Author: Adul

  • Kampanye Berbasis Literasi Politik

    Kampanye Berbasis Literasi Politik
    Gun Gun Heryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF THE POLITICAL  LITERACY INSTITUTE
    DAN DOSEN  KOMUNIKASI POLITIK UIN JAKARTA
    Sumber : SINDO, 4Februari 2012
    Kabar baru berembus  dari Senayan mengenai  rentang masa kampanye  yang panjang untuk Pemilu  2014.DPR dan pemerintah  telah sepakat menetapkan masa  kampanye dimulai sejak partai  politik (parpol) dinyatakan sah  sebagai peserta pemilu (SINDO,  31/1/2012).

    Dengan demikian,  masa kampanye parpol direncanakan  akan berlangsung 15–16  bulan sejak pengumuman verifikasi  parpol oleh Komisi Pemilihan  Umum (KPU).  Jika asumsi waktu berjalan  mulus,rentang masa kampanye  Pemilu 2014 akan lebih panjang  dari Pemilu 2009. Seperti  kita ketahui,merujuk ke UU No  10/2008, peserta pemilu 2009  berkampanye 9 bulan, yakni  sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April  2009. Lantas akankah rentang  kampanye yang panjang itu  turut meningkatkan kualitas  pemilu?

    Model Ostergaard

    Kampanye sejatinya merupakan  bentuk komunikasi  politik sebagai upaya memersuasi  pemilih (voter) agar mendapatkan  dukungan dari banyak  kalangan saat pencontrengan.  Menurut Michael dan  Roxanne Parrot dalam bukunya  Persuasive Communication  Campaign (1993), kampanye  didefinisikan sebagai proses  yang dirancang secara sadar,  bertahap dan berkelanjutan,  serta dilaksanakan pada rentang  waktu tertentu dengan  tujuan memengaruhi khalayak  sasaran yang telah ditetapkan.

    Inti kegiatan kampanye  tentu saja adalah persuasi.Berbagai  hal biasanya dilakukan  oleh para kandidat mulai dari  iklan di media lini atas (above  the line media), media lini  bawah (below the line media),  hingga lobi dan negosiasi yang  langsung penetratif ke simpulsimpul  pemilih. Kampanye  yang baik tentu saja adalah  kampanye berkonsep dan  tepat pada target yang dibidik.  Kampanye modern yang prospektif  memersuasi khalayak  biasanya adalah kampanye  transformasional.

    Dalam pandangan Leon  Ostergaard, sebagaimana dikutip  Klingemann (2002), paling  tidak ada tiga tahapan dalam  kampanye.Pertama,mengidentifikasi  masalah faktual  yang dirasakan.Syarat kampanye  sukses harus berorientasi  pada isu (issues-oriented), bukan  semata berorientasi pada  citra (image-oriented). Kampanye  merupakan momentum tepat  untuk menunjukkan bahwa  kandidat memahami benar  berbagai soal nyata, faktual,  elementer, dan membutuhkan  penanganan di masyarakat.

    Sudah bukan saatnya lagi  kampanye hanya menawarkan  solusi imajiner yang abstrak,  tidak memiliki basis pemecahan  masalah (problem solving).  Kedua, pengelolaan kampanye  yang dimulai dari perancangan,  pelaksanaan hingga  evaluasi. Dalam tahap ini, lagilagi  riset perlu dilakukan untuk  mengidentifikasi karakteristik  khalayak sasaran agar dapat  merumuskan pesan,aktor kampanye,  saluran hingga teknik  pelaksanaan kampanye yang  sesuai.Pada tahap pengelolaan  ini, seluruh isi program  kampanye  (campaign content) diarahkan  untuk  membekali  dan memengaruhi  aspek pengetahuan,  sikap,  serta keterampilan  khalayak  sasaran.

    Ketiga aspek ini  dalam literatur ilmiah  dipercaya menjadi prasyarat  terjadinya perubahan perilaku  (voting behavior).  Kampanye tak cukup hanya  bertumpu pada retorika sloganistis.  Kampanye harus diterjemahkan  dari tema besar yang  serbaelitis ke real world indicators.  Dengan demikian berbagai  perincian program itu  dapat menarik dan menjadi  bagian utuh kesadaran pemilih  atau apa yang Walter Lipman  tulis sebagai the world outside  and pictures in our head.  Ketiga adalah tahap evaluasi  pada penanggulangan masalah  (reduced problem). Dalam  hal ini, evaluasi diarahkan padaefektivitas  kampanye dalam  menghilangkan atau mengurangi  masalah sebagaimana  yang telah diidentifikasi pada  tahap prakampanye.

    Kampanye  dengan demikian bukanlah  sebuah mekanisme janji  palsu atau pembohongan publik,  melainkan sebuah deklarasi  komitmen untuk melakukan  hal-hal terbaik yang bisa  dilakukan sekaligus meyakinkan  berbagai pihak bahwa para  kandidat memiliki berbagai solusi  jangka pendek,menengah,  dan panjang sebagai formula  mengurangi masalah yang ada  di masyarakat. Saat pasangan  capres dan cawapres mampu  menunjukkan platform dan  solusi berbagai persoalan negeri  ini, bukan tidak mungkin  akan muncul dukungan pemilih  yang meluas.

    Kampanye  Transformasional

    Kampanye transformasional  bisa mewujud dalam penanda  kata, konstruksi gagasan,  konseptualisasi penanganan  masalah, serta teknik dan  strategi yang inspiratif. Kampanye  jenis ini biasanya tak  hanya menghipnosis pemilih  dengan kata-kata, melainkan  juga dapat menggerakkan minat  berpartisipasi dalam politik  dan menumbuhkan harapan  bersama untuk maju bersama-sama.  Biasanya,sebuah kampanye  menjadi transformasional selain  memiliki titik simpul gagasan  besar, juga berbasis pendekatan  komunitas. Pemberdayaan  politik komunitas,  misalnya dilakukan mulai dari  level nasional hingga ke daerah,  melalui tiga kata kunci utama.

    Pertama, pendekatan community  relations, yakni membangun  komunikasi yang inspiratif dengan  kalangan grassroot langsung  kesasaran mereka.Kedua,  pendekatan community services  di mana para kandidat dan tim  sukses harus mau dan mampu  melayani komunitas yang menjadi  target kampanye secara  tepat dan mengena.  Ketiga,community empowerment,  sebuah metode kampanye  yang berorientasi pada  pemberdayaan jangka panjang.  Misalnya, melalui pendidikan  politik atau  pelatihan tertentu  sehingga komunitas-  komunitas tersebut  tumbuh menjadi komunitas  yang kuat.

    Kampanye dengan  pendekatan komunitas ini  seyogianya dilakukan  parpol sehingga prosesi  kampanye dapat  mewujud dalam bentuk  yang lebih transformatif.  Saatnya parpol-parpol  di Indonesia menggunakan  kampanye dengan  pendekatan modern, yakni  berbasis literasi politik. Hal itu  dimulai dengan gagasan yang  tidak seragam sehingga adu gagasan  menjadi mungkin terjadi  yang pada akhirnya akan memberi  opsi-opsi dan referensi bagi  pemilih.

    Politik citra bukan  semata-mata sukses membentuk  hiperealitas, melainkan  memberi kesempatan kepada  publik untuk mengetahui platform,  komitmen, kredibilitas,  dan orientasi masa depan  parpol-parpol yang ada sehingga  memungkinkan munculnya  trustyang menjadi penggerak  keterpilihan parpol di  bilik-bilik suara.

  • Gus Dur Memanusiakan Manusia

    Gus Dur Memanusiakan Manusia
    M Subhi Azhari, PENELITI THE WAHID INSTITUTE, JAKARTA
    Sumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 3Februari 2012
    Disinilah, bagi Moqsith, pentingnya memikirkan apa saja yang perlu dilakukan para penerus perjuangan Gus Dur. Banyak pekerjaan Gus Dur yang berhasil, namun banyak pula yang belum tuntas. Antara lain nasib Ahmadiyah yang hingga sekarang masih belum selesai, problem regulasi negara seperti PNPS No. 1 tahun 1965, persoalan GKI Taman Yasmin Bogor juga masalah Syi’ah yang akhir-akhir ini banyak muncul. Kesemuanya adalah pekerjaan rumah para penerus perjuangan Gus Dur.
    Berbagai problem kebangsaan sekarang seakan bertolak belakang dengan apa yang selama ini telah diperjuangkan mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai akhir hayatnya yakni memanusiakan manusia. Sikap, nilai dan perjuangan itu kian penting ketika Indonesia semakin kehilangan kendali atas kehidupan bersamanya sebagai bangsa, terus digerogoti kepentingan sesaat, kepentingan kelompok, kecintaan pada kekuasaan dan nilai bangsa yang memburam..
    Inilah sedikit diantara refleksi para tokoh pada haul 2 tahun meninggalnya Gus Dur di kediaman almarhum, Kompleks Masjid Al Munawarah, Jl. Warung Silah, Ciganjur Jakarta Selatan, Jumat, (30/12). Tampak hadir pada acara ini Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, MD, Mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, aktivis HAM Usman Hamid, aktivis JIL Abd. Moqsith Ghazali, Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, budayawan Al Zanstrow Ngatawi, Wakil Menteri Agama Nasarudin Umar, sejumlah tokoh lintas agama, Hj. Shinta Nuriyah Wahid dan putrid-putri Gus Dur.
    Acara ini turut dimeriahkan pagelaran Wayang Kampung Sebelah dari Solo.Wayang adalah salah satu kesenian yang amat digemari Gus Dur semasa hidupnya.
    Anita Wahid, salah satu putrid Gus Dur mengungkapkan betapa kita rindu menjadi manusia yang memanusiakan manusia sebagaimana ditunjukkan Gus Dur. Baginya, menjadi manusia berarti mendahulukan kepentingan manusia di atas kepentingan duniawi sesaat. Hal itu bisa Gus Dur lakukan karena ia berpegang pada tiga nilai besar yaitu keadilan, kesetaraan serta nilai persaudaraan. “Inilah yang seharusnya menjadi pondasi kehidupan berbangsa kita” tandas Anita.
    Karena itu pulalah lanjut Anita, meski Gus Dur sudah dua tahun meninggal, waktu tetap tidak bisa memisahkan sosok Gus Dur dari kehidupan bangsa Indonesia. “Bapak tidak hanya sekedar menjadi kenangan dalam album-album yang tertutup atau pada foto-foto di dinding rumah. Bapak masih tetap hidup, sebagaimana penyair mengatakan Gus Dur hanya pulang bukan pergi” lanjutnya lirih.
    Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun menilai warisan yang ditinggalkan Gus Dur adalah nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut tidak hanya membesarkan namanya tetapi juga mengabadikan dirinya jauh melampauai usia hidup dan keterbatasan jamannya. “Kebesaran Gus Dur kita tahu bukan terletak pada tampilan sosok dan pisiknya, tapi pada keluhuran, pikiran hati dan cita-citanya yang selalu memberi sugesti perbaikan dan penghormatan pada hak asasi, demokrasi, keaadilan dan lingkungan hidup” tagasnya.
    Perjuangan Gus Dur menciptakan kehidupan bangsa yang lebih baik menjadikanya sebagai tokoh yang berpengaruh dalam sejarah kontemporer Indonesia. pengaruhnya jauh lebih luas dan besar ketimbang kekuasaan.”Dalam sejarah, jangkauan pengaruh jauh lebih kuat, jauh lebih luas ketimbang kekuasaan politik atau power. Sekalipun Steve Jobs dari perusahaan Apel, Bill Gates dari Microsoft, Bunda Theresa, ilmuwan Einstein dan The Beatles tidak memiliki kekuasaan politik tetapi mereka memiliki pengaruh luar biasa melampaui batas negara, kawasan dan jamannya” lanjutnya.
    Mengapa Gus Dur demikian besar pengaruhnya? Salah satu jawabannya menurut Rikard karena Gus Dur memiliki apa yang disebut sebagai budaya unggul yakni budaya yang selalu memperjuangkan kebenaran dan kebaikan bukan bagi dirinya atau bagi Islam tetapi bagi semua orang.
    Pada aspek yang lain aktivis HAM Usman Hamid menilai masa pemerintahan Gus Dur adalah masa dimana komitmen pemerintah terhadap penegakan hak asasi manusia sangat kuat. Pemerintahan Gus Dur mendukung seluruh institusi HAM. penyelidikan HAM juga ditindaklanjuti. “Bahkan seorang jenderal di copot karena terlibat kejahatan di Timor Timur dan menghambat reformasi ditubuh militer, Keputusan Presiden diterbitkannya untuk memfungsikan Pengadilan HAM” paparnya.
    Praksis Pemerintahan Wahid lanjut Usman bisa meneropong situasi HAM sekarang dengan sangat jernih. Itu karena Gus Dur adalah sosok pemimpin, pembela rakyat marjinal, pembela minoritas agama etnis yang hak-haknya terhalangi baik dalam berkeyakinan, beragama atau mendirikan rumah ibadah sepeti yang dialami GKI Yasmin akhir-akhir ini.
    Senada dengan Usman Abd. Moqsith Ghazali juga melihat Gus Dur adalah sosok yang konsisten dengan perjuangannya, dia tidak pernah pamrih atas berbagai hal yang dia bela untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal itu bisa terjadi karena Gus Dur mengerti mana sarana mencapai tujuan dan mana tujuan itu sendiri. Bagi Gus Dur pluralisme adalah tujuan perjuangan dan bukan sarana mencapai tujuan. “Itu sebabnya Gus Dur tidak pernah mempolitisasi pikiran-pikiran pluralism, tidak pernah mempolitisasi HAM. Dia juga tidak khawatir apakah partainya akan merosot suaranya, atau dia akan ditinggal umatnya. Inilah yang berbeda dengan generasi-generasi setelahnya” sindir Mogsith.
    Keistimewaan lain Gus Dur adalah keyakinannya pada iman yang terbuka. Bagi Gus Dur, iman bukanlah rumah yang tertutup untuk menebalkan tapal batas dirinya dengan orang lain. Dengan keimanan yang kuat Gus Dur tidak ragu untuk berjumpa dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama.”Keimanan Gus Dur tidak merosot hanya karena mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani. Gus Dur tidak marah dengan polling Arswendo yang menyatakan Nabi Muhammad ratingnya kalah jauh ketimbang Zainudin MZ Keimanan yang kuat menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk berjumpa menjabat orang yang berbeda. Itulah makna keimanan yang diharapkan Gus Dur” tandas Moqsith.
    Banyak orang merasa kehilangan atas kepergian Gus Dur, karena begitu banyak peristiwa yang dialami bangsa pada saat ini baik berkaitan dengan kehidupan masyarakat, kehiduan umat beragama ternyata jauh dari apa yang dicita-citakan Gus Dur. Karena itu bagi Moqsith cita-cita itulah yang harus diteruskan orang-orang yang mengaku mengikuti ajaran Gus Dur, bukan dengan menyembahnya.
    Moqsith mengutip sepenggal kisah ketika sahabat Umat Bin Khattab tidak mau menerima kenyataan Nabi Muhammad telah meninggal dunia. Dia bahkan bersumpah akan memengal kepala siapapun yang berani mengatakan bahwa Nabi sudah meninggal. Namun Abu Bakar al Shiddiq, sahabat yang lain segera menyadarkan dia dengan mengatakan: “Bahwa barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya dia telah mati, tapi barangsiapa yang menyembah Allah, Dia adalah kekal, tidak pernah mati”.
    Disinilah, bagi Moqsith, pentingnya memikirkan apa saja yang perlu dilakukan para penerus perjuangan Gus Dur. Banyak pekerjaan Gus Dur yang berhasil, namun banyak pula yang belum tuntas. Antara lain nasib Ahmadiyah yang hingga sekarang masih belum selesai, problem regulasi negara seperti PNPS No. 1 tahun 1965, persoalan GKI Taman Yasmin Bogor juga masalah Syi’ah yang akhir-akhir ini banyak muncul. Kesemuanya adalah pekerjaan rumah para penerus perjuangan Gus Dur.
    Bahkan menurut Akbar Tanjung, sedemikian besar pekerjaan rumah kita saat ini, jika Gus Dur masih ada, dia pasti akan turun langsung menyelesaikannya.
  • Beda ‘Rukun’, Tapi Bisa Rukun

    Beda ‘Rukun’, Tapi Bisa Rukun
    (Tanggapan untuk Haidar Bagir)
    Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT, 
    GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA  
    Sumber : REPUBLIKA, 3Februari 2012
    Judul ini saya gunakan secara sengaja untuk menegaskan perbedaan Islam Sunnah dan Syiah yang sejatinya bersifat prinsip serta menyangkut rukun (akidah) umat. Namun, demikian bisa diharapkan untuk diusahakan rukun demi menciptakan Indonesia yang aman, penuh kedamaian, dan bebas keresahan.
    Untuk menanggapi tulisan kedua Sdr Haidar Bagir (Republika, 27-01-2012), perlu saya jelaskan beberapa hal. Pertama, Sdr Haidar memaparkan hal yang tidak ada kaitannya dengan tahrif, dan berusaha mengaburkan masalah dengan memberikan kesan seakan baik Sunnah maupun Syiah mempunyai pandangan sama tentang tahrif bahwa Alquran tidak lengkap.
    Dalam artikel itu, antara lain, dinyatakan “… juga terdapat pa da kitab-kitab hadis sahih mau pun kitab-kitab standar Sun ni yang posisinya sama kuat dibanding kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis.”
    Pandangan ini menurut saya harus dikoreksi sebab Sdr Haidar tidak lengkap menuliskan hal itu sebagai nasikh-mansukh sesuai penulis kitabnya. Dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an’, siapa pun tahu bahwa perubahan dan atau pergantian ayat itu adalah dalam konteks nasikh dan mansukh. Allah sendiri yang mengganti bukan manusia dan Allah memba talkan/mengganti ayat-ayatnya   sendiri dengan ayat–ayat yang lebih baik atau sebanding dengannya. “… Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 2:106).
    Hilangnya ayat seperti yang di maksud adalah mansukh altilawah, namun hukumnya tidak di-nasakh atau dihapus (seperti di nukil secara jelas oleh Imam Suyuthi dalam Al-Itqan). Ada ju ga yang baik tilawah maupun hu kumnya telah di-nasakh dengan konsekuensi dan implikasi berkurangnya ayat-ayat tersebut secara kuantitatif, sebelum ditetapkan dalam satu mushaf yang disepakati berdasar petunjuk Nabi SAW.
    Berbeda dengan tahrif (interpolasi) yang mengganti dan mengubah ayat-ayat itu adalah manusia, disesuaikan dengan kecenderungan tafsirnya terhadap teks, atau karena dorongan ideologis dan afiliasi politik. Oleh karena itu, sekali lagi, perubahan dan pergantian ayat-ayat itu harus dibaca dalam konteks nasikh dan mansukh yang semestinya, bukan sekali-kali identik dengan tahrif sendiri. Untuk lebih jelasnya, saya kira para pakar tafsir harus bicara menjelaskan kecenderungan ‘salah-paham’ yang berkembang saat ini.
    Kedua, dalam artikel disebutkan, “Memang, meski dianggap sebagai kitab hadis paling di andalkan di kalangan Syiah, tak sedikit ahli, khususnya para ula ma muta’akkhirin di kalangan ma zhab ini sendiri—yang menunjukkan bahwa kitab Al-Kafi, apa lagi kitab-kitab sahih lainnya, tak dengan demikian bebas dari ke mungkinan memuat hadis-hadis palsu atau lemah.”
    Saya tidak mengerti logika ini, bagaimana mungkin sebuah riwayat yang di sandarkan pada para imam maksum (menurut versi Syiah) yang termuat di da lam Al-Kafi, dan banyak mendapat apresiasi dari para pemuka ulama mereka, kemudian sekaligus tiba-tiba dikatakan tak bebas dari hadis palsu.
    Ini nalar yang antagonistis dan kontradiktif, suatu hadis disebut sahih (dalam kitab hujjah atau argumen), namun tidak menutup kemungkinan palsu. Saya kira ini perlu klarifikasi dan verifikasi, apa maksud pujian dan apre siasi begitu banyak ula ma mutaqaddimin dan mutaakh hirin Syiah Itsna Asyariah, na mun kemudian dimentahkan lagi seperti ini? Ketiga, soal mencerca Ali di 70 ribu mimbar. Nalar umum tidak bisa menerima ini, bagaimana mung kin selama 80 tahun di 70 ribu mimbar, Ali dicerca di dalam masjid setiap shalat Jumat, sementara umat diam saja, seolah ha rus menunggu terpilihnya Umar bin ‘Abdul Aziz menjadi khalifah sekitar 100 tahun kemudian untuk meluruskannya?
    Tidak masuk akal jika selama 80 tahun di 70 ribu masjid tidak ada pembela Ali dan Ahl al-Bayt? Sekali lagi, mungkin saja segelintir kaum Khawarij melakukan itu, dan juga pendukung Mua wiyah sebagai oposan mengecam Ali, tapi ini tidak pernah ada persetujuan dari ulama Sunni manapun. Bahkan, yang Ahlussunnah sekali-kali tidak bisa lepas dari sikap positif untuk menghormati dan memuliakan Ali dan Ahl al-Bayt tanpa ghuluw (pengultusan).
    Sebagian kecil ada yang menyesali sikap Muawiyah walaupun Aqil bin Abi Thalib (adik kandung Ali) sendiri ternyata pro-Muawiyah dan tinggal di Syam bersamanya. Bahkan, Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyetujui kompromi dengan Muawiyah sehingga masa itu dinamakan dengan Tahun Persatuan. Jika misalkan benar Muawiyah terusmenerus mencerca Ali, apa mungkin adik dan putra sulung Ali tinggal diam?
    Perlu diketahui bahwa Muawiyah sendiri adalah ipar Rasulullah, adiknya bernama Ummu Habibah (dinikahi oleh Nabi). Selain itu, Muawiyah juga pernah jadi sekretaris Nabi SAW bersama deretan sahabat yang lain.
    Keempat, sekali lagi saya menghormati ‘fatwa’ Ayatullah Ali Khamenei yang melarang pelaknatan kepada para pemuka saha bat dan istri-istri Nabi. Namun pertanyaannya, sejauh mana efektivitas ‘fatwa’ ini kepada umat Syiah, termasuk yang ada di Indonesia? Soalnya, kini kita hidup di era keterbukaan, setiap orang dengan mudah dapat mengakses internet, bagaimana ritual dan fakta sosial kaum Syiah, terlihat di YouTube (http://www.gensyiah.com) dalam shalat membaca doa kutukan terhadap Abubakar dan Umar serta kedua putrinya.
    Ada tausiah memastikan Aisyah masuk neraka dan sedang makan bangkai (sebagaimana di khotbahkan ulama Syiah Yasir Al ha bib). Ia menganjurkan,    setiap orang Syiah meminta hajat ke pada Tuhan melalui pengu tukan terhadap Aisyah yang dijuluki Ummul Kafirin (Na’uzu bil lah). Karena itu, Habib Umar bin Hafidz Bin Syeh Abubakar (juru bicara Habaib dan ‘Ala wiyyin dari Hadramaut) mengatakan, mazhab yang gemar laknat-me laknat ini sebagai “mazhab Iblis”. (Lihat: YouTube: permusi!).
    Ada lagi misalnya, buku Ali Oyene-e-Izadnemo, yang ditulis oleh Abbas Rais Kermani, kemudian diterjemahkan Bahasa Indonesia berjudul “Kecuali Ali“, menulis bahwa Imam Ali (mengambil alih wewenang Tuhan–Pen) nanti sebagai hakim yang mengadili manusia di hari Kiamat dan Ali adalah pemilik Telaga Kautsar dan pembagi surga dan neraka (halaman 42, sebagaimana dikutip Majalah Alkisah No 02/ 2012, halaman 28-33).
    Menuju Damai
    Untuk tujuan damai Islam Sunnah-Syiah disini, upaya pertama adalah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap para pembesar sahabat, istri Nabi, Bukhari, dan ulama Sunni. Hindari tradisi diskusi dengan cara melepaskan teks dari konteksnya, `memutilasi’ ayatayat Kitabullah dan hadis Nabi dengan kemasan `kajian ilmiah’.
    Tanpa itu, insya Allah awal hubungan (muamalah) yang baik bisa disambung. Jika tidak, maka pembiaran ini akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar: ketegangan yang tidak mustahil akan mengkristal dalam bentuk perlawanan umat yang berujung kebencian dan kekerasan. Dan, pasti ini akan dapat mengancam stabilitas keamanan serta ketahanan nasional.
  • Ukhuwah dan Keterbukaan

    Ukhuwah dan Keterbukaan
    Kholili Hasib, ALUMNUS PROGRAM KADERISASI ULAMA (PKU), PESANTREN GONTOR PONOROGO
    Sumber : REPUBLIKA, 3Februari 2012
    Polemik tentang Syiah seperti yang dimuat beberapa kali di Harian Republika–menunjukkan bahwa penyelesaian masalah Sunnah-Syiah di Indonesia merupakan masalah yang penting. Karena itu, masalah ini menagih solusi secepatnya. Masing-masing pihak perlu menunjukkan sikap keterbukaan dan kejujuran. Polemik Haidar Bagir, Muhammad Baharun, dan Fahmi Salim, belum sepenuhnya menjernihkan masalah, bahkan penulis khawatir memunculkan lagi polemik-polemik yang tidak berkesudahan.
    Perlu dipahami dalam masalah ini tampak ada cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Misalnya, dalam hal isu tahrif (distorsi) Alquran. Jelas dalam masalah ini ada pandangan yang bebeda antara Muslim Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, isu tahrif Alquran sudah biasa. Ini tidak perlu disembunyikan karena banyaknya literatur Syiah yang menyebutkan hal itu sebagaimana dipaparkan oleh Baharun dan Fahmi Salim dan berbagai literatur Syiah yang dianggap otoritatif oleh kaum Syiah.
    Bahwa ada sebagian kaum Syiah yang menyatakan, tidak adanya tahrif dalam Alquran, itu juga fakta. Terlepas dari apakah itu dilakukan untuk taqiyyah (menutup keyakinan di tengah pemeluk mayoritas) atau tidak.
    Pada 2005, penulis pernah melakukan penelitian langsung ke sebuah pesantren di Jawa Timur yang dinilai menjadi salah satu pusat pengaderan penganut Syiah di Indonesia.
    Seorang ustaz yang penulis temui menyatakan bahwa Syiah meyakini adanya konsep tahrif dalam Alquran. Tetapi, ketika digali terus, ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat Alquran yang ia katakan hilang. Namun, ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya karena dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut.
    Duduk Persoalan
    Di tengah-tengah diskusi, ia juga melontarkan argumentasi seperti yang ditulis Haidar Bagir di Republika (20/1/2012) dan pada (27/1/2012). Bahwa, kalangan ulama Sunni juga mengakui adanya ayat-ayat Alquran yang disebut hilang itu. Ayat-ayat yang berbau tahrif dinukil dari kitab al-Itqon karya al-Suyuthi dan Shahih Bukhari bab “Syahadah“.
    Inilah duduk persoalannya. Haidar Bagir dan kaum Syiah lainnya memahami hadis-hadis dalam literatur Muslim Sunni tersebut sebagai tahrif Alquran.
    Padahal, para ulama Sunni sudah membahas masalah ini dengan sangat jelas. Bahwa, hadis-hadis itu tidak menunjukkan tahrif Alquran, tetapi di situ ada konsep nasikh-mansukh, yang hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ulama Sunni yang mengatakan adanya tahrif dalam Alquran. Saya kira jawaban Fahmi Salim sudah cukup.
    Di sini perlu dibedakan antara tahrif dan nasikh-mansukh. Sebab, tampak Haidar Bagir merancukan kedua konsep ini. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayatayat yang di-mansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushaf Alquran, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan Al quran, melalui Nabi-Nya, Muhammad SAW. Jadi, yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah.
    Sedangkan tahrif berarti adanya perubahan terhadap teks Al quran yang dilakukan oleh ma nusia sepeninggal Nabi Muham mad SAW. Biasanya, ini    dituduhkan kepada sebagian sahabat Na bi SAW. Konsep tahrif ini, sebagaimana diuraikan oleh penulis sebelumnya, sudah sangat biasa dijumpai dalam literatur-literatur Syiah. Dalam literatur Syiah, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin, hanya ada tiga ulama yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam Alquran, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha, dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam alAnwar al-Nu’maniyyah juz II ha laman 246.
    Hanya, menurut al-Jazairi sen diri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam Alquran tersebut sedang ber-taqiyyah. Artinya, sebenar nya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif da lam Alquran. Dan memang, ke yakinan tahrif itu telah menjadi perkara yang aksiomatis di ka langan Syiah. Imam Khomeini sen diri, yang ditulis oleh Haidar Ba gir tidak meyakini tahrif, ternyata dalam bukunya berjudul al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, ha laman 50 meyakini tahrif.
    Di dalam kitab Al-Kafi terdapat petunjuk anjuran untuk bertaqiyyah dalam soal isu tahrif Alquran ini. Dalam kitab tersebut (juz II) dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syi ah, ditanya pengikutnya, “Wahai Abu Abdillah, saya mendengar bacaan Alquran orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan Al quran kaum Mus li min), tetapi dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa Alquran yang asli.”
    Tentu, patut disyukuri jika konsep tahrif Alquran itu benar-benar sudah ditinggalkan kaum Syiah, bukan sekadar taqiyyah. Dan, kaum Muslimin semua menunggu kejujuran, bukan sekadar taqiyyah. Juga, tidak sepatutnya pihak Syiah memaksakan konsep tahrif itu pada kaum Sunni. Sedangkan, kaum Sunni sediri sejak dulu hingga kini menolak adanya tahrif dalam Alquran.
    Akhirnya, penulis mengajak kaum Syiah dan Ahlu Sunnah untuk ‘menyimpan’ polemik tentang hal-hal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kemudian, kita semua kembali ke pokok masalah untuk menciptakan kerukunan Ahlusunnah dan Syiah, sebagaimana yang ditawarkan dalam Jurnal Islamia     Republika (19/1/2012).
    Konsep itu juga disetujui Haidar Bagir dalam artikelnya (20/1/ 2012). Yaitu, untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, kaum Syiah bersedia membuang ambisi nya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Dengan itu, kita semua bisa mengkon entrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
  • Nasionalisme Abdullah bin Nuh

    Nasionalisme Abdullah bin Nuh
    Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 3 Februari 2012
    Bin Nuh menulis: “Anda adalah saudaraku. Apapun keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tidak kenal aku dan tidak tahu siapa bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah dengan anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda….”
    Bukan jalan benar yang dipersengketakan. Nama jalan itulah yang diperdebatkan. Di jalan itu berdiri sebuah gereja setengah jadi milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Gereja itu disegel. Walikota Bogor pelakunya.
    Nama jalan di mana gereja setengah jadi itu berdiri adalah KH Abdullah bin Nuh. Ia adalah seorang tokoh besar. Sumbangsihnya tidak tanggung-tanggung. Ia terlibat dalam proses pendirian Negara Republik Indonesia. Ia adalah salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang. Ia bahkan menjadi komandan batalyon PETA atau daidancho. Jabatan komandan batalyon ini ia pegang terus ketika ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
    Ketika tentara NICA masuk kembali ke Indonesia, pemerintah pusat pindah ke Yogyakarta. Salah satu yang diburu oleh tentara NICA adalah KH Abdullah bin Nuh. Ia kemudian ikut hijrah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah bersama sejumlah tokoh nasional ia memprakarsai pendirian Sekolah Tinggi Islam yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Di kota ini pula ia mengembangkan siaran berbahasa Arab Radio Republik Indonesia (RRI).
    Radio Republik Indonesia berbahasa Arab punya peranan besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dari seksi bahasa Arab inilah berita mengenai kemerdekaan RI tersiar ke manca negara, terutama ke negara-negara Arab. Bukan kebetulan bahwa negara paling awal yang memberi pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, kemudian disusul negara Arab lainnya. Pada titik ini, menurut M. Imdadun Rakhmat (peneliti KH Abdullah bin Nuh), jejak sang kiai di dunia jurnalisme sangat penting. Ia bukan sekedar wartawan biasa, melainkan seorang wartawan pejuang.
    Yang menarik dari cerita perjuangan ini adalah bahwa sosok Bin Nuh adalah seorang nasionalis pembela negara. Kiprah keulamaannya tidak menghalangi dia untuk menjadi seorang nasionalis. Sepanjang hidupnya, Bin Nuh memang dikenal sebagai seorang kiai besar. Ia membangun perguruan-perguruan tinggi dan sejumlah pesantren, tempat di mana lahir ulama-ulama. Tak heran kalau nama Abdullah bin Nuh sering disebut sebagai guru para ulama. Oleh para pengikutnya, ia dipanggil “Mama.”
    Meski memiliki posisi keagamaan yang istimewa di tengah umat Islam, ia sama sekali tidak tertarik ikut-ikutan dalam gerakan pendirian negara Islam oleh Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Padahal basis utama gerakan ini adalah Jawa Barat, daerah yang juga menjadi basis gerakan Bin Nuh. Alih-alih bergabung dengan DI/TII, Bin Nuh justru terus menjadi komandan batalyon BKR dan TKR, membentuk seksi bahasa Arab RRI untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia, ikut hijrah ke Yogyakarta, mendirikan universitas dan lembaga pendidikan, menjadi Lektor Kepala atau Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan sederat aktivitas lain yang mendukung keutuhan negara bangsa Republik Indonesia.
    Jika di kemudian hari nama Bin Nuh dikaitkan dengan sejumlah gerakan keagamaan internasional yang memiliki agenda penghancuran negara bangsa Indonesia, itu adalah suatu kecerobohan besar. A historis. Faktanya, hampir seluruh hidup sang kiai dicurahkan untuk mendirikan dan membangun negara bangsa bernama Indonesia ini.
    Dalam hal pemikiran keagamaan, Bin Nuh tampak dekat dengan pemikiran yang berkembang dalam tradisi NU. Ia, misalnya, menulis satu buku yang sejak halaman judul menetapkan posisi pemikirannya. “Ana Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun” (Saya Seorang Muslim Sunni Pengikut Syafi’i). Aliran teologi Sunni dan mazhab hukum Syafi’i sangat populer di Indonesia dan menjadi anutan masyarakat Nahdlatul Ulama. Pada posisi ini, Bin Nuh sangat jauh dari sosok tokoh Muslim tanpa mazhab seperti yang dikembangkan oleh kaum Salafi Wahhabis. Kalau ada gerakan Islam Wahhabi apalagi jihadis Salafi yang menisbatan gerakannya kepada Bin Nuh, lagi-lagi itu adalah klaim sepihak yang tidak memiliki dasar faktual.
    Lebih jauh, Bin Nuh memiliki kedekatan keagamaan dengan kaum sufi, sesuatu yang sangat ditentang oleh kelompok keagamaan Wahhabis. Salah satu karya besar Bin Nuh adalah Diwan bin Nuh. Buku itu berisi 118 qasidah (nyanyian puji-pujian) yang terdiri dari 2.731 bait sajak.
    Dalam sebuah kesempatan wawancara untuk talkshow Agama dan Masyarakat KBR 68H dan Tempo TV, KH Mustafa bin Abdullah bin Nuh membantah jika ayahandanya dikaitkan dengan penolakan sekelompok orang terhadap pembangunan gereja Taman Yasmin. Karakter dan jejak pemikiran Bin Nuh sangat tidak sejalan dengan intoleransi terhadap pembangunan gereja. Ada begitu banyak jalan yang menggunakan nama tokoh agama tertentu dan di situ ada rumah ibadah agama lain.
    Dalam buku tentang persaudaraan Islam yang terbit tahun 1925, Bin Nuh menulis: “Anda adalah saudaraku. Apapun keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tidak kenal aku dan tidak tahu siapa bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah dengan anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda di bawah satu atap langit.”
  • Implikasi Penempatan Pasukan AS di Darwin

    Implikasi Penempatan Pasukan AS di Darwin
    Singgih Nugroho, PENELITI DI PERCIK, LEMBAGA PENELITIAN SOSIAL, DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL DI SALATIGA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 3Februari 2012
    Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Bali pada November 2011 untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN dan Asia Timur ke-19 merupakan lawatan resmi keduanya ke Indonesia dalam perannya sebagai presiden.
    Pada November 2010 ia menyampaikan pidato di Universitas Indonesia di mana ia memuji Indonesia karena berhasil merekonsiliasikan Islam dan demokrasi, serta mampu mengelola keragaman secara demokratis.
    Pujian ini tidak pelak disambut baik banyak orang. Namun, banyak orang Indonesia merasa kata-katanya itu berseberangan dengan kebijakan AS baru-baru ini di kawasan dan merasa bahwa ada banyak lagi yang harus dilakukan untuk memperbaiki hubungan di antara kedua negara.
    Akhir November lalu, sebelum kedatangannya di Bali, Obama mengumumkan penempatan 2.500 pasukan marinir di Darwin, Australia, yang hanya berjarak 800 kilometer dari Indonesia, untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II.
    Keputusan itu mengejutkan dan mencemaskan banyak orang Indonesia. Meski sebagian besar pengamat dan politikus menganggap langkah itu terkait dengan hubungan AS dengan China, sebagian orang khawatir kehadiran pasukan AS akan menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan di antara kedua negara.
    Bagi banyak orang, kehadiran militer AS yang begitu dekat dengan tepi wilayah Indonesia bisa dipandang sebagai sesuatu yang membuat kita tidak nyaman.
    Pada pertemuan tingkat tinggi di Bali itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengomentari, “Yang tidak saya sukai dari rencana AS itu adalah jika penempatan militer di Darwin ini nantinya berkembang menjadi upaya untuk memancing reaksi dan kontra reaksi yang justru menciptakan siklus ketegangan dan rasa curiga atau tidak percaya.”
    Yang menyedihkan, ketidakpercayaan ini telah muncul. Para diplomat AS dan Australia di Indonesia telah secara terbuka menyatakan penempatan ini tidak ditujukan untuk menambah ketegangan di kawasan dan murni untuk tujuan pengelolaan bencana kemanusiaan.
    Namun, penjelasan itu secara umum ditanggapi dengan rasa tidak yakin, di mana para analis dan pengamat terus menyuarakan kecurigaan terkait motif-motif penempatan pasukan tersebut.
    Jadi Bahan Propaganda
    Situasi ketidakpercayaan itu telah berdampak ke tingkat akar rumput di Indonesia. Penempatan pasukan AS menjadi tambahan dalih bagi propaganda yang terus dilancarkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia bahwa AS memiliki tujuan-tujuan imperialis bila datang ke Indonesia.
    Propaganda seperti itu pada gilirannya bisa mempersulit masyarakat sipil Indonesia untuk menghadapi ideologi-ideologi eksklusif dan memajukan pluralisme di dalam negeri.
    Di kawasan Asia Pasifik, banyak orang melihat sarana diplomatik dan politik sama pentingnya dengan tujuan akhir. Karenanya, sebagian besar orang Indonesia sejalan dengan kepentingan-kepentingan AS di kawasan namun tidak setuju dengan penggunaaan demonstrasi kekuatan militer untuk mencapainya.
    Banyak orang Indonesia mengagumi sistem pemerintahan, komunitas bisnis, dan budaya AS, dan tidak punya masalah dengan publik AS secara umum.
    Pada saat yang sama, mereka tidak setuju dengan beberapa unsur kebijakan luar negeri AS, khususnya orang-orang yang mereka lihat menerapkan standar ganda ketika menyangkut penegakan HAM pada satu sisi, dan kebijakan bisnis dan korporat pada sisi lain. Peluang untuk benar-benar memahami AS dan orang Amerika hanya dimiliki sekelompok kecil rakyat Indonesia.
    Kerenggangan ini bisa diatasi jika masing-masing dari kedua pihak lebih peka dengan nilai-nilai dan kerangka acuan pihak lain. Media dan figur publik di kedua pihak bisa menahan diri dari menyajikan opini yang masih mentah dan kurang berdasar sebagai fakta.
    Pendekatan diplomatik di antara kedua pemerintahan bisa mendorong kerja sama yang lebih langsung antara warga Amerika dan warga Indonesia dalam beberapa tingkatan.
    Kegiatan itu bisa berbentuk kegiatan pertukaran pemerintahan, pendidikan, dan masyarakat sipil yang memungkinkan orang Amerika dan Indonesia berbagi pengalaman kehidupan keseharian mereka dan saling menatap dengan wajah yang baik, fair, bersahabat dan penuh perhatian.
    Skeptisisme dan ketidakpercayaan terus menghiasi tulisan-tulisan di Indonesia tentang aksi AS di Darwin. Tetapi jika para pemimpin di kedua pihak bisa menggunakan hal itu sebagai peluang untuk melihat hubungan AS-Indonesia secara lebih saksama, itu bisa membuahkan jalinan hubungan-hubungan baru yang berdasarkan kepentingan bersama dan kemauan baik, bukannya kecurigaan atau ketakutan.
  • Demokrasi yang Sakit

    Demokrasi yang Sakit
    Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
    Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012
    Wahai para politikus dan penguasa negeri, bukalah mata dan pikiran! Kerusuhan Sidomulyo dan Bima, gerakan separatis di Aceh, Papua, dan Ambon adalah ”hasil nyata” dari sinergi dua kekuatan destruktif—demokrasi sakit-sakitan dan pembangunan eksklusif—karya kalian.
    Demokrasi sakit setelah ia diterapkan tidak langsung. Yang diderita adalah penyakit institusional, motivasional, dan mekanistis, disebut neurosis politis. Neurosis adalah kondisi yang bisa dialami siapa atau apa saja dalam mencapai tujuan.
    Demokrasi punya tiga tujuan politis. Pertama (A), secara implisit dan dijadikan ideal, adalah menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
    Kedua (B), tidak dinyatakan secara eksplisit karena bersifat problematik, adalah menentang siapa atau apa pun yang mau menindas kepentingan rakyat.
    Ketiga (C), kelihatannya tidak problematik: berdisiplin pada partai—dengan berpura-pura berpihak ke rakyat—melalui slogan ”demi kepentingan umum, ”atas nama rakyat”, ”vox populi vox dei”.
    Demokrasi menderita neurosis apabila tujuannya yang riil, tetapi problematik (B) berbeda dengan yang resmi, tetapi tidak sungguhan, dan dibeberkan secara terbuka (C), begitu rupa hingga tujuan (B) diredam, terbengkalai. Begitu demokrasi terperangkap dalam kebingungan (neurosis) politis, ”logika” lebih banyak menghambat ketimbang membantu.
    Apabila menganggap semakin ”logis” berusaha mencapai tujuan resmi, tetapi sebenarnya bohong-bohongan (C), semakin jauh ia dari tujuan riil dan problematik (B), semakin tidak berdaya ia memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan tujuan (B), jadi semakin tidak menjangkau tujuan riil yang didambakan (A).
    Berarti, semakin logis demokrasi menganggap usaha mencapai tujuan yang dengan resmi dibeberkan (C), akan semakin gagal ia secara riil (A) dan (B). Maka, agar bisa sukses demokrasi perlu bertindak ”tidak logis” (illogic). Peredaman logika ini menghambat kemajuan sekaligus melecehkan logika human. Dengan kata lain, logika di sini menjadi penghambat dan bukan pembantu kemajuan, termasuk dalam urusan pelayanan kepada rakyat yang katanya pemilik negara berdemokrasi.
    Kerdilkan Otonomi Warga
    Selain cenderung meredam logika, demokrasi tak langsung mengerdilkan keotonomian warga dan menepis daya kritis anggota parpol. Para warga dimotivasi agar berkelompok dalam parpol dan organisasi yang dilembagakan inilah yang menetapkan calon-calon wakil. Baru sesudah itu warga ”dipersilakan” memilih di antara calon-calon itu, yang akan mendapat kepercayaan formal sebagai wakil mereka serta berlabel ”wakil rakyat” di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
    Sesudah wakil terpilih, rakyat yang memilih kehilangan keotonomiannya dalam bertindak secara politis. Kehilangan ini oleh mekanisme pemilihan disulap hingga kelihatannya wajar-wajar saja.
    Yang turut lenyap, tetapi tersembunyi dari penglihatan sebagai akibat bekerjanya mekanisme tersebut, adalah criticism yang justru diperlukan bagi kesehatan demokrasi. Ia lenyap setelah atribut rakyat selaku individu otonom diserahkan, padahal sang wakil yang menerima belum tentu menghayati. Sebab, dalam memfungsikan criticism, sang wakil masih punya rujukan lain, yaitu kehendak parpol yang telah ”mendudukkan” dia di kursi terhomat Dewan Perwakilan Rakyat.
    Jadi, built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh neurosis politis menyelubungi suatu kekeliruan faktual: bahwa organisasi politik tidak bisa melahirkan manusia otonom karena diskusi politik paling jauh hanya menggugah semangat mengkritik (the spirit to criticize). Semangat ini tidak berkembang menjadi semangat kritis (critical spirit) karena adanya disiplin partai. Semangat kritis terkait dengan keberanian untuk membedakan antara benar dan salah, bebas dari bujukan, resolusi rapat akbar, ataupun disiplin kepartaian.
    Wakil rakyat dan politikus dibiasakan berdisiplin kepada partai, bukan kepada rakyat pemilih yang mengorbankan keotonomian dan kekritisannya. Mereka tidak mengimbangi pengorbanan rakyat itu dengan mengembangkan semangat kritisnya berhubung parpol sudah menjadi sumber nafkah yang pasti. Maka, dengan dalih ”disiplin partai”, para wakil rakyat dan politikus paling jauh mengkritik parpol dan politikus lain, bukan parpolnya sendiri dan kawan-kawan separtai. Sikap politis semacam ini semakin meracuni sosok demokrasi yang sudah sakit-sakitan.
    Pembangunan nasional punya peluang untuk menyehatkan demokrasi. Pangkal kesehatan ini bukan eksistensi formal lembaga-lembaga, melainkan seberapa jauh suara yang berbeda dari berbagai lapisan rakyat didengar, jadi mengacu pada ”government by discussion”, yaitu kapasitas menggandakan reasoned engagement melalui peningkatan ketersediaan informasi dan kelayakan diskusi interaktif.
    Hal ini justru dilecehkan oleh pemerintah, sebelum dan sesudah reformasi, dengan menyodorkan ke rakyat keputusan pemerintah yang serba jadi, ”take it or leave it”. Dengan mereduksi ”pembangunan nasional” menjadi hanya ”pembangunan ekonomi”, di tataran makro, kebiasaan ekstraktif meningkat ekstensif dan intensif. Akibatnya lebih runyam daripada zaman penjajahan. Kalau dulu luas tanah berhadapan dengan 70 juta penduduk, sekarang 230 juta manusia memperebutkan luas tanah yang sama dengan kandungan alam jauh berkurang. Penduduk dipasok kaum miskin, berhubung the poor gets children while the rich gets richer.
    Pasar Kalahkan Aspirasi
    Di tataran mikroekonomi, suasana produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran teori ekonomi pure and simple, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu revolusi dulu. Maka, mesin produksi tidak lagi membuat ”barang/jasa”, tetapi ”simbol” kemewahan dari orang-orang bertenaga beli tinggi.
    Jadi, setelah dalam pembangunan demokrasi rakyat mengorbankan keotonomiannya tanpa imbalan sepadan, dalam pembangunan nasional rakyat pun menjadi ”penonton pasif”, tidak dianggap manusia bermartabat, tidak ”diwongke”. Rakyat hanyalah ”angka rata-rata”, suatu hal yang dikutuk oleh Disraelli dengan ungkapan ”lies, damned lies, and statistics”.
    Tidak heran kalau rakyat jengkel dan gampang marah. Hal sepele mudah menyulut amuk massa karena stres. Ketika kekecewaan masih individual, rakyat kembali ke suku atau daerah asalnya. Jika kekecewaan meliputi suku atau daerah, rakyat akan serentak keluar dari NKRI.
  • Ungkapkan dengan Bunga

    Ungkapkan dengan Bunga
    Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DI DALAM DIRI:
    MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 3Februari 2012
    Negeri autopilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas, aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem-ayem atas kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali–masih menurut para kritikus-bila pabrikan mobil luar negeri datang kepada aparat meminta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.
    Inilah salah satu wajah demokrasi, dengan pemerintah yang selalu dalam posisi bersalah. Namun, melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, tampak jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, investor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan pada 2011.
    Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor. “In the deeper level, truth is relational,“ demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional, amat bergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, dan seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.
    Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada guru yang menyarankan sebaiknya seseorang lebih cerdas tidak hanya di depan berita, tapi perlu “lebih cerdas“ bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, dan pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak hanya menimbulkan penyakit, tapi juga membuat diri menjadi bagian dari penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.
    Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa yang sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang dan permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, pada akhir 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir), yang diikuti tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.
    Pada tataran ini, rumusnya bukan hanya kejadian memproduksi kebenaran, tapi “kebenaran“ ikut memproduksi kejadian. Sementara dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnya terbalik, yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realitas). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan.
    Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan–apalagi penghakiman anarkistis-dan duduk bermeditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Maka banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian di satu pihak dan sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa merasakan keheningan.
    Makhluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi, mulai bisa “istirahat“ dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, dan opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi, baik yang putih maupun hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam. Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul-lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat“ dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).
    Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama beristirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya, salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua makhluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).
    Sementara di Bali, yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, seperti infeksi HIV/AIDS, bunuh diri, dan konflik, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia timur yang belum tersentuh pembangunan. Sementara di Jawa dan Sumatera saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan, sehingga gerak pelayanan terhadap rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan.
    Sementara di Jakarta bahaya narkotik tidak sepenuhnya tertangani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik napas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga“.
  • Pembangunan Berkesinambungan dan Perubahan Iklim

    Pembangunan Berkesinambungan
    dan Perubahan Iklim
    Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE DI COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
    Sumber : KORAN TEMPO, 3Februari 2012
    Pembangunan berkesinambungan berarti mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinikmati bersama dan yang melindungi sumber daya bumi yang vital. Namun ekonomi global saat ini tidak berkesinambungan. Lebih dari 1 miliar orang tertinggal di belakang dan lingkungan alam menderita kerusakan yang parah akibat ulah manusia. Pembangunan yang berkesinambungan memerlukan mobilisasi teknologi-teknologi baru yang dibimbing nilai-nilai sosial yang dibagi bersama.
    Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa Ban Ki-moon dengan tepat telah menempatkan pembangunan berkesinambungan pada urutan teratas agenda global. Kita telah memasuki masa yang berbahaya, dengan jumlah penduduk bumi yang besar dan terus bertambah, beserta pertumbuhan ekonomi yang cepat, yang dikhawatirkan bakal membawa dampak serius terhadap iklim dunia, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air tawar. Para ilmuwan menamakan periode baru ini Anthropocene–ketika manusia telah menjadi penyebab utama perubahan fisik dan biologis di muka bumi.
    Panel Kebersinambungan Global (GSP) Sekretaris Jenderal PBB telah mengeluarkan sebuah laporan yang memberikan garis besar kerangka pembangunan berkesinambungan. GSP mencatat ada tiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem; memastikan kemakmuran dibagi bersama untuk semua, termasuk wanita, generasi muda, dan kaum minoritas; serta melindungi lingkungan. Pilar-pilar ini bisa disebut pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Atau, sederhananya, triple bottom line pembangunan berkesinambungan.
    GSP telah menyerukan kepada para pemimpin dunia agar mengadopsi serangkaian baru Sustainable Development Goals, atau SDGs, yang akan membantu memberi bentuk aksi dan kebijakan global setelah 2015 sebagai target tercapainya Millennium Development Goals (MDGs).
    Sementara MDGs berfokus pada pengentasan masyarakat miskin ekstrem, SDGs akan berfokus pada ketiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem, dinikmatinya bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi, dan dilindunginya bumi
    Sudah tentu mencapai tujuan yang hendak diraih SDGs tidak semudah meluncurkannya.  Masalahnya bisa dilihat dengan mengamati satu tantangan utamanya: perubahan iklim. Dewasa ini, ada 7 miliar orang yang mendiami bumi, dan setiap satu orang rata-rata ikut bertanggungjawab atas lepasnya setiap tahun lebih dari 4 ton karbon dioksida ke dalam atmosfir. Emisi CO2 terjadi ketika kita menggunakan batubara, minyak, dan gas untuk menghasilkan listrik, mengendarai mobil, atau menyalakan alat penghangat di rumah kita. Semua manusia mengeluarkan emisi sekitar 30 miliar ton CO2 per tahun ke dalam atmosfer, jumlah yang cukup untuk mengubah iklim dengan tajam dalam waktu beberapa dekade.
    Menjelang 2050, mungkin bakal ada lebih dari 9 miliar orang di muka bumi. Jika orang-orang ini lebih kaya daripada orang-orang sekarang ini (dan karena itu menggunakan lebih banyak bahan bakar per orang), total emisi di seluruh dunia bakal meningkat dua kali atau bahkan tiga kali lipat. Inilah dilema yang harus kita hadapi: kita perlu membatasi emisi CO2, tapi kita berada di jalur global yang mendorong emisi semakin besar.
    Kita harus peduli terhadap skenario ini, karena jika kita tetap berada di jalur emisi global yang terus meningkat, hampir pasti bakal terjadi kekacauan dan penderitaan bagi miliaran orang, sementara mereka dilanda kekeringan, gelombang panas, badai, dan banyak lagi bencana lainnya. Kita sudah mengalami awal dari penderitaan itu pada tahun-tahun terakhir ini dengan terjadinya kelaparan yang kejam, banjir, dan bencana-bencana lainnya yang terkait dengan perubahan iklim.
    Jadi, bagaimana penduduk di muka bumi ini—terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan—bisa memperoleh manfaat dari akses transportasi modern yang lebih besar, tapi dengan cara yang menyelamatkan bumi, bukan dengan menghancurkannya? Kenyataannya adalah kita tidak bisa melakukannya—kecuali kita meningkatkan dengan dramatis teknologi yang kita gunakan.
    Kita perlu menggunakan energi dengan lebih bijaksana, sedangkan kita beralih dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber energi rendah karbon. Peningkatan-peningkatan yang menentukan pasti bisa dicapai, dan secara ekonomi realistis.
    Lihat saja, misalnya, tidak efisiennya energi mobil. Kita sekarang ini bergerak dari satu ke tempat lainnya dengan kendaraan yang beratnya sekitar 1.000-2.000 kilogram untuk mengangkut cuma beberapa orang, yang masing-masing beratnya mungkin sekitar 75 kilogram. Dan kita berbuat begitu dengan menggunakan motor yang memanfaatkan hanya sebagian kecil dari energi yang dirilis dengan membakarbensin. Sebagian besar energi itu hilang sebagai panas yang terbuang percuma.
    Maka kita sangat bisa mengurangi emisi CO2 dengan beralih ke kendaraan kecil, ringan, dan yang menggunakan tenaga baterai yang menggerakkan motor listrik yang sangat efisien dan yang dimuati listrik dari sumber energi rendah karbon seperti tenaga surya. Bahkan lebih baik lagi, dengan beralih ke kendaraan listrik, kita bakal bisa menggunakan teknologi informasi yang canggih untuk membuat kendaraan itu pintar—bahkan cukup pintar untuk mengembalikan dirinya sendiri dengan menggunakan sistem olah data dan positioning yang maju.
    Manfaat teknologi informasi dan komunikasi bisa ditemukan di setiap wilayah kegiatan manusia: pertanian yang lebih baik dengan menggunakan GPS dan pupuk mikro; presisi manufaktur, yang tahu bagaimana menghemat penggunaan energi; dan kemampuan Internet, yang informatif dan yang menghapus jarak itu. Mobile broadband sekarang sudah menjangkau dan menghubungkan bahkan desa-desa terpencil di Afrika dan India, dan dengan demikian memangkas perlunya perjalanan untuk menghubungi desa-desa itu.
    Perbankan sekarang dilakukan lewat telepon, dan begitu juga dunia medis yang semakin luas jangkauan diagnostiknya. Buku elektronik dipancarkan langsung ke dalam telepon seluler tanpa perlu adanya toko buku, perjalanan, dan kertas untuk terbentuknya buku secara fisik. Pendidikan juga semakin tersedia online, dan tidak lama lagi memungkinkan siswa di mana-mana memperoleh pelajaran kelas satu dengan ongkos yang “marginal”—hamper boleh dikatakan nol.
    Tapi berangkat dari sini menuju ke pembangunan berkesinambungan bukan cuma soal teknologi. Ini juga soal insentif pasar, regulasi pemerintah, dan dukungan publik untuk penelitian dan pengembangan. Tapi bahkan yang lebih mendasar dari kebijakan dan regulasi adalah tantangan nilai. Kita harus memahami nasib yang kita bagi bersama, dan merangkul pembangunan berkesinambungan sebagai komitmen pada kepantasan (decency) hidup bagi umat manusia hari ini dan di masa depan.
  • Kembali ke UUD 1945 Asli?

    Kembali ke UUD 1945 Asli?
    Arie F. Batubara, PEKERJA SENI; PENGAMAT DAN AKTIVIS POLITIK, MENETAP DI TANGERANG
    Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012
    Sebuah ”gelitikan” menarik tentang ”realitas” demokrasi kita dewasa ini dilontarkan Kiki Syahnakri. Menurut Kiki, empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) telah mengubah platform kenegaraan kita secara total dan mendasar. Konstitusi kita menjadi amat liberal dan tak lagi sesuai dengan jiwa Pancasila (Kompas, 12 Januari 2012).
    Ia mengingatkan, ”Kini saatnya bangsa Indonesia bergegas, kembali membenahi sistem demokrasi kita yang sudah tercemar. Sebelum terlambat, kita harus mengkaji ulang UUD 1945 hasil amandemen, yang berarti menyelaraskan kembali batang tubuh dengan jiwa pembukaannya, mengembalikannya kepada roh Pancasila, bukan kembali kepada UUD 1945 asli.”
    Inilah yang saya rasakan menggelitik. Di satu sisi dibuka opsi untuk mengkaji ulang amandemen, tetapi di sisi lain kemungkinan kembali kepada UUD 1945 yang asli diharamkan.
    Meski tak pernah diakui secara terbuka, tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang kita memang berada dalam sistem demokrasi yang sangat liberal, bahkan jika dibandingkan dengan negara kampiun demokrasi semacam Amerika Serikat sekalipun.
    Kiki bukanlah orang pertama yang tak hendak kembali kepada UUD 1945 asli. Sebelumnya, ada banyak tokoh dan pakar yang tidak setuju jika negeri ini kembali ke UUD 1945 yang asli. Dari berbagai argumentasi yang diajukan, muaranya sama: UUD 1945 yang asli sangat tidak sempurna dan kembali kepadanya adalah langkah mundur!
    Belum Dilaksanakan
    Sebagai ”sistem” konstitusi yang final, UUD 1945 yang asli memang belum sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara. Maka, dalam aturan tambahan dinyatakan: (2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
    Namun, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dimaksud itu tak pernah terbentuk, apalagi bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD). Perjalanan sejarah bangsa justru bergerak ke arah lain. Pecahnya perang kemerdekaan disusul lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) telah membuat kita tak pernah sempat menetapkan UUD melalui sidang MPR, apalagi melaksanakannya. Yang pernah dilaksanakan—meski sebentar—justru UUD Sementara dan Konstitusi RIS.
    Sesudah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya Dewan Konstituante melalui Pemilu 1955, UUD yang berlaku adalah UUD Sementara. Bung Karno yang menjabat Presiden RI ketika itu, pada 5 Juli 1959 memang mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 (yang asli), tetapi Bung Karno sesungguhnya justru melanggar. Salah satunya adalah dengan menerima pengangkatan sebagai presiden seumur hidup.
    Hal serupa terjadi pada era Orde Baru. Pak Harto memang tak pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup. Namun, pelaksanaan UUD 1945 yang asli secara murni dan konsekuen tak pernah sungguh-sungguh dijalankan. Yang berlangsung hanya bersifat pro forma dan prosedural, tidak secara substansial.
    Salah satu contohnya adalah ”kedaulatan yang berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Pasal 1 Ayat 2). Ketentuan ini sama sekali tak pernah dijalankan karena keberadaan MPR sebagai pelaksana kedaulatan telah terdistorsi akibat kekuasaan presiden yang mutlak. Padahal, menurut konstruksi UUD 1945, presiden sebenarnya hanya ”mandataris” MPR.
    Penuh Prasangka
    Maka, ketika Orde Baru tumbang dan era Reformasi menggantikannya, para elite negeri ini bukannya berusaha memahami UUD 1945 yang asli, tetapi justru memprasangkainya. Salah satunya mengenai kekuasaan presiden yang terlalu besar.
    Maka, dilakukanlah amandemen yang tidak tanggung-tanggung: empat kali dalam kurun waktu relatif singkat: 1999-2002. Bayang-bayang ”stigma” kekuasaan presiden membuat amandemen tidak sekadar mengurangi kekuasaan presiden, tetapi juga melebar hingga ke tata cara pemilihan presiden dari tak langsung menjadi langsung.
    Tanpa disadari sebenarnya telah terjadi perubahan mendasar dan esensial dalam sistem ketatanegaraan (awal) yang hendak dibangun para pendiri bangsa. Pertama, perubahan dari pemilihan tidak langsung ke pemilihan langsung telah mengubah format model demokrasi dari sistem perwakilan dengan kesepakatan (musyawarah) ke sistem penunjukan dengan voting.
    Kedua, sebagai konsekuensi dari perubahan itu, rakyat tidak lagi berada pada posisi menyampaikan aspirasi perihal apa yang ingin dilaksanakan oleh orang yang dipilihnya, tetapi lebih pada memutuskan apakah ia setuju atau tidak dengan apa yang ditawarkan oleh si kandidat.
    Hal ini bukan saja sangat berbeda, tetapi bertolak belakang secara diametral dengan model yang semula hendak dibangun. Seharusnya ada yang namanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan keinginan rakyat dan menjadi dasar atau titik tolak untuk menentukan siapa yang akan diangkat sebagai presiden untuk menjalankan GBHN.
    Memang benar, baik Bung Karno maupun kemudian Soeharto kelihatan sedemikian berkuasa ketika keduanya menjabat presiden. Sangat perlu dipahami bahwa sebenarnya hal itu bukan konstruksi UUD 1945, melainkan karena keduanya kita ”beri” kekuasaan yang nyaris mutlak.
    Maka, manakala persepsi mengenai kekuasaan presiden yang sangat besar itu menjadi salah satu alasan melakukan amandemen, hal itu bukan saja merupakan kekenesan berlebihan, tetapi juga layak dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap para pendiri bangsa.
    Sebenarnya kita tak perlu heran jika dengan model demokrasi liberal yang kita anut sekarang, yang terjadi adalah kegaduhan. Soalnya, model demokrasi semacam ini memang tidak kompatibel dengan latar belakang sejarah, kultur, dan realitas sosial bangsa kita.
    Tampaknya hal ini telah disadari para pendiri bangsa sehingga mereka merumuskan suatu model demokrasi yang sangat berbeda, dengan dasar pilar Pancasila yang dijabarkan dalam Preambule dan Batang Tubuh UUD 1945. Meskipun pernah disebut bersifat sementara dan tidak sempurna, sesungguhnya UUD 1945 telah memuat banyak hal fundamental untuk menegakkan bangunan sistem demokrasi yang pas.
    Dengan demikian, mengamandemen UUD 1945 yang asli sebenarnya sangat tidak mudah. Pemikiran untuk mengkaji ulang amandemen UUD 1945 tentu saja pantas disambut gembira, termasuk kemungkinan opsi kembali ke UUD 1945 yang asli.
    Kita patut mengakui, empat kali amandemen itu lebih banyak dilandasi oleh prasangka, bukan bertolak dari kajian mendalam atas hakikat dan esensi UUD 1945 yang asli. Kalau memang kita perlu kembali ke UUD 1945 yang asli, mengapa tidak?