Author: Adul
-
Otonomi Pengelolaan SDM
Otonomi Pengelolaan SDMIrfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UISumber : KOMPAS, 3Februari 2012Makin gencarnya Parade Nusantara yang memperjuangkan status aparatur desa agar menjadi pegawai negeri sipil menjadi catatan tersendiri agenda otonomi daerah tahun 2012.Beberapa saat sebelumnya para guru juga mempertanyakan nasib mereka yang selama ini dikelola oleh pemda. Mereka ingin dikelola oleh pusat agar kualitas hidup mereka meningkat. Hal lain yang semakin merumitkan persoalan sumber daya manusia (SDM) daerah adalah tuntutan nasib para honorer daerah agar dipastikan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).Desain pengelolaan SDM daerah memang patut dikaji ulang agar persoalan tersebut segera diatasi dengan perspektif dan instrumen yang tepat.Pilihan ModelDi dunia ini terdapat tiga sistem pengaturan sumber daya manusia terkait dengan kedaerahan. Jurnal Perserikatan Bangsa-Bangsa (1966: 7-8) menyebutkan ada sistem pengaturan personel yang terpisah untuk setiap pemerintahan daerah, sistem personel pemerintahan daerah yang terpadu, serta sistem personel pemerintahan daerah dan pusat yang terintegrasi.Pada sistem yang pertama, setiap pegawai pemerintah daerah dari satu unit tidak dapat berpindah ke unit lain, apalagi ke dalam unit pemerintah pusat.Sistem tersebut menganut kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai sepenuhnya di tangan daerah-otonom. Pusat hanya membuat code of conduct dan mengawasi pelaksanaannya.Dalam sistem yang kedua, setiap pegawai pemerintah daerah dapat pindah menjadi pegawai unit yang ada dalam pemerintah daerah lain, tetapi tidak diperkenankan pindah menjadi pegawai pemerintah pusat. Dibentuk sebuah badan-otoritatif di tingkat nasional yang dibentuk atas prakarsa daerah-daerah untuk mengelola kepentingan manajemen SDM ini.Sistem ketiga memungkinkan adanya perpindahan pegawai pemerintah daerah tertentu menjadi pegawai pemerintah daerah lain dan bahkan menjadi pegawai pemerintah pusat.Indonesia tampaknya tergolong dalam sistem ketiga. Namun, sebenarnya ada catatan menarik dalam perkembangan pengelolaan SDM daerah ini.Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Kepegawaian Negara diperbarui dengan keluarnya UU No 43/1999.UU No 22/1999 mengarah ke ”separate system” bersandar pada pengaturan Pasal 7 dan Pasal 75 UU tersebut. Namun, karena kemampuan daerah dalam mengembangkan sistem kepegawaiannya masih rendah, situasi politik nasional dan lokal yang belum kondusif serta pola integrasi (sentralistik) yang sudah tertanam lama, ”separate system” tidak terwujud.UU No 43/1999 sama sekali tidak mengarah pada paradigma yang sama. Padahal, hampir semua pasal undang-undang tersebut wajib menjadi acuan daerah otonom dalam mengelola SDM-nya.Dalam UU pemerintahan daerah yang berlaku sekarang, UU No 32/2004 Pasal 129 mengatur bahwa (1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. (2) Manajemen pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.Tampak aturan UU No 32/2004 di atas memperkuat kedudukan pengaturan kepegawaian daerah berdasarkan UU No 43/1999. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu mempersempit ruang gerak daerah otonom dalam mengelola pegawai.Kebimbangan terjadi dalam praktik terkait makna otonomi khusus, munculnya animo otonomi desa, dan mengenai siapa yang berhak mengatur usulan penetapan honorer daerah agar menjadi PNS. Desain dalam UU No 32/2004 dan UU No 43/1999 tidak cukup jelas, bahkan bertabrakan mengenai otonomi SDM desa ini.Perlu KetegasanJika pilihan integrasi diambil, sangat wajar jika para kepala desa menuntut diperlakukan secara adil. Honorer juga menuntut agar diperlakukan dengan lebih proporsional secara nasional. Pemerintah pusat menjadi lebih banyak pekerjaan dan sebaliknya daerah otonom seakan lepas tangan jika bermasalah.Oleh karena itu, pilihan terhadap salah satu model harus diikuti oleh ketegasan sistem yang dikembangkan, dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bertanggung jawab mengembangkan.Dalam desain ini harus terdapat instansi vertikal BKN yang terjangkau daerah. Dana yang digunakan adalah dana APBN, bukan dana dekonsentrasi. ● -
Bangsa Tanpa Visi Ekologi
Bangsa Tanpa Visi EkologiMarison Guciano, MAHASISWA PASCASARJANA UI;LIAISON OFFICER ORANG UTAN REPUBLIK EDUCATION INITIATIVE (OUREI)Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan. (Suku Indian)Jared Diamond dalam bukunya, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), memasukkan Indonesia, selain Nepal dan Kolombia, sebagai peradaban yang mungkin dekat dengan keruntuhan.Krisis ekologi, seperti yang kini terjadi di Indonesia, disebut Diamond sebagai salah satu persoalan yang mendasari keruntuhan peradaban pada masa lalu. Ia mencontohkan kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia gara-gara tak sengaja menyebabkan erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan sumber daya mereka.Diamond juga mengangkat sejarah Ankor Wat, peradaban bangsa Maya, Kepulauan Easter, bangsa Zimbabwe, dan lembah Sungai Indus sebagai pelajaran penting bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam.Krisis EkologiKekhawatiran Diamond bahwa Indonesia akan mengalami tekanan lingkungan paling buruk sudah terbukti. Sepekan terakhir, bencana banjir menenggelamkan puluhan kabupaten dan kota.Bencana ekologi, seperti banjir, sebenarnya bukan yang pertama. Sepanjang tahun, bencana serupa rutin menerjang pelosok negeri seolah tak mungkin berkesudahan. Pada musim kemarau, bencana kekeringan sering kali melanda; penduduk kesulitan air bersih dan petani tak bisa lagi mengairi lahan pertanian.Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, dalam dua tahun terakhir (2010-2011) terjadi 3.830 bencana alam yang melanda Indonesia dengan jumlah korban meninggal 2.973 orang dan 112.664 rumah rusak. Banjir, banjir bandang, kekeringan, dan tanah longsor disebutkan BNPB sebagai bencana yang paling dominan melanda Indonesia.Fenomena alam, seperti cuaca buruk tingginya intensitas curah hujan, sering kali menjadi kambing hitam atas sumber dari segala sumber malapetaka ini. Padahal, bangsa yang tak pernah punya visi ekologi merupakan pangkal sebab menurunnya daya dukung lingkungan dan hadirnya bencana ekologi di sekitar kita.Kawasan hutan yang terus beralih fungsi menjadi permukiman, industri, lahan pertanian, dan perkebunan; pembalakan liar yang marak; gaya hidup hedonis yang tak ramah lingkungan juga pangkal sebab ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Di lain pihak, dana-dana rehabilitasi hutan dan penanggulangan bencana justru bergulir tidak tepat sasaran, dikorupsi mafia-mafia anggaran.Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, hingga 2011, 42,96 juta hektar—setara 21 persen dari total luas daratan Indonesia—telah diizinkan negara untuk kegiatan eksplorasi pertambangan. Untuk kelapa sawit, dari rencana 26.710.800 ha telah terealisasi 9.091.277 ha. Sementara alih fungsi ekosistem rawa gambut mencapai 3.145.182 ha.Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada 2009 atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.Bersamaan musnahnya puluhan juta hektar tutupan hutan itu, punah pula jutaan keanekaragaman hayati di dalamnya. Padahal, keanekaragaman hayati berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulasi iklim, pencegah bencana alam, serta penjaga keseimbangan ekosistem.Keputusan PentingSepanjang sejarah Indonesia, bangsa ini sering kali mengambil keputusan keliru terkait masalah ekologi. Sebutlah obral izin pengusahaan hutan, maraknya kebijakan alih fungsi hutan lindung, pemberian keistimewaan bagi konglomerat kehutanan melalui penghapusan utang.Belum lagi terbitnya PP No 22/2008 yang dinilai kontroversial karena memberi keistimewaan bagi petambang untuk menambang di hutan lindung, pasifnya penegakan hukum lingkungan, hingga masyarakat yang menganggap orangutan sebagai hama sawit sehingga layak dibantai seperti baru-baru ini terjadi di Kalimantan Tengah.Diamond telah meninggalkan warisan berharga sebagai bahan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk mengambil sebuah keputusan penting terkait masa depannya. Seperti dikatakan Diamond, kekeliruan membuat keputusan akan menyebabkan bangsa ini mempercepat kepunahan sendiri. ● -
Politik Akuisisi Partai
Politik Akuisisi PartaiMuhammad Aziz Hakim, MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA; PENGURUS PP GP ANSORSumber : JAWA POS, 3Februari 2012“MUNDURselangkah untuk maju beberapa langkah”. Demikian kira-kira gambaran langkah kuda politik Partai Nasional Republik (Nasrep). Di saat partai politik baru -seperti SRI dan PKBN- berjibaku melengkapi berkas administrasi, Nasrep justru menarik diri dan mengakuisisi Partai Nurani Umat (PNU). Memanfaatkan celah hukum (loophole) UU No 2/2011 tentang Partai Politik, kini Nasrep sudah resmi berbadan hukum dan bersiap mengikuti verifikasi partai politik peserta pemilu.Langkah kuda Nasrep ini mengejutkan. A. Malik Haramain, anggota Komisi II DPR, menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh Nasrep adalah melanggar hukum (indopos.co.id, 31/2012). Benarkah akuisisi PNU oleh Nasrep tidak memiliki landasan yuridis sekaligus melanggar hukum?
Ketentuan Yuridis
UU No 2/2008 mengatur partai politik sebagaimana telah diubah oleh UU No 2/ 2011. Dalam dua UU tersebut, secara eksplisit tidak diatur perubahan nama parpol. Namun, setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dikaitkan dengan perubahan nama parpol.
Pertama, ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No 2/2011 yang menyebutkan bahwa AD/ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan parpol. Dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) ini, terbuka peluang untuk mengubah nama parpol. Ini disebabkan materi muatan AD/ART yang tercakup di dalamnya adalah nama parpol, tanda gambar, dan lambang, serta ketentuan-ketentuan lain.
Kedua, pasal 41 poin (b) UU No 2/2008 yang menyebutkan bahwa parpol bubar apabila menggabungkan diri dengan parpol lain. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penggabungan partai memungkinkan dua format, yakni berupa menggabungkan diri membentuk parpol baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru dan menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu parpol.
Terdapat perbedaan akibat hukum dari dua format tersebut. Akibat hukum format pertama adalah parpol baru tersebut harus memenuhi ketentuan pasal 2 dan pasal 3, yakni keharusan melalui proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM (pasal 43 ayat 2). Adapun akibat hukum dari penggabungan parpol dengan format kedua adalah tidak diharuskannya melalui proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM (pasal 43 ayat 3).
Fakta Hukum
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang dilakukan Nasrep itu penggabungan partai ataukah “hanya” perubahan AD/ART partai. Pertama, penggabungan partai. Penggabungan dalam pengertian pasal 41 dan pasal 43 UU No 2/2008 adalah penggabungan dua partai politik atau lebih yang sudah berbadan hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), terdapat lima unsur pokok badan hukum: (1) harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum lain; (2) mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (3) mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; (4) ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri; dan (5) terdaftar sebagai badan hukum.
Dengan pengertian ini, perubahan nama PNU menjadi Nasrep bukan akibat penggabungan parpol. Mengapa? Sebab, Nasrep (sebelum perubahan PNU) bukan badan hukum meskipun menyebut dirinya parpol. Ini terjadi karena kegagalan Nasrep dalam verifikasi partai menjadi badan hukum. Karena itu, tidak tepat jika perubahan PNU menjadi Nasrep memakai landasan yuridis pasal 41 dan 43 UU No 2/2008 ini.
Kedua, perubahan AD/ART partai. Fakta hukum yang terjadi dalam kasus PNU dan Nasrep lebih tepat disebut sebagai perubahan AD/ART partai, yang masuk di dalamnya mengenai perubahan nama, lambang, dan tanda gambar partai. Jika memang berlandasan dan tidak bertentangan dengan AD/ART PNU, perubahan nama itu secara yuridis formal sah. Dan Surat Keputusan Menkumham No: M.HH-02.AH.11.01 tanggal 4 Januari 2012 menegaskan hal itu, yakni Keputusan tentang Perubahan AD/ART, Nama, dan Lambang Partai Nurani Umat menjadi Partai Nasional Republik. Karena itu, tidak tepat jika bahasa yang digunakan adalah akuisisi. Lebih tepat adalah perubahan AD ART PNU. Landasan yuridisnya pun sangat jelas, yakni pasal 5 ayat (1) UU No 2/2011.
Dengan demikian, perubahan PNU menjadi Nasrep sah secara yuridis formal. Perubahan nama ini tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Inilah celah hukum (loophole) yang terdapat pada UU No 2/2008 maupun UU No 2/2011 yang tentu menjadi pembelajaran bagi DPR dalam merumuskan ketentuan perundang-undangan mengenai partai politik pada masa yang akan datang.
Terlepas dari kontroversi etik dan tidaknya langkah politik Nasrep, fakta hukum dan landasan yuridis memungkinkan hal itu terjadi dan sah. Toh perjuangan Nasrep untuk menjadi parpol peserta pemilu masih cukup panjang. Nasrep harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang cukup berat dalam RUU Perubahan UU Pemilu. Di antaranya, memiliki anggota 1.000 orang atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk dalam satu kabupaten/kota yang terdapat kepengurusan Partai Nasrep. Sungguh persyaratan yang cukup berat. Selamat mengikuti verifikasi KPU. ●
-
Solusi Bekas Koruptor Nyaleg
Solusi Bekas Koruptor NyalegHifdzil Alim, PENELITI DARI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGMSumber : SUARA MERDEKA, 3Februari 2012BELAKANGAN ini sedang ramai dibincangkan dalam pembahasan RUU Pemilu mengenai satu poin penting: apakah mantan narapidana, khususnya mantan narapidana tindak pidana korupsi, boleh mencalonkan diri menjadi anggota legislatif? Perbedaan pendapat mengalir ke hadapan publik. Ada yang berpendapat, menjadi calon legislatif (caleg) adalah hak setiap warga negara, termasuk bekas napi. Lagi pula, salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) menggariskan bahwa bekas napi boleh maju nyaleg sepanjang memenuhi empat persyaratan.Putusan MK itu diterbitkan setelah memeriksa permohonan pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat caleg pusat ataupun daerah. Amar putusan itu membolehkan bekas napi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pusat atau daerah sepanjang, pertama; tak berlaku untuk jabatan publik.
Kedua; berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman. Ketiga: dikecualikan terpidana yang secara jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya bekas napi. Keempat; napi itu bukan pelaku kejahatan yang berulang (hukumonline, 25/03/09).
Di sisi yang lain, tak sedikit kelompok masyarakat menolak bekas napi maju jadi calon anggota legislatif. Alasannya, dia berisiko mengulangi perbuatannya.Terutama, bagi napi tindak pidana korupsi. Tatkala bekas koruptor itu memenangi pemilihan, ia akan memegang kewenangan besar. Ketika ada kekuasaan di tangannya, sangat mungkin kembali melakukan perbuatan kotornya. Bukankah sifat kekuasaan cenderung untuk korup?
Perdebatan boleh tidaknya bekas napi, dalam hal ini bekas koruptor, nyaleg sama-sama memiliki argumentasi kuat. Yang berpendapat bekas koruptor boleh nyaleg, mendasarkan pada ketentuan bahwa tiap warga negara perlu dijamin haknya, termasuk hak untuk memilih dan dipilih.
Adapun pendapat yang menolak juga sama; hak untuk hidup dengan baik dan sejahtera harus dilindungi dengan meminimalisasi risiko kerusakan yang disebabkan oleh tipikor. Artinya, sampai pada titik argumentum, dua pendapat itu sama-sama kuat. Apakah tak ada jalan keluar untuk memutus perdebatan itu?
Jalan Keluar
Menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya adalah tindakan yang patut dihindari. Alangkah naifnya ketika kita bicara soal pemenuhan HAM, namun pada satu fase kemudian menciptakan batu penghalang untuk mencapai hak tersebut. Putusan MK yang inkonstitusional bersyarat itu sebenarnya sudah jadi jalan keluar yang mengakomodasi tiap kepentingan hukum dan asasi tiap warga negara. Tidak ada larangan untuk bisa maju menjadi caleg. Tentunya dengan empat syarat yang telah ditetapkan melalui putusan MK tersebut.
Kalau mau merunut ketentuan hukum pileg, mekanisme pencalonan anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, harus melalui partai politik. Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 menulis, ’’Partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.’’
Dengan ketentuan pasal tersebut, tanggung jawab untuk memfilter bakal calon ataupun calon berada di tangan partai. Kebijakan internal partai menentukan apakah bekas koruptor bisa menjadi calon anggota legislatif atau tidak. Jadi perdebatan untuk menolak atau menerima bekas koruptor yang mau nyaleg, bukan lagi berada di ranah melanggar atau tidak melanggar hak asasi melainkan ditujukan kepada wajah partai politik. Jalan keluarnya ada di kebijakan internal partai.
Partai yang pedalamannya bersih tentu akan berpikir seribu kali untuk menerima seseorang menjadi calon legislatif dari pintu partainya. Begitu sebaliknya, bagi partai yang menerima, apalagi ngotot meminta bekas koruptor sebagai calegnya, tak keliru bila kita menilai partai itu menerima asupan dana dari bekas koruptor itu.
● -
Tak Ada Makan Siang Gratis
Tak Ada Makan Siang GratisSusidarto, PEMERHATI MASALAH PERBANKANSumber : SUARA MERDEKA, 3Februari 2012SIAPA aktor utama (mastermind) di balik kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI tahun 2004 yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom hingga saat ini belum terungkap. Kendati pihak yang memberikan cek perjalanan/ pelawat (traveler’s cheque) kepada sejumlah anggota DPR sudah menjadi tersangka, yakni Nunun Nurbaetie (NN), faktanya hingga sedemikian jauh penegak hukum belum mampu mengungkap penyandang dana 480 lembar cek itu @ Rp 50 juta itu (total Rp 24 miliar).Baik Miranda maupun Nunun belum mau berbicara secara terang benderang soal cek itu. Inilah kelebihan dari cek perjalanan yang relatif sulit terendus kepemilikannya, terlebih bila sudah dipindahtangankan ke banyak pihak. Apa sebenarnya kelebihan cek perjalanan ketimbang transaksi tunai atau transfer, yang keberadaannya mudah terendus PPATK?
Menurut banker glossary, cek perjalanan sengaja dibuat untuk orang yang sering berpergian, untuk kepentingan bisnis atau berlibur. Orang yang akan berpergian membayar lebih dahulu cek itu, lalu cek itu dicairkan oleh perusahaan penerbit berdasarkan permintaan. Cek perjalanan dibuat agar pihak yang menandatangi dapat memberikannya kepada pihak lain dengan pembayaran tak bersyarat. Kendati demikian, keberadaan cek itu mudah diendus karena dibeli melalui bank sehingga tercatat.
Muara Kepentingan
Sejatinya tidak sulit menelusuri aliran dana dari pembeli pertama, karena merupakan kunci pembuka kotak pandora ini. Dari penelusuran bisa diketahui siapa pembeli pertama karena tercatat dalam pembukuan bank (menggunakan KTP). Jadi, dapat diketahui siapa sebenarnya penyandang dana dan mastermind dari pembelian cek tersebut. Dari sini penyidik bisa mengembangkan motifnya.
John Ruskin mengatakan,’’ tidak ada makan siang yang gratis.” Pasti ada harga yang harus Anda bayar untuk sebuah kenikmatan atau hasil. Bila suatu saat Anda dijanjikan diberi sesuatu secara gratis, pasti di belakangnya ada apa-apanya. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh si pemberi cek. Kalau ini pun belum bisa ditelisik lebih lanjut, masih ada jalan lain
Aparat penegak hukum bisa menggunakan jurus untuk menelisik kebijakan yang dikeluarkan oleh Miranda selama menjabat. KPK perlu menelusuri pihak-pihak yang diuntungkan oleh terpilihnya wanita itu. Mengingat posisinya sebagai petinggi BI, sangat wajar kalau banyak pihak menyinyalir bahwa pihak yang berkepentingan dengan pemenangan Miranda pada 2004 itu adalah kalangan perbankan.
Hal ini sangat wajar karena waktu itu BI adalah regulator sekaligus pengawas industri perbankan nasional. Merah birunya industri perbankan di tangan BI dan peran bank sentra itu amat kuat sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk itu, KPK bisa menelusuri siapa yang pernah diuntungkan dan kelompok mana yang memiliki kepentingan. Sumber informasinya bisa dari BI, ataupun dari keterkaitan penyandang dana dengan kelompok tertentu sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan bank. Terlebih pada 1998, banyak bank rontok dihantam krisis. Bahkan beberapa bankir harus masuk daftar hitam. Namun secara perlahan para pemilik bank yang kolaps akibat krisis 1998 kini mulai bermunculan lagi. Dalam konteks ini perlu ditelisik, apakah kebijakan Miranda saat menjabat deputi senior menguntungkan kelompok itu?
Sekali lagi, mindset-nya tidak ada makan siang gratis. Yang ada adalah bermuaranya banyak kepentingan di dalamnya, yakni kepentingan para penyuap. Hal itu menjadi ranah KPK untuk menelusuri banyak pihak yang memiliki muatan kepentingan tersebut.
● -
Gelembung Bernama Partai Demokrat
Gelembung Bernama Partai DemokratYunarto Wijaya, DIREKTUR RISET CHARTA POLITIKA INDONESIASumber : SINDO, 3Februari 2012Ada yang menyebutnya sebagai“partai mercy”, ada juga yang menyebutnya “partai biru”, dan yang paling sering kita dengar tentu saja istilah “partainya SBY”.
Apa pun istilahnya, harus diakui partai ini telah menghasilkan pencapaian elektoral fenomenal dalam usianya yang masih belia.Pertanyaannya kemudian, apakah ini bersifat kontinu atau hanya sebuah gelembung yang rentan untuk pecah pada kondisi tertentu. Disebut gelembung manakala partai ini memang lebih terlihat sebagai sebuah mesin politik seorang tokoh dibandingkan tampil sebagai organisasi modern. Hal ini terlihat dari bagaimana kuatnya ketergantungan partai tersebut kepada sosok SBY yang ditempatkan sebagai ketua dewan pembina, ketua majelis tinggi, sekaligus ketua dewan kehormatan.Kondisi inilah yang membantah klaim bahwa partai ini bisa diasosiasikan sebagai role model dari catch all party ala Kircheimer (1966) ataupun electoral professional party ala Panebianco (1988). Ketergantungan yang kuat seperti ini tentu saja menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengenai bagaimana masa depan elektoral Partai Demokrat pasca-SBY lengser di 2014. Logika bahwa Partai Demokrat akan mengalami proses declining ketika tidak lagi memiliki magnet elektoral menjadi sangat masuk akal buat siapa pun yang mendengarnya.
Tantangan bertambah manakala situasi politik menempatkan partai ini menjadi pusat pemberitaan selama hampir setengah tahun terakhir. Sayangnya, pemberitaanpemberitaan ini didominasi oleh tone negatif dari kasus “Nazaruddin” yang kemudian memunculkan beberapa nama petinggi teras partai tersebut. Analisis media tracking Charta Politika Indonesia di enam media cetak nasional menemukan fakta bahwa Partai Demokrat adalah partai yang paling banyak diberitakan dimulai dari bulan Mei 2011 dengan 24% dari seluruh pemberitaan. Adapun pemberitaan tersebut didominasi oleh pemberitaan kasus Nazaruddin sebesar42% yangdidominasioleh tonenegatif sebesar 69%.
Residu Pascakongres
Permasalahan hukum sebenarnya bukan hanya dihadapi Partai Demokrat saja.Hampir semua partai besar pernah menghadapi kasus korupsi politikyangmelibatkankadernya. Bahkan Golkar pernah menghadapi situasi pada 2002 lalu ketika Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum harus ditahan sebagai tersangka dalam kasus dana non-budgeter Bulog.Yang mengejutkan adalah fakta bahwa Golkar malah kemudian berhasil memenangi Pemilu Legislatif 2004.
Dari perbandingan itu jelas terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi Partai Demokrat bukan hanya kasus hukum, tetapi juga “kegagapan” secara institusional dalam menyikapi kasus tersebut. Pertarungan tone antarkader tanpa sadar telah mendegradasi kewibawaan partai ini baik di hadapan kader sendiri ataupun publik secara umum. Suka atau tidak,publik akan mengaitkan konflik internal ini dengan pertarungan yang terjadi di kongres bulan Mei 2010 lalu. Sulit untuk menghindari persepsi bahwa isu “pelengseran” Anas akan sangat ditentukan oleh hasil pertarungan antarfaksi sebagai residu pascakongres.
Faksionalisasi itu sendiri sebenarnya adalah suatu hal lumrah yang terjadi di sebuah partai politik. Ada tiga faktor yang biasanya membuat faksifaksi ini terpelihara: patronase, financial resources, dan struggle for power. Naif apabila kita berharap ada partai yang bisa menghilangkan tiga faktor tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana mengelolanya menjadi proses dialektika yang bersifat konstruktif. Dialektika yang berujung pada terbentuknya sintesis yang mengakomodasi kepentingan semua stakeholder partai.
Menuju 2014
Aura kompetisi menuju 2014 sudah mulai terasa.“Tsunami politik” yang mengguncang partai ini membuatnya beberapa langkah ketinggalan dalam persiapan secara elektoral. Ketika partai lain sudah berbicara mengenai calon presiden yang digadangnya,partai ini bahkan belum selesai dalam pertarungan menghadapi “dirinya”sendiri. Pembiaran kondisi seperti ini tentu saja akan berpengaruh pada tingkat elektabilitas Partai Demokrat.
Logika ini diamini oleh salah seorang Dewan Pembina yang mengakui bahwa dilihat dari survei internal, Partai Demokrat secara elektoral sudah berada di bawah Golkar dan PDIP. Secara taktis ada beberapa tindakan akselerasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh partai ini dalam mengatasi ketertinggalannya. Pertama, tentu saja proses rekonsolidasi dari tingkat pusat sampai ke level daerah.
Konsolidasi ini harus dilakukan baik secara ad hoc berkaitan dengan kasus hukum yang dihadapi atau secara lebih luas berkaitan dengan pemenangan menuju 2014. Konsolidasi ini akan membutuhkan keterlibatan penuh SBY yang telanjur menjadi satu-satunya faktor pemersatu di tubuh partai. Dalam kasus hukum,SBY harus berani mengarahkan proses pembuatan keputusan internal partai yang memberikan kepastian secara politik. Jangan sampai kader dibiarkan menerka-nerka sikap politik SBY.
Secara lebih teknis, harus ada penegasan, apakah partai ini akan mendahulukan proses politik atau hukum dalam menempatkan kader-kadernya yang disebut dalam kasus Nazaruddin. Termasuk tentu saja bagaimana posisi Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. Kepastian inilah yang kemudian harus ditaati oleh seluruh kader dalam menyikapi pertanyaan- pertanyaan baik dari media ataupun konstituen. Kedua, perlu dibuat suatu penyusunan strategi komunikasi politik disertai pembagian tugas yang bersifat otoritatif.
Partai harus membentuk tim khusus yang bertugas menjadi juru bicara berkaitan dengan kasus-kasus yang dihadapi sehingga bisa dipastikan bahwa apa yang keluar dari mulut mereka adalah suara resmi partai. Apabila kedua hal tersebut sudah berhasil dilakukan, partai juga bisa melakukan suatu terobosan dalam proses pencarian calon presiden di 2014 pada pemilu mendatang. Hal ini penting dilakukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada seorang tokoh yang sudah tidak lagi mencalonkan dirinya pada 2014 nanti.
Diperlukan suatu mekanisme demokratis yang betulbetul melibatkan seluruh pengurus daerah dalam memilih magnet elektoral baru ini. Karena harus bisa dipastikan bahwa nama yang muncul adalah nama yang bisa diterima oleh semua pihak dalam pemilu nanti.Langkah ini juga akan berfungsi sebagai jembatan dari proses transformasi partai ini dari sekedar mesin politik menjadi sebuah organisasi yang modern.
Tentu saja paparan di atas hanyalah sekelumit dari kompleksitas permasalahan yang dialami Partai Demokrat. Masih banyak tantangan yang akan dihadapi, bukan sekadar untuk bertahan di 2014, tetapi juga bagaimana partai ini bisa betul-betul eksis sebagai agen masyarakat dan bukan sekadar gelembung politik yang hanya bisa bertahan di ketinggian tertentu. Semoga!
● -
Petani Bisa Kaya
Petani Bisa KayaIrman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)Sumber : SINDO, 3Februari 2012Judul tulisan ini memang sangat optimistis walaupun bagi sebagian orang sedikit tidak realistis.Judul ini diambil dari judul sebuah seminar di Kota Bandar Lampung “Petani Bisa Kaya”dalam rangkaian kunjungan kerja saya ke Provinsi Lampung (26–28 Januari).
Pertanyaannya, mungkinkah petani bisa kaya? Tentu bisa. Sebagai negara agraris, petani memang harus kaya.Angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian besar mencapai kurang lebih 30% dari seluruh komposisi jumlah tenaga kerja di Indonesia.Meskipun angkatan kerja di sektor pertanian begitu besar, kenyataannya sektor ini kurang menyumbang kesejahteraan bagi para petani itu sendiri. Mari kita sedikit berhitung mengenai rendahnya pendapatan mereka.Sektor yang barang kali sering dihitung adalah pertanian padi. Pendapatan per kapita petani padi sangat rendah. Kita ambil contoh, bila petani memiliki lahan sawah 5 hektare, diperkirakan pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp13,7 juta dan bila petani hanya memiliki 1 hektare,pendapatan per bulan hanya Rp2,7 juta. Permasalahannya, komposisi paling banyak sebenarnya pada petani dengan lahan 0,3–0,7 hektare dan petani penggarap (60%). Secara agregat, rata-rata petani Indonesia hanya punya tanah seluas 0,2 hektare. Jika pendapatan untuk 1 hektare adalah Rp2,7 juta per bulan, rata-rata petani Indonesia hanya mendapat penghasilan sebesar Rp540.000 per bulan.
Itu pun jika mereka tidak gagal panen. Belum lagi besarnya potensi kerugian karena perubahan iklim atau gagal panen yang dengan sekejap bisa melenyapkan semua usaha dan investasi. Dengan jumlah keluarga sekitar 4–5 orang saja,pendapatan itu tentu jauh dari mencukupi. Dalam kondisi seperti itu, para petani mengalami kebingungan. Pilihan yang realistis bagi mereka adalah beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan. Berbagai survei menunjukkan bahwa petani kita banyak yang beralih menjadi buruh pabrik, pedagang asongan, tukang ojek, dan berbagai profesi informal lainnya. Apa dampaknya jika petani miskin?
Tentu sangat besar. Petani adalah aktor utama penyumbang pangan. Semakin hari kita akan semakin rentan terhadap krisis pangan, apalagi untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan secara nasional jika kondisi para petani tidak semakin baik, kesejahteraan mereka tidak terangkat.Ini berbeda dengan di Selandia Baru di mana petani merupakan kelompok masyarakat yang sejahtera. Selandia Baru sukses menjadi negara petani dan peternak tingkat dunia. Jumlah domba dan biri-biri adalah 12 kali populasi manusia yang hidup di Selandia Baru.Terdapat kurang lebih 60 juta domba dan 30 juta biri-biri.
Padahal jumlah penduduknya 4,5 juta. Berarti kebijakan pertanian mereka berorientasi pemberdayaan petani. Di Selandia Baru, yang menikmati makanan di restoranrestoran mahal dan bermain golf adalah petani. Tidak seperti kita.Kebijakan pertanian kita justru membuat petani makin sulit meraih kesejahteraan. Petani menjadi kelompok masyarakat yang miskin. Mereka tidak punya akses kepada permodalan,kredit bank, taraf pendidikan yang rendah, tersandera dengan praktik lintah darat, dan berbagai persoalan lainnya.Inilah paradoks yang sampai sekarang kita lihat di Indonesia,negara yang selama ini kita klaim sebagai negara pertanian, tetapi petaninya justru miskin.
Mendorong Reformasi Kebijakan Pertanian
Pasti ada yang salah selama ini dengan kebijakan pertanian kita yang membuat petani sulit mendapatkan kesejahteraan. Dari aspek lahan, lahan untuk pertanian semakin hari semakin berkurang karena konversi peruntukan lahan ke sektor industri, permukiman dan sebagainya. Menurut data Fakultas Pertanian UGM tahun 2011, kecepatan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lain diperkirakan mencapai 100.000–110.000 hektare per tahun.
Dalam pengelolaan sektor pertanian, terjadi ego lintas sektor di mana sektor pertanian menjadi sektor yang dikalahkan oleh sektor lain. Hal ini membuat pertanian di Indonesia makin menjadi tidak menarik bagi petani kecil dan mikro atau bahkan juga petani menengah dan besar.Pada saat yang sama,pemerintah seperti selalu kewalahan menjamin ketersediaan pupuk,bibit,obat pertanian, dan berbagai insentif pertanian lainnya. Perlu perbaikan kebijakan pertanian. Menurut saya, ada beberapa lingkup yang harus diperbaiki.
Di lingkup faktor produksi, diperlukan sebuah sistem yang menjamin kelangsungan hidup petani.Sengketa lahan akibat konversi lahan yang selama ini terjadi harus diselesaikan agar lahan pertanian dapat tercukupi untuk aktivitas para petani. Perlu juga jaminan distribusi bibit, pupuk, dan pembasmi hama yang terjangkau dan faktor teknologi pengelolaan produksi dan pascaproduksi. Kapasitas dan kemampuan para petani juga harus ditingkatkan.
Petani kita tidak hanya harus mengerti ilmu menanam, tapi yang penting juga mengerti manajemen pertanian,pengolahan pascaproduksi,dan manajemen distribusi.Akses modal harus dibuka dan disediakan pemerintah.Terlebih lagi para petani membutuhkan koperasi agar hasil-hasil produksi mereka dapat dikelola dengan lebih baik untuk menjamin kesejahteraan para petani. Dalam hal distribusi dan perdagangan, perlu langkah-langkah untuk menjamin penyerapan produk pertanian dengan harga yang pantas.
Diperlukan beberapa insentif baik berupa proteksi langsung maupun tak langsung untuk melindungi produksi pertanian domestik dari serbuan produk impor, insentif fiskal,insentif pembiayaan, insentif di bidang pergudangan, perbaikan infrastruktur dan sarana lainnya. Dengan perbaikan di berbagai lingkup tersebut, diharapkan ”Petani Bisa Kaya” bukan lagi sekadar slogan. Jika petani sejahtera, berarti sebagian dari persoalan bangsa ini dapat kita selesaikan.
● -
Fungsi dan Peranan Hukum dalam Merestorasi Bangsa
Fungsi dan Peranan Hukumdalam Merestorasi BangsaRomli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN,ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEMSumber : SINDO, 3Februari 2012Kecermatan mengamati dan menganalisis perkembangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan, terutama sejak era Reformasi tahun 1998, sangat diperlukan para pemimpin bangsa.
Karena akurasi dan ketajaman pengamatan dan analisis sangat menentukan seberapa jauh pemimpin nasional memahami dinamika perkembangan kehidupan bangsa ini kini dan di masa depan. Akurasi dan ketajaman analisis situasi sosial-psikologis serta lingkungan strategis, baik di bidang ekonomi maupun politik, amat menentukan arah kebijakan pembangunan bangsa di masa depan.Apalagi di masa globalisasi politik dan ekonomi saat ini, langkah dan tindakan tersebut sangat menentukan apakah bangsa ini dapat keluar dari himpitan tekanan persaingan internasional di segala bidang.Juga menjadi faktor determinan tercapainya cita-cita pendiri RI,yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia dan turut aktifdalammenjagadanmemelihara perdamaian dan keamanan dunia. Saat ini dan masa depan merupakan momentum memelihara keberhasilan pembangunan yang telah dicapai. Sekarang adalah masa-masa terbaik untuk merestorasi bangsa ini dalam segala aspek bidang kehidupan.
Kepentingan Rakyat
Peningkatan dan kemajuan perkembangan ekonomi makro saat ini bukan satu-satunya tanda kemajuan kesejahteraan rakyat jika perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan kemajuan ekonomi mikro yang merata di seluruh wilayah NKRI. Karena kemajuan ekonomi makro semata-mata hanya dinikmati oleh segelintir pelaku bisnis dengan modal skala besar (konglomerasi), sedangkan pelaku bisnis UKM berjalan tertatih-tatih. Begitu pula halnya dalam bidang politik.
Politik yang hanya mengakomodasi semua kepentingan amat menyesatkan dan terbukti kontraproduktif. Karena inti demokrasi bukan terletak pada sebebasbebasnya dan semau-maunya membentuk partai,melainkan terletak pada seberapa relevan pembentukan partai dengan dinamika dan kebutuhan rakyat dalam memperjuangkan hak berserikat dan berkumpul. Kepentingan rakyat harus lebih penting dari kepentingan untuk berkuasa atau sekadar mengakomodasi partai yang kalah dalam pemilu yang lampau. Indonesia telah berpengalaman dengan multipartai dan dengan tiga partai peserta pemilu. Namun kita selalu berakhir dengan ketidakberhasilan mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bahkan tampak harkat dan martabat rakyat kembali seperti di masa penjajahan pemerintahan kolonial dulu; menjadi “budak” di tanah sendiri. Privatisasi melalui merger dan akuisisi dalam bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan atau menjual harta kekayaan negara terjadi secara legal maupun ilegal. Ini merupakan pertanda kelak bahwa bangsa ini akan kembali menjadi bangsa “koeli” seperti yang ditegaskan Bung Karno dulu. Langkah dan kebijakan di bidang ekonomi liberalisme-kapitalisme dengan berbagai cara tersebut merupakan pertanda lain bahwa abad “penjajahan bentuk baru” suatu bangsa terhadap bangsa lain tengah berlangsung.
Disadari atau tidak disadari atau sengaja tidak mau tahu dari kalangan pemimpin nasional atau elite cerdik pandai bangsa ini. Bentuk penjajahan baru merupakan konsekuensi logis dari praktik neoliberalisme abad ke-20 dan dapat sukses merambah negara-negara selatan, termasuk Indonesia, melalui kebijakan legislasi setiap tahun yang telah dipraktikkan sejak Orde Baru sampai saat ini.
Sikap Pemimpin
Kiranya sudah saatnya pemimpin bangsa ini menyatakan bahwa penguasaan modal asing ke dalam kehidupan ekonomi, keuangan, perbankan, dan eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam telah lebih dari cukup dan tidak dilakukan lagi dalam jangka lima tahun ke depan sehingga diperlukan evaluasi total dan komprehensif terhadap seluruh peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai dasar penghalalan penguasaan asing tersebut.
Tanpa evaluasi total dan komprehensif akan berdampak menuju “kebangkrutan sosial-ekonomi”bangsa ini sehingga akan berbuah penyesalan tak berujung dan meninggalkan aib bagi generasi bangsa ini dalam lima puluh tahun yang akan datang. Kebijakan legislasi nasional lima atau sepuluh tahun mendatang harus secara evolusioner dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi dan politik bangsa dan dapat digunakan untuk merestorasi bangsa dalam semua aspek kehidupan.
Restorasi bangsa dari kondisi sosial ekonomi yang tidak prorakyat miskin hanya dapat dilaksanakan dengan baik jika kebijakan legislasi nasional diarahkan pada tujuan mencapai keadilan restoratif.Arah itu akan mengurangi harapan dan praanggapan bahwa keadilan retributif adalah solusi satu-satunya penyelesaian masalah yang melanda bangsa Indonesia. Keadilan restoratif mendambakan kehidupan rakyat yang rukun dan damai serta menumbuhkembangkan rasa saling hormat antara sesama anggota masyarakat dan sesama elite politik serta saling hormat sesama pejabat lembaga negara.
Keadilan restoratif yang mendambakan bahwa penyelesaian konflik atau sengketa tidak selalu harus berujung pada peradilan, melainkan harus diyakinkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat berbudaya kolektivitas, bukan budaya individualis dan kepentingan komunal lebih penting daripada “kemenangan”pada orang per orang. Keadilan restoratif yang dapat meyakinkan bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penggunaan model hukum integratif sebagai hasil upaya evaluasi dan rekonstruksi pemikiran hukum pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja) dan hukum progresif (Satjipto Rahardjo alm).
Keduanya tidak hanya memandang hukum sebagai sistem norma dan sistem perilaku, melainkan sebagai sistem nilai luhur yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
● -
Kualitas Guru dan Potret Pendidikan
Kualitas Guru dan Potret PendidikanDarwis SN, ALUMNUS UNIVERSITY OF ADELAIDE AUSTRALIASumber : SUARA KARYA, 3Februari 2012Tersedianya guru berkualitas menjadi salah satu tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini. Oleh karena itu, pemerintah diminta membuat kebijakan nasional yang menjamin tersedianya guru berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan dan kondisi kerja guru. Desakan dunia untuk meningkatkan kualitas guru, sosok yang berperan penting dalam pencapaian pendidikan bermutu bagi semua orang atau education for all (EFA), pernah disuarakan dalam pesan bersama Dirjen UNESCO, ILO, UNDP, Unicef dan Presiden Pendidikan Internasional.Berbagai analisa menyimpulkan bahwa akar utama persoalan ini adalah rendahnya kualitas guru. Barisan para guru Indonesia tidak diisi oleh orang-orang berkualitas yang dimiliki bangsa ini. Dahulu banyak orang menghindar dari profesi guru karena tidak membanggakan dan menjamin masa depan. Kalangan cerdas dan jenius lebih memilih bidang yang menjanjikan masa depan cerah seperti kedokteran, teknik, hubungan internasional, bahkan entertainer. Lulusan non-kependidikan yang tertarik menjadi guru dengan mengambil program akta mengajar juga bukan lulusan terbaik. Umumnya, mereka putar haluan menjadi guru karena sulitnya mencari pekerjaan.Kini, nasib guru sudah jauh lebih diperhatikan pemerintah. Antara lain, diwujudkan dalam gaji dan tingkat kesejahteraan guru yang terbilang memadai. Namun, karena putaran generasinya masih sama, yakni guru-guru yang lahir karena putar haluan tadi, maka peningkatan kesejahteraan ternyata tak serta-merta mengubah profesionalisme guru.Upaya pemerintah untuk menjawab tantangan kualitas guru di Indonesia salah satunya berbentuk kebijakan perlunya sertifikasi guru. Kebijakan ini mengharuskan para guru TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan sekolah luar biasa dari SD hingga SMA untuk mengikuti uji kompetensi. Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, para guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik, yaitu berijazah S-1 atau memiliki Akta IV itu, dinyatakan sebagai guru profesional.Guru yang profesional harus menguasai empat kompetensi. Pertama, kepribadian guru. Seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik yang bisa diteladani para muridnya, sehingga guru menjadi teladan, bukan sebaliknya. Kedua, Sosial. Seorang guru harus memiliki sifat sosial yang tinggi, mereka akan peka terhadap lingkungannya, mulai di lingkungan sekolah, masyarakat dan dimana mereka bertugas, termasuk peka terhadap kondisi sosial anak maupun masyarakat.Ketiga, pedagogik. Keempat, profesional. Seorang guru harus profesional di bidangnya, mereka harus mengajar sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya, sehingga ketika mengajar atau memberikan pesan-pesan kepada para siswa tercapai sesuai yang diharapkan. Kurikulum, sarana dan prasarana yang terpenuhi, namun kalau guru tidak berkualitas, apa artinya?Terkait uji kompetensi untuk menunjukkan profesionalisme seorang guru, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, ternyata para guru yang terjaring banyak di antaranya “wajah baru” di daerah masing-masing. Adapun guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.Di satu sisi hasil ini cukup membanggakan secara pribadi karena ada anggapan guru yang terjaring berarti memiliki kemampuan merata baik dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi. Namun, di sisi lain, benarkah mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya, kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah. Timbul pertanyaan seberapa tinggikah kualitas instrumen uji kompetensi itu sehingga dapat diterobos oleh guru mata pelajaran lain?Ketiga. Mungkin hal ini yang lebih parah. Ada pengakuan beberapa rekan yang terjaring. Sebenarnya mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan menguasai materi uji kompetensi itu.Bagaimana bisa terjaring? Ternyata, selain faktor keberuntungan, ditengarai pelaksanaan dan proses uji kompetensi itu banyak terjadi kecurangan. Kecurangan itu dalam bentuk kerja sama, saling menyontek, atau membuka buku sumber. Hal ini sangat mudah terjadi karena soal uji kompetensi yang diujikan berbentuk multiple choice dengan empat opsi. Itulah kejanggalan-kejanggalan uji kompetensi penjaringan calon instruktur PTBK. Sekarang timbul pertanyaan, apakah uji kompetensi untuk proses sertifikasi juga akan seperti itu?Tentu kita berharap pemerintah serius melaksanakannya. Tanpa keseriusan, mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal memperolehnya sertifikat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan. Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.Cermat atau valid maksudnya instrumen uji kompetensi mampu menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik. Dengan demikian, model uji kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi. ● -
HKI dan Paten Esemka
HKI dan Paten EsemkaEtty S. Suhardo, KETUA PUSAT PROMOSI DAN PUBLIKASI HASIL PENELITIAN DAN LAYANAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKATUNIVERSITAS DIPONEGOROSumber : SUARA MERDEKA, 2Februari 2012DUBES Jerman untuk Indonesia Norbert Baas menyatakan akan ikut mempromosikan mobil Kiat Esemka kepada pihak terkait di negaranya, terutama pelaku industri otomotif (SM, 29/01/12). Selangkah lagi capaian mobil karya rakitan siswa SMK itu dalam kaitannya dengan apresiasi. Sebagai produk, mobil itu memiliki beberapa hak kekayaan intelektual (HKI), misalnya hak cipta desain atau merek/ logo yang biasanya menempel di bodi.Termasuk komponennya, semisal alat penggerak berbasis teknologi (mesin, bak persneling, kaca jendela yang bisa dinaikturunkan, atau bagasi yang tinggal menekan kenop untuk membukanya dan sebagainya). Teknologi yang dipakai itu disebut (barang) paten. Hak kekayaan intelektual yang lain adalah desain industri yang merupakan kreasi menyangkut bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis untuk menghadirkan estetika.Juga tata letak sirkuit terpadu, yang terdiri atas sejumlah elemen aktif, dan sebagian atau seluruhnya berhubungan dalam semikonduktor untuk menghasilkan fungsi elektronik. Beberapa mesin memiliki banyak elemen yang berkaitan, yang dibantu aki akan menghasilkan fungsi elektronik. Belum lagi rahasia pada mesin atau bagian/ perkakas lain yang bersifat informasi tertutup, dalam arti bila rusak maka tak ada yang bisa memperbaiki tapi harus menggantinya dengan yang baru.Keberadaan HKI pada mobil Kiat Esemka menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, 80% komponennya kandungan lokal. Artinya, kita sudah memproduksinya dengan alat, dan hasil produk itu secara logika berpeluang mengandung (hak) paten. Baik mesin, hak cipta, desain, maupun tata letak sirkuit terpadunya, semua mengandung paten. Artinya bisa dimintakan sepanjang produsen ingin menjaga hak ciptanya.Membeli LisensiPemerintah tentu harus mendalami aspek itu agar di kemudian hari tidak timbul masalah, dalam arti jangan sampai dianggap melanggar kepemilikan HKI pihak lain. Kita bisa berkaca pada pernyataan beberapa pakar mesin yang menyarankan produsen menyempurnakan beberapa bagian yang mirip dengan mobil yang lebih dulu dipasarkan. Misalnya tampak luar Esemka tipe sport utility vehicle (SUV) bisa dianggap mirip Honda CRV, adapun tampak samping/ belakang sepintas dianggap menyerupai Ford Everest.Bila rakitan Esemka menggunakan komponen merek lain, misalnya untuk sisa 20% kandungannya, apakah kita yakin bahwa paten mesin/ komponen itu sudah lebih dari 20 tahun, yang berarti si pemilik komponen itu tidak lagi memiliki hak paten atas barang tersebut.Di Indonesia, hak paten berlaku 20 tahun, dan setelah masanya berakhir, produk yang berpaten itu bisa digunakan masyarakat luas karena dianggap milik umum. Contohnya Proton Saga (kini ada berbagai tipe), mobnas Malaysia yang awalnya berbasis mesin Mitsubishi. Mitsubishi Corp di Jepang tidak mempermasalahkan teknologi mesin Proton yang kemudian diklaim milik Malaysia karena mereka menganggap itu sudah kuno (lewat 20 tahun), dan Mitsubishi sudah menanggalkan patennya.Persoalan itu seyogianya menjadi pemikiran pemangku kebijakan terkait rencana memproduksi Esemka secara massal. Bila paten pada komponen kendaraan itu belum 20 tahun, artinya masih menjadi hak monopoli pemiliknya maka jalan terbaik adalah membeli lisensi untuk jangka waktu tertentu. Konsekuensinya kita membayar royalti, yang dituangkan dalam kontrak lisensi.Untuk mendapatkan hak kepemilikan dan perlindungan hukum atas merek serta HKI lainnya berupa paten, sebaiknya desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu Esemka didaftarkan ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Tangerang Provinsi Banten. Hal itu untuk menjamin terjaganya sebuah karya cipta nasional, yang sudah sepatutnya kita lindungi. ●