Author: Adul

  • Hukum Nikah Beda Agama

    Hukum Nikah Beda Agama
    Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 6 Februari 2012
    Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.
    Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.
    Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang seagama.
    Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan banyak yang galau. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak diretusi Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan.  Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan kepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopyah, tapi peci lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya kepala.
    Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka, nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitu saja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukan pilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah pada kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
    Agumen Teologis Islam
     
    Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim, sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.
    Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah.  Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dan kewaspadaan.
    Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma’idah ayat 5). Yang lain mengatakan bahwa sekalipun al-Baqarah 221 lebih belakangan turun, ia bisa membatalkan al-Ma’idah 5. Namun, menurut Muhammad Rasyid Ridla, pendapat itu tak memiliki argumen kuat. Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221.
    Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
    Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslim menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslim-laki-laki Ahli Kitab.  Menurut kelompok terakhir ini, tak ada argumen ekplisit dalam al-Qur’an yang melarang pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki Muslim. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab.
    Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-Muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam 70 % lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).
    Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketika Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu al-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusan dan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.
    Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu, Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti Muhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.
    Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akan tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islam seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.
    Bagaimana di Indonesia?
     
    Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya masing-masing.
    Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkan sokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintah melarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan dua ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarang melangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.
    KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan hanya sebuah Inpres. Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkan para laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakim agama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengan kenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yang menjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan menentukan pasangan dalam pernikahan.
  • Fajar Lazuardi di Bahtsul Masail Gula Legi

    Fajar Lazuardi di Bahtsul Masail Gula Legi
    Dahlan Iskan, MENTERI BUMN
    Sumber : JAWA POS, 6Februari 2012
    HAMPIRseribu orang berkumpul di gedung Empire Palace, Surabaya, Minggu pagi kemarin. Semua berkaus sama: kaus putih bergambar tebu, sepeda, dan sedikit hantu. Tidak peduli karyawan biasa, kepala bagian, kepala pabrik, maupun direksinya. Saya pun diminta mengenakan kaus yang sama, entah apa maksud gambar hantu di situ. Tujuan pertemuan itu memang hanya satu: memajukan pabrik-pabrik gula milik BUMN.

    Di antara 179 pabrik gula milik negara yang pernah ada, kini tinggal 51 yang masih tersisa. Itu pun separonya dalam keadaan sulit dan sangat sulit. Zaman memang sudah berubah. Kejayaan industri gula sudah lama berlalu. Kalau dulu harga gula 2,5 kali harga beras, kini harga dua komoditas itu sudah praktis sama. Maka, minat menanam tebu pun tentu tidak sebesar dulu lagi. Kini begitu banyak tanaman lain yang lebih menjanjikan. Apalagi, untuk menanam tebu, diperlukan waktu tiga kali lipat lebih lama daripada tanaman padi.

    Saat produksi gula mengalami kesulitan seperti itu, orang masih terus membeli gula. Kian tahun, konsumsi gula kian tinggi -termasuk oleh mereka yang terkena sakit gula sekali pun. Akibatnya, impor gula harus digalakkan. Pabrik gula dalam negeri kian bertambah-tambah sulitnya. 

    Tapi, benarkah pabrik gula harus sulit? Mengapa masih ada pabrik gula yang baik? Mengapa masih ada pabrik gula yang maju? Mengapa minat swasta membangun pabrik gula tetap tinggi? Mengapa di beberapa negara, produksi gulanya terus meningkat, bahkan mampu ekspor?

    Dalam forum seribu orang itu, semua pertanyaan harus terjawab. Agar pertemuan tidak seperti sekadar seminar atau rapat kerja, semua pembicara harus ngomong to the point, tidak ada basa-basi, tidak boleh bicara lebih dua menit, dan harus fokus per topik. Tidak ada upacara pembukaan atau penutupan. Juga tidak ada pemimpin rapat. Yang ada hanya moderator yang diserahkan kepada saya. Yang hadir pun sangat bervariasi sehingga tidak mungkin ada persoalan yang tidak tahu jawabnya.

    Di samping direksi, hadir di forum itu semua kepala pabrik, semua kepala bagian, dan peserta khusus. Peserta khusus adalah generasi muda berprestasi di sebuah pabrik gula tanpa memandang sudah punya jabatan atau belum. Tiap-tiap pabrik gula mengirimkan sepuluh orang generasi muda berprestasi. Saya jadi teringat pidato Bung Karno: Berikan kepada saya sepuluh orang pemuda, akan saya ubah dunia! Saya berharap sepuluh generasi muda di situ pun bisa menjadi champions untuk perubahan di pabrik gula masing-masing.

    Tempat duduk di forum yang secara informal dinamakan “bahtsul masail kubro” itu juga diatur secara khusus. Peserta dari pabrik-pabrik yang sudah maju disandingkan dengan peserta dari pabrik-pabrik yang lagi sulit. Peserta dari pabrik-pabrik yang maju sering diminta tampil untuk menceritakan kiat-kiat mereka di topik-topik tertentu.

    Maka, 17 topik yang selama ini menjadi penyebab sulitnya pabrik gula itu bisa dibicarakan secara tuntas. Topik-topik tersebut, misalnya, mengapa petani tidak berminat menanam tebu di suatu wilayah pabrik, mengapa ada pabrik yang lebih dekat tetapi petani mengirim tebunya ke pabrik yang lebih jauh, mengapa ketidakefisienan pabrik ikut dibebankan kepada petani, mengapa tebu dari jauh diberi insentif ongkos angkut sementara tidak ada insentif kepada petani yang dekat dengan pabrik, apa yang harus dilakukan untuk merebut kepercayaan petani kepada pabrik gula setempat, seberapa besar pengaruh kekompakan para kepala bagian di dalam suatu pabrik terhadap keberhasilan pabrik gula, bagaimana agar pembakaran ketel tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak, mungkinkah dilakukan sistem beli putus -petani kirim tebu dan langsung dibayar saat itu-, bagaimana mengatasi semakin sulitnya mencari tenaga untuk menebang tebu, dan seterusnya.

    Topik yang paling panjang tentu yang satu ini: Bagaimana merebut kepercayaan petani. Agar mereka mau menanam tebu. Agar mereka mengirim tebu ke pabrik terdekat. Agar pabrik tidak kekurangan tebu. Agar petani merasakan keadilan dan kesejahteraan.

    Mencari jawabnya tidak sulit. Sudah ada contoh yang sangat berhasil. Pabrik gula Pesantren Baru di Kediri atau pabrik gula Ngadirejo di Malang sudah menerapkannya dengan sukses. Demikian juga delapan pabrik gula lain, termasuk yang berada di Lampung dan Palembang. Sejak empat tahun lalu, kelompok 10 itu tidak pernah lagi mengalami kesulitan bahan baku. Bahkan, sampai berlebihan. Kuncinya satu: keterbukaan manajemen kepada petani tebu.

    Di pabrik-pabrik tersebut tiap hari (di masa giling) diumumkan pada papan pengumuman petani siapa memperoleh rendemen (kandungan gula) berapa persen. Mereka yang setor tebu ke pabrik biasanya mampir ke papan pengumuman itu. Sejak sistem tersebut diterapkan, tidak ada lagi kecurigaan dari petani. Padahal, dulu pabrik selalu dicurigai mempermainkan rendemen petani. Sampai-sampai petani meminta dibentuk tim independen untuk mengikuti keterbukaan model Pesantren Baru atau Ngadirejo. Tim seperti itu tidak diperlukan lagi.

    Yang juga mendapat banyak tepuk tangan adalah ketika sepasang kepala bagian diminta naik ke panggung. Dia adalah Surya Wirawan, kepala bagian teknik, dan Fajar Lazuardi, kepala bagian pengolahan. Keduanya dijadikan contoh betapa bila dua orang kepala bagian di suatu pabrik kompak, hasilnya luar biasa. Ketika keduanya bekerja di posisi tersebut, pabrik gula Prajekan, Situbondo, mengalami kemajuan 100 persen dalam produksinya. Oleh direksi PTPN XI, keduanya kini diminta tetap berpasangan untuk membenahi pabrik gula Semboro di Jember. Mereka pun optimistis bisa kembali menghidupkan pabrik gula Semboro yang semula sulit itu.

    “Kami ini bukan lagi seperti rekan sejawat, tapi sudah seperti bersaudara,” ujar Surya Wirawan yang jadi kepala bagian teknik. “Saya selalu panggil dia kid dan dia panggil saya sam,” tambah dia. Bagi orang Malang, tidak ada panggilan yang bisa menunjukkan kekentalan persahabatan melebihi panggilan kid dan sam itu. Orang Ngalam, eh orang Malang, memang biasa mengucapkan suatu kata dari huruf paling belakang.

    Biaya memproduksi uap memang sangat besar di suatu pabrik gula. Bagian teknik yang memproduksi uap melalui ketelnya (boiler) harus erat berhubungan dengan bagian pengolahan yang menggunakan uap tersebut. Kalau produksi uap kurang cukup, sudah seharusnya bagian pengolahan menjerit. Sebaliknya, kalau bagian pengolahan terlalu boros menggunakan uap dalam pembuatan gulanya, sudah sewajarnya bagian teknik menjerit.

    Dalam hal tim yang tidak kompak, bisa saja terlalu banyak bahan bakar yang terbuang karena penggunaan uap yang berlebihan. Sebaliknya, kalau produksi uap tidak lancar, bisa jadi banyak gula yang kualitasnya jelek.

    Dengan berbagai langkah yang sudah dilakukan para pengelola pabrik gula selama tahun-tahun terakhir, setidaknya sudah banyak best practice yang terjadi. Banyak sekali cerita keberhasilan dan kiat kesuksesan yang bisa diceritakan di forum kemarin. Kini tinggal bagaimana manajemen bisa menularkan semua itu kepada pabrik yang masih sulit.

    Di akhir pertemuan, 22 pimpinan pabrik gula yang masih sulit dan sangat sulit naik ke panggung. Urutan jejernya pun sudah seperti otomatis: yang paling sulit di ujung kanan dan kian ke kiri kian kurang sulitnya. Mereka sudah mendengar sendiri kiat-kiat sukses pabrik lain. Di antara 22 pabrik yang sulit dan amat sulit itu, ternyata masih memberikan hopeyang besar: 12 pabrik di antaranya siap keluar dari “neraka” akhir tahun ini.

    Banyak sekali rencana yang akan mereka lakukan setelah pertemuan itu. Bahkan, di antara mereka ada yang sangat detail. Misalnya, ada yang akan menjaga agar mesin pengolahannya selalu dibersihkan dengan sangat-sangat bersih. Itu tidak hanya dilakukan demi kerapian atau kesehatan, ternyata juga sangat erat dengan peningkatan produksi. Dia menceritakan secara detail reaksi-reaksi kimiawi dari semua instalasi pengolahan yang kurang dibersihkan secara benar-benar bersih dengan produktivitas gula.

    Dengan sangat menyindir, dia berucap, “Kalau Bapak mengatakan ruang tunggu bandara harus lebih nyaman daripada ruang kerja direksi bandara, saya akan bikin doktrin instalasi pengolahan di pabrik gula saya harus dibersihkan lebih bersih daripada piring yang saya pakai makan!”

    Alhamdulillah. Dengan demikian, bila Tuhan mengizinkan, akhir tahun ini tinggal sepuluh lagi pabrik gula yang masih sulit. Berarti, masih 20 persen lagi. Tentu tidak mudah memecahkannya. Meski tinggal sepuluh pabrik gula, tapi pastilah itu yang paling sulit di antara yang tersulit-sulit.

    Untuk membaca seberapa sulitkah kesulitan yang sulit itu, pimpinan sepuluh pabrik gula tersebut diminta menyebutkan tiga penyebab utama kesulitan itu. Yang satu, yang di Klaten itu, menyebutkan bahwa kesulitan utamanya hanya satu: Pabrik tersebut menggunakan banyak sekali boileryang semuanya berukuran kecil-kecil. Kalau apa yang dia kemukakan itu benar, tentu tidak sulit memecahkannya: ganti boiler. Satu saja, tapi yang besar. Satu saja, tapi bahan bakarnya jangan minyak. Satu saja, tapi bayarnya nyicil.

    Satu pabrik lagi di Probolinggo beralasan bahwa pabriknya sudah terlalu tua. Sudah 166 tahun. Kalau itu benar, masih tetap bisa diatasi. Sebab, pabrik gula pada prinsipnya adalah mekanik. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan mudah untuk peralatan yang sifatnya mekanik.

    Satu pabrik lagi di Jateng, penyebabnya agak unik: kalah bersaing dengan pabrik gula Jawa yang jumlahnya sampai 300 buah di sekitar pabriknya. Tidak ada petani yang mengirim tebu ke pabrik karena tebu diolah sendiri-sendiri. Tentu alasan seperti itu terlalu klasik untuk sebuah bisnis. Bukan alasan yang kuat. Karena itu, sampai ada peserta yang memberikan jalan keluar secara bergurau: Bagaimana kalau pabrik gula ini sekalian saja memproduksi gula Jawa?

    Intinya, semuanya berkaitan dengan kurangnya pasokan tebu sebagai bahan baku utama. Intinya lagi, petani kurang tertarik menanam tebu atau mengirim tebu ke pabrik. Lebih inti lagi, petani kehilangan kepercayaan kepada pabrik gula BUMN. Maka, khusus sepuluh pabrik gula itu akan bertemu lagi sebulan mendatang. Tentu dengan usul dan jalan keluar yang sudah lebih nyata. Kalaupun tahun ini belum bisa teratasi, setidaknya tahun depan harus beres. Atau, hi hi hi, menjadi seperti hiasan di kaus yang kemarin mereka kenakan itu!

  • Politics Is Never Fair

    Politics Is Never Fair
    Saifur Rohman, DOKTOR DAN PENGAJAR FILSAFAT, MENETAP DI SEMARANG
    Sumber : JAWA POS, 6Februari 2012
    AKHIRNYAAngelina Sondakh dari Partai Demokrat ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK Jumat lalu (3/2). Menanggapi penetapan itu, Angie, sapaan akrab Angelina Sondakh, menyalahkan keadaan melalui pernyataan dalam salah satu akun jejaring sosialnya, “Politics (is) never fair play.” Dia seakan-akan baru tahu bahwa aturan main dalam dunia politik sangat berbeda dengan kontes ratu kecantikan.

    Secara psikologis, penetapan itu seperti memenuhi harapan publik selama ini. Penetapan tersebut hampir setengah tahun setelah Nazaruddin tertangkap di Kota Cartagena, Kolombia, Minggu (7/8/11). Publik masih ingat, dia menggunakan paspor atas nama Syarifudin.

    Nazaruddin menggunakan modus para koruptor pada masa lalu. Modusnya berdasar pengetahuan tentang trik kejahatan di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat sekitar 45 koruptor yang lari ke luar negeri. Hampir separo di antara mereka menuju Singapura. Tujuan yang lain adalah Hongkong, Taiwan, dan Amerika. Kasus terbanyak adalah kasus BLBI. Artinya, rata-rata empat koruptor kakap memilih menjadi buron dan “menghilang” di luar negeri.

    Ketika seorang diketahui menggarong uang negara, kemudian publik menuntut dia cepat diringkus, pelaku siap-siap melihat masa berlaku paspor dan jadwal penerbangan ke luar negeri. Mereka tidak bisa disebut kabur. Sebab, jangan salah, penerbangan itu sangat boleh jadi bukan tanpa sepengetahuan aparat karena pelaku sudah “mengoordinasikannya” terhadap pihak-pihak terkait. Contoh, rencana penerbangan Jumat, pencekalan dilakukan Sabtu.

    Permodelan kejahatan itu bukanlah modus operandi biasa yang dilakukan para penjahat kampung yang miskin, nekat, dan bodoh. Bagaimana semangat aparat menjaga “keberlangsungan” mekanisme itu? Mengapa semua itu tiba-tiba seperti nirfungsi, bahkan malfungsi. Siapa sesungguhnya yang sedang kita kejar?

    Norma Adalah Ketololan

    Kita sebetulnya sedang menghadapi orang yang mengalami tekanan psikologis. Dalam psikologi, seseorang dikatakan sakit mental jika perilakunya menyimpang (outlier) dari norma-norma yang berlaku umum. Penyakit paling ringan adalah paranoia (kecurigaan tanpa dasar) dan paling berat adalah psikosis (hasrat untuk menghancurkan). Penyakit paranoid ditandai dengan halusinasi yang mengganggu pikiran, sedangkan dalam kasus psikosis pikirannya sudah dianggap sebagai fakta primer sehingga realitas objektif hilang.

    Bila diterapkan pada kasus yang kita hadapi, tampak jelas pelarian koruptor dilatarbelakangi gangguan psikosis. Di pikirannya tergambar orang-orang barbar. Fakta subjektif yang muncul, orang lain telah dilihatnya membabi buta mencari kekayaan. Orang di sekitarnya telah menekan individu sehingga dirinya merasa tersudut, miskin sendirian, dan akhirnya terlukai. Kekayaan yang dikumpulkannya sebetulnya dimaksudkan untuk melukai orang lain.

    Karena itu, kognisi koruptor tidak berfungsi optimal. Dia akan mencari cara apa pun untuk menggangsir kekayaan sebanyak-banyaknya. Prinsip dasarnya: The end justified the mean. Tujuan menghalalkan cara. Koruptor tidak bisa membedakan antara berbagai alternatif proses normatif dan proses menyimpang demi mencapai kekayaan, kemuliaan, dan kesenangan. Norma dianggap sebagai ketololan yang tak perlu diikuti.

    Emosi mereka kehilangan kontrol. Perasaannya meluap demi gemerlap kemewahan yang bisa dicapai melalui kewenangan. Kemewahan yang ditunjukkan adalah cara membalas sakit hatinya selama ini.

    Rasio tanpa Moral

    Dalam perspektif filsafat, rasio tanpa moralitas adalah eksploitasi. Rasionalitas kemudian cenderung pragmatis, oportunistis, membuat segalanya jadi objek. Pikiran jadi tidak normal. Tidaklah aneh bila perilaku korupsi akan mengalami pencanggihan seiring dengan penciptaan perangkap-perangkap baru.

    Buktinya, belasan warga negara Indonesia yang kabur ke luar negeri merupakan hasil salah satu siasat atas perangkap yang ada. Siasat para pendahulu seakan-akan menjadi “yurisprudensi” bagi koruptor di segala bidang. Contohnya, Nazaruddin adalah politikus yang terkait dengan dugaan korupsi dana olahraga. Dia menghilang ke Singapura sampai tertangkap di Kolombia. Ketika publik membicarakan penangkapannya, semula dia menyatakan bahwa dirinya sakit. Tetapi kemudian, diketahui dia takut pulang. Belakangan dia berkoar bahwa tindakan itu melibatkan rekan-rekannya. Modus serupa dilakukan Nunun Nurbaeti dan Anggoro Widjojo.

    Para gerombolan tersangka BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) adalah kelompok penjahat terbesar yang tiba-tiba menghilang. Contohnya, Bambang Soetrisno dan Andrian Kiki Ariawan, kalangan profesional, kini tidak terlacak setelah pergi ke Singapura.

    Bukti-bukti tersebut cukuplah untuk menyatakan bahwa masalah pidana yang dihadapi seakan-akan sudah selesai. Tetapi, sebaliknya, masalah yang sesungguhnya dialami para koruptor justru semakin tampak. Jiwa mereka tidak mampu membedakan antara realitas primer dan realitas khayalan. Tanggung jawab lenyap, berganti dengan kepengecutan.

    Selain penjara, jiwa seperti itu membutuhkan terapis untuk membongkar isi kognisi serta mengarahkan pada perilaku yang tertib dan benar. Untuk mengatasi kebuntuan cara menghadapi para koruptor yang terus melawan, dapat dipilih jalur terapi psikologis. Dengan terapi-terapi seperti model CBT (cognitive behavior therapy), terapi makna dan emosi, dapat diharapkan para tersangka mau jujur dan menerima kenyataan. Mestinya, pemerintah mengantisipasi model-model terdahulu diterapkan para tersangka masa kini.

    Pernyataan Angie bahwa politik tak pernah adil memberikan indkasi pengetahuan awal tentang adanya praktik tidak fair dalam setiap lini politik. Artinya, dia tahu, dari ratu kecantikan menjadi ratu Senayan jelas bukan aturan yang adil.  

  • Islamisasi Ruang Publik

    Islamisasi Ruang Publik
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 6 Februari 2012
    Saat ini, memakai jilbab bukan lagi sekedar tanda kesalehan agama, tetapi juga sebuah mode. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat “fashionable”. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari.
    Ada suatu zaman di masa lampau ketika umat Islam berkeluh-kesah karena ada sikap publik yang kurang bersahabat dengan simbol-simbol keislaman. Pada dekade 60an dan 70an, pandangan publik Muslim terhadap sejumlah simbol Islam, misalnya jilbab atau melaksanakan ibadah salat di perkantoran, kurang begitu positif. Jilbab pada dekade-dekade itu bahkan dipandang sebagai simbol tradisionalisme dan kemunduran umat Islam.
    Pada dekade itu, kota-kota besar di sejumlah negeri Muslim cenderung berwatak “sekular”. Jilbab belum merupakan mode di kalangan umat. Jilbab hanya dikenakan oleh kalangan Islam tradisional yang tinggal di perkampungan. Sementara di kalangan terpelajar Muslim di perkotaan, jilbab kurang begitu lazim dikenakan. Di kalangan yang terakhir ini, “mood” atau perasaan kolektif yang menonjol adalah aspirasi atau kehendak untuk menjadi modern. Dan simbol kemoderenan ditandai, antara lain, dengan cara berpakaian ala Barat. Mereka inilah yang sering disebut sebagai kalangan Muslim modernizers.
    Keadaan berubah total setelah kemenangan Revolusi Iran pada 1979. Sejak itu, gairah beragama di kalangan anak-anak muda Muslim di seluruh dunia Islam meruap. Gairah ini ditandai oleh antusiasme yang tinggi di kalangan anak-anak muda itu untuk belajar agama Islam kembali, serta menonjolkan dengan seluruh rasa bangga simbol-simbol keislaman yang kasat mata. Inilah era yang disebut sebagai revivalisme atau kebangkitan kesadaran Islam (dalam bahasa Arab disebut al-shahwa al-Islamiyya).
    Sejak saat itulah, perkara jilbab bukan sekedar isu pakaian biasa. Sebaliknya, jilbab menjadi semacam “statemen politik” tentang bangkitnya era baru, yaitu era di mana umat Islam menemukan kebanggaan kembali dalam Islam. Mereka tak minder lagi di hadapan hegemoni Barat yang sekuler. Jilbab, di tangan aktivis Muslim baru ini, menjadi simbol perlawanan terhadap peradaban Barat yang materialistik dan sekular. Leila Ahmed, seorang profesor kelahiran Mesir yang sekarang mengajar di Universitas Harvard, melukiskan perubahan ini dalam bukunya yang terbit tahun lalu (2011), A Quite Revolution.
    Sekarang ini, ruang publik di kota-kota besar di seluruh dunia Islam mengalami perubahan yang mencolok: jika dulunya simbol-simbol keagamaan (baca: keislaman) kurang atau sama sekali absen, sekarang simbol-simbol itu berhamburan di ruang publik. Bahkan perubahan semacam ini bukan saja terjadi di kota-kota di negeri Muslim. Di Barat pun, hal serupa kita jumpai. Pemandangan seorang perempuan muda berjilbab di kampus-kampus terkemuka di Amerika Serikat, sudah sering saya lihat. Bukan itu saja. Sejumlah pegawai perempuan berjilbab di supermarket seperti Target atau CVS –keduanya adalah salah satu jaringan waralaba yang besar di AS—kerap saya lihat, terutama di kota Boston di mana saya pernah tinggal lama.
    Di Jakarta, pemandangan serupa juga kita lihat. Saat ini, memakai jilbab bukan lagi sekedar tanda kesalehan agama, tetapi juga sebuah mode. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat “fashionable”. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari.
    Saat ini, yang terjadi justru sebaliknya. Jika pada dekade 60an dan 70an, perempuan Muslimah yang terpelajar malu berjilbab karena khawatir dianggap “tradisional” dan “kampungan”, saat ini justru berjilbab menjadi kebanggaan. Bahkan, di kalangan tertentu, ada semacam “tekanan sosial” untuk memakai pakaian Muslimah itu. Dalam situasi tertentu, kalangan perempuan yang tak berjilbab justru berada pada posisi yang “defensif” secara sosial – keadaan yang secara drastis berkebalikan dengan situasi di dekade-dekade sebelumnya.
    Perubahan sosial semacam ini tentu saja menarik sekali. Yang menarik bukan saja adanya perubahan sikap pada kalangan Muslim sendiri – mereka tak lagi minder memakai jilbab. Perubahan juga terjadi pada masyarakat di luar Islam. Mereka tak lagi melihat jilbab atau simbol-simbol keislaman lain dengan mata curiga. Mereka, sebaliknya, melihatnya sebagai hal biasa, dan bahkan memberikan apresiasi terhadapnya. Dulu simbol-simbol semacam itu, begitu “nongol” di ruang publik, langsung memantik rasa curiga. Sekarang, simbol itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang biasa.
    Saya memandang perubahan semacam ini sebagai hal yang positif. Ada toleransi dan penghargaan dari dua belah pihak. Islamisasi ruang publik diterima sebagai fenomena sosial yang wajar.
    Akan tetapi, kita tak boleh menerima perubahan sosial ini dengan sikap yang sepenuhnya lugu atau naif. Tentu saja ada sejumlah ekses yang muncul dari gejala kian populernya jilbab ini. Seraya memberinya apresiasi sebagai bagian dari cara umat Islam untuk mengekspresikan dirinya di ruang publik modern yang cenderung sekular, jilbab juga bisa menandai suatu sikap keagamaan tertentu. Bukan suatu kebetulan jika maraknya simbol-simbol keagamaan di Indonesia seperti jilbab itu berbarengan dengan maraknya intoleransi agama di sejumlah kalangan. Meskipun hubungan kausal antara keduanya belum tentu bisa dibuktikan melalui data yang akurat, tetapi ada kecenderungan bahwa kebangkitan simbol keagamaan juga disertai dengan kebangkitan sikap-sikap yang cenderung konservatif.
    Kritik terhadap sikap-sikap konservatif perlu dikemukakan terus, sebab dampaknya dalam kehidupan sosial memang kurang begitu positif. Salah satu wujud sikap konservatisme itu ialah, misalnya, sikap mencurigai kelompok agama yang berbeda, atau kecenderungan eksklusif atau bahkan memusuhi kelompok agama lain. Sikap-sikap semacam ini jelas berbahaya bagi kehidupan sosial yang dialogis dan sehat.
    Saya mendukung antusiasme umat Islam untuk menampilkan kembali simbol-simbol keagamaan. Tak ada yang salah sama sekali dalam hal yang demikian itu. Bahkan simbol-simbol keislaman itu bisa memperkaya ruang publik. Tetapi kita harus mengkritik sikap-sikap keagamaan yang tertutup dan bahkan cenderung memusuhi atau mencurigai kelompok-kelompok lain yang berbeda. Menurut saya, seseorang bisa menjadi Muslim yang saleh, taat beragama, dan dengan penuh antusiasme menampilkan simbol-simbol keagamaan di ruang publik, tetapi juga sekaligus menjadi seseorang yang berwawasan terbuka, bersedia melakukan dialog dengan kelompok-kelompok dari agama dan keyakinan yang berbeda.
    Kesalehan simbolik dan sikap pluralis dan terbuka tak harus berlawanan.
  • Stop Kabupatenisasi, Fokus ke Desa

    Stop Kabupatenisasi, Fokus ke Desa
    M. Mas’ud Said, GURU BESAR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG; ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN DAERAH
    Sumber : JAWA POS, 6Februari 2012
    DATA Kementerian Dalam Negeri, sampai pada akhir 2011, menyebutkan bahwa di negeri ini ada 69.432 desa di 6.243 kecamatan. Desa-desa kita tersebar di enam pulau besar sampai kepulauan terluar seperti di Pulau Miangas di dekat Filipina. Di luar itu, banyak desa terpencil di Pulau Rote dan ribuan desa di dataran tinggi Pegunungan Papua atau desa-desa miskin di Kepulauan Natuna.

    Sejak dulu basis perhitungan kebijakan pembangunan nasional lebih banyak ditekankan pada unit pemerintahan di tingkat kota dan kabupaten. Secara sektoral, pembangunan kita sering menyebut “bidang apa”, tapi jarang menyebut “di mana letaknya”.

    Akibat pembangunan sektoral dan melupakan spasial, lahirlah ketimpangan Jawa v luar Jawa, Indonesia Timur v Indonesia Barat, kesenjangan wilayah kepulauan v daratan, ketimpangan desa dengan perkotaan. Banyak jalan desa yang masih becek dan buruk, sedangkan di kota jalan-jalan sudah lebih baik.

    Sudah terlalu lama desa tidak menjadi fokus pembangunan. Walaupun desa-desa itu sudah ada dan hidup sebelum negeri ini merdeka, undang-undang mengenai desa baru disahkan pada 2012! Selain itu, ada anggapan bahwa kalau desa terlalu dimanja, kepala desa akan terlalu banyak menikmati kemajuan, terutama kalau desa diberi otoritas berlebih, termasuk pemindahan korupsi ke desa.

    Pada akhir 2011, kelompok kepala desa dari berbagai kabupaten dan kota yang tergabung dalam Parade Desa Nusantara berkampanye dan road show kepada DPR dan presiden. Mereka ingin agar pada UU Desa dicantumkan pasal yang mewajibkan porsi dana APBN bagi pembangunan desa. Walaupun tuntutan mereka belum dapat dipenuhi, masukan mereka semestinya menjadi pertimbangan konkret pada proses akhir drafting UU Desa 2012.

    Selama ini pendanaan diberikan kepada gubernur, wali kota, dan bupati. Terkandung asumsi bahwa dengan titik berat otonomi daerah di tingkat kota dan kabupaten, dengan sendirinya desa “dipikirkan” oleh kepala daerah setempat. Seperti ada keyakinan bahwa gubernur, bupati, wali kota, DPRD otomatis memberikan pendanaan yang cukup dan perhatian yang layak kepada rakyat di desa. Ternyata asumsi itu meleset.

    Titik berat otonomi daerah kita memang berfokus pada kota dan kabupaten. Demikian juga dalam sistem penganggaran APBN. UU pemerintahan daerah terlalu kota dan kabupaten sentris. UU otonomi daerah miskin perhatian terhadap desa dan perdesaan. UU otonomi daerah kita terlalu hierarkis, lambang sentralistisme yang tidak fair.

    Bagaimana solusinya? Dalam kaitan tersebut, perpres atau PP mestinya diarahkan pada akselerasi dan pembangunan desa. Dengan titik berat desa, slogan pembangunan “dari semua, oleh semua dan untuk semua” lebih mudah dicapai. Desa bisa dipandang sangat menentukan gagal dan berhasilnya pembangunan bangsa.

    Biro pemerintahan desa di Kemendagri sebaiknya terus membuat terobosan dengan mengusulkan kepada Mendagri untuk revisi peraturan pemerintah dan memperbarui kerangka regulasi pembangunan desa. Bersamaan dengan hal itu diusulkan kepada presiden untuk mendorong kementerian dan lembaga yang terkait pembangunan desa. Dengan mengacu kepada kepala desa dan perangkatnya, diharapkan bisa lebih lancar dalam pemberdayaan masyarakat.

    Dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir, tensi politik di desa dan akselerasi pembangunan di desa sangat dinamis (highly accelerated). Itu juga diikuti banyaknya protes masyarakat desa yang tanahnya diserobot pengusaha dan, bahkan, oleh unsur negara, seperti kementerian industri, perdagangan, industri kehutanan dan eksplorasi di bidang kelautan dan perikanan. Saat beberapa urusan pusat diserahkan ke daerah, suara desa dan aspirasi tokoh-tokoh di desa seakan menemukan momentumnya untuk didengar.

    Tidak terbayangkan, betapa bergairahnya pembangunan desa bila desa nanti dipakai sebagai lokus dan fokus pembangunan. Betapa besar pekerjaan yang harus dilakukan. Betapa banyak energi positif yang harus dicurahkan. Dapat digambarkan betapa dinamisnya pembangunan desa.

    Pada saat yang sama, pengawasan pembangunan desa harus juga dilaksanakan secara tepat dan cermat, sehingga ada jaminan perlindungan kepentingan masyarakat di desa dan institusi adat di perdesaan. Dalam pada itu, tentu standardisasi capaian harus dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah, sehingga esensi otonomi daerah yang kuat dan terarah bisa tercapai dengan basis desa.

    Dengan berpikir sederhana ala orang desa, tulisan ini bisa merupakan otokritik bahwa strategi pembangunan kita sedang salah arah. Dengan kepemilikan data sosial dan ekonomi Indonesia, dapat dikatakan bahwa selama ini perencanaan pembangunan dan basis penganggaran terlalu sentralistis dan sektoral. Karena itu, strategi pembangunan mestinya dibalik. Perlu ada gerakan stop “kabupatenisasi” dan “kotanisasi” atau setidaknya desa dipakai sebagai basis analisis perencanaan dan evaluasi dan ancangan besaran pembiayaan pembangunan. Desa dan pedesaan sesungguhnya ialah jantung negara.

  • Melawan Akal Sehat

    Melawan Akal Sehat
    Karyudi Sutajah Putra, TENAGA AHLI ANGGOTA DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 6Februari 2012
    DIHUKUMNYA Rasminah (59) oleh MA gara-gara dituduh mencuri 6 piring milik majikannya, Siti Aisyah Soekarnoputri, adalah melawan akal sehat. Bagaimana bisa enam piring sanggup mengantarkan nenek 48 cucu dari 10 anak itu ke penjara? Wanita itu hanyalah segelintir dari sekian banyak wong cilik yang harus takluk di muka hukum, setelah sebelumnya ada pencuri kakao, pencuri semangka, pencuri sandal, dan pencuri pisang, yang juga tak berdaya.

    Sesuai prinsip equality before the law, tiap orang memang berkedudukan sama di muka hukum. Tapi adilkah Rasminah dihukum 130 hari penjara hanya gara-gara mencuri enam piring, padahal belum tentu tuduhan itu benar? Simak saja dissenting opinion hakim agung Artidjo Alkostar. Apalagi, Pengadilan Negeri Tangerang telah membebaskannya.

    Mengapa jaksa kasasi? Sesuai Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, jaksa dilarang mengajukan kasasi atas putusan bebas. Namun berdasarkan yurisprudensi MA Nomor K/275/Pid/1983 dan SK Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, jaksa boleh mengajukan kasasi. Yurisprudensi MA dan SK Menkeh itulah yang dijadikan landasan jaksa mengajukan kasasi atas bebasnya Rasminah.

    Logika macam apa yang digunakan jaksa sehingga kasasi? Bukankah berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, kedudukan KUHAP lebih tinggi daripada SK menteri atau MA? Apalagi saat raker dengan Komisi III DPR, 18 Juli 2011, Jakgung  Basrief Arief berjanji akan selektif dalam mengajukan kasasi terhadap vonis bebas. Untuk kasus-kasus menyangkut kepentingan publik, kejaksaan akan mempertimbangkan ulang untuk kasasi. Sebaliknya, untuk kasus korupsi atau narkotika, kejaksaan tidak segan mengajukan kasasi.

    Hukum Progresif

    Bila dalihnya mewakili kepentingan umum, dalam kasus Rasminah yang remeh-temeh itu, jaksa mewakili kepentingan umum siapa? Akal sehat kita mengatakan, patut diduga jaksa memiliki motif lain di luar motif hukum, bisa jadi motif ekonomi.

    Belum ditetapkannya Andi Nurpati sebagai tersangka pemalsuan surat MK juga melawan akal sehat. Semua saksi yang diperiksa, baik oleh pengadilan maupun Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR, mengarah pada keterlibatan mantan komisioner KPU itu. Tapi mengapa Polri belum juga menetapkan Nurpati sebagai tersangka? Akal sehat kita mengatakan, polisi patut diduga punya motif lain di luar motif hukum, bisa saja motif politik, mengingat saat ini Nurpati menjadi pengurus partai berkuasa.

    Belum ditetapkannya tersangka skandal Bank Century oleh KPK juga melawan akal sehat. Apalagi, rapat paripurna DPR, 3 Maret 2011, memutuskan bail out Century senilai Rp 6,7 triliun melanggar hukum. Mengapa setelah hampir setahun KPK berkutat mengusut kasus Century tak kunjung menetapkan seorang pun tersangka? Akal sehat kita mengatakan, KPK patut diduga memiliki motif lain di luar motif hukum, bisa jadi tidak berani berhadapan dengan kekuasaan.

    Satjipto Rahardjo berpendapat, umumnya cara berhukum di negeri ini didominasi berhukum dengan peraturan bukan dengan akal sehat. Berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yakni menjalankan hukum dengan menerapkan yang tertulis dalam teks secara harfiah atau zakelijk, sebatas mengeja undang-undang. Roh atau nurani hukum tidak ikut dibawa serta. Untuk memunculkan nurani hukum, diperlukan cara berhukum progresif, yakni dengan akal sehat. Hukum harus menjadi institut akal sehat dan bukan sekadar institut penerapan teks.

    Agar lebih mampu mendatangkan keadilan, menurut Satjipto, berhukum melalui teks yang abstrak itu dibuat menjadi lebih reasonable melalui berbagai cara. Hukum sebagai teks, yang notabene buta, berisiko menimbulkan ketidakadilan jika tidak memerhatikan kreativitas akal sehat dalam penerapannya.

    Hukum yang dijalankan tanpa akal sehat dapat menjadi karikatur ketidakadilan. Contohnya dalam kasus Rasminah.

  • Untuk Siapa Menteri Bekerja?

    Untuk Siapa Menteri Bekerja?
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 6Februari 2012
    Tempo hari,di zaman Orde Baru, ketika dengan kebanggaan kosong ada jenderal yang mengatakan bahwa ABRI berwarna kuning, kontan perdebatan terjadi di media, karena rasa tersinggung yang tak mungkin disembunyikan dengan diam-diam.

    Tak dapat disangkal, sangat mungkin ada anggota ABRI sendiri yang merasa malu mendengar pernyataan itu. Orang dengan sendirinya berkata, ABRI ya ABRI. Identitas ke-ABRI-an itu sudah lebih dari cukup.Apalagi anggota ABRI yang pangkatnya jenderal. Di republik yang ABRI-nya sangat berkuasa, dan orang bisa mengatakan negeri ini terasa sangat militeristik, apa kurang hebatnya seorang jenderal? Tapi,cara pandang politik yang kedungu-dunguan selalu ada.Maka,entah bagaimana prosesnya waktu itu, orang bicara tentang komitmen dan loyalitas para anggota DPR.

    Tak mengherankan, karena ABRI yang merasa dirinya kuning itu seorang jenderal yang sekaligus anggota DPR.Sebagai anggota DPR,dia mewakili sebuah kepentingan politik. “Kepada siapa loyalitas dan komitmen  diberikan?” begitu kira-kira pertanyaannya. Jawabnya, yang bisa disebut “kedungu-dunguan” tadi mengatakan,“kepada DPR dan kepada partai”. Andaikata jawaban itu diberikan di suatu forum diskusi, yang banyak audiensnya atau di suatu studio televisi yang ditonton bocah-bocah berjaket dari berbagai perguruan tinggi, niscaya jawabnya: “huuuuuuu”.

    Sebuah “huuuuu” panjang, yang mengejek,dan meremehkan, bahwa orang dengan identitas seperti itu ternyata begitu naif kesadaran maupun pemikiran politiknya. Jangan heran bila sikap mereka— juga DPR hari ini—begitu elitis, dan tak peduli akan nasib rakyat,bukan hanya yang memilihnya, melainkan yang diwakilinya. Rakyat tak pernah mampir ke dalam kesadaran mereka. Sampai hari ini mereka bekerja untuk partai, dan untuk DPR karena setahu mereka,dua organisasi itu yang membuat mereka hidup dalam kelimpahan materi. Orientasi sangat berjangka pendek, dan kepada golongannya sendiri,begitu kuat.Mereka lupa, sekali lagi, pada rakyat.

    Mereka tahu apa arti “consituence”, tapi itu hanya pengetahuan, yang hidup dalam dunia ideal mereka,dan bukan sesuatu yang melekat di dalam jiwa dan menjadi “suluh” dalam segenap langkah perjuangan mereka. Ini kalau mereka berjuang. Di masa itu, cendekiawan terkemuka kita, Dr Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sangat gencar bicara bahwa orientasi kita, apa pun kedudukan kita, dan di wilayah mana pun kita berdomisili, bukan kelompok, bukan golongan,bukan partai, bukan DPR/MPR, melainkan nilai. Hidup dipandu oleh orientasi nilai, yaitu nilai keindonesiaan.

    Kita tahu, Indonesia ini belum “jadi”, belum merupakan suatu kenyataan sosio-politik dan kultural yang solid. Indonesia ini masih rapuh. Atau masih “in the making”. Maka nilai itu dijaga dan diperhatikan dengan baik. Dalam kaitan dengan pemikiran yang lebih besar, dalam skala nasional, yang bersifat lintas kelompok,lintas golongan, lintas partai,dan lintas kekuatan apa pun, kita bicara mengenai rakyat. Maka, pertanyaan “kepada siapa loyalitas dan komitmen” anggota DPR diberikan,jawabnya jelas kepada rakyat.

    Rakyat Indonesia. Orang-orang yang bekerja untuk rakyat dan atas nama rakyat sebagai mandat konstitusi, tapi dalam kehidupan sehari- hari mereka “membunuh” kata rakyat dan “makna”kata itu jelas bahwa mereka selingkuh dalam politik dan moral, yang konsekuensinya tak bisa dibayangkan betapa beratnya. “Kepada siapa komitmen dan loyalitas menteri diberikan? Atau lebih teknis: untuk siapa menteri bekerja?” Ini pertanyaan yang lahir sekarang, ketika kita melihat para menteri bergentayangan ke sana ke mari,tanpa mengingat rakyat dalam perilaku maupun dalam kebijakan yang dibuatnya.

    Jawaban kedungu-dunguan pasti akan muncul juga. Ada saja yang kemungkinan besar menjawab: Menteri bekerja untuk presiden, karena menteri pembantu presiden.Dalam bahasa teknis organisasional hal itu bisa saja dianggap benar.Tapi,mari kita cek betapa konyolnya, kalau dilihat pada kenyataan bahwa presiden juga ketua suatu partai. Maukah para menteri dari banyak partai yang berbeda orientasi politiknya, mendukung satu partai, yang dipimpin sang presiden? Tafsir ini menjadi begini karena presiden juga hanya bekerja demi partainya.

    Lalu sebuah “pemerintah” dengan begitu berarti bekerja untuk sebuah partai, yakni partai sang presiden tadi. Inilah wujud kekonyolan nasional kita karena memang begitu kenyataannya. Kalau mereka bekerja untuk rakyat dan tak peduli sang presiden menangis jejeritan karena orientasi politik mereka sudah benar––komitmen dan loyalitas mereka hanya diberikan kepada rakyat jadi jelas bukan kepada presiden, pertanyaannya,“apa buktinya menteri bekerja untuk rakyat? Ada bukti yang kuat mendukung omongan ini jika mereka tak mau disebut hanya omong kosong?” Tidak ada.

    Menteri pertanian membela petani? Termasuk petani tembakau yang seharusnya dia bela? Menteri pertanian yang menguyo-nguyo petani tembakau agar berganti menanam jenis tanaman lain, tanpa melihat begitu banyak faktor yang tak memungkinkannya. Apa bedanya di sini antara menteri dan petugas penertiban kota, yang kerjanya menggusur pedagang kaki lima,yang mandiri dan tak pernah minta dukungan pemerintah? Pedagang kaki lima itu sektor informal yang sangat mandiri, dan sektor informal itu merupakan fenomena perekonomian Indonesia.Tapi, kedunguan kebijakan dan tindakan telah mengusirnya.

    Apa bedanya menteri dan petugas penertiban yang bekerja hanya dengan otot dan kemarahan? Mereka sama persis dilihat dari segi mana pun. Menteri perdagangan membela petani tembakau? Tidak. Menteri bekerja untuk orang lain. Melindungi kepentingan bangsa lain. Di zaman Mari Pangestu mengimpor garam, lima tahun lamanya, pertanyaannya, untuk siapa Mari bekerja? Orang bisa kaku kejang-kejang dan step, karena tak bisa menjawab pertanyaan ini dengan baik.

  • Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi

    Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi
    Maksun, DOSEN FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, SEMARANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 4Februari 2012
    Bila kita tengok perilaku keagamaan kita beberapa waktu ter akhir dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawa agama tampak begitu kering. Hampir pasti, semangat tersebut meleleh karena perilaku sosial-politik sejak merdeka telah meracuni agama itu sendiri. Agama dikerangkeng dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan berdampak tidak sehat.
    Aneh bin ajaib, perilaku orang beragama justru buas terhadap sesamanya. Norma kesopanan telah pudar dalam sanubari bangsa ini. Seolah-olah kita telah kehilangan jati diri sebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama, dan sebagai makhluk beriman. Karakter keimanan sebagai suatu substansi yang harus diraih gagal kita bangun. Keimanan bukan untuk menyayangi makhluk lainnya, tapi justru untuk menyerang dan bahkan membunuh dengan segala macam cara.
    Tidaklah salah jika dikatakan bahwa agama kini seolah mengalami semacam krisis relevansi doktrinal. Artinya, agama kurang mampu berperan secara aktif dan diskursif dalam merespons realitas-realitas problematik, tapi hanya menjadi atribut kesalehan individual dan tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang mendorong perubahan serta peningkatan kualitas empiris obyektif umat manusia. Lebih dari itu, agama juga acap kali menjadi trompet terselubung bagi kebijakan penguasa dan alat legitimasi bagi kepentingan politik sesaat.
    Nah, Islam yang diajarkan Muhammad SAW bukan sebuah gugusan dogma yang bersifat abstrak, normatif, dan skolastik, yang berbicara tentang sistem kepercayaan (iman-tauhid) serta sistem nilai saja. Misi dan elan profetik Nabi mencakup humanisasi (apresiasi kemanusiaan) dan transendensi (apresiasi ketuhanan). Humanisasi dipahami sebagai upaya pembeba-san dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan, dan determinisme teknologi. Adapun transendensi dimengerti sebagai upaya memberi arah pada peradaban dan spirituali-tas kehidupan, serta membimbing manusia dalam menemukan fitrahnya.
    Persoalannya, langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar misi dan elan profetik Nabi itu benar-benar terbumikan, sehingga agama (Islam) bisa menjadi part of solution bagi beragam problem kemanusiaan dewasa ini.
    Rekonstruksi Tauhid
    Menarik dicermati konsep tauhid yang diintrodusir Hasan Hanafi bahwa tauhid adalah suatu pandangan dunia (jaringan relasional Islam), asal-muasal seluruh pengetahuan, dan nilai inti dari seluruh implikasi doktrinal Islam. Karena itu, menerjemahkan tauhid semata-mata sebagai “keesaan Tuhan“, demikian kata Hasan Hanafi, bukan hanya perspektif yang parsial-atomistik, tapi juga salah, dan itu sebabnya harus direkonstruksi.
    Menurut Hasan Hanafi, tauhid hendaklah dipahami sebagai: (1) keesaan Tuhan, yang mengajarkan bahwa yang patut dan wajib disembah hanyalah Allah semata; (2) keesaan manusia, yang mengajarkan egalitarianisme doktrin dengan menempatkan manusia dalam kesamaan dan menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, gender, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan, serta kekuasaan; dan (3) keesaan kehidupan, yang mengajarkan bahwa tidak ada pemisahan antara aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, serta sosial dan individual.
    Dengan demikian, meskipun tauhid merupakan konsep teosentrik, juga bersifat humanistik, dalam arti memiliki keterarahan dan arus balik kepada manusia.
    Pandangan dunia tauhid inilah yang sejatinya menjadi landasan teologis dan historis bagi gerakan para nabi dalam mendo rong perubahan sosial, terlebih dalam dimensi keyakinan serta moralitas. Ibrahim AS adalah cermin revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa AS merefleksikan transformasi umat dari belenggu otoritarianisme. Isa AS merupakan cermin revolusi spiritual atas dominasi sekularisme dan materialisme. Muhammad SAW adalah teladan bagi kaum papa, hamba sahaya, dan komunitas tertindas.
    Bahan refleksi yang dapat dipetik dari sejarah ini adalah tidak dikenalnya distingsi antara humanisasi dan transendensi dalam keberagamaan. Pemisahan salah satu di antara keduanya bukan hanya bersifat parsial dan ad hoc, tapi juga deviatif. Artinya, humanisasi tanpa transendensi bagaikan fatamorgana (QS 24: 39). Demikian pula transendensi tanpa humanisasi adalah absurd dalam pandangan Tuhan (QS 107: 7).

    Part of Solution
    Untuk menjadikan agama (Islam) sebagai part of solution, membumikan misi dan elan profetik Nabi dari posisi idealis-skolastik ke realitas konkret serta praksis menjadi hal niscaya. Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga langkah yang harus dilakukan.
    Pertama, membersihkan agama dari struktur dan tekanan vested interest. Artinya, kehadiran agama, yang pada awalnya jelas untuk kesejahteraan manusia (com mon goods), serta membebaskan manusia dari segala macam bentuk pembudakan, penindasan, pemiskinan, dan seterusnya, harus dijauhkan dari kepentingan politikkekuasaan. Sebab, jika agama diracuni oleh kepentingan-kepentingan kelompok, apalagi direduksi menjadi alat legitimasi politik, agama kemudian hanya akan menciptakan bad prejudice, kebencian-kebencian sektarian, dan pasti agama akan kehilangan rohnya sebagai pembawa rahmat serta penyebar damai (rahmatan lil’alamin).
    Kedua, keharusan membaca dan mereinterpretasikan ajaran-ajaran agama terkait dengan persoalan kemanusiaan oleh para pemeluknya secara arif serta jujur. Dalam konteks ini, Hans Kung pernah mengatakan bahwa agama yang benar tentu tak akan bertentangan dengan kemanusiaan. Agama selalu menghormati dan mempertahankan kemanusiaan. Marcela A. Boisard juga mengatakan bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kesabaran (ketahanan), kegigihan bekerja, dan kebesaran jiwa. Bukan hanya Islam, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu pun lahir untuk memanusiawikan manusia (to humanize human being).
    Ketiga, membentuk kesadaran tentang pentingnya transformasi nilai ajaran agama dalam kerangka kehidupan sosialpraksis. Dalam konteks ini, pemahaman agama yang selama ini lebih terkesan institusional dan berhenti pada tataran belief, ritual, atau sekadar intellectual, harus diganti dengan pemahaman agama yang fungsional dan substantif. Dari sinilah kemudian diharapkan agama menjadi pengalaman hidup pribadi, yang kemudian berdampak sosial yang dalam dan luas dalam berbagai dimensi kehidupan serta berdampak pada integritas kepribadian, bukan kepribadian yang terpecah.
    Walhasil, kini saatnya bagi kita, umat beragama, melakukan perubahan paradigma: dari sikap beragama yang in-humane kepada yang humane. Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan serta terorisme, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, serta memajukan harmoni antarbudaya. Hanya dengan cara inilah agama akan benar-benar mampu menjadi bagian dari solusi bagi pemecahan masalah politik, sosial, ekonomi, hukum, lingkungan, dan sebagainya. Inilah wajah Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan harus kita teladani bersama.
  • Paradoks Investment Grade

    Paradoks Investment Grade
    Arif Budimanta, ANGGOTA DPR RI FPDI PERJUANGAN, KOMISI KEUANGAN DAN PERBANKAN; KOORDINATOR KAUKUS EKONOMI KONSTITUSI
    Sumber : REPUBLIKA, 4Februari 2012
    “Peringkat ini rawan de ngan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.”
    Investment Grade atau peringkat investasi dalam konteks pengelolaan ke uangan negara adalah suatu status atau kategori pemeringkatan yang di buat oleh suatu lembaga. Status ini berguna untuk memberikan gambaran tentang keuntungan dan risiko mengenai kondisi suratsurat berharga (surat-surat utang/ pengakuan utang/bond/obligasi) yang dikeluarkan oleh suatu negara atas dasar perencanaan, pengelolaan, dan sistem per ekonomian/keuangan negara itu.
    Peringkat investasi secara umum dikategorikan atas layak investasi (Investment Grade) dan tidak layak (Non-Investment Grade). Kategori tersebut disimbolkan dengan huruf A hingga C. Makin mendekati A, maka menandakan bahwa investasi tersebut makin prima dan layak.
    Paradigma peringkat investasi adalah keuntungan. Investasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pena naman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menyangkut investor (pemilik uang) sebagai pembeli dan pemilik proyek/perusahaan sebagai penjual.
    Pada sisi pembeli, dia mempergunakan modalnya untuk mendapatkan keuntungan atau imbal hasil dari penjual. Pada sisi penjual, dia mempergunakan/menjaminkan asetnya untuk memperoleh modal kerja untuk memproduksi sesuatu yang menghasilkan imbal hasil lebih tinggi dari yang diberikannya kepada penjual/investor.
    Semakin produktif, stabil, dan dominan kekuatan keuangan sua tu negara, maka peringkat inves tasinya akan semakin membaik. Karena—persoalan produktivitas, stabilitas, dan kekuatan sistem ke uangan—memberikan jaminan dan kepercayaan kepada para pe milik dana (investor) untuk membeli surat-surat berharga yang di terbitkan oleh suatu negara. Atas dasar itu, biasanya investor membeli surat-surat berharga de ngan harapan mendapatkan modalnya kembali plus imbal hasilnya.
    Lembaga pemeringkat yang ternama di dunia yaitu, (1) Fitch merupakan bagian dari Fitch Grup yang didirikan oleh John Knowles Fitch pada 1913 dan berkantor pusat di Paris. (2) Moodys merupakan bagian dari Moodys Corporation yang didirikan oleh Jhon Moody pada 1909 dan berkantor pusat di New York. (3) Standars & Poors merupakan anak perusahaan dari Mc Graw Hill Companies, berdiri pada 1941 dan berkantor pusat di New York.
    Anomali
    Ketika krisis ekonomi melanda, Indonesia harus merelakan kehilangan peringkat layak investasi. Saat ini, lembaga pemeringkat yang sejatinya adalah korporasi, seperti Moody’s Investor Service, Fitch Ratings, serta Japan Credit Rating yang mengembalikan peringkat layak investasi tersebut ke Indonesia.
    Meningkatnya peringkat menjadi Investment Grade atau peringkat layak investasi memberikan sinyal bahwa risiko investasi di Indonesia semakin kecil. Sehingga, seyogianya imbal hasil surat berharga negara akan semakin kecil dengan menurunnya default risk premium. Permintaan terhadap obligasi negara pun akan mening kat. Hal ini juga memberikan dampak positif terhadap kinerja pasar modal seiring dengan ber gairahnya aliran modal yang masuk karena meningkatnya kepercayaan investor, baik dari dalam negeri maupun asing.
    Seiring peningkatan peringkat utang tersebut, tentu saja diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor riil yang lebih bersinggungan dengan penciptaan lapangan kerja dan pengu rangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Apalagi, hal ini mening katkan peluang Indonesia untuk memperoleh dana jangka panjang yang murah sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur.
    Peringkat Indonesia menurut lembaga pemeringkat Fitch, walaupun layak investasi (BBB-), tapi kelasnya tidaklah sama seperti peringkat yang diraih Singapura (triple A), Malaysia (A-), ataupun Thailand (BBB). Peringkat yang diberikan perusahaan Moody’s ke Indonesia Baa3 sebenarnya adalah peringkat paling bawah kategori layak investasi.
    Ciri dari kategori ini adalah setiap obligasi atau surat utang yang diterbitkan negara memiliki risiko moderat dan memiliki karakteristik spekulatif. Artinya, menarik untuk investasi, tetapi memiliki risiko yang tinggi bagi investor yang menanamkan modalnya. Peringkat ini rawan dengan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.
    Dalam keterangannya ketika pemerintah mengumumkan bahwa Fitch telah menaikkan status Indonesia ke beringkat BBB-, pemerintah menjelaskan bahwa salah satu yang menyebabkan kenaikan peringkat ini adalah rasio utang yang rendah dengan tren yang menurun. Pernyataan tersebut sebenarnya anomali karena beberapa negara Eropa yang rasio utang dengan PDB-nya sangat tinggi dibanding Indonesia, seperti Italia, Spanyol, bahkan Amerika sampai saat ini peringkatnya jauh lebih baik dari Indonesia.
    Yang menarik adalah imbal hasil (bunga yang diberikan) terhadap obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara tersebut jauh lebih rendah dari kita. Harusnya, kalau memang layak investasi dengan pertimbangan kebijakan ekonomi yang hati-hati, stabil, dan berkelanjutan, kita lebih memiliki keberanian untuk menurunkan imbal hasil dari surat utang negara yang diterbitkan.
    Tetapi, untuk menurunkan tingkat imbal hasil terhadap surat utang ini, pemerintah belum percaya diri dan akan terus memakai patokan UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Aturan itu mengasumsikan suku bunga terhadap surat berharga negara untuk jangka waktu tiga bulan berada pada kisaran enam persen.
    Setidaknya, ada dua hal yang menjadi dasar dari pemberian imbal hasil yang tinggi tersebut karena pemerintah khawatir defisit APBN tidak tertutupi. Jika Surat Utang Negara tidak dijual dengan imbal hasil atraktif, maka investor tidak akan berminat. Selain itu, produktivitas dari Kebijakan Fiskal yang ditunjukkan dengan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
    Paradoks
    Utang Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun dengan beban cicilan bunga utang sebesar Rp 122 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.435 triliun. Beban cicilan bunga utang ini meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
    Penerbitan surat utang baru yang dilakukan pemerintah dilandasi oleh UU APBN. Dalam Pasal 23 UUD 1945 dikatakan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam perspektif konstitusi, harusnya kita dapat memaknai dan merasakan bahwa seharusnya capaian Investment Grade itu diikuti dengan perbaikan kemakmuran rakyat. Tetapi, kenyataannya, beberapa indikator global menunjukkan peringkat Indonesia yang malah merosot pada 2012, seperti Doing Business Indonesia turun tiga peringkat dari 126 pada 2011 menjadi 129 pada 2012.
    Secara umum, penyebab masih rendahnya peringkat doing business di Indonesia masih disebabkan oleh hal yang sama, yaitu masalah birokrasi dan infrastruktur. Salah satunya ditandai dengan menurunnya peringkat untuk mendapat sambungan listrik dari yang sebelumnya 158 pada 2011 menjadi 161 pada 2012. Peringkat global dalam mendapatkan aliran listrik di Indonesia jauh lebih buruk dari Kamboja yang mendapat peringkat 138 di tingkat global, padahal peringkat investasi kamboja ada di bawah kita.
    Itulah paradoks Investment Grade yang saat ini kita hadapi. Kita harus cepat melakukan evaluasi dan merestrukturisasi kebijakan ekonomi kita. Sehingga, kekhawatiran yang terjadi saat ini tentang menguatnya fenomena decoupling, yakni semakin terjadi pemisahan antara arus finansial dan arus barang, dapat kita hindari.
  • Buruh dan Jerat Upah Minimum

    Buruh dan Jerat Upah Minimum
    Launa, DOSEN FISIP UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA;
    KETUA BIDANG PENDIDIKAN DPP FESDIKARI-KSBSI
    Sumber : SINAR HARAPAN, 4Februari 2012
    AKSI masa yang digelar puluhan ribu buruh di Bekasi yang telah menutup ruas jalan Tol Jakarta–Cikampek pekan lalu membuktikan problem upah akan terus menjadi isu seksi dalam hubungan industrial di negeri ini.
    Demonstrasi buruh Bekasi yang dipicu penolakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)—melalui pembatalan keputusan kenaikan upah minimum Kabupaten Bekasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung—menunjukkan kebijakan upah murah masih mendominasi cara pikir pengusaha kita.
    Ideologi “upah murah” yang populer sejak era Orde Baru agaknya ingin terus dilestarikan Apindo. Atas nama pembangunan dan dalil pertumbuhan ekonomi, pemerintah (dan pengusaha) selama ini telah menempatkan buruh sebagai “alas kaki industri” yang upahnya dihitung berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM).
    Per definisi, upah minimum adalah upah bulanan terendah, yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap bagi buruh lajang dengan pengalaman kerja 0–1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur (berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan), dan berlaku selama 1 tahun berjalan (Permenakertrans No 1/1999, Pasal 1 Ayat 1).
    Namun, hasil penelitian Akatiga di sembilan kabupaten/kota (Jakarta Utara, Serang, Kabupaten dan Kota Tangerang, Bogor, Sukabumi, Semarang, Sukoharjo, dan Karanganyar) dan empat provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) menunjukkan, upah minimum jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh, bahkan bagi buruh lajang sekalipun. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata masih di bawah Rp 1,5 juta per bulannya. 
    Kendati konsep KHL versi Kepmenakertrans No 17/2005 telah memasukkan komponen makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan, fakta kemiskinan buruh tak bisa terus ditutupi.
    Untuk menutupi kekurangan upahnya (yang jauh dari KHL itu), para buruh harus memperbanyak kerja lembur, kerja sampingan (mengojek atau berdagang), berutang, dan meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu (laporan penelitian OPSI, 2009).
    Kedua, dari sisi efektivitas, upah minimum hanya melindungi minoritas buruh, yaitu buruh formal yang berjumlah 33 juta orang (33 persen). Sementara itu, buruh informal yang berjumlah 70 juta orang (67 persen) tidak memiliki perlindungan upah sama sekali.
    Merujuk pada laporan Bank Dunia (2010), pada 2007 saja, terdapat 40 persen pengusaha yang tidak mematuhi pembayaran upah minimum. Artinya, dari 33 juta jumlah buruh formal, hanya 19 juta yang terlindungi upahnya, sementara 85 juta angkatan kerja lain nonformal sama sekali tidak mendapat perlindungan upah.
    Inilah salah satu jawabannya mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan mendapat pujian internasional ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat, termasuk para buruh. 
    Pengawasan Lemah
    Problem lain adalah lemahnya pengawasan dan gagalnya penegakan hukum (law enforcement). Kendati Pasal 90 junto Pasal 185 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan jelas melarang pengusaha membayar upah di bawah ketentuan upah minimum dengan ancaman pidana, ketika pengusaha tak mematuhinya, pemerintah membiarkan pasal-pasal tersebut tumpul dengan sendirinya.
    Alasan klasik pembiaran pemerintah dan pengusaha tersebut (dan ini sangat menyesatkan), yang penting buruh bisa bekerja, mengingat tingkat pengganguran masih tinggi di Indonesia. Alasan berikut, bila buruh tidak puas dengan upah rendah, toh mereka bisa mengajukan keberatan (perselisihan) ke Pengadilan Hubungan Industrial.
    Berikutnya, tingginya biaya siluman (setoran atau pungli) juga menjadi faktor krusial sulitnya pengusaha memberi kenaikan upah maksimal. Laporan Bank Dunia (Doing Business, 2012) menunjukkan, mahalnya biaya birokrasi di Indonesia. Peringkat Kemudahan Berbisnis di Indonesia saat ini berada di urutan 129, turun dari peringkat 126 (2011).
    Singapura adalah negara dengan peringkat kemudahan berbisnis nomor 1, Malaysia peringkat 18, dan Thailand peringkat 17. Biaya buruh (labor cost) di Malaysia, Thailand, dan Singapura jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.
    Di Malaysia berkisar 25–29 persen, Thailand 20–25 persen, dan Singapura 26–30 persen, sementara Indonesia hanya berkisar 10–15 persen (ILO, 2007). Sebabnya, para investor dan pengusaha di ketiga negeri jiran itu tidak direcoki oleh pungli dan setoran yang membuat biaya perusahaan (production cost) membengkak.
    Mengutip Katherine Wezel-Stone (2007), setidaknya terdapat empat alasan paradigma upah murah dalam konteks globalisasi tetap penting untuk dilakukan.
    Pertama, berkurangnya kekuatan tawar buruh, seiring kian intensifnya mobilitas modal. Nalar ekonomi global cenderung mencari tempat investasi yang memberikan standar perlindungan buruh paling rendah.
    Kedua, globalisasi cenderung menyingkirkan aturan-aturan negara yang melindungi buruh. Korporasi global lebih tertarik untuk berinvestasi dalam lingkungan hukum domestik yang pro modal, di mana negara tak peduli pada perlindungan hak-hak buruhnya.
    Ketiga, globalisasi telah membuat negara-negara berkembang berlomba-lomba menawarkan standar perburuhan yang rendah guna menarik investasi.
    Keempat, dalam sistem produksi dan rantai suplai global, faktor upah murah adalah syarat persaingan kunci, di samping mutu, efektivitas waktu, dan efisiensi produksi.
    Kelima, dengan mandulnya regulasi perburuhan di tingkat negara, berimplikasi pada lemahnya kemampuan (gerakan) buruh untuk melindungi hak-hak dasarnya. Ideologi globalisasi cenderung happymelihat peran politik buruh yang lemah dan tidak berlakunya standar inti perburuhan (core labor standard) pada tingkat negara.
    Faktual, Indonesia perlu mereformasi paradigma upah murah dan menciptakan sistem pengupahan yang lebih adil, mereduksi konflik laten hubungan industrial, menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, serta hasil pembangunan yang menguntungkan bagi buruh dan pengusaha.
    Benar, konsep upah minimum selama ini menjadi katup pengaman untuk mencegah eksploitasi buruh yang upahnya kerap ditentukan secara sepihak oleh pengusaha (labor market flexilibility). Namun, konsep ini sudah kedaluwarsa dan tak bisa dipertahankan lagi.
    Paradigma pengupahan yang jauh dari visi “menyejahterakan buruh” ini, ke depan harus segera direformasi. Ini karena Pasal 33 UUD 1945 secara tegas memberi mandat pada negara untuk mewujudkan kehidupan perekonomian nasional yang berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk para buruh di dalamnya.