Category: Uncategorized

  • Level Investasi Minus Intermediasi

    Level Investasi Minus Intermediasi
    A. Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
    Agak mengejutkan, Fitch Ratings memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia persis di akhir tahun. Sebelumnya diprediksi Indonesia akan menerima peringkat layak investasi tersebut sekitar paruh kedua 2012. Mengapa begitu cepat? Apa implikasinya bagi kita?
    Tentu kita hanya bisa menduga-duga. Akan tetapi, faktanya banyak negara maju yang berisiko mengalami penurunan peringkat. Fitch memberi proyeksi (outlook) negatif terhadap beberapa negara di Eropa, seperti Austria, Perancis, dan bahkan Jerman. Biasanya, proyeksi negatif lalu diikuti penurunan peringkat. Di belahan dunia lainnya proyeksi positif diberikan. Setelah Indonesia, kemungkinan Filipina juga mengalami peningkatan.
    Adakah kaitan prospek penurunan peringkat di negara maju dan di negara berkembang? Tentu tak dalam rangka berpikir konspiratif, tetapi sangat masuk akal jika semakin banyak negara yang turun peringkat, investor butuh panduan untuk menaruh modalnya di tempat yang berprospek bagus. Saat investor ”ketakutan” dan cenderung menahan investasinya, dalam kalkulasi bisnis dibutuhkan peningkatan peringkat negara-negara dengan proyeksi positif. Bagaimanapun, lembaga pemeringkat adalah institusi bisnis.
    Akhir-akhir ini, lembaga pemeringkat memang disorot tajam. Krisis 2007/2008 juga sering dianggap sebagai ”kegagalan lembaga pemeringkat” dalam memberi panduan investasi. Ternyata, instrumen investasi yang dianggap bagus oleh lembaga pemeringkat tak lebih dari pepesan kosong. Itu sebabnya pejabat Pemerintah AS berang ketika negaranya diturunkan peringkat utangnya. Lalu, mereka mulai memidanakan kesalahan lembaga pemeringkat terkait krisis 2007.
    Di Perancis, para pejabat juga berteriak keras menolak sinyal penurunan peringkat utang, dengan menuduh kondisi keuangan Inggris jauh lebih buruk. Perdana Menteri Perancis Francois Fillon mengatakan, Inggris lebih pantas diturunkan peringkat utangnya ketimbang Perancis.
    Menyelamatkan Dunia
    Tak bisa disangkal, prospek perekonomian Indonesia termasuk paling menjanjikan. Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 menjadi 6,2 persen. Meski terus turun, tetap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi di atas 6 persen tahun depan. Sementara negara-negara di Eropa sedang bergulat mati-matian agar tak tumbuh negatif.
    Situasi ini hampir sama dengan krisis Asia 1997/1998, tetapi dengan kondisi sebaliknya. Waktu itu, Asia sangat bergantung pada negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Kini sebaliknya, mereka sangat memerlukan kita, bangsa Asia. Bagaimana Indonesia turut menyelamatkan dunia?
    Kesepakatan jual-beli 201 unit pesawat B-737MAX dan 29 unit Boeing-737-900ERs Next Generation senilai 21,7 miliar dollar AS oleh salah satu maskapai penerbangan domestik merupakan bagian dari penyelamatan ekonomi AS. Pembuatan 230 unit pesawat itu menampung sekitar 100.000 tenaga kerja. Sementara penambahan lapangan kerja menjadi isu besar, kontrak tersebut tentu sesuatu yang menjanjikan. Demikian pula dengan perbankan AS yang sulit menyalurkan kredit karena mandeknya sektor riil.
    Pasar domestik yang gemuk, dengan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, juga jadi incaran pebisnis waralaba AS. Menurut riset Kontan, ada sederet merek baru yang segera masuk ke pasar domestik, di antaranya Round Table Pizza, Carvel, Moe’s Southwest Grill, Great American Cookies, dan Pollo Tropical. Sebelumnya, jaringan toko kelontong Jepang, 7-Eleven, sukses besar masuk ke pasar Indonesia.
    Bank Dunia membuat klasifikasi kelas menengah di Indonesia jadi empat kelompok. Kelompok penduduk berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari (38 persen dari penduduk), 4-6 dollar AS (11,7 persen), 6-10 dollar AS (5 persen), dan 10-20 dollar AS (1,7 persen). Jika kita hanya menganggap kelas menengah dengan daya beli paling tinggi sekalipun, jumlahnya tetap ada lebih dari 30 juta penduduk. Mereka adalah pangsa pasar yang sangat besar, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pakaian, hiburan, pendidikan, hingga keuangan.
    Negara maju tengah berupaya menjual barang sebanyak mungkin ke negara berkembang untuk menambah devisa guna menutup defisit dan utang publik yang begitu besar. Sebaliknya, kelas menengah di negara berkembang cenderung konsumtif. Dapat dibayangkan, Indonesia akan kebanjiran produk asing sehingga diperkirakan pada paruh kedua 2012 transaksi berjalan kita akan mengalami defisit. Salah satunya, lonjakan permintaan barang konsumsi atau barang modal industri yang berorientasi melayani pasar domestik.
    Intermediasi
    Dengan membuat rata-rata dari penilaian beberapa lembaga pemeringkat (S&P, Moody’s, Fitch), The Institute of International Finance melakukan skenario pemeringkatan global. Peringkat beberapa negara maju terancam turun, seperti Austria, Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Jepang, dan AS. Sementara Australia, Denmark, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, dan Swiss diproyeksikan tetap.
    Negara-negara berkembang masuk dalam daftar peningkatan peringkat, di antaranya Ekuador, Kolombia, Indonesia, Lebanon, Malaysia, Thailand, dan Peru. Turki dan Indonesia ada di ambang batas, masuk ke level investasi berdasarkan rata-rata dari beberapa lembaga pemeringkat. Kini, keduanya sudah masuk. Lalu, apa agenda Indonesia?
    Masuknya Indonesia dalam radar investasi global hampir tak ada gunanya jika tak diikuti perbaikan fungsi intermediasi. Peningkatan modal asing akan terjadi secara drastis begitu situasi Eropa mulai tenang. Dengan begitu, biaya penerbitan obligasi jadi lebih murah. Secara umum, kita akan memperoleh biaya pendanaan lebih murah dalam jumlah besar. Persoalannya, apakah kita mampu menggunakannya untuk membangun sektor riil?
    Di sisi lain, kita menghadapi lonjakan permintaan akibat tumbuhnya kelas menengah. Tanpa perbaikan sistem produksi, kita hanya jadi bangsa konsumen yang kehilangan basis industri. Predikat investasi harus segera ditindaklanjuti strategi pengembangan industri. Jika perlu, langsung di bawah kendali Presiden. Sebuah kesempatan emas yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi bumerang. Begitu banyak likuiditas, tetapi sektor riil tidak bergerak.
    Dari sisi perbankan, Bank Indonesia sudah bekerja keras memperbaiki transmisi moneter, mulai dari sisi makro, industri perbankan, hingga individu-individu bank. Dari pemerintah, belum tampak ada upaya maksimal memperbaiki penyaluran anggaran. Kita beradu cepat dengan mengalirnya modal asing, yang jika tidak disalurkan akan menimbulkan gelembung-gelembung yang membahayakan.  
  • Siklus Korupsi dan Koruptor

    Siklus Korupsi dan Koruptor
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN,
    ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (NASDEM)
    Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
    Korupsi dalam pandangan masyarakat internasional bukan kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan transnasional.

    Ini berbeda dengan pengakuan masyarakat Indonesia bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan cara penanganan yang bersifat luar biasa pula, tetapi terbatas hanya sampai proses peradilan minus perlakuan di lembaga pemasyarakatan. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 hanya fokus pada masalah suap aktif dan pasif. Bahkan korupsi dalam lingkup aktivitas politik dipandang memiliki dampak signifikan dibandingkan dengan suap dalam lingkup aktivitas birokrasi sehingga muncul subjek hukum baru yang disebut political exposed persons (PEP’s).

    Merujuk pada UU RI No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001, PEP’s belum secara eksplisit termasuk subjek hukum khusus yang dapat dipidana karena tindak pidana korupsi, sedangkan ketentuan subjek hukum ini menjadi penting untuk mengantisipasi Pemilu 2014 yang akan datang. Korupsi tumbuh dan berkembang dalam aktivitas kehidupan masyarakat baik di negara maju maupun berkembang. Semula korupsi merupakan resultan sistem birokrasi semata-mata, tetapi saat ini merupakan kolaborasi sektor publik yang korup dan sektor swasta yang berplat hitam.

    Memutus mata rantai kolaborasi tersebut suatu keniscayaan, tetapi bukan suatu kemustahilan. Hanya diperlukan komitmen, keberanian, keteladanan, dan siap untuk menjadi martir dalam suatu sistem birokrasi khususnya di Indonesia yang terkenal korup. Kenaikan IPK Indonesia tahun 2001 dari 2,8 menjadi 3,00 membuktikan hal tersebut. Kenyataan korupsi di Indonesia sejak era Reformasi 1998 bagai pepatah “hilang satu tumbuh seribu” sehingga Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK, secara dini telah mengklaim ada kaderisasi koruptor di Indonesia walaupun masih perlu pembuktian.

    Klaim Busyro juga mengandung sisi kontraproduktif karena potensial menciptakan eksklusivisme dalam tatanan kehidupan bangsa ini, baik sekarang maupun di masa mendatang. Langkah pemberantasan korupsi sejak era 1950-an sampai saat ini bukanlah menciptakan eksklusivisme sekelompok koruptor, melainkan bercita-cita menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan bebas KKN.

    Sebaliknya Konvensi PBB Antikorupsi 2003 menegaskan bahwa negara wajib mewujudkan reintegration to society (Pasal 30 ayat 8), bukan membunuh dan memangsa habis sampai tujuh turunannya, apalagi dengan membangun kebun koruptor.

    Memberantas di Hulu

    Siapa yang harus disalahkan dalam perkembangan korupsi yang tidak terputus di Indonesia saat ini? Selama ini kita dan bahkan pejabat tinggi dan pimpinan lembaga penegak hukum masih suka beretorika daripada secara sungguh-sungguh dan bersikap korektif dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah diperintahkan undang-undang. Contoh penanganan sejak kasus BLBI, Century, Nazarudin, Nunun hingga Banggar DPR RI, semuanya mencerminkan retorika dalam pemberantasan korupsi.

    Secara makro, korupsi adalah by-product dan efek samping negatif dari pembangunan nasional sehingga seharusnya sejak perencanaan pembangunan nasional secara implisit diletakkan ketentuan-ketentuan ketat dalam pengajuan dan perencanaan anggaran kementerian/lembaga serta dalam pembahasannya. Mekanisme itu harus dilakukan baik pada level pemerintah di bawah koordinasi Bappenas maupun pada level pembahasan di DPR RI melalui Banggar. Sampai saat ini tampak belum ada kesepakatan bersama pemerintah dan DPR RI untuk membuat ketentuan bersama mengenai hal tersebut.

    Kasus Wa Ode seharusnya merupakan entry-point dan dipandang sebagai justice collaborator atas fakta bahwa celah korupsi telah terjadi sejak perencanaan dan pembahasan RAPBN/RAPBD. Kasus Wa Ode juga telah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di hilir bukan lagi langkah efektif dan efisien untuk mencegah dan memberantas korupsi. Terbukti bahwa selama 13 tahun era Reformasi, strategi pemberantasan korupsi telah tidak tepat sasaran dan terkecoh oleh gegap gempita langkah KPK yang dianggap spektakuler dalam menangkap dan menahan koruptor, tetapi tidak menyentuh sumber permasalahan yang signifikan dan menentukan, yaitu perencanaan dan pembahasan RAPBN/ RAPBD.

    Fakta itu pun membuktikan bahwa korupsi di Indonesia merupakan siklus tahunan dan bahkan daur ulang sampah yang telah “ditelan” begitu saja baik oleh penegak hukum dan KPK maupun oleh masyarakat penggiat antikorupsi (LSM). Kita telah terkecoh! Suka atau tidak suka ternyata kita merupakan “bagian” dari siklus tahunan dan daur ulang korupsi karena kita lengah dan tanpa disadari telah ikut “meramaikan” tontonan koruptor yang tidak diperlukan untuk membangun tata pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN.

    Solusi tepat diperlukan untuk menghapuskan kita semua menjadi “bagian” dalam siklus tahunan dan daur ulang korupsi adalah, pertama, perombakan total sistem penyusunan, perencanaan, serta pembahasan RAPBN dan RAPBD dalam bentuk UU Perencanaan dan Pembahasan RAPBN dan RAPBD yang komprehensif tanpa celah hukum.

    Kedua, diperkuat oleh perubahan ketentuan UU Perpajakan yang signifikan sehingga tidak ada celah kebijakan impunitas terhadap pelanggaran serius perpajakan yang menjadi sumber utama pemasukan keuangan negara/daerah. Ketiga, perubahan UU Korupsi Tahun 1999/2001 harus memperkuat strategi pencegahan daripada penindakan semata-mata.  

  • Perempuan dalam Nalar Uang

    Perempuan dalam Nalar Uang
    Mohamad Fauzi Sukri, MAHASISWA SASTRA INGGRIS (AMERICAN STUDIES)
    UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
    Inilah konsensus umum di masyarakat kita: perempuan identik dengan uang. Kisah perempuan Indonesia terdapat dalam lembaran-lembaran uang. Tapi kisah
    perempuan dalam nalar uang tak sepenuhnya penuh kuasa dan wibawa, terkadang penuh luka dan stigma. Dan sekarang ada kecenderungan perempuan terjerat uang korupsi.
    Ibunda Ir Sukarno punya pengalaman getir dengan uang. “Dengan melakukan
    ini (menumbuk padi), aku menghemat uang satu sen,” kata Idayu Rai kepada
    Sukarno kecil pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. Idayu Rai harus berjualan di pasar untuk membantu keuangan suaminya. “Dan dengan uang
    satu sen, kita dapat membeli sayuran, Nak.” Sukarno tersentak dan insaf perihal
    kemiskinan dan kegigihan ibunya. Maka, sejak hari itu dan seterusnya, selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Sukarno kecil menumbuk padi untuk ibunya (Cindy Adams, 1966: 31).
    Pada masa kuliah dan menjalankan pergerakan kemerdekaan, Sukarno banyak berutang budi kepada istrinya yang kedua, Inggit Garnasih. Kemerdekaan Indonesia banyak berutang kepada Inggit. Dialah yang telah membiayai agenda pergerakan Sukarno, untuk suguhan makan pertemuan politik yang diadakan Sukarno di rumahnya. Dialah yang mengirimi bekal semasa Sukarno menjalani hukuman penjara di Sukamiskin, dan seterusnya, dengan uang dari hasil jerih payah keringat usaha Inggit sendiri. Dan kita bisa membuat daftar panjang tentang kegetiran, keuletan, keperkasaan, dan perjuangan perempuan dalam menghasilkan uang.
    Kuasa
    Di pasar-pasar di Indonesia, baik tradisional maupun modern, perempuan mendominasi roda perputaran uang. Pekerja perbankan banyak didominasi
    perempuan. Dan kita biasanya langsung berhadapan dengan teller perempuan.
    Bendahara, yang identik dengan uang, dalam berbagai kegiatan, acara, dan
    berbagai lembaga, banyak dipercayakan kepada dan dipegang oleh perempuan.
    Contoh yang fenomenal barangkali adalah mantan Menteri Keuangan Indonesia
    dan sekarang Direktur Pelaksana Bank Dunia untuk kawasan Asia, yang pernah
    terpilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia oleh Emerging Markets: Sri Mulyani.
    Karena itu, ada kesadaran bahwa pemberdayaan perempuan harus melibatkan
    pemberian modal bagi perempuan. Contoh yang masyhur adalah apa yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus. Yunus sejak awal sudah menyadari dan menargetkan pemberian kredit mikro kepada perempuan. Maka, sebanyak 50 persen lebih dana kredit diberikan kepada perempuan.
    “Makin banyak pinjaman yang kami berikan kepada perempuan miskin, semakin saya menyadari bahwa kredit yang disalurkan kepada perempuan lebih cepat membawa perubahan daripada yang disalurkan kepada laki-laki,” kata Yunus (2007: 70) dalam Bank Kaum Miskin (Grameen Bank). Maka, dalam pidato Nobel Perdamaian di Oslo pada 10 Desember, Yunus memberi apresiasi penuh untuk perempuan: “Berkat hadiah Anda, sembilan perempuan desa Bangladesh yang berbangga ini telah hadir di upacara hari ini sebagai penerima Nobel, memberikan makna yang sama sekali baru bagi Hadiah Nobel Perdamaian.” Kita banyak berutang budi kepada perempuan perihal keuangan.
    Di Jawa, kita ingat wejangan Ki Ageng Suryomentaram tentang kriteria untuk dumadi perempuan. Salah satunya adalah “wanita kedah gemi, nastiti, surti, ngati-ati” (wanita mesti hemat, tak berlebihan dalam belanja, hati-hati mengelola rezeki, dan pintar dalam administrasi rumah tangga)” (Bandung Mawardi, 2011). Ini adalah wejangan dan ajaran penting bagi perempuan dalam menghadapi, mengelola, dan memelihara keuangan rumah tangga. Wejangan ini juga sesuai dengan nalar pengelolaan keuangan modern saat ini. Perempuan dalam nalar uang menemukan kecocokan dan kekuasaan, bahkan pembebasan.
    Itulah salah satu alasan kaum feminis esensialis untuk memasukkan perempuan
    dalam penentuan hajat orang banyak dalam politik anggaran dan keuangan publik. Secara alami, perempuan tidak rentan terhadap korupsi, manipulasi, dan rekayasa keuangan rakyat. Naluri perempuan adalah mengayomi, memelihara, menjaga, dan mengarah pada kesejahteraan rakyat seperti saat mereka menghadapi keluarga sendiri.
    Dan memang banyak kasus korupsi dilakukan oleh laki-laki, tapi juga tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang ada kecenderungan bahwa perempuan juga ada yang menjadi tersangka, seperti Artalyta Suryani dan Inong Malinda “Dee”, Mindo Rosalina Manulang, atau yang masih dalam proses hukum, seperti Nunun Nurbaetie, Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, dan sebagainya. Kita berharap hal ini hanya sekadar jerat struktural korupsi dan jejaring korupsi yang tak bisa dihindari dalam wabah korupsi yang melanda Indonesia.
    Stigma
    Selain itu, uang sering menyudutkan perempuan dengan stigma perempuan mata duitan dan “matre” (materialistis). Pekerjaan perempuan hanya menghabiskan dan memboroskan uang terus, yang sebenarnya lebih banyak terjadi dalam masyarakat patriarkis yang tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk menghasilkan uang. Maka, untuk merendahkan perempuan yang tak memiliki kuasa dalam keuangan, mereka mencemooh dan memberi stigma kepada perempuan sebagai mata duitan.
    Uang juga sebagai pengesahan vonis ekonomis-seksis bahwa, jika seorang pekerja/buruh itu perempuan, mereka mendapatkan gaji yang lebih sedikit atau timpang dibanding pekerja lakilaki. Yang paling parah barangkali adalah apa yang dialami oleh pekerja migran perempuan (TKW), yang lebih mendominasi dibanding laki-laki. Mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa, tapi yang sering kita temukan dalam berita adalah derita, luka, penganiayaan, bahkan kematian mereka. Mereka menghasilkan uang, tapi mereka tidak mendapat perlindungan hukum, tidak mendapat apresiasi, tidak mendapat penghargaan yang layak.
    Ternyata, meski perempuan bisa mendapatkan kebebasan dan kekuasaan dalam nalar uang dan kuasa uang, perempuan juga masih sering mendapat
    stigma buruk sebagai perempuan matre, mata duitan. Ya, bangsa ini sering
    memanfaatkan uang perempuan dan meludahkan sepahnya kepada perempuan.
    Ironis!  
  • Membangun Perikanan Berkelanjutan

    Membangun Perikanan Berkelanjutan
    Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
    Meskipun merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia baru memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangani perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, pembangunan pulau-pulau kecil, produksi garam, pemanfaatan benda-benda berharga dari kapal tenggelam, serta pengembangan sumber daya alam nonkonvensional di wilayah pesisir dan samudra.
    Sejak kehadiran KKP tampak sejumlah kemajuan. Produksi perikanan, yang pada tahun 1999 baru 3,5 juta ton (peringkat ketujuh dunia), tahun 2010 mencapai 10,5 juta ton dan Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar ketiga setelah China (55 juta ton) dan India (14 juta ton).
    Pada 2010 sumbangan protein ikan dalam total asupan protein hewani rakyat Indonesia baru 50 persen, sekarang 62 persen. Nilai ekspor perikanan juga meningkat dari 1,5 miliar dollar AS (1999) menjadi 3 miliar dollar AS (2010). Demikian pula dengan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto, kini mencapai 3,2 persen dari 1,9 persen pada 1999.
    Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Sampai sekarang mayoritas nelayan, terutama nelayan buruh, masih hidup dalam kubangan kemiskinan. Ironisnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, pesisir selatan Sulawesi, Selat Bali, dan Arafura telah mengalami tangkap jenuh (fully-exploited) atau kelebihan tangkap (overfishing).
    Ekosistem pesisir seperti estuari, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun banyak yang rusak, baik akibat eksploitasi, konversi (reklamasi), maupun pencemaran. Padahal, ekosistem pesisir adalah tempat pemijahan, asuhan, mencari makan, atau membesarkan diri hampir semua jenis ikan dan biota laut.
    Yang memprihatinkan adalah gempuran impor ikan yang menggila dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya kita hanya mengimpor tepung ikan, salmon, dan beberapa produk perikanan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan dengan nilai yang tidak signifikan (kurang dari 50 juta dollar AS) per tahun.
    Sekarang komoditas yang diimpor termasuk yang ada di Indonesia seperti kembung, layang, teri, tongkol, dan malalogis dengan nilai lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Padahal, potensi produksi perikanan Indonesia terbesar di dunia, 65 juta ton per tahun, dan baru dimanfaatkan 10,5 juta ton (16 persen).
    Perbaiki pengelolaan
    Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan, harus dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY). Total MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010 total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan perairan tawar 0,9 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton.
    Persoalannya distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut, tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di pesisir selatan Sulawesi.
    Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik, Laut Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung dengan jari. Di sinilah kapal-kapal ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per tahun.
    Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah kelebihan tangkap harus dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah berbasis perikanan tangkap.
    Kedua, setiap kapal ikan harus dilengkapi dengan sarana penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai di tempat pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi penyuluhan untuk mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal.
    Nelayan di seluruh Nusantara harus dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi dan higienis, pelabuhan perikanan juga harus dilengkapi dengan pabrik es, gudang pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin, koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta pembeli ikan bonafide.
    Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembangkan kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock enhancement) dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di wilayah perairan yang kelebihan tangkap.
    Perikanan Budidaya
    Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat di perikanan budidaya (akuakultur). Namun, sampai saat ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton pada 2010 atau 8,5 persen dari total potensi produksi 57,6 juta ton per tahun. Padahal, permintaan terhadap beragam produk akuakultur untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, dan bahan baku industri terus meningkat.
    Perairan laut Indonesia yang berpotensi untuk usaha budidaya laut (mariculture) 24 juta hektar dengan potensi produksi lestari 41,6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi 3,4 juta ton atau 3,4 persen. Komoditas budidaya laut yang bisa dikembangkan antara lain kerapu, kakap putih, baronang, bawal bintang, teripang, abalone, kerang hijau, gonggong, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.
    Luas perairan payau yang cocok untuk budidaya tambak 1,25 juta ha. Dengan potensi produksi lestari sekitar 10 juta ton per tahun pada 2010, produksinya baru 1 juta ton atau 10 persen. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak antara lain udang, bandeng, kerapu lumpur, nila, kepiting soka, dan rumput laut Gracilaria spp.
    Potensi produksi lestari perikanan budidaya air tawar (danau, waduk, sungai, kolam, saluran irigasi, dan sawah) 6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi sebesar 0,5 juta ton atau 8,3 persen. Beberapa komoditas unggulan yang bisa dibudidayakan di perairan tawar adalah ikan nila, patin, lele, emas, gurami, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar.
    Raksasa Tidur
    Potensi perikanan budidaya yang luar biasa itu ibarat ”raksasa tidur” yang bisa ditransformasikan menjadi sumber kesejahteraan bangsa melalui penerapan perikanan budidaya di setiap unit usaha. Ini meliputi penggunaan bibit unggul, pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak dan konstruksi perkolaman, serta keamanan hayati.
    Dahsyatnya potensi perikanan budidaya dapat dilihat pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp. Jika kita mampu mengembangkan 100.000 ha tambak (9 persen potensi) untuk budidaya udang vaname, dalam setahun dapat diproduksi 2 juta ton udang vaname dengan nilai 10 miliar dollar AS. Pendapatan petambak bisa Rp 8 juta per ha per bulan dengan tenaga kerja 400.000 orang.
    Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18 persen potensi) untuk Gracilaria, setiap tahun dapat dihasilkan 4 juta ton rumput laut kering setara dengan 2 miliar dollar AS, pendapatan petambak Rp 3 juta per ha per bulan, dan lapangan kerja tercipta 1 juta orang.
    Jika 1 juta ha perairan laut (4 persen potensi) dikembangkan untuk budidaya Eucheuma spp, dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya 20 miliar dollar AS. Pendapatan pembudidaya Rp 12 juta per ha per bulan dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.
    Jika diproses lebih lanjut, rumput laut bisa menghasilkan sekitar 500 produk hilir (end products), termasuk berbagai produk farmasi dan kosmetik, yang nilai ekonominya bisa berlipat ganda.
    Sudah tentu resep teknikal pembangunan perikanan di atas hanya bisa mujarab jika kebijakan politik-ekonomi, terutama fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, iklim investasi, dan otonomi daerah, bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor kelautan dan perikanan. Peringatan Hari Nusantara dapat menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.  
  • “Allah Biyung”

    “Allah Biyung”
    M. Bambang Pranowo, GURU BESAR UIN CIPUTAT,
    DIREKTUR LEMBAGA KAJIAN ISLAM DAN PERDAMAIAN
    Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
    Kiai Haji Mustofa Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, dalam acara Kick Andy di Metro TV Oktober lalu menyatakan bahwa dia tidak pernah melakukan salat istikharah untuk minta petunjuk Allah dalam memutuskan sebuah pilihan.

    Padahal bagi kaum santri, salat istikharah hampir-hampir menjadi kewajiban agar pilihannya benar seperti yang dikehendaki Allah. Lantas, kenapa kiai yang penyair ini tak mau melakukan salat istikharah? Jawabnya: karena ibu saya masih hidup. “Saya selalu bertanya kepada ibu untuk menentukan pilihan jika dihadapkan pada beberapa persoalan. ’Jawaban ibu itulah yang saya pegang’,” kata Kiai Mustofa Bisri. Apa yang dikatakan Kiai Bisri juga dilakukan Amien Rais. Pak Amien yang terkenal gagah berani melawan rezim Orde Baru ternyata akan patuh seratus persen dengan apa yang dikatakan ibunya.

    Bayangkan, ketika hampir semua partai politik, rakyat, TNI, dan para aktivis mendorong Amien Rais untuk jadi presiden RI keempat menggantikan Habibie, ternyata Pak Amien menolak. Semua orang kaget, kok Pak Amien menolak menjadi presiden, padahal suasana sangat kondusif untuk menjadikan Amien sebagai presiden. Kenapa? Ternyata, ibunya melarang Amien menjadi presiden. Dan Pak Amien pun manut. Pak Amien tak pernah bisa menolak permintaan ibunya. Itulah alasan sesungguhnya kenapa Pak Amien tak mau menjadi presiden menggantikan Habibie. (Hanum Salsabiela dalam Menapak Jejak Amien Rais,2010). Pak Amien dan Kiai Bisri sama-sama orang Jawa.

    Bagi orang Jawa, ibu adalah segalagalanya. Ibu seolah pengganti Tuhan. Itulah sebabnya, kenapa ketika Lebaran orang Jawa berdesak-desakan ingin mudik menemui ibunya. Karena ibu adalah pusaka. Orang Jawa sering menyebut ibu sebagai “Gusti Allah ndonya” atau “Tuhan yang mengejawantah di dunia”. Orang Jawa kalau sakit atau menanggung derita yang berat, mulutnya akan mengucapkan kata-kata Allah Biyung… Allah Biyung! Maksudnya,Ya Allah Ya Ibu..Ya Allah Ya Ibu! Di Tegalroso, Magelang, tempat penelitian saya untuk disertasi dalam bidang sosial antropologi di Monash University (“Creating Islamic Tradition in Rural Java”, 1991), da kisah menarik tentang orang yang tidak berbakti kepada orang tua.

    Pak Kardi,orang yang terkenal brangasan di kampungnya, suka menyiksa ibunya, Mbok Piyah. Suatu ketika, Pak Kardi bertengkar dengan ibunya. Dia tak bisa mengendalikan emosinya sehingga memukul simboknyadan mengejar Mbok Piyah untuk memukulnya. Untung Mbok Piyah selamat karena ditolong Pak Purwanto dan disembunyikan di rumahnya. Saking sakitnya, Mbok Piyah berkata, “Saya tidak akan melupakan dan memaafkan perangai buruk Kardi. Ia pun berujar marah: ‘Lihat siapa yang akan mati dulu.Aku atau Kardi’.” Ternyata dua minggu kemudian Pak Kardi sakit keras.

    Pak Kardi berobat ke manamana, tapi sakitnya tak sembuh-sembuh. Orang-orang kampung pun ngrasani, penyakit Pak Kardi tidak akan disembuhkan Allah jika tidak minta maaf kepada ibunya.Pak Kardi itu kuwalat karena melawan ibunya. Pak Kardi akan terus menderita, tidak mati tidak hidup karena durhaka kepada ibunya. Karena kasihan melihat penderitaan Pak Kardi, beberapa warga desa menghubungi ibunya agar memaafkan anaknya.Mula-mula Mbok Piyah enggan memaafkan Pak Kardi, tapi lama-lama sebagai seorang ibu, dia akhirnya memaafkan anaknya itu.

    Apalagi orang-orang dusun itu mengambil contoh kisah Alqomah, salah seorang sahabat Rasul, yang durhaka kepada ibunya dan akhirnya ibunya memaafkan dia. Begitu ibunya memaafkan, Alqomah wafat. Sama dengan kisah Pak Kardi. Setelah ibunya memaafkan, Pak Kardi pun wafat. Apa yang menarik dari kisah Pak Kardi yang durhaka kepada ibunya itu? Orang Tegalroso mengaitkannya dengan kisah Alqomah, salah seorang sahabat Nabi yang menderita menjelang kematiannya karena pernah durhaka kepada orang tuanya.

    Pak Lurah Tegalroso, Sudigdo, misalnya, dalam beberapa obrolannya tidak pernah merujuk kisah Malin Kundang atau Sangkuriang yang bermasalah dengan ibunya sehingga mereka dikutuk. Tapi Pak Lurah membandingkannya dengan Alqomah. Ini menggambarkan,dalam konsep penghormatan orang tua, transformasi nilai-nilai Islam telah merasuk ke dalam tradisi Jawa. Sungkem yang dulu hanya merupakan penghormatan kepada orang tua, khususnya ibu, kini mengalami transformasi makna yang lebih mendalam: sungkem bukan hanya merupakan penghormatan kepada ibu,tapi juga sebuah upaya “mencium bau surga”.

    Transformasi ini tampaknya muncul dari sebuah hadis Nabi bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Sebuah hadis menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya sahabatnya. Siapa orang harus kita hormat? Jawab Rasul: ibumu. Terus siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: bapakmu! Hadis ini pun menggambarkan betapa mulianya seorang ibu. Sampai-sampai orang Jawa, jika menghadapi masalah besar, akan berujar Allah Biyung…Allah Biyung.

    Dari gambaran itu, sebutan Allah Biyung merupakan simbol proses santrinisasi masyarakat Jawa secara menyeluruh yang luput dari pengamatan Geertz.Dan Allah Biyung inilah yang menggerakkan orang Jawa untuk mudik kapan pun punya kesempatan untuk sungkem kepada orang tuanya. Pinjam konsep peradabannya Redfield, Allah Biyung jelas merupakan ekspresi dari simbol tradisi besar Jawa. Jika kemudian tradisi besar Allah Biyung itu bertautan dengan ajaran Islam, persoalannya siapa yang membonceng atau diboncengi?

    Jika kita membaca kebudayaan besar di Benua Atlantik yang hilang karya Prof Arysio Nunes dos Santos dari Brasil (Atlantis the Lost Continents Finally Found, 2005), di mana Pulau Jawa menjadi pusat peradaban masa lalu yang mengubah sejarah dunia (30.000-11.000 tahun lalu), maka bukan tidak mungkin, konsep kebaktian kepada ibu yang luar biasa itu asal-muasalnya dari ajaran para leluhur Jawa yang kemudian memperoleh penguatan dari ajaran Islam. Who knows!  

  • Misteri Kekerasan di Puncak Jaya

    Misteri Kekerasan di Puncak Jaya
    A Makmur Makka, KOMISIONER KOMNAS HAM
    Sumber : SUARA KARYA, 22 Desember 2011
    Setiap kali ada pemberitaan tentang pasukan TNI atau pasukan Brimob yang gugur di Papua, khususnya di lintasan jalan menuju Pertambangan Freeport di kawasan Puncak Jaya, saya selalu bertanya dalam hati, kenapa kelompok bersenjata seperti ini, tidak pernah dibasmi dengan sebuah operasi yang tuntas? Apakah ini, sebuah ‘pembiaran’ yang menyebabkan satu per satu prajurit Brimob dan warga sipil kita gugur? Apakah benar yang terjadi di sana hanya sebuah ‘konflik internal’ antar-pasukan keamanan kita, seperti didesas-desuskan masyarakat? Ataukah, masih ada misteri lain yang belum terungkap ?
    Sebagai orang awam, saya selalu bertanya dalam hati, seberapa sulit medan yang dihadapi pasukan keamanan kita, sehingga tidak dapat membasmi kelompok bersenjata yang sering melakukan penghadangan dan penembakan terhadap aparat keamanan kita?
    Sebagai analogi, kondisi sekitar tahun l950-l960-an. Situasi keamanan di Sulawesi Selatan sangat rawan, karena pasukan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (TDI-TII) pimpinan Kahar Muzakkar masih berkeliaran di hutan-hutan.
    Silih berganti operasi militer dilakukan oleh Kodam Hasanuddin/Wirabuana untuk menumpas pasukan DI/TII yang nota bene sejumlah pemimpinnya juga eks pasukan pejuang kemerdekaan. Bahkan ketika operasi itu digalar, aktivitas mereka dianggap berlarut-larut untuk mengakhiri perlawanan Kahar Muzakkar dan kawan-kawan, karena diduga pasukan lokal yang beretnis Bugis-Makassar, mengalami ‘konflik batin’, memerangi kerabat sendiri atau bekas teman-teman mereka seperjuangan di masa revolusi kemerdekaan.
    Maka, didatangkanlah pasukan dari Kodam Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Solichin GP, dengan perwira-perwira muda seperti Yogi S Memed. Mereka lantas bergerak memakai nama ‘Operasi Kilat’. Pasukan dari Kodam Siliwangi, juga diperkuat oleh sejumlah pasukan komando.
    Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh kegiatan gerombolan pengacau keamanan akhirnya dihabisi, termasuk menewaskan Letkol (TRI) Kahar Muzakkar, pimpinan tertinggi DI/TII, mantan Pimpinan Komando Group Seberang di Jogyakarta semasa revolusi phisik. Hal yang sama juga dilakukan TNI dengan operasi besar-besaran ke Manado dalam peristiwa Permesta, ke Padang dalam peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh. Kenapa pemerintah kita tidak sesensitif seperti dulu terhadap pengacau keamanan di Papua?
    Apa bedanya sekarang dengan gerombolan pengacau keamanan di Papua yang lokasi gerakannya sudah jelas dan terpantau. Jumlahnya pun dianggap ‘tidak berarti’. Betapa beratkah medan di Papua? Apakah lebih berat dibandingkan ketika TNI menumpas pasukan DI/TII sampai ke hutan di kaki Gunung Latimojong serta Bone Pute (sekarang, Sulawesi Tenggara)? Apalagi, saat itu, senjata tempur TNI belum secanggih yang dimilikinya sekarang serta infrastruktur jalan yang bobrok di Sulawesi Selatan. Untuk berbicara mengenai medan yang dihadapi Operasi Kilat ketika itu, hanya pensiunan anggota TNI eks pasukan Operasi Kilat yang bisa melukiskannya.
    Atau, apakah karena pemerintah sekarang ini khawatir dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM), karena itu setiap operasi militer yang dilancarkan akan membuat pemerintah pusing dengan echo teriakan pendekar HAM dari negara-negara maju? Tetapi, bagaimana dulu dengan Aceh dalam operasi menumpas GAM? Bukankah TNI juga melancarkan operasi militer, tidak peduli kemungkinan teriakan pendekar HAM yang memojokkan Indonesia di pergaulan internasional? GAM di Aceh bahkan punya perwakilan tetap di Swedia yang siap selalu bersuara jika terjadi operasi militer.
    Lantas, apa bedanya Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat dengan Papua? Bukankah semua daerah itu adalah provinsi di negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat?
    Betapa rawankah melakukan operasi penumpasan pengacau keamanan di Papua sekarang ini? Masih segar dalam ingatan kita di Papua berlangsung operasi penumpasan gerombolan bersenjata yang diduga menculik sejumlah peneliti Ekspedisi Laurenz di kawasan Mapenduma, bahkan melibatkan pasukan komando dan operasi itu berhasil. Tidak ada teriakan pelanggaran HAM ketika kita melakukan operasi militer saat itu?
    Saya hanya khawatir, pembiaran yang dilakukan TNI dan dalam hal ini pemerintah, untuk tidak menumpas tuntas pengacau keamanan di Papua adalah bagian dari politik ‘pencitraan’. Bahwa Indonesia adalah negara yang aman dan tenteram, tidak ada daerah konflik, tidak ada lagi pelanggaran HAM.
    Jika benar demikian, maka kita harus selalu siap-siap mendengar berita satu demi satu prajurit kita gugur di sana. Ini diperoleh melalui pengumuman Kabid Penerangan Polri di berbagai media elektronik dengan suara hati-hati dan rona wajah yang tidak berdaya. Sementara sebuah misteri tetap belum terjawab di Puncak Jaya.  
  • Subordinasi Hak Tradisional Masyarakat

    Subordinasi Hak Tradisional Masyarakat
    Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMNAS HAM
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
    Terkuaknya kasus pembantaian warga sipil di Mesuji, yang menggemparkan dunia akhir-akhir ini, semakin memperlihatkan betapa kisruh dan biasnya mekanisme pengelolaan lahan akibat kebijakan negara di sektor agraria, terdistorsi oleh kepentingan investasi. Dalam statistik penanganan kasus di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kasus sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Mesuji tercatat sebagai kasus terbanyak ditangani Komnas HAM setiap tahun. Selama Januari-Oktober 2011 tercatat 603 kasus, meningkat 20,56 persen dari periode yang sama tahun 2010 sebanyak 479 kasus.
    Tingginya kasus sengketa lahan (land tenurial conflict), sebagaimana yang tertera pada komposisi data tersebut di atas, dipicu oleh makin meningkatnya
    ekspansi investasi di sektor agraria untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara, di samping tumpang-tindihnya kebijakan bidang pertanahan dan lain-lain. Demi terwujudnya pertumbuhan iklim investasi yang semakin tinggi, pemerintah di masa lalu pernah mengeluarkan kebijakan yang sangat memanjakan investor asing dalam bentuk pemberian kemudahan dengan membebaskan investor dari pembayaran pajak selama 5 sampai 15 tahun. Tidak
    mengherankan jika kedudukan investor dalam setiap persengketaan lahan selalu
    mensubordinasi hak masyarakat.
    Celakanya, karena ketika rakyat melakukan pembelaan hak tradisional masyarakat, mereka justru dikriminalkan sebagai pelaku penyerobotan lahan oleh investor. Tak ayal lagi, konflik pun tidak dapat dihindari dengan melibatkan aktor, baik antara warga dan korporasi maupun warga dengan lembaga pemerintah. Modus kriminalisasi yang dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat, dengan latar konflik kepemilikan lahan, kerap melibatkan aparat
    keamanan (Polri dan TNI) atau pengamanan swakarsa. Akibatnya, tidak sedikit
    warga sipil mengalami penggusuran, teror, pembakaran rumah atau lahan, perusakan harta benda (ternak dan tanaman), hingga penganiayaan dan pembunuhan. Ironisnya, tindakan yang mengarah kepada kejahatan kemanusiaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sering melibatkan aparat keamanan atau pam swakarsa, yang membekingi penuh kepentingan investor agraria.
    Tragisnya, karena upaya investor dalam mengamankan kepentingannya tersebut
    justru diproteksi oleh serangkaian peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, serta UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Rangkaian peraturan hukum tersebut menghalalkan para investor untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam agraria untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mereka dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya, hak keamanan bagi masyarakat menjadi semakin terancam karena dihantui peraturan negara yang lebih memihak kepentingan investor.
    Jika dikaji secara mendalam, sebenarnya materi perundang-undangan yang menjustifikasi pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana tersebut di atas mengandung kelemahan fatal, antara lain sebagai berikut: 1) Tidak memberi referensi khusus tentang adanya kegawatan lingkungan hidup, sehingga perlu suatu langkah segera untuk menanggulangi kerusakan lingkungan; 2) memberikan diskresi yang sangat besar kepada pihak eksekutif dan korporasi untuk menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada sesuai dengan kepentingan eksploitasi tanpa memberikan akses yang memadai kepada masyarakat luas untuk menyikapinya dengan kritis dan mengawasi pelaksanaannya; 3) Terlalu berpihak kepada investor, sedangkan hak masyarakat adat yang bermukim di sekitar hak konsesi kurang terlindungi; 4) Sanksi-sanksi atau hukuman yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu kurang menggigit kepada kaum kapitalis, tetapi sangat keras kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.
    Semua ini menyiratkan kesimpulan bahwa kebijakan negara tentang sumber daya agraria cenderung memposisikan hak tradisional masyarakat sebagai hal yang tidak penting. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yang mengatur hak masyarakat dalam sektor kehutanan, hanya tertuang dalam satu bab, yaitu BAB IX, itu pun pada satu pasal, yaitu Pasal 67. Sedangkan ketentuan yang mengakomodasi hak pengelolaan dari investor tersebar di hampir seluruh materi muatan undangundang tersebut.
    Subordinasi hak tradisional masyarakat di hadapan investor seperti ini tidak mengacu pada konteks sosio filosofis masyarakat tradisional Indonesia, tetapi terbangun dari konsep pemikiran Barat yang diintroduksi oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang cenderung memahami lembaga hak tradisional masyarakat dalam perspektif kepentingan kolonialisme dan imperialisme. Pandangan ini kontras dengan hasil pemikiran dari pakar hukum kita sendiri, yaitu Soepomo, Djojo Diguno, dan Anwar Haryono, yang memahami keberadaan hak tradisional masyarakat dengan karakteristik yang cenderung kembang-kempis sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Tidak mengherankan jika pelembagaan hak
    tradisional masyarakat dalam kebijakan negara relatif jomplang dan tidak berpihak kepada perlindungan secara riil keberadaan hak tradisional masyarakat.
    Doktrin yang menempatkan keberadaan masyarakat adat seperti itu memberi ruang bagi otoritas negara yang berkolaborasi dengan investor menjadi instrumen pemusnah lembaga hak tradisional masyarakat, yang dari waktu ke waktu akan terus berkurang dan hilang dengan sendirinya. Parahnya lagi, karena wilayah yang disebut sebagai hak tradisional masyarakat menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak lain adalah bagian dari tanah negara dan ini berarti masyarakat yang tinggal di kawasan itu dapat sewaktu-waktu digusur oleh otoritas negara.
    Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 5 ayat (2) juncto Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
    UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu
    hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
    (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, ia berpotensi meniadakan hak tradisional masyarakat sepanjang kenyataannya masih ada. Sampai di sini, kedudukan hak tradisional masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 sangat rentan dan hanya sebagai memakai dari negara.
    Pada bagian lain, hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan juga dibatasi
    pada keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999, yaitu masyarakat adat di sekitar hutan hanya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat adat sekalipun memiliki kemampuan teknis manajerial dan engineering tentang hutan, tidak boleh melakukan pengelolaan selain hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Kalaupun ada upaya untuk pengusahaan hutan oleh masyarakat adat, maka Pasal 67 ayat (1) huruf b UU Nomor 41 Tahun 1999 memberi rambu bahwa kegiatan pengelolaan hutan seperti itu harus didasari hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
    Hal ini sungguh-sungguh merupakan peragaan diskriminasi dan ketidakadilan antara masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan dan korporasi. Tidak
    mengherankan jika kondisi kehidupan masyarakat hukum adat dari generasi ke
    generasi tidak menampakkan dinamika kesejahteraan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan investor yang telah mengeruk kekayaan hutan sebesar-besarnya, sehingga mampu menciptakan sejumlah konglomerat yang semakin kaya berikut dengan oknum pejabat terkait yang semakin jaya, akibat tetesan kekayaan hutan yang dialirkan dengan berbagai modus oleh para Taipan Kehutanan.  
  • Bara Konflik Pertanahan

    Bara Konflik Pertanahan
    Novri Susan, SOSIOLOG KONFLIK UNAIR, SEDANG RISET PHD DI DOSHISHA UNIVERSITY, KYOTO, TENTANG “LAND CONFLICT MANAGEMENT IN INDONESIAN DEMOCRACY”
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Desember 2011
    Pembantaian Mesuji, wilayah di Provinsi Lampung, menyeruak ke ruang publik yang sudah sesak oleh seabrek multidimensi persoalan bangsa. Menurut laporan para korban yang mendatangi Komisi III DPR, ada 30 petani yang dibantai oleh kelompok berseragam aparat keamanan. Pembantaian tersebut berawal dari proses perluasan wilayah penggunaan lahan oleh PT Silva Inhutani pada 2003. Terkuaknya pembantaian tersebut memperjelas bahwa masyarakat Indonesia didera oleh bara konflik pertanahan. Persoalan fundamentalnya, masyarakat kecil yang lemah modal, seperti komunitas-komunitas adat dan petani gurem, selalu menjadi pihak terkalahkan dalam bara konflik tersebut. Kasus pembantaian Mesuji hanyalah salah satu kasus dari berbagai marginalisasi represif terhadap masyarakat kecil.
    Pada dasarnya berbagai dimensi konflik tanah senyatanya gagal dikelola untuk
    dipecahkan tanpa kekerasan oleh pemerintah republik ini. Indikasinya adalah,
    eskalasi konflik pertanahan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Direktorat Konflik Pertanahan melaporkan konflik tanah yang melibatkan komunitas pada 2006 ada 322 kasus, pada 2007 ada 858 kasus, pada 2008 ada 520 kasus, dan pada 2009 ada 194 kasus. Kasus-kasus tersebut menumpuk belum terselesaikan dan cenderung diwarnai oleh kekerasankekerasan dalam dinamika konfliknya. Termasuk pada kasus konflik tanah di Mesuji, Lampung.
    Konflik pertanahan memiliki dimensidimensi, seperti konflik tanah komunitas
    adat melawan perusahaan negara atau swasta, konflik tanah komunitas petani
    gurem melawan perusahaan, komunitas PKL (pedagang kaki lima) melawan
    pemerintah kota, sampai konflik antarkomunitas desa atas area tanah tertentu.
    Berdasarkan penelitian penulis, terdapat beberapa sebab konflik pertanahan yang melibatkan komunitas.
    Pertama, kejahatan perusahaan (dirty business) atas kontrak penggunaan lahan yang dimiliki oleh komunitas adat tertentu. Menurut para anggota komunitas adat, dalam penelitian lapangan di Kabupaten Tulang Bawang oleh penulis,
    perusahaan-perusahaan perkebunan melakukan perluasan area HGU tanpa
    persetujuan komunitas adat. Misalnya area HGU dalam kontrak resmi adalah
    20 ribu ha, namun realisasinya menjadi 30 ribu ha. Komunitas adat menduga perusahaan melakukan kongkalikong dengan pemerintah untuk menciptakan dokumen “legal” yang memberi lisensi luas area lebih dari kontrak awal dengan komunitas adat. Akibatnya, anggota komunitas adat dilarang mengelola area lahan tersebut. Akibatnya, mereka terusir dari lahanlahan wilayah adat yang diklaim sebagai area HGU. Pada dimensi kejahatan lain, perusahaan sering mangkir membayar ganti rugi atas penyerahan lahan kepada komunitas.
    Kedua, klaim atas lahan “kosong” antara perusahaan dan komunitas petani. Area
    tanah HGU (hak guna usaha) yang sudah lewat batas kontrak atau tidak dikelola
    perusahaan sering menjadi lahan kosong bertahun-tahun. Kondisi ini menyebabkan komunitas-komunitas petani yang tidak punya lahan mengelola lahan kosong tersebut. Pola serupa juga sering terjadi di wilayah perkotaan, di mana lahan-lahan kosong kemudian dimanfaatkan untuk menjadi area pasar dan permukiman masyarakat bawah. Konflik muncul ke permukaan ketika perusahaan atau Negara ingin melakukan pemanfaatan atas lahan itu.
    Ketiga, keteledoran administrasi pertanahan oleh BPN. Pada kasus di Lampung,
    satu bidang tanah tertentu bisa memiliki 10-20 sertifikat atas nama orang berbeda. Masing-masing pihak merasa memiliki hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat tanah tersebut. Pada dimensi ini, konflik pertanahan bisa terjadi di antara komunitas petani (horizontal) dan komunitas petani melawan perusahaan swasta maupun negara.
    Konflik tanah cenderung berlangsung lama (perpetuated conflict), terutama yang
    melibatkan komunitas-komunitas adat karena mekanisme litigasi selalu dijadikan
    preferensi menyelesaikan konflik tanah. Perusahaan swasta dan negara lebih
    memanfaatkan mekanisme litigasi, yaitu memasukkan konflik tanah ke pengadilan. Hasil pengadilan sering kali memenangkan perusahaan karena memiliki dokumen-dokumen legal yang membuktikan kepemilikan atau hak pengelolaan atas area tanah. Sedangkan komunitas adat, petani, atau PKL terkalahkan karena kelompok ini hanya memiliki bukti adat seperti cerita atau surat kesaksian yang tidak diakui oleh pengadilan. Proses litigasi sering menyebabkan komunitas kecil merasa tidak mendapat ketidakadilan.
    Karenanya, gerakan-gerakan perlawanan, dari cara damai sampai kekerasan, untuk mendapatkan kembali tanah dan keadilan terus dimobilisasi.
    Mekanisme Alternatif
    Jika melihat dari realitas kepemerintahan, bara konflik pertanahan yang terus
    menyala dan tidak ditemukan pemecahan masalahnya disebabkan oleh bad governance, seperti administrasi pertanahan yang buruk, patron-klien swasta dan pemerintah, aparat keamanan yang berposisi sebagai centeng untuk pemodal, dan pengadilan yang korup. Pengadilan sering kali menjadi mekanisme marginalisasi represif, yaitu “mengalahkan” komunitas-komunitas adat, petani, dan masyarakat kecil lainnya atas nama hukum positif. Aparat kepolisian berlandaskan pada keputusan pengadilan tersebut, dan bekerja sama dengan institusi pemerintah lainnya, melakukan pengamanan dan pembersihan. Pada gilirannya, keputusan pengadilan yang dilindungi hukum positif mampu mengubah komunitas pencari keadilan sebagai para kriminal.
    Mekanisme litigasi atau pengadilan jelas tidak memberi jaminan pemecahan
    konflik pertanahan dalam konteks transisi demokrasi Indonesia saat ini. Hal ini
    karena mekanisme litigasi buta terhadap aspek historis sosiologis atas kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh komunitas. Usulan Komnas HAM pada awal 2004 tentang mekanisme alternatif penyelesaian konflik tanah melalui pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (Knupka) seharusnya direalisasi. Pembentukan komisi ini bersifat temporer selama BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam tata kelola konflik pertanahan masih belum mampu. Faktanya, BPN tidak bisa berbuat banyak, karena kapasitas kelembagaan dan sumber daya yang masih lemah.
    Tragedi Mesuji hanyalah bagian kecil dari bara konflik pertanahan Indonesia. Jika Negara terus-menerus bersikap keras kepala dengan mekanisme litigasi, bara konflik pertanahan akan terus membesar. Aspek kerugian terhadap produktivitas sosial-ekonomi bangsa dipertaruhkan. ● 
  • Samad dan Megakorupsi Mesuji

    Samad dan Megakorupsi Mesuji
    Effnu Subiyanto, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FEB
    UNIVERSITAS AIRLANGGA
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Desember 2011
    Abraham Samad akhirnya resmi dilantik secara formal pada 16 Desember
    2011 di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
    Ketua KPK yang baru periode 2011-2015. Janji Abraham Samad pada saat fit and proper test yang pasti diingat publik dan disambut antusias adalah soal komitmennya untuk menuntaskan kemelut Bank Century. Sudah dua tahun kasus ini hanya menjadi rumor sejak pembentukan Pansus Hak Angket Bank Century pada 4 Desember 2009. Sejauh ini tersangka yang berhasil dihadapkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak sesuai dengan harapan. Sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani “dimutasi” ke Bank Dunia, kasus ini juga lenyap tidak berbekas.
    Samad juga menjanjikan penyelesaian tidak tebang pilih megakasus patgulipat
    BLBI, dugaan korupsi dana haji, serta kemelut korupsi Nazaruddin dan Nunun,
    dalam waktu setahun. Jika itu tidak bisa diselesaikan, ayam jantan dari timur
    yang masih berusia 45 tahun ini akan mengundurkan diri tanpa diminta.
    Bagian menariknya, setelah dilantik, Samad akan menyelesaikan secara utuh
    dalam setahun pertama kepemimpinannya, kasus-kasus kategori grand corruption. Persoalannya mana yang termasuk dalam perspektif grand corruption? Apakah yang merugikan negara dengan nilai tertentu, misalnya di bawah Rp 100 miliar, belum dikategorikan grand corruption? Bagaimana jika, misalnya, merugikan negara dalam skala kecil namun dilakukan secara berjemaah dan sistematis seperti cek pelawat, mafia anggaran, Wisma Atlet, apakah disebut juga grand corruption?
    Di sektor korporasi, apakah kasus Freeport, Newmont, RIM, Lapindo dan atau yang lagi menjadi panas, duo Mesuji, bisa dikategorikan grand corruption? Hal-hal seperti ini patut dicermati oleh Samad, karena bukan tidak mungkin rakyat akan mempertanyakannya bahkan sejak sekarang.
    Kalau menurut literatur, definisi grand corruption sebenarnya bukan didasarkan pada pertimbangan jumlah, melainkan pada pelakunya. Charles Kenny dan Tina Soreide (2008), peneliti Bank Dunia, menyebutkan bahwa pelaku grand corruption adalah high rank di birokrasi atau politikus. Para high rank ini termasuk pejabat publik dan pejabat korporasi. Dengan demikian, jelaslah apa
    yang harus diprioritaskan Samad.
    Korupsi Korporasi
    Baru-baru ini publik Indonesia dikejutkan oleh kejahatan korporasi di Sumatera Selatan dan Lampung. Kebetulan masing-masing bernama Mesuji, sama-sama berurusan dengan perusahaan kelapa sawit asal Malaysia, dan sama-sama jatuh korban tewas. Tujuh orang tewas di Mesuji Sumatera Selatan dan seorang tewas di Mesuji Lampung. Rumornya, jumlah korban itu sebenarnya mencapai 30-an orang yang tewas dibantai.
    Ada dua perspektif kejahatan yang harus secara fair diselesaikan, kejahatan sosial atas korporasi atau kejahatan korporasi atas sosial. Faktanya, di Sumatera
    Selatan, rakyat melakukan penyerangan terhadap korporasi PT SWA, sehingga
    mengakibatkan lima pekerja PT SWA tewas. Konflik selanjutnya, karena alasan
    membela diri, dua orang rakyat Mesuji Sumatera Selatan juga tewas.
    Sementara ini, di berbagai media massa, analisis yang berkembang selalu mendiskreditkan korporasi tanpa memahami duduk persoalannya. Publik selalu
    apriori terhadap setiap langkah yang dilakukan korporasi. Karena itu, kendati
    masyarakat melakukan perusakan aset korporasi, pembunuhan, pembakaran,
    sejauh ini hal itu dibenarkan oleh opini publik. Ini sama halnya dengan situasi psikologis polisi yang selalu salah. Ketika polisi melepaskan tembakan kepada demonstran dan jatuh korban, yang dipersalahkan pertama kali adalah polisi.
    Polisi sama sekali tidak memiliki hak benar, kendati toh misalnya demonstran
    itu melekatkan bom berdaya ledak tinggi di tubuhnya yang potensial membunuh
    puluhan teman-temannya sendiri. Tindakan polisi dengan menembak seorang demonstran itu masih saja salah. Dalam hal ini, polisi tidak diizinkan memiliki teori sistemik seperti yang dibolehkan misalnya dalam kasus Century.
    Masalahnya, ruang gerak kebebasan operasional korporasi yang terbatas itu
    kini menjadi sasaran empuk pemilik kekuasaan di organisasi pemerintah. Secara legal, korporasi harus mematuhi segala bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, sampai dengan perda-perda, di mana sering
    terjadi banyak sekali peraturan yang overlapping satu sama lain.
    Variabel lingkungan, misalnya, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23/1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun di sisi lain perda di daerah juga menetapkan peraturan sendiri dan bervariasi. Apakah ada harmonisasi dan sinkronisasi? Ketika ukurannya berbeda, maka penyelesaian di lapangan adalah
    transaksi. Apakah ini tak bisa disebut grand corruption?
    Kasus duo Mesuji bisa jadi adalah akumulasi keterbatasan investor, namun di sisi lain harus berkompetisi di pasar terbuka yang demikian bebas yang akhirnya
    dalam operasi bergesekan dengan masyarakat. Bisakah secara grand design, korporasi duo Mesuji disalahkan secara mutlak? Jangan-jangan duo Mesuji ini
    justru korban kebobrokan dari grand corruption birokrasi Indonesia.
    Prioritas
    KPK jilid ketiga ini memikul harapan seluruh rakyat yang begitu besar, mengingat begitu korupnya negeri ini. Seluruh elemen struktur organisasi negara ini sudah tercemar korupsi yang amat dalam. Kini para koruptor itu tidak melakukan korupsi yang kecil, melainkan korupsi kategori besar.
    Para pegawai negeri muda yang baru beberapa tahun bekerja, bahkan masih
    berusia di bawah 30 tahun, ternyata memiliki rekening mencengangkan. Dengan pembuktian terbalik paling sederhana terhadap pendapatan resminya, rekening gendut itu tidak akan bisa didapatkan sampai pensiun sekalipun.
    Tidak mengherankan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2011 hanya berada pada urutan 100 dari 183 negara yang disurvei Transparency International. Skor kita hanya 3,0 atau naik 0,2 dari IPK tahun lalu. Kedudukan kita setara dengan negara-negara miskin seperti Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Suriname, Tanzania, Sao Tome, dan Principe. Membayangkan menyamai bahkan mendekati skor Brunei, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura, sepertinya tidak mungkin.
    Samad tentu saja harus cermat menentukan kriteria penyelesaian perkara, jika
    tidak ingin terjebak dalam pusaran kasus remeh-temeh yang menghabiskan energi. Kasus dengan daya rusak besar terhadap struktur sosial dan potensial menulari kelompok masyarakat lain harus diprioritaskan penanganannya. Pejabat yang tidak memberikan teladan baik kepada rakyat harus dimasukkan dalam kategori grand corruption.
    Untuk warming-up, kasus duo Mesuji bisa diujicobakan agar ditangani KPK. Ada kejahatan korporasi skala besar di balik peristiwa Mesuji. Konflik ini memiliki perspektif grand corruption. 
  • Dilanda Krisis, Rakyat Amerika Merangkul Warisan Leluhur

    Dilanda Krisis, Rakyat Amerika
    Merangkul Warisan Leluhur
    Herman Hakim Galut, WARTAWAN, TINGGAL DI WASHINGTON, DC, AMERIKA SERIKAT
    Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Desember 2011
    Meski kurang mendapat liputan luas dari media massa mainstream Amerika, gerakan Occupy Wall Street (OWS) yang telah menyebar luas ke berbagai kota di Amerika dan dunia berhasil memengaruhi jutaan rakyat Amerika untuk menjauhkan diri dari bank-bank komersial dan institusi keuangan lainnya di Wall Street, New York City.
    Rakyat yang kecewa berat dengan kinerja bank-bank komersial dan lembaga-lembaga keuangan yang merupakan jantung kapitalisme itu ramai-ramai memindahkan deposito mereka ke credit uniondan bank-bank warga. Selain itu, mereka juga membentuk koperasi, mendirikan perusahaan milik karyawan, dan lembaga-lembaga alternatif yang modelnya lain dari kapitalisme tradisional.
    Penarikan deposito secara besar-besaran dipicu aksi Molly Katchpole, nasabah sebuah bank besar Amerika, yang menentang kebijakan banknya menarik fee US$ 5 dari kartu debit nasabah apabila menggunakan kartu debit untuk belanja sebulan.
    Dari awal Oktober hingga “Bank Transfer Day” pada 5 November 2011, nilai transfer mencapai US$ 4,5 miliar. Rushpenarikan dalam jumlah besar ini merupakan isyarat baru bahwa sejumlah besar orang Amerika sudah muak dengan Wall Street. Mereka siap mengubah sistem apabila ada peluang untuk itu.
    Menurut mereka, pengelolaan koperasi dan bentuk perusahaan karyawan lainnya lebih sederhana dan semangat kekeluargaannya lebih tinggi. Bahkan, beberapa dari mereka mengaku, credit union lebih demokratis dibanding bank-bank konvensional. Misi institusinya pun lebih jelas, kata yang lain.
    Pemerintah daerah dan pemerintah negara bagian juga ikut mengubah sifat dasar kapitalisme, yang menurut banyak pihak, sudah stagnan dan rakus.
    Proses ini, kata Gar Alperovitz, penulis buku America Beyond Capitalism, dan profesor ilmu ekonomi-politik University of Maryland, “berlangsung tanpa disadari sepenuhnya oleh siapa pun. Kita (Amerika) bergerak menuju sistem hibrida, suatu sistem yang berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme tradisional.”
    Profesor Gar merinci, sekitar 130 juta rakyat Amerika ikut dalam keanggotaan usaha koperasi dan koperasi simpan-pinjam. Tiga belas juta lebih rakyat Amerika menjadi pemilik 11 juta perusahaan karyawan. Jumlah ini 6 juta lebih besar daripada jumlah serikat buruh perusahaan swasta.
    “New Deal” dan “Grange Movement”
    Gar, dalam percakapan telepon dengan penulis pekan lalu membenarkan bahwa gerakan perubahan oleh nasabah bank besar Amerika dan pemda, serta pemerintah negara bagian di Midwest pada awal ke-21 ini sedikitnya meniru solusi atas krisis ekonomi yang menimpa Amerika pada awal 1930-an.
    Pada waktu itu, Amerika mengalami krisis yang dikategorikan sebagai Great Depression, dan Kongres Amerika mengesahkan program Presiden Franklin D Roosevelt yang bertajuk “New Deal” untuk mengatasi krisis besar dari 1933 hingga 1936 itu. Programnya dikenal dengan julukan 3R, yakni Relief, Recovery, dan Reform.
    “Anda melihat orang Amerika kembali kepada semangat bertetangga dengan menjadi anggota bank warga atau ikut dalam credit union, itu nilai warisan leluhur,” katanya.
    Apabila gerakan itu terus meningkat dalam jumlah, ukuran, dan kecanggihan organisasi, besar kemungkinan perubahan-perubahan ini akan mengarah ke suatu model ideologi ekonomi yang lain dari kapitalisme tradisional, yang berbasis korporasi dan sosialisme tradisional yang kita kenal sekarang ini.
    Pengucuran dana talangan kepada perusahaan mobil besar di Amerika merupakan isyarat ekonomi Amerika sudah mengarah ke ekonomi sosialistik, meski tidak sepenuhnya demikian karena pemilik perusahaan mobil tadi mengembalikan talangan tadi.
    Ungkapan “tidak sepenuhnya demikian” terungkap dalam sebuah jajak pendapat tahun 2009 yang mengatakan, pilihan responden yang berusia 30 tahun terbagi atas kapitalis atau sosialis.
    Solusi yang diinspirasi dari pengalaman masa lalu bukan hanya meniru “New Deal”-nya Presiden Rosevelt. Gar sepakat bahwa aksi protes secara bermartabat jutaan rakyat Amerika terhadap Wall Street itu menelusur hingga ke solusi nenek moyang mereka, yang disebut Grange Movement pada 1867.
    Gerakan itu merupakan gerakan agraris yang didirikan Oliver H Kelly. Gerakan ini pada mulanya bertujuan memajukan pendidikan dan kehidupan sosial. Namun, di beberapa desa, gerakan ini menjelma menjadi gerakan politik untuk menentang keputusan ekonomi yang berlawanan dengan kepentingan petani.
    Mereka berhasil membangun toko sandang-pangan dan pertenunan. Anggota gerakan ini pun yang disebut Grangers, berhasil memengaruhi parlemen di negara-negara bagian Midwest untuk merancang undang-undang yang mewakili kepentingan petani.
    Apa yang terjadi ke depan? Menurut Gar, stagnansi ekonomi dalam kurun waktu yang lama ini bisa memunculkan suatu debat bahwa masa depan ideologi ekonomi Amerika akan mengambil arah seperti berikut ini: menuju ideologi ekonomi didominasi eksekutif korporasi kapitalis atau pejabat pemerintah sosialis.
    Mungkin itu merupakan solusi bagi krisis Amerika yang selama ini menggambarkan dirinya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.