Author: Adul
-
“Zombi-Zombi” Koruptor
“Zombi-Zombi” KoruptorSunardi, DOKTOR ILMU HUKUM PPS UNIBRAW,ALUMNUS LEMHANAS (2010)Sumber : SUARA KARYA, 2Februari 2012William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) menggambarkan bahwa hukum cenderung dibuat untuk menampung keinginan elite yang menguasai negara daripada untuk kepentingan masyarakat. Benarkah hukum ‘dipersembahkan’ untuk memuaskan atau mengamankan kelompok elite?Benar! Hukum kita hanya mengabdi dan ‘menyembah’ elite. Hukum kita masih terhegemoni oleh kekuatan mafioso atau serba memanjakan para penyalahguna jabatan dan pembarter kekuasaan. Hukum kita dijadikan instrumen untuk membenarkan yang salah, mengaburkan yang benar, dan menghancurkan keadilan. Keadilan menjadi kata yang paling gampang disebut, namun paling sulit membumi di negeri ini.Para penyalah-guna jabatan masih menjadi elitis yang perkasa dan arogan. Mereka bermain apologi dan menyebar tekanan psikologis untuk menciptakan ketakutan di hati aparat penegak hukum supaya pilar negara hukum mengidap virus kecil nyali. Politik verbalitas dilancarkannya guna membuat gagap aparat penegak hukum, sehingga bukan hanya dirinya bisa terbebas dari jeratan hukum, tetapi juga mampu unjuk kekuatan kalau dirinya adalah sang penentu.Norma yuridis yang berharga mahal di tangan legislatif saat diproduksi, tak lebih dari instrumen yang kehilangan nafas filosofi egalitarianisme dan keberpihakannya pada keadilan akibat direduksi dan dijadikan objek permainan oleh kekuatan elitis menyibukkan dirinya dalam perburuan atau pengejaran status menjadi manusia-manusia borjuis instan.Sudah demikian sering, misalnya, para tersangka koruptor melontarkan ancaman akan membongkar secara terbuka dan habis-habisan skandal politisi Indonesia, jika dirinya diseret ke meja hijau. Dari pernyataan ini, dapat dibaca maksudnya.Pertama, tersangka koruptor bermaksud melakukan pembelaan atas apa yang menimpa dirinya. Kedua, mereka sangat paham kalau penyelenggaran hukum di negeri ini sangat rentan dipermainkan, pasalnya tak sedikit di antaranya yang menjadi ‘zombi-zombi’ (mayat-mayat hidup) di antara para koruptor. Mereka mampu membaca dan menafsirkan kelemaham koruptor sebagai potensi besar yang bisa membuatnya lebih cepat menempati derajat ningratisme sosial-ekonomi.Para ‘zombi’ tersebut sepertinya antusias menangani dan mempertanggungjawabkan para tersangka koruptor atau menunjukkan kinerja yang sejalan dengan panduan norma yuridis dan kode etik profesinya. Padahal, di balik yang terlihat, mereka ternyata menjadi pelayan setia para koruptor atau menggiring tersangka sebagai ‘ATM-ATM’-nya. Mereka bisa menceritakan tentang ancaman sanksi hukum yang tertulis dalam produk legislatif hanya sebagai pisau tajam yang diserahkan penumpulannya pada tersangka koruptor.Masyarakat sebenarnya sudah lama merindukan testimoni terbuka dan jujur di kalangan saksi, namun karena seringnya gertakan testimoni tak berujung pada terbukanya objektivitas, dan bahkan yang menonjol lebih banyak akrobat para pemberi kesaksian yang tidak berujung pada terbongkar tuntasnya kasus hukum. Maka, jadinya negara hukum tak ubahnya berada dalam genggaman totalitas ‘zombi-zombi’ koruptor.Demikian sering masyarakat mendapatkan tontonan atmosfer hukum yang kehilangan arah, tanpa makna, dan serba kabur. Ada sejumlah tontonan mengenai upaya pengimplementasian sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang melibatkan tokoh kenamaan dalam perkara korupsi, namun saat proses dimulai, tidak lama setelah itu, yang terdengar hanya kesimpang-siuran. Ada saling mengambing-hitamkan, saling menyalahkan, dan ‘kelumpuhan’ di sana-sini. Kosa kata pro yustitia hanya menempel di kertas kop aparat peradilan, yang tak menjadi ‘ayat-ayat’ sakral untuk mengantarkan tegaknya dan membuminya keadilan. Pro yustitia telah tereliminasi akibat sepak terjang elite bermasalah yang diberikan tempat berdaulat.Masyarakat sangat akrab mendengar celoteh dan auman keras dari seseorang tokoh yang terdesak secara hukum, khususnya pada saat berstatus terpojok, jadi tersangka atau terdakwa. Namun, celoteh dan auman ini tiba-tiba lenyap setelah tergilas oleh datangnya kasus-kasus baru yang lebih sensasional. Gema hukum terdahulu yang sepertinya akan menegakkan hak keadilan untuk semua (justice for all), terbukti hanya dijadikan kenangan dan ‘noktah sejarah’ dalam agenda peradilan yang semakin temaram atau terpinggirkan dalam jagat yang mengenaskan: kombinasi memalukan dan memilukan. Masyarakat dibuat akrab dengan apa yang namanya kasus-kasus mengambang (floating case).Itu menunjukkan bahwa tak sedikit elite sibuk mengejar kemapanan, kenyamanan, dan keamanan. Menurut Herbet Marcus, sikap macam ini tergolong one dimention man atau manusia monologis, manusia berdimensi tunggal, atau sosok yang menjalani kehidupannya secara eksklusif, tanpa memikirkan kepentingan terbaik bangsa dan citra negara hukum.Tidak salah stigma publik kalau aparat penegak hukum kita beraninya hanya pada orang kecil yang bermasalah secara hukum, sementara ketika elemen elite yang bermasalah, aparat kehilangan nyali. Hilangnya nyali ini layak ditafsirkan sebagai atmosfer tereduksinya militansi aparat dan menangnya supremasi mafioso. Aparat yang seharusnya pintar dan bernalar bening, akhirnya menjadi elemen warga yang tiba-tiba jadi ‘bodoh mendadak’.Siapa pun yang sudah diberi amanat untuk menegakkan hukum atau jadi pilar sakral negara di bidang penegakan hukum (law enforcement), harus menunaikan tugas mulianya ini dengan teguh, jujur, dan objektif, dan bukan menyerahkan diri untuk jadi ‘zombi-zombi’.Tanpa sikap demikian, dirinya tak pantas disebut sebagai pilar negara, dan sebaliknya hanya pantas disebut sebagai pendestruksi keberlanjutan hidup negara. ● -
Bisnis Sekolah Bisnis
Bisnis Sekolah BisnisFalik Rusdayanto, DIREKTUR GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,ALUMNUS UNIVERSITAS CHULALONGKORN, THAILANDSumber : SINAR HARAPAN, 2Februari 2012Fenomena terus meningkatnya pengangguran intelektual di negeri ini dimanfaatkan sejumlah lembaga pendidikan untuk menggelar jurusan wirausaha/bisnis.Tak heran jika bisnis sekolah kewirausahaan (bisnis) kian marak. PPM School of Management misalnya, sejak 2005 mengembangkan sekolah tinggi manajemen yang berorientasi mencetak manajer-manajer muda serta wirausahawan muda.Contoh lainnya adalah Ciputra Entrepreneurship School (CES) yang menawarkan pembentukan sikap dan perilaku wirausaha melalui serangkaian sistem mentoring. Bekal materi pengetahuan bisnis, cara menggali dan mengungkap nilai-nilai bisnis, serta berbagai spirit bisnis yang terus ditiupkan, CES berkomitmen mencetak wirausahawan-wirausahawan tangguh.Pun demikian dengan Center for Entrepreneurship Development, Prasetiya Mulya Business School (PMBS), yang sejak 2005 membuka program sarjana (S-1) Bisnis, setelah sebelumnya bertahun-tahun membuka Program S-2 (Magister Manajemen).Dengan hadirnya program ini, pelajar Indonesia yang ingin mengenal lebih jauh sekolah bisnis tidak perlu pergi ke luar negeri. Di sini, para mahasiswa diberi pengetahuan kuat dan keterampilan untuk menjawab tantangan di dunia bisnis.Maraknya sekolah kewirausahaan tampak hendak menegaskan wirausahawan itu bisa dididik, bukan dilahirkan sebagaimana selama ini dipahami sebagian kalangan. Wacana apakah wirausahawan itu dididik atau dilahirkan sudah lama berkembang di jagat bisnis.Darah PengusahaMari kita lihat hasil penelitian berikut. Mc Slelland pada 1961 telah melakukan riset di Amerika Serikat yang hasilnya menunjukkan 50 persen pengusaha yang dijadikan sampel penelitiannya adalah mereka yang dilahirkan keluarga pengusaha juga.Penelitian yang dilakukan Sulasmi (1989) terhadap 22 pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan sekitar 55 persen pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Keluarga Bakrie, Kalla, dan Aksa adalah contoh populer betapa dari sebuah keluarga yang kuat kultur bisnisnya akan sangat mungkin terlahir entrepreneurhebat.Sementara penelitian yang dilakukan Mutmainah (2001) atas delapan pengusaha paling sukses di Pangandaran menunjukkan mereka memulai usaha karena keterpaksaan. Tak sedikit kisah sukses entrepreneurlantaran diawali kemiskinan.Thomas Sugiarto adalah salah satu dari deretan kelompok ini. Kepahitan hidup dapat memberi energi luar biasa untuk seseorang berjuang mengubah nasib lebih baik. Visi itulah yang akan menggerakkannya untuk bekerja keras tanpa lelah, mencari peluang tanpa malu hingga akhirnya sukses menghampirinya.Pada kategori yang ketiga, menurut Muhandri (2002), adalah kelompok pengusaha yang umumnya memiliki tingkat pendidikan tinggi. Orang yang masuk dalam kategori ini memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausahawan, dengan banyak mempelajari keilmuwan (akademik) yang berkaitan dengan dunia usaha.Dalam kategori ini terdapat pengusaha yang langsung memulai usaha (merasa cukup dengan dasar-dasar keilmuwan yang dimiliki) dan ada yang bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha secara riil.Bisa DidapatMencermati tiga kategori di atas, kita mendapatkan gambaran bahwa jiwa entrepreneur itu bisa didapat dengan berbagai cara. Setidaknya ini bisa mematahkan pandangan yang selama ini masih diyakini sebagian kalangan bahwa seorang entrepreneur itu dilahirkan dari keluarga dengan kultur bisnis kuat.Sebaliknya, seorang entrepreneursangat mungkin dimunculkan melalui berbagai kondisi (lewat pendidikan hingga keterpaksaan), meski ia tidak dilahirkan dalam keluarga dengan kultur bisnis kuat.Namun, yang belum dapat dipatahkan adalah kenyataan mayoritas pengusaha yang sukses ternyata berasal dari keluarga dengan tradisi yang kuat di bidang usaha (bisnis). Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku, atau bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan kelas wirausahawan baru yang tangguh.Namun ada satu catatan yang perlu diperhatikan, kultur tersebut tidak dapat ditanamkan dalam sekejap. Sangat mungkin para orang tua pebisnis memang sejak dini telah menanamkan jiwa wirausaha kepada anak-anak.Secara komunal, kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausahawan tangguh berasal dari suku tersebut. Namun tak bisa dipungkiri, secara umum kultur masyarakat Indonesia lebih mengutamakan profesi yang relatif ”tanpa risiko” (misalnya menjadi pegawai negeri atau swasta).Menilik pentingnya membangun kelas wirausahawan, pemerintah perlu menyusun suatu program untuk menanamkan budaya wirausaha di kalangan generasi muda kita. Hal itu penting sebagai salah satu solusi guna membantu menyelamatkan perekonomian masyarakat di masa depan.Karena tidak semua orang tua bisa kita harapkan mampu dan mau berupaya menanamkan budaya wirausaha kepada anak-anaknya maka penting bagi pemerintah untuk menanamkan budaya wirausaha tersebut dengan sasaran para siswa sekolah khususnya, dan masyarakat pada umumnya.Tentulah usaha itu tidak mudah, tetapi ada baiknya kita belajar pada keberhasilan program keluarga berencana (KB) semasa Orde Baru, yang semula dianggap mustahil, ternyata dapat dilaksanakan dengan baik.Selain itu akan lebih baik lagi usaha menciptakan wirausaha baru yang tangguh tersebut digalang untuk kalangan lulusan perguruan tinggi yang telah memiliki dasar keilmuwan dan intelektualitas yang tinggi.Ini karena ke depan persaingan usaha di era globalisasi menuntut kemampuan seorang wirausahawan dengan kemampuan tinggi. Untuk itulah berdirinya sekolah-sekolah kewirausahaan menemukan argumentasi yang sangat jelas.Pola Inkubasi BisnisSalah satu pola pengembangan wirausaha yang tangguh dan unggul adalah dengan memberikan pembinaan dan pendampingan melalui apa yang disebut inkubasi bisnis. Beberapa perguruan tinggi melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-nya maupun Departemen Teknis telah mengembangkan pola inkubasi bisnis ini.Para tenant (unit bisnis binaan) diberikan kesempatan untuk dibina dalam periode waktu tertentu. Para tenantdiberikan bantuan pendidikan, pelatihan, dan magang yang didukung fasilitas/akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta informasi. Pada sisi inilah kita menemukan argumentasi bahwa entrepreneur itu bisa dididik, bukan semata-mata dilahirkan. ● -
Urgensi Kerja Sama Antardaerah
Urgensi Kerja Sama AntardaerahHelmy Faishal Zaini, MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGALSumber : REPUBLIKA, 2Februari 2012Dalam era otonomi daerah, pemerintah memberi keleluasan kepada daerah untuk mengurus dan mengelola kewenangan yang ada untuk kesejahteraan masya rakat. Selain itu juga, pemerintah mendorong agar daerah memberikan pelayanan publik yang optimal.Terkait dengan peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik, sesungguhnya otonomi daerah memberikan peluang yang besar bagi daerah-daerah untuk melakukan terobosan dan inovasi-inovasi bagi kemajuan daerahnya. Dalam upaya melakukan terobosan dan inovasi tersebut, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membuka kesempatan bagi daerah untuk melakukan ker ja sama antardaerah.UU No 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan. Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Kerja sa ma dapat berbentuk badan kerja sama antardaerah.Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah menyatakan, yang dimaksud dengan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dan gubernur, atau gubernur dan bupati/wali kota, atau antara bupati/wali kota dan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.Sedangkan yang dimaksud pihak ketiga adalah departemen/ lembaga pemerintah nondepartemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, BUMN, BUMD, koperasi, yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.Dalam rangka melakukan kerja sama antardaerah, PP No 50 Tahun 2007 mengamanatkan agar kerja sama tersebut berdasarkan prinsip efesiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum, serta mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan NKRI. Mengacu pada regulasi tersebut, maka bentuk kerja sama yang dapat dilakukan oleh daerah, paling tidak ada 13 bentuk.Bentuk-bentuk kerja sama itu adalah provinsi dengan provinsi, provinsi dengan kabupaten/kota, provinsi dengan kementerian/lembaga pemerintah, provinsi dengan BUMN/BUMD/koperasi/yayasan, provinsi dengan swasta, juga provinsi dengan masyarakat/LSM. Bentuk lainnya adalah provinsi dengan luar negeri, kabupten/kota dengan kabupaten/kota, kabupaten/kota dengan kementerian/ lembaga pemerintah, kabupaten/ kota dengan BUMN/BUMD/koperasi/yayasan, kabupaten/kota dengan swasta, kabupaten/kota dengan masyarakat/LSM, dan kabupaten/kota dengan luar negeri.Saling MenguntungkanSeperti diketahui pula disini bahwa maju mundurnya satu daerah juga sangat bergantung pada daerah lain, khususnya daerah yang berdekatan. Saya kira, kerja sama daerah-daerah yang berde kat an merupakan suatu kebutuhan dan/atau keniscayaan. Seperti dalam kehidupan bermasyarakat bahwa di antara sesama manusia yang saling membutuhkan. Begitu juga dengan daerah, kerja sama mes tinya menjadi suatu kebutuh an atau keniscayaan.Kerja sama antardaerah menjadi kebutuhan fundamental dalam mengatasi permasalahan internal maupun eksternal daerah. Di antara permasalahan itu adalah soal perbatasan daerah, pengelolaan kawasan dan lingkungan, keamanan bersama, pengelolaan air, produk unggulan, pemasaran produk unggulan daerah bersama, dan sebagainya.Menurut Antonius Tarigan (Buletin Tata Ruang, 2009), kerja sama antardaerah dapat menjadi salah satu alternatif inovasi yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas, sinergis, dan saling menguntungkan. Kerja sama diharapkan menjadi satu jem batan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antardaerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling meng untungkan.Kerja sama antardaerah dibutuhkan dengan pertimbangan semakin berkembangnya keterbatasan potensi lokal, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah (pemda), dan pendapatan daerah. Untuk mengatasi keterbatasan itu, maka daerah perlu menggalang kekuatan secara bersama-sama.Kerja sama antardaerah juga perlu dalam upaya untuk membangun wadah komunikasi/forum yang menunjang perencanaan partisipasi sesuai semangat otonomi daerah. Dengan adanya kerja sa ma antardaerah, peluang pemda pun menjadi terbuka untuk memperoleh keuntungan, baik finansial maupun nonfinansial karena adanya faktor kebersamaan.Namun demikian, seperti dikatakan Antonius, kerja sama antardaerah hanya dapat terbentuk dan berjalan apabila didasarkan pada kesadaran bahwa daerahdaerah itu saling membutuhkan untuk mencapai satu tujuan. Oleh karena itu, inisiasi kerja sama antardaerah dapat berjalan dengan efektif apabila telah ditemukan kesamaan isu, kebutuhan, atau permasalahan.Beberapa waktu yang lalu, beberapa daerah tertinggal di Pro vin si Kalimantan Barat melaku kan kerja sama dalam regional manajemen (RM), yaitu RM Sing bebas, yang meliputi Kabupaten Singkawang, Bengkayang, dan Sambas. Sebelumnya sudah berjalan beberapa RM, antara lain, RM Akses (Bulukumba, Selayar, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng), RM Jonjok Batur (Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Te ngah), RM Jang Hiang Bang (Kapahiang, Rejang Lebong dan Lebong).Selain itu juga ada RM Lake Toba (Samosir, Dairi, Fak-Fak Barat, Karo Pematang Siantar, Tobasa, Humbahas, Tapanuli), RM Setara Kuat (Kaur, Bengkulu Selatan, dan Bengkulu Utara (Provinsi Bengkulu)), OKU Selatan (Propinsi Sumsel dan Lampung Barat, Provinsi Lampung), dan RM Pulau Sumbawa (Bima, Kota Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat).Kerja sama antardaerah tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing daerah-daerah ter tinggal melalui strategi pengembangan ekonomi bersama. Akhirnya, kerja sama antardaerah yang berbentuk RM tersebut diharapkan dapat mendorong akselerasi pembangunan. Semoga! ● -
Dampak Krisis Hormuz
Dampak Krisis HormuzIrsyad Dhahri S Suhaeb, DOSEN HUKUM INTERNASIONAL UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR Sumber : REPUBLIKA, 2Februari 2012Akhir-akhir ini, kehadiran USS Abraham Lin coln, kapal induk Amerika yang telah mengambil langkah memasuki Selat Hormuz, masih hangat diberitakan. Dengan alasan operasi rutin, inspeksi tersebut dilakukan di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas krisis Selat Hormuz. Seperti diketahui, dalam beberapa minggu terkahir ini, AS telah mengkritik Iran atas isu program nuklir Iran yang diduga dipergunakan untuk membangun persenjataan nuklirnya.Krisis ini sebenarnya terpicu sejak AS mengkritik Teheran atas tekanannya pada Gerakan Hijau dan dukungannya pada Hamas dan Hizbullah. Selain itu, keluarnya laporan terbaru inspektur senjata PBB pada November 2011 lalu yang mengindikasikan bukti kredibel bahwa Iran melakukan kegiatan yang relevan dengan pengembangan perangkat nuklir juga menjadi pemicu krisis.Berdasarkan laporan PBB tersebut, Amerika beserta beberapa negara Barat lainnya mengisyaratkan memberi sanksi pada Iran, serta perusahaan dan negara yang terlibat dalam industri nuklir Iran. Sanksi tersebut berupa pemotongan sistem keuangan internasional pada transaksi bank sentral dan komersial. Reaksi Teheran atas imbauan sanksi ini dibalas dengan ancaman pemblokiran Selat Hormuz, jalur 35 persen perdagangan minyak dunia. Bila Ancaman Iran untuk memblokir Selat Hormuz benar dilaksanakan dan ancaman Amerika untuk melakukan tindakan balasan atas pemblokiran ini dilakukan, setidaknya ada beberapa perspektif dalam melihat situasi ini.Aspek Hukum LautMeskipun Iran telah menandatangani Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan komitmen pengakuan pada konvensi hukum laut ini, namun ia tidak meratifikasinya sehingga tidak terikat pada rezim yang berlaku di dalamnya. Ini berarti, Iran bisa saja berkesimpulan bahwa innocent passage atau transit passage hak kapal asing termasuk kapal perang untuk melewati per airan suatu negara selama dalam tujuan damai, tidak dapat digunakan di Selat Hormuz. Dan, unjuk kekuatan kapal induk Amerika yang melewati Selat Hormuz dapat dianggap sebagai ancaman terhadap Iran.Meskipun dalam hukum laut internasional Iran sebagai negara pantai memang berhak mengon trol jalur kapal asing, termasuk kapal perang yang akan lewat di Selat Hormuz, konvensi hukum laut ini tidak mengatur dengan de tail mengenai kapal perang. Oleh sebab itu, argument Iran yang mengatakan bahwa ia ber hak menutup Selat Hormuz dengan alasan keamanan dan Konvensi Jenewa 1958, agak lemah, sebab dengan customary law hukum laut internasional saat ini lebih banyak mengacu pada Konvensi PBB 1982 serta telah dikenalnya hak lintas-damai, termasuk di Selat Hormuz.Oleh sebab itu, Amerika, yang meskipun juga tidak meratifikasi UNCLOS, menentang pendapat Iran ini seperti yang tertera pada Nota Diplomatiknya pada 1987. Di samping itu, ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz sebagai otoritas negara pantai pemilik wilayah kurang tepat. Sebab, dengan rezim 12 mil laut teritorial yang dianut dalam hukum laut internasional, pada keyataannya terdapat pulau-pulau kecil di selat Hormuz, di luar wilayah Iran yang juga memiliki klaim kepemilikan selat. Sehingga, ancaman Iran ha rus disetujui oleh mereka. Itu berarti Iran masih harus menjalani langkah lain bila tetap pada keinginannya.Peningkatan suhu di Selat Hormuz tidak terlepas dari pengaruh politik internal kedua negara. Di Amerika pada Desember 2011, Pre siden Obama, yang menanda tangani sanksi ekspor minyak Iran, dianggap melakukan aksi ini hanya untuk memperbaiki citra nya sebagaimana janjinya pada pelantikan presiden untuk tidak menoleransi upaya program nuklir dunia.Hal ini dilakukan sebab selain masalah politik luar negeri dan ke manan nasional, dukungan pa da Israel, serta antisipasi perkembangan di Cina, Obama berusaha menampik kritikan pihak Republik yang mengatakan bahwa ia terlalu lemah pada Iran atas perkembangan industri nuklirnya. Sementara itu, di Iran, Farideh Farhi, seorang ahli pemerintahan Iran menyatakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, politik dalam negeri Iran telah didominasi oleh perselisihan tajam antara kubu konservatif Presiden Ahmadinejad dan lembaga republik Islam, yang menempatkan posisi Ahmadinejad menjadi kurang simpati. Hal ini ditambah dengan skandal keuangan pejabat dalam pemerintahannya.Dalam upaya mempertahankan kekuatan partai konservatifnya yang akan menghadapi pemilu pada Maret 2012, Ahmadinejad terus berupaya mencari dukungan, termasuk mempertahankan status sebagai negara yang berani melawan tekanan dan dominasi Amerika dengan ancaman penutupan Selat Hormuz. Namun demikian, ia masih harus menghadapi tekanan dari dalam negeri. Tekanan ini adalah apabila Amerika menerapkan sanksi untuk menutup transaksi bank sentral, Iran akan menghadapai krisis keuangan dalam negeri dan memperpanjang krisis masyarakat yang dialami sejak pascaperang dengan Irak.Selain itu, Presiden Ahmadinejad mau tak mau harus meminta restu pimpinan tertinggi Ayatollah Khamenei, terutama untuk menghadapi krisis dan apakah harus meneruskan industri nuklirnya atau tunduk pada keinginan PBB untuk melakukan restrukturisasi pada program nuklir tersebut. Imbauan perlawanan Iran pada Amerika diharapkan mengundang simpati negara-nagara Arab lainnya meskipun sulit tercapai. Meminta bantuan pada Suriah pun juga dianggap tidak signifikan sebab Suriah juga tengah mengalami krisis pemerintahan.Posisi IndonesiaBanyak ahli yang memprediksi beberapa kemungkinan bila benar Iran menutup Selat Hormuz dan Amerika melakukan sanki embargo minyak atau melakukan serangan militer pada instalasi nuklir dan minyak Iran. Prediksi aksi militer kemungkinan akan dilancarkan oleh Amerika dibantu oleh Israel. Dan, peperangan yang tidak seimbang akan terlihat antara kedua negara tersebut. Karena, potensi militer Iran, khususnya angkatan udara, sangat minim. Kekuatan angkatan laut militer Iran memang cukup memadai, namun tidak berarti banyak, mengingat potensi Iran banyak terkuras sejak perang tahunannya dengan Irak pada 1980-1988.Komando militer di Iran yang berada di bawah komando langsung dianggap memberikan bentuk positif perlawanan. Sebab, dengan ini Iran dapat mengoordinasi seluruh potensi angkatan perang dengan relatif lebih cepat. Selain itu, sentimen perlawanan yang ditiupkan oleh Iran sebagai negara Arab yang berani menantang imperialisme Amerika dapat menjadikan Iran secara moral terdukung.Namun demikian, yang dikehendaki oleh masyarakat Amerika adalah agar potensi konflik ber senjata hendaknya dihindari. Aksi militer Amerika pada krisis Selat Hormuz agaknya masih jauh dari kenyataan. Ini didukung oleh ke nyatan bahwa bagi Amerika, Iran bukan ancaman yang besar, dan program nuklir untuk persenjataan Iran yang dijadikan alasan aksi militer belum jelas ditemukan. Selain itu, posisi industri nuklir Iran saat ini tidak benar-benar da lam keadaan siap memproduksi senjata nuklir, setidaknya dalam waktu yang dekat.Kemungkinan lain bila krisis ini berlanjut pada aksi militer adalah dampak ekonomi, dimana harga minyak dunia akan melambung tinggi, dan negara-negara pengekspor minyak lain harus me naikkan produksi meskipun nantinya bertentangan dengan pembatasan kuota OPEC. Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan oleh Iran sendiri adalah krisis ekonomi akan terus berlanjut di Iran dan akan berdampak pada rakyat Iran.Bagi Indonesia, krisis Selat Hormuz secara langsung tidak akan berdampak yang berarti sebab kebutuhan minyak Indonesia tidak banyak bergantung dengan produksi Iran, seperti Cina, Jepang, India, atau Korea Selatan. Namun demikian, potensi dam pak berupa sentimen solidaritas akan terlihat mengingat masyarakat, termasuk penganut Syiah Indonesia, diketahui mempunyai tingkat solidaritas keagamaan yang begitu kuat dengan negara Timur Tengah. ● -
Apa Setelah Peringkat Naik?
Peningkatan peringkat utang RI oleh dua lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service, baru-baru ini, perlu disambut gembira.
Kenaikan peringkat utang itu akan meningkatkan citra Indonesia di pasar keuangan internasional dan menurunkan tingkat bunga surat utang negara ataupun swasta di pasar dunia. Namun, kita perlu terus waspada menghadapi gejolak perekonomian dunia saat ini.Hanya beberapa waktu sebelum krisis, lembaga pemeringkat sama memuji-muji dan meningkatkan peringkat surat utang Spanyol. Juga perlu disadari, kenaikan peringkat itu buah dari kebijakan yang hanya menekankan stabilitas perekonomian dan mengabaikan upaya peningkatan produktivitas serta daya saing untuk mencapai pertumbuhan kokoh dan berkesinambungan.
Ada dua kebijakan stabilisasi yang menonjol yang menghambat pertumbuhan: kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar. Dalam hal fiskal, pemerintah menekan defisit APBN hingga 1-2 persen dari PDB dan rasio pinjaman negara terhadap PDB hanya sekitar 25 persen. Kedua rasio ini jauh di bawah pagu yang diperbolehkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 3 persen dan 60 persen.
Sementara itu, berkat kenaikan nilai ekspor komoditas primer ke China dan India serta pemasukan modal jangka pendek, rupiah dibiarkan menguat terus-menerus. Pada gilirannya, rupiah yang menguat itu membuat harga komoditas impor jadi murah sehingga menyumbang pada upaya menekan laju inflasi sesuai target yang ditetapkan BI. Di lain pihak, rupiah yang terlalu kuat mengurangi daya saing komoditas ekspor dan merangsang alokasi faktor-faktor produksi yang menurunkan efisiensi perekonomian nasional.
Deregulasi Pasar Faktor Produksi
Kenaikan peringkat surat utang RI tak terkait dengan upaya untuk mengatasi hambatan (bottlenecks) pertumbuhan perekonomian nasional dewasa ini. Selain dari kebijakan ekonomi makro, hambatan pembangunan nasional juga karena kurangnya prasarana perhubungan, listrik, regulasi pertanahan, dan faktor perburuhan ataupun regulasi serta perizinan yang menghambat dunia usaha yang meningkatkan biaya produksi.
Untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya saing, dan memacu pertumbuhan ekonomi perlu deregulasi serta reformasi besar-besaran di pasar tenaga kerja, pertanahan, infrastruktur, listrik, dan perizinan usaha. Hanya dengan supply side reform seperti itu, daya saing dan produktivitas ekonomi nasional dapat ditingkatkan, investasi di sektor industri manufaktur dapat digalakkan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Karena keterbatasan pemerintah, swasta perlu diikutsertakan untuk membangun infrastruktur. Distorsi di pasar tenaga kerja dan pertanahan perlu dikoreksi.
Gabungan antara kondisi infrastruktur yang terbatas, rupiah yang menguat, dan perizinan serta iklim usaha yang kurang baik membuat Indonesia kurang menarik bagi PMA. Berbeda dengan negara ASEAN lain, Indonesia tak masuk dalam global supply chain, yakni penghasil suku cadang serta komponen barang-barang elektronik dan otomotif yang banyak menyerap tenaga kerja. Ironinya, karena di dalam negeri tak ada lapangan pekerjaan, tenaga kerja Indonesia merantau ke seluruh dunia, termasuk Malaysia, menjadi buruh perkebunan ataupun pekerja di pabrik milik investor Jepang, Korea, Taiwan, dan investor lain. Kenapa para investor asing ini tidak diundang ke Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri?
Pemasok Bahan Mentah dan Pasar
Sepuluh tahun terakhir perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen setahun, ini terutama karena naiknya harga bahan mentah yang kita ekspor ke pasar dunia dan bukan karena kebijakan ekonomi pemerintah ataupun kenaikan produktivitas tenaga kerja. Kejadian sekarang hampir sama dengan boom migas 1973-1982 yang terjadi setelah pecahnya perang Mesir-Israel tahun 1973.
Waktu itu, tanpa berbuat apa-apa untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, tiba-tiba Indonesia jadi lebih kaya hanya karena kenaikan harga minyak bumi dan gas alam. Bahan mentah yang kita ekspor sekarang ini adalah hasil pertambangan nonmigas, pertanian, maupun perikanan, seperti bijih besi, tembaga, batubara, minyak sawit, dan karet. Ekspor bahan mentah terutama ditujukan ke China dan India yang perekonomiannya dapat tumbuh 9-10 persen setahun terus-menerus selama 30 tahun terakhir.
Industrialisasi, mekanisasi, dan urbanisasi perlu berbagai jenis bahan baku dan energi yang lebih besar. Masyarakat China dan India yang lebih kaya juga butuh bahan makanan yang lebih baik, seperti hasil laut dari Indonesia dan minyak goreng yang dibuat dari kelapa sawit. Indonesia telah jadi negara pemasok bahan mentah ke kedua negara itu, sekaligus menjadi pasar produk mereka, baik hasil industri manufaktur maupun pertanian.
Karena ketergantungan ekonomi kita pada ekspor bahan mentah yang terutama diekspor ke China dan India, perlu diperhatikan gejolak pasar komoditas internasional serta kondisi perekonomian Eropa dan AS sebagai tujuan utama ekspor negara itu. Krisis ekonomi global telah mulai mengganggu industri manufaktur dan konstruksi yang merupakan motor penggerak ekonomi China dan India.
Krisis global telah mulai menurunkan permintaan akan ekspor manufaktur China dan India. Sebagai bagian dari stimulus fiskal, sektor konstruksi merupakan penggerak ekonomi yang terutama digunakan kedua negara sejak krisis 2008 untuk mengompensasi penurunan ekspor. Sekarang ini, bangunan perumahan, perkantoran, jalan raya, dan kereta api cepat sudah mengalami ekspansi yang berlebihan di China. Pada gilirannya, penurunan ekspor serta kegiatan ekonomi China dan India akan mengurangi permintaan mereka atas ekspor hasil tambang serta pertanian kita.
Di lain pihak, Indonesia jadi pasar bagi produk China dan India, baik hasil pertanian maupun manufaktur. Penetrasi China ke Indonesia kian mudah setelah diturunkannya tarif bea masuk dan dihapuskannya hambatan nontarif dalam rangka Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN. Gabungan penguatan rupiah dan kebijakan China yang membuat mata uang yuan melemah menjadikan komoditas China kian murah di Indonesia.
Struktur APBN
Baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, APBN tak dapat berfungsi sebagai instrumen kebijakan kontrasiklis (countercyclical) untuk mengatasi gejolak perekonomian. Jika perekonomian mengalami penurunan, sangat terbatas kemampuan pemerintah mengintrodusir stimulus fiskal. Instrumen stabilisasi otomatis pun sangat terbatas. Dari sisi pendapatan, rasio penerimaan negara dari pajak (11,6 persen tahun 2010) adalah salah satu yang terendah di kalangan negara berkembang. Sebagian besar penerimaan pajak berupa pajak pendapatan usaha dan perorangan (5,7 persen), sisanya pajak tak langsung, termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Rendahnya rasio penerimaan negara itu mencerminkan buruknya administrasi perpajakan kita, terbatasnya basis pajak, dan banyaknya pengecualian bebas pajak. Pemilik NPWP masih sekitar 5 persen dari jumlah penduduk, audit perpajakan masih jauh dari sempurna. Buruknya administrasi perpajakan antara lain tecermin dari kasus Gayus Tambunan, pegawai rendah Ditjen Pajak yang dapat memobilisasi semua aparat tinggi penegak hukum untuk melakukan kejahatan perpajakan.
Dari sisi pengeluaran, mata anggaran terbesar adalah untuk transfer ke daerah dalam rangka otonomi, subsidi, terutama subsidi BBM, pembayaran gaji PNS, dan bunga utang. Pengeluaran pembangunan hanya 2,3 persen dari PDB 2011. Dengan anggaran pembangunan rendah, tak mungkin pemerintah dapat mengatasi kelangkaan infrastruktur dewasa ini.
Meminjam atau menjual SUN di pasar dunia adalah salah satu alternatif untuk membiayai pembangunan infrastruktur pada tingkat rasio penerimaan pajak yang rendah ini. Apalagi tingkat suku bunga sedang menurun karena naiknya peringkat utang. Pilihan lain, mengundang partisipasi modal swasta untuk investasi di infrastruktur. Karena tabungan nasional relatif kecil dan pasar uang nasional relatif sempit, meminjam di pasar dalam negeri dapat menimbulkan crowding out yang meningkatkan suku bunga bagi investasi swasta. Dalam hal meminjam, Indonesia masih punya peluang karena rasio defisit APBN dan rasio utang negara terhadap PDB masih berada di bawah tingkat yang diperbolehkan UU Keuangan Negara.
Tidak ada yang perlu ditakuti selama utang digunakan untuk keperluan peningkatan produksi dan produktivitas ekonomi nasional, seperti proyek-proyek infrastruktur. Peningkatan produksi itu kelak digunakan untuk melunasi utang.
Nilai Tukar Rupiah Kian Menguat
Gabungan antara peningkatan harga komoditas ekspor bahan mentah dan derasnya pemasukan modal jangka pendek telah menguatkan nilai tukar rupiah, baik nominal maupun riil, setelah dikoreksi dengan tingkat laju inflasi. Penguatan rupiah karena kenaikan harga bahan mentah dan pemasukan modal jangka pendek ini mengganggu daya saing komoditas lain (the Dutch disease). Sebagai contoh, karena rupiah kian menguat, buah-buahan, kembang, dan berbagai jenis produk manufaktur kita tak mampu bersaing dengan impor. Akibatnya, terjadi proses deindustrialisasi di mana peranan sektor industri manufaktur kian mengalami erosi, baik dalam pembentukan PDB, penghasilan ekspor, maupun penyerapan tenaga kerja.
Apresiasi rupiah mendorong realokasi faktor-faktor produksi dari sektor traded ke sektor nontraded. Sektor traded dianggap lebih efisien karena menghasilkan barang dan jasa yang bisa diekspor ke pasar dunia dan diimpor. Sektor nontraded, seperti real estat, mal, dan lapangan golf, hanya dikonsumsi di mana ia diproduksi. Penguatan rupiah sekaligus menimbulkan ketimpangan regional. Hasil tambang, pertanian, dan perikanan laut yang harganya meningkat karena pertumbuhan ekonomi China dan India yang pesat itu diproduksi di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sebaliknya, produsen komoditas yang tak mampu bersaing dengan China dan India berada di Pulau Jawa.
Karena penduduk Jawa sangat padat, pengangguran akan menimbulkan masalah sosial. Cara penanggulangan kemiskinan terbaik adalah menciptakan lapangan kerja bagi penganggur dan bukan sekadar membagi-bagikan beras untuk orang miskin (raskin), bantuan langsung tunai, ataupun mengekspor TKI ke luar negeri.
Kebijakan pengaturan kurs devisa oleh pemerintah sekarang ini bertolak belakang dengan devaluasi oleh Orde Baru pada 1978, 1993, dan 1986. Saat itu ekonomi Indonesia masih kuat dan menikmati berkah dari harga minyak tinggi. Devaluasi rupiah dilakukan untuk mengoreksi penyakit Belanda dan merangsang ekspor manufaktur, terutama tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki, mengantisipasikan penurunan ekspor migas karena penurunan tingkat harga. Sekarang ini, kurs devisa justru ikut mematikan kegiatan industri dan pertanian di dalam negeri. ●
Apa Setelah Peringkat Naik?
Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber : KOMPAS, 2Februari 2012 -
Uji Nyali (tanpa) Subsidi BBM
Uji Nyali (tanpa) Subsidi BBMErkata Yandri, PERISET PADA SOLAR ENERGY RESEARCH GROUP,KANAGAWA INSTITUTE OF TECHNOLOGY, JEPANGSumber : KORAN TEMPO, 2Februari 2012Memasuki awal tahun 2012, isu subsidi BBM semakin menghangat. Dalam situasi produksinya yang semakin menurun, konsumsinya justru semakin meningkat. Itu pun tidak didukung oleh kemampuan kilang yang mencukupi. Akibatnya, setiap hari ada sekitar 400 ribu barel BBM harus diimpor, umumnya dari hasil kilang negara tetangga, Singapura.Perlu dicatat, beban subsidi BBM 2011, yang awalnya dianggarkan Rp 95,9 triliun, dan kemudian dikoreksi menjadi Rp 129,7 triliun pada APBN Perubahan (APBN-P), kemungkinan besar akan jebol menjadi Rp 160 triliun. Disparitas harga yang sangat mencolok antara BBM bersubsidi dan non-subsidi dituding sebagai penyebab utamanya, di samping juga lemahnya kontrol alokasi dan distribusi di lapangan.Dengan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap minyak, berarti kita juga harus sadar akan segala konsekuensi hukum ekonominya. Akibat pertumbuhan ekonomi dan meledaknya populasi dunia dari tahun ke tahun, konsumsi pun meningkat, sementara ketersediaannya semakin menipis karena tidak terbarukan. Perlu dicamkan, Indonesia tidak ada apa-apanya lagi dalam hal minyak. Bahkan minyak akan segera menghilang beberapa tahun lagi jika tidak ditemukan cadangan baru.Jika dilihat dari sikap hati-hati pemerintah dalam mempertahankan kebijakan subsidi BBM, sangat memungkinkan angka 2012 akan semakin membengkak lagi. Pertanyaannya, siapkah Indonesia menghadapi kemungkinan gejolak harga minyak dunia dengan kebijakan subsidi BBM sekarang ini?Tak Percaya DiriSewaktu konsumsi BBM subsidi semakin melewati budget tahun lalu, paling tidak pemerintah langsung mengambil tindakan pengurangan subsidi dan/atau penghematan energi. Sayangnya, setelah ditunggu-tunggu, menggarap salah satu dari dua hal itu pun tidak serius, apalagi dua-duanya. Ternyata pemerintah tidak punya nyali dalam mengurangi subsidi, begitu juga tidak punya gereget dalam tindakan menghemat energi. Subsidi BBM itu sebenarnya bisa ditekan asalkan pemerintah memang punya niat dan usaha yang serius. Mengapa begitu susah?Paling tidak, ada dua kemungkinan sebagai penyebabnya. Pertama, tidak percaya diri, yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidakyakinan akan apa yang sudah dilakukan dan dicapai selama ini. Padahal momentum tahun 2011 kemarin lagi sangat bagus, yang katanya tingkat pertumbuhan perekonomian sekitar 6,6 persen, dengan inflasi sekitar 4 persen. Sayang sekali tidak dimanfaatkan dengan baik. DPR pun kelihatannya mendukung rencana kenaikan waktu itu. Hitungan ekonomi kelihatannya memang logis dan sederhana, tetapi dibuat rumit oleh pemerintah karena ada tambahan faktor politik dalam perhitungannya.Kedua, mempertahankan citra, dengan alasan klasik demi menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Logis saja! Jika bisa terlihat lebih baik hati dengan memakai uang rakyatnya sendiri, mengapa itu tidak dilakukan? Semangatnya dalam mengejar target setoran pajak ternyata juga diimbangi dengan bersemangatnya untuk segera menghabiskannya ke bentuk subsidi BBM. Apa pun itu, tetap ada citra yang dipertahankan, dengan kocek negara sebagai sponsornya.Baiklah, mari berpikir positif saja. Bisa dipahami alasannya agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi yang katanya semakin membaik, bahkan mendapat peringkat investment grade. Mungkin, pemerintah tidak mau mengambil risiko itu tahun ini. Tetapi, jika mengacu ke tahun pemilu 2014, maka kecil juga kemungkinannya risiko itu diambil tahun itu.Bukannya terlalu curiga, diusungnya Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, oleh partainya sebagai calon presiden pada 2014 nanti, tentu sedikit-banyak akan berpengaruh pada usaha memuluskan pencalonannya. Artinya, angka dan skenario subsidi sedang diutak-atik dengan ketat untuk dua tahun ke depan, 2012 dan 2013. Output-nya, untuk melihat kemungkinan peluang citra dan masalah subsidi agar tidak saling meniadakan. Solusinya, tidak menutup juga kemungkinan jurus ”BLT” kembali yang dikeluarkan menjelang ”last minutes”. Kalau sudah begitu, betapa panasnya ”suhu” di koalisi pemerintah dan parlemen saat itu.Kreativitas dalam BerenergiSebenarnya, tidak ada yang salah dengan subsidi, asalkan dihabiskan untuk tujuan yang benar dan diberikan ke pihak yang tepat. Dengan kemampuan keuangan negara yang terbatas, jangan sampai pula dimanfaatkan untuk membangkrutkan negara ini. Jangan sampai nanti ada akal-akalan berutang sana-sini dengan alasan pertumbuhan ekonomi mungkin sulit dihindarkan. Perlu tindakan jangka panjang untuk “menekan” subsidi, agar lebih terkendali. Pemerintah harus menciptakan fleksibilitas dan kreativitas dalam berenergi.Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus meningkatkan program kepedulian penghematan energi, khususnya BBM, dan segala tindakan yang mendukung penghematan BBM. Tindakan yang mendasar adalah perbaikan kualitas dan keamanan transportasi publik, sekalian mempercepat pembangunan transportasi publik yang cepat dan massal. Begitulah caranya merayu pemakai kendaraan pribadi agar pindah ke lain hati. Selanjutnya, harus dikaji lebih serius dan mendalam bagaimana mengurangi mobilitas orang tanpa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan kemajuan IT, perlu digalakkan toko onlinedan konsep bekerja dari rumah. Kemudian, perlu juga dianalisis pembatasan jam buka pusat belanja, atau lebih revolusioner lagi dengan konsep 5.5 atau 6 hari bisnis per minggu, sehingga kendaraan pribadi dan kendaraan umum lebih dioptimalkan pada jam dan hari yang disediakan itu.Kedua, pemerintah harus segera melakukan penguasaan teknologi dan mengindustrialisasi potensi aplikasi dari energi terbarukan (ET) untuk transportasi. Momentum semangat mobil nasional yang dipicu Kiat-Esemka sedapat mungkin juga bisa diarahkan sebagian ke pengembangan mobil listrik. Dengan potensi sumber ET dan SDM yang dimilikinya, seharusnya Indonesia percaya diri mengembangkan teknologi ET dan mobil listrik, misalnya dengan teknologi sel surya, angin, ataupun dengan hidrogen. Bukan masalah energi saja yang terbantu, tetapi juga lapangan kerja.Sebagai gambaran, di Jerman, salah satu negara termaju dalam pengembangan aplikasi dan industrialisasi ET, pada 2004 sektor industri ET sudah mampu menyediakan 157.075 tenaga kerja. Diperkirakan angka itu akan tetap tumbuh dengan rata-rata sekitar 6,5 persen setahun sampai 2030. Jika Indonesia tidak siap dan selalu mengandalkan bantuan pihak asing, kondisi Indonesia sudah bisa dipastikan sebagai pasar teknologi energi yang sudah mereka kembangkan.Ketiga, pemerintah harus meningkatkan daya beli energi, dengan meningkatkan ekonomi masyarakat, atau mengurangi tekanan biaya hidup dari kebutuhan non-energi. Dengan demikian, akan mengurangi alasan orang yang menganggap dirinya ”miskin”. Pemerintah tidak perlu takut. Masih terbuka peluang meraih citra dengan membebaskan republik ini dari penjajahan subsidi BBM. Caranya, harus menggratiskan sekolah sampai SMU/SMK, membebaskan biaya kesehatan, menggenjot infrastruktur, dan sebagainya. Memang berat kalau dikonversi sekali jadi, tetapi masih bisa dimainkan secara bertahap dalam beberapa tahun. Level ilmu ekonomi ”warungan” sudah bisa menangkap maksud ”keluar kantong kanan masuk kantong kiri” ini. Tentu, harapannya akan merangsang pertumbuhan, produktivitas, dan efisiensi di sektor lainnya selama ”dialihkan” itu.Jangan pernah bersembunyi dari ”hantu inflasi”. Hadapilah dengan nyali. Ia akan muncul jika fleksibilitas dan kreativitas berenergi sudah tertancap kuat di negeri ini. Itu akan tercapai jika pemerintah mampu memikirkan tindakan apa yang pantas untuk saat ini dan langkah jauh ke depannya.Terakhir, bernyalikah pemerintah berdiri tegak berkuasa tanpa harus ditopang oleh subsidi BBM? Hanya pemimpin yang bernyalilah yang mampu menjawabnya dengan strategi dan rencana tindakan yang jelas lagi terukur. Belenggu subsidi hanya bisa dilepas dengan kemauan, keberanian, dan kreativitas, bukan dengan ”pura-pura baik”. Maka, buktikanlah citramu, dengan nyalimu! ● -
Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng (Bagian-2)
Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng (Bagian-2)Dwi Sasongko, ALUMNUS PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF DIPLOMACYSumber : SINDO, 2Februari 2012Sederet sanksi DK PBB yang diterapkan sejak 2006 hingga 2010 gagal menghentikan ambisi program nuklir Iran. Amerika Serikat (AS) dan sekutunya (Barat) kini sudah tak sabar dan mulai “main hakim sendiri” dengan mengeroyok Iran.
Uni Eropa sepakat melakukan embargo minyak Iran mulai 1 Juli mendatang.Adapun Presiden AS Barack Obama belum lama ini telah menandatangani National Defense Authorization Act,undang-undang yang mengatur sanksi baru bagi Iran.UU ini memiliki lingkup dan power yang lebih besar bagi AS untuk memblokade bank sentral dan sektor finansial Iran.Pertanyaannya, apakah sanksi unilateral ini akan berjalan efektif dan bisa menyelesaikan masalah nuklir Iran atau malah sebaliknya bisa menimbulkan masalah yang lebih besar?Kecurigaan terhadap nuklir Iran membuat Barat frustrasi dan gelap mata. Padahal aksi “koboi” Barat ini sebenarnya tidak diperlukan jika semua pihak bisa saling menghormati kedaulatan masing-masing. Apalagi, Iran sebenarnya bersedia kembali ke meja perundingan dan mengizinkan para pengawas Badan Energi Atom Internasional (IAEA) datang ke fasilitas nuklir Iran sebagai bentuk transparansi atas program nuklir damainya. Karena itu,sanksi isolasi ini bisa disebut bentuk kesewenangan dari negara-negara besar terhadap negara berkembang seperti Iran.
Iran dan Embargo Minyak
Menurut data dari Global Trade Atlas, jumlah ekspor minyak Iran tahun 2010 menunjukkan bahwa China paling banyak mengimpor minyak Iran, yakni 426 ribu barel/hari atau 20% dari keseluruhan ekspor minyak Iran. Berikutnya berturut- turut, Jepang (362 ribu atau 17%),India (345 ribu atau 16%), Italia (208 ribu atau 10%), dan Korea Selatan (203 ribu atau 9%). Sisanya sekitar 610 ribu atau 28% minyak Iran diekspor ke Yunani, Turki, Belanda,Prancis, Italia,Afrika Selatan,dan lainnya.
Sebanyak 80% pendapatan Iran berasal dari minyak (2010). Kebijakan embargo minyak memang sedikit banyak bakal memengaruhi perekonomian Iran.Namun,kebijakan embargo minyak Uni Eropa dan sanksi baru ekonomi AS itu diprediksi tidak akan mampu membuat Iran menyerah. Mengapa? Pertama, AS telah sering melakukan embargo dan mengisolasi Iran baik secara ekonomi maupun politik sejak Revolusi Islam 1979. Namun puluhan tahun hidup dalam isolasi AS dan sekutunya, Iran tetap bisa bertahan. Bahkan, ekonomi Iran terus membaik dari waktu ke waktu.
Iran yang sudah terbiasa hidup dalam tekanan dan keterbatasan diprediksi akan mampu mengatasi masalah tersebut. Kedua,ajakan Barat untuk mengembargo minyak Iran tampaknya sulit diwujudkan. Embargo nanti kemungkinan hanya dilakukan oleh Uni Eropa dan sekutunya di Asia Timur,yakni Jepang dan Korea Selatan. Itu pun jika mereka berhasil mendapatkan pasokan minyak untuk menggantikan pasokan dari Iran.Arab Saudi yang juga sekutu Barat tampaknya bersedia menyuplai minyak ke Barat.
Jika benar embargo dilaksanakan pun Iran hanya akan kehilangan sekitar 44% ekspornya.Iran masih bisa menjual minyaknya ke China,India, dan sejumlah negara lain yang setia membeli minyak dari Iran. Selain itu, Iran juga masih bisa memanfaatkan pasar gelap untuk menambah pendapatan negaranya. Ketiga,China dan Rusia yang selama ini memiliki hubungan dekat dengan Iran dipastikan juga tidak akan tinggal diam. Rusia merupakan pemasok senjata dan partner Iran dalam mengembangkan nuklir.
Adapun China membutuhkan minyak Iran untuk pembangunan ekonominya yang saat ini sedang menggeliat. Rusia dan China dipastikan akan tetap menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan Iran. Seperti biasa, Rusia dan China akan memainkan politik “dua kaki” terkait masalah nuklir Iran. Di satu sisi,mereka tidak mau kehilangan mitra strategis seperti Iran, di sisi lain mereka harus juga memperhitungkan ASyangjelasanti-Iran.ASharus diakui meski didera krisis masih memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang tak bisa diremehkan oleh China atau Rusia, terutama soal kekuatan pertahanannya.
Keempat, kebijakan AS yang memblokade Bank Sentral Iran tampaknya juga akan mengundang kontroversi atau tentangan dari Rusia dan China yang memiliki hubungan perdagangan yang intens dengan Iran.Kebijakan AS tersebut dikhawatirkan mengganggu hubungan AS dengan Rusia dan China. Bagaimanapun faktor Rusia dan China ini patut diperhitungkan AS ketika menyangkut masalah Iran ini. Hal ini yang nantinya membuat sanksi blokade AS terhadap Iran menjadi kurang bertaji karena Rusia dan China diprediksi akan menentangnya.
Ancaman Perang Terbuka
Terlepas dari berhasil tidaknya sanksi embargo tersebut, kebijakan unilateral Barat terhadap Iran akan memberikan dampak yang luas.Kebijakan embargo ini setidaknya bakal berdampak pada melonjaknya harga minyak dunia. Apalagi dalam waktu dekat ini Iran akan mulai lebih dulu menghentikan kiriman minyaknya ke sejumlah negara.
Saat ini saja harga minyak dunia sudah hampir mencapai USD 100 per barel. Bukan tidak mungkin gejolak kasus Iran ini membuat harga minyak dunia semakin melangit. Hal ini tentu akan memicu kepanikan ekonomi dunia karena sebagian besar dari negara-negara di dunia masih menyandarkan energinya pada pasokan minyak. Belum lagi jika Iran benarbenar melaksanakan ancamannya menutup Selat Hormuz. Penutupan Selat Hormuz akan membawa implikasi yang sangat besar. Bahkan, hal itu bisa memicu perang terbuka yang tidak saja melibatkan Iran dan Barat.
Rusia dan China yang tidak mau kepentingannya di Iran hilang tentu akan ikut campur. Sejumlah pengamat bahkan memprediksi kemelut Selat Hormuz bisa berujung perang dunia karena banyak negara yang terlibat dalam konflik terbuka tersebut. Selat Hormuz begitu strategis karena merupakan urat nadi perdagangan minyak dunia.Lebih dari sepertiga pasokan minyak dunia diangkut kapal melalui selat tersebut. Karena itu, banyak kalangan meragukan ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz karena Iran tak hanya akan berhadapan dengan kekuatan militer AS dan sekutunya jika berani menutup selat tersebut.
Banyak negara lain yang terganggu pasokan minyaknya juga akan memusuhi Iran. Hal ini pasti menjadi pertimbangan Iran untuk berpikir dua kali dalam menutup Selat Hormuz. Kekuatan militer Barat bakal terus bercokol di sekitar Selat Hormuz untuk memastikan jalur tersebut aman dari serangan Iran. Meski secara angka di atas kertas menang, AS juga tidak akan gegabah menyerang Iran.Perang di Irak dan Afghanistan telah juga menguras keuangan AS.Apalagi,menurut data Departemen Keuangan AS per 30 Desember 2011,utang AS mencapai USD15,22 triliun dan ini telah melampaui produk domestik bruto (GDP) AS yang totalnya USD15,18 triliun.
Selain itu, AS juga akan memperhitungkan serangan rudal Iran ke Israel. Iran yang sudah terjepit bukan mustahil akan melepaskan rudal-rudalnya ke wilayah Israel.Selain itu, AS akan memperhitungkan Rusia dan China sebagai “teman” Iran. Rusia dan China diperkirakan akan terus berupaya mencegah serangan AS ke Iran. China dan Rusia sebenarnya merupakan faktor kunci dalam menyelesaikan masalah ini. Campur tangan kedua negara ini diperlukan untuk meredam eskalasi konflik yang bisa mengarah ke perang terbuka. Rusia dan China bisa memaksa Iran dan Barat untuk kembali ke meja perundingan dan membicarakan masalah nuklir Iran secara lebih transparan.
Pemecahan masalah melalui diplomasi sangat penting dilakukan agar tidak menjurus pada perang terbuka yang bisa merugikan seluruh masyarakat dunia. Sementara itu, Iran yang terus menjadi bulan-bulanan Barat bukan tidak mungkin akan mengubah paradigmanya soal program nuklirnya. Iran bisa saja memutuskan keluar dari NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) untuk kemudian mengembangkan senjata nuklir.
Iran bisa mengikuti jejak Korea Utara, India, Israel,atau Pakistan jika haknya dalam memiliki teknologi nuklir damai terus diganggu. Bagaimanapun kepemilikan senjata nuklir akan membuat Iran lebih diperhitungkan dunia internasional.
● -
Jika Iran Diserang
Jika Iran DiserangMuhammad Ja’far, PENGAMAT TIMUR TENGAH; PENELITI INDOPOL RESEARCH CENTERSumber : KORAN TEMPO, 2Februari 2012Ibarat balon, potensi krisis yang kini melanda Amerika Serikat dan Eropa semakin menggelembung. Menyerang Iran secara militer, dengan tuduhan pengembangan senjata nuklir, bisa menjadi peniti peletusnya. Dan dentuman pecahan balon (efek krisis) akan terdengar di seantero global, termasuk Asia.Kini, isu nuklir Iran semakin panas. Negara-negara Eropa menjatuhkan sanksi embargo minyak ke Iran. Langkah ini ditujukan untuk menekan Iran secara ekonomi, agar bisa melunak di tingkat negosiasi politik. Bahkan muncul opsi tentang serangan militer ke Iran, meski opsi ini belum menguat. Namun Iran menjawab tekanan itu dengan menunjukkan betapa pentingnya peran Iran sebagai salah satu penyuplai kebutuhan minyak dunia, termasuk suplai ke negara-negara Eropa.Sebagai gambaran, 30 persen kebutuhan minyak domestik Yunani diimpor dari Iran. Saat ini, ekonomi Yunani sedang sekarat. Terhentinya suplai minyak Iran ibarat dicabutnya “slang oksigen”. Yunani akan kolaps. Lebih dari itu, jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz sebagai bentuk perlawanan, rembetan krisis semakin menjalar luas, karena 20 persen konsumsi minyak mentah dunia melewati selat itu.Meski Arab Saudi menjamin akan mensubstitusi kebutuhan minyak yang hilang akibat penutupan Selat Hormuz dan tindakan militer akan segera dikerahkan untuk membuka kembali Hormuz, pasar minyak akan telanjur panik. Harga akan terkerek di atas US$ 100 per barel. Efeknya, instabilitas ekonomi global. Sekadar ilustrasi, jika harga minyak menyentuh titik US$ 150 per barel, subsidi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah Indonesia sebesar Rp 200 triliun.Kancah PolitikKita tahu, ilmu pengetahuan tidak netral. Ada kuasa di dalamnya. Baik dalam mengkonstruksikan konsepsinya maupun mendayagunakan hasilnya. Diskursus nuklir adalah bukti otentik. Di kancah politik, ambivalensi nuklir terang sekali. Apalagi ditambah dengan karut-marut pola komunikasi politik dan strategi diplomasi. Kancah politik menyibak tirai klaim obyektivitas sains. Bahwa itu tak lebih dari ekspresi subyektivitas hegemoni sebuah nalar (Barat) di atas inferiorisasi nalar yang lain (Timur).Amerika Serikat, Eropa, dan Israel semakin kuat menekan Iran untuk menghentikan program nuklirnya, atas tuduhan bertujuan militer. Sedangkan Iran sendiri menegaskan tujuan damai dari program nuklirnya itu. Dalam politik, obyektivitas memang sulit ditemukan. Kepentingan disepakati sebagai “subyektivitas yang paling obyektif”. Tapi setidaknya ada ukuran-ukuran yang bisa dijadikan sebagai standar moral dan etik.Pertama, secara faktual, ada beberapa negara yang secara pasti memiliki senjata nuklir, termasuk Israel. Tentu menimbulkan “irasionalitas” tersendiri jika serangan militer terhadap Iran dinisbatkan pada argumentasi: menciptakan tata keamanan dan perdamaian global. Ini lebih kepada persoalan superioritas dan inferioritas kekuasaan dalam tata hubungan politik global.Kedua, tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal yang menjadi landasan keputusan invasi ke Irak pada 2003 tidak pernah terbukti secara ilmiah dan konkret hingga saat ini. Tuduhan itu menjadi “mitos ilmiah” dalam laboratorium kekuasaan. Fenomena itu membuktikan adanya jarak antara sains dan politik. Terjadi praktek politisasi ilmu(wan) atau “saintifikasi” politik. Ilmu(wan) digunakan untuk melegitimasi keputusan politik. Sebaliknya, sebuah keputusan politik diklaim memiliki basis argumentasi ilmiahnya (sains). Ada kuasa dalam ilmu. Ada ilmu yang merasuk dalam kekuasaan. Di sini, politik menyingkap secara jelas klaim obyektivitas dan netralitas ilmu pengetahuan sebagai sebuah mitos.Ketiga, soal nuklir Iran menunjukkan adanya jarak antara prinsip politik dan pragmatisme ekonomi yang terjadi dalam tatanan relasi global saat ini. Larangan kepada berbagai negara untuk mengimpor minyak dari Iran menjadi strategi politis untuk menekan negeri itu. Mengucilkan Iran secara ekonomi diharapkan bisa meluluhkan diplomasi politiknya. Tapi, problematisnya, tingkat ketergantungan “bangunan ekonomi global” pada hasil minyak negara Timur Tengah, salah satunya Iran, sangat tinggi. Ibarat permainan tali-temali ala koboi, sanksi embargo minyak Iran akan menjerat laju ekonomi banyak negara, termasuk AS dan Eropa sendiri.Selain itu, historisitas politik Iran sangat tidak asing dengan tindakan represi politik dan isolasi ekonomi. Satu tahun setelah berdirinya, negara Islam Iran sudah digempur oleh Saddam Husein. Setelah masa itu, Iran juga tumbuh dalam jeratan sanksi embargo ekonomi. Namun Iran dapat bertahan. Jadi, historisitas politik membuat negeri itu memiliki imunitas tersendiri terhadap tekanan politik dan embargo ekonomi. Kesimpulannya, jika serangan militer terhadap Iran dimaksudkan untuk tujuan ini, tidak akan terjamin efektivitasnya. Malah berefek pada lingkup global.Risiko SeranganSebaliknya, serangan ke Iran memiliki risiko besar pada politik luar negeri dan ekonomi Negeri Abang Sam, Eropa, dan Israel sendiri. Cina dan Rusia, meskipun tidak akan sepenuhnya menunjukkan dukungan kepada Iran, tentu berharap serangan itu akan menyita cukup banyak energi politik dan militer Amerika Serikat. Semakin meneguhkan era transisional menuju semakin superiornya Cina.Serangan ke Iran akan membuat Eropa, yang sedang membenahi ekonomi dalam negerinya, terbelah konsentrasinya. Akan ada alokasi dana baru untuk kepentingan militer di tengah resesi keuangan yang melanda. Sementara itu, untuk Israel, serangan ini memang dapat memperluas radius rasa amannya yang selama ini terganggu oleh pertumbuhan kekuatan Iran.Namun, pada sisi yang lain, keuntungan ini harus dibayar mahal dengan kemungkinan masifnya serangan balik militer Iran ke beberapa jantung pertahanan dan kota Israel. Bagi negara Israel yang selama ini sangat menekankan “psikologi stabilitas”, kondisi seperti itu akan menjadi yang paling parah dalam rentang sejarah politiknya. Apalagi, posisi dan daya tawar politik Israel masih “goyang” seiring dengan pergantian kekuasaan di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman. Ini bukan saat yang tepat bagi Israel untuk terlibat dalam sebuah perang.Sementara itu, Iran sendiri memiliki daya tawar politik tinggi dan pengaruh kuat di beberapa negara ini: Lebanon, Suriah, Irak, dan Bahrain. Pemerintah Bahrain masih sibuk meredam gejolak revolusi yang potensial menaikkan kelompok Syiah ke kekuasaan. Sedangkan di Irak, faksi politik pro-Iran adalah mayoritas. Walaupun tidak memberikan dukungan langsung, Lebanon dan Suriah akan berada di belakang Iran. Semua ini memberikan kekuatan moral politis bagi Iran.Walhasil, serangan ke Iran penuh risiko. Bukan menyelesaikan masalah, keputusan ini justru semakin meremukkan tata politik global dan menghantam ekonomi AS dan Eropa. ● -
Sulitnya Memulihkan Independensi KPK
Sulitnya Memulihkan Independensi KPKBambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI FRAKSI PARTAI GOLKARSumber : SINDO, 2Februari 2012Di tengah kesulitan memulihkan independensi, kepemimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mencatat progres yang cukup signifikan.
Konsistensi pemberantasan korupsi butuh independensi KPK dan independensi itu terwujud jika pimpinan KPK solid. Sejalan dengan terungkapnya begitu banyak kasus korupsi, bisa dimaklumi jika banyak pihak berupaya menitipkan kepentingannya di KPK. Titipan kepentingan itu akan menggoyahkan sendi-sendi soliditas dan independensi KPK. Karena itu, memang tidak mudah memulihkan independensi KPK. Kalau semua unsur di KPK solid dan bekerja seturut kata hati nurani, independensi otomatis terwujud. Satu saja goyah imannya, soliditas akan tercabik-cabik dengan risiko KPK kehilangan independensi.Kalau KPK tidak independen. kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan elemen-elemen kekuatan besar di negara ini tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya. Itulah mengapa proses hukum skandal Bank Century dibiarkan stagnan.Kasus mafia pajak itu bermuatan tindak pidana korupsi yang membahayakan keuangan negara.Tetapi,KPK tidak responsif terhadap kasus ini, kendati perkara yang melibatkan terpidana penggelapan pajak Gayus Tambunan bisa menjadi entry point membongkar jaringan mafia pajak di negara ini.Juga karena ada dugaan KPK tidak independen, terjadi rekayasa berkas acara pemeriksaan (BAP), seperti tampak dalam kasus suap wisma atlet.
Independensi KPK periode sebelumnya memang sangat diragukan.Karena itu, pimpinan KPK periode sekarang diharapkan segera memulihkan independensi itu. Kalau pekan lalu publik sempat menggunjingkan dan mempermasalahkan (kalau benar), rapuhnya soliditas pimpinan KPK, itulah bukti tentang sulitnya mewujudkan independensi KPK. Ketua KPK Abraham Samad boleh saja menegaskan pimpinan KPK tetap kompak.Mudahmudahan benar. Tetapi, penegasan itu tidak bisa serta-merta mementahkan persepsi publik.
Apalagi,ketika mengumumkan Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka kasus cek pelawat, dia tidak didampingi pimpinan KPK lainnya. Cerita tentang disharmoni pimpinan KPK itu sudah mengemuka di ruang publik berhari-hari sebelumnya. Apa yang digunjingkan pun sangat rinci, sebagaimana dipublikasikan sejumlah media. Apalagi, mereka yang bertutur mengaku mendapatkan informasi dari dalam dengan kualifikasi informasi A-1. Namun, beruntung bahwa pergunjingan masalah ini tidak berlarut-larut.
Terlepas dari tarik menarik kepentingan itu, pimpinan KPK periode sekarang sudah mencatat progres yang cukup signifikan. Itulah yang membedakan pimpinan KPK sekarang dengan periode sebelumnya. Selain bergerak cepat, pimpinan KPK langsung unjuk nyali.Hasilnya memang cukup menjanjikan.
Tantangan Berat
Puja-puji dari berbagai kalangan pun dikumandangkan untuk mengapresiasi KPK. Wajar. Sebab, bagaimana pun, Nunun dan Miranda merupakan dua nama yang punya nilai khusus untuk merefleksikan kinerja KPK periode ini.Tentunya, menarik untuk ditelusuri mengapa KPK periode sebelumnya tidak mau atau tidak bisa melakukan hal yang sama? Soalnya, penetapan Miranda S Goeltom sebagai tersangka praktis menjungkirbalikkan skenario dan konstruksi hukum yang keliru atas kasus suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Seperti diketahui, awalnya, sejumlah mantan anggota DPR dijerat pasal suap. Namun,pada BAP yang dibawa ke pengadilan Tipikor,dakwaan berubah dengan menggunakan pasal gratifikasi. Muncul kecurigaan bahwa penggunaan pasal gratifikasi itu bertujuan melindungi Miranda dari jerat hukum. Kalau pimpinan KPK menetapkan Miranda sebagai tersangka, besar kemungkinan proses hukum kasus cek pelawat menggunakan lagi pasal suap.
Sampai dengan faktor Nunun-Miranda, beberapa kalangan menilai bahwa segala sesuatunya nyaris sempurna bagi KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad.Mudahmudahan, semua itu berjalan apa adanya,dan bukan hasil kesepakatan barter untuk mengambangkan kasus korupsi berskalabesaryangmelibatkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan. Publik memang belum puas, karena ada sejumlah kasus besar yang proses hukumnya direkayasa sedemikian rupa agar terjadi stagnasi.Karena itu, publik dengan setia terus menunggu langkah KPK menyentuh kasus Bank Century.
Dari Miranda, KPK bisa menggali informasi tentang keterlibatan dan peran sejumlah pihak dalam kasus Bank Century, termasuk peran Miranda sendiri.Sebab,Miranda termasuk aktor utama yang berperan besar dalam pengucuran FPJP dan bailout Bank Century yang kontroversial itu. Pada waktunya nanti,semuanya berharap KPK berani meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan. Pada kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang dan proyek Hambalang, KPK harus menyikapi fakta-faktayangberseliwerandi persidangan kasus itu.
Publik berasumsi bahwa KPK seharusnya bisa menetapkan tersangka baru dalam kasus itu. Sedari awal sudah disadari dua kasus ini merupakan pekerjaan berat bagi KPK.Sebab, pada dua kasus itu, KPK harus berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan partai politik. Karena itu, independensi menjadi kata kunci. Selain itu, pimpinan KPK harus selalu waspada dan patuh pada etika kepemimpinan, karena akan muncul banyak perangkap yang bisa direkayasa untuk memperlemah posisi setiap figur pimpinan KPK. Abraham Samad dkk harus belajar dari pengalaman buruk yang pernah menimpa beberapa figur pimpinan KPK sebelumnya.
Realitas politik saat ini tidak kondusif untuk aksi pemberantasan korupsi.Itulah tantangan terberat bagi pimpinan KPK.Sangat penting bagi pimpinan KPK untuk selalu waspada karena pihak-pihak tertentu saat ini begitu gelisah melihat ketegaran KPK. kegelisahan mereka akan dikompensasi dengan upaya mengooptasi atau memperlemah KPK. Hal inilah yang harus disadari dan diwaspadai Abraham Samad dan kawan-kawan. Terkait rumor adanya perpecahan di antara pimpinan KPK, barangkali sudah waktunya KPK saat ini menerapkan dissenting opinion (DO) dalam hal pengambilan keputusan penetapan seseorang menjadi atau tidak menjadi tersangka.
Hal ini diperlukan agar rakyat mengetahui apa sikap dan pendapat sesungguhnya setiap Pimpinan KPK sehingga keterbukaan, pertanggungjawaban, dan penguatan KPK tetap terbangun. DO memang tak lazim dalam proses hukum selain dalam putusan pengadilan/badan kehakiman, misalnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan, khususnya untuk menetapkan seseorang menjadi atau tidak menjadi tersangka.
Namun kebijakan ini merupakan ide bagus sebagai terobosan baru agar rakyat dapat memantau dan mengawasi proses hukum melalui pendapat Pimpinan KPK dalam keputusan tersebut. Biar publik menilai, siapa memutuskan apa dari para pimpinan KPK itu.
● -
Pilot yang Salah Pesawat
Pilot yang Salah PesawatSri Palupi, KETUA INSTITUTE FOR ECOSOC RIGHTSSumber : KOMPAS, 2Februari 2012Para pembantu Presiden SBY menepis tudingan bahwa Indonesia dijalankan dengan otopilot. Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memuji SBY sebagai pilot andal.Alasannya, di tangan SBY, pertumbuhan produk domestik bruto 6,5 persen, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional.Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY pilot andal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan, melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor, dan kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.Pesawat AsingPemerintahan SBY dikenal paling ramah melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY Rp 3.100 triliun sampai 2014. Investasinya belum mencapai Rp 1.000 triliun, 75 persen sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih kepemilikan ke korporasi asing.Kepenguasaan asing di pertambangan emas, perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi 90 persen dikuasai asing. Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Sektor telekomunikasi yang strategis, 90 persen dikuasai asing.Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syn- genta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai bibit dan agro- kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman. Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.Produk petani dan industri dalam negeri tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern. Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat dibuat dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko dan harga yang harus dibayar bangsa ini.Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?Pesawat OtopilotSepanjang sejarah Republik, belum pernah rakyat ditelantarkan negara seperti sekarang. Warga mencuri sandal jepit, pisang, semangka, dan biji kakao hanya sedikit gambaran betapa buruk tingkat kesejahteraan. Jangankan sejahtera, jaminan rasa aman pun kian sulit didapat. Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan, dan perkosaan di tempat umum kian marak. Kekerasan atas nama agama dan keyakinan terus dibiarkan. Aparat negara sibuk menggendutkan rekening sendiri.Yang disebut sebagai pembangunan kini tak lebih dari urusan memfasilitasi dan mendorong kalangan berduit gila berbelanja. Daerah sentra industri berubah wajah jadi daerah wisata belanja, dipadati dengan pusat belanja dan factory outlet yang memasarkan produk impor. Kawasan industri dan sentra industri kecil sepi. Pabrik-pabrik tutup.Deindustrialisasi memaksa rakyat berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri. Hampir 70 persen tenaga kerja di sektor informal. Buruh dipaksa menerima upah yang bahkan tak cukup untuk makan layak tiga kali sehari.Arus deras investasi yang dibanggakan pemerintahan SBY kian merampas hak hidup rakyat. Yang terjadi di Mesuji dan Bima hanya puncak gunung es konflik agraria yang tak pernah diselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat: konflik agraria meningkat tajam dari 106 kasus (2010) menjadi 163 kasus (2011), melibatkan 69.975 keluarga dengan luas areal konflik 472.048,44 hektar. Petani tewas meningkat dari 3 orang (2010) jadi 22 orang (2011). Ironis bahwa tanah, hutan, dan kekayaan alam diserahkan kepada pihak asing, sementara rakyat yang hanya mempertahankan sejengkal lahan dipaksa meregang nyawa.Program memperbanyak pengiriman TKI yang dijalankan pemerintahan SBY sesungguhnya upaya menutupi kegagalan pemerintah membangun sektor pendidikan, pertanian, dan industri. Warga didorong bekerja di luar negeri: mayoritas pendidikan mereka SMP ke bawah.Sementara itu, kapasitas dan integritas pemerintah dalam melindungi TKI sangat rendah. Pada 2011, misalnya, dari 16.014 TKI berkasus, 72,3 persen pulang dengan masa kerja kurang dari enam bulan. Mereka dipulangkan karena kurang terampil dan tak lolos tes kesehatan. Bahkan, pemerintah membiarkan perempuan hamil dipaksa berangkat. Pada tahun sama, sedikitnya 49.000 TKI diberangkatkan tanpa asuransi. Padahal, TKI dibebani biaya sampai Rp 25 juta, termasuk untuk asuransi.Kalau saja pilotnya andal, ko- rupsi bisa diberantas ke akar: anggaran dan kekayaan alam benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat dan kita tak perlu lagi mengemis pekerjaan dari bangsa lain. Oh, pilot andal untuk rakyat baru sebatas doa…. ●