Category: Uncategorized

  • Indonesia Menjadi Tujuan Investasi

    Indonesia Menjadi Tujuan Investasi
    Umar Juoro, EKONOM
    Sumber : REPUBLIKA, 26 Desember 2011
    Sejak krisis ekonomi di AS pada 2008 dan Eropa sekarang ini membuat negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi semakin menarik bagi tujuan investasi. Pada 2011 ini diperkirakan investasi langsung (PMA) mencapai sekitar 13 miliar dolar AS dan investasi portofolio mencapai sekitar 10 miliar dolar.

    Kemungkinan investasi masih tinggi pada tahun depan sekalipun kecenderungan ekonomi dunia melemah. Apalagi, dengan lembaga peringkat Fitch menaikkan peringkat Indonesia ke investment grade, lembaga peringkat lain kemungkinan akan juga mengikutinya.

    Indonesia dipandang menarik sebagai tujuan investasi karena pertumbuhan ekonomi tinggi, stabilitas makro terjaga, serta pasar dalam negeri dan sumber daya alam yang besar. Selain itu, adanya stabilitas politik.

    Aliran modal ke dalam negeri di satu sisi memberikan manfaat, terutama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, utamanya dalam bentuk investasi langsung. Namun, di lain sisi, aliran modal masuk membutuhkan alokasi pada kegiatan yang produktif. Jika tidak, itu hanya akan meningkatkan harga aset. Aliran modal juga membutuhkan sterilisasi oleh Bank Indonesia yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

    Peningkatan investasi membutuhkan kredit dolar di dalam negeri untuk membiayai realisasi investasi tersebut. Misalnya, untuk membiayai pengadaan alat berat di bidang pertambangan. Dalam kondisi sekarang ini, ketersediaan dana dolar di perbankan dalam negeri sangat ketat, terutama juga karena ketatnya dana dolar di tingkat internasional.

    Belum pastinya keadaan ekonomi di Eropa dan AS membuat kemungkinan aliran modal keluar, terutama dalam bentuk portofolio, dapat membuat ketidakstabilan ekonomi. Lembaga keuangan Eropa dan AS mencari imbal hasil yang lebih tinggi, yaitu di negara berkembang. Namun, perbankan di negara maju dituntut untuk menambah modalnya. Dalam keadaan seperti ini, aliran modal masuk dan keluar menjadi rentan.

    Negara lain berusaha membatasi aliran modal ini untuk mencegah terjadinya bubble atau kenaikan harga aset yang berlebihan. Negara-negara seperti Cina, India, Malaysia, dan Thailand menerapkan semacam capital control. Mereka berusaha menghindar dari bubble. Konsekuensinya modal mengalir ke negara lain yang tidak menerapkan capital control, di antaranya Indonesia. Karena itu, Indonesia juga tidak perlu ragu untuk menerapkan kebijakan supaya aliran modal masuk lebih lama tinggal.

    Krisis Eropa dan masih lemahnya perekonomian AS kemungkinan akan menurunkan ekspor, tetapi minat investasi, baik langsung maupun portofolio, ke Indonesia masih tetap tinggi. Jika saja investasi langsung dapat diarahkan pada industri manufaktur, tidak hanya sumber daya alam, akan sejalan dengan transformasi perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Dengan biaya produksi yang terus meningkat di Cina, terbuka kesempatan bagi Indonesia. Tentunya, peningkatan infrastruktur untuk memfasilitasinya yang sering kali dikeluhkan dapat dilakukan.

    Krisis ekonomi dan melemahnya perekonomian negara maju memperkuat terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi terutama ke Asia. Pergeseran ini tidak dapat terjadi mendadak, tetapi bertahap dalam jangka panjang. Indonesia merupakan bagian dari pergeseran ini dan semestinya kita dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.

  • Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup

    CATATAN AKHIR TAHUN 2011
    Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup
    Khaerudin, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Wakil Menteri Perdagangan Amerika Serikat Francisco J Sanchez dalam pertemuan Bali Democracy Forum IV yang digelar di Nusa Dua, Bali, 8-9 Desember 2011, menyatakan, untuk membangun sistem demokrasi yang lebih baik, semua negara harus bekerja keras mewujudkan keterbukaan, membasmi korupsi, dan menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Menurut Sanchez, pertumbuhan ekonomi yang sehat dapat mewujudkan politik dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang lebih baik.
    Para bapak pendiri bangsa ini sesungguhnya sudah bisa memandang ke depan, kapitalisme ekonomi yang bersanding dengan demokrasi liberal sesungguhnya tak cocok diterapkan di negeri ini.
    Ketika corak kapitalisme ekonomi dibungkus lewat sistem pemerintahan otoriter pada era Orde Baru akhirnya tumbang dan demokrasi menemukan fajar baru di Indonesia, yang kemudian bersanding demokrasi dan ekonomi liberal. Namun, berbeda dengan model yang sama di AS, demokrasi dan ekonomi liberal pascareformasi di Indonesia ini lahir tanpa prasyarat yang memadai.
    Menurut pemikir kenegaraan yang juga pengarang buku Negara Paripurna, Yudi Latif, reformasi yang berarti menata ulang hanya berhenti pada sisi politik. Pasca-1998 menurut Yudi, penerimaan Indonesia atas demokrasi liberal, seperti dipraktikan di Barat, tanpa pernah menjalani uji kepatutan apakah dengan sistem ini rakyat mampu menjadi sejahtera. Demokrasi langsung seperti dipraktikkan dalam pemilu di Indonesia tak pernah diuji apakah bisa membawa kesejahteraan.
    Terbukti demokrasi langsung seperti dalam pemilihan kepala daerah membuat rakyat justru tak berdaya secara politik. Utang politik para kandidat kepada pemodal membuat secara moral mereka bangkrut. Desain institusionalisasi demokrasi di Indonesia yang salah, menurut Yudi, yang kemudian menyuburkan praktik korupsi. Bupati kemudian menggadaikan sumber daya alam daerahnya kepada pemodal yang memberinya kesempatan bertarung. Akibatnya sumber daya alam yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat di daerah dirampok pemodal yang telah bersekongkol dengan pemodal.
    Menurut Yudi, demokrasi liberal yang mengusung keterpilihan individu mensyaratkan tatanan ekonomi masyarakat yang mapan. Di negara yang menganut sistem ini, seperti AS, calon presiden, seperti Barrack Obama, bisa menolak dana federal dari negara. Pencalonan Obama justru dibiayai oleh rakyat AS. Rakyat berdaya secara politik untuk ikut membiayai partai politik atau kandidat mereka.
    Yudi menuturkan, melihat realitas sosial Indonesia yang sangat majemuk, founding fathers negara ini dengan jelas merumuskan demokrasi yang seharusnya dianut Indonesia terformulasikan dalam keterwakilan politik lewat partai, utusan daerah dan golongan. Formula tiga bangunan keterwakilan ini yang kemudian memastikan, demokrasi di Indonesia melindungi kelompok minoritas. Bagaimana suku-suku terpencil di pedalaman Papua juga bisa merasakan keterwakilannya dalam politik. Bagaimana kelompok penganut kepercayaan yang berbeda dari arus utama punya keterwakilan di parlemen.
    Namun, sayangnya, pasca- 1998, hanya keterwakilan politik yang ditonjolkan. Kontestasi individual seperti dalam demokrasi liberal yang menjadi penting. Belakangan, daerah terwakili melalui Dewan Perwakilan Daerah, tetapi utusan golongan betul-betul dihapus.
    Ini yang sesungguhnya meresahkan. Bila melihat fakta bahwa terjadi banyak sekali sengketa pilkada, seharusnya kita disadarkan bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia telah gagal. Tribalisme kepada banyak suku terpencil di Indonesia muncul ketika mereka dipaksa mengadopsi pemilihan langsung. Ini yang menjelaskan mengapa pilkada bisa membuat potensi konflik besar terjadi di beberapa daerah di Papua.
    Tak hanya memformulasikan bangunan keterwakilan dalam tiga lapis, politik, daerah dan golongan, bapak pendiri Indonesia, menurut Yudi, juga ikut merumuskan bagaimana konstitusi negara seperti dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memberi tempat pada lokalitas dan adat setempat dalam menyusun bentuk pemerintahan daerah. Pemahaman multikulturalisme para pendiri bangsa ini yang kemudian tidak serta-merta Indonesia mengadopsi sistem keterpilihan individu dalam pemilu.
    Dengan demikian, dalam satu sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ), Sukisman sempat berpidato soal mengapa Presiden Indonesia nantinya dipilih melalui keterwakilan rakyat, tidak lewat pemilihan umum langsung. Yudi menuturkan, saat itu BPUPKI sadar betul bahwa masyarakat Indonesia belum terdidik sehingga presiden diusulkan dipilih melalui MPR. Sekarang, apakah asumsi tersebut bahwa masyarakat Indonesia masih belum terdidik itu masih berlaku atau  tidak.
    Peneliti utama dari Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, dalam Mengkonsolidasikan Demokrasi Indonesia, Refleksi Satu Windu Reformasi (2006) menyebutkan, evaluasi positif atau negatif terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, DPR atau presiden, dipercaya berakar dalam evaluasi publik atas kinerja ekonomi nasional. Saiful menyoroti, sejak otoritarianisme Soeharto tumbang, masyarakat umumnya tak pernah merasa bahwa keadaan ekonomi lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.
    Menurut Saiful, masalah ekonomi berhubungan secara berarti dengan kinerja lembaga- lembaga demokrasi, kepuasan publik atas praktik demokrasi, dan dukungan keyakinan mereka bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik. Akibatnya, lambatnya pemulihan ekonomi bisa berdampak negatif terhadap kepuasan publik terhadap praktik demokrasi di Indonesia.
    Bila merunut pengalaman di Amerika Latin, suara-suara yang muncul di Indonesia mulai mempertanyakan keberhasilan ekonomi liberal yang dibungkus demokrasi sejak reformasi ini. Tuntutan nasionalisasi perusahaan tambang, seperti Freeport, tak berdiri sendiri dengan kekerasan di Papua. Ada kerinduan bahwa Indonesia seharusnya bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seperti ketika Soekarno berpidato soal pentingnya Indonesia berdikari. Populisme ekonomi yang akhirnya muncul. Tak seperti di Amerika Latin, di Indonesia populisme ekonomi belum menemukan tokohnya.
    Populisme ekonomi bisa dibaca sebagai kemuakan rakyat melihat demokrasi berjalan beriringan dengan praktik korupsi penguasa. Demokrasi yang di Barat berjalan seiring dengan penegakan hukum tak terjadi di Indonesia. Hukum bisa dibeli. Hingga akhirnya, suara publik pun bisa dibeli. Demokrasi di Indonesia kemudian hanya menjadi stempel bagi berlanjutnya praktik korup otoritarianisme pada era sebelumnya. Kali ini lewat selubung hukum dan peraturan perundangan yang dibuat di lembaga perwakilan.
    Tuntutan reformasi agar Indonesia bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme lebih dari satu dekade silam tak juga berhasil. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 3,0, yang berarti tetap berada di kelompok negara terkorup. Tahun 2011, Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 189 negara yang disurvei untuk menyusun indeks persepsi korupsi.
    Fakta yang mencengangkan, misalnya, wakil rakyat, sebagai bentuk nyata keterwakilan individu dalam sistem politik demokrasi, justru jadi bagian yang korup, membuat demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan kembali kemanfaatannya. Kaderisasi di partai politik tak lahir dari regenerasi intelektual, tetapi kekuatan politik uang. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Indonesianis dari Northwestern University AS, Jeffrey Winters, pada akhirnya oligarki, sekelompok kecil orang yang memiliki kapital dalam jumlah luar biasa, yang bisa membajak demokrasi di Indonesia.
    Akibatnya, ketika demokrasi terbajak oleh oligarki, institusi hukum sebagai turunannya pun dengan mudah dikendalikan mereka.
  • Konflik Bima akibat Komunikasi Politik Macet

    Konflik Bima akibat Komunikasi Politik Macet
    Honest Dody Molasy, KANDIDAT DOKTOR DI SWINBURNE UNIVERSITY OF TECHNOLOGY, AUSTRALIA; SEDANG MELAKUKAN PENELITIAN DI BIMA, NTB
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    Konflik antara masyarakat dan pemerintah tampaknya semakin memanas di pengujung tahun 2011 ini. Baru saja kita dihebohkan dengan konflik Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, Sabtu pagi (24/12) di Bima, Nusa Tenggara Barat, meledak bentrokan antara masyarakat dan polisi.

    Data jumlah korban pun simpang siur, versi pemerintah sampai Sabtu siang, setidaknya ada dua orang dinyatakan tewas tertembus peluru polisi, sementara versi masyarakat ada 12 korban tewas yang semuanya adalah warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.Selain itu,belasan korban dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Bima. Kantor Polsek Lambu dan sejumlah kantor pemerintahan juga ikut dirusak massa sebagai aksi balas dendam terhadap aksi polisi yang melakukan penembakan.

    Konflik yang terjadi di Bima ini sebenarnya adalah satu dari sekian banyak kasus pertambangan di Kabupaten Bima. Konflik serupa juga terjadi di pertambangan pasir besi di Kecamatan Wera dan Kecamatan Soromandi, tambang emas di Kecamatan Prado, bahkan di Kota Bima juga terjadi penolakan pertambangan marmer.Meledaknya konflik pertambangan emas di Kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu ini dikhawatirkan akan memunculkan aksi serupa di daerah-daerah rawan konflik lainnya. Konflik ini juga cukup unik.

    Pertama karena terjadi di kantong pendukung bupati terpilih Ferry Zulkarnain ST. Di Kecamatan Lambu misalnya, Bupati Ferry mendapat dukungan lebih dari 70% pada Pilkada 2009 lalu. Belum genap dua tahun pemerintahan Bupati Ferry, warga Kecamatan Lambu menentang kebijakan bupati terpilih. Kedua,dalam sejarah Kesultanan Bima sejak pemerintahan sultan pertama Abdul Kahir (1621), sampai sultan terakhir Sultan Muhammad Shalahudin (1951) penduduk kawasan timur Bima ini adalah pendukung setia kesultanan. Kini saat cucu Sultan Shalahudin mengambil alih kekuasaan sebagai Bupati Bima, muncul aksi kekerasan yang berujung pada bentrok berdarah antara masyarakat dan aparat keamanan.

    Kenapa Terjadi?

    Konflik ini sebenarnya muncul sejak awal 2011 lalu, dipicu oleh kegiatan eksplorasi tambang yang dilakukan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di sejumlah titik di tiga kecamatan di Kabupaten Bima, yaitu Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu. Ketiga kecamatan ini terletak di areal perbukitan di ujung timur Pulau Sumbawa, berbatasandenganProvinsiNusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan eksplorasi ini mengganggu aktivitas masyarakat setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai peternak dan petani bawang.

    Kegiatan eksplorasi yang dilakukan PT SMN ini didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357 /004/2010 yang intinya memberikan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT MSN. Munculnya SK Bupati yang kemudian dikenal dengan sebutan SK 188 ini menimbulkan amarah masyarakat karena masyarakat tidak pernah diajak bicara tentang persoalan pertambangan ini.Sejumlah kepala desa juga mengaku tidak tahu tentang munculnya SK 188 ini, bahkan DPRD juga tidak diajak bicara soal penerbitan SK pertambangan ini.

    Di sinilah kemudian muncul gerakan penolakan pertambangan emas di Bima Timur ini. Beberapa kali masyarakat menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain ST,tetapi pertemuan itu belum juga terwujud. Kejengkelan masyarakat kemudian dilampiaskan dengan membakar Kantor Kecamatan Lambu pada 10 Februari 2011 lalu. Setidaknya ada lima kekhawatiran masyarakat terhadap kegiatan pertambangan emas di wilayah mereka. Pertama, proses pertambangan dikhawatirkan akan merusak ladang dan areal penggembalaan hewan ternak.

    Kedua, lokasi pertambangan berdasarkan peta dalam lampiran SK 188 memasukkan juga areal hutan lindung. Ketiga, lokasi pertambangan juga memasukkan areal permukiman warga.Keempat,di dalam areal pertambangan juga terdapat sejumlah tempat keramat yang sangat dihormati secara adat oleh warga setempat. Kelima, pertambangan juga dikhawatirkan akan merusak mata air dan satu-satunya sungai yang mengairi ladang-ladang masyarakat.

    Komunikasi Politik yang Tidak Jalan

    Tampaknya, pecahnya konflik antara masyarakat dan pemerintah ini sebagai akibat dari macetnya komunikasi politik antara masyarakat dan Bupati. Sejak meletusnya kasus tambang di ujung timur Pulau Sumbawa ini, belum pernah dilakukan komunikasi antara masyarakat dan Bupati Bima. Masing-masing mengklaim dirinya paling benar bersandar pada alasan dan argumentasi sendiri-sendiri.

    Pihak pemerintah mengklaim bahwa tambang akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapat daerah serta diyakini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Sementara masyarakat merasa dirinya telah ditipu pemerintah daerah karena dalam proses penerbitan SK 188, rakyat sama sekali tidak pernah dilibatkan.DPRD pun tidak berhasil menjembatani aspirasi rakyat. Meskipun konflik sudah berjalan hampir setahun, belum ada pernyataan resmi dari DPRD terkait tuntutan masyarakat ini.

    Tampaknya perlu mediator untuk menjembatani pertikaian antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bima.Setidaknya ada dua alasan kenapa mediator ini diperlukan. Pertama, saat ini terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan alat-alat pemerintah. Apalagi polisi telah melakukan gerakan represif terhadap aksi demonstrasi masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Kedua, mediator diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif agar terjadi dialog antara masyarakat dan Bupati Bima.

    Dialog ini adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan konflik pertambangan ini dengan damai.Pendekatan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan sebaliknya akan memunculkan persoalan baru. Sejumlah tokoh ulama, tokoh adat, dan tokoh sepuh keluarga Istana Bima yang tampaknya masih dihormati dan disegani masyarakat perlu untuk tampil ke depan menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik yang cukup rumit ini.

    Munculnya tokoh-tokoh ini diharapkan mampu menata kembali masyarakat yang karut-marut akibat konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah daerah. Sementara proses dialog dan negosiasi sedang dilakukan, polisi dan aparat keamanan diharapkan untuk menahan diri, tidak melakukan kegiatan yang memancing emosi masyarakat.

  • Media dan Konsekuensi Janji

    Media dan Konsekuensi Janji
    Gunawan Witjaksana, DOSEN STIKOM SEMARANG DAN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI USM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    KITA tentu ingat pepatah bahwa janji adalah utang. Kita pun tidak asing dengan moto para raja di Jawa yaitu sabda pandita ratu tan kena wola-wali.  Pandangan ilmiah terkait dengan disiplin ilmu public relations pun menyatakan bahwa janji yang pernah diucapkan kelak harus dapat diwujudkan. Bila tidak maka kepercayaan masyarakat terhadap pejabat yang berjanji itu akan berujung pada menurunnya kepercayaan, bahkan antiklimaksnya menjadi antipati terhadap si pengucap janji. Terlebih bila kita kaitkan dengan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory), sebuah teori pembangunan liberal yang saat ini lebih dominan kita anut.

    Bila hal itu kita kaitkan dengan janji Abraham Samad, setelah terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka apa yang dijanjikannya di depan berbagai media, membawa konsekuensi sangat berat. Keinginannya bersama pimpinan KPK yang lain untuk menuntaskan kasus-kasus besar yang pada periode kepemimpinan sebelumnya belum tersentuh, tentu tidak semudah membalik telapak tangan.

    Berbagai kasus korupsi besar yang secara kasat mata bukan saja murni masalah hukum melainkan sarat nuansa politik, sebelumnya hampir tidak tersentuh dengan alasan klasik: belum cukup bukti. Padahal secara politis DPR sudah menyatakan banyak bukti, misalnya kasus Century. Bahkan BPK menemukan sejumlah transaksi tidak wajar (SM, 24/12/11). Sebagai nakhoda baru KPK tampaknya Abraham Samad telah memperhitungkan kekuatan skuadnya yang secara kolegial diharapkan mendukungnya.

    Persoalannya, apakah aparat di bawahnya, misalnya bagian penyelidikan dan penyidikan siap secara mental menerjemahkan kebijakan itu? Bukankah perlu juga memperhitungkan bahwa penyidik di lembaga itu merupakan pinjaman dari institusi lain, yang secara logika tidak mungkin terlepas penuh dari kepentingan instansi induknya? Bagaimana pula Abraham dan kawan-kawan menghadapi aspirasi, harapan, dan tuntutan masyarakat yang makin meningkat terkait dengan pengeksposan janji di depan berbagai media?

    Interaksi Para Rasional

    Abraham Samad, doktor Ilmu Hukum yang sebelumnya belum banyak dikenal masyarakat ketimbang nama lain seperti Busyro Muqoddas atau Bambang Widjojanto secara tiba-tiba menjadi sangat terkenal bahkan akrab dengan masyarakat.

    Hal itu tak lain dampak dari kemampuan media massa sebagai media interaksi para rasional.

    Dengan kemampuannya itu, media massa seolah-olah mampu membuat orang yang semula tidak saling kenal (misal Abraham dengan mayoritas masyarakat ), bisa berinteraksi sekaligus berkomunikasi. Melalui cara itu pula maka janji Abraham yang relevan dengan keresahan dan tuntutan masyarakat terkait dengan pemberantasan korupsi, terasa lebih mengakrabkan keduanya.

    Namun di balik sisi positifnya, masyarakat yang seolah menganggap Abraham sebagai teman yang berjanji memenuhi keinginannya, menjadikannya sebagai fokus perhatian, dan masyarakat pun tentu memperhatikan dengan seksama kinerja Abraham apakah sesuai dengan janji yang pernah diucapkannya.

    Kesan akrab dan janji yang selalu dinantikan perwujudannya oleh masyarakat tentu menjadi beban berat bagi Abraham dan pimpinan lain KPK. Terlebih, ia berjanji mengundurkan diri  bila dalam setahun belum mampu memenuhi janji yang diucapkan di depan media massa

    Karena itu, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK perlu memprioritaskan pembenahan aparatnya, utamanya merevitalisasi komitmen mereka untuk bekerja hanya semata demi kebenaran dan keadilan, dan bukan demi hal lainnya yang akhir-akhir ini dikesankan terhadap KPK, hingga menurunkan kredibilitasnya di mata sebagian masyarakat.

    Memang pimpinan KPK dan jajarannya tetaplah manusia sehingga sangat sulit menjadikannya sebagai manusia setengah dewa. Namun bila mereka bisa mewujudkan janjinya dalam  menegakkan hukum yang berkeadilan sekaligus mencegah kerugian negara serta mengembalikannya maka kesan tebang pilih seperti dituduhkan saat ini bisa dihilangkan. Demikian pula pencampuradukkan masalah pribadi dengan tugas seperti terjadi pada Angelina Sondakh dengan penyidiknya, yang anggota Polri. Meski hal itu manusiawi, mestinya dari awal pimpinan KPK bisa mencegahnya.

    Ke depan, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK harus selalu ingat bahwa media sesuai dengan fungsi mediasi dan advokasi yang diembannya akan terus mengamati kinerja lembaga itu. Karena itu, lembaga antikorupsi tersebut tidak mungkin menggunakan model seolah-olah telah bekerja dengan baik berdasarkan persepsinya yang mereka lontarkan melalui media, padahal masyarakat baik melalui media maupun diperkuat oleh fakta, merasakan bahwa KPK ”belum melakukan” apapun.
  • Perda Antirokok Nirkeadilan

    Perda Antirokok Nirkeadilan
    Gugun El Guyanie, STAF PENELITI PADA PUSAT KAJIAN KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    ADA pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas sebuah pemerintahan di daerah yang diselenggarakan oleh eksekutif dan dan DPRD diukur dari berapa banyak produk hukum berupa perda yang dihasilkan. Jelas ini pendapat yang menyesatkan karena belum tentu produk legislasi daerah yang disebut perda itu bermanfaat untuk kepentingan umum.  

    Maka banyaknya perda antirokok saat ini justru merusak cita-cita masyarakat lokal untuk menikmati kesejahteraan secara adil dan merata. Perda antirokok itu di antaranya telah berlaku di Kota Bogor (Perda Nomor 12 Tahun 2009), Kota Surabaya (Perda Nomor 5 Tahun 2008), Kota Padang Panjang (Perda Nomor 8 Tahun 2009),  Kota Palembang (Perda Nomor 7 Tahun 2009), Kota Tangerang (Perda Nomor 5 Tahun 2010), Kota Bandung (Perda Nomor 11 Tahun 2005). Yang lain ada yang berbentuk pergub, perwali/ perbup, atau surat edaran.

    Dalam konstitusi (Pasal 18 Ayat 6) pemda berhak menetapkan perda dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah memiliki makna bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya apa? Spirit konstitusi memberikan kebebasan mengatur sendiri daerahnya adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat lokal yang berdaulat. Sesuai dengan potensi daerah, kearifan lokal masing-masing, tidak didikte, diintervensi oleh pusat, apalagi ditunggangi kepentingan asing.

    Berkaitan dengan perda-perda antirokok, apa yang terjadi? Justru perda antirokok di beberapa daerah merupakan wujud penyeragaman, tidak memperhatikan ciri khas masing-masing daerah sebagaimana diatur Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini bermakna bahwa regulasi di daerah, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi adalah pesanan pemerintah pusat, dan pusat adalah pesanan dari imperialis asing. Masyarakat lokal memiliki nilai kearifan, ideologi kebudayaan, dan cara pandang tersendiri tentang rokok keretek dan tembakau. Maka jangan ada peraturan atas nama wakil rakyat yang menyeragamkan pandangan hidup mereka. Lantas dimana spirit otonomi untuk membangun masyarakat lokal yang mandiri dan berdaulat penuh?

    Simbol Kedaulatan

    Dari sisi filosofis, perda antirokok jelas tidak mendasarkan pada asas materi muatan perda; seperti asas pengayoman, kenusantaraan, asas Bhinneka Tunggal Ika, dan asas keadilan. Perda-perda tersebut tidak memberikan pengayoman terhadap petani tembakau di lereng-lereng bukit, tidak melindungi nasib pedagang rokok asongan, juga buruh pabrik yang nasibnya tak menentu. Filosofi kenusantaraan juga pasti tidak dijadikan sandaran. Bagaimana mungkin mengakui kenusantaraan, jika yang terjadi malah mengkriminalisasi produk rokok keretek yang telah menjadi simbol Nusantara yang menyejarah, menjadi kebanggaan produk Nusantara yang mendunia. Siapapun akan mengakui bahwa tembakau kretek rokok adalah simbol nasionalisme, bukan barang haram yang harus dimusnahkan.

    Di sinilah juga rokok keretek dan tembakau menjadi simbol kedaulatan rakyat pribumi. Kedaulatan, bagi Prof Jimly Asshiddiqie adalah konsep kekuasaan tertinggi.

    Dalam konteks rokok keretek dan tembakau, kekuasaan tertinggi sejak berabad-abad, bahkan sebelum berdirinya NKRI, rakyatlah yang memegang kendalinya. Mulai dari kemandirian petani tembakau menyediakan bibit, pupuk, hingga panen, penjualan.

    Diteruskan dalam industri-industri kretek lokal yang bermodal pas-pasan, diolah oleh buruh rumahan, dijual eceran oleh pedagang kecil, dikonsumsi menjadi simbol kultural Nusantara yang membanggakan. Benar-benar terintegrasi.
    Walaupun negara tak pernah memikirkan subsidi pupuk untuk petani tembakau, tak pernah juga mencairkan kredit untuk modal industri rokok rumahan; cukai rokok yang menyumbang triliunan rupiah buat negara, selalu dikeruk tak kenal henti.

    Bandingkan dengan pertambangan yang justru sudah digadaikan dan dikangkangi oleh pemodal asing yang tak manusiawi.
    Maka wajar saja jika implementasi dari perda antirokok sudah gagal duluan di tengah jalan. Lagi-lagi karena faktor pembentukan perda yang sekadar menerima pesanan asing, asal ada kucuran miliaran rupiah. Tidak ada riset dalam law making process (Ann Seidman dan Robert Seidmann); terutama terhadap biaya penerapan dan kemungkinan dampak penerapannya. Jelas perda antirokok menjadi kontraproduktif ketika menghitung biaya untuk menegakkan regulasinya dengan hasil yang ditargetkan.  

    Lantas buat apa mematuhi regulasi yang melumpuhkan kedaulatan ekonomi rakyat? Jika jalur yuridis konstitusional sudah tak menyediakan ruang untuk mendapatkan keadilan, mengapa tak segera ada civil disobedience atau pembangkangan sipil?

  • Pabrik Semen Vs Bencana

    Pabrik Semen Vs Bencana
    Richo Andi Wibowo, DOSEN ILMU HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    TIDAK bisa membangun pabrik semen di Pati, PT Semen Gresik berniat mengalihkan pembangunan pabriknya ke Rembang. Pemkab bergegas menyambut positif gagasan tersebut (SM, 04/12/11). Penting mengulas rencana pendirian (kembali) pabrik semen mengingat hingga saat ini Mahkamah Agung belum memberikan putusan apa pun atas gugatan uji materi Perda Provinsi Jateng Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

    Padahal perda tersebut merupakan payung hukum atas cetak biru boleh tidaknya suatu daerah digunakan sebagai kawasan pertambangan. Sekadar menyegarkan memori pembaca, perda tersebut digugat awal 2011 karena dalam pembentukannya dianggap tidak mendasarkan pada kajian lingkungan hidup, hasil konsultasi publik, serta mengabaikan sejumlah peraturan seperti UU tentang Penataan Ruang dan UU mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Rencana pembangunan pabrik semen akan selalu menghadirkan posisi yang dilematis pada pemerintah daerah. Di satu sisi, pemda mengharapkan bahwa dengan adanya investasi langsung maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) yang dapat cepat menggerakkan perekonomian daerah.

    Di sisi lain, pendirian pabrik semen merupakan awal dari aktivitas pertambangan; aktivitas yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan dapat mengakibatkan bencana. Akibatnya, banyak masyarakat menolak. Pertanyaannya adalah bagaimana pemda sebaiknya bersikap atas rencana pembangunan pabrik itu?

    Pertemuan pemimpin dunia pada forum Disaster Risk Reduction- Hyogo Framework for Action menghasilkan keputusan penting yang mengingatkan masyarakat internasional bahwa bencana dapat memorakporandakan hasil dari pembangunan, namun di sisi lain pembangunan juga dapat memproduksi terjadinya bencana (Jonatan Lassa, 2006).

    Jadi dapat disarikan suatu pedoman untuk pemerintah bahwa kebijakan pembangunan yang benar adalah pembangunan yang dapat menekan risiko bencana. Sesungguhnya, pemerintah tidak perlu khawatir untuk mengambil sikap ini karena kebijakan tersebut justru akan memberikan kemanfaatan yang optimal.

    Biasanya, guna mengundang investasi masuk ke wilayahnya, pemerintah menurunkan kualitas peraturan, terutama yang terkait dengan penurunan pajak dan penurunan syarat menjaga kelestarian lingungan. Namun, aturan menjaga kualitas lingkunganlah yang kerap dipilih. Hal ini karena ajak dianggap diperlukan guna pemasukan kas pemerintah.

    Format Masa Depan

    Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Oates dan Schwab membuktikan bahwa daerah-daerah yang menurunkan aturan lingkungan guna menarik investasi justru akan mengalami kerugian yang lebih besar daripada keuntungan investasi yang didapatkan. Hal ini karena kerusakan pada lingkungan hidup akan menimbulkan biaya yang besar yang bersifat tidak terduga sebelumnya.

    Kerusakan lingkungan yang terjadi pun, tidak dapat segera pulih. Akibatnya hal itu dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Padahal aspek kesehatan akan mempengaruhi produktivitas kerja masyarakat, yang akhirnya dapat mempengaruhi perekonomian wilayah tersebut (Journal of Public Economics, 1988).

    Berdasarkan hal itu maka pemda terkait perlu menelaah secara mendalam atas kebijakan pembangunan yang akan dipilih, termasuk untuk pro atau kontra atas rencana pendirian pabrik semen. Pilihan kebijakan yang diambil haruslah mendasarkan pada kajian lingkungan hidup yang bersifat objektif serta perlu memperhatikan aspirasi dari masyarakat.

    Perlu diingat bahwa secara filosofis masyarakat tunduk pada aturan hukum karena substansi yang terdapat dalam aturan tersebut berasal dari perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Dengan demikian, jika pemerintah melalaikan poin-poin itu maka kebijakannya tidak akan mendapat legitimasi dari masyarakat.

    Akibatnya, pemerintah hanya akan menghadapi permasalahan yang sama: kebijakan yang diambil akan kembali digugat oleh masyarakat.
  • Sepak Bola Ken Arok

    Sepak Bola Ken Arok
    Amir Machmud NS, WARTAWAN SUARA MERDEKA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    KUTUKANEmpu Gandring lewat keris bergagang cangkring sebagai realitas buram perjalanan sejarah Singasari, rupanya juga terefleksi menjadi ”kutukan aktual” bagi sepak bola Indonesia, seperti halnya lanskap ambisi Ken Arok yang bertabur daki kekuasaan, cara meraih kemuliaan, dan pendakuan hak.

    Keris itu memakan penciptanya sendiri karena Arok ingin memutus hulu mata rantai pergerakan ambisinya, lalu menghabisi Akuwu Tunggul Ametung sebagai target utama. Namun spiral kutukan memakan pula Arok saat sudah bergelar Sri Rajasa Ranggah Sang Amurwabhumi lewat tangan seorang pengalasan yang akhirnya tewas oleh keris yang sama.

    Lalu episode saling menjegal: Anusapati tewas di tangan Tohjaya, giliran putra Ken Arok dari Ken Umang itu ditikam dalam pelarian karena pengejaran para pembalas dendam. Sampai di sini, keris haus darah itu ”mengikuti” mekanisme aksi-reaksi, respons-merespons yang sulit menemukan hilir peredaan.
    Maka ketika Ketua Indonesia Football Watch Sumaryoto menganalogikan PSSI ”terkena kutukan keris Empu Gandring”, metafora tentang tikam-menikam dan jatuh-menjatuhkan itu nyata tergambarkan dari sepak bola yang bertanah lapang kekuasaan, bisnis, dan politik menjelang 2014.

    VANDALISME, yang biasanya ditakutkan dari suporter sepak bola, secara sistemik kini justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa berhak mengendalikan persepakbolaan nasional. Sistem dihantam dengan pendekatan kekuasaan, berbagai keputusan dijustifikasi dengan mengklaim kebenaran. Pengkubuan antara yang di dalam sistem dan di luar sistem –antara kompetisi di jalur Indonesia Premier League dan Indonesia Super League– mengetengahkan atmosfer yang tak berbeda dari model perlawanan pada era Nurdin Halid.
    Sedemikian pentingkah menguasai induk organisasi sepak bola itu, sehingga seolah-olah menafikan apa pun untuk menjadi pengendali yang menentukan semua?

    Sedemikian kuatkah tuah sepak bola sebagai pengantar orang atau sekelompok orang meraih popularitas ke tujuan kemuliaan?
    Sedemikian berprospekkah industri kompetisi kita, sehingga secara bisnis pantas diperebutkan?
    Sedemikian strategiskah PSSI sebagai penggalang massa bagi kepentingan-kepentingan kontestasi politik 2014 nanti?

    Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita pahami sebagai latar mengapa organisasi sepak bola kita diperebutkan orang dan kelompoknya, sulit membayangkan akan adakah solusi yang mampu mementahkan ”kutukan Empu Gandring” itu.
    Rezim Nurdin Halid dijatuhkan, kekuasaan Djohar Arifin Husin digoyang. Jika Kongres Luar Biasa PSSI bisa terselenggara dan Djohar pun  ”di-skak mat”, adakah jaminan siapa pun yang nanti terpilih tidak juga terancam oleh ”keris milik Ken Arok” itu? Budaya tanding akan selalu muncul seiring dengan semangat pendakuan hak yang mengikuti rezim demi rezim.

    Awam pun membaca, kristal pengkubuan itu merepresentasikan dua kekuatan politik besar. Antara kubu Kuningan (Nirwan Bakrie) dan Jenggala (Arifin Panigoro), yang dalam polarisasi pendukungan merefleksikan kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrat.

    Jadi tegakah kita membiarkan sepak bola dijadikan permainan kepentingan, yang hanya meminggirkan peran para pemilik dan pelaku sejati: penggemar bola, pemain, pelatih, wasit, serta para pengabdi yang sesungguhnya?
    Dari kegelisahan itu, kehendak KLB vis a vis defensivitas status quo dengan semua pernik yang melatari pertikaian ini harus segera terbaca oleh FIFA dengan kacamata jernih dari investigasi aktif.

    KEHENDAK saling menguasai PSSI, dengan konstelasi demikian, rasanya sulit menggugah nurani rekonsiliasi. Semangat ”keris Empu Gandring” lebih menghegemoni. Padahal, akan banyak korban ketika satu pihak mendelegitimasi pihak lain dengan segala dampaknya.

    Kepada siapa harapan peredaan disampirkan? Jika FIFA hanya menunggu insiatif penyelesaian dari kubu-kubu yang merasa punya keyakinan dan argumentasi karena latar politik yang lebih mendesakkan kepentingan, konflik akan terus menganga dalam format ”legitimasi formal” vs ”legitimasi faktual”.

    Pastilah pemerintah canggung memainkan perannya secara berwibawa, karena para elite kekuasaan tak terhindar pula dari keberpihakan politis. Dari hulu persoalannya, sejarah juga mencatat keterlibatan pemerintah ketika ”memesan keris” lewat Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pada 2009 sebagai pengibas bendera start kemelut panjang ini.
    FIFA mesti mengirim tim untuk melihat fakta-fakta, bukan hanya laporan secara de jure dari pengurus.

    Namun jika FIFA memandang PSSI sekadar sebagai noktah kecil yang tak terlalu penting dalam orbit kekuasaan mereka, atau merasa hanya membuang waktu untuk turun tangan membangun stabilitas sepak bola di negeri ini, itulah tanda fenomena saling tikam bakal terus terpelihara.
    Sulit untuk tidak mengatakan, jalan politik telah sedemikian tega mengolengkan bahtera sepak bola kita…

  • Sinterklas dan Natal

    Sinterklas dan Natal
    Trisno S. Sutanto, EDITOR JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 26 Desember 2011
    Kadang saya ragu, apakah Natal memang masih merupakan perayaan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai pemenuhan janji berabad-abad lamanya tentang kedatangan Sang Mesias? Atau sesungguhnya, paling tidak dalam imajinasi populer, Natal adalah perayaan tentang figur Sinterklas dan kesempatan berbelanja habis-habisan sebelum tahun berganti?
    Tokoh satu ini memang luar biasa populer dan disukai hampir oleh setiap kalangan, apapun latar belakang keagamaannya, dan berapapun usianya—walau paling populer di kalangan anak-anak. Dilukiskan sebagai kakek tua berjenggot putih, dengan perut buncit, pipi merah dan wajah selalu tersenyum gembira, berpakaian baju hangat berwarna merah-putih dan paling suka berseru, ‘Ho..ho..ho!’, Sinterklas sekilas kelihatan lebih afdol dan layak dijadikan simbol meriahnya Natal ketimbang figur Yesus. Sebab, dalam soal Sinterklas, memang tidak dibutuhkan laku iman. Dan ini punya ironi tersendiri.
    Maksud saya begini: Anda tidak perlu menjadi orang kristiani agar mampu jatuh hati pada Sinterklas dan merasakan kegembiraan masa Natal. Juga tak perlu percaya maupun berdebat sengit, apakah benar Sinterklas datang dari kutub Utara, naik kereta salju yang ditarik Rudolph, si reindeer berhidung merah, dan masuk lewat cerobong asap untuk membagi-bagikan hadiah. Semua kisah itu, anggaplah saja, legenda guna memaniskan jalannya cerita yang tak perlu membuat orang terusik. Dan mungkin karena itulah, sejak awal bulan Desember, berbagai mall dan pusat-pusat belanja di Jakarta sudah berhias diri dengan pernak-pernik Natal, lengkap dengan figur Sinterklas maupun putih kapas pengganti salju. Semua orang menerimanya—dan, saya rasa, MUI belum mengeluarkan fatwa haram terhadap figur satu ini, walau melarang orang mengucapkan ‘Selamat Natal’.
    Namun ada sisi ironis di sini. Pada satu sisi, gambaran tentang Sinterklas merupakan distorsi historis terhadap figur St. Nicholas, Uskup Myra yang dikenal memberi perhatian besar pada kaum miskin dan anak-anak, dan meninggal 6 Desember 343. Tanggal kematiannya itu, sampai sekarang, dirayakan oleh gereja sebagai St. Nicholas Day. Sementara itu Santa Claus (di Indonesia, karena warisan Belanda, lebih dikenal sebagai Sinterklas) adalah adaptasi sekaligus temuan jenial di Amerika abad ke-19 guna menjinakkan pesta-pesta libur Natal yang kerap berisi mabuk-mabukan, sekaligus mencerminkan nilai-nilai baru tentang keluarga dan masa kanak-kanak yang harus dilindungi dari lingkungan berbahaya.
    Tanpa harus masuk ke rincian historisnya—untuk telaah lebih rinci, lihat http://www.stnicholascenter.org/pages/origin-of-santa/yang memikat—bisa dikatakan, di tengah konteks baru itu figur St. Nicholas berubah bentuk dan fungsi. Apalagi pada tahun 1821 terbit buku bergambar berjudul Children’s Friend yang pertama kali melukiskan ‘Sante Claus’ datang dari kutub Utara naik kereta salju—cerita yang, dalam sekejap, memikat imajinasi publik. Maka legenda baru, yang dirasa lebih cocok dari segi didaktis maupun komersial, pun lahir.
    Sisi lain dari ironi itu lebih menohok: Sinterklas merupakan distorsi dan pendangkalan makna Natal. Sebab dalam figur Sinterklas, seluruh pewartaan Natal kehilangan arti dan kekuatannya sebagai warta tentang solidaritas radikal Allah pada kehidupan manusiawi yang serba rentan, dan hanya tinggal sebagai peristiwa liburan, hiburan, dan ilusi kenikmatan berbelanja sesaat.
    Dalam diri Sinterklas, kita tidak dapat mencandra wajah-wajah kesengsaraan dan kerentanan hidup manusiawi, tempat di mana Yang Ilahi justru memilih untuk hadir, dan karenanya disebut ‘Imanuel’, ‘Allah-beserta-kita’. Sebaliknya, raut wajah Sinterklas selalu tersenyum dan tertawa gembira, memberi kesan ilusif bahwa everything’s okay, sekaligus membujuk orang untuk berbelanja lebih banyak agar bisa memberi lebih banyak lagi. Bukankah, dalam cerita Sinterklas, apa yang disebut kasih sayang hanyalah jika seseorang memberi banyak barang kepada orang lain? Karena itu, saya lupa siapa yang mengatakannya dengan bagus, Sinterklas patut dijuluki sebagai salesman paling berhasil dalam seluruh sejarah bisnis modern.
    Padahal warta Natal persis kebalikannya! Natal bukanlah soal berbagi hadiah—kalau hanya itu, orang dapat melakukan kapan saja, tak perlu menunggu sampai masa Natal tiba. Sebaliknya, Natal adalah soal penantian penuh harap (itu sebabnya ada masa penantian, adventus, selama empat minggu sebelum Natal tiba), dan warta tentang jawaban radikal Allah yang menerima kerentanan hidup manusiawi sebagai sarana bagi kemuliaan-Nya. Natal juga merupakan pilihan-pilihan eksistensial manusia guna menjawab undangan Yang Ilahi itu: Maria yang menjawab ‘Ya!’ terhadap salam malaikat Gabriel; Yusuf yang harus menjawab ketika melihat tunangannya sudah hamil; orang Majus yang harus memilih kembali ke Herodes atau mengambil jalan lain, dstnya.
    Tetapi seluruh kompleksitas cerita Injil tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekadar figur Sinterklas, undangan belanja, dan masa libur panjang di akhir tahun. Mungkin ini ‘nasib’ yang harus diterima ketika suatu perayaan keagamaan kehilangan élan vital-nya, entah terserap menjadi sekadar pernak-pernik budaya konsumerisme global, atau menjadi sekadar seremoni yang membosankan dan membuat orang mengantuk. Di situ pesan-pesan keagamaan mengalami proses insignifikansi maupun irrelevansi—tak lagi mampu memberi horison guna memaknai kehidupan, sekaligus tak lagi gayut dengan pergulatan sehari-hari.
    Masa Natal adalah contoh par excellence kedua proses tadi. Di situ ibadah Natal di gereja kerap menjadi sekadar repetisi ritus-ritus lama, mengulang cerita yang sudah didengar sejak masa kanak-kanak tentang seorang perawan yang melahirkan Yesus di kandang domba di kota kecil Bethlehem—sebuah kisah yang hampir tak lagi mampu berbicara apa-apa bagi orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. Sementara itu, kegembiraan Natal direduksi menjadi sekadar kegembiraan masa liburan panjang akhir tahun, ajang promosi dan pemuasan ‘mesin hasrat’ berbelanja tanpa batas.
    Lalu orang memang layak bertanya, apa yang masih tersisa dari Natal? Jawabnya terserah Anda!
  • Quo Vadiz Indonesia? (3-Habis)

    Quo Vadiz Indonesia? (3-Habis)
    Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
    Sumber : REPUBLIKA, 24 Desember 2011
    Ketika Presiden Soeharto lengser, maka sesuai dengan konstitusi, wakil presiden harus melanjutkan tugas presiden. Dalam waktu 24 jam, saya mengeluarkan kebijaksanaan sebagai berikut: Bebaskan semua tahanan politik di Indonesia; Bebaskan pemberian informasi dan pendapat yang bertanggung jawab, melalui media cetak dan elektronik yang bebas dan bertanggung jawab; Bebaskan masyarakat berdemonstrasi tanpa merusak dan merugikan modal pribadi atau negara.

    Dengan kebijakan tersebut, semuanya segera menjadi lebih transparan dan lebih dapat diperhitungkan. Kebijakan itu berdampak positif pada pasar ekonomi dan pasar politik. Free fall nilai mata uang Rupiah segera dapat dihentikan dan secara tahap demi tahap nilai mata uang rupiah kembali ke nilai yang lebih stabil. Demikian pula pasar politik menjadi lebih transparan dan stabil. Semuanya ini penting untuk dipersiapkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan dengan keadaan ‘merdeka dan bebas bertanggung jawab’, berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah.

    Mekanisme pemerintahan pusat dan daerah perlu dikembangkan dan disempurnakan yang disesuaikan dengan keadaan setelah otonomi daerah diberikan agar budaya setempat dipertahankan dan ketahanan budaya meningkat. Semua ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan daya saing sumber daya manusia dalam menghadapi globalisasi.

    Mengapa Dihentikan?

    Walaupun demikian, patut kita bertanya: (1) Apa pelaksanaannya sudah optimal bahkan maksimal? (2) Bagaimana kesadaran kita terhadap pengembangan dan pengamanan lapangan kerja? (3) Bagaimana ‘neraca jam kerja’? (4) Apakah dalam perilaku kita tiap hari sudah berorientasi pada produk dalam negeri?

    Tiap tanggal 17 Agustus kita rayakan Proklamasi Kemerdekaan, tiap tanggal 20 Mei kita peringati hari Kebangkitan Nasional, dan tiap tanggal 10 Agustus Hari Kebangkitan Teknologi kita renungkan, mengenang terbang perdana pesawat turboprop canggih-N250 Gatotkaca-rekayasa dan produksi sumber daya manusia Indonesia. (1) Dapatkah dibenarkan jika hasil semua perjuangan kita dalam mengembangkan potensi dan daya saing sumber daya manusia Indonesia selama lebih dari 50 tahun kita hentikan dan persulit pembinaan prestasi nyatanya dalam bidang teknologi canggih dirgantara, kelautan, dan transportasi darat yang sudah dimiliki? (2) Apakah kita biarkan para ahli Indonesia bekerja di mancanegara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia Utara dan ASEAN dengan alasan makroekonomi?

    Memang, tenaga kerja Indonesia yang pindah kerja ke luar negeri akan mendapat gaji dan upah yang lebih besar sehingga pendapatan pribadi mereka meningkat. Namun, kita ketahui juga bahwa yang bersangkutan tidak membayar pajak kepada Pemerintah Indonesia dan karena berada di luar negeri, maka biaya kehidupan dikeluarkan di luar negeri pula sehingga tidak berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Apakah hal yang demikian itu kita biarkan saja?
     
    Teori apa pun dalam ilmu pengetahuan harus didasarkan pada filsafat dan keadaan (realitas) alami yang diketahui, disadari dan diyakini oleh masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, teori dibuat oleh manusia memiliki ‘kendala awal’ (initial condition) dan ‘kendala batasan’ (boundary condition) yang tergantung pada tempat dan waktu.

    Semua masyarakat di mana pun di dunia menghendaki adanya kesejahteraan, kualitas hidup, dan ketenteraman yang merata. Untuk mencapai hal tersebut, telah diaksanakan beberapa pendekatan, seperti: (1) Pendekatan top down atau dari yang kaya ke yang miskin, yang juga dikenal sebagai sistem kapitalisme. (2) Pendekatan bottom upatau dari yang miskin (proletar) ke yang kaya, yang juga dikenal sebagai sistem komunisme. (3) Pendekatan dari tengah ke atas maupun ke bawah yang dikenal sebagai pasar yang berorientasi pada nilai-nilai sosial (soziale marktwirtschaft).

    Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan kedua diakhiri dengan bangkrutnya masyarakat yang menganut pendekatan tersebut. Sedangkan pendekatan pertama, jika tidak diadakan koreksi yang mendasar, akan menuju proses kebangkrutan pula.

    Untuk mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama sebagai bangsa, sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, kita harus belajar dari kesalahan dan kekeliruan orang lain juga kekeliruan kita sendiri. Ingat bahwa dari pendekatan-pendekatan pertama, kedua, dan ketiga oleh para ilmuwan mancanegara telah dikembangkan banyak teori, yang ternyata juga perlu ditinjau kembali.

    Uraian di atas menyadarkan kita bahwa yang harus kita perhatikan dan prioritaskan adalah kepentingan rakyat Indonesia sendiri, sebagai bangsa yang bermartabat yang sedang berjuang menuju cita-cita dengan berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan masalah kepentingan tersebut, kita juga perlu bertanya: Mengapa kita biarkan pemakaian cadangan devisa dari hasil penjualan sumber daya alam kita untuk mengembangan produk militer di luar negeri? 

    Berbagai keadaan yang saya gambarkan sebelumnya dan ditambah lagi dengan berbagai permasalahan lain yang sedang menerpa bangsa kita, seolah telah melahirkan suatu keadaan paradoksal di Indonesia, yang dilukiskan dengan: Kita kaya tapi miskin, merdeka tapi terjajah, kuat tapi lemah, indah tapi jelek.

    Orientasi dan Mentalitas Kasir

    Situasi paradoksal tersebut terjadi karena seolah-oleh kita menderita penyakit orientasi, yaitu wawasan, kebijakan, atau langkah yang sejatinya akan melemahkan produktivitas, daya saing, dan bahkan ekonomi kita yang pada gilirannya akan melemahkan bangsa kita secara keseluruhan. Penyakit orientasi yang saya maksud adalah kita lebih mengandalkan sumber daya alam daripada sumber daya manusia. Selain itu, kita juga lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang (mentalitas kasir).

    Kita lebih mengutamakan citra daripada karya nyata, lebih melirik makro daripada mikro ekonomi, serta lebih mengandalkan cost added daripada value added (more comparative rather than competitive advantages)./ Kita juga lebih berorientasi pada neraca perdagangan dan pembayaran daripada neraca jam kerja, lebih menyukai ‘jalan pintas’ (korupsi, kolusi, penyelewengan) daripada kejujuran dan kebajikan. Kita lebih menganggap jabatan (power)sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable [amanah] orientation).

    Keadaan paradoksal tersebut amat berbahaya kalau tidak segera kita sadari dan koreksi. Koreksi yang dapat kita lakukan ialah dengan ‘penyembuhan’ orentasi atau ‘pelurusan’ orientasi.

    Di samping upaya ‘penyembuhan’ atau ‘penyehatan’ orientasi di atas, kita juga tidak henti-hentinya harus selalu menyegarkan kembali kesadaran sebagai warga bangsa yang ber-Pancasila, beragama, dan mempunyai cita-cita luhur sebagai bangsa yang beradab dan terhormat sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945.

    Kita juga harus menyadari akan betapa besar risiko yang kita hadapi sebagai suatu bangsa apabila keadaan paradoks bangsa tersebut terus berlanjut tanpa adanya kesadaran dan upaya koreksi yang berarti, serius, serta berkesinambungan. Tidak mustahil, kita akan menjadi bangsa yang gagal. Memang, kita perlu memahami kesalahan (kolektif) bangsa-yang diindikasikan dengan ‘penyakit orientasi’-dan kesadaran serta kesungguhan kita untuk melakukan upaya ‘penyembuhan’ yang serius dan berkelanjutan.

    Kita mesti berkeyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama yang tinggi serta memahami dan menguasai mekanisme pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apa pun. Prasyarat merdeka dan bebas telah kita raih bersama untuk masa depan yang lebih sejahtera, tenteram, dan cerah merata bagi kita. Namun, akankah kita dapat meraih cita-cita masa depan kita? Akan ke sanakah kita menuju ? Mau ke mana kita? Quo vadis Indonesia!

  • Evaluasi Diri 2011 dan “Learning by Mistakes”

    Evaluasi Diri 2011 dan “Learning by Mistakes”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 24 Desember 2011
    Memasuki saat-saat akhir tahun seperti ini, sudah menjadi fenomena yang biasa terjadi di sekitar kita dari tahun ke tahun, para profesional memutuskan mengambil cuti agar dapat melaksanakan program liburan bersama keluarga.
    Ya… suasana liburan yang pasti dinanti-nantikan setiap orang. Banyak orang sudah mempersiapkan acara liburan di akhir tahun, me-match-kan jadwal cuti antara suami dan istri yang bekerja, agar dapat berlibur bersama dengan putra-putri mereka yang sudah tidak sabar akan acara liburan bersama keluarga.
    Fenomena ini ditangkap oleh biro-biro travel, bisnis hotel, dan tempat hiburan sebagai peluang emas. Mereka sudah mulai melakukan promo di bulan-bulan sebelum Desember untuk menawarkan paket acara liburan akhir tahun dengan menjamu para keluarga yang melepaskan kepenatan bekerja selama hampir satu tahun.
    Fenomena menarik lainnya yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah suasana Natal. Kita bisa menyaksikan di hotel-hotel, di seluruh pusat perbelanjaan, di public area lainnya, telah dipasang hiasan dan dekorasi Natal. Di kantor-kantor, karyawan juga sibuk merayakan Natal.
    Organisasi-organisasi nonformal pun merayakan Natal bersama untuk membangun ikatan kasih di antara anggota organisasi tersebut, termasuk mempererat ikatan persaudaraan antarumat beragama.
    Keluarga kita atau saudara, tetangga kita juga ada yang sedang mempersiapkan Natal, termasuk menjadi salah satu agendanya adalah tukar-menukar kado sebagai simbolisasi dari giving (memberi). Namun, marilah jangan hanya berhenti di hal-hal tersebut.
    Marilah kita saling mengingatkan agar di akhir tahun seperti ini ada suasana yang tidak kalah penting yang juga harus kita prioritaskan dalam kesibukan kita di akhir tahun, yaitu evaluasi diri 2011. Bahkan, evaluasi diri 2011 ini sangat penting untuk memasuki langkah-langkah baru di tahun depan, yaitu 2012.
    Semua perusahaan dan organisasi di akhir tahun telah melakukan evaluasi pencapaiannya di tahun 2011 melalui raker (rapat kerja), rakor (rapat koordinasi), rapim (rapat pimpinan).
    Dalam acara tersebut dibahas atau di-reviewsemua kegiatan dan program-program yang telah terjadi dan apa saja yang telah dicapai setiap tim kerja yang ada dalam perusahaan tersebut. Evaluasi 2011 tersebut untuk melihat kemajuan apa yang sudah terjadi dan apa yang belum terjadi, atau apakah malah ada kemunduran.
    Yang tidak kalah penting dalam pembahasan evaluasi 2011 adalah apakah yang menjadi hambatan untuk mencapai suatu pencapaian yang ditargetkan. Dengan mengetahui hambatan dan permasalahan intinya, tim kerja yang ditugaskan akan dapat mencari solusinya agar pencapaian yang ditargetkan tidak terhambat lagi di masa yang akan datang.
    Bagaimana dengan evaluasi diri 2011 bagi kita dan keluarga? Pertanyaan-pertanyaan di atas masih relevan untuk kita pakai dalam melaksanakan evaluasi diri 2011.
    Peristiwa apa saja yang telah terjadi di bulan Januari– Desember 2011? Apakah diri kita dan keluarga berhasil melewati masa-masa sulit dan tantangan hidup dengan baik? Tentu saja banyak hal penting dan krusial yang harus kita perbaiki.
    Apa saja hal-hal penting yang harus kita perbaiki agar diri kita, keluarga kita, tim kita lebih berhasil di masa yang akan datang? Bagaimana agar diri kita, keluarga kita, tim kita tidak menyia-nyiakan waktu hidup yang kita miliki, bakat dan potensi diri yang dianugerahkan Tuhan kepada kita?
    Bagaimana agar pada akhirnya diri kita, keluarga kita, dan tim kita dapat memberikan sesuatu yang bernilai tambah bagi kehidupan di dunia melalui bidang profesi dan pekerjaan kita?
    Learning by mistakes yaitu suatu nilai yang sangat baik kita miliki. Kita harus selalu belajar dari kesalahan-kesalahan kita yang telah terjadi. Tidak ada seorang pun yang ingin membuat kesalahan. Tantangan kita adalah apakah kita dapat benar-benar mempelajari kesalahan kita atau kita telah mengabaikan kesalahan-kesalahan tersebut?
    Marilah kita bersama-sama mengambil waktu untuk melihat ke dalam diri, apakah ada kesalahan yang telah terjadi dalam cara berpikir (the way of thinking) kita? Apakah ada kesalahan yang telah terjadi dalam kita berkata-kata (choice of words)?
    Apakah kesalahan yang telah terjadi dalam tindakan-tindakan (actions) kita? Apakah ada kesalahan dalam kebiasaan-kebiasaan (habits) kita, sehingga ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang sulit dihindari?
    Bagaimana dengan karakter dan nilai-nilai kita ketika berhubungan dengan anggota keluarga dan orang lain? Apakah segala sesuatunya sudah sesuai dan sejalan dengan tujuan hidup kita?
    Keep your thoughts positive, because your thoughts become your words.
    Keep your words positive, because your words become your behaviours.
    Keep your behaviours positive, because your behaviours become your habits.
    Keep your habits positive, because your habits become your values.
    Keep your values positive, because your values become your destiny.” (Mahatma Gandhi)
    Marilah kita terus-menerus mengevaluasi diri dan melaksanakan learning by mistakes. Mari kita tetap bersemangat menghadapi tantangan di tahun 2012. Selamat Hari Natal bagi yang merayakannya dan Selamat Tahun Baru 2012.