Category: Uncategorized
-
Peta Jalan Menuju Bebas Korupsi
Peta Jalan Menuju Bebas KorupsiMasdar Hilmy, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL SURABAYASumber : KOMPAS, 23 Desember 2011Kebenaran yang tidak sistemik akan terkalahkan oleh kebatilan yang sistemik(Ali, Sahabat Nabi Muhammad SAW)Pemberitaan korupsi di media kian memiriskan hati. Sekadar menyegarkan ingatan kita, terdapat 175 kepala daerah—terdiri atas 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota—yang tersangkut korupsi. Hampir setiap pekan seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Pendek kata, tiada hari tanpa berita dan analisis tentang korupsi di media.Yang menjadi pertanyaan klasik adalah, meski sudah banyak yang mendapatkan hukuman, mengapa korupsi yang melibatkan kepala daerah masih saja terjadi? Mengapa korupsi bisa bersanding dengan kesalehan? Ada apa dengan bangsa ini?Meski tak mudah dijawab, tak tersedianya peta jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi merupakan salah satu faktor signifikan di balik lambannya pemberantasan korupsi. Mengakhiri 2011 dan menyongsong 2012, inilah refleksi paling relevan sekaligus tantangan paling nyata bagi negeri yang tengah bergelut dengan endemi korupsi.Tanpa IntegritasSelama ini pemberantasan korupsi terkesan berjalan sporadis, fragmentatif, dan setengah-setengah. Upaya pemberantasan korupsi terkesan tebang pilih akibat kompromi politik tingkat tinggi. Sejumlah kasus megakorupsi yang menyeret nama-nama penting menguap begitu saja. Tidak berlebihan publik menyangsikan etos, komitmen, dan integritas penyelenggara negara dalam pemberantasan korupsi.Terapi GagalIbarat mengobati penyakit kanker, proses terapi tak kunjung memberikan harapan kesembuhan. Bertahan dari kematian saja sudah luar biasa. Barangkali analogi semacam inilah yang sedang dialami bangsa ini dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu pengobatan komprehensif yang mencakup seluruh level; level moral-psikologis dan level fisik-biologis.Di tingkat moral-psikologis, bangsa ini tengah mengidap krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara negara untuk memberantas praktik korupsi hingga ke akar-akarnya. Sementara itu, di tingkat fisik-biologis, persoalan korupsi di Indonesia memiliki anatomi yang hampir muskil disembuhkan dalam waktu singkat.Ini semua karena persoalan korupsi di negeri ini sangat kompleks, rumit, dan multifaset. Ia bukan saja sebagai kebiasaan buruk individu yang bereskalasi menjadi kebiasaan buruk kolektif, melainkan juga karena korupsi telah berjalan sistemik, bertali-temali dengan faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.Pada tingkat ekstrem, kejahatan korupsi bahkan telah menyentuh kesadaran eksistensial bangsa. Seolah berlaku asumsi, tiada cara lain ”menjadi” Indonesia kecuali melalui korupsi. Kompleksitas semacam inilah yang membuat persoalan korupsi kian sulit diurai. Siapa pun presidennya, secanggih apa pun peraturan dan lembaga dibuat, siapa pun ketua KPK-nya, rasanya sulit menghentikan laju korupsi di negeri ini. Padahal, mengidentifikasi dan mengurai persoalan korupsi merupakan prasyarat guna merumuskan peta jalan menuju Indonesia bebas korupsi.Peta jalan ini berisi pemetaan terhadap anatomi persoalan korupsi, akar penyebab, langkah solusi, penentuan skala prioritas, hingga penentuan jangka waktu penanganan bertahap dan simultan; pendek, menengah, atau panjang. Dengan cara ini, kita dapat mengetahui secara obyektif di mana posisi kita dalam agenda pemberantasan korupsi dan kapan bangsa ini bisa terbebas dari endemi korupsi.Persoalannya, pernahkan bangsa ini memikirkan dan menyusun peta jalan komprehensif menuju Indonesia bebas korupsi? Inilah inti persoalan korupsi di negeri ini. Upaya pemberantasan korupsi tidak pernah menyentuh akar persoalan sesungguhnya karena dilakukan secara sporadis, fragmentatif, dan tidak berintegritas. Memenjarakan koruptor ternyata tidak menjerakan yang lain. Sebagai kejahatan luar biasa dan musuh bersama, semestinya agenda pemberantasan korupsi merepresentasikan upaya terkonsentrasi dari seluruh komponen bangsa.Kenyataannya, agenda pemberantasan korupsi selalu diasumsikan menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah terpilih. Padahal, pemerintah terpilih merupakan bagian dari sistem politik makro yang juga korup. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah mampu menjalankan agenda pemberantasan korupsi jika di dalam dirinya tidak bersih dari korupsi? Analoginya, bagaimana mungkin membersihkan lantai dengan sapu kotor?Struktur Budaya PolitikKompleksitas persoalan korupsi terletak pada kenyataan telah melembaganya perilaku korupsi di setiap lini kehidupan, dari individu hingga kolektif, dari privat hingga publik, dari swasta hingga negeri, dan seterusnya. Kultur kolektif semacam ini lama-kelamaan menciptakan jejaring kekuasaan yang bersifat quasi-koersif bagi setiap individu yang memasukinya. Jika di negara dengan indeks korupsi rendah korupsi dianggap penyimpangan, di negeri ini korupsi dianggap normal, memandu dan menginspirasi kejahatan politik secara lebih sistemik.Pada kenyataannya, realitas jagat politik di negeri ini digerakkan oleh dua dunia: ”dunia tampak” dan ”dunia tidak tampak”. Dunia yang tampak adalah seluruh norma dan mekanisme politik yang diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, dunia tidak tampak adalah realitas di balik layar yang berisi lobi, kontrak, dan kesepakatan politik tidak tertulis yang justru jauh lebih dominan ketimbang dunia yang tampak. Termasuk dalam konteks ini adalah dana politik yang peredarannya mudah terendus, tetapi sulit teridentifikasi.Pada tingkat struktur di permukaan, jagat politik kita—seolah-olah—digerakkan oleh dunia yang tampak. Ada banyak undang-undang politik dan lembaga yang didesain untuk menghentikan laju korupsi. Namun, itu semua tidak membuat ciut nyali para (calon) koruptor. Hal ini karena pada tingkat struktur yang lebih dalam jagat politik kita sebenarnya lebih banyak digerakkan oleh dunia yang tidak tampak itu. Akibatnya, siapa pun yang memimpin, secanggih apa pun jerat-jerat hukum dibuat, negeri ini sulit terbebas dari endemi korupsi. Pernyataan Ali sebagaimana dikutip di awal tulisan ini seharusnya menyadarkan dan menginspirasi seluruh komponen bangsa, terutama para penyelenggara dan pengambil kebijakan negara, guna merumuskan peta jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi. Bisakah kita menjadi Indonesia tanpa korupsi? ● -
Lorong Gelap Berantas Korupsi
Lorong Gelap Berantas KorupsiSaldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSIFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALASSumber : KOMPAS, 23 Desember 2011Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak menunjukkan kemajuan signifikan.Bahkan, sejumlah peristiwa yang tersingkap sepanjang 2011 menegaskan satu hal: agenda pemberantasan sulit keluar dari lorong gelap. Langkah memberantas korupsi bak menuju titik nadir. Padahal, sejumlah peristiwa pada 2011 seharusnya mampu menghadirkan langkah besar dalam pemberantasan korupsi. Sebut saja, misalnya, skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan yang sepertinya bergerak memasuki jalur lambat.Padahal, banyak kalangan berpikir positif bahwa heboh yang terjadi awal 2011 akan jadi energi ekstra guna mendorong langkah besar pemberantasan korupsi. Faktanya jauh panggang dari api: penyelesaian skandal Gayus bukti agenda pemberantasan korupsi menuju titik nadir.Dalam konteks penegakan hukum, skandal mafia pajak yang menempatkan Gayus harus diselisik lebih dalam. Selain melibatkan sejumlah nama di kepolisian dan kejaksaan, skandal ini juga menunjukkan betapa bopeng wajah penegakan hukum. Yang membuat kita miris, penyelesaian skandal ini jadi pembenaran empiris perilaku tebang-pilih dalam penegakan hukum. Tebang-pilih tak hanya karena gagal menguak tuntas identitas polisi dan jaksa yang terlibat, tetapi juga gagal membongkar perusahaan-perusahaan besar yang menerima jasa Gayus.TumpulSuatu ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengemukakan pernyataan ”sederhana” untuk menggambarkan penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Menurut dia, ”penegakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Ilustrasi ini tak hanya dapat dilacak dari langkah penyelesaian yang telah diambil dalam skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus, tetapi juga dari penyelesaian skandal Bank Century.Sampai sejauh ini, skandal Century masih menyimpan misteri dalam jagat penegakan hukum. Sepanjang 2011, harapan agar ada kemajuan dalam penyelesaian skandal Century sama sekali tidak terjadi. Padahal, publik masih berpegang pada hasil voting panitia khusus DPR yang menerima opsi C bahwa ”patut diduga telah terjadi penyimpangan proses pengambilan kebijakan penalangan Bank Century oleh otoritas moneter”. Oleh karena itu, sangat mungkin tidak bergeraknya skandal Century membuktikan tumpulnya proses hukum bekerja bagi mereka yang memiliki posisi politik kuat.Tidak saja untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2011, sejumlah skandal yang terjadi sepanjang tahun ini hanya mampu menyentuh mereka yang tak berada dalam posisi politik yang kuat. Sebut saja, misalnya, skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Proses penegakan hukum skandal suap yang terjadi, sepertinya, akan segera berhenti begitu (mantan) Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dinyatakan bersalah. Penumpulan itu dapat pula dijelaskan dengan skandal yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.Selain itu, tindak lanjut bekerjanya proses hukum terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin membuktikan pendapat Mahfud. Meski megaskandal ini mendapat perhatian amat luas dari publik, proses hukum sepertinya akan berhenti sampai di Nazaruddin. Padahal, jika mengikuti perjalanan skandal ini sejak awal, sulit diterima akal sehat Nazaruddin bermain sendiri. Sampai sejauh ini proses hukum dapat dikatakan kehilangan nyali menyentuh semua nama yang pernah disebut Nazaruddin. Bahkan, janji mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas untuk menetapkan tersangka baru hilang ditelan bumi.Banyak kalangan kian kehilangan harapan disebabkan oleh penegak hukum tak menunjukkan perubahan berarti dalam memberantas korupsi. Sepanjang 2011, sejumlah penegak hukum tertangkap tangan memperdagangkan otoritas penegakan hukum. Kejadian itu membuktikan, langkah reformasi internal penegak hukum masih sangat jauh untuk dituai demi memenuhi harapan pencapaian agenda pemberantasan korupsi.Harus dicatat, rangkaian kejadian sepanjang 2011 tak hanya meluluhlantakkan harapan memberantas korupsi, tetapi juga mencabik-cabik proses meraih keadilan. Semua itu terasa kian mengiris-iris nadi agenda pemberantasan korupsi ketika sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi di daerah membebaskan mereka yang tersangkut kasus korupsi. Boleh jadi, putusan bebas itu seperti hendak mempertautkan wilayah Indonesia dalam peta buram cengkeraman korupsi.Bagaimana 2012?Sekalipun potret buram lebih dominan, tak berarti semua yang dilakukan tanpa capaian sama sekali. Setidaknya di pengujung 2011 kita mendapat dua kabar baik. Selain naiknya indeks persepsi korupsi dari 2,8 (2010) menjadi 3,0 (2011), keberhasilan penegak hukum memulangkan Nunun Nurbaeti jadi prestasi tersendiri.Banyak pihak percaya, kedua capaian tersebut ditambah hadirnya pimpinan KPK yang baru akan menjadi modal besar memberantas korupsi tahun depan. Untuk itu, paling tidak, wajah pemberantasan korupsi 2012 dapat dilacak dari penyelesaian skandal bail out Bank Century, upaya mengurai jejaring di sekitar Nazaruddin, dan manfaat yang dapat diraih dari keberhasilan memulangkan Nunun. Bagaimanapun, upaya penyelesaian skandal tersebut akan mampu memulihkan citra penegakan hukum.Selain itu, tak kalah penting, publik juga tengah menunggu keberanian KPK mengurai jejaring mafia anggaran di DPR. Keberanian KPK mengurai secara tuntas mafia anggaran akan menunjukkan kepada publik bagaimana lembaga ini menghadapi tekanan politik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bermakna, penetapan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka bukan menjadi ujung cerita penyelesaian skandal ini. Sekiranya penuntasan semua skandal ini tetap sulit menjamah mereka yang memiliki posisi politik kuat, agenda pemberantasan korupsi tak akan pernah keluar dari lorong gelap. ● -
KPK Baru dan Agenda Pemberantasan Korupsi
KPK Baru dan Agenda Pemberantasan KorupsiAnu, PESERTA DISKUSI GOVERNANCE AND REFORM IN INDONESIADI CHATHAM HOUSE, LONDON, PADA AWAL DESEMBER 2011Sumber : SINDO, 23 Desember 2011Dengan dilantiknya Abraham Samad dan rekan-rekan sebagai pimpinan KPK periode 2011–2015 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pekan lalu, maka mereka resmi memimpin institusi terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Ekspektasi masyarakat terhadap KPK tentu akan semakin tinggi, terlebih lagi terdapat kritikan yang cukup tajam terutama dari media serta aktivis antikorupsi mengenai kemungkinan kompromi politik dalam pemilihan pimpinan KPK. Disisilain, dengan pemilihan figur Abraham Samad sebagai ketua KPK yang masih relatif berusia muda—untuk standar umur pejabat tinggi di Indonesia— serta steril dari lingkungan elite Jakarta, setidaknya memberi harapan bahwa nantinya beliau akan lebihtegas, dinamis, dan independen.Dari aspek legalitas hukum, KPK mempunyai kedudukan hukum yang paling kuat, yakni dibentuk melalui Undangundang Nomor 30 Tahun 2002. Hal penting yang membedakan KPK dengan tim atau lembaga sejenis dalam sejarah Indonesia adalah mereka dapat merekrut sendiri sebagian besar stafnya tanpa terikat oleh keharusan menggunakan aparatur negara. Namun, untuk penyidik serta penyelidik, KPK tetap terikat aturan undang-undang untuk menggunakan tenaga polisi dan jaksa untuk menjalankan fungsi tersebut yang menjadi titik terlemah dari segi organisasinya.
Kemudian, KPK juga diberi wewenang melakukan penyadapan: otoritas yang penting karena pekerjaan KPK mengandalkan bukti langsung bahwa tertuduh koruptor menerima suap. Contoh keberhasilan wewenang penyadapan adalah kasus jaksa Urip pada 2008 dan Jaksa Sistoyo pada 2011 yang tertangkap saat menerima dana suap sebesar hampir Rp6 miliar dan Rp100 juta. Kerja sama yang baik dengan Presiden SBY merupakan kunci keberhasilan KPK dalam menjalankan fungsinya selama ini.
Menurut ketentuan hukum, untuk memeriksa pejabat tinggi aktif KPK harus memperoleh izin dari Presiden. Setidaknya hingga kini Presiden SBY memberikan kemudahan dalam pemberian izin tersebut seperti kepada para beberapa anggota DPR maupun kepala daerah yang masih aktif menjabat. Diperkirakan hampir 100 izin bagi pemeriksaan pejabat negara/ pemerintahan yang telah dikeluarkan oleh KPK. Kemudian dari segi sumber daya, baik dana maupun fasilitas, KPK memperoleh dana melalui APBN yang relatif cukup untuk menunjang operasinya.
Selama 2010 KPK telah merealisasikan Rp264 miliar lebih anggarannya (KPK, 2010). Tentu kita masih ingat bagaimana ketidakoptimalan komisi atau lembaga bergerak pada isu antikorupsi di masa lalu yang sumber dananya tidak memadai. Misalnya Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional dan beberapa institusi lain. Karenanya hubungan kerja antara Presiden dan KPK merupakan suatu kemitraan yang sangat penting dalam konteks reformasi institusi di Indonesia.
Mungkin tingkat kepentingannya bisa disamakan dengan hubungan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam usaha menjaga stabilitas politik nasional baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Tentu saja sebagai lembaga negara yang kiprahnya selalu disorot oleh media,maka KPK juga menuai berbagai macam kritikan. Yang paling sering digugat adalah masalah diskriminasi yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan kegiatan penindakan hukum.
KPK dianggap tidak dapat menyelesaikan kasus yang melibatkan figur-figur dalam ling-karan kekuasaan. Kemudian juga dalam melakukan tindakan prosekusi terhadap para pejabat pemerintah membuat para pejabat pemerintah menjadi enggan membuat keputusan. Hal ini disebabkan mereka tidak ingin nantinya keputusannya berimplikasi pada tuntutan dirinya oleh KPK karena diduga terlibat korupsi di masa mendatang.
Mendorong Reformasi Institusi
Dengan jumlah staf kurang lebih 400 pegawai dan berdiri hanya lebih dari 7 tahun,KPK dianggap sebagai institusi antikorupsi yang cukup berhasil dalam sejarah Indonesia. Bahkan keberhasilannya diakui pada tingkat internasional dengan diberikannya integrity award oleh Bank Dunia pada 2010 kepada Chandra Hamzah. Setidaknya KPK bersama Presiden SBY,melalui kegiatan penuntutan hukum, sudah dapat menurunkan efek imunitas bagi para pejabat dan mantan pejabat yang diduga melakukan korupsi.
Saat ini para pejabat dan mantan pejabat akan berpikir lebih panjang apabila ingin melakukan korupsi. Pekerjaan yang paling mendesak di masa mendatang adalah bagaimana KPK dan Presiden SBY membantu mendorong reformasi institusi di lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian RI, Jaksa Agung,serta Mahkamah Agung. Saat ini terlihat ketiga lembaga tersebut merasa dipermalukan dengan tindakan KPK menangkap aparatur mereka yang terlibat korupsi.
Karenanya merupakan tantangan besar bagi Abraham Samad serta Presiden SBY, selain terus meningkatkan prosekusi terhadap koruptor tapi juga dilakukan pendekatan institusi serta komunikasi yang terpadu terhadap ketiga lembaga tersebut akan pentingnya reformasiinstitusidiinstansimasingmasing. Apabila dilihat pada kasus di negara Korea Selatan,Singapura dan Hong Kong: inisiatif antikorupsi yang berhasil adalah bila institusi penegak hukumnya berhasil direformasi sehingga aparatnya dapat melaksanakan tugas dengan baik, dihormati, serta mempunyai integritas tinggi.
Akibatnya, lembaga antikorupsi seperti KPK peranannya akan menjadi jauh lebih berkurang dengan kondisi institusi penegak hukum yang relatif bersih dan independen. Tentu ini pekerjaan rumah besar bagi pimpinan KPK saat ini dan Presiden SBY untuk mewujudkan tugas yang mahaberat ini.
● -
Dilema Imigran Gelap
Dilema Imigran GelapHikmahanto Juwana, GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL UISumber : KOMPAS, 23 Desember 2011Peristiwa mengenaskan terjadi terhadap para imigran gelap di lepas Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur.Mereka hendak menuju Australia dengan kapal yang tak layak untuk mengarungi bentangan laut yang sangat luas. Bagi Indonesia, keberadaan imigran gelap jadi persoalan tersendiri. Sebagian lain berada di Indonesia karena terdampar saat menuju Australia, seperti warga Rohingya asal Myanmar. Sebagian lagi sengaja masuk dan menjadikan Indonesia sebagai tempat transit. Imigran kategori ini umumnya dari kelas menengah di negaranya yang kebanyakan Timur Tengah.Imigran Timteng yang hendak mencari kehidupan lebih baik di negara maju, seperti Australia, melihat posisi Indonesia yang strategis. Indonesia jadi surga transit untuk masuk Australia secara ilegal. Paling tidak ada empat daya tarik bagi imigran gelap untuk berada di Indonesia sebelum sampai tujuan akhir, Australia. Pertama, Indonesia negara ”terdekat” untuk dapat masuk secara ilegal ke Australia. Laut yang membentang di antara kedua negara menjadi ”jalur tikus” bagi kapal asal Indonesia yang disewa imigran gelap.Kedua, Indonesia jadi tempat transit karena masih banyak wilayah laut yang tak terjaga dan tak memiliki tempat pemeriksaan imigrasi. Di jalur resmi masuk ke Indonesia, lemahnya pemantauan aparat keimigrasian ikut menyumbang masuknya imigran gelap secara tak sah. Ketiga, keberadaan badan PBB yang mengurusi soal pengungsi (UNHCR) menjadi daya tarik bagi imigran gelap berduit. Setiba di Indonesia dengan memanfaatkan visa turis, mereka akan segera ke kantor UNHCR dan meminta status sebagai pengungsi. Jika diberi status pengungsi, imigran gelap dapat berada di Indonesia sementara sebelum UNHCR mendapatkan negara ketiga yang bersedia menerima mereka.Terakhir, harus diakui di Indonesia ada orang-orang tertentu, baik WNI maupun warga asing, bahkan oknum aparat, yang menjadikan imigran gelap ladang bisnis. Cara kerja terorganisasi menjadikan mereka yang terlibat patut diberi label mafia.DilematisBagi pemerintah, keberadaan imigran gelap memunculkan dilema. Di satu sisi, pemerintah harus memfasilitasi keberadaan mereka, bahkan tak dapat membiarkan imigran gelap telantar atau tak terurus ketika mereka mengalami musibah. Ini karena, dari sisi kemanusiaan, pemerintah akan disalahkan secara internasional jika mereka abai.Di sisi lain, jika bantuan diberikan untuk mengurus imigran gelap, akan berdampak pada anggaran negara. Bahkan, perlakuan pemerintah jadi sumber kecemburuan bagi warga. Pemerintah seolah memberikan perhatian lebih kepada imigran gelap karena khawatir mendapat kritik internasional daripada warganya sendiri. Padahal, masih banyak warga miskin di Indonesia atau TKI yang bermasalah di luar negeri yang harus diurus.Ini masih ditambah lagi beban yang diakibatkan oleh kebijakan Australia, yang menjadikan Indonesia ”benteng” pencegahan bagi banjirnya imigran gelap. Dari berbagai bantuan Australia ke Indonesia, salah satunya ditujukan agar Indonesia dapat memastikan imigran gelap tertahan di Indonesia. Salah satunya dijerat dengan ketentuan keimigrasian. Dengan demikian, imigran gelap akan tetap berada di Indonesia dan pada gilirannya dideportasi ke negara asalnya.Australia punya kepentingan saat UU Keimigrasian Indonesia dipersiapkan. Mereka perlu pasal yang mengkriminalkan perbuatan penyelundupan manusia. Pasal ini penting agar Indonesia dapat memberikan sanksi pidana bagi mereka yang terlibat dalam mafia penyelundupan manusia. Pasal ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat jera nelayan Indonesia yang kapalnya digunakan imigran gelap.Tambahan beban juga dikontribusikan Malaysia yang memiliki perjanjian untuk membebaskan permohonan visa bagi warga sejumlah negara Timteng. Atas dasar ini, imigran gelap masuk lebih dahulu lewat Malaysia sebelum masuk Indonesia lewat jalur tikus, darat maupun laut, dan akhirnya ke Australia.Menghadapi fenomena ini, pemerintah harus memiliki kebijakan komprehensif. Selain memperketat masuknya warga negara asing secara ilegal, patroli di wilayah laut juga harus diintensifkan dengan menambah kapal patroli. Pemerintah, melalui perwakilannya, juga harus menyosialisasikan ke masyarakat dari negara asal imigran gelap bahwa Indonesia akan memberikan sanksi berat bagi imigran gelap. Pemerintah juga bisa meminta perwakilan negara asal imigran untuk turut bertanggung jawab ketika terjadi musibah.Pemerintah perlu pula meninjau ulang kehadiran UNHCR di Indonesia. Jika dirasa hanya jadi beban, kehadiran UNHCR perlu diakhiri. Hal lain, meminta perhatian Pemerintah Australia dan Malaysia agar turut membantu Indonesia menghadapi masalah imigran gelap. Australia yang mendapat manfaat dari Indonesia perlu ikut berkontribusi secara finansial terhadap biaya pengurusan imigran gelap. Kita juga dapat meminta Malaysia meninjau kebijakannya memberikan bebas visa bagi warga dari negara asal imigran gelap.Selain agar Indonesia tak dijadikan surga transit imigran gelap, kebijakan komprehensif juga dimaksudkan untuk memastikan Indonesia tidak dijadikan tujuan akhir imigran gelap. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mendatang bukan tak mungkin menjadi daya tarik imigran gelap. ● -
Setelah UU BPJS DIsahkan
Setelah UU BPJS DisahkanKartono Mohamad, MANTAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIASumber : KOMPAS, 23 Desember 2011Setelah tarik ulur cukup ramai antara parlemen dan pemerintah, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan menjadi undang-undang.Dapat dikatakan bahwa UU BPJS memperbaiki atau bahkan merevisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU BPJS ditegaskan bahwa setiap penduduk Indonesia (termasuk orang asing) wajib menjadi peserta sistem jaminan sosial, akan hadir dua BPJS (dari tarik-menarik antara empat dan satu), menetapkan badan pengawas, dan menekankan sifat BPJS yang nirlaba.Meskipun demikian, masih perlu waktu cukup lama sebelum rakyat benar-benar dapat menikmati jaminan sosial, seperti tidak lagi harus membayar sendiri ketika berobat jalan maupun menginap di rumah sakit. Masih banyak hal yang harus disiapkan dan ditata sebelum sistem jaminan sosial berjalan penuh.Hal pokok yang harus dilakukan pemerintah adalah membentuk BPJS dengan segala kelengkapannya, menetapkan besaran iuran yang harus dibayar oleh peserta, hingga memikirkan mekanisme penarikan iuran. Untuk pegawai negeri dan pekerja formal, penarikan akan lebih mudah karena ada pemberi kerja yang dapat diminta memotong gaji. Namun, untuk pekerja nonformal, perusahaan kecil dengan karyawan di bawah 10 orang, dan pekerja mandiri, perlu dicarikan mekanisme lain.Penarikan IuranCara pertama adalah menggunakan uang pajak. Dari pajak yang diterima negara, sebagian dialokasikan untuk membiayai jaminan sosial. Ingmar Bergman, sutradara film Swedia tahun 1960-an, mengkritik cara ini. Ia mengatakan bahwa mereka yang bekerja keras harus membiayai kesejahteraan kaum hippies yang malas bekerja.Cara lain adalah menambahkan sejumlah persentase tertentu di atas pajak perorangan (penghasilan) seperti di Australia. Cara ini secara sosial mempunyai makna positif, yaitu yang berpenghasilan besar membantu yang berpenghasilan kecil.Untuk negara yang sebagian besar penduduknya sudah rajin membayar pajak dan tidak banyak dikorupsi, cara pembiayaan melalui pajak akan lebih praktis. Namun, untuk negara yang jumlah pembayar pajaknya masih kecil, seperti Indonesia, ditambah tingginya angka korupsi, pembiayaan melalui pajak akan sangat memberatkan negara. Banyaknya penduduk dan meningkatnya biaya pengobatan membuat pajak yang terkumpul nantinya tidak cukup lagi untuk biaya jaminan sosial.Cara lain adalah memotong gaji setiap peserta. Sekarang sudah ada dua jalur untuk itu, yaitu melalui Askes untuk pegawai negeri dan melalui Jamsostek untuk karyawan perusahaan swasta. Setelah ada BPJS, seharusnya hanya ada satu pintu untuk penarikan iuran melalui pemotongan gaji dan besarannya pun harus disamakan.Hal yang sulit adalah menjangkau perusahaan kecil yang sering tak terdaftar, seperti toko, bengkel, dan salon. Untuk pekerja mandiri, seperti pedagang kios, pasar, dan sopir, perlu dipikirkan beberapa cara. Salah satunya adalah mewajibkan penyisihan sekian persen dari tabungan mereka di bank (sekarang banyak pedagang kecil mempunyai tabungan di bank), seperti dilakukan Singapura. Bisa juga dengan mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok-kelompok kerja (guild) atau koperasi. Yugoslavia (dulu) menggunakan mekanisme koperasi buat petani, pekerja informal, atau pekerja mandiri.Bagaimana untuk anggota TNI dan Polri? Mereka yang menjadi anggota TNI/Polri aktif selayaknya ditanggung negara seluruh biaya perawatan kesehatannya karena risiko tugas mereka. Akan tetapi, mereka tetap harus membayar iuran untuk jaminan kesehatan keluarganya.Untuk yang miskin, sesuai dengan UU BPJS, iuran dibayar oleh pemerintah. Namun, apa pun cara yang dipilih, pelaksanaannya memang harus bertahap, termasuk bagaimana mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke dalam sistem jaminan nasional ini.PengawasanDengan menguasai dana pembiayaan pengobatan seluruh rakyat Indonesia, BPJS mempunyai kekuatan besar untuk memaksa penyedia layanan (rumah sakit, klinik, dokter, sarana diagnostik) menjaga mutu, efisiensi, ketepatan waktu, dan efektivitas layanan, sekaligus menghapus sistem fee for service yang mudah disalahgunakan dan mahal.BPJS juga mempunyai posisi tawar kuat untuk menekan harga obat. Tugas pengawasan mutu ini dapat diserahkan kepada sebuah badan khusus yang dibentuk BPJS atau badan pengawas yang diamanatkan undang-undang. Artinya, selain mengawasi BPJS juga sekaligus mengawasi penyedia pelayanan.Keuntungan lain dari adanya satu BPJS adalah efisiensi karena biaya birokrasi BPJS hanya ada di satu BPJS. Alokasi untuk pemasaran dapat digunakan untuk sosialisasi BPJS dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar tetap sehat. Dana yang tersedia dapat dihemat kalau rakyat tetap sehat. Idealnya, kalau BPJS berjalan dengan baik, beban Kementerian Kesehatan akan banyak terkurangi. ● -
Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan Indonesia
Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan IndonesiaBahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIKUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTASumber : SINDO, 23 Desember 2011Beberapa hari terakhir ini muncul wacana agar pada 2014 nanti tokohtokoh senior tidak lagi mencalonkan diri sebagai kandidat presiden.
Hal ini dimunculkan, secara tidak bersamaan, oleh Taufik Kiemas, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais.Dalam pandangan Amien Rais, yang dimaksud sebagai tokoh senior adalah mereka yang sudah berumur di atas 60 tahun. Dalam konteks kandidat presiden, pernyataan ini mengena ke tokoh-tokoh seperti Wiranto,Megawati, Prabowo Subiyanto,dan Akbar Tanjung. Meski ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie juga sudah berumur 60 tahun lebih, tampaknya dia bukan termasuk tokoh yang dibidik.Jika demikian halnya, sebetulnya yang dituju Amien Rais, mungkin juga Taufik Kiemas dan Susilo Bambang Yudhoyono, adalah para tokoh politik yang pada 1999, 2004, dan 2009 pernah bersangkutan dengan pencalonan presiden—baik sebagai kandidat presiden atau mereka yang terlibat dalam konvensi partai untuk menentukan figur calon presiden. Sebenarnya soal batasan umur ini bukan persoalan substansial. Di atas atau di bawah usia 60 tahun, tercatat sebagai generasi senior atau yang lebih muda, bukanlah hal yang penting dalam dunia politik di Tanah Air.
Tidak seperti Uni Soviet (dulu) dan China, gerontokrasi adalah sesuatu yang tidak pernah menjadi masalah dalam kepemimpinan nasional kita. Baik Soekarno maupun Soeharto muncul sebagai pemimpin nasional dalam usia yang relatif muda.Meski demikian, karena hal itu disuarakan oleh pelaku-pelaku terkemuka politik di negeri ini,yang tentu saja didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan politik tertentu, serta-merta kita tergoda untuk terlibat membicarakannya. Kita tidak tahu persis mengapa para tokoh itu menggulirkan masalah regenerasi dalam kepemimpinan nasional.
Jika kita harus menebak dengan penuh prasangka baik, barangkali niat politik mereka didasarkan atas kenyataan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia demikian berat, dan cenderung bertambah dari hari ke hari.Karena itu diperlukan pemimpin yang lebih muda.Perkiraannya adalah bahwa generasi muda lebih energik,penuh vitalitas, dan mungkin tanpa beban.
Kekosongan
Akan tetapi,penting diketahui bahwa persoalan kepemimpinan yang telah menggurita di Indonesia, terutama sejak satu dasawarsa terakhir, tidak ada kaitannya dengan soal kurangnya energi atau vitalitas di dalam memimpin. Jika boleh menyimpulkan dari perjalanan kepemimpinan sepuluh tahun terakhir,tentu dari sudut pandang orang-orang yang dipimpin, masalah pokok yang membelenggu para pemimpinan kita adalah tidak adanya apa yang oleh Max Weber disebut beruf atau panggilan kepemimpinan.
Karenanya yang tampak adalah tiadanya kesungguhan, keseriusan,dan keikhlasan untuk memimpin.Jika kompetensi ditambahkan di dalam susunan persyaratan ini,maka hal itu sebanding dengan yang pernah diajarkan Nabi Muhammad bahwa syarat untuk menjadi pemimpin itu shidiq, amanah, tabligh,dan fathanah. Kekosongan panggilan ini mungkin merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Sebab, ketika kita berusaha untuk memutus hubungan dengan orde pemerintahan sebelum reformasi, semangat kuat yang muncul adalah menghentikan kepemimpinan Soeharto.
Rasa bebas dari rezim Orde Baru ini kemudian ditafsirkan sebagai kebolehan untuk berkuasa. Gegap gempitanya masyarakat politik di Tanah Air untuk membikin partai politik, menjadi anggota legislatif, yang kemudian diteruskan dengan semangat untuk menjadi presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan sebagainya mengaburkan prasyarat moral yang disebut callingatau panggilan itu. Karenanya, politik dianggap semata-mata sebagai komoditas yang diperebutkan; menjadi pemimpinan nasional— baik di tingkat pusat maupun daerah—dianggap dan diperlakukan sebagai pekerjaan.
Kosong dari persyaratan moral seperti ini bisa mengena semua pemimpin.Penyakit ini bersifat lintas umur. Karenanya, alih generasi dalam konteks kepemimpinan nasional 2014 tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia.
Prasyarat Moral
Untuk itu sebenarnya yang harus diinjeksikan dalam ranah kepemimpinan nasional bukan keharusan mereka yang di bawah umur 60 tahun untuk memimpin. Akan tetapi prasyarat moral yang bernama keikhlasan, kesungguh-sungguhan,atau keseriusan. Dengan bantuan persyaratan moral itu diharapkan mereka yang (bakal) memimpin republik ini tidak memperlakukan posisi atau jabatan sebagai pekerjaan, melainkan amanah atau panggilan tadi. Regenerasi adalah hal yang bagus.
Akan tetapi yang kita perlukan sekarang ini bukan regenerasi dalam konteks bilangan umur kronologis, melainkan regenerasi dalam konteks sirkulasi elite dari yang memperlakukan jabatan sebagai pekerjaan ke mereka yang bersedia melihat posisi sebagai amanah dan panggilan. Sepuluh tahun terakhir ini telah cukup mengajarkan kepada kita bahwa tidak sedikit dari mereka yang berumur di bawah 60 tahun berlaku sama dan sebanding dengan senior mereka.
Baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak banyak yang dapat dijadikan contoh sebagai pemimpin yang sungguhsungguh, ikhlas,dan serius. Kecuali kita bisa memproses alih generasi dalam konteks yang kita bicarakan, pemilu pada 2014 nanti tidak akan mendatangkanperubahanyang substansial.Pemilu 2014 hanya akan mendatangkan penilaian bahwa kepemimpinan nasional Indonesia (hanya) “berbeda”, tetapi tidak “berubah”. Sekali lagi, letak persoalannya tidak ada pada perbedaan umur.
Tanpa panggilan, beruf, calling, dan sebagainya itu, pemilu Indonesia hanya akan menghasilkan sederet orang yang—meminjam istilah Samuel Huntington—ingin berkuasa (to rule), tetapi tidak bersedia untuk memerintah (to govern).
● -
Mengembangkan Akuakultur
Mengembangkan AkuakulturRokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA,GURU BESAR KELAUTAN DAN PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGORSumber : SINDO, 23 Desember 2011Tahun ini penduduk dunia tepat menyentuh angka 7 miliar jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 8 miliar pada 2025—kemudian 10 miliar orang pada 2100 (PBB, 2011).Dengan jumlah penduduk seperti sekarang saja, dunia selama dekade terakhir sering mengalami krisis pangan,energi,dan air.Naiknya suhu udara, cuaca ekstrem, banjir,musim kemarau panjang serta tidak menentu akibat perubahan iklim global juga telah menyebabkan penurunan produksi pangan dunia. Hal yang lebih mencemaskan, demi mengamankan ketahanan pangan di negaranya masing-masing, negara-negara pengekspor pangan utama seperti Amerika Serikat (AS), Kanada,Rusia,Australia,Thailand, dan Vietnam akhir-akhir ini mulai membatasi, bahkan memberhentikan ekspor bahan pangan.Tak pelak, fenomena global ini telah mengakibatkan indeks harga pangan dunia mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah pada akhir 2010 (FAO,2011). Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan, maritim, dan agraris terbesar di dunia yang memiliki potensi produksi pangan, energi,dan SDA lain yang masih melimpah, perkembangan kondisi global seperti itu sebenarnya merupakan tantangan sekaligus peluang.Salah satu cara menangkap peluangnya adalah dengan mengembangkan akuakultur (aquaculture).
Produksi Pangan dan Nonpangan
Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia sekitar 57,7 juta ton/ tahun.Pada 2010 baru dihasilkan 5,48 juta ton atau 9,6% dari total potensi produksinya.Total potensi produksi sebesar itu berasal dari budi daya di laut seluas 24 juta ha (potensi 42 juta ton/tahun),budi daya di tambak seluas 1,22 juta ha (potensi 10 jutaton/tahun),danbudidaya di perairan tawar 13,7 juta ha (potensi 5,7 juta ton/tahun). Adapun total produksi 5,48 juta ton terdiri atas rumput laut 3 juta ton (56%), sisanya 44% berupa ikan kerapu 1%,kakap 1%,bandeng 6%,nila 8%,emas 5%,lele 4%, patin 3%, gurame 1%,udang 7%, dan jenis-jenis lainnya 8% (KKP,2011).Sebelum berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 1999 Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar keenam di dunia. Pada 2004 Indonesia menjadi produsen terbesar keempat di dunia, dan pada 2010 terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 10,86 juta ton yang berasal dari perikanan tangkap 5,38 juta ton (49%) dan perikanan budi daya 5,48 juta ton (51%). Pada 2010 sekitar 1 juta ton produk perikanan diekspor ke mancanegara dengan perolehan devisa USD3 miliar.
Selain itu,sekitar 70% dari total protein hewani yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produk perikanan. Hanya 30% berasal dari daging,telur,dan susu. Karena harganya mahal dan permintaannya cukup besar, komoditas-komoditas tertentu dapat kita jadikan sebagai andalan ekspor, seperti mutiara, udang windu, udang vaname, kerapu bebek, kerapu macan, lobster, kepiting, kakap, teripang, dan rumput laut.Komoditas akuakultur lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dan ketahanan pangan nasional.
Selain pangan, akuakultur juga merupakan sumber bahan baku yang potensinya luar biasa besar untuk industri farmasi, kosmetik, energi terbarukan (biofuel), dan beragam jenis industri lain.Contohnya senyawa organik karagenan, agar-agar dan alginat yang terdapat dalam rumput laut Eucheuma spp, Sargassum spp, Gracillaria sp., dan lainnya selama ini digunakan sebagai bahan campuran utama dalam industri farmasi, kosmetik, pupuk, tekstil, dan beragam jenis industri lain.
Salah satu yang menarik adalah potensi algae sebagai penghasil biofuel yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Kanada menargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budi daya mikro algae di laut maupun perairan tawar. Bahkan sejak 2007 Pemerintah Korea Selatan telah mewajibkan penggunaan biofuel sebanyak 5–25% dari total kebutuhan energi di sana. Salah satu jenis algae laut yang berpotensi sebagai sumber biofuel adalah Botryococcus braunii.
Keunggulan algae sebagai sumber energi selain waktu tanamnya sangat singkat (seminggu),juga dalam pemanenannya tidak butuh alat berat seperti di darat. Teknologinya pun sangat mudah dan murah, produktivitasnya sangat tinggi, dan mampu menyerap CO2 sehingga dapat menghambat global warming.
Potensi Ekonomi
Sekadar sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi akuakultur,ibarat ‘raksasa yangmasihtidur’,dapatdisimak pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma sp. Jika kita mampu mengembangkan 300.000 ha tambak (25% potensi) untuk budi daya udang vaname,maka dalam setahun rata-rata dapat diproduksi 6 juta ton udang vaname dengan nilai USD30 miliar.Pendapatan petambak rata-rata Rp8 juta/ha/bulan,dan tenaga kerja yang terserap 1,2 juta orang. Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18% potensi) untuk Gracilaria, maka tiap tahun dapat dihasilkan 4 jutatonrumputlautkeringyang setara dengan USD2 miliar,pendapatan petambak Rp3 juta/ha/ bulan, dan lapangan kerja tercipta sejuta orang.Bila 1 juta ha perairan laut (4% potensi) dikembangkan untuk budi daya Eucheuma spp, maka dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya USD20 miliar, pendapatan pembudi daya Rp12 juta/ha/ bulan, dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.
Kita harus mampu mengelola pembangunan akuakultur secara profesional dengan menerapkan teknologi best aquaculturepractices, economyofscale, supply chain management secara terpadu, pengendalian pencemaran secara saksama, tata ruang wilayah dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.
Jika itu semua mampu dilakukan, niscaya kita tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan kekinian (impor pangan,pengangguran, kemiskinan, dan global warming), tetapi juga mampu menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dunia di bidang pangan,biofuel, farmasi, kosmetik, dan bioproducts lain yangkompetitif,maju,adil-makmur, dan mandiri pada 2025.
● -
Tanggungjawab Kasus Mesuji
Tanggungjawab Kasus MesujiRahayu, KETUA PUSAT STUDI HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIPSumber : SUARA MERDEKA, 23 Desember 2011SATUlagi peristiwa memilukan terjadi di negeri ini: tragedi kemanusiaan Mesuji. Tindak kekerasan antara petugas keamanan (pamswakarsa) perusahaan perkebunan swasta (asing) dengan warga ini berawal dari sengketa kepemilikan lahan. Kekerasan yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung itu merupakan akibat dari pengelolaan bisnis kelapa sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat sejak 1997. Kekerasan meningkat ketika pihak perusahaan menolak mengembalikan lahan kepada masyarakat sehingga tidak kurang 30 warga tewas. Mabes Polri mengoreksi dengan menyebutkan korban tewas 9 orang, termasuk dua petugas pamswakarsa yang dipenggal kepalanya. (SM, 22/12/11).Bila pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dipahami tidak hanya berupa tindakan (action) tetapi sekaligus juga pendiaman (omission), ketika pelanggaran dilakukan oleh individu atau kelompok individu yang bukan aparat negara –namun negara melalui aparatnya tidak melakukan tindakan apa pun, baik preventif maupun represif– maka indikasi terjadinya pelanggaran HAM jelas terlihat.
Sikap pemda setempat melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak pada masyarakat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, menjadi bukti cukup kuat. Begitu pula dengan jarak waktu yang cukup lama antara terjadinya peristiwa (April dan November 2011) dan pengungkapannya secara terbuka pada pertengahan Desember 2011 menjadi indikasi tidak tertanganinya kasus itu dengan baik, bila tidak mau dikatakan telah terjadi pembiaran. Apalagi rekomendasi Komnas HAM terhadap pemerintah pun tidak mendapatkan tanggapan semestinya.
Dampak Konglomerasi
Sesungguhnya tragedi Mesuji bukanlah satu-satunya di negeri ini berkaitan dengan sengketa kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat dan pemilik modal. Menurut Kontras, di samping terjadi di Lampung dan Sumatra Selatan, setidak-tidaknya saat ini ada 6 kasus besar serupa, dari Papua, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, hingga Sulawesi Tengah.
Dari semua kasus itu, akhirnya selalu menempatkan rakyat sebagai korban yang tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pemilik modal. Marginalisasi dan kriminalisasi merupakan stereotipe perlakuan yang menimpa mereka. Persinggungan kepentingan antara bisnis perusahaan (korporasi) dan warga setempat, berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM. Seperti hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak lainnya.
Persoalan ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari kecenderungan global yang menempatkan sektor privat (korporasi) sebagai pilar utama, di samping negara dan masyarakat sipil. Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan adalah pihak yang menentukan aktivitas bisnis macam apa yang mestinya boleh hidup dan berkembang di suatu negara. Orientasinya semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya. Idealnya, hubungan yang serasi di antara ketiganya akan melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Namun sebaliknya, tarik-menarik kepentingan di antara ketiga komponen tersebut menurut Eric Wilson justru menyebabkan pemerintah seringkali takluk pada kepentingan bisnis dan mengabaikan rakyatnya.
Tanggung Jawab
Dewasa ini perjuangan untuk menegakkan HAM menghadapi tantangan luar biasa sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme global yang menghendaki tata perekonomian dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Hal ini mendorong munculnya korporasi sebagai pemilik modal dengan kekuatannya yang seringkali melebihi kekuatan negara.
Kendati masih diterima prinsip bahwa negara adalah pemegang kewajiban utama di bidang HAM, fakta menunjukkan dalam pola relasi kekuasaan horizontal, peluang terjadinya pelanggaran HAM menjadi lebih luas. Pelakunya juga meliputi aktor-aktor nonnegara, baik individu maupun korporasi. Artinya, pelanggaran HAM berpotensi dilakukan oleh korporasi, khususnya terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan.
Keberadaan korporasi dan bisnis di mana pun pasti berorientasi mencari keuntungan. Namun bukan berarti hal itu bisa dilakukan dengan melanggar HAM masyarakat karena pelaku bisnis juga memiliki kewajiban di bidang HAM. Sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi Dunia tentang HAM di Vienna pada 1993, bahwa pelaku bisnis memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM. Hal ini kembali ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2003 Nomor E/CN 4/ Sub 2/ 2003/ 12/ Rev 2 tentang Norms on the Responsibilities of Trans National Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Right.
Kewajiban dan tanggung jawab korporasi di bidang HAM lahir karena komitmen kemanusiaan dan kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, berisiko ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pengingkaran terhadap kewajiban tersebut melahirkan tanggung jawab bagi pelaku bisnis sebagai pelaku pelanggaran HAM. Konsekuensinya, negara melalui pemerintah harus berani lebih tegas mengambil tindakan yang berpihak membela kepentingan rakyat. Tidak sekadar melakukan tindakan hukum bagi pelaku dan pemilik korporasi, namun yang lebih penting adalah upaya pengembalian dan pemenuhan hak-hak masyarakat melalui rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban.
Kewajiban dan tanggung jawab tersebut menjadi makin penting mengingat masalah utama yang dihadapi manusia bukan lagi sekadar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu dampak dari eksploitasi dan ketidakpedulian korporasi sebagai pemilik modal.
● -
Quo Vadis Indonesia (1)
Quo Vadis Indonesia (1)Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RISumber : REPUBLIKA, 22 Desember 2011Baik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) maupun Bacharuddin Jusuf Habibie (BJH) memiliki obsesi yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah maju. Sutan Takdir Alisjahbana aktif dalam sastra dan kebudayaan sejak sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945), sampai embusan napas terakhir di usia 86 tahun pada 17 Juli 1994.Bacharuddin Jusuf Habibie aktif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) dan sebelum era Reformasi (1998), hingga sampai saat ini. Baik generasi Sutan Takdir Alisjahbana maupun generasi Bacharuddin Jusuf Habibie memperjuangkan dan mengembangkan segala usaha untuk meningkatkan peran sumber daya manusia (SDM) dalam memajukan Indonesia.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana bersama generasinya menitikberatkan aktivitasnya pada peningkatan ‘nasionalisme’ dari suatu masyarakat plural dalam kebhinekaan Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie bersama generasi selanjutnya menitikberatkan aktivitas pada peningkatan ‘daya saing’ sumber daya manusia Indonesia di tengah proses globalisasi yang sedang berjalan.
Sasaran Sutan Takdir Alisjahbana dan Bacharuddin Jusuf Habibie sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang merata, tanpa membedakan suku, agama, dan ras bagi sumber daya manusia yang hidup di benua maritim Indonesia. Namun, cara untuk mencapai sasaran tersebut berbeda karena harus disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, dan kondisi dunia masa mereka masing-masing saat berperan dan berkarya.
Ironi Kesenjangan
Wajah dunia pada masa generasi Sutan Takdir Alisjahbana (sebelum 1945) dan sekarang sangat berbeda. Dahulu tidak ada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sebagian besar dunia masih dijajah oleh beberapa negara adikuasa. Mereka menjadikan daerah jajahannya sebagai modal tempat mengeruk sumber daya alam (SDA) terbarukan dan tidak terbarukan, yang sekaligus menjadi pasar bagi hasil produk nilai-tambah mereka. Pendapatan dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hidup di negeri jajahannya, dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan pengembangan prasarana ekonomi dan iptek serta proses industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara, yang saat itu sedang berkembang.Sekarang wajah dunia telah berubah. Bangsa-bangsa yang pernah dijajah telah merdeka dan bebas, bahkan menjadi anggota PBB. Mereka berlomba-lomba meningkatkan daya saing dan produktivitas sumber daya manusia masing-masing.
Ternyata batas negara dan jumlah penduduk suatu bangsa sangat dipengaruhi, direkayasa, bahkan ditentukan oleh penjajah; dan bukan berdasarkan pertimbangan ras, etnik, agama, budaya, bahasa, kerajaan, dan suatu dinasti yang pernah berkuasa. Nasionalisme yang baru berkembang di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan di Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan lebih berorientasi pada pragmatisme, seperti halnya pada terbentuknya India, Pakistan, Banglades, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia, dan sebagainya. Apabila kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi seluruh sumber daya manusia Indonesia yang menjadi sasaran perjuangan Sutan Takdir Alisjahbana dan generasi Bacharuddin Jusuf Habibie, untuk menilai seberapa jauh sasaran tersebut telah dicapai, kita perlu melihat kemampuan berkarya (kualitas) dari sumber daya manusia Indonesia, yang antara lain tecermin dalam profil lapangan kerja mereka.
Ternyata dari data yang kita peroleh menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup memprihatinkan. Usaha kecil dan usaha menengah menyediakan 99,46 persen lapangan kerja, sementara lapangan kerja yang disediakan oleh usaha besar hanya mencapai 0,54 persen. BPD dalam perekonomian nasional disumbang oleh hasil usaha besar (44,9 persen) hasil usaha kecil dan menengah (55,1 persen). Perbandingan nilai tambah yang dihasilkan setiap lapangan kerja oleh UK: UM: UB adalah 1: 3: 170. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan kualitas sumber daya manusia, pendidikan, produktivitas, dan penguasaan iptek.
Kesenjangan tersebut harus dihindari karena akan mengakibatkan peningkatan kesenjangan antara miskin dan kaya dan menghambat daya saing ekonomi nasional. Gambaran tentang kesenjangan tersebut juga mengingatkan kita bahwa masalah kualitas sumber daya manusia merupakan persoalan utama bangsa, yang harus menjadi perhatian dan hendaknya menjadi ‘tema sentral’ dalam berbagai upaya kita untuk membangun masa depan secara konsisten dan berkesinambungan.
Sejarah telah membuktikan bahwa hanya suatu masyarakat yang sumber daya manusianya merdeka dan bebas saja, yang dapat meningkatkan produktivitasnya dan akhirnya daya saing mereka. Perilaku sumber daya manusia dipengaruhi oleh budaya dan agama masyarakat bersangkutan, yang diperoleh dari kualitas proses pembudayaan. Keterampilan sumber daya manusia ditentukan oleh sistem pendidikan, penelitian, dan kesempatan bekerja masyarakat bersangkutan pula.
Dalam proses ‘globalisasi’, perhatian utama diberikan sekitar mekanisme ‘jual-beli’ bilateral, multilateral, dan global. Pasar nasional, regional, dan global dengan mata uang yang relatif stabil dan relatif kuat akan mendapat perhatian utama.
Mekanisme pasar yang tadinya didominasi sumber daya alam dan produk karya nilai tambah dan biaya tambah sumber daya manusia, sekarang diwarnai dengan komoditas baru yang kita kenal sebagai mata uang. Arus informasi yang berlangsung cepat, tidak semua sempurna, dan rentan terhadap manipulasi sehingga akan sulit menghasilkan kebijakan yang tepat, cepat, dan berkualitas. Mekanisme pasar dan teori ekonomi yang berlaku perlu disempurnakan!
Dalam proses globalisasi, dengan cadangan valuta asing yang diperoleh dari ekspor sebagai hasil karya proses nilai tambah sumber daya manusia, dapat dimanfaatkan untuk membeli modal perkebunan dan pertambangan sumber daya alam di negara pengimpor. Beberapa masyarakat atau negara telah berhasil mengekspor produk karya dan kerja sumber daya manusianya, kemudian memanfaatkan pendapatannya untuk membiayai pembangunan dan penyempurnaan pendidikan, penelitian, serta prasarana ekonomi dan industri nasionalnya. Akibatnya, proses peningkatan produktivitas dan daya saing negara tersebut meningkat dan demikian pula cadangan valuta asingnya.
Sebagai penanam modal, melalui proses globalisasi setiap perusahaan nasional atau multinasional dapat menjadi pemilik perkebunan dan pertambangan atau modal sumber daya alam di negara lain. Jaringan global para investor tersebut akan terus berkembang dan dimanfaatkan untuk menjadikan cadangan valuta dolar AS atau euro yang dimilikinya, berubah menjadi modal sumber daya alam di mancanegara.
Jangan Cuma Konsumen
Masyarakat akan menjadi konsumen produksi masyarakat lain, yang tanpa disadari telah menjual modal sumber daya alam perkebunan dan pertambangan yang dimiliki, yang dibayar dengan mengimpor produk yang tidak dibuat sendiri! Demikianlah, jaringan global penguasaan modal sumber daya alam oleh perusahaan nasional dan multinasional akan berkembang terus.Masyarakat indonesia secara tradisional tidak menghalangi investor nasional atau global membangun pusat keunggulan produksi untuk pasar domestik, regional, dan global. Namun, tetap saja tidak ada pembinaan dan perhatian terhadap produksi masyarakatnya sendiri. Yang diperhatikan adalah keuntungan yang cepat dan jangka pendek.
Jika hanya neraca perdagangan dan pembayaran yang diperhatikan dan keduanya dalam keadaan seimbang bahkan menguntungkan, tanpa memberikan gambaran mengenai neraca jam kerja, dalam era globalisasi sekarang ini sulit menghindari terjadinya dilema seperti yang dilukiskan di depan. Neraca perdagangan dan pembayaran bisa seimbang, bahkan menguntungkan karena harga sumber daya alam meningkat! Namun, bagaimana nasib bangsa jika akhirnya pemilik kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah perusahaan asing?
● -
Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
Kembali ke Pasal 33 UUD 1945Mochtar Naim, SOSIOLOGSumber : KOMPAS, 22 Desember 2011Dengan mencontoh negara-negara tetangga yang mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi kerakyatan dari tingkat terbawah seperti Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia, Indonesia sudah sepatutnya melakukan hal yang sama sejak semula.Namun, kenyataannya tidak demikian. Sistem ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan, yang sudah 66 tahun umurnya, praktis sama saja dengan kita selama sekian abad berada di bawah penjajahan asing. Sistem ekonomi yang berkembang sampai saat ini masih bersifat liberal-kapitalistik-pasar bebas, sekaligus dualistik.Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.Ekonomi DualistikSemua itu hanya angin surga yang diimpikan para penggagas dan pendiri republik ini. Sementara yang berjalan dan dipraktikkan selama ini justru sebaliknya. Selain karena terlalu lama dijajah, juga karena sistem sosial-budaya yang dimiliki oleh bangsa ini yang dominan adalah feodalistik, hierarkis-vertikal, sentripetal, etatik, nepotik, dan bahkan despotik.Alhasil, itulah yang berlanjut sampai hari ini, yaitu sistem ekonomi yang dualistik. Terbentuklah jurang menganga antara 95 persen penduduk yang merupakan rakyat asli, pribumi—yang sejak semula hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan terbelakang—dan penyertaan sekitar 5 persen dari ekonomi nasional yang ”bergedumpuk” di sektor nonformal. Sementara 5 persen lainnya—umumnya nonpribumi—menguasai 95 persen kekayaan ekonomi negeri ini: dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan bahkan udara di negara kepulauan terbesar di dunia ini.Antara harapan seperti dituangkan dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945 dan kenyataan yang dihadapi bagaikan siang dengan malam. Orang Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia bangga dengan negeri dan tanah airnya karena mereka sendiri yang punya dan menguasai bumi, air, dan segala isinya yang dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Kalaupun ada orang luar yang ikut serta, mereka adalah tamu dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Di kita, Indonesia, sebaliknya. Kita malah bagaikan tamu atau orang asing di rumah sendiri. Tanah, air, dan bahkan udara yang kita jawat secara turun-temurun dari nenek moyang kita hanya namanya kita yang punya, tetapi praktis seluruhnya mereka yang kuasai.Padahal, alangkah luas, kaya, dan indah negara ini sehingga menempati empat terbesar di dunia. Akan tetapi, kita hanya menguasai secara de jure di atas kertas, de facto dikuasai kapitalis mancanegara dan konglomerat nonpribumi yang sudah mencengkamkan kukunya sejak dulu. Lihatlah, hampir semua warga Indonesia terkaya ukuran dunia adalah mereka, diselingi satu-dua elite pribumi yang hidup sengaja mendekat dan/atau bagian dari api unggun kekuasaan itu.Untuk mengembangkan usaha makro di bidang perkebunan, kehutanan, galian alam, misalnya, pemerintah bahkan mengambil alih tanah ulayat milik rakyat yang dipusakai turun-temurun. Tanah itu lalu diserahkan berupa hak guna usaha, yang bisa diperpanjang setelah 30 tahun, ke kapitalis mancanegara dan konglomerat.Sekali tanah ulayat menjadi tanah negara, kendati sudah habis masa pakai ataupun tak lagi dipakai, tak juga bisa dikembalikan ke pemiliknya: rakyat! Hal itu hanya karena penafsiran Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang sangat negara-sentris, harfiah, bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.Kata ”dikuasai” secara harfiah tentu saja tidak sama dengan ”dimiliki”. Pemiliknya tetap adalah rakyat yang mengulayati tanah itu secara turun-temurun.Jelas sekali bahwa negara sama sekali tak berpihak kepada rakyat, tetapi kepada para kapitalis multinasional dan konglomerat nonpribumi yang sekarang menguasai bagian terbesar dari tanah rakyat itu. Sekarang, yang namanya tanah ulayat di mana-mana habis. Tandas sudah!Alangkah tragis, mengingat semua ini terjadi justru di alam kemerdekaan. Ukuran keberhasilan pembangunan bagi penguasa negara jadinya bukan ”siapa” dan seberapa besar hasilnya dinikmati oleh rakyat, melainkan ”berapa” dari target yang diinginkan tercapai dalam angka-angka statistik. Pencapaian target itu, dalam kenyataannya, nyaris diborong habis oleh para kapitalis yang sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi nasional.Penduduk asli-pribumi? Kelompok ini hidupnya masih seperti itu juga dari waktu ke waktu, rezim berganti rezim. Sementara rakyat pribumi rata-rata memiliki tanah kurang dari setengah hektar per keluarga, jutaan hektar tanah ulayat diserahkan oleh negara kepada para pengusaha kapitalis multinasional dan konglomerat.Kerja sama triumvirat kapitalis multinasional dan konglomerat nonpribumi di bawah lindungan elite penguasa negara yang pribumi inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia selama ini. Sementara rakyat pribumi yang merupakan ahli waris sah republik ini tetap saja hidup melarat dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.Walau janji-janji dilontarkan oleh penguasa Reformasi yang sudah jilid dua pula sekarang ini, masih ada saja yang tertulis di atas kertas yang tak segera terlihat ada implementasinya, seperti program kredit usaha rakyat dan entah apa lagi namanya itu. Jangan-jangan itu pun hanya janji gombal karena sebentar lagi pemilu akan datang pula.Akibat Salah UrusBagaimana ke depan? Akan seperti ini juga tanpa perubahan struktural yang berarti, yang sifatnya harus fundamental, mendasar; atau seperti selama ini juga, sekadar tambal sulam di permukaan, yang esensinya itu ke itu juga.Kuncinya ada pada diri kita sendiri, terutama pada kelompok elite pribumi yang secara politis mengendalikan negeri dan negara ini. Seperti kita lihat, selama ini mereka (para elite pribumi) sekadar menumpang di biduk ke hilir. Mereka lebih suka menerima daripada memberi, lebih suka dilayani daripada melayani sesuai tugas mereka sebagai abdi negara.Tanpa bersusah-susah mereka menerima upeti berbagai macam, yang jumlahnya bisa tak termakan di akal sehat kita. Mereka datang dari semua lapisan birokrasi: dari eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi maupun militer; dari orang pertama di tingkat atas sampai ke tingkat bawah; di pusat maupun di daerah.Dengan kebebasan pers yang kita nikmati sekarang, semua borok ini jadi terbuka. Tahulah kita betapa sakit negara ini sehingga dunia menjulukinya sebagai salah satu dari negara terkorup di dunia.Kita sesungguhnya sedang berada di tepi jurang kehancuran sebagai negara akibat salah urus dan akibat dari sistem sosial dan budaya politik yang kita anut selama ini, yang berbeda antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Pilihannya tinggal satu: kembali ke pangkal jalan dengan mempraktikkan UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan 34, secara jujur dan konsekuen; atau kaput, habis kita! ●