Author: Adul

  • Bangsa Kuli dan Kuli di Antara Bangsa-Bangsa

    Bangsa Kuli dan Kuli di Antara Bangsa-Bangsa
    Makmur Keliat, PENGAJAR DI FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : SINDO, 3 Januari 2012
    Salah satu tantangan besar yang akan menghadang Indonesia pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang terkait dengan persoalan penyerapan tenaga kerja. Angka statistik yang dikemukakan BPS memang menunjukkan terdapat kecenderungan dalam penurunan tingkat pengangguran terbuka.
    Diperkirakan, hingga Agustus 2011 terdapat sekitar 7,8 juta yang tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan, setahun sebelumnya (Agustus 2010) berada di angka sebesar 8,3 juta dan dua tahun sebelumnya (Agustus 2009) sebesar 9 juta.Kecenderungan initentusajaharusdipandangpositif. Namun harus pula dicatat, tingkat pengangguran yang rendah ini tidak memasukkan angka orang-orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu yang disebut dengan pengangguran setengah terbuka.

    Jika kategori pengangguran setengah terbuka ini dimasukkan maka jumlah orang yang tidak memiliki pekerjaan akan bertambah setidaknya hampir empat kali lipat. Secara kuantitatif, peran sektor negara memang sejak awal tidak pernah dapat diharapkan untuk mengatasi secara substansial masalah puluhan juta orang yang tidak bekerja ini.Lihat misalnya angka-angka yang dikeluarkan oleh Badan KepegawaianNegara.

    Totaljumlah seluruh pegawai negeri di Indonesia diperkirakan berada di kisaran angka 4,6 juta jiwa. Namun masalah penyerapan tenaga kerja ini menjadi semakin serius ketika pemerintah bahkan menerapkan kebijakan zero growth di sektor negara. Dengan kebijakan seperti ini, hampir dapat dipastikan peran pihak swasta akan menjadi sangat vital dalam penyerapan tenaga kerja.

    Tidak hanya tingkat kompetisi di antara para pencari kerja (job seekers) akan semakin meningkat, tetapi kebijakan seperti ini juga akan mengakibatkan sektor negara sebagai salah satu saluran untuk ikut membantu mengatasi persoalan tenaga kerja sementara waktu berhenti atau tidak akan dapat diandalkan.

    Dilema Pekerja

    Disebut sebagai ujung tombak karena kebijakan zero growth itu memaksa para pencari kerja untuk masuk ke pasar tenaga kerja di sektor swasta. Situasi ini tampaknya bukan berita yang menyenangkan bagi pencari kerja khususnya lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun diperkirakan membanjiri pasar tenaga kerja sekitar 300.000 jiwa.

    Tingkat frustrasi sosial dari kelompok ini mungkin akan semakin tinggi.Berbeda dengan pencari kerja tidak terdidik dengan latar belakang pendidikan yang sangat minim, kelompok ini tidak mungkin diharapkan mengikuti karakter utama dari mayoritas pekerja migran yang berangkat ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan kawasanTimurTengah.

    Namun sebaliknya, situasi ini tentu saja akan sangat menyenangkan bagi para investor domestik maupun asing. Kebijakan zero growth akan memberikan daya tawar yang lebih besar bagi sektor swasta vis-avis para pencari kerja. Sistem kontrak dan outsourcing akan menjadi jauh lebih mudah dilakukan ketika para pencari kerjatidakmemilikipilihanlain dan ketika sektor negara telah menutup pintu dan tidak peduli terhadap nasib dari para pencari kerja.

    Terlebih lagi Indonesia belum memiliki tradisi yang kuat untuk melembagakan konsep negara kesejahteraan yang melindungi dan memberikan tunjangan bagi warga negara yang tidak bekerja. UU BPJS sendiri, yang tahun lalu disetujui oleh DPR, belum dapat diberlakukan tahun ini.

    Dampak

    Apakah dampak politiknya bagi Indonesia? Salah satu dampak dari kebijakan zero growth adalah semakin jauhnya negeri ini dari amanat konstitusi. Bunyi Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” terdengar semakin sayup.

    Bunyi pasal ini masih tampak hanya sebagai dokumen tanpa makna.Dalam situasi seperti ini sukar untuk berharap bahwa para penganggur akan memiliki dan memberikan loyalitas yang tinggi bagi kelangsungan hidup negara. Dampak lain adalah pada tingkat psikologis massa.Besarnya angka pengangguran dan susahnya mencari pekerjaan tetap yang melindungi martabat pekerja mengingatkan penulis akan ucapan Soekarno di masa lalu tentang bahaya “menjadi bangsa kuli”dan menjadi “kuli di antara bangsa-bangsa”.

    Situasinya bahkan menjadi jauh lebih serius. Kompetisi yang semakin meningkat di pasar tenaga kerja dan tidak adanya mekanisme dari negara yang dapat memaksa sektor swasta untuk menghormati amanat konstitusional Pasal 28 D ayat 2 setidaknya menyampaikan pesan bahwa untuk menjadi bangsa kulipun idaklahmudah. Tentu saja ada yang masih berharap pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan berada di angka sekitar 6% dapat mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja ini.

    Namun, tanpa adanya daya paksa dari negara terhadap kalangan bisnis besar, tidak ada seorang yang dapat menjamin bahwa tingkat pertumbuhan itu akan mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja tersebut. Dampak lain adalah pada tataran budaya politik. Tidak adanya pekerjaan (baik dalam pengertian pengangguran terbuka maupun setengah terbuka) akan menjadi lahan yang subur untuk mewujudkan praktik- praktik komunalisme politik (political communalism).

    Ciri-ciri darikomunalismepolitikiniadalah kuatnya jaringan patronase di antara elite politik dengan massa melalui ikatan kultural, agama,dan kedaerahan. Lemahnya peran negara dalam memberikan jaminan lapangan kerja sedikit banyak telah mengakibatkan menguatnya peran jaringan patronase elite politik sebagai welfare providerbagi warga negara yang pengangguran maupun yang setengah menganggur.

    Orangorang yang tidak bekerja ini akan sangat mudah digerakkan oleh elite politik untuk melakukan tekanan-tekanan ekstra parlementer, baik berupa demonstrasi maupun konflik kekerasan lain dengan insentif yang terbatas. Ringkasnya, tidak akan ada keajaiban pada 2012 ini.Hampir bisa dipastikan bahwa sepanjang tahun 2012 bangsa Indonesia masih akan terus semakin bergulat dengan persoalan meloloskan diri dari jebakan“bangsa kuli”dan“kuli di antara bangsa-bangsa”!

  • Freeport, Mesuji, dan Sape

    Freeport, Mesuji, dan Sape
    Bambang Setiaji, REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : SINDO, 3 Januari 2012
    Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kasus Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) dan Sape (NTB) juga sebelumnya belum kering darah pejuang buruh di Freeport?
    Yaitu keberpihakan politik ekonomi pemerintah terhadap kekuatan modal dan asing berhadapan dengan usaha rakyat atau nasib rakyat. Negara sudah gagal merumuskan politik ekonomi yang tepat dan hanya mengalir dengan dalih demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Memang investasi baik domestik maupun asing sangat diperlukan terutama untuk menciptakan berbagai bisnis yang dapat mengurangi tekanan pengangguran—yang harus dijadikan sasaran kebijakan ekonomi.

    Pengangguran adalah berarti kefakiran atau ketiadaan penghasilan yang merupakan puncak dari kemiskinan. Di samping pengangguran terbuka,berjuta rakyat berada pada pekerjaan transitori atau pekerjaan ala kadarnya yang bersifat sementara sambil menunggu pekerjaan yang lebih permanen. Pentingnya investasi tersebut tidak berarti modal dapat berbuat apa saja,tapi harus terdapat skenario yang dibimbing oleh akal sehat.

    Membiarkan semua kekuatan modal yang sering dapat memainkan apa saja atau menggiurkan siapa saja, termasuk membeli berbagai perizinan tentu akan mematikan usaha rakyat. Lebih dari itu ternyata harus dibayar sampai tertumpahnya darah rakyat yang tentu saja marah ketika satu satunya lahan atau usaha bisnisnya dilindas atas nama kompetisi atau liberalisasi, demokrasi, dan keterbukaan.

    Di negara penganjur liberalisme seperti Amerika Serikat kebebasan tidak sampai melindas atau bersaing mematikan untuk melindungi usaha dasar seperti pertanian dan usaha kecil. Persaingan yang mematikan dilarang dengan Undang-Undang Antipersekongkolan.

    Sebagai negara yang lebih sosialis sebagaimana amanat UUD 45 yang dilukiskan sebagai “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, sehingga kompetisi dan kekuatan modal tidak dapat dibiarkan melindas sektor-sektor yang dapat dikerjakan rakyat atau yang akan menyengsarakan rakyat.

    Usaha Rakyat

    Dalam kasus Mesuji misalnya rakyat sudah memiliki tanah secara turun-temurun dalam jumlah yang cukup untuk menopang keluarga. Akan tetapi, yang diperlukan kebijakan yang mengarahkan agar modal tidak berada atau berbenturan pada sektor yang bisa dilakukan rakyat, tapi pada industri pengolahannya. Industri pengolahan ini akan sangat berperan dalam menyerap hasil produksi rakyat dan memberi lapangan kerja tambahan bagi keluarga sekitarnya.

    Demikian juga di NTB dan di beberapa tempat yang lain, kolaborasi dapat dilakukan dengan memisahkan sektor yang dapat dikerjakan rakyat dan sektor yang sebaiknya dikerjakan kekuatan modal. Itulah makna ekonomi disusun dalam usaha bersama yang sangat berbeda dengan politik ekonomi dewasa ini yang sangat liberal. Saat ini swasta dan modal dapat berperan di sekor apa saja dan malangnya disertai menggusur apa yang sudah dapat dilakukan rakyat.

    Situasinya dapat digambarkan seperi zaman kolonial di mana sektor bisnis besar VOC menggusur usaha rakyat disertai kekerasan yang diperkuat kekuatan bersenjata. Di sektor kehutanan yang di dalamnya terdapat masalah pelestarian yaitu tanggung jawab menanam kembali, rakyat sudah terbukti dapat melestarikan bahkan secuil tanah dalam industri pertanian.Bisa dimodelkan misalnya satu keluarga melakukan bagi hasil dengan pemerintah dengan jalan mengelola hutan.

    Misalnya umur kayu dua puluh tahun, seorang keluarga mengelola 20 hektare dan memanen satu tahun satu hektare. Hasilnya dibagi dengan negara, tentu rakyat akan menjaganya untuk penanaman kembali sebagai tradisi sebagaimana pelestarian padi dan sawah selama ini yang terbukti betapa rakyat sangat committed. Pada prinsipnya ekonomi kekeluargaan adalah ekonomi yang dipikirkan supaya pasar yang diizinkan beroperasi secara normal tidak berbenturan atau menyakiti atau melindas usaha rakyat.

    Di dalamnya ada kebaikan hati atau keberpihakan. Keberpihakan ini juga tidak boleh semena-mena yang dapat diselewengkan menjadi tindakan korup. Kejujuran harus menjadi sistem yang menyertai yang dirumuskan secara cerdas, jadi di samping kebaikan hati, ekonomi kekeluargaan juga memerlukan kecermatan sistem yang dengan cerdas dirancang supaya sehingga terhindar dari penyelewengan dari tujuannya yang mulia.

    Kendali Modal

    Corak ekonomi dalam satu dekade ini sangat mengusik rasa keadilan. Pertama, ekonomi tumbuh dan mencapai pendapatan per kapita USD3000 atau hampir Rp30 juta per orang per tahun,tetapi sebagian besar rakyat hidup dengan upah minimum kurang dari Rp1 juta per bulan untuk satu keluarga kecil. Dengan kata lain selama satu dekade ini ekonomi menjadi sangat timpang. Kedua,ekonomi mengalami pertumbuhan yang terjadi pada sekelompok kecil pelaku ekonomi, tetapi kelihatannya dengan menyisihkan usaha rakyat.

    Kondisi ini disertai pula dengan pengangguran yang senantiasa meningkat yang merupakan angkatan kerja yang penuh harapan selepas dari sekolah menengah dan bahkan pendidikan tinggi. Ketiga, kekuatan modal tidak diarahkan misalnya untuk masuk kepada industri pengolahan dengan membawa teknologi baru yang diperkenalkan kepada tenaga kerja Indonesia.

    Keempat, modal berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata karena modal memiliki potensi benturan kepentingan dengan masyarakat atau bersifat substitusi dan bukannya komplementer di mana modal mengambil peran di sektor sekunder dan tersier yang justru mewadahi usaha rakyat.

    Akhir dari cerita ini bisa dibayangkan bahwa apa yang sedang terjadi selama ini adalah absennya politik ekonomi atau keberpihakan yang dipikirkan dengan akal sehat yang mengarahkan kekuatan ekonomi menuju sasaran keadilan dan kekeluargaan atau kolaborasi antarpelaku yang kokoh sebagaimana dibayangkan dalam model ekonomi UUD 45.

  • Menuju Seleksi Kolektor

    Menuju Seleksi Kolektor
    Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, PENULIS BUKU, DAN ESAIS KEBUDAYAAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 3 Januari 2012
    Pada minggu kedua Desember 2011, sejumlah koleksi dr Oei Hong Djien (OHD) dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pergelaran bertitel “Pameran Pilihan OHD Museum” itu diadakan sebagai kegiatan paralel Bienal Seni Rupa Jakarta, yang berlangsung di belasan tempat di Jakarta. Dua minggu kemudian, koleksi lain Museum OHD dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Penampilan di dua tempat ini terikat dalam satu tujuan: memperkenalkan kembali kekuatan seni lukis karya-karya para maestro, seperti Affandi, Hendra Gunawan, Lee Man Fong, Sudjojono, Trubus, Kartono Yudhokusumo, Ahmad Sadali, dan Widajat.
    OHD berpidato dalam acara pembukaan pameran tersebut. “Pameran ini bertujuan agar generasi muda tahu bahwa sebelum kehebohan seni media baru kontemporer yang sering centang-perenang itu, ada seni rupa yang dilahirkan dengan penuh perhitungan dan tertib. Seni itu bernama lukis, yang sampai sekarang terus hidup dan memiliki aura.”
    Agaknya OHD melihat bahwa akhir-akhir ini sebagian seni rupa Indonesia digoyang wacana isu kontemporerisme yang keliru. Akibatnya, banyak perupa yang hanyut dalam arus pendapat yang meyakini bahwa seni rupa harus mengacu pada “bentuk-bentuk baru” sambil mengubur “bentuk-bentuk lama”. Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk baru” adalah karya seni multimedia atau media baru. Adapun “bentuk lama” adalah seni lukis dan sejumlah seni spesialisasi lain, yang tiba-tiba dimarginalisasi sebagai seni “konvensional” belaka.
    Padahal, apabila membaca dengan cermat puluhan pameran besar dan penting yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia, realitas “kematian” seni lukis dan saudara sepantarannya itu tidak pernah ada. Seni lukis–sebagaimana seni patung dan seni grafis–tak pernah sekali pun mati. Bahkan, di sejumlah negara, seni lukis hadir dengan kreativitas yang semakin baru, dengan produktivitas yang luar biasa. Benar ada pelaku seni spesialis yang ikut masuk dalam gelora seni kontemporer dengan mengusung seni media baru. Namun kehadiran mereka hanya sebatas sebagai “penyumbang yang melintas”, untuk kemudian bekerja lagi dalam studio spesialisasinya. Bahkan, bagi sebagian perupa spesialis, kehebohan seni media baru dianggap sebagai rekreasi rehat kopi saja.
    Nilai Rendah
    Pada 2011, euforia seni media baru memang menjadi-jadi. Karya-karya itu dimunculkan dalam aneka pameran program galeri, dan pameran akbar seperti bienale. Bahkan inti materi Bienal Yogyakarta dan Bienal Jakarta adalah seni media baru. Sementara itu, seni rupa konvensional, seperti seni lukis atau patung, hanya dipakai sebagai pendamping, yang disebut parallel biennale. Hanya Bienal Jawa Timur yang masih menyisakan toleransinya terhadap seni rupa “konvensional”, seperti seni lukis dan patung.
    Kebijakan trendi dan overprogresif seperti ini akhirnya memberi tanda-tanda kurang obyektif dalam memandang panorama perkembangan seni rupa. Sebab, tendensi untuk sekadar mengangkat kecenderungan populis demi menunjukkan “kemajuan” hanyalah strategi industrial, bukan kebijakan seni rupa. Pada pameran-pameran internasional di negeri maju, eksistensi jenis karya seni tak pernah dibunuh agar kursinya bisa dipakai oleh seni baru. Maka, selain meluhurkan karya gila Cesar Baldaccini, Bienal Venesia membanggakan grafis lembut Yayoi Kusama. Bienal Beijing menjunjung seni media baru Damien Hirst, tapi juga memajang karya patung Jiang Shuo dan Wu Shaoxiang.
    Dari berbagai pameran seni rupa Indonesia pada 2011, tentu banyak karya media baru yang bermutu. Ciptaan Aditya Novali dalam pameran tunggal yang digelar Galeri Canna di Jakarta Art District, Jakarta, misalnya. Karya Jompet Kuswidananto, Krishna Murti, dan instalasi Octora yang dipajang dalam Bienal Yogyakarta. Seni instalasi magisme modern karya House of Natural Fiber (HONF). Juga karya estetik F.X. Harsono, yang kemudian diusung ke beberapa negara.
    Namun, di sebelah yang bagus-bagus itu, tak sedikit karya kontemporer yang menawarkan nilai rendah. Gawatnya, karya-karya buruk tersebut umumnya diberi porsi besar dalam presentasinya. Karya Stefan Buana dalam pameran “Documenting Now” sebagai contoh. Karya yang mengambil sebagian besar lantai galeri Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyajikan gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran yang terekspos jelas. Dalam sebuah pameran di Galeri Nasional Indonesia, pegrafis ulung Tisna Sanjaya menaruh gubuk reyot terbuat dari seng karatan. Apa yang didapat dari karya seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?
    Perupa memang sah untuk tampil di hadapan masyarakat dengan karya apa saja dan apa pun mutunya. Penyelenggara pameran dan kurator sah pula menghadirkan kebebasan pilihan mereka. Namun masyarakat penikmat mempunyai hak untuk menyuguhi diri karya seni rupa yang bisa menghiasi pandangan mata, mengisi jiwa-rasa, membersihkan hati, dan menggerakkan kehidupan mereka.
    Meminjam Mata
    Melihat situasi ini, para penikmat seni rupa lantas sadar akhirnya harus ada pintu baru dan ruang alternatif untuk menyaksikan karya-karya seni yang terseleksi baik. Munculnya pameran koleksi OHD membuat mereka berpikir bahwa banyak kolektor lain di Indonesia yang bisa dipinjam matanya dan dipercaya seleksinya untuk memberikan hidangan seni rupa yang menarik bagi banyak orang. Dengan begitu, bukannya tidak mungkin pada 2012 akan digelar beragam koleksi pilihan simpanan kolektor Indonesia, yang diketahui memiliki nilai luar biasa. Kita tahu, dari sekitar 500 kolektor aktif Indonesia, sekurang-kurangnya ada 40 yang bisa disebut sebagai connoisseur, atau kolektor sejati. Banyak yang berkeyakinan karya yang ada di tangan connoisseur adalah inti sari dari seleksi penyelenggara pameran dan kurator.
    Sudah waktunya kita mengapresiasi penglihatan dan pembacaan seni kolektor Indonesia. Buktinya, simak realitas ini. Majalah seni internasional Art+Auctionedisi 5 Desember 2011 memuat nama kolektor Budiardjo Tek sebagai salah satu dari Top 10 Most Influential Persons di dunia. Namanya sejajar dengan kolektor Sheikha al-Mayassa binti Hamad bin Khalifa al-Thani dari Qatar, Eli Broad dan Peter Brant dari Amerika Serikat, Dasha Zhukova dari Rusia, serta Francois Pinault dari Prancis. Siapa Budiardjo Tek? Banyak yang tidak tahu. Bayangkan, kolektor yang kurang dikenal saja hebat, apalagi yang populer seperti Jusuf Wanandi, Deddy Kusuma, Ir Ciputra, Tossin Himawan, Budi Setiadharma, dan Wiyono.
    Pada 2012, mata-mata kolektor ini akan ditemani “mata kompetisi”. Sebab, pada Tahun Naga ini akan terselenggara berbagai kompetisi seni rupa, di antaranya Jakarta Art Awards (seni lukis), Indonesia Art Awards (seni rupa), UOB Painting of the Year Awards (seni lukis), Bazaar Art Awards (seni rupa), dan Bandung Contemporary Art Awards (seni rupa). Kompetisi ini akan dinilai bukan cuma oleh kritikus dan kurator, tapi juga oleh kolektor!  
  • Anatomi Pengaduan Konsumen 2011

    Anatomi Pengaduan Konsumen 2011
    Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 3 Januari 2012
    Konsumen, dalam konteks sosio-ekonomi, seharusnya mempunyai peran yang amat strategis, bahkan setara dengan pilar ekonomi yang lain, yakni pelaku usaha (produsen). Namun realitasnya, fenomena itu acap tak terjadi: daya tawar konsumen amat lemah saat berhadapan dengan pelaku usaha, atau bahkan dengan pemerintah. Ini tecermin manakala pemerintah tidak aware akan persoalan yang dihadapi konsumen, baik yang bersifat mikro (sehari-hari), apalagi yang bersifat sistemik.
    Data pengaduan konsumen Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada 2011–yang tersebar dalam berbagai komoditas ataupun kasus-kasus konsumen yang aktual, mengindikasikan hal itu. Selama 2011, Bidang Pengaduan YLKI telah menerima pengaduan konsumen secara tertulis sebanyak 525 kasus, dengan sebaran kasus “sepuluh besar” sebagai berikut: pertama, permasalahan perbankan 112 kasus (20,9 persen); kedua, permasalahan perumahan 76 kasus (14,3 persen); ketiga, permasalahan jasa telekomunikasi/multimedia 66 kasus (13,6 persen); keempat, permasalahan pelayanan ketenagalistrikan 57 kasus (11,3 persen); kelima, permasalahan pelayanan air oleh PDAM 38 kasus (7,5 persen); keenam, permasalahan pelayanan transportasi 32 kasus (6,4 persen); ketujuh, permasalahan leasing 22 kasus (4,7 persen); kedelapan, permasalahan otomotif 17 kasus (3,4 persen); kesembilan, permasalahan jasa wisata 11 kasus (1,9 persen); dan sisanya, kesepuluh, kasus pengaduan “lainnya”. Selain itu, YLKI banyak menerima pengaduan serupa via telepon, e-mail, dan media jejaring sosial. Tapi pengaduan dimaksud tidak bisa ditindaklanjuti karena tanpa bukti-bukti dan alamat yang jelas. Berikut ini analisis singkat pengaduan dimaksud.
    Kasus Perbankan
    Masalah perbankan masih didominasi oleh pengaduan kartu kredit. Konfigurasi persoalan kartu kredit masih seputar perilaku debt collector yang tidak manusiawi dalam berinteraksi dengan konsumen, sekalipun karena konsumen tidak bisa membayar tagihannya. Jika dikaitkan dengan kasus aktual yang menimpa nasabah Citibank (kasus Irzen) yang meninggal, data pengaduan YLKI terbukti sangat relevan. Selain masalah perilaku debt collector, masalah kartu kredit yang signifikan adalah hilangnya kartu kredit milik konsumen, tapi pihak bank sangat lambat dalam merespons pengaduan konsumen. 
    Petugas customer servicebank sering hang jika dihubungi konsumen (tidak responsif), sehingga dalam waktu singkat account kartu kredit milik konsumen dibobol si maling. Bank terbukti tidak cekatan (tidak protektif) dalam menangani pengaduan konsumen. Bank Indonesia memang telah mengeluarkan regulasi baru terkait dengan hal ini. Misalnya, konsumen hanya boleh memiliki maksimum dua buah kartu kredit. Syarat minimal penghasilan pun menjadi makin ketat. Namun BI belum mampu membuat aturan yang tegas terkait dengan praktek debt collector, yang acap merugikan konsumen perbankan, khususnya nasabah kartu kredit.
    Kasus Perumahan
    Karakter pengaduan masalah perumahan masih terlihat konservatif dan ironis. Sebab, persoalan yang terjadi masih seputar pembangunan perumahan oleh developer yang tidak terwujud, plus penyerahan sertifikat rumah yang acap terlambat. Hal ini menunjukkan pengawasan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat (Kementerian Perumahan Rakyat) maupun pemerintah daerah sangat lemah, terutama terkait dengan pemberian izin. Pemerintah tidak selektif dalam memberikan izin operasional dan izin lokasi kepada developer. Dengan demikian, developer tidak memenuhi janjinya kepada konsumen, atau bahkan uang konsumen yang telah dibayarkan secara lunas dibawa kabur oleh developer.
    Kasus Telekomunikasi
    Kasus pencurian pulsa menjadi paling dominan dalam kasus ini. Memang setelah kasus ini mendapat sorotan publik secara meluas, terlihat kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mulai menggeliat. Misalnya, BRTI mengeluarkan surat edaran kepada semua operator dan content provider untuk mengembalikan pulsa milik konsumen yang telah dicaplok secara sepihak. Pada konteks mikro, langkah BRTI sudah benar, karena memang itu yang menjadi tuntutan konsumen. Namun BRTI lupa (atau sengaja), karena langkah itu tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan proses pengembalian pulsa dimaksud. Bagaimana, misalnya, jika konsumen yang pulsanya sudah dicaplok itu telah meninggal, dan/atau telah mematikan akses kartu prabayarnya? Pada konteks makro, baik Kementerian Komunikasi, BRTI, maupun kepolisian belum melakukan langkah signifikan untuk membongkar kasus pencurian pulsa yang patut diduga ada “mafia” yang bermain di belakangnya ini. Ataukah kasus ini sengaja “diendapkan” karena ada dugaan partai politik tertentu ikut bermain dalam kasus pencurian pulsa ini?
    Public Services?
    Selain kasus perbankan, perumahan, dan pencurian pulsa, pengaduan di YLKI memberi tengara bahwa masalah pelayanan publik patut dipertanyakan, khususnya yang terwakili oleh pengaduan kelistrikan (PT PLN), pengaduan air (PDAM), dan pengaduan layanan transportasi. Benar bahwa manajemen PT PLN–yang dikomandani Dahlan Iskan–telah berhasil mengatasi pemadaman bergilir di berbagai daerah. Namun kini karakter pengaduan masalah listrik bergeser seputar penertiban pemakaian tenaga listrik. Adapun pengaduan masalah air PDAM (berikut mitra swastanya) juga masih mengenaskan. Sebab, karakter pengaduannya tidak beranjak dari masalah kualitas air yang tidak memenuhi standar (berbau, kotor, dan lain-lain), plus frekuensi aliran air yang tidak menentu. Lalu apa gunanya Pemerintah Provinsi Jakarta bermitra dengan swasta asing jika kualitas pelayanannya masih kedodoran?
    Kesimpulan, Saran
    Seharusnya pelanggaran hak-hak dasar konsumen–yang kemudian konsumen menjadi subordinat dalam sistem ekonomi makro–tidak akan pernah terjadi jika semua pihak (pemerintah dan pelaku usaha) serius menegakkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Plus, dalam konteks kualitas pelayanan publik, pemerintah konsisten mengimplementasikan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengamanatkan adanya standar pelayanan yang jelas (standar pelayanan minimal). Tidak cukup bagi pemerintah piawai dalam membuat suatu undang-undang untuk melindungi konsumen dan publik secara luas, tapi kemudian memble dalam pengawasan serta penegakan hukumnya.
  • Negeri Dikendalikan Kapital

    Negeri Dikendalikan Kapital
    Benny Susetyo, SEKRETARIS DEWAN NASIONAL SETARA/KOMISI HAK KWI  
    Sumber : SINDO, 3 Januari 2012
    Refleksi akhir tahun di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) para tokoh agama melihat sumber kekerasan terjadi akhir ini disebabkan banyak faktor.Ada faktor yang memengaruhi mengapa kekerasan tiba-tiba memuncak karena elite politiknya dikendalikan oleh pemilik modal.
    Kebijakan publik tidak lagi menyentuh harkat dan martabat kemanusiaan karena pemilik modal begitu kuat menguasai kehidupan sehari-hari. Rakyat sekadar hiasan belaka, bukan lagi berdaulat atas sumber daya alam,tanah,dan air.Mereka terusir di tanah kelahirannya. Inilah salah satu faktor pemicu kekerasan muncul karena tiadanya penghormatan terhadap martabat rakyat.

    Aparatus negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru, bersama para preman, menjadi kaki tangan pemodal untuk membantai rakyat yang melakukan aksi protes. Inilah gambaran suram negeri yang kita cintai ini.Pada 2011 semuanya menjadi semakin jelas kepada siapa negara berpihak saat rakyat kecil diinjak-injak.Saat elite negara mulai bersekutu dengan modal, negara pun semakin menjauhi keadaban publik.

    Maka memasuki 2012 ini pertanyaan besar yang mengemuka di depan kita, sanggupkah kita melakukan perubahan radikal untuk melahirkan keadaban publik baru dengan mengembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas selama ini. Kedaulatan rakyat yang dinyatakan selama ini sekadar kata-kata tanpa makna.Nyata tiada realitasnya.Kedaulatan rakyat hanyalah bahan pidato para pejabat.

    Dalam realitas kehidupan sehari-hari, yang berdaulat sesungguhnya yang berkuasa, memiliki jabatan, dan mau bersekutu dengan para pemodal. Menghadapi situasi politik birokrasi yang makin nepotis dan penuh dengan kolusi, para pebisnis perlahanlahan memasuki dunia hitam. Bersekongkol untuk menghabisi rakyat kecil dengan berbagai cara.

    Sekutu Elite-Pemodal

    Harus dipahami, tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik sebaik-baiknya, bukan memilikinya.Kekayaan publik semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama.

    Rumusan ini sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. Sayangnya, para pejabat publikkerapkalitidakmemiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana penegasan dalam konstitusi tersebut.Konstitusi kerapkali ditafsirkan secara sembarangan dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata.

    Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat kebijakan kerapkali bermain mata dengan pasar, dan sering berkolaborasi dengan komunitas bisnis hitam. Para pebisnis hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang kerapkali merugikan masyarakat. Alam Indonesia kering disedot oleh para mafia ini.

    Di tingkat akar rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Seringkali ini sebenarnya sekadar upaya mengalihkan masalah lebih besar,yakni rusaknya keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi undang dengan kekuatan pasar hitam. Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik- baiknya dan seadil-adilnya.

    Badan publik selalu dipenuhi dengan “titipan politik”. Mereka kerapkali direpotkan manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai dan pribadi. Karena itu, optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan publik negara.

    Ketidakberdayaan Negara

    Kepercayaan yang semakin meluntur kepada aparat pemerintah diperkuat dengan pemerintah yang kerap abai terhadap penderitaan rakyat. Ini semua melahirkan jurang sengsara yang semakin dalam. Kenyataan sosial menunjukkan kehidupan semakin sulit, persaingan yang semakin tidak wajar karena regulasi yang tak memihak kaum lemah, upaya mencari pekerjaan yang semakin sulit,dan seterusnya.Banyak kejadian yang mencoreng muka bangsa ini pada 2011.

    Sebagian besar dipertontonkan dalam sebuah pertunjukan ketidakberdayaan negara mengemban fungsi aslinya sebagai pelindung warga.Negara justru terjebak dalam permainan dengan konglomerat hitam untuk tujuan politik kekuasaan tertentu. Sepak terjang politisi masih jauh dari harapan rakyat. Mereka kerap dinilai semakin memuakkan. Itulah alasan utama mengapa rakyat pun sering melakukan tindakan di luar kontrol.

    Mereka tidak segansegan melakukan penghakiman massa, pembakaran, dan tindakan-tindakan anarkistis. Itu semua merupakan puncak dari kekesalan dan apatisme yang kuat terhadap peran negara. Potensi kekerasan ini pun semakin lama semakin meluas dalam berbagai segi, level,dan sebab. Sebuah pertanyaan tersisa dari tahun-tahun sebelumnya kembali mencuat.

    Sejumlah tokoh pun silih berganti bersuara cemas.Mengapa aparat negara justru kerap dituding sebagai biang kerok berbagai pelanggaran HAM dan konstitusi? Mengapa pemimpin seolah diam menyaksikan semua tragedi itu tanpa langkah konkret pemihakan terhadap rakyat kecil sebagai korban? Kita pun bertanya, di mana aparatus negara yang seharusnya berfungsi mengemban tugas untuk melindungi rakyat dan menciptakan ketenteraman?

    Dari berbagai persoalan yang ada, begitu muram memikirkan wajah masa depan bangsa ini. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan sebuah loncatan berpikir yang tidak hanya bersikap reaktif serta hanya mementingkan kelompoknya. Dibutuhkan keseriusan semua elit politik untuk duduk bersama dalam menyikapi berbagai kekerasan yang potensial mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa ini. Perubahan sekarang juga! Atau melihat Indonesia akan segera masuk museum sejarah.

  • Mutu Para Dai Kita

    Mutu Para Dai Kita
    Abdul Moqsith Ghazali, EDITORIAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 2 Januari 2012
    “Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.”
    Setiap agama meniscayakan para pengkotbah. Tak terkecuali Islam. Dalam Islam, pengkotbah itu disebut dai, muballigh, atau khatib. Dai berarti sang penyeru, muballigh bermakna sang penyampai, dan khatib biasanya ditujukan pada pengkotbah pada ibadah Jum’at. Semuanya berpidato di depan publik untuk menyeru pada kebaikan dan menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam. Karena itu, posisi para dai amat strategis. Di tangan para pengkotbah itu nasib suatu agama ditentukan. Jika satu agama menghimpun para dai yang mumpuni-andal, maka agama itu akan tampak mumpuni. Tapi, sebaliknya, di tangan para pengkotbah yang berilmu dangkal, berwawasan sempit, maka agama itu akan tampak tak relevan, kuno, dan terbelakang.
    Pada tahun 80-an hingga 90-an, umat Islam Indonesia memiliki dai-dai nasional yang cakap dan memukau. Di antaranya adalah KH Syukron Makmun, KH Manarul Hidayat, KH Zainuddin MZ. Penguasaan mereka terhadap sejarah pemikiran dan peradaban Islam cukup luas. Mereka tak hanya bisa membaca al-Qur’an dengan baik, melainkan juga sanggup menafsirkannya secara lebih kontekstual. Ini mungkin karena pengetahuan bahasa Arab mereka memadai sehingga dimungkinkan untuk melahap tumpukan referensi utama Islam. Dengan ilmu yang cukup, ditunjang suara bariton yang menggelegar dan kemampuan menyelipkan humor-humor cerdas menyebabkan para dai itu memiliki kemampuan pengendalian massa, yang besar sekalipun. Ribuan orang seperti terhipnotis. Orang-orang yang mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ dibuat tak kuasa untuk tak memperhatikannya walau hanya beberapa menit. Zainuddin MZ dikenal memiliki kecakapan bertutur yang sistematis, berbahasa indah dengan retorika yang tak biasa.
    Lain dulu, lain juga sekarang. Para dai yang muncul di akhir tahun 90-an atau 2000-an beda. Tak banyak dari mereka yang memiliki pengetahuan sejarah Islam, fikih Islam, dan tafsir al-Qur’an yang tangguh. Bahkan, ilmu-ilmu keislaman yang dimiliki sebagian dari mereka jauh di bawah standar sebagai seorang dai. Dai yang sempat kondang lalu menguap, Abdullah Gymanstiar, sering keliru dalam membaca panjang-pendek ayat al-Qur’an. Jefry al-Bukhari tak jauh beda. Kepercayaan diri dan kemampuan olah vokal yang coba ditunjukkannya di depan pemirsa televisi tak bisa menyembunyikan keterbatasannya dalam soal membaca al-Qur’an. Kemampuan Soleh Mahmud alias Solmed pun tak lebih baik dari seniornya, Jefry al-Bukhari. Dari lisan para dai yang bermutu rendah ini tak ayal kalau kita mendengar pernyataan dan pendapat keislaman yang naif, banal, dan musykil.
    Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.
    Kedua, jadwal “manggung” dan “tayang” yang padat menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk belajar, meningkatkan mutu diri. Waktunya dihabiskan di jalan untuk berdakwah, dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi lain. Duduk untuk membaca buku-buku keislaman tak mudah dilakukan. Itu sebabnya, kita akan disuguhi materi dakwah yang memutar. Satu materi yang sudah diputar di satu tempat akan diputar kembali di tempat lain, tak ubahnya seorang penyanyi yang menyanyikan lagu sama di berbagai tempat dengan kostum yang berbeda. Hanya untuk menghindari rasa bosan dan mengusir kantuk yang mendera para jemaah, para produser televisi biasanya mensiasatinya dengan menghadirkan para bintang tamu seperti artis-selebritis. 
    Bagaimana menghadapi kenyataan itu? Kita tahu, para dai yang muncul di era digital ini pada umumnya masih belia. Lahir rata-rata tahun 70-an bahkan 80-an. Sehingga kita masih bisa berharap agar mereka bisa memperbaiki kualitas diri. Yang tak bisa baca al-Qur’an, segera belajar baca al-Qur’an. Yang tak menguasai bahasa Arab, cepat belajar bahasa Arab. Yang tak mengerti detail-detail hukum Islam, buruan mengaji pada para ahli hukum Islam.  Jadual yang penuh tak boleh dijadikan alasan para dai untuk berhenti membaca buku dan belajar pada ulama yang shalih nan arif. Dengan cara belajar yang tanpa henti itu, kita akan menyaksikan para dai yang tak hanya menenangkan secara spiritual tapi juga mencerahkan secara intelektual.

  • Kenapa Dunia Islam Terbelakang?

    Kenapa Dunia Islam Terbelakang?
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 2 Januari 2012
    Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
    Pertanyaan tentang kenapa dunia Islam terbelakang sudah kerap dikemukakan sejak lama. Orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan ini adalah Amir Syakib Arsalan (1869-1946), seorang aktivis, pemikir dan sastrawan dari Libanon yang terkenal karena bukunya yang berjudul Limadza Ta’akhkhar al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Kenapa Umat Islam Terbelakang, dan Kenapa Umat Lain Maju). Buku ini terbit pertama kali sebagai sebuah artikel panjang di Majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rashid Ridha di Mesir pada pada 1936. Belakangan, artikel itu diterbitkan sebagai buku pada 1940 dengan kata pengantar oleh Rasyid Ridha.
    Kisah bagaimana buku ini terbit menarik untuk dituturkan di sini. Buku Arsalan itu ditulis sebagai respon terhadap pertanyaan yang diajukan oleh seorang pembaca Majalah Al-Manar dari Jawa bernama Muhammad Basuni Imran. Surat itu dikirim ke redaksi Al-Manar pada bulan Rabi’ al-Akhir 1248 H (1929 M).
    Oleh Rashid Ridha pertanyaan itu kemudian dikirim ke Syakib Arsalan. Yang terakhir ini langsung tergerak menuliskan jawaban. Kebetulan saja, saat menerima surat pertanyaan dari tanah Jawa itu, ia baru saja kembali dari perjalanan ke Andalusia, negeri yang dulu, selama kurang lebih tujuh abad, berada di bawah kekuasaan Islam (711-1492), dan kemudian direbut kembali oleh bangsa Kristen di Eropa dalam peristiwa yang dikenal dengan “reconquista”. Kenangan akan hilangnya tanah Islam itu membuat Arsalan sedih. Tepat pada saat itulah, ia menerima surat dari Jawa. Dalam waktu tiga hari ia menyelesaikan bukunya itu.
    Apa penjelasan Arsalan tentang kemunduran dunia Islam? Ada dua. Pertama,  dalam pandangan Arsalan, bangsa-bangsa non-Muslim maju karena mereka tetap berpegang pada tradisi keagamaan mereka sendiri. Arsalan menyebut dua contoh: Jepang dan Eropa, simbol kemajuan dunia pada awal abad ke-20. Dua dunia itu maju tanpa harus mengabaikan tradisi keagamaan mereka. Penjelasan kedua, bangsa-bangsa itu maju karena kerja keras untuk meraih kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
    Dalam pandangan Arsalan, kemajuan bangsa-bangsa Islam hanya bisa dicapai melalui jalan yang sama yang ditempuh oleh bangsa-bangsa non-Islam, yakni berpegang pada tradisi, serta kerja keras. Hukum kemajuan berlaku secara “konsisten” bagi bangsa Islam dan non-Islam. Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
    “Jihad” adalah kata kunci yang disebut oleh Arsalan. Tetapi, ini bukanlah jihad dalam pengertian “perang suci” sebagaimana kita jumpai pada kelompok Islam garis keras. Baginya, jihad adalah kerja keras dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan (al-tadlkhiyah).
    Jawaban Arsalan, di mata kita sekarang, mungkin terasa sederhana dan simplistik. Tetapi, ada pengamatannya yang cukup tajam dan, saya kira, masih relevan hingga saat ini. Gagasannya bahwa kemajuan harus bertopang pada tradisi, bukan malah memusuhinya, saya kira senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh banyak ilmuwan sosial pada abad ke-20.
    Robert Wuthnow, seorang profesor sosiologi dari Universitas Princeton, misalnya, mengemukakan tentang pentingnya peran “community of discourse” dalam tiga perubahan penting di Eropa: Reformasi Protestan, Pencerahan, dan Revolusi Sosialis. Apa yang oleh Wuthnow disebut sebagai “komunitas wacana” adalah suatu arena perdebatan, di mana tradisi dan kekinian saling berdialog. Unsur tradisi sangatlah penting di sana. Suatu komunitas wacana menjadi kurang bermakna tanpa suatu tradisi yang melatarinya. Apa yang dikemukakan oleh Wuthnow menggaungkan sebagian apa yang telah dikemukakan oleh Arsalan sebelumnya, tentang pentingnya konteks tradisi dalam mencapai suatu kemajuan.
    Pertanyaan tentang alasan kemunduran dunia Islam terus bertahan hingga saat ini. Sebuah tulisan pendek yang cukup provokatif yang ditulis oleh seorang penulis Pakistan, Dr. Farrukh Saleem, menarik untuk kita simak sejenak. Judul artikel itu “Why are Jews so powerful and Muslim so powerless?”, dimuat di situs Blitz yang didirikan oleh Salah Uddin Shoaib Choudhury, seorang wartawan Bangladesh yang mendedikasikan diri untuk melawan ideologi kaum Jihadis Muslim. Dalam artikelnya itu, Saleem mengemukakan sejumlah data yang menarik (validitas data-data ini bisa saja diperdebatkan).
    Inilah sejumlah data perbandingan yang dikemukakan oleh Saleem. Jumlah bangsa Yahudi di seluruh dunia saat ini adalah 14 juta. Sementara jumlah umat Islam adalah 1,4 milyar. Tetapi, keunggulan numerik umat Islam ini tak berkorelasi dengan prestasi mereka dalam, misalnya, bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Selama 105 tahun sejarah hadiah Nobel, sebanyak 180 Hadiah Nobel telah dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Sementara, dari 1,4 milyar umat Islam, baru ada tiga ilmuwan/sastrawan Muslim yang memenangkan hadiah tersebut (di luar Hadiah Nobel di bidang perdamaian).
    Salah satu pemenangnya ialah Prof. Abdus Salam dari Pakistan. Ia memenangkan Hadiah Nobel di bidang fisika pada 1979. Yang sangat ironis, di negerinya sendiri, Abdus Salam tak diakui sebagai seorang Muslim, karena ia pengikut kelompok Ahmadiyah.
    Data lain yang dikemukakan Saleem: Jumlah seluruh universitas di 57 negeri Muslim yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OIC/OKI) hanyalah sekitar 500. Sementara di Amerika Serikat saja, terdapat 5.748 universitas. Di India, negeri dari mana Pakistan memisahkan diri, ada 8.407 universitas. Perbandingan ini memang sangat fantastis karena begitu “njomplang”.
    Melihat perbandingan semacam ini, sangat jelas di mana letak masalah yang dihadapai oleh dunia Islam, yaitu kemerosotan pendidikan dan etos saintifik. Ini tentu menyedihkan mengingat sejarah masa lampau Islam yang dikenal sebagai pembangun kebudayaan ilmu pengetahuan. Salah satu cari utama peradaban Islam, menurut seorang orientalis terkenal Franz Rosenthal, ialah ia merupakan peradaban pengetahuan (bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Knowledge Triumphant [1970]).
    Kunci kemajuan Islam di masa depan, menurut Saleem, ia harus mengejar ketertinggalan yang cukup jauh di bidang pendidikan dan riset. Saya kira, pengamatan Saleem ini sangatlah tepat. Jika kita kembali kepada gagasan Arsalan sebelumnya, yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa Islam saat ini adalah “jihad”, bukan dalam pengertian yang dipahami oleh kalangan Islam garis keras; melainkan jihad intelektual, yakni kerja keras untuk meraih kemajuan di bidang pengetahuan.
    Itulah jalan kemajuan bagi dunia Islam di masa depan.
  • Merayakan Natal di Rumah Eyang

    Merayakan Natal di Rumah Eyang
    Lies Marcoes Natsir, EDITORIAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 2 Januari 2012
    “Saya membiarkan proses pengenalan anak-anak saya pada agama lain melalui cara yang wajar seperti ini. Saya tidak ingin membangun prasangka seperti saya mendapatkannya di waktu kecil. Anak-anak saya tumbuh dalam komunitas yang plural dan terbuka. Mereka akan memiliki pergaulan yang lebih luas dari saya. Menjadi terbuka dan toleran sangatlah penting bagi mereka.”
    Oleh sebuah peristiwa politik saya dipertemukan dengan keluarga Crist Sumarto, seorang penganut Katolik yang sangat taat. Bahkan saya pun seperti menjadi anak sulung dalam keluarga itu karena adik-adik angkat saya berumur di bawah saya. Anak-anak saya pun kemudian menjadi punya eyang yang berbeda agamanya dari kami sebagai Muslim.
    Ketika masih di TK,  Reza, anak sulung saya selalu menunggu saat Natal ke rumah Eyang karena dia tahu ada hadiah Natal baginya di bawah pohon Natal di rumah Eyangnya. Demikian juga Tasya dan Boris, anak-anakku. Sejak minggu lalu mereka sudah sangat excited mau menginap di rumah eyangnya bersama saudara-saudara angkatnya yang lain.
    Sejak minggu lalu pula anak-anak saya sibuk berdiskusi dengan saudara angkat mereka tentang dress code di hari Natal. Sementara saya dan adik-adik berdiskusi soal makanan yang hendak kita share.
    Bagi anak-anak saya, perayaan Natal menjadi bagian dari hari hari yang menyeangkan, berkumpul dan bergembira. Makanan hanyalah salah satu alasan untuk datang. Tapi kebersamaan, menunggu saat mendebarkan mendapatkan hadiah adri Eyangnya merupakan sesuatu yang selalu mereka tunggu di Hari Natal.
    Suami saya,  lahir dan tumbuh dalam keluarga Minang yang luar biasa terbuka. Sejak SD dia sekolah di lembaga pendidikan Katolik. Mertua saya adalah lulusan dari Perguruan Islam Tawalib Padang Panjang. Dalam hari –hari senggangnya dia sering membaca kitab seperti Bidayatul Mujtahid , kitab perbandingan mazhab. Ketika saya tanyakan mengapa anak-anaknay di sekolahkan di lembaga pendidikan Katolik dia mengatakan bahwa pada saat itu sekolah katolik adalah lembaga pendidikan yang terbaik di Bandar Lampung. 
    Lantas apakah suami saya, atau anak-anak saya menjadi ”tertarik” dan lalu menyeberang? Sejauh ini ternmyata tidak. Kami tak pernah ragu soal itu. Sebab bagi saya ini bukan persoalan tarik menarik agama. Ini soal perayaan keluarga, waktu yang tepat untu berbagai kebahagiaan dan tentu saja berdoa. Dulu ketika masih di IAIN saya biasanya ikut dengan ayah dan ibu angkat saya ke gereja. Sekedar ingin tahu karena kebetulan saya mengambil jurusan perbandingan Agama. Dalam bahasa penelitian ini semacam pengamatan terlibat. Sementara anak-anak saya, sama sekali tak ingin menggangu Eyang mereka ketika pergi ke gereja. Biasanya kami datang setelah Eyang putri dan kakung pulang dari gereja.
    Saya membiarkan proses pengenalan anak-anak saya pada agama lain melalui cara yang wajar seperti ini. Saya tidak ingin membangun prasangka seperti saya mendapatkannya di waktu kecil. Anak-anak saya tumbuh dalam komunitas yang plural dan terbuka. Mereka akan memiliki pergaulan yang lebih luas dari saya. Menjadi terbuka dan toleran sangatlah penting bagi mereka. 
    Saya juga membiarkan ini karena nuansa kegamaan yang menghidupkan spiritualitas dapat tumbuh melalui media keagamaan apapun. Saya tak ingin rasa keagamaan anak-anak saya terkerangkeng oleh pengalaman spiritualitas yang terbatas. Jika mereka dapat merasakan keindahan Tuhan melalui perayaan agama lain, mengapa saya harus menghalanginya? Ketika saya di IAIN saya sering berpetualang ke daerah daerah untuk menyaksikan ritual keagamaan.
    Saya menikmati malam 1 syura di Mesjid Demak, atau melihat orang menghabiskan malam Jum’at di Gunung Kawi. Lain waktu saya menikmati matahari terbit di Gunung Bromo setelah menyaksikan warga Tengger merayakan Kasodo, dan saya menyaksikan orang datang berkunjung ke Wihara Laksamana Ceng Ho di Semarang. Hingga saat ini di rumah kami saya paling menyukai bau dupa dari wihara tua di Bogor dekat Kebun raya.
     
    Saya dapat merasakan getaran halus di dalam batin tiap kali mendengar rapalan doa yang dibacakan oleh dukun kepala di Tengger ketika memimpin doa Kasodo. Hamparan pasir Gunung Bromo di malam 14 bulan ke 10 perhitungan Jawa bagi saya sangat menggetarkan. Mengapakah saya tak ikut mengamini jika doa itu menyatakan syukur atas karunia tanah yang subur tanpa bencana, kehidupan yang damai dan aman, serta karunia sehat wal afiat? Mengapakah tidak saya ikut mengangkat syukur ketika seorang dukun di sebuah perhelatan sederhana di pelataran Gunung Kawi yang mengankat doa bagi tamunya yang telah lulus test dan akan berangkat sekolah ke Amerika?   
    Perayaan Natal semakin dekat, anak-anak saya saling mengirim berita di BBM, dress code perayaan tahun ini adalah merah.  Otak saya mengingat –ingat adalahakn saya punya baju merah. Anak saya mengingatkan saya puny akain batik yang merah menyala hadiah dari seorang teman. Nah saya pun bersama anak-anak akan berhari natal di rumah orang tua angkat saya, keluarga C Sumarto. Selamat Natal!
  • Talal Asad dan Antropologi Sekularisme

    LAPORAN DISKUSI JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Talal Asad dan Antropologi Sekularisme
    Siswo Mulyartono, IMAM FORUM MAHASISWA CIPUTAT
    Sumber : JIL, 2 Januari 2012
    Sekularisme adalah peristiwa historis yang tertanam (embedded) dalam konteks historis tertentu, yakni Eropa Barat. Pengalaman Barat mengenai sekularisasi tidak bisa dijadikan sebagai standar universal untuk negeri-negeri lain. Oleh karena itu, sekularisme yang selama ini kerap dipandang sebagai kategori universal harus ditelaah dalam konteksnya yang spesifik di Eropa Barat. Inilah tugas antropologi sekularisme.
    Demikianlah gagasan pokok Talal Asad yang menjadi tema diskusi JIL pada Kamis 22 Desember 2011. Tampil sebagai pembicara adalah Ihsan Ali Fauzi, dosen Universitas Paramadina dan Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Ihsan menulis makalah berjudul “Talal Asad tentang Sekularisme dan Islam.” Diskusi yang dihadiri sekitar 50 orang ini berlangsung khusyuk di ruang Teater Utan Kayu, Jakarta Timur. Ini adalah forum bulanan Jaringan Islam Liberal yang berlangsung sejak tahun 2001.
    Ihsan memulai ceramahnya dengan mengulas biografi singkat Asad.  Asad, menurutnya, adalah figur yang dibesarkan dalam keluarga yang unik: seorang ayah yang terkenal, intelektual, Yahudi anti-Zionis, pindah ke Islam, seorang mufassir; dan seorang Ibu yang berasal dari keturunan ningrat tapi bukan intelektual, seorang muslimah yang taat.
    Talal Asad pada awalnya belajar arsitektur di Universitas Edinburgh, kemudian pindah ke antropologi di Universitas Oxford; membaca beragam arus pemikiran dalam Marxisme; mendirikan kelompok diskusi “kiri” tentang Timur Tengah. Selain itu Talal Asad juga mengajar di sekolah kiri di Amerika Serikat, New School of Social Research.
    Ihsan mencoba mengulas geneologi sekularisme model Asad. Dalam teori Asad geneologi sekularisme bermula dari gagasan tentang “the secular”. Yang terakhir ini bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan dari “the religious”.  Gagasan tentang “the secular” kemudian berkembang menjadi “secularism” dan “secularization”.
    Bagi Asad, ada perbedaan yang cukup jelas antara ”yang sekular” sebagai kategori epistemologis dan sekularisme sebagai sebuah doktrin politik. Di sini, “yang sekular” secara konseptual mendahului doktrin sekularisme, dan kemudian keduanya mendahului “sekularisasi” sebagai sebuah proses historis yang terjadi dalam konteks yang unik.
    Ihsan menegaskan bahwa “yang sekular” adalah “a concept that brings togheter certain behaviors, knowledges and sensibilities in modern life”.  “Yang secular”, bagi Asad, “is neither continuous with the religious that supposedly preceeded it,” tapi “nor a simple break from it”.
    Ihsan juga menyingung karya Asad yang berjudul Formations of the Secular , karya paling eksplisit yang membahas sekularisme. Dalam buku itu Asad menulis: “In my view the secular is neither singular in origin nor stable in its historical identity, although it works through a series of particular oppositions.” Masih dalam karya itu, Asad juga menegaskan “The ‘religious’ and the ‘secular’ are not essentially fixed categories ”. Pada intinya, Asad mencoba menentang pelbagai bentuk oposisi biner. Itu sebabnya dia memakai teori geneologi ala Michel Foucault untuk menelaah sekularisme.
    Bagi Ihsan, geneologi sekularisme yang ditawarkan Asad, baik dalam buku Formations of the Secular atau yang lain, sebenarnya tak beda jauh dengan telaah “konvensional” tentang sekularisme yang ada saat ini. Sekularisme dilihat oleh Asad sebagai “a political doctrine [that] arose in modern Euro-America”.
    Sekularisme bisa jadi memiliki “beberapa asal-usul,” tapi bagi Asad, cerita mengenai sekularisme yang paling umum dimulai pada peperangan agama di ke-16. Sesudah peperangan agama itulah Dunia Kristen Barat mengadopsi prinsip “cuis regio, eius religio” (siapa berkuasa di suatu kawasan, maka agamanya adalah agama kawasan itu).
    Prinsip “cuis regio, eius religio” merupakan benih-benih awal pemisahan wilayah agama dan politik yang merefleksikan sekularisasi. Dalam geneologi sekularisme model Asad, dunia Kristen Barat (Eropa)dilihat sebagai titik-tolak berkembangnya bentuk-bentuk sekularisme modern. Pada titik ini, menurut Ihsan, Asad memiliki kesamaan dengan Charles Taylor.
    Tapi penting untuk diingat, Asad sendiri mengklaim bahwa di Dunia Kristen Eropa, “it was only gradually, through continuous conflict, that many inequalities were eliminated and that secular authority replaced one that was ecclesiastical”. Dalam diktum itu, menurut Ihsan, kita bisa menangkap pesan Asad bahwa ada situasi di mana belakangan semakin alamiah bahwa yang seharusnya berkuasa bukanlah kelompok agamawan tetapi kelompok non-agamawan.
    Meski demikian, tegas Ihsan, Asad masih terus bertanya, Apakah “we are to understand that the ideological roots of modern secularism lie in Christian universalism.”  Poin penting dalam pertanyaan ini adalah: karena asal-usul sekularisme yang berasal dari Eropa, maka kita tidak bisa mengangkatnya menjadi pengalaman universal.
    Sekularisme berakar serta tertanam dalam konteks tertentu. Inilah yang disebut historical embededness (ketertanaman historis) oleh Asad. Konsep ketertanaman historis menempati kedudukan penting dalam seluruh arsitektur gagasan Asad.
    Dalam pandangan Asad, perubahan “the secular” menjadi “secularism”  terjadi pada momentum ketika berlangsung proses “(secualarism is) an enactment by wich a political medium (representasion of citizenship) redefines and transcends particular and differentiating practices of the self that are articulated through class, gender and religion.”
    Ini artinya, sekularisme mengasumsikan paham tertentu tentang agama yang berkembang di kalangan Kristen Protestan, yakni agama sebagai iman yang personal, pribadi. Dalam sekularisme, iman digambarkan Asad sebagai “inner state rather than outward practice, and a particular distribution of pain which tries to curb the ‘inhuman excesses of what it identifies as religion.’”
    Pada titik inilah, menurut Ihsan, Asad memiliki pandangan yang berbeda dari Taylor. Taylor masih melihat sekularisme sebagai kategori yang universal, dengan ciri-ciri tertentu yang bisa diterapkan di seluruh dunia, termasuk di kawasan di luar Barat. Asad menyangkal ini.
    Beda dengan Taylor, Asad melihat sekularisme sebagai proyek modern yang didesakkan oleh pihak yang punya kuasa besar, yakni negara. Dan dalam sejarahnya yang belakangan, sekularisme mencerminkan “European wish to make the world in its own image”.
    Sementara itu, pembicara kedua, Ulil Abshar Abdalla, menyebut dua buku Asad sebagai sumber penting untuk memahami gagasannya tentang “yang sekular” dan sekularisme, yakni Formations of the Secular dan Geneologi es of Religion. Pada yang pertama Asad mengenalkan konsep “the secular”. Sedangkan pada yang kedua Asad berbicara mengenai “the religious”. Kedua buku itu, menurut Ulil, saling mengandaikan dan pada intinya mencoba mempersoalkan definisi mengenai agama dalam kajian-kajian agama yang ada dalam kesarjanaan Barat.
    Bagi Ulil, Formations of the Secular merupakan usaha Asad untuk menggali “the secular” dan proses pembentukan sekularisme sebagai doktrin politik dari kacamata antropologi. Ada dua hal yang disorot oleh Ulil. Yang pertama , ia membahas bagaimana Asad menerangkan gejala “the secular”. Kedua, ia memberikan komentar kritis terhadap metode yang dipakai oleh Asad. Ulil juga menyodorkan telaah kritis terhadap gagasan sarjana lain yang sangat dipengaruhi oleh Asad, yakni Saba Mahmood, penulis The Politics of Piety.
    Ulil mengambil contoh kecil, tetapi cukup penting, dalam gagasan Asad tentang terbentuknya “the secular”. Melalui contoh kecil ini, akan terlihat bagaimana Asad menunjukkan proses yang cukup kompleks yang meenyebabkan munculnya gejala “the secular”.
    Contoh kecil itu menyakut gagasan yang berkembang di Eropa tentang “kesakitan”(the pain). mengenalkan konsep Asad mengenai “The pain” atau kesakitan. Dalam Eropa pra-sekularisasi, kesakitan dipahami sebagai bagian yang wajar dalam modus beragama – pengaruh dari konsep teologis kekristenan yang menempatkan peristiwa penyaliban Yesus sebagai fokus keberagamaan. Penyaliban adalah proses menanggung rasa sakit.
    Dalam Eropa yang sudah mengalami sekularisasi, kesakitan dianggap sebagai bagian dari dunia agama masa lampau yang tak rasional. Rasa sakit adalah irasionalitas. Sekularisasi adalah proses pembebasan dari rasa sakit itu, untuk digantikan dengan pengalaman lain,  yaitu kenikmatan (pleasure). Jika dalam dunia Eropa pra-sekularisasi, rasa sakit diglorifikasi, pada Eropa pasca-sekularisasi, rasa sakit dikutuk dan harus dihilangkan.
    Dalam sejarah Eropa, sekularisme terkait dengan dua ide penting, yaitu penciptaan sejarah (history making). dan pemberdayaan (empowerment). Apa yang disebut dengan penciptakan sejarah dan pemberdayaan di sini ialah kemampuan untuk melepaskan diri dari rasa sakitdi satu pihak, dan pencapaian kenikmatan di pihak lain.
    Asad mengkritik konsep sekularisme sebagai proses yang terkait dengan dua gagasan itu (penciptan sejarah dan pemberdayaan). Konsep sekularisme semacam ini sangatlah khas Barat. Konsep sakit adalah contoh yang baik. Konsepsi sekularisme yang memandang sakit sebagai sumber ketidak-berdayaan (disempowerment) tidaklah tepat.
    Di luar konteks Barat, rasa sakit tidak selalu identik dengan hilangnya daya dan kemanmpuan atau agency. Rasa sakit bisa juga menjadi sumber kelahiran kemampuan baru, seperti dalam pengalaman “menyakiti diri sendiri” dalam perayaan memperingati terbununya Husein oleh komunitas Syiah. Asad menyebut rasa sakit yang justru melahirkan kemampuan ini sebagai “agentive pain”.  Setelah merasakan sakit itu, komunitas Syiah memperoleh kemampuan baru, yakni pengalaman keagamaan yang kian intensif, misalnya.
    Di ujunga ceramahnya, Ulil mengemukakan kritik atas pemikiran Asad. Bagi dia, salah satu kelemahan analisis Asad ialah dia kerap terjebak dalam gejala “orientalisme terbalik” (reverse orientalism). Yakni, dia melihat dunia di luar Barat sebagai dunia yang secara otentik berbeda dengan Barat. Analisis model Asad kadang dipakai oleh sejumlah sarjana seperti Saba Mahmood untuk “mengejek” para pemikir reformis Muslim yang dianggap hanya semata-mata membebek saja dunia Barat. Teori “agency” Asad yang anti-herois kadang dipakai oleh simpatisan teori-teori Asad seperti Saba itu untuk melihat para reformis Muslim tersebut sebagai para aktor yang tak memiliki “agency” yang otentik, sebab mereka hanyalah “mimicry” atau tiruan dari Barat.
    Mengapa, tanya Ulil, “agency” yang otentik hanyalah jenis “agency” yang melahirkan 
    “difference”atau perbedaan dengan Barat? Kenapa aktor-aktor di dunia Islam harus dibatasi geraknya hanya dalam aktivitas diskursif yang melahirkan perbedaan dengan Barat? Kenapa kesamaan dengan Barat tidak bisa dianggap sebagai artikulasi “agency” yang otentik pula. Kenapa kaum elit yang “membarat” (Westernizing elite, istilah yang dipakai Asad), hanya semata-mata dipandang sebagai subyek yang pasif saja menerima pengaruh dari Barat?
    Bukankah mereka bisa juga melakukan kontekstualisasi gagasan-gagasan yang berasal dari Barat dalam kerangka tradisi Islam? Bukankah kegiatan kontekstualisasi ini adalah bentuk dari “keberdayaan” atau agency?
    Berbeda dengan Ulil, Priyo Pratama, peserta diskusi, menekankan pentingnya memunculkan istilah baru yang lebih membumi mengenai sekularisme. Priyo menginginkan suatu sekularisme yang diambil dari khazanah local dan dimengerti masyarakat lokal.
    Sementara Luthfi Assyaukanie menanggapi karakter para antropolog dan sosiolog belakangan ini yang tidak mau menjawab pertanyaan penting mengenai masa depan agama. Ini berbeda dengan teoretikus sekularisasi sebelumnya yang justru berkutat pada pertanyaan itu.
    Tanggapan yang hampir mirip datang dari Saidiman Ahmad, moderator. Saidiman secara khusus meminta Ulil menerangkan bagaimana para sosiolog dan antropolog agama berbicara tentang kebangkitan agama tapi pada saat yang sama ada proses liberalisasi dalam gerakan Islam politik, misalnya. Ini ditandai dengan fenomena mutakhir partai-partai Islamis pemenang Pemilu di negara-negara Arab yang sedang bertransisi demokrasi saat ini. “Jangan-jangan tesis Charles Taylor bahwa sekarang ini adalah masa sekuler adalah benar,” tegas Saidiman.
    Untuk pertanyaan-pertanyaan ini Ulil mengemukakan kembali keyakinannya mengenai masa depan demokrasi di negara-negara Arab, keyakinan yang sama sudah beberapa ia kemukakan pada kolom mingguan di www.islamlib.com.
  • Problem Agraria dan Kapitalisme

    Problem Agraria dan Kapitalisme
    Idham Arsyad, SEKRETARIS JENDERAL KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Januari 2012
    Muchammad Tauchid (1952) dalam bukunya, Masalah Agraria, mengingatkan, persoalan agraria adalah persoalan hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan.
    Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjunya.
    Pengalaman hidup di era kolonialisme menjadikan Tauchid menyelami persoalan agraria yang mengakibatkan rakyat sengsara dan menderita. Demikian halnya para pembuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
    Hasilnya, UUPA menjadi mesin operasi untuk menghentikan ketidakadilan agraria akibat kolonialisme dan feodalisme. Kesadaran inilah yang tidak diwarisi pemimpin kita saat ini.
    Akibatnya, terjadi insiden pembantaian warga di Mesuji, aksi jahit mulut warga Pulau Padang Riau di depan DPR, dan penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga warga di Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima NTB. Namun ini sama sekali tak menggerakkan hati dan pikiran para pemimpin bangsa ini untuk mengambil tindakan nyata melindungi rakyatnya yang membutuhkan tanah. 
    Konflik Struktural
    Harus dipahami, konflik agraria yang berlangsung saat ini adalah konflik agraria yang bersifat struktural, yakni konflik yang melibatkan penduduk setempat berhadapan dengan kekuatan modal dan atau instrumen negara.
    Umumnya konflik agraria bermula dari proses kebijakan pemerintah yang “me-negara-isasi” tanah-tanah milik komunitas.
    Kemudian di atas tanah yang diberi label “tanah negara” tersebut, pemerintah menguasakan kepada badan usaha milik swasta maupun pemerintah dalam berbagai hak pemanfaatan, seperti Hak Guna Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan,  Izin Usaha Pertambangan, dan sebagainya (Fauzi, 2003).
    Konflik agraria yang bersifat struktural ini telah berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru berkuasa. Konflik dan kekerasan yang menyertainya mencapai ribuan kasus.
    KPA mencatat, rentan waktu 1970-2001 jumlah konflik agraria mencapai 1.753 berlangsung di 286 kabupaten/kota. Luas tanah yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektare dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 keluarga menjadi korban.
    Sayangnya, pascareformasi konflik tersebut dibiarkan tanpa ada proses penyelesaian yang memberi keadilan kepada korban. Bahkan yang terjadi, konflik yang disertai kekerasan masih terus berulang. Pada 2011 saja, sekurang-kurangnya telah terjadi 163 konflik yang terliput di media.
    Luas tanah yang disengketakan mencapai 472.480,44 hektare dan melibatkan 69.975 keluarga. Terdapat 22 orang meninggal, 279 orang ditahan, 34 orang tertembak, dan 147 orang yang mengalami penganiayaan (KPA, 2011).
    Perluasan Kapitalisme
    Maraknya konflik agraria akhir-akhir ini erat kaitannya dengan meningkatnya perampasan tanah (land grabbing). Perampasan tanah adalah gejala global yang dipicu akuisisi lahan skala luas untuk kebutuhan pangan global.
    Melonjaknya harga pangan dunia karena krisis finansial mendorong perubahan strategi negara-negara kaya tapi miskin pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
    Mereka tidak lagi megimpor bahan pangan, tetapi melancarkan pembelian dan penyewaan lahan di negara-negara berkembang yang mempunyai lahan luas. Studi GRAIN menunjukkan bahwa antara 2006-2009 gelombang akuisisi lahan transaksinya mencapai hampir 37-49 juta hektare.
    Selain itu, perampasan tanah menjadi bagian penting dari perluasan usaha kapitalisme. Melalui pemberlakuan hukum agraria baru yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, perusahan-perusahan kapitalis dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam.
    Rakyat yang notabene sebagai pemilik awal dari tanah dan kekayaan alam dikeluarkan dari wilayah tersebut melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemegaran wilayah secara fisik, serta penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan, bukan lagi rakyat yang memiliki wilayah tersebut.
    Penting untuk disadari, perampasan tanah tidak hanya mengakibatkan konflik agraria semakin tinggi karena adaya proses perlawanan dari para korban, tetapi dalam jangka panjang menjadi proses pembunuhan petani dan dunia perdesaan secara sistematis.
    Proses ini disebut Karl Marx sebagai upaya paksa menciptakan orang-orang yang tidak terikat pada tanah, tetapi hanya mengandalkan tenaga kerja yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi pekerja bebas (Fauzi, 2011).
    Akar Persoalan
    Konflik agraria merupakan akibat. Sementara perluasan kapitalisme merupakan penyebab. Sebanyak 71,1 persen luas daratan Indonesia masuk dalam kawasan hutan. Ada lebih 25 juta hektare dikuasai HPH, lebih 8 juta hektare dikuasai HTI, dan 12 juta hektare dikuasai perkebunan besar sawit. Sementara 85 persen petani kita adalah petani tak bertanah dan gurem (berlahan sempit).
    Negara telah salah urus! Pembiaran terhadap ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah, serta sumber daya alam di dalamnya hanya melahirkan dan menyuburkan konflik dan sengketa agraria di negeri ini.
    Pemerintah dan aparatnya serta DPR seharusnya menjadi kekuatan sosial yang mengurus dan mewujudkan keadilan sosial bagi petani miskin, rakyat tak bertanah di perdesaan.