawa Timur. Namun, kita tidak peduli nilai tukar petani tembakau yang ditekan para tengkulak. Kenaikan produksi tembakau adalah masa depan tengkulak, bukan petaninya.
    Saya memang sinis dengan upaya mengukur masa depan. Bulat lonjong republik ini di tahun 2012 tidak dapat diserahkan kepada indikator-indikator makro dalam diktum pertumbuhan. Namun, tidak berarti masa depan sama sekali tanpa ukuran. Bagi saya, masa depan bukan angka dan peringkat. Masa depan diukur berdasarkan perubahan radikal koordinat ketidakmungkinan mereka yang tidak beruntung. Perubahan radikal ini tidak teraba di dalam indikator-indikator makro. Dia hanya teraba di dalam militansi politik yang berpihak kepada mereka yang tidak bermasa depan.
    Kemajuan republik ini tidak disandarkan pada jumlah modal asing yang masuk atau peringkat utang. Dia diukur berdasarkan sejauh mana nelayan Bagansiapi-api dapat menabung sehingga memiliki masa depan. Sejauh mana jaminan sosial membikin orang miskin penderita penyakit kronis tetap memiliki harapan. Indonesia, singkat kata, adalah masa depan bagi semua, bukan segelintir orang. Indonesia adalah masa depan bagi dia yang tidak bermasa depan.  
  • 2012: Tahun Kebangkitan Indonesia

    2012: Tahun Kebangkitan Indonesia
    Sasongko Tedjo, JURNALIS SUARA MERDEKA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 21 Desember 2011
    ”Dunia saja sudah mengakui keberhasilan kita, mengapa kita masih saling tuding kesalahan, tidak percaya diri, dan tak mendukung pemerintah”.

    OPTIMISME masih layak diterbarkan memasuki 2012. Walaupun menteri-menteri masih tidur dan kabinet SBY belum banyak membuat gebrakan, ekonomi tetap jalan. Kendati kegaduhan politik sudah memunculkan wacana capres yang terlalu dini dan korupsi merajalela sampai ke mana-mana, pasar Indonesia, dengan 230 juta penduduknya, tetaplah besar. Inilah modal utama kita: domestic market.

    Di tingkat global, perlambatan gerakan ekonomi sedang berjalan. Eropa masih dipusingkan oleh kemerosotan euro yang nyaris tak tertolong. Negara-negara kaya itu ternyata juga terlilit persoalan utang karena ketidakberimbangan anggarannya. Akibatnya ekonominya pun jatuh dengan pertumbuhan yang sangat minimal, untuk tidak mengatakan zero growth.

    Karena solusi tak kunjung didapat, Moody’s akan menurunkan peringkat semua negara Eropa terkait dengan utang. Tak dapat dicegah, krisis Eropa merembet ke urusan politik sehingga akan membuat makin runyam dan panjang. Sudah lama negara-negara itu terkena sebuah penyakit baru, yakni ketidaksinkronan antara kebijakan politik dan ekonomi. Maka episentrum krisis global saat ini bergeser dari Amerika Serikat ke Eropa.

    Di Amerika Serikat, walaupun kondisinya tidak separah Eropa, imbas krisis keuangan 2008 juga belum sepenuhnya pulih. Kepercayaan investor harus dibangun lagi sejak awal, sementara perekonomian domestiknya sudah lama menderita penyakit defisit anggaran yang besar. Lagi-lagi utang yang menjadi beban perekonomian sehingga kalau pun sudah positif pertumbuhannya sangat rendah.

    Maka harapan satu-satunya adalah Asia. Banyak analis ekonomi yang menyebutkan sekaranglah saatnya kebangkitan Asia. Tahun 2012 bahkan disebutnya sebagai Tahun Asia. Tetapi saya lebih spesifik dan tegas lagi dengan menyebutkan 2012 adalah Tahun Indonesia. Karena justru negara-negara di Asia, terutama Asia Timur, masih tampil dengan performa yang bagus. China tetap memimpin dengan angka pertumbuhan yang tidak pernah kurang dari 8 persen. Jepang memang sedikit melamban karena beban finansial dan interaksinya yang kuat dengan pasar uang internasional, namun yang lain rata-rata tidak bermasalah.

    Indonesia yang tahun ini diperkirakan bisa tumbuh 6 persen, tahun depan menurut asumsi APBN 2012 pertumbuhan mencapai 6,7 persen. Katakanlah itu terlalu optimistis, Bank Dunia pun merevisinya menjadi 6,2 persen. Tetaplah di atas 6 persen dan itu adalah sebuah ‘’kemewahan’’ di tengah kondisi global yang secara rata-rata masih meriang.

    Ekonomi Riil
    Di mana letak kekuatan ekonomi Asia, khususnya Indonesia? Bukan lagi di pasar saham dan pasar finansial, meskipun itu juga tetap penting dijaga kestabilannya. Perekonomian Indonesia sangat mengandalkan sektor riil yang juga mencapai kemajuan pesat terutama pada kuartal III tahun 2011.
    Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 6,5 persen (yoy/ year on year) selama tiga kuartal berturut-turut. Begitu juga dengan aliran modal dari luar yang berupa foreign direct investment (FDI) juga mengalir dengan lancar.
    Jadi kendati penyerapan anggaran pemerintah seringkali lemah, sektor swasta bergerak lebih cepat. Ekspor pun melaju sehingga cadangan devisa kita sudah mencapai 111,3 miliar dolar AS pada akhir November 2011 padahal pada Januari 2010 baru 69,6 miliar dolar AS. Suatu angka yang boleh dikatakan amat sangat aman dan cadangan devisa merupakan indikator ekonomi yang sangat penting.

    Kombinasi kekuatan ekspor dan juga pasar domestik yang sangat kuat membuat Indonesia menjadi gadis cantik yang menarik di Asia. Ketika uang sudah sulit dialirkan ke wilayah lain karena tidak menjanjikan keuntungan, Indonesia menjadi pilihan yang sangat diperhitungkan, selain negara-negara ASEAN dan Asia Timur lainnya.

    Maka inilah momentum yang sangat tepat untuk membenahi berbagai kendala investasi. Misalnya soal infrastruktur, peraturan perpajakan, ketenagakerjaan, dan yang paling klasik adalah pelayanan birokrasi dan perizinan. Justru itulah tugas tim ekuin dalam kabinet sekarang yang harus segera diselesaikan. Jangan terpaku pada upaya menstabilkan makroekonomi saja meskipun itu juga sangat penting. Sektor riil harus digenjot habis-habisan.

    Di dalam negeri Presiden SBY sering menjadi bulan-bulanan politikus dan bahan olok-olok di obrolan warung kopi. Tetapi itu lebih pada gaya kepemimpinan. Kenyataannya dalam lima tahun terakhir ini kinerja ekonomi dan pengaruh kita di lingkup global makin diakui. Indonesia adalah bagian dari G20 yang sekarang mengendalikan perekonomian dunia.

    Menjelang akhir tahun ini pun sebuah kado diberikan dari lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings yang sudah memasukkan Indonesia ke dalam investment grade yang kali pertama sejak krismon tahun 1997. ●  
  • Lampu Kuning Mesuji

    Lampu Kuning Mesuji
    Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI FRAKSI PARTAI GOLKAR
    Sumber : SINDO, 21 Desember 2011
    Tragedi Mesuji otomatis menjadi lampu kuning dan mereduksi klaim tentang progres reformasi Indonesia.

    Tragedi itu pun menambah bukti tentang kondisi negara yang sangat lemah karena semua alat kelengkapan negara tak mampu melindungi rakyat di pelosok desa. Akhirnya tragedi Mesuji melengkapi fakta tentang karut-marut penegakan hukum Buram dan kumuh. Itulah yang harus dikatakan tentang penegakan hukum dalam beberapa tahun terakhir ini. Proses hukum skandal Bank Century belum juga mencatat kemajuan berarti meski beberapa bukti baru terus dimunculkan.

    DPR berketetapan memperpanjang masa tugas tim pengawas proses hukum skandal karena berharap kepemimpinan baru di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih responsif. Ekspektasi publik terhadap proses hukum kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games Palembang dan Proyek Hambalang pun tampaknya tidak terwujud. Dakwaan terhadap aktor utama kasus ini, Muhammad Nazaruddin, sempat disederhanakan sedemikian rupa sehingga Nazaruddin seperti dipaksa untuk menelan ludahnya sendiri. Pembiaran-pembiaran itu cenderung menimbulkan preseden.

    Oknum-oknum birokrat dan unsur swasta tidak takut untuk melakukan kejahatan berskala besar. Ada keyakinan pada mereka bahwa manakala aksi kejahatannya terungkap, semuanya bisa diatur dan mereka akan lolos dari jerat hukum. Itulah yang terjadi pada kasus cek pelawat di pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia 2004. Mereka yang didakwa sebagai penerima suap sudah divonis, sementara rakyat di negara ini tak pernah diberi tahu siapa yang menjadi pemberi suap dalam kasus ini. Si penyuap bisa lolos hingga saat ini karena segala sesuatunya bisa diatur dengan uang atau dengan tekanan politik.

    Apa yang terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung, juga menggambarkan betapa beraninya pelaku kejahatan tersebut. Mereka mengadu domba warga setempat hingga jatuh korban tewas. Para pelaku kejahatan di Mesuji sudah sampai pada prinsip menghalalkan segara cara,termasuk mengorbankan nyawa manusia, demi sebuah bisnis.Anehnya,penderitaan warga Mesuji akibat kesemena- menaan dan ketidakpedulian negara baru terungkap pertengahan Desember 2011. Padahal, rangkaian tindak semena-mena itu sudah berlangsung sejak April 2011.

    Serba Janggal

    Tindakan semena-mena terhadap warga Mesuji tampak begitu nyata ketika alatalat kelengkapan negara ikut-ikutan, bahkan proaktif, menyiapkan Pamswakarsa yang diinisiasi swasta. Ketika alatalat negara setempat membiarkan atau merestui kekuatan modal swasta membentuk Pamswakarsa untuk menyelesaikan persoalan sengketa lahan, sama artinya negara memberi ruang bagi kekuatan modal swasta untuk mengadu domba rakyat atau warga setempat.

    Pamswakarsa biasanya juga warga setempat. Persoalan berikutnya adalah mengapa tragedi Mesuji tidak menimbulkan heboh beberapa saat setelah kejadian? Menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusahpayah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka. Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR RI. Kedua, upaya menyederhanakan kasus.

    Ketiga, upaya menutup-nutupi tragedi ini. Kalau benar terjadi tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat di Mesuji pada pekan kedua November 2011, dan baru menjadi heboh di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap sebuah tragedi kemanusiaan. Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak oleh penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional.

    Maka, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi kasus ini. Warga setempat bahkan sempat diselimuti rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman. Karena itu, untuk mendalami latar belakang kasus ini, Menko Polhukam mestinya mempertanyakan kejanggalan ini. Setidaknya, kalau betul terjadi tragedi pelanggaran HAM berat di Mesuji, mengapa Jakarta (Pemerintah Pusat) harus dibuat terkejut satu bulan kemudian? Tidakkah berarti ada standard operating procedure (SOP) yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?

    Semua kejanggalan dalam menangani kasus ini sudah menodai progres reformasi. Kitasudah kehilangan hak untuk membuat klaim tentang kemajuan reformasi. Kasus ini mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat luas, termasuk oleh media asing. Dengan terjadinya pelanggaran HAM berat di Mesuji, praktis tidak ada argumen yang layak untuk bisa meyakinkan siapa pun bahwa alat-alat negara sudah reformis. Semua elemen masyarakat sangat prihatin dengan apa yang terjadi di Mesuji.

    Harihari belakangan ini terjadi adu argumentasi tentang benar-tidaknya pembantaian, tentang jumlah korban, dan tentang siapa pelakunya. Dalam konteks penegakan hukum, adu argumentasi tentang hal-hal tersebut memang perlu. Namun, dalam konteks yang lebih luas, adu argumentasi itu tidak penting lagi. Dalam konteks citra negara dan bangsa, adu argumentasi tidak menyelesaikan persoalan. Negara sudah dalam posisi harus mengakui ada tragedi itu. Tidak mungkin warga Mesuji jauh-jauh datang dan melapor ke DPR hanya untuk berbohong.

    Penyelenggara pemerintahan di negara justru harus bertanya dan introspeksi, karena model tragedi seperti itu masih terjadi di era reformasi sekarang. Kalau ada korban tewas, terluka, dan trauma berkepanjangan akibat pelanggaran HAM berat, pemerintah justru harus bertanya pada dirinya sendiri; mengapa alat negara tidak bisa melindungi rakyat di lokasi kejadian?

    Kalau tidak bisa melindungi rakyatnya sendiri, berarti pemerintah dapat dinilai gagal dan lemah. Ini sekaligus juga menjadi lampu kuning bagi kepala negara.  

  • Mempertahankan Peringkat Hutang

    Mempertahankan Peringkat Hutang
    Mirza Adityaswara, EKONOM ISEI
    Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011
    Berita 15 Desember bahwa lembaga pemeringkat kredit Fitch Ratings telah menaikkan peringkat kredit Surat Utang Republik Indonesia dari BB+ ke BBB- disambut positif pemerintah dan dunia swasta.
    Fitch adalah satu dari tiga lembaga pemeringkat yang biasa dijadikan referensi investor. Dua lainnya adalah Standard & Poor’s (S&P) dan Moody’s. Dalam dunia investasi, peringkat BBB- sudah dikategorikan peringkat investment grade (layak investasi). Diperkirakan S&P dan Moody’s juga akan meningkatkan peringkat Indonesia menjadi investment grade dalam 12 bulan ke depan.
    Debitor dengan peringkat BBB didefinisikan sebagai ”good credit quality”. Peringkat layak investasi tertinggi adalah AAA (triple A) atau didefinisikan sebagai ”highest credit quality”. Masih ada sembilan peringkat lagi di atas BBB- sebelum mencapai AAA.
    Perjuangan panjang, yaitu 14 tahun, bagi Indonesia untuk kembali meraih investment grade. Indonesia meraih peringkat layak investasi BBB- sebelum 1998. Bahkan S&P pada tahun 1995 memberikan peringkat kredit satu jenjang lebih tinggi, yaitu BBB (tanpa tanda minus). Krisis ekonomi parah 1998-1999 membuat peringkat ini jatuh terpuruk. S&P mengategorikan Indonesia menjadi ”selective default” pada Maret 1999, kemudian dinaikkan ke CCC+ pada April 1999. Perjalanan sulit bagi Indonesia karena ada tujuh peringkat di atas CCC+ sebelum mencapai BBB-.
    Kemampuan membayar utang tergantung situasi politik, kondisi ekonomi, dan anggaran pemerintah. Anggaran pemerintah yang sehat akan punya cukup dana untuk membayar utang. Peringkat kredit Indonesia mulai membaik secara bertahap dua jenjang menjadi B pada periode 2002-2003, yaitu setelah situasi keamanan dan politik mulai membaik dan proses rekapitalisasi perbankan selesai dilaksanakan. Setelah kurs rupiah menjadi lebih stabil dan suku bunga mulai turun serta bank mulai memberikan kredit, pada akhir 2003-2004 peringkat membaik lagi menjadi B+.
    Kemudian Januari 2005-Desember 2011, dalam enam tahun peringkat membaik empat titik hingga kini menjadi BBB-. Pengelolaan ekonomi makro yang berhati hati, terutama menjaga rasio defisit APBN di bawah 2 persen PDB, menekan rasio utang pemerintah di bawah 30 persen PDB, menjaga surplus neraca ekspor impor barang dan jasa, serta memelihara perbankan yang sehat menjadi kunci utama perbaikan terus-menerus di peringkat kredit Indonesia.
    Rasio utang pemerintah terus membaik bertahap dari 100 persen PDB saat harus merekapitalisasi perbankan pada 1999-2000 menjadi 25 persen PDB pada 2011. Rasio makro ini harus bisa kita pertahankan jika kita ingin peringkat terus membaik ke arah A. 
    Bandingkan dengan Italia, negara ketiga terbesar di Eropa yang peringkat kreditnya A tetapi rasio utang pemerintah 120 persen PDB sehingga peringkat kredit turun dan imbal hasil surat utang pemerintah memburuk signifikan dari 3 persen ke 7 persen dalam setahun terakhir. Negara Eropa yang lebih kecil, seperti Yunani, Irlandia, dan Portugal, juga dilanda krisis ekonomi karena rasio utang pemerintah di atas 100 persen PDB.
    Kredibilitas Peringkat
    Apa pentingnya peringkat kredit yang dibuat oleh lembaga pemeringkat internasional? Kredibilitas lembaga pemeringkat kredit dipertanyakan setelah mereka gagal memprediksi krisis kredit sektor perumahan (sub-prime mortgage) di pasar keuangan AS 2007-2008, yang kemudian menjadi krisis keuangan global 2008- 2009. Lembaga pemeringkat kredit juga gagal memprediksi kebangkrutan perusahaan energi Enron di AS, 2001. 
    Obyektivitas lembaga ini juga dikritik karena mereka dibayar emiten bersangkutan. Maka, peringkat dihasilkan lembaga ini disebut ”lagging indicator” bukan ”leading indicator”, yaitu indikator yang terlambat, bukan indikator yang antisipatif. Pergerakan harga saham dan harga obligasi lebih dipercaya sebagai ”leading indicator”.
    Bagi investor jangka pendek, peringkat Indonesia sebenarnya sudah dianggap masuk kategori investment grade, mungkin sejak setahun lalu karena sejak 2010 imbal hasil surat utang negara (SUN) sudah di bawah 7 persen (saat ini SUN 10 tahun hanya 6,1 persen). Bahkan, investor pasar saham sudah melihat potensi perbaikan ekonomi dan kenaikan laba perusahaan Indonesia sejak 2005.
    Meski peringkat investment grade terlambat diberikan, peringkat ini sangat bermanfaat bagi Indonesia. Masih banyak investor portofolio, terutama investor jangka panjang seperti dana pensiun dan asuransi di AS serta Eropa yang aturan internalnya tak membolehkan investasi di negara yang belum masuk investment grade. Bahkan, banyak yang mensyaratkan paling tidak dua lembaga memberikan kategori investment grade.
    Artinya, belum cukup dengan hanya peringkat dari Fitch, investor menunggu S&P atau Moody’s memberikan investment grade sebelum mereka masuk membeli instrumen keuangan di Indonesia. Artinya, pendanaan jangka panjang dari luar negeri bagi pemerintah, perbankan, dan swasta Indonesia akan menjadi lebih tersedia pada 2012-2013.
    Bagaimana kita memanfaatkan ketersediaan pendanaan ini? Yang pertama, proyeknya harus ada. Kedua, proyek tersebut dapat dilaksanakan tanpa hambatan birokrasi, tenaga kerja, ketersediaan lahan, dan infrastruktur pendukung. Peraturan yang mengada-ada cenderung hanya mengundang korupsi. Pada masa desentralisasi, pengusaha yang beroperasi di luar Jakarta harus mengurus perizinan ke berbagai pemda. Investor jalan kereta api mungkin perlu izin dari 12 pemerintah kabupaten. Yang terpenting, pengadaan infrastruktur di wilayah timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara sebab di sanalah kantong-kantong kemiskinan belum tersentuh pembangunan. Semoga disahkannya UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum minggu lalu dapat mempercepat eksekusi proyek infrastruktur kita.  
  • Mahasiswa: Gerakan dan Harapan

    Mahasiswa: Gerakan dan Harapan
    Herlianto, MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM MALANG;
    KETUA KOORDINATOR KAJIAN BUDAYA ”NGANTIWANI” KOTA MALANG
    Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011
    Potret mahasiswa saat ini seperti menarik ulur emosi masyarakat. Masyarakat sempat dibuat geram oleh konflik antarmahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo serta bentrokan mahasiswa dengan pihak kampus di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang berujung perusakan fasilitas kampus. Pekan lalu, masyarakat dibuat pilu oleh aksi bakar diri Sondang Hutagalung, mahasiswa hukum Universitas Bung Karno.
    Sondang membakar diri di depan Istana Negara. Aksi ekstrem yang berakhir dengan kematian itu adalah bagian dari usahanya membela hak rakyat yang dirampas oleh negara.
    Beberapa polisi berkukuh bahwa itu adalah aksi akibat ketidakwarasan Sondang. Namun, hal ini dibantah keluarga dan teman-temannya dalam Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Sondang, anak sopir taksi, adalah orang yang sehat lahir dan batin. Ia idealis dan gencar membela hak rakyat dengan aksi kreatif.
    Cipta Lesmana, pakar komunikasi politik, menyebut ini sebagai komunikasi politik karena berlangsung di depan Istana Negara. Artinya, apa yang dilakukan Sondang adalah salah satu upaya membuka mata, telinga, dan hati penguasa negeri ini agar serius menangani serta menuntaskan persoalan hak asasi manusia yang belum ada realisasinya.
    Dari segi gerakan muncul pertanyaan, mengapa kali ini Sondang memilih aksi seorang diri yang sangat ekstrem. David Émile Durkheim, salah satu pencetus sosiologi modern, menjelaskan bahwa bunuh diri dan gerakan kebrutalan terjadi akibat perubahan masyarakat yang cepat.
    Semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma. Apalagi, peningkatan sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial telah meruntuhkan norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Itulah yang memunculkan segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
    Artinya, aksi nekat itu terjadi karena ada kekosongan gerakan mahasiswa, sementara aksi yang ada belum menggerakkan penguasa. Maka, dia pun tampil dengan cara yang berbeda agar ditanggapi. Ironisnya, pengorbanan nyawa ini hanya ditanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya.
    Teladan Gerakan
    Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial berakibat pada memudarnya solidaritas organik serta kolektivitas. Nilai-nilai itu tereduksi oleh individualitas dalam cara yang berbeda dengan kesadaran kolektif, bahkan sering berbenturan. Inilah pemicu parsialisasi gerakan mahasiswa.
    Bukan hal baru bahwa bentrokan antarmahasiswa pada ajang demonstrasi terjadi karena perbedaan identitas latar belakang organisasi. Yang satu mengklaim basis gerakannya yang paling benar, yang lain pun demikian. Muncullah sikap saling mencurigai yang berujung pada anarkisme. Wacana pluralisme dan multikulturalisme belum cukup untuk menjalin toleransi antarorganisasi mahasiswa. Masih dibutuhkan waktu untuk melahirkan gerakan kolektif antargerakan yang tidak memedulikan latar belakang organisasi dan nilai-nilai nasionalisme.
    Maka, teladan yang bisa kita ambil dari Sondang adalah mengakhiri aksi seorang diri dan merapatkan barisan untuk menyongsong masa depan bangsa. Sejatinya, aksi itu bukan hanya tamparan terhadap pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan HAM, melainkan juga tamparan moral bagi mahasiswa untuk segera bangkit dan bergegas menegakkan perannya sebagai agen perubahan dan kontrol (agent of change dan agent of control) yang selama ini dirobohkan sendiri oleh mahasiswa.
    Mahasiswa yang terjebak pada politik praktis di kampus harus segera mengevaluasi diri dan keluar dari situ. Mereka yang terlelap dalam menara gading ilmu harus bangun dan membantu mereka yang termarjinalkan.
    Poin penting lain dari Sondang adalah makna pengorbanan bagi kepentingan publik dan tidak pernah lelah berjuang demi suatu keadilan. Mahasiswa yang haus kebenaran seharusnya tidak tertarik dan tidak memiliki kepentingan terhadap popularitas, uang, serta kekuasaan.
    Seperti kata sosiolog Pierre Bourdieu, mahasiswa perlu menciptakan habitus baru, yaitu intelektual kolektif. Habitus ini untuk menjaga dan membela otonominya dari keterlibatan pada praktik politik praktis yang mencederai keadilan serta dapat mengarahkan gerakan mahasiswa pada gerakan kritis terhadap kebijakan yang meminggirkan kaum minoritas.
    Harapan Masa Depan
    Apa pun alasannya, tumpuan masa depan tetap pada generasi muda, termasuk mahasiswa. Memang mahasiswa menjadi komunitas yang berbeda karena mereka berada di jenjang pendidikan lebih tinggi dari rata-rata masyarakat. Akan tetapi, mahasiswa tetap harus berani berkorban karena makin sulit mencari kaum tua yang peduli negeri ini.
    Adalah melelahkan memilah kaum tua yang benar-benar berdedikasi untuk bangsa di tengah kebiasaan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, mahasiswa menjadi harapan akan masa depan baru yang lebih bersih dan berani berkata tidak pada praktik kotor bangsa ini.
    Maka, jika negeri ini diskenariokan menuju negara penguasa ekonomi dan negara adikuasa 2025 dan 2045 (Kompas, 25/11 dan 11/11) tumpuan utamanya adalah mahasiswa. Artinya, mahasiswa harus segera mengakhiri kevakuman gerakan, parsialisasi gerakan, apatisme, apalagi hedonisme. Kalau perlu, bersama mendefinisikan ulang makna gerakan yang sebenarnya.
    Gaya Hidup
    Gaya hidup juga menjadi penyebab tumpulnya gerakan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa yang dikelilingi budaya konsumtif dan perkembangan teknologi bisa mengurangi perhatian mereka pada rakyat yang dilanggar hak-haknya. Waktu luang mahasiswa tersedot untuk bersolek (dandyism) dan konsumsi.
    Mahasiswa terjebak pada dramaturgi pameran seperti dikatakan David Chaney dalam bukunya, Lifestyle (1996). Mereka seakan-akan bertindak di atas panggung teatrikal yang kemudian diritualkan. Apa pun kondisinya, lingkungan seakan menuntut mereka untuk selalu tampil modis dan menarik. Mahasiswa menjadi salah satu penikmat produk-produk kapitalis meskipun sebenarnya mereka tak jarang mengkritik kapitalisme.
    Maka, sudah saatnya mahasiswa menjadikan momen Sondang Hutagalung ini sebagai ajang refleksi dan, kalau perlu, merekonstruksi visi dan misi gerakan secara nasional dengan mendasarkan pada nilai-nilai kolektivitas serta dedikasi. Mahasiswa perlu membuang jauh gaya hidup yang cenderung individual dan bermuara pada kesenangan sementara: hedonisme, dandyism, apatisme, dramaturgisme, dan sejenisnya.
    Mahasiswa perlu segera beranjak untuk mengendalikan kapal bangsa yang tengah oleng terombang-ambing badai moral.  
  • Investasi dan Waralaba

    Investasi dan Waralaba
    Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
    UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
    Sumber : SINDO, 21 Desember 2011
    Perekonomian Indonesia sejak sekitar seminggu lalu hiruk-pikuk oleh dua berita penting. Pertama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyambut dengan tangan terbuka 16 waralaba asing (AS) yang akan masuk ke Indonesia.

    Waralaba AS tersebut kebanyakan akan masuk ke sektor makanan dan minuman sehingga jika kesepakatan itu direalisasikan, dipastikan akan makin menambah pelaku ekonomi asing yang masuk ke Indonesia lewat mekanisme waralaba. Kedua, Indonesia baru saja mendapatkan posisi “investment grade” dari lembaga pemeringkat Fitch, dari semula BB+ menjadi BBB-.

    Pemerintah gembira sekali dengan kenaikan posisi tersebut sebab merasa investasi asing akan segera membanjiri pasar Indonesia, termasuk daya jual surat berharga negara yang makin meningkat. Dari dua berita tersebut sebetulnya hal apa yang mesti dicermati pengaruhnya terhadap perekonomian nasional ke depan?

    Liberalisasi dan Kedaulatan Ekonomi

    Pada zaman ini hampir tidak bisa ditemui negara yang perekonomiannya hidup hanya dengan mengandalkan investasi domestik,kecuali negara tertentu yang sangat tertutup, misalnya Korea Utara. Investasi dari negara lain (asing) diperlukan karena dua alasan pokok: mengatasi kelangkaan dana domestik dan merangsang munculnya wirausaha domestik (lewat persaingan dengan usaha asing).

    Negara berkembang tentu berkepentingan dalam soal ini karena karakteristik ekonominya yang ditandai dengan tingkat tabungan yang lebih kecil dari kebutuhan investasi (saving-investment gap). Demikian pula, dengan investasi asing diharapkan transfer teknologi dan persaingan ekonomi bisa mendorong kemampuan dan kemajuan ekonomi di dalam negeri. Lalu lintas investasi antarnegara tersebut menjadi lebih pesat berjalan sejak dekade 1980-an ketika proyek liberalisasi (perdagangan, keuangan, dan investasi) dilakukan secara sistematis.

    Indonesia bahkan memfasilitasi investasi asing itu sejak 1967 via UU No 1/ 1967, yang kemudian terus disempurnakan lewat PP No 20/1994 dan UU Penanaman Modal No 25/2007. Hasilnya memang luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat peningkatan peran penanaman modal asing (PMA) terhadap total investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 65% terhadap total investasi. Tetapi, pada 2010 peran PMA tersebut sudah melonjak menjadi lebih dari 70%. Dengan kata lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30%.

    Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap (komplementer) investasi sudah tidak berlaku lagi karena saat ini justru PMA menjadi sumber utama investasi nasional. Deskripsi itu menjelaskan dengan baik betapa liberalisasi secara perlahan menggerogoti kedaulatan dan kemandirian perekonomian nasional. Jika pada awalnya investasi asing diharapkan berperan sebagai pendorong munculnya jiwa kewirausahaan lokal, ternyata dalam realitasnya malah mendesak dan mematikan pelaku ekonomi domestik.

    Operasi investasi asing itu bisa berupa langsung membuat pabrik atau eksplorasi seperti kasus industri pertambangan, perbankan, komunikasi, dan lain-lain; atau merangsek lewat model franchise/ waralaba.

    Penetrasi Waralaba Asing

    Metode waralaba sebetulnya bukan barang baru karena sudah ada sejak abad 19.Pada 1851 perusahaan mesin jahit AS, Singer, mengadopsi sistem waralaba untuk memperluas jaringan dan penjualan produknya. Setelah itu,di penghujung abad 19, tepatnya 1898, General Motor juga melakukan langkah serupa dengan memakai istilah “independent business”.

    Setelah itu berturutturut perusahaan obat Rexall dan megakorporasi minuman, Coca Cola dan Pepsi, mengikutinya hingga saat ini (Hidayat, 2011).Sementara itu,bisnis waralaba tersebut masuk pertama kali ke Indonesia pada 1970- an, yang ditandai dengan masuknya KFC, Swensen, Shakey Pisa, dan akhir-akhir ini diteruskan oleh Burger King dan Seven Eleven.Pada 1992 sudah tercatat ada 29 waralaba asing dan enam lokal (dengan outlet sejumlah 300) yang beroperasi di Indonesia.

    Perkembangan waralaba itu begitu pesat sebab lima tahun setelah itu (1997) jumlahnya melesat menjadi 265,di mana 235 milik asing dan 30 lokal, dengan outlet sebanyak 2.000. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998, bisnis waralaba ini juga turut terhempas sehingga tinggal 170-an waralaba asing yang beroperasi dan sekitar 500 outlet yang ditutup. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan waralaba domestik untuk merebut pasar sehingga tercatat pada periode 2000-2004 pertumbuhan waralaba domestik lokal mencapai 60%, sedangkan asing sekitar 27%.

    Sampai 2010, diperkirakan omzet bisnis waralaba tersebut mencapai Rp100 triliun.Umumnya waralaba ini masuk ke lima sektor yakni food and beverages, educational products and services, retail sector, real estate services, serta laundry and dry cleaning (www.Franshising_Indonesia.c om). Celakanya, sekarang ketika waralaba lokal berkembang pesat muncul kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat tersebut. Kebijakan longgar yang dibuka Menteri Mari Pangestu itu sekurangnya bermasalah dalam tiga hal.

    Pertama, sektor usaha makanan dan minuman merupakan kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan usaha kelas menengah ke bawah sehingga pembukaan ini menggerus ruang operasi pelaku ekonomi pada kelas tersebut. Kedua, sampai saat ini pemerintah tidak pernah menerapkan asas resiprokal dalam kerja sama ekonomi dengan luar negeri. Pelaku ekonomi asing dibiarkan melenggang bebas masuk ke Indonesia, tapi pelaku ekonomi domestik sangat sulit membuka operasi usaha di negara asing.

    Ketiga, pembukaan pasar domestik secara besar-besaran dilakukan pada saat pemerintah nyaris tidak berbuat sama sekali untuk memperkuat ekonomi domestik. Ketiga hal itu tentu saja membuat luka dan menyakiti perasaan rakyat Indonesia.  

  • N y a w a

    N y a w a
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 20 Desember 2011
    PADA minggu pertama Desember ini, merebak kabar di berbagai media, seorang remaja pandai dan pernah meraih medali perak olimpiade sains, tewas ditikam ketika hendak pulang seusai main futsal.
    Remaja bernama Christopher Melky Tanujaya itu dibunuh oleh seorang pemuda pengangguran, Ayub, yang mengincar handphone Blackberry warna putih yang tengah dimainkan korban, seturun dari bus Transjakarta, di daerah Pluit.
    Setelah kejadian itu, foto korban dengan lehernya yang berlubang karena ditembus pisau beredar di berbagai media sosial. Foto tersebut cukup menggetarkan, karena demi sebuah handphone pelaku menikam korbannya di posisi-posisi tubuh yang mematikan.
    Hampir bersamaan dengan penangkapan tersangka pembunuh Christopher, jajaran Polda Metro Jaya juga menangkap pembunuh seorang remaja, siswa SMA Pangudi Luhur, dalam sebuah insiden di klub malam. Keterangan dari polisi menyebutkan dalam kasus ini, baik korban maupun pelaku sama-sama dalam pengaruh alkohol, dan penusukan dimulai dari senggolan di lantai dansa.
    Di Depok, seorang ibu pedagang sayur yang hendak belanja ke pasar pada dini hari diperkosa oleh empat pria dalam sebuah mikrolet M-26. Ibu itu menyerah tak berdaya karena dia ditodong golok oleh para pelaku. Sampai kini para pelaku masih diburu polisi. Mungkin, kalau ibu itu melawan, nyawanya juga melayang.
    Dalam acara sarasehan “Harapan Masyarakat terhadap Polri” menyambut HUT ke-62 Polda Metro Jaya, saya berbincang dengan Wakapolda Metrojaya, Brigjen (Pol) Suhardi Alius mengenai berbagai aksi kriminalitas yang mengerikan itu. Dia mengakui, nyawa di Jakarta sangat “murah”.
    Hanya karena urusan uang Rp 50 ribu saja nyawa bisa melayang. Saya mencoba menganalisis dengan mengatakan mungkin faktor kesenjangan sosial yang semakin lebar ikut memicu tindak-tindak kriminalitas seperti itu, dan dia tidak menampik analisis tersebut.
    Apakah Jakarta semakin tidak aman? Ataukah kualitas kejahatan jalanan (street crime) meningkat? Praktikus psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengingatkan agar tidak terlalu percaya pada statistik kriminalitas, karena hal itu bukan cerminan situasi yang nyata.
    Dia mengingatkan tugas polisi 70 persen adalah pembinaan keamanan, dan hanya 30 persen yang merupakan penegakan hukum. Dalam pandangan saya perasaan Jakarta semakin aman atau tidak ditentukan oleh persepsi masyarakat. Sementara yang ikut membentuk persepsi itu adalah media massa.
    Mengapa Memenggal?
    Namun, di Sungai Sodong, di Kecamatan Mesuji, di Kabupaten Ogan Komering Ilir, ada kejadian mengerikan bentrok antar penduduk dan centeng perkebunan (yang dibeking aparat keamanan) pada 21 April 2011 lalu, berlanjut pada pemenggalan kepala beberapa penduduk yang tewas.
    Kebiadaban itu dapat dilihat di rekaman video yang beredar di media sosial, termasuk adegan seorang anggota polisi (karena mengenakan seragam hitam dan menyandang senapan serbu) memegang kepala yang telah dipenggal, sementara seseorang menyampaikan semacam ancaman dalam dialek lokal.
    Anggota Komisi III DPR yang mengunjungi lokasi kejadian pada Minggu (18/12) kemarin baru menyadari kejadian itu ada dan sama sekali bukan rekayasa karena mendengar langsung dari Kapolres OKI, Ajun Komisaris Besar Agus F, kemungkinan besar pada aksi pemenggalan itu terjadi saat pecah bentrokan antara warga Sungai Sodong dan karyawan perkebunan kelapa sawit PT Sumber Wangi Alam.
    Saya hanya bertanya, mengapa kebiadaban seperti itu dibiarkan, bahkan di depan mata polisi? Apakah orang-orang yang dibunuh lalu dipenggal kepalanya itu bukan sesama rakyat Indonesia? Apakah mereka musuh negara? Apakah patut perlakuan seperti itu?
    Kepala saya rasanya berat melihat kenyataan ini bahwa bangsa kita banyak yang masih biadab, ketika mengungkapkan dendam dan amarah. Mereka masih hidup dengan nilai-nilai di abad pertengahan. Saya sendiri tidak ingin masuk dan mencampuri persengketaan mana yang benar dan salah dalam perebutan lahan kelapa sawit di Mesuji tersebut.
    Yang pasti, pembantaian dan pemenggalan seperti yang terjadi di Sungai Sodong itu, apalagi ada rekamannya, akan menimbulkan trauma, dan collective memory yang panjang serta sulit dilupakan, khususnya bagi anak-anak dari kelompok mana pun yang menjadi korban. Benih dendam demi dendam telah ditabur.
    Sudah sepatutnya Pemerintah membentuk tim untuk memulihkan trauma-trauma tersebut, selain mengirim Tim Gabungan Pencari Fakta. Bahkan, secara permanen harus ada orang-orang yang khusus dilatih untuk memulihkan trauma karena tindak-tindak kekerasan dan kebiadaban seperti itu.
    Dari kasus di Sungai Sodong itu, yang juga pernah terjadi dalam konflik di Sampit, Maluku, Poso, Cikeusik, Jakarta, Lampung, pembantaian PKI dll harus menyadarkan kita bahwa sebagian bangsa ini masih primitif.
    Kalau sudah begini tentulah bukan lagi soal efek media, karena nyawa dan rasa kemanusiaan pada akhirnya sangat rendah harganya di negeri kita.  
  • Kelangkaan Sumber Daya Lahan Indonesia

    Kelangkaan Sumber Daya Lahan Indonesia
    Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Desember 2011
    ”Bapak-ibu sekalian, kita baru mendengar kali ini bahwa baru sekali ini ada orang yang menyampaikan bahwa lahan di Indonesia ini merupakan sumber daya alam yang sangat langka,” kata seorang ketua pada suatu rapat baru-baru ini, setelah
    saya menyampaikan uraian berikut ini. Saya sendiri menjadi lebih terkejut, mengapa begitu!
    Alasan keheranan saya sangatlah sederhana. Menurut data Badan Pusat Statistik, hasil Sensus Pertanian selalu menunjukkan bahwa lahan petani makin menggurem, padahal Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960, yang kemudian menjadi UU Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1961), menyatakan: ”Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2 hektare.”
    Dalam undang-undang yang sama juga ditetapkan luas kepemilikan tanah maksimum. Yaitu untuk daerah yang tidak padat, luas maksimum kepemilikan lahan sawah atau lahan kering masing-masing 15 ha dan 20 ha. Dan untuk wilayah yang sangat padat, luas maksimum kepemilikan sawah atau lahan kering masing-masing 5 ha dan 6 ha.
    Jadi, keadilan dalam kepemilikan tanah itu oleh undang-undang dinyatakan dalam bentuk batas minimum yang layak bagi kehidupan petani dan keluarganya dan batas maksimum sebagai upaya menjaga keadilan. Induknya adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah mencabut peninggalan dan sifat-sifat pemerintahan kolonial yang tidak sesuai dengan jiwa dan kerohanian semangat kemerdekaan Indonesia.
    Semua itu tentu merupakan hasil dari para perumus undang-undang mengenai agraria tersebut, yang melihat lahan di Indonesia itu sangat langka, karena itu perlu negara mengaturnya. Mari kita lihat data. Ekonom biasanya mendefinisikan kelangkaan itu dengan harga. Harga mahal, barang langka. Harga meningkat, artinya kelangkaan meningkat.
    Berdasarkan definisi, nilai lahan adalah nilai yang mencakup seluruh lahan dan bangunan untuk memproduksi komoditas pertanian apabila dijual ke pasar. Maka, nilai lahan di Amerika Serikat pada Agustus 2011 adalah US$ 5.806 per ha. Pada kurs US$ 1.0 = Rp 9.059, nilai lahan per hektare di AS adalah Rp 52,6 juta. Kisaran harga lahan di AS adalah US$ 2.280 per ha di daerah pegunungan dan US$ 11.588 untuk wilayah Timur Laut.
    Di Indonesia, nilai sewa lahan untuk tebu berkisar US$ 1.650-2.200 per ha per tahun, atau hampir setengah harga lahan rata-rata di AS. Harga lahan per hektare di Jawa sangat tinggi. Dengan mengasumsikan nilai tanah per meter persegi Rp 20 ribu saja, maka nilai per hektare sudah mencapai US$ 22 ribu, hampir dua kali harga tanah di Negara Bagian New York.
    Di luar Jawa, nilai lahan dapat diperkirakan, (apabila kebun sawit) maka nilainya berkisar sekitar US$ 4.400 per ha. Membeli ladang kosong di Sumatera Utara harganya sekitar US$ 2.200 per ha, hampir sama dengan harga rata-rata lahan termasuk bangunannya di AS sekarang. Jadi, menurut indikator harga, lahan pertanian di Indonesia lebih langka dibanding lahan pertanian di AS.
    Sekarang, apa yang akan kita dapat apabila membandingkan luas lahan daratan menurut jumlahnya antara Indonesia dan AS? Luas daratan Indonesia itu setara dengan jumlah daratan Negara Bagian Texas dan Alaska. Luas Sumatera setara dengan luas California, dan luas New York setara dengan luas Jawa. Luas Kalimantan setara dengan Dakota. Jumlah Penduduk Jawa Timur (37 juta jiwa) ternyata setara dengan penduduk California, yang lebih rendah jumlahnya daripada jumlah penduduk di Jawa Barat.
    Jadi, dengan pertimbangan jumlah penduduk, maka luas lahan per kapita Indonesia adalah 0,8 hektare. Jadi, tidak mengherankan apabila luas lahan per petani di AS adalah 200 hektare, sedangkan di Indonesia 0,5 hektare. Selain luas daratan AS sangat besar, industrinya maju sehingga telah menurunkan jumlah petaninya hingga 2 persen saja dari populasi.
    Yang sangat mengherankan dan tentunya tidak adil dan berpotensi melanggar Pasal 33 UUD 1945 adalah apabila Negara memberikan lahan-lahan baru (lahan negara yang dikonversi menjadi lahan privat baik dalam bentuk hak milik maupun HGU atau hak lainnya) kepada pengusaha besar.
    Perlu diingat bahwa ketimpangan kepemilikan lahan yang meningkat akan menjadi pemicu berbagai jenis konflik, karena konflik itu sendiri pada hakikatnya adalah berupa penyampaian pesan telah terjadi meningkatnya kelangkaan yang tak dapat diselesaikan oleh tatanan institusi yang mengatur interdependensi di antara manusia, masyarakat, atau golongan (termasuk konflik antara manusia dan gajah, misalnya) terhadap sumber daya lahan pada masyarakat yang mengalaminya. Adalah tugas Negara menyelesaikannya.  
  • Dari Sondang hingga Tragedi Mesuji

    Dari Sondang hingga Tragedi Mesuji
    Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM, BELANDA
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Desember 2011
    Aktivis hak asasi manusia Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, yang telah melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara pada 7 Desember, akhirnya meninggal pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
    Jika menilik aksi bakar yang dilakukan di depan Istana Negara, jelas almarhum
    punya pesan untuk rezim ini. Berdasar cerita dari teman-teman dekatnya, Sondang mulai kecewa berat sejak Presiden SBY tidak merespons puluhan amplop berisi surat para korban pelanggaran hak asasi manusia dari Aceh hingga Papua yang disampaikan ke Istana pada Agustus silam. Padahal, ketika Nazaruddin kirim surat saja, Presiden membalas. Sondang kecewa Presiden tidak segera merespons surat para korban pelanggaran HAM. Padahal Presiden atau pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hak asasi. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional pemerintah.
    Tapi apa yang bisa dilakukan pemerintah SBY? Hanya melakukan pembiaran.
    Seperti diketahui, hingga kini banyak kasus pelanggaran HAM berat masa silam dibiarkan menggantung. Simak misalnya janji Presiden SBY yang akan mengungkap kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir, yang terbunuh pada 7 September 2004. Dalam kasus Munir, yang juga amat dikenal masyarakat Belanda, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya pandai membuat retorika, tapi mengecewakan istri Munir, para sahabat Munir seperti Sondang, dan para aktivis HAM di mana pun. Sebab, ternyata dalang pembunuhan Munir hingga kini tidak diadili.
    Impunitas
    Sementara pada awal 2011 para tokoh lintas agama kita menuding Presiden SBY melakukan pembohongan, kebohongan ini paling tampak jelas terjadi di ranah HAM, karena ternyata pemerintah SBY membiarkan banyak kebohongan
    terus dilanggengkan. Ini bukan hanya kasus Munir, tetapi juga melibatkan puluhan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, mulai peristiwa 1965 yang korbannya mencapai jutaan hingga kasus orang hilang menjelang reformasi 1998 atau Tragedi Mei 1998 yang hingga saat ini masih menyisakan kepiluan
    bagi para korban atau keluarga korban.
    Padahal sebenarnya pemerintah SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya dari pelanggaran HAM berat masa silam. Sayang, pemerintah saat ini tampaknya lebih suka meneruskan tradisi melestarikan impunitas, yang tetap dinikmati orang-orang kuat yang ditengarai
    sebagai pelanggar HAM. Sedangkan harapan untuk mendapatkan keadilan tak dirasakan para korban dan keluarganya. Pemerintah SBY seharusnya bisa mengadili orang-orang kuat. Tapi hanya pembiaran yang dilakukan. (Baca penelitian berjudul Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady Legacy, Uncertain Future, 2010.)
    Akibatnya, negeri kita tidak bisa menjadi negeri yang kuat, karena ternyata pemerintah tidak berani mengadili orang-orang kuat, khususnya para pelaku pelanggaran HAM berat. Indonesia kalah dibanding Filipina, Korea Selatan, atau Taiwan yang berani mengadili para mantan presiden yang notabene adalah orang-orang kuat. Karena tidak berani mengadili orang kuat dan para kroninya, akibatnya hukum kita tetap penuh dengan rekayasa dan sandiwara, sementara aparat hukum kita seperti jaksa, hakim, dan polisi lebih suka memihak kepentingan orang-orang kuat, seperti penguasa atau pengusaha dan siapa pun yang bisa menyuap.
    Tiap minggu para anggota keluarga korban pelanggaran HAM berunjuk rasa
    di depan Istana Negara. Tapi pernahkah Presiden memberi perhatian atau
    sekadar membuka kaca mobilnya? Presiden agaknya sudah jatuh dalam pragmatisme bahwa isu HAM tidak memberi keuntungan politis apa pun bagi pemerintahnya. Akibatnya, dengan mudah Presiden SBY menulikan telinga terhadap teriakan keluarga para korban HAM.
    Padahal payung hukum untuk penegakan HAM sudah disediakan, seperti Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
    HAM, UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Komnas HAM juga sudah ada, tapi Komnas ini tak lebih daripada macan kertas karena sudah keder ketika harus menghadapi orang-orang kuat yang kebetulan jadi pelanggar HAM.
    Instrumen hukum tentang HAM itu tampaknya hanya menjadi pemanis bagi bangsa ini dalam pergaulan masyarakat internasional yang kian menghargai
    HAM. Kita hanya ingin dinilai Indonesia sudah beradab, meskipun dalam kenyataannya masih terjadi cukup banyak pelanggaran hak asasi, dari kebebasan beragama, beribadat atau mendirikan tempat ibadah, hingga konflik tanah warga dengan aparat.
    Tragedi Mesuji
    Memprihatinkan bahwa masalah hak asasi atau yang menyangkut martabat
    manusia di negeri ini tidak pernah menjadi prioritas utama. Nyawa warga sipil
    biasa dikorbankan oleh aparat entah di Sidoarjo, Aceh, atau Papua hingga detik
    ini. Repetisi pelanggaran HAM masih terus berlangsung hingga sekarang. Akibatnya, negeri kita seolah-olah kian terseok-seok menanggung beban sejarah
    pelanggaran HAM. Menurut filsuf Amerika berdarah Spanyol, George Santayana (1863-1952), negeri yang tak mau belajar dari sejarah memang akan terus dikutuk mengulangi kesalahan yang sama.
    Simak saja, kita baru dikejutkan oleh laporan pembantaian 30-an petani di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, yang berlangsung sejak 2008 hingga 11 November 2011. Bayangkan, sekitar 20 ribu warga sudah lama menempati tanah warisan para leluhur. Tiba-tiba mereka dipaksa memberikan tanahnya kepada perusahaan kelapa sawit atau karet. Kini sudah 9.000 hektare tanah warisan leluhur (adat) dicaplok, 100 orang lebih masih dipenjara, dan ribuan orang mengungsi serta terusir dari rumah dan tanahnya. Ini mirip Israel yang mengusir warga Palestina sebelum 1948.
    Aparat keamanan, yang seharusnya berpihak pada warga, malah lebih suka menjadi “centeng” perusahaan. Sebagaimana polisi dan TNI AD yang lebih suka
    menjadi “satpam” bagi Freeport di Papua. Presiden SBY harus turun tangan menangani kasus di Mesuji. Jangan ada birokrasi lagi dalam penuntasan kasus
    pelanggaran hak asasi di Mesuji. Tak perlu dibentuk tim ini-tim itu. Segera cabut izin perusahaan sawit. Izin itu dikeluarkan pemerintah. Ini solusi yang mendesak untuk diambil. Nyawa manusia atau HAM harus didahulukan. Para korban sudah lelah dan capek.
    Teman saya, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi para korban Mesuji di DPR, sudah mengancam akan membawa kasus Mesuji ke Mahkamah Internasional di Den Haag jika tidak ada solusi yang berpihak kepada HAM warga Mesuji. Begitulah negeri ini akan terus terjebak dalam kesalahan yang sama, karena tidak mau belajar dari sejarah, dari kesalahan masa silam.