Sedangkan, surplus ekspor minyak bumi sebesar Rp 9,59 triliun pada 2011.
Namun, pesan Liu Quan sangat jelas dengan gaya bicaranya tersebut. Ia ingin agar hadirin yakin bahwa China tidak perlu ditakuti oleh Indonesia dan bahwa Indonesia sebenarnya lebih “besar” dibandingkan China. Saya melihat keuletan China dalam membuka hubungan yang akrab dengan Indonesia sebagai suatu karakter.
China memang gigih. Secara konsisten dalam kurun waktu 10 tahun ini, para pejabat China selalu menyuarakan,negeri itu hadir di Asia sebagai kekuatan yang menginginkan kerja sama dan membawa keuntungan besar bagi kawasan ini. Ketika Perdana Menteri China Wen Jiabao berkunjung ke Jakarta pada April 2011,pesan utamanya bangsa Indonesia dapat memegang kata-katanya yakni Pemerintah China tidak akan berpaling dan berkhianat dari janji-janji untuk bersama-sama tumbuh sebagai suatu kawasan yang dinamis pertumbuhan ekonominya.
PM Jiabao tampaknya memahami benar keragu-raguan adalah karakter kepemimpinan Indonesia saat ini dan keragu- raguan itu mudah menular pada publik. Sebab itu, PM Jiabao perlu menyampaikan pesan dalam bahasa yang terang dan jelas. Pesan Liu Quan selayaknya menjadi bahan refleksi bagi bangsa ini.
Meskipun Indonesia berpenduduk besar,punya pertumbuhan ekonomi tinggi dan dinamis, serta punya beragam fasilitas mutakhir, politik luar negeri Indonesia terlalu berhati-hati. Awalnya saya pikir hanya saya sebagai orang Indonesia yang berpandangan demikian. Sejumlah diplomat dan duta besar negara sahabat ternyata menyampaikan pandangan serupa. Ada suatu harapan besar dari negara-negara lain agar Indonesia lebih berani dan tegas dalam menyuarakan posisinya.
Misalnya saja menyangkut hubungan kerja sama dengan China.Sebenarnya negara lain dapat membaca bahwa ratarata masyarakat Indonesia masih berpandangan negatif terhadap kedekatan dengan China.Tetapi, apakah Indonesia setuju pada pendekatan China dalam bermitra? Apakah Indonesia punya syaratsyarat dalam bermitra? Apakah ada langkah konkret untuk membangun rasa percaya antarnegara?
Belum ada kejelasan. Ketika menghadapi kritik dari publik,yang muncul justru sikap mendua yakni mengkritik China. Padahal bukankah suatu kerja sama selalu diawali oleh kesepakatan dari pihak Indonesia juga? Sebenarnya dalam diplomasi sangatlah dimungkinkan untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan negara lain, bahkan ketika kebijakan tersebut bersifat domestik.
Di sinilah terjadi tawar-menawar dan negosiasi. Namun, ada satu bekal utama yang diperlukan para diplomat yang bernegosiasi tersebut. Mereka membutuhkan kejelasan arah politik luar negeri dan kepentingan nasional, serta komitmen domestik yang dapat diandalkan sebagai daya tawar dalam negosiasi. Bekal utama ini yang absen dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia.
Ketika berhadapan dengan China, yang oleh publik notabene masih dicurigai punya motif-motif politik dan ekonomi yang berpotensi merugikan bangsa Indonesia,muncul pertanyaan. Bagaimana caranya memperlakukan China sebagai teman? Teman yang seperti apa? Bukankah kecurigaan bukan berarti menganggap China sebagai musuh? Atau ketika diplomat diarahkan untuk mencari keseimbangan dalam hubungan dengan China, di manakah patokan keseimbangan yang tepat? Menjaga hubungan yang dinamis dengan China adalah pekerjaan relatif mudah.
Kita bisa menambah kegiatan atau kerangka kerja sama.Tetapi, kedinamisan hubungan tadi memerlukan arah yakni jenis hubungan apa yang sedang ingin dipupuk bersama China. Ada yang berpendapat, sedang terjadi quiet diplomacy atau diplomasi di belakang layar dengan China. Artinya, ketidakjelasan posisi Indonesia adalah suatu strategi demi membantu negosiasi. Bila posisi Indonesia tidak terbaca oleh negara lain, arah negosiasi masih bisa disetir sesuai kemauan.
Argumen tersebut menarik, tetapi ada satu hal yang sebenarnya kurang tepat dalam logika argumen tersebut. Quiet diplomacy memerlukan target jelas,apalagi karena Indonesia bukan dalam posisi lemah dalam bernegosiasi dengan China. Indonesia punya posisi daya tawar yang besar, baik di tingkat kawasan maupun di tingkat global.
Kebesaran populasi Indonesia, posisi geopolitik yang strategis, dan citra sebagai negara yang cinta damai dan tidak bermotivasi mencari kekuasaan belaka dalam percaturan politik global adalah daya tawar yang luar biasa. Daya tawar inilah yang mendorong China untuk meyakinkan Indonesia agar tidak takut dan ragu dalam menerima China sebagai mitra utama di kawasan Asia.
China bisa membaca, sesungguhnya tak ada negara lain di kawasan Asia Tenggara yang relatif bisa dipercaya dan bisa diandalkan dalam menopang pertumbuhan ekonominya selain Indonesia. China butuh tumbuh. Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, mereka butuh mesin pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Mereka butuh pasar yang besar dan haus terhadap produk-produk mereka. Mereka mencari tanah untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Mereka mencari proyek untuk menghidupi BUMN mereka. Indonesia bisa memberikan itu semua. Mereka juga butuh saluran dana agar surplus mereka tidak menimbulkan panas ekonomi yang terlalu tinggi di dalam negeri. Wajar jika kemudian muncul skemaskema pinjaman dan investasi dari China ke Indonesia. Karena itu, mari kita lebih mawas diri.
Pendapatan per kapita Indonesia memang masih lebih rendah dibandingkan China, tetapi fakta bahwa China sangat mengharapkan uluran tangan Indonesia untuk menghidupkan perekonomiannya patut disikapi sebagai modal negosiasi dan kepercayaan diri yang besar. Sudah saatnya pemimpin negeri ini terbuka dan tegas akan arah kebijakan luar negeri Indonesia serta mengembangkan kerja sama luar negeri yang membangun kepercayaan publik akan arah kebijakan luar negeri yang tepat.Apalagi karena China begitu gigih mendekati Indonesia.
●Praktis, dengan proses kepailitan tersebut, seorang koruptor akan menjadi miskin. Sebab, tidak akan ada sisa kekayaan yang dapat dia nikmati kecuali hanya berupa benda yang benar-benar dibutuhkan, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatannya, tempat tidur dan perlengkapannya, serta bahan makanan hanya untuk 30 hari (pasal 22 UU Kepailitan). Bahkan, terhadap harta yang telah dialihkan kepada keluarganya atau pihak ketiga oleh koruptor yang dinyatakan pailit masih dapat dimintakan pembatalannya. Atau apa yang dikenal dengan actio pauliana yang diatur dalam pasal 41 sampai 50 UU Kepailitan.
Konsepsi Kepailitan
Dalam pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan, yang dimaksud kepalitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Istilah ini merupakan serapan dari faillissement dalam bahasa Belanda. Di dalam sistem Common Lawdikenal dengan istilah bankruptcy.
Lembaga kepailitan menjadi penegak dua pasal penting KUH Perdata. Pasal 1131 menyatakan: segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pasal 1132 mengatur: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Secara filosofi, UU Kepailitan kita lebih tertuju kepada si pailit, yakni pembagian boedel atau harta pailit debitor yang berhenti membayar. Hakikat tujuan kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya. Kepailitan adalah jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nanti merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.
Dua Kendala Kejaksaan
Akan tetapi, bila kita mengkaji konsepsi kepailitan lebih dalam lagi, syarat-syarat seseorang -termasuk seorang koruptor- dapat dinyatakan pailit oleh permohonan kejaksaan tidaklah mudah. Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan: Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.Jadi, sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut, pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit kepada seorang koruptor, selain demi kepentingan umtum, juga harus memenuhi 2 (dua) syarat lainnya.
Pertama, syarat koruptor tersebut harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Ini sesuai dengan syarat seorang debitor yang dapat diajukan pailit seperti yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang menyebutkan: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”. Syarat dua atau lebih kreditor rasanya sangat menyulitkan pihak kejaksaan untuk mencari setidaknya 2 (dua) kreditor dari koruptor tersebut. Sebab, seorang koruptor (apalagi seorang koruptor kelas kakap) pada umumnya tidak mungkin mempunyai kreditor lain atau mempunyai utang kepada pihak lain.
Kedua, adanya syarat bahwa seorang koruptor yang akan dipailitkan oleh kejaksaaan haruslah koruptor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Syarat ini juga sepertinya sangat sulit, Sebab, seorang koruptor yang biasanya “berlimpahan uang” hasil korupsinya tidak mungkin mempunyai utang yang macet. Kalaupun mempunyai utang, pastilah dengan uang hasil korupsinya tersebut dia segera melunasinya terlebih dahulu.
Adapun yang dimaksud dengan utang berdasar pasal 1 angka 6 UU Kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dengan dua syarat tersebut, yaitu harus ada dua kreditor atau lebih dan ada utang yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar, rasanya sangat sulit bagi pihak kejaksaan untuk mengajukan pailit koruptor. Kecuali persyaratan mengenai pailit dalam UU Kepailitan diubah, khususnya mengenai persyaratan permohonan pailit oleh kejaksaan untuk kasus korupsi. Mungkinkah itu diubah, Pak SBY? ●
Sungguh sangat memprihatinkan jika kemauan politik pemerintah dengan UU tersebut tidak ditindaklanjuti sungguh-sungguh oleh aparatur penegak hukum. Pada draf awal RUU Pencucian Uang, penulis telah memasukkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,tetapi wakil pemerintah ketika itu menolak dan sepakat dengan DPR RI untuk hanya membentuk PPATK.
Sesal kemudian tidak ada gunanya. Demikian pepatah yang pas terhadap sikap pemerintah dan anggota parlemen tersebut. Mandulnya efektivitas undang-undang tersebut antara lain disebabkan ketiadaan komisi yang diharapkan dapat efektif mencegah dan memberantas pencucian uang. Selain itu, terdapat pula kekeliruan dalam merumuskan ketentuan pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 77 dan 78 UU RI Nomor 8 Tahun 2010.
Pasal 77 UU tersebut menentukan bahwa hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa masih dihubungkan dengan tindak pidana asal (predicate offense) atau fokus pada perbuatan terdakwa (daadstraafrecht).
Kedua, rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam pasal tersebut dalam praktik tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dulu tindak pidana asal dimuat dalam tuntutan pidana penuntut umum. Ketiga, keberhasilan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya sekalipun ketentuan Pasal 68 UU Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010 dalam praktiknya hakim tidak dapat memerintahkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa jika tidak terkait dengan dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat jauh berbeda dengan bunyi ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus pada perampasan aset terdakwa saja tidak harus perlu menghubungkannya dengan tindak pidana asal.Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 200 berbunyi:
”Each state party may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation.” Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi: ”Each state party shall consider…as a criminal offence,when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Jika pembentuk Nomor 8 Tahun 2010 memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi, dapat dipastikan UU Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.
Sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini belum mengakui harta kekayaan terdakwa merupakan subjek hukum pidana tersendiri terlepas dari status hukum seseorang selaku terdakwa. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terdapat dua opsi. Pertama, harta kekayaan terdakwa perlu diakui sebagai subjek hukum pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia, di samping orang perorangan dan korporasi yang bertujuan memperoleh keuntungan finansial atau berhubungan dengan keuangan negara.
Kedua, mengutamakan sanksi pidana perampasan aset terdakwa atau korporasi sebagai pidana pokok di samping pidana penjara atau pidana denda. Konsekuensi kedua opsi tersebut, perampasan harta kekayaan terdakwa harus ditempatkan sebagai tindak pidana pokok––tidak lagi sebagai pidana tambahan. Saya usulkan agar ketentuan pidana dalam UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang dimasukkan ketentuan pidana perampasan aset kejahatan. Tampaknya usulan tersebut dapat diwujudkan jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang telah dipersiapkan pemerintah segera diundangkan sehingga dapat mewujudkan upaya pemiskinan dalam kasus korupsi.
●
Pernyataan simpang siur elite parpol semacam ini biasanya juga menjadi santapan empuk para pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter. Isinya hampir pasti bersifat cemoohan atas parpol yang didirikan atas inisiatif Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut. Agak mengherankan bahwa jajaran Demokrat cenderung membiarkan kesimpangsiuran yang turut dinikmati oleh lawanlawan politik Demokrat ini.
Alihalih ada klarifikasi resmi, para petinggi Demokrat justru saling membantah secara terbuka tentang kemelut internal partai yang disebabkan oleh merebaknya skandal pembangunan WismaAtlet Palembang.Akibat kepanikan internal itu pula, beberapa petinggi Demokrat hilang akal sehingga justru mencari “kambing hitam” dengan menyalahkan beberapa media dan bahkan melaporkannya ke Dewan Pers.
Mismanajemen Partai
Sulit dipungkiri bahwa prahara Demokrat sebagian besar justru bersumber dari manajemen atau pengelolaan partai yang tak hanya cenderung amburadul, tetapi juga tidak jelas pembagian otoritasnya secara internal.Tidak jelas siapa sesungguhnya juru bicara partai, baik pada tingkat Dewan Pembina maupun Dewan Pimpinan Pusat.
Di dalam naskah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) juga tidak jelas apakah Dewan Pembina dapat mengintervensi keputusan DPP. Jika dimungkinkan, terkait isu strategis apa saja yang memungkinkan Dewan Pembina campur tangan atas kebijakan dan atau keputusan DPP. Upaya DPP dan Fraksi Demokrat merotasi Angelina Sondakh dari Komisi IX ke Komisi III DPR yang akhirnya gagal karena kemarahan SBY selaku Ketua Dewan Pembina mengindikasikan ketidakjelasan otoritas itu.
Begitu pula bantahan mutakhir Anas Urbaningrum atas pernyataan Sutan Bhatoegana terkait rencana gerakan “bersih- bersih” partai. Apabila Dewan Pembina memiliki otoritas untuk melakukan perombakan atas struktur personalia DPP dan Fraksi Demokrat serta pernyataan Sutan mewakili institusi Dewan Pembina,Anas semestinya tidak membantah itu secara prematur.
Sebaliknya, jika tidak ada mekanisme yang memungkinkan Dewan Pembina melakukan intervensi atas kebijakan DPP, Sutan Bhatoegana seharusnya tidak melampaui wewenangnya. Problematika internal Demokrat seperti ini sebagian bersumber pada kedudukan unik sekaligus istimewa SBY selaku pendiri partai serta satu-satunya figur sentral pemersatu Demokrat.
Ironisnya, para petinggi Demokrat sendiri acapkali tidak tahu persis apa sesungguhnya isi kepala SBY terkait Anas berikut pernyataan bantahan dan kebijakan DPP menyangkut nasib Angelina Sondakh. Bisa jadi Sutan Bhatoegana pun hanya mencoba menafsirkan “bahasa berbunga” SBY yang kebetulan dianggap senada dengan aspirasinya sendiri terkait DPP di bawah kepemimpinan Anas.
Ketegangan Relasi
Terlepas dari soal mismanajemen partai yang belum cukup diakomodasi solusinya dalam AD/ART, sulit pula dibantah bahwa SBY sebenarnya tidak begitu nyaman melihat cara Anas mengelola dan memimpin partai yang didirikannya. Selain karena sejak awal SBY tidak begitu mendukung pencalonan Anas dibandingkan dukungannya terhadap Andi Mallarangeng sebagai ketua umum, mantan menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan pada era Megawati ini tampaknya juga kecewa berat dengan terjeratnya “orang-orang Anas”dalamskandal suap dan korupsi Wisma Atlet.
Sementara SBY sangat menyadari secara faktual Anas adalah ketua umum terpilih hasil Kongres Bandung. Sebagai sosok pendiri partai yang berulang kali menekankan pentingnya prinsip “taat asas”, termasuk asas praduga tak bersalah atas Anas, SBY merasa tidak etis baginya meminta langsung kepada Anas untuk mundur sementara sambil menunggu keputusan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Namun, di luar problematika otoritas dan etis, hampir setiap hari isu suap dan korupsi yang melibatkan kader Demokrat terus digoreng oleh berbagai media. Karena itu, pertanyaannya kemudian, haruskah partai menyelamatkan Anas dan kabinetnya jika akhirnya Demokrat sendiri bakal hancur dihukum oleh publik?
Strategi Pelengseran Anas
Bisa jadi pernyataan Sutan Bhatoegana terkait rencana gerakan “bersih-bersih” pengurus dan Fraksi Demokrat adalah bagian dari strategi pelengseran Anas tanpa secara langsung melibatkan SBY selaku ketua Dewan Pembina. Langkah Sutan sangat mungkin diketahui dan bahkan “direstui” oleh SBY agar secepatnya Demokrat bisa segera keluar dari belenggu krisis akibat skandal Wisma Atlet.
Dengan kata lain, SBY tampaknya tidak mau “tangannya kotor” karena melengserkan ketua umum hasil kongres. Indikasi lain yang menunjukkan ada strategi lain dalam pelengseran Anas adalah langkah politik yang dilakukan Komisi Pengawas Partai yang tengah menghimpun kesaksian dan pengaduan pengurus daerah Demokrat terkait ada dugaan politik uang di balik terpilihnya Anas sebagai ketua umum.
Jika jumlah kesaksian dan pengaduan soal politik uang itu cukup signifikan, tidak mustahil Dewan Kehormatan Partai pada akhirnya benarbenar akan menghentikan karier politik Anas. Apakah “bersih-bersih” Demokrat juga sekaligus pelengseran sang “Ketua Besar”, mari kita tunggu.
●
Weber menyatakan bahwa karakteristik rasionalisasi itu berupa peningkatan efisiensi, kepastian, perhitungan, dan kontrol terhadap ancaman ketidakpastian. Bagi Weber, ketidakpastian harus dipahami dalam kaitannya dengan kondisi prakognitif dan kognitif manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, dalam berinteraksi secara dinamis dengan kondisi dunia sekitarnya yang secara historis tidak stabil.
Weber mengingatkan bahwa rasionalisasi yang berlebihan, tak berhati, dan dingin dapat mengarah pada obsecurity of irrationality. Metafora Weber yang paling terkenal yaitu iron cage atau irra-tionality of rationality.Konsep ini merujuk pada keprihatinannya bahwa institusi publik (birokrasi) yang dirasionalisasi secara ekstrem justru mengasingkan diri dan menjadi tidak manusiawi lagi bagi para pegawai maupun bagi publik yang dilayani.
Lalu sosiolog Amerika Serikat, George Ritzer, menganalisis, memikirkan kembali, dan memperbarui teori Weber (juga teori Sartre, Heidegger, Lukacs,Lefebvre,Horkheimer, Marcuse, juga Bloch). Ia berdalil bahwa institusi-institusi di abad ke-20 telah dirasionalisasi pada suatu tingkat di mana seluruh negara menjadi t e r- “ M c D o n a l d i s a s i ” (“McDonalized”).
Maksudnya, prinsip-prinsip dari industri makanan cepat saji McDonald’s secara bertahap merasuki setiap aspek kehidupan masyarakat (The McDonaldization of Society,1993). Ritzer menyatakan ada empat komponen “McDonaldization” yaitu: Pertama, McEfficiency yang diperoleh dengan pemangkasan secara sistemik waktu dan usaha yang tidak diperlukan demi mengejar suatu tujuan.
Dengan ekonomi yang harus produktif bersaing tepat pada waktunya, maka masyarakat juga harus efisien. Bahkan berita dan headline cenderung melayani tujuan instruktif dan arahan ketimbang tujuan informasi. McEfficiencymembekukan sistem,melindunginya dari segala spontanitas, penyimpangan, pertanyaan dan eksperimen yang tidak perlu atau kejutan. Kedua, McCalculability merupakan suatu usaha untuk mengukur kualitas hanya dari segi kuantitas.
Kualitas menjadi nomor dua.Rasa makanan cepat saji itu tidak pernah sangat enak,namun juga tidak pernah tidak enak. Sektor teknologi informasi, bersama mesin pencari dan cyber-social clubs, telah banyak berkontribusi dalam pertumbuhan yang menekankan pada calculability. Google, Facebook, reality shows, juga universitas, rumah sakit, dan banyak hal lain mengedepankan kuantitas dengan slogan “a big is beautiful” yang nyaris disembah- sembah dengan berbagai label seperti seperti ‘most voted’,‘frequently visited’,‘most popular’,dan banyak lainnya.
Ketiga, McPredictability adalah faktor kunci dari proses McDonaldization. Dalam skala lebih luas, suatu masyarakat rasional (teroptimalkan secara rasional) merupakan orangorang dapat diprediksi. Apa yang membuat McDonald populer dalam waktu yang lama adalah ukuran, jumlah, dan prediktabilitas. Di dalam suasana yang serba-terprediksi, integritas akan hilang secara bertahap, sementara budaya keseragaman berkembang biak bahkan tanpa terlihat. Keempat, McControl.
Secara tradisional, manusia merupakan elemen yang paling tidak bisa diperkirakan. Manusia merupakan suatu variabel untuk dirasionalisasi yang juga merupakan sebuah sistem birokrasi. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi organisasi yang ter-McDonaldisasi (McOrganization) untuk membuatnya pasif dengan cara mengontrol. Teknologi menawarkan berbagai macam perangkat dan kemudahan untuk melakukan kontrol, baik bagi pengusaha (suplai, peluang) maupun pelanggan (kebutuhan, kemungkinan), juga mengontrol si pengontrol teknologi itu sendiri.
Untuk tujuan-tujuan tersebut peralatan-peralatan teknologi informasi sangatlah nyaman (murah, diam-diam, dan tak terlihat namun tersebar dan sangat akurat) karena mereka menghitung, mengarahkan, menyalurkan dan memfilter, serta menyimpan dan menganalisis pola perilaku manusia. Kontrol—dengan dibantu instrumen efisiensi, calculability, dan prediktabilitas— mengaburkan (seluruh atau setidaknya meminimalkan dampak serius dari) keotentikan, pemikiran yang otonom, dan penilaian yang independen.
Kedalaman, wawasan kritis, dan tindakan manusia yang tak dapat diprediksi terasionalisasi dan menjadi dapat diperhitungkan sebelumnya, dan karena itu ditoleransi. Maka, apa yang dibutuhkan bukanlah suatu kesepakatan, melainkan konformitas (keseragaman). Karena itu produk akhir McSociety sangatlah efisien, dapat diramalkan, terhitung, terstandardisasi, tertandai, instan, serempak, rutin, bersifat menimbulkan ketergantungan, imitatif, dan merupakan lingkungan terkontrol yang mengagung-agungkan penyembahan pada angkaangka.
Individu dalam masyarakat seperti itu mengeramatkan sistem dan merendahkan posisi mereka sendiri dalam suatu proses yang halus dan tak begitu kentara. Penggunaan teknologi informasi secara massal dan pengguna berat yang sering tidak terseleksi tak jauh beda dengan pemandangan pusat perbelanjaan yang diselimuti oleh demam konsumtif dan dicampur dengan individu di bawah umur, berpendidikan rendah yang mengalami cyberneurosis, delusional, psychosomatic disorders,cyber-autistic.
Inilah lingkungan yang melambangkan istilah The McFB way of lifeyang saya cetuskan. Inilah cyber-iron cage yang digambarkan seperti suatu tempat yang berkilau,namun memberikan arahan dan terinstrumentasi, egois dan autis, dingin dan brutal, serta tidak punya visi, inisiatif maupun aksi. Nilai-nilai yang sudah terpancang sepanjang sejarah manusia—seperti keberanian, solidaritas, visi dan inisiatif— dimonitor, dibatasi, distigmatisasi, dan dipojokkan, alihalih mendukung dan mempromosikannya.
Nilai-nilai itu dianggap sebagai ancaman bagi aturan resmi, tantangan bagi status quo dan pelaku penyimpangan (defiant) atas kewajiban-kewajiban dogmatis dari perilaku sosial yang diakui, dibolehkan, dirutinkan, dan ditetapkan. Facebooksendiri merupakan contoh yang sempurna bagaimana mengulik—lebih pada mendemonstrasikan, bukan menstimulasi dan menghidupkan empati—seluk beluk manusia.
Perangkat-perangkat pada Facebookmenawarkan hubungan antara dua individu yang efisien, rasional, dapat diprediksi, jelas, transparan, paling menarik dari lainnya, dan sangat mudah digunakan: yaitu ‘friend’ dan ‘no-friend’. Facebook menciptakan bahasa yang universal, sangat terstandardisasi yang bahkan mesin manapun dapat memahaminya. Facebook menciptakan suatu kode biner dalam setiap hubungan manusia.
Misalnya ‘1’ (friend) ‘0’ (no-friend), atau ‘1’ (brother/sister), ‘1/0’ (friend), ‘0’ (no-friend)—hanya dua digit untuk mendapatkan perhitungan algoritma yang tepat. Ingatlah bahwa angka adalah raja. Gott ist tot (Tuhan sudah mati), kata Nietzsche. Begitu pula manusia. Diduduki ataupun dikepung McDonalds akan tetap mempertahankan menunya.
Sebaliknya, kita pada akhirnya harus menduduki diri kita sendiri, misalnya, dengan mengurangi polusi suara tweet/mob di dalam dan di sekitar kita. Ini waktu yang tepat untuk mengganti pergerakan jalanan yang tidak terkonsep dengan suatu refleksi hening di rumah.Sorry,hell is not other people.Hell are we!!!
●