Category: Uncategorized

  • Kebudayaan Bukan Kebinatangan

    Kebudayaan Bukan Kebinatangan
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 24 Desember 2011
    Kebudayaan, dengan segala tata nilai dan tata krama yang dinamis, merupakan ciri keberadaan kita sebagai manusia, yang terbedakan dengan binatang. Meskipun sama-sama mengalami kelahiran, perkawinan, dan kematian, manusia mampu menciptakan ritual atas peristiwa itu. Menjadikannya sebagai peristiwa budaya, dan dengan demikian mampu belajar dari pengalaman yang mendahului, dan karenanya menuju ke stilisasi yang disebut peradaban. Binatang tak memiliki kemampuan budaya untuk kreatif, sehingga tak mengenal pernikahan, dan bahkan cara kawinnya selalu dengan model yang sama, doggy style. Gaya yang bisa dilakukan manusia di samping gaya-gaya yang lain.
    Jalan Budaya
    Saya mencoba merumuskan karakteristik yang berlangsung dalam peristiwa budaya dengan tiga unsur utama. Pertama, kebudayaan mendahulukan dialog dibanding kekerasan. Dalam bentuk kesenian wayang orang, ketoprak, atau segala jenis seni tradisi–selalu terjadi dialog, yang bahkan menjelang peperangan pun masih terjadi dialog dalam bentuk tembang, dalam tantang-menantang. Kekerasan adalah jalan akhir ketika semua bentuk dialog menemukan jalan buntu.
    Kedua, peristiwa budaya mengedepankan karya selain wacana. Itulah sebabnya, lahir puisi, tari, irama, yang selalu diciptakan, di samping wacana yang mempersoalkan atau mempertanyakan. Lakon dalam wayang selalu berkembang, produksi film terus berkelanjutan, apa pun situasi dan kondisinya. Unsur ketiga, kebudayaan tidak memonopoli satu-satunya kebenaran, dan karenanya perlu bersama dengan disiplin lain. 
    Dalam dunia kepenyairan, tak ada penyair nomor satu dan nomor dua. Tidak juga aliran atau bentuk tertentu mengalahkan, atau mengenyahkan, jenis lain. Jenis musik klasik tidak dengan sendirinya yang paling benar dan meniadakan dangdut, pop, keroncong, atau campur sari. Dalam seni lukis, tak berarti nanti aliran kubisme melenyapkan naturalisme, dan sejenisnya.
    Jalan budaya, pendekatan melalui unsur-unsur dinamis dalam peristiwa kebudayaan, inilah yang agaknya ditinggalkan atau ditanggalkan sejak era Reformasi bergulir. Nyaris kita mendengar, atau bahkan mengalami, tiadanya pendekatan budaya dalam beberapa masalah besar, seperti kasus pembantaian Mesuji, korupsi para petinggi dari seluruh jabatan dan institusi, tawuran yang makin menjadi-jadi, sampai dengan pelanggaran tata krama berlalu-lintas, mendapatkan KTP yang dianggap wajar, pragmatis, dan lebih benar.
    Jalan Binatang
    Ini yang pada beberapa bagian kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi merana. Bahkan bisa lebih. Manusia bukan hanya serigala bagi manusia lainnya. Manusia adalah zombie bagi manusia lain. Yang besar akan memangsa yang kecil, yang kuat dan mempunyai akses lebih meniadakan yang lemah. Korupsi, juga pemerasan, berangkat dari tata nilai dan tata krama yang berasal dari dunia binatang. Menerkam habis kelompok lain untuk kelangsungan hidup dan atau memperkuat diri. Keberhasilan, karena itu, dihitung dari berapa banyak korban yang dihancurkan, berapa tengkorak yang bisa dipajang sebagai tanda keberhasilan.
    Memperlakukan makhluk lain sebagai binatang bisa dalam contoh yang sederhana. Adalah garis-garis yang membedakan jalur kendaraan. Karena ini tak juga dipahami masyarakat, tindakan berikutnya adalah membuat separator jalan. Karena ini juga tidak dipatuhi, dibuatkan gundukan separator, dan juga ditinggikan. Ini adalah cara perlakuan kepada binatang, yang karena tidak mampu mengenali tanda, dibuatlah pagar. Karena masih diterobos, pagar dialiri listrik.
    Pendekatan melalui pendidikan, melalui kesadaran, dinilai terlalu lama dan tidak mempunyai efek, sehingga perlakuan sebagaimana yang diterapkan pada binatang dianggap lebih manjur dan mengatasi masalah. Padahal justru di sinilah masalah itu muncul. Contoh yang lebih sederhana adalah pengaturan lalu lintas untuk mengatasi kemacetan dengan “3 in 1”, minimal tiga penumpang dalam kendaraan roda empat untuk jalan dan waktu tertentu. Yang muncul adalah para joki yang tak mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan. Karena dianggap mengganggu, menyalahi tata krama, para joki inilah yang menjadi sasaran razia, dengan segala akibat buruknya. Mereka yang kalah dibuat salah, mereka yang dimusuhi akan dihabisi, dengan segala pembenaran. Inilah nasib para TKW, para pengemis, dan atau anak-anak jalanan, yang terjadi setiap hari.
    Jalan Pencegahan
    Pendekatan budaya, tak bisa tidak, harus disertakan dalam berbagai kebijakan yang nyatanya tidak bijak karena memihak, untuk mengerem kebinatangan dalam diri kita. Jalan budaya memang bukan jalan singkat, karena yang disodorkan adalah menumbuhkan karakter, memperkuat pribadi. Jalan budaya lebih menekankan proses pencegahan dibanding tindakan seketika. Mencegah seseorang menjadi koruptor, menjadi pelanggar tata krama, menjadi pendurhaka kepada bangsa dan negara.
    Pencegahan yang diwujudkan dalam bahasa seni melalui tembang-tembang, melalui lambang, melalui mitos, melalui rasa malu, melalui empan-papan, yaitu mengenali situasi dan lokasi waktu maupun lokasi tempat. Dalam bentuk yang sederhana adalah mengenal kehormatan, dan rasa hormat. Baik kepada orang tua, sahabat, lingkungan, alam, maupun kepada bangsa negara, dalam keimanan. Semua nilai-nilai itu ada dalam kebudayaan, dan nenek moyang kita telah sangat jenius merumuskannya dalam aktualisasi. Di awal berdirinya republik ini, tampillah para pendiri negara yang terhormat, yang mengutamakan pilihan ini, dengan segala cita-cita yang gemanya masih memanggil kita untuk memenuhi.
    Jalan budaya, karena itu, menyiapkan sebuah pribadi, juga sebuah generasi yang dibekali perbedaan yang jelas dan tegas antara benar dan salah, antara nakal dan jahat, sebuah kesatuan besar untuk belajar dari pengalaman buruk. Sebuah generasi manusia yang tak menempuh jalan hidup binatang.
    Karena sesungguhnyalah manusia bisa mengajari binatang, dan bukan belajar dan meniru dari cara hidup binatang. Kalau itu terjadi, bencana kebudayaan yang lebih mengerikan dari bencana alam maupun bencana sosial terus melangsungkan pemusnahan peradaban.
  • Imigran Gelap

    Imigran Gelap
    James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011
    Tanggal 17 Desember lalu, kapal yang mengangkut 248 imigran gelap asal Irak, Iran, dan Afganistan, yang berniat memperbaiki nasib di Australia, pecah dan tenggelam di perairan Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Hingga Jumat (23/12), sebanyak 146 penumpang ditemukan, 97 di antaranya tewas dan 49 selamat.
    Kejadian itu membuat kita terenyak. Impian imigran gelap yang bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengenyam kehidupan yang lebih baik itu kandas bersama dengan tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi. Bukan hanya impian mereka yang kandas, sebagian besar di antara mereka bahkan kehilangan nyawa. Sebagian kecil yang selamat pun ada yang kehilangan sanak saudara.
    Itu bukanlah kejadian yang pertama, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya ada tujuh kecelakaan kapal di wilayah Indonesia yang melibatkan imigran gelap. Namun, kejadian pada tanggal 17 Desember 2011 itu adalah kecelakaan kapal yang meminta korban terbanyak.
    Australia sebagai negara seluas benua yang minim penduduk itu menjadi salah satu tujuan utama bagi imigran gelap. Mereka bermimpi dapat membangun kehidupan yang baik di Australia. Bahkan, untuk mewujudkan impiannya, mereka bersedia membayar uang 4.000 dollar AS hingga 6.500 dollar AS per orang.
    Impian untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik itu adalah impian semua orang. Akan tetapi, memang tidak semua orang memiliki keberanian untuk mencoba peruntungan di negara lain, yang tidak jarang letaknya sangat berjauhan dengan negaranya sendiri. Apalagi memasuki negara yang diimpikannya itu secara ilegal.
    Namun, ketika sedikit orang yang berani mencoba peruntungan itu sukses memperbaiki tingkat kehidupannya di negara impian, mereka menjadi gula yang menarik minat banyak semut untuk mengikuti jejak mereka.
    Daya penarik itulah yang memancing munculnya organisasi gelap yang bekerja secara internasional, yang mengatur perjalanan orang-orang secara ilegal ke negara impiannya (human trafficking).
    Ketika Australia menjadi salah satu negara tujuan utama, Indonesia sebagai negara yang letaknya paling dekat dengan Australia ikut dibuat repot mengingat tidak sedikit imigran gelap yang menggunakan Indonesia sebagai negara antara sebelum melompat ke Australia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka (imigran gelap) masuk ke Indonesia dengan surat-surat kelengkapan resmi dan membuangnya sebelum berangkat ke Australia. Atau ada pula yang datang ke Malaysia secara resmi kemudian berangkat ke Australia dengan kapal dan terdampar di sini. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan kapal dari Malaysia kemudian singgah di Indonesia untuk melengkapi perbekalannya sebelum berangkat ke Australia.
    Posisi Sulit
    Sebagai negara yang letaknya berdekatan dengan Australia, Indonesia memang berada dalam posisi sulit. Misalnya, mereka terdampar di sini, apa yang harus dilakukan? Memulangkan mereka kembali ke negara asalnya, pasti tidak mungkin karena mereka pasti akan menentangnya mati-matian. Selain sudah menghabiskan semua harta benda, mereka juga tidak berani mengira-ngira apa risiko yang mereka terima jika sampai dipulangkan paksa kembali ke negaranya. Menampungnya juga sulit. Selain harus menyediakan sarana dan prasarana, Indonesia juga harus memberi mereka makan selama berada di negeri ini. Mengusir mereka dari wilayah Indonesia dan membiarkan mereka berlayar dengan segala keterbatasannya ke Australia juga tidak mungkin dilakukan.
    Dulu semasa manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja datang ke sini, Indonesia menampung mereka di Pulau Galang sebelum ditempatkan ke negara ketiga. Namun, pada waktu itu persoalannya berbeda, karena itu adalah masalah internasional. Manusia perahu itu dilihat negara Barat sebagai pelarian dari negara yang dikuasai rezim komunis, dan negara Barat yang antikomunis berupaya menerima mereka dengan memberikan suaka. Bahkan, dunia internasional ikut membiayai kehidupan mereka selama berada di penampungan (Pulau Galang) hingga mereka ditempatkan, melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
    Kini, keadaannya berbeda. Imigran gelap itu dianggap sebagai pengungsi ekonomi sehingga perlakuannya juga berbeda.
    Namun, khusus untuk kasus yang terakhir ini, kita kecewa. Oleh karena aparat keamanan, dalam hal ini oknum Tentara Nasional Indonesia, yang seharusnya menangkap mereka dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku di negara ini, bukan mengambil keuntungan dari imigran gelap, yang memang akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan impiannya.
    Seperti yang telah dikemukakan, persoalan imigran gelap, juga mencakup soal human trafficking (penyelundupan manusia), sangat rumit. Itu sebabnya, penanganannya harus melibatkan banyak pihak, baik di negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun lembaga-lembaga internasional.
  • Budaya Konsumtif Kelas Menengah

    Budaya Konsumtif Kelas Menengah
    Janianton Damanik, GURU BESAR PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN,
    FISIPOL UGM
    Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011
    Rasa bangga muncul seketika di kala media massa menabur berita bahwa jumlah kelas menengah kini sekitar 43 persen dari total penduduk Indonesia.
    Berarti setidaknya 100 juta orang mampu meraih penghasilan 2-20 dollar AS per kapita per hari. Pengamat memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi terus membaik, setiap tahun akan bertambah 7 juta kelas menengah baru. Mereka adalah orang yang beruntung lolos dari penjara kemiskinan yang memasung ratusan juta warga miskin lainnya karena berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari.
    Setelah menelisik data aslinya, ternyata sebagian besar dari angka 50 persen itu hanya berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari. Semakin mendekati penghasilan 20 dollar AS, semakin menciut persentase kelas menengah ini. Bisa disimpulkan, mereka sangat rentan terhadap krisis ekonomi yang sewaktu-waktu bisa bergejolak. Jika itu terjadi, barisan inilah yang pertama tergiring ke kumpulan warga miskin.
    Namun, bukan itu yang membuat rasa bangga menjadi sirna, melainkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor. Entah karena merasa baru merdeka dari koloni kemelaratan menahun atau ingin pamer kepemilikan materi, libido konsumtif mereka begitu menggelora. Ketika barang konsumsi teranyar dilempar ke pasar, seketika itu pula mereka menyerbunya. Banyak pengamat mengatakan, kelas menengah Indonesia adalah penggila produk asing, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik, sampai otomotif.
    Mungkin potret kegilaan yang dipicu libido konsumtif itulah yang mencuat ketika ribuan orang antre berjam-jam dan berdesak-desakan untuk membeli telepon seluler merek Blackberry Bold 9790 di sebuah mal di Jakarta baru-baru ini. Ini bukan kasus pertama. Dua minggu sebelumnya peristiwa konyol serupa juga muncul di Manado (Kompas, 12/11/2011). Tragis, karena kegilaan untuk memiliki telepon bermerek itu berbuah celaka. Seribu biji telepon pintar mengecoh ribuan manusia yang kurang pintar sehingga puluhan jatuh pingsan dan terkapar.
    Tragedi Kultural
    Kalau boleh disebut, inilah serial lanjutan tragedi kultural bangsa kita. Galibnya, peningkatan status ekonomi berjalan seiring eskalasi kecerdasan sosial. Andai pun tidak bersemangat kapitalis tulen dalam arti hemat dan kerja keras, minimal orang tidak hedonis-konsumtif.
    Namun, yang terjadi sebaliknya. Mobilitas vertikal kelas menengah ini merangkak tanpa pijakan nilai dan etos hidup yang mencerahkan. Harga diri sebagai kelas ekonomi baru hanya disangga oleh pilar nilai yang keropos: emo ergo sum, saya belanja, maka saya ada!
    Hidup menjadi arena pacuan gengsi yang hampa isi. Medianya adalah belanja dan kepemilikan materi. Nafsu belanja terus menyeruak di tengah defisit kearifan kolektif. Hidup konsumtif dan boros begitu seksi dan menggoda. Nilai kultural sekuat apa pun nyaris tak mampu menghalanginya. Belilah, mumpung barang belum habis. Ada diskon sekian persen, plus diskon tambahan buat pemilik kartu anggota. Pakai selagi belum ketinggalan mode. Tertibkan alis mata, haluskan kulit tubuh, dan wangikan raga di ruang spa. Jangan pikir besok lusa karena semua ada waktunya. Begitu bujuk rayu yang menghanyutkan kelas menengah ke ajang perburuan materi.
    Lantas, budaya konsumtif pun menggiring mereka memproduksi keinginan-keinginan baru yang nyaris tak bertepi. Batas-batas kebutuhan lenyap akibat ditelikung libido liar untuk memiliki segala yang berbentuk materi.
    Adalah usaha sia-sia menautkan hasrat memiliki materi dengan penggunaan akal sehat. Tak tabu berutang, yang penting bergengsi, gaya, dan gaul. Di tingkat ini, kepemilikan tak lagi berfungsi produktif. Sebaliknya ia terdegradasi jadi simbol gengsi sosial yang acap kontraproduktif.
    Maka, bisa dipahami mengapa industri otomotif dan elektronik mengguyur kelas menengah yang baru bangkit ini dengan produk unggulannya secara masif. Tak lain adalah karena wabah budaya konsumtif tadi.
    Majalah The Economist belum lama ini menempatkan Indonesia di peringkat teratas sebagai pengguna sepeda motor sekawasan Asia Tenggara. Tahun 2010, tak kurang 8 juta unit disapu bersih oleh pasar konsumen lokal dan hanya tersaingi oleh konsumen di China dan India. Masih di tahun yang sama, lebih dari 760.000 unit mobil berbagai kelas terjual laris manis di pasar otomotif. Perusahaan RIM, produsen Blackberry, mengklaim kelas menengah Indonesia salah satu pasar terbesarnya. Ini pun belum apa-apa dibandingkan dengan jumlah pelanggan (kartu telepon) aktif yang mencapai 240 juta.
    Mengapa budaya konsumtif mereka menggelora? Jawabnya ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal. Terbentuknya kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan kelompok masyarakat kritis.
    Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas menengah yang secara psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya, antara lain, mudah terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka dipuji. Bukan kebetulan, pemeo the consumer is king cocok benar dengan karakter tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi raja. Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak kritis hanya menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.
    Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan. Bukan karena ia terkait dengan persoalan etika dan rapuhnya karakter anak bangsa. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor yang niscaya akan mematikan pasar produk lokal. Taruhannya adalah daya tahan perekonomian nasional. Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera, bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan.
    Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya harus dicari jurus jitu untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika tidak, kita harus rela menerima kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati diri.
  • Olga Ngesot

    Olga Ngesot
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 24 Desember 2011
    Olga Syahputra, 38,pembawa acara juga pelawak, kena teguran telak dari Komisi Penyiaran Indonesia( KPI) karena ketika menampilkan diri sebagai Suster Ngesot mengeluarkan alasan: gara-gara diperkosa sopir angkot.

    Dia dianggap melecehkan korban perkosaan. Ini juga bukan pertama kali teguran yang diterima. Sebelumnya grup band Five Minutes juga protes karena namanya dilecehkan, atau Yuni Shara dan Luna Maya mengeluhkan sikapnya. Teguran KPI adalah peringatan dini, yang agaknya harus sering dilakukan.

    Karena pertelevisian kita makin tak terkontrol, terutama untuk siaran live. Bukan hanya cerocosan spontan yang kadang menyebutkan alat kelamin, melainkan yang terutama tampilan gaya banci. Bahkan kalau Olga banci tulen lahir batin, gaya itu kurang pas untuk anak-anak.

    Bukan Bahasa Narasi

    Posisi Olga sebagai presenter sebenarnya menempatkan sebagai narator, sebagai pembawa narasi. Memberitahukan, mengantarkan keberadaan acara, bintang tamu, atau narasumber, dan atau juga topik permasalahan episode tertentu. Namun dalam hal ini Olga memberi komentar dengan celetukan. Yang tidak apa-apa, memang begitulah gaya bicara gokil-gokilan, yang ngetren di televisi.

    Kadang juga noyor— memperolok, atau membuat lucu lawan bicara. Spontanitas inilah yang ketika bersama Luna Maya yang tengah menceritakan gempa di Chili, disambar dengan ucapan “Chili?  Sambal kali.” Atau komunitas Kaskus, disambar dengan guyonan “Kakus, WC kali..” Atau mempersoalkan kejandaan Yuni Shara. Materi tentang gempa, materi komunitas yang berkualitas, materi keberadaan seorang perempuan, tak menimbulkan kepekaan akan suatu yang lebih besar dari sekadar “agar ditertawakan”.

    Atau berkaca pada model lama di mana dengan merendahkan orang lain, dengan mengolok-olok, dia bisa mengangkat dirinya. Sesuatu yang keliru. Kekeliruan besar mana kala masyarakat— yang menonton atau mendengar kemudian— sedang prihatin akan tema aktual tersebut. Dalam hal terakhir adalah kasus perkosaan yang menimpa seorang ibu di angkot. Wajar kalau terjadi penolakan banyolan model begini.

    Jangankan kata Olga, Gubernur Foke pun kena demo ketika menyarankan agar para gadis tidak memakai rok mini. Kalaupun maksudnya setengah— atau sepenuh—memainkan humor, yang terasakan adalah humor kotor. Kegeraman pada pemerkosa menemukan sasaran yang memperolokannya. Olga bisa belajar banyak dari pembawa acara yang juga bagian dari pengisi acara yang keren dan tak kalah beken pada masanya. Kus Hendratmo, Kris Biantoro, Miing Bagito adalah pembawa acara,pengisi acara, juga ngebodor, yang sukses dan tidak melukai audience.

    Kalau soal kritis bahkan untuk acara yang sedang dibawakan, barang kali Kris Biantoro dan Miing adalah biang kritik, baik secara langsung atau menikung. Penguasaan materi yang dibawakan, serta sudah barang tentu persiapan, merupakan modal dan pengalaman. Yang diperoleh dari bacaan, dari buku, dari berefleksi. Olga dalam kepenuhan job barangkali tak mempunyai waktu untuk itu.

    Atau merasa tak perlu. Atau kalau dari teman seangkatan, Olga bisa belajar dari Indi Barends, Indra Bekti, atau yang juga bernama Olga, Olga Lydia. Ketiga nama sepantaran ini juga keren cool, menghibur, ramai bersapa, noyor, kritis, tapi tahu dan mampu membaca situasi.

    Bukan Bahasa Verbal

    Protes KPI kali ini mencerminkan kegelisahan masyarakat atas tampilan televisi yang selama ini menganggap sepi. Keberatan atas ucapan spontan sebenarnya merupakan bagian dari “kekerasan” yang merajalela. Pada tata krama FCC di Amerika Serikat—seposisi dengan KPI di sini—kekerasan yang harus dihindarkan oleh tayangan televisi adalah kekerasan verbal dan nonverbal.

    Yang termasuk nonverbal adalah gaya yang disampaikan Olga secara kebanci-bancian. Karena efeknya dianggap kurang baik bagi anak-anak, terutama untuk anak-anak di bawah usia sembilan tahun. Dalam penelitian di Prancis, anak-anak di usia itu sangat rawan akan pengaruh—kecuali untuk anak yang jenius. Karena mereka belum bisa dengan jelas membedakan antara fiksi dan nonfiksi.

    Itu pula sebabnya tokoh kartun digambarkan berjari empat—agar ada informasi pada anak-anak bahwa itu bukan tokoh nyata. Hal yang sama dengan tampilan banci— banci kaleng atau banci “Taman Lawang”, yang bagi anak-anak bisa diartikan sebagai mode, sebagai gaya, sebagai cara yang wajar. Saya kira KPI pernah mengeluarkan “pedoman” untuk tidak menampilkan peranan banci yang tak perlu. Komedian Srimulat seperti Tessy pun perlahan surut dan menghilang.

    Saya juga tak berkeberatan kalau Olga seorang gay—apa hak saya berkeberatan?—namun jangan itu yang ditampilkan. Kecuali kalau memang memerankan karakter itu dalam sebuah film atau sinetron. Bergaya gay tidak menarik, juga tidak mendidik. Protes KPI sekaligus membuka catatan lama bahwa tampilan kekerasan nonverbal masih menjadi menu utama yang disadari atau tidak masih terjadi.

    Misalnya menampilkan adegan satu frame, orang tua bertengkar di depan anaknya, adegan murid menghina dan memarahi guru di dalam kelas, atau juga anak sekolah entah dari mana dengan seragam mewah yang bermobil saling merendahkan untuk alasan tak jelas, sampai dengan tayangan yang menamai diri dari jenis reality show. Semua kebohongan, semua rekayasa, semua setting-an, seharusnya juga menjadi perhatian. Mana bagian yang memang diambil apa adanya— yang hampir tidak mungkin, dan mana yang diskenariokan, harus diberi penjelasan sepanjang pengadegan berlangsung.

    Bukan pengaburan dan bersembunyi di balik sekadar teks: ”diambil dengan kamera tersembunyi.” Sampai dengan mendudukkan persoalan yang sebenarnya bahwa ada jenis yang lebih mendidik yang dinamai reality tv. Sehingga bukan hanya jenis sampah yang kita tiru—kalau mau meniru. Artinya peringatan kasus Olga Ngesot adalah peringatan dini, untuk terus menerus diulang, diperbarui, diteriakkan tanpa henti, sebab kita bukan sekadar membicarakan salah ucap, bukan sekadar ralat meralat, melainkan sedang berbicara mengenai pendidikan dalam arti luas untuk sebuah generasi.

    Sudah saatnya kita kembali menggali tata nilai dan tata krama yang sudah dirumuskan dengan jenius nenek moyang kita dalam soal kepribadian nasional, soalnya membangun karakter. Sudah waktunya. Dan time is up, bro!
  • Platform Durban dan Hutan Kita

    Platform Durban dan Hutan Kita
    Bernadinus Steni, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
    Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011
    Sejak disepakatinya Konvensi Perubahan Iklim pada 1992, perdebatan utama yang tidak kunjung tuntas adalah pemilahan antara negara maju dan negara berkembang. Ini berdampak pada pembagian beban pengurangan emisi bagi negara maju sekaligus membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.
    Konferensi Para Pihak (COP) yang ke-17, yang baru saja berakhir di Durban, juga diwarnai perdebatan serupa: sangat alot dan hampir terkatung-katung tanpa keputusan. China, India, Kanada, dan Amerika Serikat berusaha keras agar tidak ada pembicaraan untuk membentuk protokol baru yang mengikat sebagaimana diusulkan oleh Uni Eropa dan negara-negara kecil kepulauan.
    Meski sama dalam target, keempat negara itu memiliki latar kepentingan yang sama sekali berbeda. India dan China merasa belum saatnya mendapat beban pengurangan emisi seperti negara-negara maju. India bahkan masih ingin melihat kemungkinan hasil temuan baru IPCC pada 2014, apakah memang ada pelepasan emisi yang membahayakan manusia atau tidak.
    Argumen itu tentu tidak beralasan karena perubahan iklim sudah terjadi. Menunggu hingga 2014 untuk bersikap adalah pikiran konyol karena makin memperburuk dampak pemanasan Bumi dan perubahan iklim.
    Sebaliknya, AS dan Kanada tidak mau ada komitmen pengurangan emisi global. Mereka menghendaki semua pembicaraan dikembalikan ke komitmen pengurangan emisi domestik setiap negara, dan menempatkan perundingan PBB sebagai upaya mencari jalan keluar yang murah dan mudah dalam pengurangan emisi domestik. Menurut mereka, semua negara bertanggung jawab mengurangi emisi, tanpa kecuali.
    Argumen ini sama anehnya dengan India. Sudah menjadi prinsip konvensi bahwa negara pihak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, tetapi dengan beban yang berbeda (Pasal 3 Ayat 1 Konvensi Perubahan Iklim). Akan sangat tidak adil jika negara-negara kepulauan, yang sudah terempas gelombang pasang dan terancam menjadi negara hilang, bebannya sama dengan AS ataupun Kanada.
    AS masih menempati urutan kedua pelepasan emisi setelah China dengan jumlah 5.425 juta ton per tahun. Posisi ini terus bertahan tiga tahun terakhir. Jumlah tersebut bahkan jauh melampaui gabungan emisi dari 129 negara berkembang yang menempati urutan 89-217.
    Platform Durban
    Putaran perundingan para pihak ke-17 di Durban akhirnya menghasilkan kesepakatan Platform Durban. Isinya kompromistis, masih menggantung, dan sarat keengganan. Meski diterima para pihak secara politis, hal ini belum menjamin pencegahan terhadap perubahan iklim.
    Untuk Indonesia, setidaknya ada dua hal penting. Pertama, disepakatinya usulan membuat kesepakatan baru yang mengikat pada 2015 dan selambat-lambatnya dilaksanakan pada 2020. Kesepakatan baru ini termasuk Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Perumusan detail kesepakatan ke depan jelas akan menyita energi politik sejumlah negara. Dia menjadi ajang pertaruhan kepentingan nasional.
    Kedua, prinsip beban tanggung jawab dalam kesepakatan baru akan mengacu pada tingkat pelepasan emisi dan meninggalkan pola lama yang memisahkan negara maju-negara berkembang. Artinya, negara berkembang pun wajib mengurangi emisi dengan beban yang sama dengan negara maju. Hal ini tentu akan terus menjadi perdebatan dalam perundingan ke depan.
    Hutan Indonesia
    Keputusan Durban juga berkonsekuensi pada agenda nasional. Pertama, hingga 2015 perangkat hukum nasional hingga program kerja pemerintah harus disiapkan agar sejalan dengan keputusan Durban. Persiapan itu perlu karena beban pengurangan emisi juga ada di pundak kita negara berkembang.
    Kedua, jika dari skala pelepasan emisi Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang harus mengurangi emisi, seperti China dan India, kewajiban tersebut bisa menjadi pintu masuk upaya pemulihan hutan Indonesia. Kecenderungan ke arah sana sangat mungkin karena pelepasan emisi Indonesia sangat tinggi dalam dua dekade terakhir, terutama dari laju kerusakan hutan dan pembukaan lahan gambut (Houghton, 2003).
    Ketiga, perubahan pada paradigma dan cara kerja pembangunan saat ini mutlak diperlukan karena eksploitasi hutan dan gambut pertama-tama berawal dari pikiran dan gaya hidup barat. Pergeseran sikap dan mental tradisional ke modern telah mengubah keseluruhan pola kerja terhadap alam. Prinsip hidup saat ini telah terjajah kapitalisme sehingga orang teraniaya konsumtivisme hingga mata batin.
    Ketiga hal di atas hampir pasti turut memengaruhi posisi Indonesia sejak awal perundingan hutan dan perubahan iklim di Bali, tahun 2007. Indonesia, antara lain, mendorong agar negara maju dan pasar menyediakan dana memadai untuk memulihkan kerusakan hutan.
    Posisi itu banyak dikritik sebagai posisi ”Ali Baba”, tak mau rugi dan tak mau lelah. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir hampir semua pelaku internasional yang mendorong REDD+ dalam perundingan global memboyong proyek ke Indonesia.
    Lebih dari 40 proyek contoh berkembang biak di lapangan saat ini. Posisi itu sangat kontras dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Brasil yang solid dengan kepentingan nasional, termasuk membatasi dan bahkan mendorong hapusnya pasar dari skema pendanaan.
    Sudah selayaknya urusan hutan dalam negeri tidak lagi bergantung pada posisi ”Ali Baba”, tetapi menjadi kewajiban nasional. Konsekuensinya, ke depan anggaran negara harus ada untuk mengurangi emisi domestik.
    Jika pemerintah berkukuh menerima semua sumber pendanaan, terutama pasar, upaya pengurangan emisi domestik akan berebut dengan offset—kompensasi atas emisi gas rumah kaca—negara lain. Padahal, keputusan Durban, bahkan sejak Bali, sangat pro-offset. Maka, negara maju melirik hutan Indonesia sebagai potensi offset.
    Melalui upaya di Indonesia, para pemburu sertifikat offset meringankan pekerjaan mereka untuk memenuhi kewajiban internasional pengurangan emisi melalui teknologi hijau atas industri mereka yang boros bahan bakar fosil. Belum lagi jika menengok investasi pasar swasta di hutan yang sama.
    Kapling klaim akan muncul dan potensial menjadi konflik baru. Banyak yang khawatir pada ujung perundingan ini, bukan hanya soal ketidakadilan dalam skema offset dan pasar, melainkan juga potensi terjadinya perebutan ruang antara pemain karbon dan komunitas adat.
    Tentu tidak ada yang ingin rakyat Indonesia jadi pengemis di kampung sendiri. Kita menunggu langkah pemerintah untuk mengurangi kekhawatiran itu. Kita juga menunggu pemerintah mampu memainkan posisi dan kepentingan nasional dalam panggung perundingan ini.
  • Spiritual dan Keadilan Sosial

    Spiritual dan Keadilan Sosial
    Andreas A Yewangoe, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
    Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011
    Dunia dewasa ini menderita dua jenis kelaparan: spiritualitas dan keadilan sosial. Kelaparan spiritualitas mungkin mengundang pertanyaan karena gairah keberagamaan ada di mana-mana. Sebaliknya kelaparan keadilan sosial lebih dipahami karena penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia masih menjadi menu sehari-hari kita.
    Soal keberagamaan memang justru menjadi pangkal persoalan. Ketika gairah dan semarak beragama terasa di mana- mana, ternyata ia minus spiritualitas. Gairah beragama kita hanyalah menyangkut kulit-kulit dan bentuk. Kita lebih mementingkan forma ketimbang isi.
    Keberagamaan kita masih sangat mengarah ke dalam diri sendiri. Alhasil, kendati agama diamalkan secara sangat nyata, berbagai tindakan yang bertentangan dengan hakikat agama justru marak.
    Di negeri kita, perbuatan korupsi masih mendominasi kehidupan sehari-hari kendati begitu banyak orang menjalankan ritual agama. Pengunjung tempat-tempat ibadah berjubel, tetapi begitu banyak pula perbuatan-perbuatan buruk dipraktikkan.
    Praktik ketidakadilan terlihat di mana- mana tanpa usaha sungguh-sungguh mengakhirinya. Penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi menu keseharian. Di negeri kita tak kurang-kurang orang bertobat, hanya saja pertobatan itu bersifat ritualistis.
    Makna pertobatan belum diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial. Itulah kehidupan beragama tanpa spiritualitas yang selalu mengarah ke dalam, bagi kepuasan diri sendiri. Keberagamaan seperti ini tidak berdampak apa pun bagi kehidupan bersama.
    Arahkan ke Luar
    Spiritualitas sejati adalah justru ketika kita mengarahkan kehidupan kita ke luar. Ketika kita mendambakan kebaikan bagi semua orang. Ketika kita memedulikan kesejahteraan orang lain. Ketika kita merindukan keadilan bagi siapa pun. Ketika kita menganggap kepentingan orang lain jauh lebih penting daripada kita.
    Maka seseorang yang sungguh-sungguh beragama dengan spiritualitas sejati pasti tidak akan segan-segan memperjuangkan keadilan bagi siapa saja. Ada kaitan erat antara spiritualitas dan keadilan sosial sebagaimana ditegaskan para nabi ribuan tahun lalu. Nabi Amos mengalimatkannya dengan sangat keras: ”Aku (yaitu Tuhan) membenci, Aku menghinakan perayaanmu, dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban bakaran dan korban sajianmu, Aku tidak suka. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”
    Tidak kurang kerasnya, seorang nabi lain, Yesaya, mengingatkan, ”Untuk apa itu korbanmu yang banyak? Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan. Jangan lagi membawa persembahan yang tidak sungguh sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkan sebab tanganmu penuh dengan darah. Belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda.”
    Allah bukanlah Tuhan yang gampang disogok dengan persembahan kita. Ia bukan Allah yang mudah disuap dengan pemberian kita. Ia bukan Allah yang bisa dibujuk dengan doa-doa kita. Sangat jelas, keberagamaan tanpa penegakan keadilan adalah kosong. Spiritualitas tanpa memperjuangkan hak-hak mereka yang paling menderita dan disisihkan di dalam masyarakat adalah hampa.
    Ketika Natal datang lagi menyapa kita, kita pun diajak merenungkan secara sangat mendalam makna kehausan spiritualitas dan keadilan ini bagi kemanusiaan. Benarkah kita merasakan kehausan itu, atau kita menutup-nutupinya dengan kepuasan beragama semu.
    Kembalikan Makna Natal
    Jangan-jangan perayaan-perayaan Natal menjadi hampa ketika sekian banyak uang dibelanjakan bagi pesta-pesta mewah. Jangan-jangan kita begitu sibuk dengan berbagai upacara rumit dan melewatkan justru jiwa Natal itu sendiri, yaitu kesederhanaan.
    Jangan-jangan kita sekadar mengumandangkan lagu-lagu Natal yang merdu tanpa penghayatan terhadap isi Natal itu sendiri, yaitu ketika Allah justru mengosongkan diri-Nya di dalam peristiwa inkarnasi. Ya, jangan-jangan.…
    Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam Pesan Natal Bersama tahun ini mengambil tema ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a).”
    Di dalam kehausan akan spiritualitas dan keadilan sesungguhnya kita sedang berjalan di dalam kegelapan. Kegelapan mengindikasikan kehilangan arah, tetapi justru di dalam keadaan seperti ini pengharapan diberikan kepada kita.
    Ada terang yang besar. Terang itu berasal dari Allah sendiri. Terang yang merangkul kegelapan. Nabi Yesaya menggambarkan Sang Terang itu sebagai seorang putra, lambang pemerintahan ada dalam tangan-Nya dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai.
    Umat beriman tidak hanya diminta meneruskan terang dari Allah itu melalui berbagai karya pelayanan mereka kepada masyarakat, melainkan juga melalui hidup dan pergaulan mereka. Ketika umat beriman mengusahakan perwujudan keadilan di dalam masyarakat, sesungguhnya mereka sedang meneruskan Terang itu.
    Kenyataannya, ketika kita tidak peduli dengan nasib sesama yang diperlakukan tidak adil, kita tidak hanya gagal meneruskan Terang itu, tetapi juga menghalangi-halangi Terang yang sedang datang. Selamat Natal!
  • Yang Gelap dan Terang di Hari Natal

    Yang Gelap dan Terang di Hari Natal
    Martin Lukito Sinaga, PENDETA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN;
    KINI BEKERJA DI LEMBAGA OIKOUMENE DI GENEVA, SWISS
    Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011
    Tentulah kita merasa waswas membaca pesan Natal 2011 dari dua lembaga utama Kristiani di Indonesia, PGI dan KWI, sebab judulnya berbunyi ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a)”.
    Pasti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tak sedang mendaku sebagai yang terang dan di luar mereka yang gelap. Juga bukan bahasa eksklusif beragama yang kadang-kadang kita dengar dari kaum fundamentalisnya. Tentu bukan pula tentang bertakhtanya kuasa gelap atau yang occult, yang sering menjadi obsesi para penengking roh-roh jahat itu.
    Kalau acuan Kitab Yesaya dari pesan itu kita selisik, maka kegelapan kala itu berarti suasana mencekam dan linglung akibat ancaman Kerajaan Asyur seputar tahun 700 SM. Lalu penulis kitab itu menubuatkan mesias yang akan datang memberi terang dan jalan baru bagi umat-Nya. Kekristenan yang lahir 800 tahun setelah catatan kitab ini mengulang harapan mesianik tadi dan menunjuk kepada bayi Yesus sebagai terang tersebut.
    Lantas mengapa PGI dan KWI kini perlu mengulang seruan gelap dan terang itu? Apakah karena keadaan sosial politik kita di Indonesia ini linglung dan gelap berkepanjangan yang membuat seorang pemuda seperti Sondang Hutagalung perlu mencucuh api ke tubuhnya? Apakah karena keadaan serba suram begitu menetap di dalam ekonomi rumah tangga sehari-hari umat sehingga terang sudah sedemikian mendesak agar datang?
    Yang Gelap dalam Hidup
    Namun, tentulah terang di satu hari Natal takkan bisa menyelesaikan soal yang berat dari negeri ini. Maka, percakapan tentang terang itu bukan tentang mesianisme, bukan bahwa akan ada yang datang serta-merta membebaskan kita dari keadaan linglung di Nusantara ini.
    Pesan Natal tentang yang gelap dan terang tadi ialah tentang realisme hidup dan secercah harapan untuk mengerjakan yang baik di tengah-tengahnya. Ini seperti jawaban Presiden Obama terhadap pertanyaan wartawan tentang makna agama dan pemikiran Reinhold Niebuhr baginya, yang tersua pada The New York Times terbitan 27 April 2007: ”yang jahat atau gelap sungguh ada dalam kehidupan dan kita harus dengan rendah hati kalau hendak menghadapinya. Namun, tak perlu jadi sinis walau benar bahwa pekerjaan memang sungguh berat. Di sini kita tak perlu berayun pada idealisme naif atau realisme pahit.”
    Maka, tentang realisme hidup beragamalah yang tampaknya hendak dipesankan kepada kita kini. Terhadap yang gelap—katakanlah tragedi penyakit, bencana tsunami, atau kedurjanaan kekuasaan ekonomi politik—dalam sejarah dan pengalaman harian manusia, agama tak boleh mendaku mampu menyelesaikannya.
    Pergulatan sungguh-sungguh atas yang gelap dan jahat dalam dunia dari seorang pemikir besar seperti Leibniz turut meneguhkan realisme tadi. Tuhan memberi manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”, demikian simpulnya di tengah absurditas dan nestapa hidup manusia.
    Seorang pemikir marxis kontemporer, Eagleton, malah meminjam bahasa agama, yaitu Evil-, untuk menjelaskan tentang kekejian yang tak terperikan dan kopong makna dari yang gelap itu. Ungkapan agama ini menurut Eagleton membantu kita menangkap entah kekelaman batin manusia, entah kedurjanaan politik yang kerap memainkan kuasanya hanya demi kekejaman belaka.
    Namun, ini juga berarti bahwa yang gelap ada di dalam dan di antara kemanusiaan kita. Maka, program pembangunan atau teriakan revolusi perlu senantiasa menjernihkan batas-batas pencapaiannya.
    Yang Terang di Hari Natal
    Realisme beragama dengan demikian membuat kita perlu mengenal batas-batas dari cerita dan ikhtiar termurni iman sehingga ”anak-anak terang”, memakai metafor Niebuhr, jangan jadi naif dan alpa akan kekuatan kepentingan diri yang bekerja dalam sistem sosial-ekonomi sehari-hari manusia.
    Peristiwa hidup yang tampak gelap ini tak bisa dipaksakan agar menjadi terang atau lebih baik dan adil. Kita yang mencoba bekerja demi sekadar perbaikan sosial masih akan terus menyaksikan beroperasinya ketidakadilan, tetapi juga di sini letak harapan tersebut: menyeruaknya sekadar kesungguhan dan kebaikan dalam hidup.
    Mengutip Niebuhr, sekali lagi, jelaslah bahwa ”tidak ada yang sungguh berharga yang kita bisa capai dalam hidup, maka kita perlu ditolong oleh adanya harapan. Yang tulus yang kita niatkan tak akan bisa kita tuntaskan sendirian, maka kita perlu ditolong oleh kasih dari orang lain. Dan yang tulus itu pun tak akan sungguh jelas di hadapan orang lain tadi, maka memang kita perlu ditolong oleh adanya pengampunan darinya”.
    Syukurlah, anak-anak terang tadi antara lain menjelma dalam multitude atau orang ramai dari berbagai kalangan, lintas agama dan kelas sosial, yang saling mendukung kedatangan musim semi di Arab itu.
    Seruannya akhirnya terdengar realistis: kefaya ’cukuplah sudah’. Seruan ini melintas batas, ia transenden sebab mengundang begitu banyak generasi memasukinya, bahkan kini mengglobal dalam gerakan occupy Wallstreet tersebut.
    Seruan dan gerakan ini, meminjam perkataan Antonio Negri dan Michael Hardt, bisa melintas batas karena cinta kasih tengah meliputi kerumunan manusia tadi. Bukan cinta kasih yang paternalistik dari atas, tetapi cinta yang tersebar melintas dan berdiam di antara manusia. Dan, kita pun bisa menambahkan di sini, bahwa terang Natal ialah tentang realisme cinta kasih seperti itu.

  • Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan

    Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan
    Jiri Pehe, PENASIHAT POLITIK VACLAV HAVEL DARI SEPTEMBER 1997 SAMPAI MEI 1999, SEKARANG DIREKTUR NEW YORK UNIVERSITY DI PRAHA
    Sumber : KORAN TEMPO, 23 Desember 2011
    Lama sebelum rezim komunis Cekoslovakia runtuh pada 1989, Vaclav Havel merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah Cek–ia sudah merupakan seorang dramawan yang terkemuka ketika menjadi pemimpin tidak resmi gerakan oposisi di negeri itu. Walaupun ia berharap kembali ke bidang sastra, revolusi menempatkannya sebagai Presiden Cekoslovakia. Dan setelah negeri itu terpecah dua pada 1993, ia dipilih sebagai Presiden Republik Cek yang baru dibentuk ketika itu, jabatan yang dipegangnya sampai 2003.
    Karier politik yang berakar pada koinsidensi sejarah ini membuat Havel seorang politikus yang luar biasa. Tidak hanya ia memberikan kepada dunia politik pasca-1989 ketidakpercayaan tertentu kepada partai-partai politik, sebagai seorang pembangkang ia juga menganggap mutlak ditekankannya dimensi moral dalam politik–sikap yang membawanya bertabrakan dengan kaum pragmatis dan teknologis kekuasaan, yang tokoh utama mereka, Vaclav Klaus, akhirnya menggantikan Havel sebagai Presiden.
    Kehidupan publik Havel dapat dibagi dalam tiga periode yang berbeda: seniman (1956-1969), pembangkang (1969-1989), dan politikus (1989-2003)–kecuali bahwa ia selalu menggabungkan ketiga kepekaan ini dalam kegiatan publiknya. Sebagai seorang dramawan yang berbakat pada 1960-an, ia jelas sangat “politis”, berfokus pada absurditas rezim yang berkuasa saat itu. Ia juga salah seorang pengecam sensor dan pelanggaran hak asasi manusia paling vokal, seorang pembangkang bahkan selama berlangsungnya “Musim Semi (liberal) Praha” pada 1968.
    Havel masuk daftar hitam dan dianiaya secara terbuka setelah invasi Soviet di Cekoslovakia pada Agustus tahun itu; namun ia terus menulis naskah drama anti-totaliterianisme. Pada 1977, ia dan lebih dari 200 pembangkang lainnya mendirikan gerakan hak asasi manusia, Piagam 77, yang dengan cepat menempatkan dirinya sebagai kekuatan oposisi utama. Havel merupakan salah satu dari tiga juru bicara pertama gerakan tersebut.
    Tahun berikutnya, Havel menulis esai Power of the Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Memiliki Kekuatan). Esai ini melukiskan rezim “normalisasi” Cekoslovakia pasca-1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Pada 1979, ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas kegiatannya dalam Komite Rakyat yang Diperlakukan Tidak Adil, suatu bagian dari Piagam 77 yang memantau pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan di Cekoslovakia. Havel dibebaskan dekat pada akhir masa hukumannya setelah terjangkit radang paru-paru (sumber gangguan kesehatan yang serius selama sisa hidupnya). Letters for Olga (Surat-surat untuk Olga), serangkaian esai filosofis yang ditulisnya dari penjara dan dialamatkan kepada istrinya, dengan cepat menjadi karya klasik anti-totaliterianisme.
    Sebagai Presiden Cekoslovakia, Havel terus menggabungkan kepekaan politik, artistik, dan pembangkangan. Ia menulis sendiri pidato-pidatonya–banyak di antaranya sebagai karya filosofis dan sastra, yang tidak hanya mengecam teknologi politik modern yang merendahkan derajat manusia, tapi juga berulang kali meminta rakyat Cek untuk tidak menjadi korban konsumerisme dan politik partai yang kejam.
    Konsep yang diajukannya adalah konsep demokrasi berdasarkan masyarakat madani dan moralitas yang kokoh. Ini membedakannya dari Klaus, tokoh utama pasca transformasi komunis lainnya, yang menganjurkan transisi yang cepat, tanpa, bila mungkin, rintangan dan beban moral rule of law. Konflik di antara keduanya mencapai puncak benturannya pada 1997, ketika pemerintahan yang dipimpin Klaus jatuh setelah terjadi serangkaian skandal. Havel melukiskan sistem ekonomi pasca-komunis yang dianjurkan Klaus sebagai “kapitalisme mafioso”.
    Walaupun Klaus tidak pernah kembali sebagai perdana menteri, pendekatannya yang “pragmatis” unggul dalam bidang politik Cek, terutama setelah lengsernya Havel sebagai presiden pada 2003. Sebenarnya kekalahan terbesar yang diderita Havel mungkin adalah bahwa sebagian besar rakyat Cek sekarang memandang negeri mereka sebagai tempat di mana partai-partai politik berlaku sebagai agen kelompok-kelompok ekonomi yang kuat (banyak di antaranya tercipta dari proses penswastaan yang sering korup di bawah pengawasan Klaus).
    Pada tahun-tahun kepresidenannya, para penentang Havel mengejeknya sebagai seorang moralis yang naif. Banyak rakyat awam Cek, sebaliknya, mulai tidak menyukainya bukan hanya karena apa yang tampak di mata mereka sebagai seruan moral yang tidak henti-hentinya diucapkan Havel, tapi juga karena Havel merupakan cerminan balik dari ketidakberanian mereka melawan rezim komunis di masa lalu. Sementara Havel terus memperoleh respek dan kekaguman di luar negeri, karena perjuangan yang terus dilakukannya melawan pelanggaran hak asasi manusia di dunia, popularitasnya di dalam negeri justru terguncang.
    Tapi sekarang tidak lagi. Rakyat Cek, dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap korupsi dan kegagalan-kegagalan sistem politik yang ada sekarang, semakin menghargai pentingnya moralitas yang diserukan Havel. Sesungguhnya, setelah wafatnya, Havel bakal dihargai sebagai seseorang yang sudah meramalkan banyak persoalan yang dihadapi saat ini, dan bukan hanya di dalam negeri ketika ia menjabat presiden; ia berulang kali meminta perhatian terhadap kekuatan-kekuatan destruktif peradaban industri dan kapitalisme global yang akan menghancurkan dirinya sendiri.
    Banyak yang bakal bertanya apa yang membuat Havel istimewa. Jawabannya sederhana: decency(kepantasan). Havel seorang yang berprinsip dan menghargai kepantasan. Ia tidak melawan komunisme karena agenda pribadi yang tersembunyi, melainkan semata-mata karena komunis, dalam pandangannya, adalah suatu sistem yang amoral dan tidak menghargai kepantasan. Ketika, sebagai presiden, ia mendukung digempurnya Yugoslavia pada 1999 atau invasi yang bakal terjadi di Irak pada 2003, ia tidak berbicara mengenai tujuan-tujuan geopolitik atau strategis, tapi berbicara mengenai pentingnya menghentikan pelanggaran hak asasi manusia oleh diktator-diktator yang brutal.
    Apa yang dilakukannya selama karier politiknya membuat Havel seorang politikus yang jarang ditemukan lagi seperti dirinya di dunia saat ini. Mungkin karena itulah sebabnya, sementara dunia–dan Eropa terutama–menghadapi periode krisis yang serius, maka yang hilang adalah kejelasan dan keberanian berbahasa yang bisa membawa perubahan yang berarti.
    Karena itu, wafatnya Havel, seorang yang memiliki keyakinan yang kuat akan pentingnya integrasi Eropa, sangat simbolis: ia merupakan salah seorang dari jenis politikus yang sekarang jarang dijumpai lagi yang mampu memimpin dengan efektif di masa-masa yang luar bisa, karena komitmen mereka bertumpu pada kepantasan bersama dan kebaikan bersama, bukan pada mempertahankan kekuasaan. Jika dunia hendak berhasil mengatasi berbagai krisis yang dihadapinya saat itu, warisan yang ditinggalkan Havel harus terus dipertahankan.
  • Megalomania, Mesuji, dan Solidaritas

    Megalomania, Mesuji, dan Solidaritas
    Tom Saptaatmaja, ALUMNUS STFT WIDYA SASANA, 
    SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
    Sumber : KORAN TEMPO, 23 Desember 2011
    Sejak manusia pertama Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, manusia ternyata sangat sulit lepas dari beragam sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang semula menyeret manusia jatuh dalam dosa adalah sikap megalomania. Bayangkan, hanya karena diiming-imingi ular yang merupakan jelmaan setan, Adam dan Hawa berani melanggar perintah Tuhan. Tuhan sudah berpesan agar buah terlarang di Taman Firdaus tidak dimakan. Namun iming-iming setan bahwa, jika buah itu dimakan, manusia bisa menjadi seperti Tuhan telah menjerumuskan Adam dan Hawa dalam dosa dan harus terusir dari surga, serta memulai hidup yang keras di dunia.
    Sayangnya, dalam pengembaraan di dunia, nafsu megalomania justru kian menjadi-jadi. Lebih tragisnya, watak buruk megalomania malah disertai dengan kegemaran merendahkan yang kecil. Dan negeri kita, hingga akhir 2011, masih ditandai dengan fenomena ini. Simak, dari Aceh hingga Papua, aparat keamanan khususnya polisi, yang seharusnya melindungi dan melayani rakyat atau warga, justru berpihak kepada pengusaha dan penguasa. Ini tampak, misalnya, dari kasus pembantaian 32 petani Mesuji, yang hari-hari ini di-blow-up media.
    Warga Mesuji yang sudah menempati tanah secara turun-temurun dari nenek moyang mereka diminta merelakan tanahnya untuk pengusaha karet atau kelapa sawit yang sudah berbekal izin usaha dari pemerintah. Dalam perjalanan waktu, warga semakin hari semakin terpojok posisinya. Sudah 9.000 hektare tanah mereka dipakai untuk perkebunan. Ada yang melapor ke polisi, malah dipenjara atau dikriminalkan. Lalu mereka yang diteror, kini memilih tinggal di pengungsian. Solusinya bukan dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atau Panitia Kerja, tapi hentikan izin usaha sawit atau karet sesegera mungkin. Warga Mesuji butuh ditolong secepatnya. Mereka tidak butuh retorika, slogan, atau talk show.
    Banyak Mesuji
    Dan cerita tentang Mesuji itu bukan hanya ada di Lampung atau Sumatera Selatan. Ada banyak “Mesuji” lain yang mempertontonkan megalomania aparat, pengusaha, dan penguasa kita terhadap kaum lemah atau wong cilik. Sikap mengecilkan kaum lemah, lalu hanya memberi tempat kepada yang besar, juga terjadi dalam masyarakat kita. Apalagi, secara sosiologis, masyarakat kita belum sepenuhnya bisa menjunjung semangat egaliter karena masih adanya iklim neofeodal yang masih cukup kental. Dalam iklim neofeodal, suburlah korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Akibatnya, yang kecil dan lemah tak mendapat tempat, bahkan kian teraniaya. Simak saja kasus penyiksaan pembantu rumah tangga di Darmo Permai, Surabaya, yang para pelakunya baru divonis 10 tahun. Benar-benar tidak menyangka, para pelakunya terdidik dan dari kelas menengah. Jelas ini potret megalomania karena orang hanya menghargai yang besar, sedangkan yang kecil pantas dianiaya. Manusia lain bukan menjadi sesama, melainkan neraka, sebagaimana diungkapkan filsuf eksistensialis Prancis, Jean Paul Sartre.
    Karena anggapan itu, martabat sesama pun bisa seenaknya diinjak-injak. Misalnya lagi, di Porong, Sidoarjo, kita masih bisa melihat martabat banyak korban lumpur dipermainkan pengusaha (Lapindo) dan penguasa (pemerintah SBY). Bayangkan, banyak korban lumpur kehilangan harta paling berharga berupa tanah dan rumah. Ganti rugi yang dijanjikan hingga kini pun kerap dilanggar.
    Apa yang dipaparkan di atas menjadi bukti bahwa negeri kita selama ini masih berada dalam kegelapan, akibat penghargaan dan pemujaan pada megalomania, sambil mengorbankan yang lemah. Nah, dalam situasi demikian, tema pesan Natal PGI-KWI pada 2011 terasa relevan. Adapun tema pesan Natal tahun ini adalah “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar”(Yesaya 9:1a).
    Terang yang besar itu ada dalam sosok Yesus. Dalam perspektif iman Kristiani, Natal memang merupakan perayaan iman kelahiran Sang Matahari Sejati (Sol Invictus) yang menang melawan kuasa kegelapan (dosa). Kegelapan dosa dienyahkan lewat solidaritas Yesus dengan manusia. Manusia yang jatuh dalam dosa, sejak Adam dan Hawa memakan buah terlarang, pada akhirnya dipedulikan lagi oleh Tuhan dan beroleh penebusan dosa, setelah Juru Selamat Yesus Kristus lahir di dunia. Arogansi manusia akibat megalomania justru direspons dengan solidaritas tanpa batas oleh Sang Pencipta.
    Tidak mengherankan, sejak Yesus lahir dan hidup di dunia ini, Yesus tak pernah lelah menunjukkan terang dan kebaikan Allah, khususnya kepada mereka yang dianggap kecil dan hina oleh dunia ini. Pengemis, pelacur, janda, orang-orang sakit, semua beroleh kasih-Nya. Yesus mencoba merombak watak buruk manusia yang suka megalomania agar diubah dengan kerendahan hati, sehingga yang kecil dan dipinggirkan kembali diperlakukan dengan sepantasnya sebagai manusia. Bukan harus dihajar atau disiksa tubuhnya. Bukan pula untuk diinjak-injak atau dilecehkan martabatnya.
    Bahkan Yesus menetapkan kriteria siapa yang bakal bisa masuk surga kelak, yakni siapa pun yang peduli pada sesama yang paling hina. Karena, apa yang kita lakukan untuk yang paling kecil atau paling hina, itu kita lakukan untuk Tuhan sendiri. Karena, Tuhan bahkan menyamakan diri dengan yang paling kecil dan hina (Matius 25:40). Mendiang Bunda Teresa dari Kalkuta, peraih Nobel Perdamaian, juga tidak lelah menyeru dunia agar mau peduli kepada yang miskin, kecil, hina, dan dibuang, karena di dalam diri merekalah Tuhan sedang menyamar dan mengundang kita semua, khususnya yang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menunjukkan terang dan kebaikan Tuhan.
    Semoga Natal kali ini menjadi momentum bagi setiap murid Yesus, khususnya yang menjadi pejabat atau penguasa serta pengusaha, untuk mau berubah dari sikap memuja ke sikap hidup yang mau peduli, solider, dan mengasihi yang lemah serta kecil. Para murid Yesus yang kebetulan dianugerahi posisi tinggi, rezeki berlimpah, dan banyak berkat tidak boleh hidup dalam megalomania dan egoisme serta membiarkan kegelapan terus merajalela. Natal menjadi saat yang tepat untuk berbagi, karena Yesus, Sang Terang Besar itu, juga sudah rela solider dan berbagi, bahkan termasuk hidupnya sendiri. Dan dengan cara ini, dunia bisa diselamatkan dari dosa dan kegelapan.
    Kita mungkin tidak bisa menjadi terang besar seperti Yesus. Tapi, jika kita rela menjadi lilin kecil yang mampu menerangi kegelapan yang ada di sekitar kita, ini sudah cukup. Lilin mengajarkan nilai spiritualitas yang tidak remeh bahwa, dengan berani membakar ego dan sifat buruk kita, terang akan terpancar ke sekeliling. Dan jika masing-masing umat Kristiani rela menjadi lilin, berani menyingkirkan egonya, dan tidak larut dalam arus megalomania, pasti Indonesia bisa menjadi lebih baik ke depan. Selamat Natal 2011.
  • Quo Vadis Indonesia? (2)

    Quo Vadis Indonesia? (2)
    Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
    Sumber : REPUBLIKA, 23 Desember 2011
    Bukan kebetulan dunia ekonomi makro hanya memperhatikan pengembangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran antarnegara (Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, ASEAN, dan sebagainya). Masalah lapangan kerja terbatas pada kepentingan nasional dan sudah tercermin tidak langsung pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

    Bukankah sebagian besar negara berkembang sebelumnya adalah wilayah yang dijajah dan dikuasai untuk mengeruk sumber daya alam sekaligus berfungsi sebagai ‘pasar domestik’ untuk mengonsumsi produk nilai tambah masyarakat penjajah? Bagaimana sekarang? Masyarakat yang dahulu dijajah sudah menjadi merdeka dan bebas. Mereka lebih sadar akan masalah ketenteraman yang erat kaitannya dengan pemerataan pendapatan dan pemerataan berkembang dan bekerja yang harus diselesaikan.

    Apalagi, dengan meningkatnya kemampuan memanufaktur produk konsumsi-yang tadinya diproduksi di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Utara-oleh masyarakat Cina dan India, produk-produk mereka mulai dan bahkan telah membanjiri pasar global! Produk konsumsi yang dahulu dikuasai oleh industri manufaktur penjajah tak dapat bersaing dengan produksi negara berkembang, baik di pasar jajahannya dahulu dan Cina maupun di pasar domestik Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

    Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran di beberapa masyarakat Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Ini tercermin pada perbandingan utang terhadap kemampuan prestasi ekonomi (GDP) negara tersebut yang sudah mendekati 100 persen. Bahkan, Amerika Serikat (AS) telah melampaui 100 persen dan Jepang 200 persen GDP.

    Jikalau utang Jepang diperoleh dari masyarakatnya sendiri dengan suku bunga yang rendah, maka utang di AS diperoleh dari  pasar global dengan suku bunga yang relatif tinggi. Mengapa demikian? Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Apa akibatnya? Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab!

    Mengapa demikian? Setelah Perang Dunia II pasar domestik AS berkembang menjadi pasar yang terbesar di dunia karena ekonomi Eropa, Jepang, dan Asia hampir hancur dan tidak berfungsi sesuai harapan. AS memberi bantuan pembangunan ekonomi dan mata uangnya menjadi andalan bagi hampir semua mata uang mancanegara.

    Cadangan emas tidak lagi menjadi satu-satunya andalan mata uang. Permintaan atas dolar AS meningkat dan melampaui kebutuhan pasar domestik AS. Anggaran untuk membiayai kehadiran AS sebagai adikuasa di dunia meningkat dan ekonomi Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan negara berkembang lainnya mulai menyaingi produksi AS hampir dalam segala bidang dan sebagainya.

    Skenario yang telah diutarakan sebelumnya terjadi dan utang AS melampaui 100 persen kemampuan GDP-nya, bahkan Jepang lebih besar lagi. Namun, demikian nilai dolar AS-mata uang yang menjadi andalan mata uang mancanegara-tetap dicegah menurun. Karena jikalau nilainya menurun, maka nilai cadangan mancanegara-seperti Cina, Jepang, dan beberapa Negara di Eropa-akan menurun pula dan merugikan semua.

    Dua Ekstrem

    Lain halnya dengan Jepang. Pasar domestik Jepang cukup besar, namun mata uang yen Jepang tidak dimanfaatkan sebagai andalan perdagangan dan cadangan mancanegara. Dengan insentif perpajakan dan insentif lain yang diberikan oleh Pemerintah Jepang dan bank yang mencetak mata uang Jepang, suku bunga yen dapat ditekan serendah mungkin sehingga kurang menarik bagi investor global.

    Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Dengan undang-undang, regulasi pemerintah dan bank sentral Jepang, risiko dan jaminan direkayasa secara pragmatis. Dengan suku bunga yang rendah dan sistem perpajakan yang terarah pada peningkatan ‘jam kerja’ atau lapangan kerja secara ‘gotong royong’, pinjaman dari masyarakat sendiri dapat diperoleh dan diperhitungkan risikonya. Misalnya, pembiayaan proyek yang menciptakan lapangan kerja dengan pemberian suku bunga yang sangat rendah dan jenjang pelunasan yang panjang dimungkinkan karena suku bunga memang sangat rendah dan dapat mencegah pengangguran.

    Lain halnya dengan kebijakan Pemerintah dan Bank Central AS yang mencetak dan mengeluarkan mata uang dolar AS. Mereka sangat menyadari bahwa mancanegara yang berhasil mengekspor komoditas ke pasar AS sangat berkepentingan memelihara pasar AS tetap sehat dan befungsi sehingga lapangan kerja di mancanegara dapat dipertahankan.

    Mata uang dolar AS pun dipertahankan stabilitasnya melalui mekanisme pasar komoditas uang untuk mencegah menurunnya nilai cadangan dolar AS mereka. Semua pemikiran dan kebijakan diarahkan pada pertumbuhan GDP, pengendalian inflasi, dan akhirnya penyediaan lapangan kerja. Mancanegara lainnya bergerak di antara dua skenario model Jepang dan AS.

    Apa akibatnya? Bursa yang tadinya berfungsi sebagai ‘mekanisme pengumpulan dana’ yang cukup transparan dan dapat diandalkan berubah menjadi ‘pusat keunggulan berspekulasi dan berjudi’. Informasi diperluas dengan gosip akan sangat merugikan kreditibilitas bursa. Gosip adalah analisis yang belum tentu benar untuk diperhitungkan dan merupakan pemberitaan distortif yang cepat dan membingungkan.

    Kita dapat belajar dari tradisi masyarakat Jepang dan Jerman yang selalu memperkenalkan produk barunya di dalam negeri sampai teruji dulu sebelum diekspor. Produk industri pangan walaupun karena globalisasi lebih murah jika diimpor, masyarakatnya ternyata masih tetap memilih produksi dalam negeri.

    Sejak berdirinya EEC ada perubahan di Jerman terhadap impor dari masyarakat EEC lainnya. Masyarakat Jepang tetap memilih beras Jepang walaupun lebih mahal dari beras impor Thailand. Perilaku ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam tiap produk tersembunyi jam kerja yang terkait dengan proses pemerataan dan kesejahteraan. 

    VOC Baru?

    Bagaimana masa depan Anda jikalau pengeluaran Anda melampaui pendapatan? Bagaimana masa depan dunia jikalau pengeluaran melampaui pendapatan dunia?

    Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juni 2011 yang lalu,  pada kesempatan yang diberikan oleh Pimpinan MPR untuk menyampaikan pandangan mengenai Pancasila dalam forum Sidang Paripurna MPR, saya memperingatkan agar jangan sampai proses globalisasi berkembang menjadi jaringan baru seperti terjadi pada era jajahan masa lalu! Hindari jaringan globalisasi berkembang menjadi ‘jaringan neokolonialisme’ dengan adikuasa-adikuasa baru! (Jangan sampai terjadi ‘VOC-baru’ di Indonesia!)

    Perhatikan neraca jam kerja dan sadarlah bahwa membeli produk apa pun yang dibuat di dalam negeri sama dengan mempertahankan dan mengembangkan lapangan kerja atau jam kerja yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan pemerataan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat kita.

    Ketika nilai sumber daya alam dari benua maritim Indonesia di pasar dunia-khususnya di pasar Eropa-meningkat, maka terjadi pendekatan para pedagang secara sistematik dan kekerasan yang melahirkan kolonialisme yang dilawan bersama oleh masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, ketenteraman dan kedamaian masyarakat yang pluralistik ini tetap dipelihara karena sikap toleransi yang ada.

    Sejarah telah membuktikan bahwa hanya sumber daya manusia yang merdeka, bebas berpikir, dan bebas berkarya saja yang dapat meningkatkan produktivitas dan keunggulannya. Sejarah juga telah membuktikan bahwa semakin pluralistik masyarakat, semakin toleran perilakunya, semakin tinggi daya saing dan kreativitasnya.

    Rakyat Indonesia telah meletakkan jejak yang menentukan untuk menjadikan sumber daya manusia sebagai andalan masa depan, yaitu dengan adanya: Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), juga Kebangkitan Teknologi Nasional (1995). Ketiga kejadian tersebut telah berdampak pada proses-proses: Kemerdekaan pada 1945;   Kebebasan pada 1998; dari masyarakat madani di Indonesia.

    Dengan demikian prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mengembangkan produktivitas dan keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang merdeka dan bebas telah dipenuhi. Yang masih harus diperhatikan dan dikembangkan adalah prasarana dan konsep teruji proses ‘pembudayaan’, prasarana dan konsep teruji proses ‘pendidikan dan penelitian’, prasarana dan konsep teruji penyediaan ‘lapangan kerja’.