Author: Adul

  • Menyelamatkan Martabat DPR dan Profesi Politisi

    Menyelamatkan Martabat DPR dan Profesi Politisi
    Vishnu Juwono, KANDIDAT DOKTOR BIDANG SEJARAH INTERNASIONAL DI LONDON SCHOOL OF ECONOMICS AND POLITICAL SCIENCE (LSE), LONDON, INGGRIS, SEBAGAI JARDINE SCHOLAR
    Sumber : SINDO, 8Februari 2012
     
    Ketua Komisi PemberantasanKorupsi( KPK) Abraham Samad baru saja mengumumkan bahwa Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus Wisma Atlet serta I Wayan Koster dicekal untuk perjalanan ke luar negeri.

    Bisa dikatakan ini menjadi salah satu momen semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini karena keduanya mewakili dua partai besar, yaitu pendukung utama pemerintah yakni Partai Demokrat serta partai oposisi terbesar yaitu Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP).

    Penetapan tersangka terhadap anggota DPR yang melibatkan hampir seluruh anggota partai baik dari pihak pendukung pemerintah serta oposisi bukan yang pertama kali. Sebelumnya KPK juga menetapkan tersangka Miranda S Goeltom mantan pejabat tinggi Bank Indonesia sebagai tersangka dalam kasus cek pelawat.

    Dalam rangkaian kasus itu beberapa anggota DPR baik yang masih aktif maupun sudah tidak aktif lagi yang berasal dari partai pendukung maupun oposisi pada periode 1999-2004 divonis bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Namun, melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud membahas teknis hukum.

    Yang ingin saya analisis melalui tulisan ini adalah apakah yang menyebabkan institusi DPR mempunyai image yang buruk di masyarakat terutama melalui pemberitaan- pemberitaan media khususnya selama lima tahun terakhir ini.Harapannya mencari solusi untuk memperbaiki serta menyelamatkan badan negara yang mempunyai peranan penting dalam menjaga kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia ini.

    Tekanan Situasi

    Seperti yang kita ketahui pada masa Orde Baru, kekuatan sangat berpusat pada eksekutif. Anggota DPR dipilih setelah melalui proses seleksi latar belakang yang ketat dilakukan oleh ABRI (saat ini bernama TNI), serta aparat eksekutif yang menjadi instrumen pendukung kekuasaan Presiden Soeharto. Hasilnya, tidak mengherankan bahwa DPR pada masa Orde Baru tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan selayaknya badan legislatif secara optimal.

    Namun, dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 dorongan untuk memberdayakan peranan Dewan Perwakilan Rakyat semakin besar. Melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah dielaborasi secara gamblang pada Pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (yang merupakan hasil amendemen kedua) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, serta pengawasan.DPR memiliki wewenang yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

    Namun, seperti yang kita ikuti melalui berbagai berita di media bahwa wewenang yang lebih besar dari parlemen tersebut tidak diikuti kinerja yang membaik dari para sebagian anggota DPR. Sebaliknya, terdapat persepsi dari masyarakat bahwa anggota DPR menggunakan wewenang tersebut untuk kepentingan kelompok atau bahkan untuk memperkaya diri.

    Masalah besar dari kelemahan kualitas anggota DPR menurut penulis adalah dimulai pada sistem rekrutmen kandidat anggota DPR.Sistem pemilu proporsional terbuka sejak2009 merupakan kemajuan di mana masyarakat dapat memilih langsung kandidat yang diajukan partai politik. Namun, kandidat harus menghadapi politik biaya tinggi yang miliaran rupiah.

    Akibatnya yang mampu menjadi kandidat adalah yang memiliki dana besar atau yang mempunyai tingkat popularitas tinggi. Dalam skenario yang sangat ekstrem hanya kandidat berlatar belakang pengusaha, pengacara, serta artis bintang televisi atau musik yang populer yang pada akhirnya dapat maju dan mendapat dukungan partai politik (parpol) untuk menjadi anggota DPR.

    Tentu saja bila mengacu pada politisi di negara lain seperti di Amerika Serikat ada contoh kasus di mana mantan bintang film yang dapat mencapai sukses gemilang di dunia perpolitikan seperti almarhum Presiden Ronald Reagan pada 1981–1989. Namun perlu diingat bahwa Presiden Reagan telah malang melintang di dunia perpolitikan Amerika Serikat selama puluhan tahun di antaranya menjadi Gubernur California pada 1967–1975.

    Pembiayaan parpol saat ini juga menjadi permasalahan krusial.Diperkirakan dana operasional partai politik untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia mencapai ratusan miliaran rupiah. Dengan demikian, anggota DPR yang juga merupakan pengurus parpol ditekan untuk menggalang dana operasional dengan menggunakan otoritasnya sebagai anggota DPR tidak terhindarkan. Kesalahan tentu saja tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada anggota DPR. Diperlukan aturan hukum yang jelas mengenai mekanisme yang legal untuk penggalangan dana parpol.

    Melangkah ke Depan

    Mengacu pada survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Mei 2011,mayoritas masyarakat Indonesia (77,3%) mendukung sistem demokrasi serta percaya bahwa sistem demokrasi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa (sebanyak 67,9%). Sistem demokrasi di sini tentu saja di antaranya lembaga DPR yang menjalankan fungsi secara benar dalam mengawasi eksekutif.

    Merupakan tugas bersama,terutama para anggota DPR periode ini,untuk merawat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sistem demokrasi. Saya percaya bahwa sebagian besar pimpinan parpol serta pimpinan dan anggota DPR periode 2009–2014 pada dasarnya masih mempunyai keinginan untuk meninggalkan karya di masa tugas mereka sehingga akhirnya dapat dikenang dan diingat oleh generasi penerus bangsa Indonesia.Untuk itu, mereka harus mencari solusi terhadap masalah rekrutmen kader politik serta pembiayaan parpol.

    Dengan begitu,anggota DPR periode 2009–2014 serta pimpinan parpol saat ini mempunyai potensi untuk dikenang sebagai peletak fondasi dari sistem politik yang menghasilkan kembali politisi-politisi Indonesia yang mempunyai kaliber hebat seperti para founding fathers bangsa kita seperti Presiden Soekarno,Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir, serta Perdana Menteri Mohammad Natsir.

  • Potensi Pajak Migas

    Potensi Pajak Migas
    Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
    Sumber : REPUBLIKA, 7Februari 2012
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 124 triliun atau mencapai 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menutupi defisit ini, pemerintah berencana untuk membiayainya melalui utang luar negeri dan dalam negeri. Kondisi ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pemerintah membutuhkan dana lebih banyak dari yang kemungkinan diperoleh untuk menjalankan program-programnya.
    Walaupun pemerintah juga semakin mudah untuk memperoleh pinjaman, sebagai efek dari peningkatan investment grade, tetapi harus diakui bahwa instrumen pembiayaan melalui utang juga membebani APBN itu sendiri. Setiap tahun, APBN mengalokasikan lebih dari Rp 100 triliun untuk pembayaran utang, baik pembayaran jatuh tempo dan buyback Surat Berharga Negara (SBN) maupun pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
    Dengan kebutuhan belanja pembangunan yang sudah sangat terbatas, maka langkah penghematan pada sisi belanja sudah tidak relevan lagi. Mau tidak mau, pemerintah harus bergerak dari sisi penerimaan negara agar citacita mewujudkan kemandirian pembiayaan negara dapat terwujud. Meningkatkan penerimaan negara berarti secara tidak langsung meningkatkan penerimaan perpajakan. Kajian akademis menunjukkan, masih banyak potensi perpajakan yang belum tergali optimal. Langkah Ditjen Pajak dengan merilis tujuh langkah strategis pengamanan penerimaan perpajakan pada 2012 merupakan wujud nyata untuk menggapai kemandirian bangsa melalui kemandirian APBN. Salah satu langkah strategis tersebut adalah penggalian potensi pajak sektor Minyak dan Gas Bumi (migas).
    Cost Recovery Sektor
    Minyak dan Gas Bumi (migas) masih menjadi primadona dalam menyumbang penerimaan negara. Pada 2012, target penerimaan negara sektor migas mencapai Rp 220,4 triliun atau 16,8 persen dari target penerimaan negara sebesar Rp 1.311,4 triliun. Sebesar Rp 60,9 triliun berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas. Namun, karena keterbatasan akses dan minimnya data, maka pemerintah, termasuk Ditjen Pajak, mengalami kesulitan untuk menguji kebenaran besarnya nilai-nilai tersebut.
    Dua komponen utama penerimaan migas berasal dari penerimaan bagi hasil migas dan penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas atau pajak migas. Keduanya sangat tergantug kepada besaran nilai produksi migas yang dapat dibagi (equity to be split). Dengan asumsi besarnya produksi kotor (lifting) sudah benar, maka besar kecilnya equity to split tergantung pada besar kecilnya biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery). Karena itu, titik kritis penerimaan negara sektor migas sebenarnya ada pada jenis dan jumlah biaya-biaya pembentuk cost recovery.
    Sejak diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan serta Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan PP Cost Recovery. Maka, biaya-biaya pembentuk cost recovery sudah dibuat aturan mainnya. Prinsipnya, cost recovery harus memenuhi persyaratan bahwa biaya yang dikeluarkan memang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Selain itu, biaya tersebut harus menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
    Aturan cost recovery kemudian dipertegas lagi dengan penetapan batasan maksimal untuk biaya pengeluaran kantor pusat dan biaya remunerasi tenaga kerja asing. Selain memperketat syarat bagi biaya pengeluaran kantor pusat untuk menjadi cost recovery, pemerintah juga menetapkan batasan paling tinggi dua persen dari biaya modal dan bukan modal untuk diklaim sebagai cost recovery. Sehingga, pemerintah dapat mengontrol melonjaknya cost recovery yang berasal dari pos ini.
    Biaya remunerasi bagi tenaga kerja asing yang akan menjadi biaya dalam cost recovery perlu juga untuk dibatasi. Tidak menutup kemungkinan, cost recovery ini menjadi pusaran biaya (cost center) bagi perusahan-perusahan migas yang berada dalam satu grup. Yang paling mudah untuk dimanipulasi adalah biaya remunerasi tenaga kerja asing. Sudah mafhum bahwa tenaga kerja asing dalam suatu grup perusahan ruang lingkup tugasnya meliputi keseluruhan anak perusahaan. Seharusnya, tenaga kerja asing ini dibayar oleh induk perusahannya.
    Akan tetapi, pada kenyataanya biaya gaji dan tunjangannya-yang sangat besar–dibebankan hanya pada salah satu anak perusahaanya saja. Parahnya lagi, ketika anak perusahan yang harus membayar remunerasi tersebut merupakan kontraktor kontrak kerja sama migas yang sedang menyiapkan laporan cost recovery. Pembatasan maksimum biaya remunerasi per golongan dan per negara, setidaknya juga bertujuan mengurangi risiko kemungkinan terjadinya manipulasi ini.
    Dengan terbitnya aturan pelaksana pada sektor migas ini, Ditjen Pajak seharusnya sangat diuntungkan. Besaran cost recovery akan otomatis mendekati kondisi sebenarnya, jauh lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Efeknya, equity to be split akan semakin besar, yang mengakibatkan penerimaan pajak migas juga meningkat. Selain itu, kewenangan akses menentukan komponen biaya-biaya dalam cost recovery pada tahapan eksplorasi. Ditjen Pajak juga dapat sekaligus melakukan intensifikasi pemungutan pajak.
    Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi-transaksi yang terjadi. Yang sudah diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar 20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam pengalihan hak atau participating interest.
     
    Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan subkontraktor. Yang pasti, aturan migas yang baru ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar. ●
  • Pilot yang Nyabu!

    Pilot yang Nyabu!
    Chappy Hakim, CHAIRMAN CSE AVIATION
    Sumber : SINDO, 8Februari 2012
    Pada akhir 2011 Pengadilan Negeri Tangerang mengadili dua orang pilot Lion Air yang tertangkap basah saat pesta sabu-sabu bersama rekannya di sebuah apartemen di Kota Tangerang.

    Sementara itu, Sabtu dini hari tanggal 4 Februari 2012 petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang pilot Lion Air saat nyabu di kamar 2.109, Hotel Garden Palace, Surabaya, Jawa Timur.Kabarnya,penangkapan ini merupakan pengembangan dari ditangkapnya pilot Lion Air lain beberapa waktu lalu di Makassar. Kabar ini sangat jelas telah menggambarkan bagaimana memprihatinkannya dunia penerbangan kita.

    Peristiwa tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sulit dipercaya oleh akal sehat. Seorang pilot pada hakikatnya hidup dari kondisi fisiknya yang prima sebagai salah satu syarat utama dalam menjalankan profesinya sebagai pilot. Lebih memprihatinkan lagi karena pada hakikatnya dunia penerbangan Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi yang masih membutuhkan banyak langkah penyempurnaan.

    Masih banyak tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang masih belum dilaksanakan. Padahal tindak lanjut tersebut dicantumkan harus sudah selesai dalam kurun waktu dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan. Beberapa di antaranya adalah pembentukan dewan penerbangan dan penempatan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang harus langsung berada di bawah kendali Presiden.

    Peristiwa tertangkapnya pilot Lion Air yang dilakukan oleh BNN tentu saja telah membuat keresahan di masyarakat luas. Dipercaya bahwa jaringan narkoba yang melanda para pilot ini tidaklah mustahil telah merambah tidak hanya pada satu atau dua saja dari maskapai penerbangan yang ada di Indonesia. Korps pilot penerbangan sipil Indonesia kiranya harus segera mengambil tindakan yang nyata untuk segera menertibkan masalah tersebut.

    Penyelidikan yang mendalam mengenai masalah ini harus dilakukan agar akar permasalahannya dapat segera diketahui dengan jelas.Pada kasus seperti ini diharapkan para pilot tidak melakukan perlindungan dan menggalang solidaritas yang sempit dalam konteks penyebaran narkoba di dunia penerbangan nasional. Masalah kebanggaan dan kehormatan pilot Indonesia berada di tangan para pilot itu sendiri.

    Mereka hendaknya melakukan introspeksi dan melakukan langkah-langkah tegas agar kasus yang sangat memalukan ini tidak berkembang lebih luas lagi.Kesadaran mengenai ketaatan terhadap aturan dan regulasi yang ada, seyogianya benar-benar dapat terbangun dari diri sendiri. Seharusnya dipahami bahwa kehormatan korps penerbang Indonesia tidaklah hanya menyangkut para pilot semata, akan tetapi juga menyangkut gengsi Indonesia sebagai bangsa.

    Di tengah-tengah kemajuan yang sangat luar biasa dari bisnis penerbangan di dunia dan terutama pertumbuhan penumpang angkutan udara di dalam negeri,telah menyebabkan Indonesia senantiasa menjadi sorotan perhatian dunia.

    Tanggung Jawab   

    Pilot dan maskapai penerbangan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan penumpang. Manajemen perusahaan penerbangan harus melakukan pembenahan dalam masalah ini.Para pilot senior mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan karier para pilot yunior di perusahaan yang bersangkutan.

    Di sisi lain, Kementerian Perhubungan mempunyai tugas yang tidak ringan dalam mengawasi faktor keselamatan penerbangan, termasuk dalam kasus tertangkapnya pilot yang nyabu itu. Kerja sama yang harmonis dari pihak Kementerian Perhubungan sebagai regulator dengan pihak maskapai penerbangan sebagai operator harusnya dapat terjalin dengan baik.

    Dengan demikian kegiatan pengawasan terhadap pembinaan SDM, dalam hal ini para awak pesawat, termasuk dan terutama sekali pilot, dapat dilakukan secermat mungkin. Sudah saatnya manajemen perusahaan penerbangan tidak hanya berorientasi kepada bisnis dan mencari keuntungan semata, akan tetapi kiranya juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembinaan pilotnya.

    Kementerian Perhubungan, dengan peristiwa ini, seharusnya dapat segera menyimpulkan bahwa aturan-aturan dan regulasi serta ketentuan yang diberlakukan selama ini ternyata tidak cukup ampuh untuk mencegah keterlibatan pilot dalam kasus narkoba. Tentu saja pendalaman terhadap penyebab dari kasus yang sangat memalukan ini akan dapat memberikan pelajaran mahal yang berharga bagi regulator tentang,apakah benar aturan-aturannya selama ini masih kurang ketat, ataukah faktor pengawasan dalam konteks implementasi dari aturan yang ada itu belum berjalan sesuai dengan sasaran yang dikehendaki.

    Pekerjaan sebagai pilot, adalah satu pekerjaan yang mulia dan membanggakan. Tidak semua orang yang bercita- cita menjadi pilot dapat mewujudkan cita-citanya. Cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menjadi pilot.Tidak sekadar berbadan sehat, tentu saja. Tingkat kecerdasan tertentu juga telah menjadi syarat yang mutlak bagi profesi pilot.

    Di luar itu, faktor tanggung jawab, yang seharusnya merupakan salah satu persyaratan utama untuk dapat menjadi pilot, bukanlah merupakan sesuatu yang harus dipertanyakan lagi. Rekrutmen pilot diharapkan menjadi salah satu bidang yang harus juga menjadi sasaran kaji ulang dan penelitian lebih jauh oleh pihak regulator,agar tidak kebobolan dalam proses menghasilkan para pilot yang profesional.

    Kasus pilot nyabu seharusnya bisa segera dihentikan sampai di sini saja. Ke depan semua pihak yang terlibat dalam industri penerbangan nasional berkewajiban fokus dalam masalah menyelesaikan dengan baik tragedi yang sama-sama tidak kita inginkan ini.

    Kasus pilot nyabu kiranya bukanlah masalah para pilot dan maskapai penerbangan semata, akan tetapi seharusnya disikapi sebagai masalah kita semua, terutama semua pemangku kepentingan di bidang penerbangan nasional.

  • Tinjau Ulang PNPM

    Tinjau Ulang PNPM
    Zainin Ahmadi, ANGGOTA DPR RI FRAKSI PDI-PERJUANGAN
    Sumber : REPUBLIKA, 7Februari 2012
    Alokasi bantuan langsung masya rakat yang ber sum ber dari APBN, APBD, dan utang luar negeri mencapai triliunan rupiah. Setiap tahun, jumlahnya yang meningkat semestinya membuat masyarakat kian merasakan manfaat, namun kenyataannya tidak demikian. Apakah sebabnya?
    Bantuan langsung masyarakat yang dimaksud ialah untuk program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM-Mandiri) yang sekarang memasuki tahun keenam. Jika sudah lebih lima tahun pelaksanaannya tidak banyak membawa manfaat, berarti ada sistem yang salah. Bagaimana pemberdayaan masyarakat disebut berhasil jika ternyata mereka tetap tidak berdaya?
    PNPM-Mandiri, sebagaimana halnya program keluarga harapan (PKH), merupakan model atau cluster penanggulangan kemiskinan yang sesungguhnya sama dan sebangun dengan bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
     
    Riwayatnya dulu ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
    Dibuatlah program kompensasi selain BLT, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan khusus murid, jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, infrastruktur pedesaan, dan lainlain. Dibuatlah landasan yuridis, yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penang gulangan Kemiskinan (TKPK), dengan ketua Menko Kesra yang kemudian melahirkan PNPM-Mandiri.
    Setelah lima tahun, tim berubah nama menjadi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melalui Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Perpres tersebut merupakan perubahan dari Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan, dengan ketua Wakil Presiden Boediono.
    Mengalir Sampai Jauh
    Berdalih untuk harmonisasi dan sinkronisasi program pemberdayaan masyarakat yang ada di setiap kementerian/lembaga, PNPM-Mandiri merambah hampir semua bidang, antara lain, perdesaan, perkotaan, infrastruktur perdesaan, dan infrastruktur sosial ekonomi wilayah.
    Tidak cukup dengan itu, diciptakanlah program pendukungnya, seperti PNPM bidang pariwisata, generasi, perbatasan, perumahan dan permukiman, kelautan dan perikanan, serta pengembangan usaha agribisnis perdesaan.
    Tidak heran jika anggarannya melimpah ruah seperti diakui Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Annie Ratnawati bahwa dana mencapai lebih dari Rp 86 triliun yang tersebar di 19 kementerian.
    Efektifkah? Mudah ditebak, logika pemerintah yang acap kali bermain pada ruang kelembagaan, seperti pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum dan satgas tenaga kerja Indonesia, instruksinya hanya efektif di atas kertas.
    Sementara, implementasinya banyak sekali direduksi, jadinya, cuma bijak berteori dan bersilat kata. Alih-alih menanggulangi kemiskinan struktural, pemerintah lebih suka mendesain struktur baru yang menambah inefisiensi.
    TNP2K adalah lembaga ad hoc yang lahir tanpa direncanakan dan diagendakan oleh wapres hingga (hanya) 2014. Hal itu semakin menunjukkan, pemerintah tidak mempunyai arah tujuan yang jelas untuk membangun bangsa ini ke depan. Maka, pada tempatnya pelaksanaan PNPM dihentikan.
    Lima Alasan Dihapus
    Alasan pertama dan yang utama untuk menghentikan PNPMMandiri adalah karena penyelenggaraan program ini menabrak UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (UU-PFM). Program tersebut, yang berangkat dari keinginan mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan Perpres dan Permen (Peraturan Menteri), wajib hukumnya menaati peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang.
    Selain merupakan amanat konstitusi, UU-PFM hadir untuk menertibkan pengaturan penanggulangan kemiskinan yang masih banyak tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sehingga terhimpun secara integral dan terkoordinasi. Jika mau sadar hukum, apa boleh buat, TNP2K harus dibubarkan atau setidaknya direkonstruksi agar tidak menyalahi undang-undang.
    Alasan kedua, dana triliunan rupiah PNPM-Mandiri tidak murni dari anggaran pendapatan belanja negara dan daerah, melainkan dari pinjaman Bank Dunia.
    Mengapa berutang hanya untuk menutupi beban anggaran subsidi? Utang pemerintah sampai dengan akhir 2011 mencapai Rp 1.803,49 triliun, meningkat Rp 126,64 triliun dalam satu tahun saja dibanding 2010 sebesar Rp 1.676,85 triliun.
    Sulit dika takan PNPMMandiri melakukan banyak pembangunan proyek infrastruktur yang produktif karena programnya merambah ke semua bidang kerja yang terkesan cuma bagibagi bantuan sosial–sehingga kesimpulan akhir adalah kuatnya dugaan untuk “membiayai“ peri laku konsumtif dan inefisiensi (tidak efisien).
    Alasan ketiga, jauh dari makna pemberdayaan masyarakat. Jika waktu itu tidak ada kenaikan harga BBM tidak ada BLT, tidak akan ada bantuan langsung masyarakat, dan tidak akan ada PNPM-Mandiri.
    Sejatinya, program ini tidak pernah direncanakan, karena itu wajar menjadi tidak terarah dan tidak berkelanjutan–terucapkan oleh wapres hanya sampai 2014.
    Tiadanya perencanaan juga tercermin dari nama lembaga yang me nanganinya berubah-ubah, demikian pula ketuanya, dari semula seorang menko Kesra berganti wakil presiden. Bagaimana hendak memberdayakan masyarakat secara luas, jika untuk penguatan kelembagaannya sendiri saja tidak mampu dilakukan?
    Keempat, tumpang tindih dengan proyek-proyek pembangunan lain karena daya jelajah PNPMMandiri yang tiada batas. Ambil contoh PNPM-Mandiri perdesaan yang dikelola Kementerian Dalam Negeri dengan anggaran pada 2011 mencapai Rp 9,6 triliun, lebih 50 persen dipergunakan untuk membangun akses transportasi berupa jalan, sektor pendidikan 11 persen, dan kesehatan 10 persen.
    Lha, kalau pemberda yaan masyarakat desa diartikan Kemendagri sebagai pembangunan fisik, bagaimana dengan peran Kementerian PU, Kemendikbud, dan Kemenkes di daerah (desa) itu?
    Karut-marut anggaran se macam itu membuka peluang terjadinya double posting untuk satu objek pembangunan, dan itu berarti pemborosan.
    Kelima, PNPM sangat politis. Jika penanggulangan kemiskinan adalah salah satu bidang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010-2014, maka “sambil berenang minum air“, pemerintah secara sadar melaksanakan kewajiban (seolah) menyejahterakan rakyat dengan sasaran kemiskinan sebagai objek belaka.
    PMPN dan sejenisnya menjadi magnet pusat, melibatkan gubernur dan bupati/walikota, menjangkau pemerintahan provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan. Program ini jadi idaman (`bancakan’) daerah, terlebih keadaan pemerintahan daerah (pemda) yang masih sangat bergantung pada dana perimbangan dari APBN.
    Lebih dari sekadar data PNPM, BLT, PKH, Jamkesmas dan basis data terpadu dari BPS, pemerintah amat digdaya untuk meramu dan mengolahnya dalam mesin politik the ruling party demi pemenangan 2014. Mencermati kondisi demikian, masih perlukah PNPM Mandiri? ●
  • Capgome, Sugesti Positif, dan Kritik

    Capgome, Sugesti Positif, dan Kritik
    Tom Saptaatmaja, ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG;
    SEMIANARI ST VINCENT DE PAUL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 7Februari 2012
    Tahun baru Imlek adalah tahun yang paling unik dibanding sistem kalender yang lain, karena dirayakan selama 15 hari, bukan cuma satu hari atau sekadar satu malam seperti tahun baru Masehi. Pada Senin (23/1) lalu, masyarakat Tionghoa di seluruh dunia merayakan Tahun Baru China yang biasa disebut Imlek. Seluruh rangkaian kegiatan Imlek ditutup secara lebih meriah pada hari ke-15 yang biasa disebut Capgome. Capgome jatuh pada Senin (6/2).
    Di beberapa kota besar kita, perayaan Capgome malah lebih meriah. Di Singkawang, Kalimantan Barat, pawai Capgome malah menjadi agenda pariwisata internasional. Dengan atraksi tatung yang berasal dari etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu, ritual pembersihan kota di Singkawang sungguh mengundang decak kagum.
    Kemudian, sudah menjadi kelaziman, menjelang Imlek sampai Capgome, muncul beragam ramalan. Buku-buku ramalan banyak beredar dan laris manis di pasar. Omzetnya bisa miliaran rupiah.Tidak heran penghasilan para peramal, astrolog atau ahli nujum juga sangat terdongkrak. Maklum, banyak yang percaya ramalan.
    Seolah seluruh hidup dalam satu tahun, mereka begitu bergantung pada ramalan. Padahal menurut tradisi awal di China, ramalan hanya upaya manusia untuk mengintip masa depan. Mengingat manusia tidak bisa melihat masa depan, ramalan diperlukan sebagai semacam penunjuk arah.
    Bila mau percaya ramalan, silakan. Karena itu tulisan ini tidak bermaksud melarang ramalan. Hanya perlu diingat, ramalan bisa bermasalah, terlebih bila ramalan buruk 100 persen dipercaya. Namun bila ramalan tentang hal buruk disikapi sebagai peringatan, kita mungkin bisa bersikap hati-hati.
    Tapi ramalan tentang hal-hal buruk perlu dikritisi. Kita tahu jangankan dalam ramalan, dalam kenyataan sehari-hari, sudah banyak kita saksikan atau bahkan keburukan yang menyengsarakan itu kita alami sendiri.
    Melihat hal-hal buruk, ditambah ramalan buruk, hanya akan membuat keburukan seolah mendominasi. Apalagi, kalau kita sudah punya cara pandang buruk, segalanya bisa tampak sangat hitam tanpa harapan.
    Karena itu, berbagai ajaran agama samawi, seperti Islam atau Kristen, mengajarkan ramalan astrologi atau shioadalah haram. Percaya pada ramalan ahli nujum atau peramal adalah kemusyrikan, karena mengambil alih peran Sang Pencipta sendiri.
    Terlebih kalau kita kaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, rasanya ingar bingar yang ada hanya mengesankan satu hal, bahwa seolah sudah tidak ada lagi kebaikan di negeri ini. Afirmasi atau sugesti negatif yang terakumulasi dan tiap hari disuarakan di mana-mana bisa sangat berbahaya bagi kehidupan kita.
    Sugesti Positif
    Padahal untuk meraih kemajuan dan keberhasilan, kita semua sangat membutuhkan afirmasi positif, semisal “Masih ada hal yang baik, kemajuan bisa diraih, aku bisa bersaing, aku bisa menang, dan sebagainya”. Dalam konteks inilah penulis sependapat dengan ajakan Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk selalu mempunyai harapan.
    Kebetulan pula, sebuah ramalan menyebutkan 2012 adalah tahun pencerahan dan perbaikan, karena karakter naga air yang sifatnya menjernihkan dan mendinginkan sehingga yang bergejolak panas pada 2011 akan menjadi tenang pada 2012.
    Afirmasi-afirmasi yang baik dan penuh harapan serta mencerahkan atau menjernihkan ini jelas positif dan perlu bagi kita untuk bisa bangkit, tetap bersemangat, memiliki harapan, dan akhirnya berhasil meraih kemajuan.
    Sebenarnya, baik agama atau psikologi sudah mengajarkan betapa pentingnya sugesti atau afirmasi positif itu. Raja dan Nabi Sulaiman sudah sejak lama mengajarkan, manusia akan menjadi seperti yang dipikirkan.
    Demikian juga sebuah bangsa atau negara. Kalau kita memikirkan kebaikan dan harapan-harapan yang memberi semangat untuk melakukan perubahan, kebaikan dan perubahan pasti akan terjadi.
    Tanda-tanda yang memberi harapan itu sebenarnya cukup banyak. Salah satunya, lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings pada Desember 2011 yang telah menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade. Fitch telah menaikkan Long-Term Foreign-and Local-Currency Issuer Default Ratings (IDR) Indonesia menjadi BBB- dari BB+ dengan outlookatas kedua peringkat tersebut stabil.
    Sebaliknya, kalau kita hanya memikirkan keburukan atau kegagalan, hal-hal ini juga akan terjadi. Di sinilah pentingnya kita memiliki visi. Terkait ini, kita butuh pemimpin visioner yang mempunyai visi negeri ini mau dibawa ke mana.
    Visi beda dengan ramalan, karena visi didukung perhitungan tentang risiko dan kendala secara umum. Visi tak boleh absurd. Visi lalu dikomunikasikan dengan rakyat sehingga semua akhirnya mempunyai visi yang sama.
    Untuk menghidupi visi itu diperlukan pemimpin berkarakter, bukan pemimpin reaktif yang mudah terjebak dalam isu tertentu dan hanya sibuk membangun citra demi kepentingan sesaat.
    Kita mungkin bisa belajar dari China. Ketika China berdiri pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong mengkritik Amerika Serikat sebagai kapitalis terbesar. Tapi Mao juga kagum pada AS. Ketika melancarkan program “Lompatan Jauh ke Depan” pada 1959, Mao mempunyai obsesi, 15 tahun lagi atau suatu saat China harus menjadi seperti AS.
    Visi Mao lalu diteruskan Deng Xiaoping dan hari-hari ini, semua orang tahu China sudah nyaris menyamai AS. China bukan hanya menjadi macan Asia, tetapi sudah macan di level dunia. Kemajuan China tidak lepas dari adanya pemimpin yang visioner dan kuat.
    Kritik untuk Penyeimbang
    Indonesia juga bisa setara dengan China, bila Indonesia memiliki pemimpin yang tepat dan tidak lembek. Dalam berbagai perbincangan penulis dengan banyak kalangan, rata-rata muncul pendapat senada, salah satu kelemahan terbesar Indonesia saat ini adalah kepemimpinan.
    Mantan Menteri Ekonomi Rizal Ramli pernah mengungkapkan negeri kita begitu melimpah ruah dengan sumber daya alam dan SDM hebat. Hanya satu kekurangan yang menonjol, yakni pemimpin negeri ini.
    Akhirnya tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan kritik atau kontrol. Sebab jangan lupa, untuk meraih kejayaan dan demi kebaikan bersama, kita jangan sekali-kali alergi kritik. Seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam kepemimpinannya, membutuhkan “second opinion”.
    Lagi pula kritik adalah tanda utama adanya dinamika demokrasi. Kritik hanya haram pada pemerintahan oligarki atau otoriter seperti di era Orba dulu. Media mempunyai peran penting dalam mengemban kontrol atas kehidupan berbangsa dan negara.
    Para tokoh agama atau orang-orang cerdik pandai berperan dalam memberikan kritik konstruktif. Kritik dibutuhkan agar ada keseimbangan sehingga kekuasaan tidak menjadi semena-mena atau korup, tapi demi kebaikan bersama. ●
  • A p e s

    A p e s
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 7Februari 2012
    KALAU ditanya topik paling hangat yang menjadi agenda pemberitaan berbagai media massa di Indonesia belakangan ini, jawabannya cuma satu, penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus dugaan korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games tahun 2011 di Jakabaring, Sumatera Selatan (Sumsel).
    Angelina bakal menyusul sejawatnya: Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini tengah diadili dalam kasus itu.
    Pertanyaan berikutnya adalah: apakah para pengelola media di Indonesia sudah “bersekongkol” menjadikan isu tersebut sebagai agenda mereka? Jawabannya: tidak! Hal ini saya kemukakan sebab cukup tergelitik oleh ucapan salah seorang ketua Partai Demokrat dalam sebuah wawancara radio bahwa partainya sedang “apes” karena telah diadili oleh media dalam kasus tersebut.
    Dia berharap media mengedepankan asas praduga tak bersalah pada kasus yang menimpa Angelina Sondakh.
    Sejauh ini, para editor yang waras akan menggunakan standar yang sama untuk menetapkan apakah suatu kejadian layak diberitakan atau tidak menggunakan ukuran nilai berita (news value).
    Nilai berita yang standar itu adalah prominence (keternamaan), proximity (kedekatan), magnitude (dampaknya), timely (masih panas, belum basi), uniqueness (keunikan), dan masih ada beberapa lain lagi.
    Dengan sangat yakin saya katakan kasus yang menimpa Angelina Sondakh itu memenuhi semua kriteria nilai berita sehingga pantas menjadi agenda utama selama beberapa minggu ke depan. Pertanyaan besarnya adalah: siapa lagi yang akan menyusulnya?
    Penggunaan kata “apes” seperti yang dikemukakan salah satu ketua Partai Demokrat itu paralel dengan ungkapan seorang mantan dirut bank terbesar yang kini mendekam di penjara karena kasus korupsi: orang yang tertangkap korupsi di Indonesia itu tidak lebih karena “apes” alias bernasib sial. 
    Dia berkata demikian, tidak lain karena korupsi sudah begitu meluas di Indonesia: mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari kelurahan sampai ke pusat-pusat pembuatan kebijakan nasional di Jakarta. Sampai-sampai para pelaku korupsi sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang batil dan mana yang benar. 
    Tidak heran tokoh partai itu menilai apa yang terjadi hari ini adalah “kesialan atau apes” belaka, dan tidak terlintas semangat “pertobatan” karena kader-kader muda dan para pemimpin di partainya ternyata sama saja dengan yang lainnya: bermental korupsi!
    Minimal Mundur
    Kita bayangkan bila hal yang seperti dialami Angelina Sondakh itu terjadi di Jepang atau Korea Selatan, pastilah para pemimpin partai di sana minimal minta mundur karena malu dan terhina bahwa partainya penuh dengan orang-orang yang korupsi dan mengkhianati kepercayaan rakyat. Kalau malu itu sudah tidak tertahankan dipilihlah bunuh diri. 
    Bila Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan bahwa hasil survei oleh LSI mendapati popularitas dirinya dan partainya merosot, maka hasil survei tersebut harus dipercayai.
    Sepatutnya pula diikuti dengan langkah-langkah tegas seperti memberhentikan (minimal menonaktifkan) ketua umum partai, yakni Anas Urbaningrum, atau pun para pejabat partai lainnya yang nama-namanya muncul di pengadilan, tanpa menunggu proses hukum.
    Langkah politik seperti itu diperkirakan dapat mendongkrak kembali popularitas partai karena rakyat pemilih telah tertipu. Langkah tegas seperti itu adalah bentuk pertanggungjawaban publik demi memulihkan kepercayaan konstituen dan bukti sikap konsisten pada jargon “katakan tidak pada korupsi”.
    Dalam perspektif komunikasi politik dan komunikasi krisis, saya menilai ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan oleh SBY, sebagai pemilik dan pendiri Partai Demokrat.
    Pertama, dia harus minta maaf kepada publik bahwa kader-kader partainya telah berkhianat kepada rakyat pemberi suara. Sebaiknya pernyataan itu tanpa harus menunggu proses hukum. Kedua, segera mengambil langkah pembersihan dalam tubuh partainya, dengan memotong benalu-benalu yang merugikan tersebut.
    Bahkan membantu dan memfasilitasi KPK membongkar tuntas skandal busuk tersebut. Ketiga, memastikan ke depan bahwa dia dan partainya akan tetap berusaha bersih dan mengusung topik pemberantasan korupsi.
    Bila hal itu tidak dilakukannya maka kita haruslah dengan sangat berat hati mengakui bahwa pemerintah yang bekerja hari ini adalah rezim kleptokrasi, atau suatu negeri yang diperintah oleh para maling, di mana korupsi terjadi dengan sangat leluasa di puncak-puncak kekuasaan. Tidak heran ungkapan yang keluar adalah “apes” dan bukan pertobatan. ●
  • Jalur Undangan dan Sistem Seleksi Masuk PTN

    Jalur Undangan dan Sistem Seleksi Masuk PTN
    Darmaningtyas, PENULIS BUKU KEBIJAKAN MANIPULATIF PENDIDIKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 7Februari 2012
    Ada berita aneh dari dunia pendidikan tinggi kita. Perguruan tinggi negeri (PTN) mulai mempertimbangkan penerimaan mahasiswa hanya melalui jalur undangan, tanpa ujian tertulis. Hal itu dikemukakan oleh Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia sekaligus Rektor Universitas Hasanuddin, Idrus Paturusi. Mereka ragu akan hasil ujian tertulis seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, apalagi masih ada praktek joki, nepotisme, dan menyontek (Kompas, 21 Januari 2012).
    Bagi saya, usulan ini terasa aneh sekali karena tes tertulis untuk masuk PTN itu sudah berlangsung lebih dari 30 tahun sejak masa Sekretariat Kerja Sama Antara Lima Universitas (SKALU), 1979, yang berganti menjadi Proyek Perintis (I-IV), sistem penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru), ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB), dan kemudian berganti nama lagi menjadi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang sampai sekarang hasilnya tidak pernah diragukan. Tidak pernah ada gugatan terhadap kredibilitas tes tertulis masuk PTN, tapi mengapa tiba-tiba dipersoalkan?
    Kredibilitas
    Berdasarkan pengalaman di lapangan, tes tertulis masuk PTN merupakan instrumen yang paling obyektif dan sudah terbukti kredibel selama lebih dari 30 tahun. Betul bahwa ada praktek joki, tapi itu sifatnya kasuistik, tidak sistemik, hanya terjadi di beberapa PTN dan tidak selalu ada setiap tahun. Artinya, keberadaan joki tidak dapat dijadikan argumen untuk membatalkan tes tertulis tersebut. Tidak pernah muncul kasus seseorang yang diterima di PTN melalui sistem tes tertulis digugat kemampuannya. Justru yang sering muncul gugatan terhadap sistem penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) pada masa lalu, atau istilah sekarang Jalur Undangan, karena ditengarai ada manipulasi nilai rapor oleh pihak sekolah, sampai akhirnya pernah ada sebuah sekolah menengah atas swasta di-blacklist oleh beberapa PTN terkemuka lantaran muridnya banyak yang diterima melalui jalur PMDK, tapi prestasi mereka setelah menjadi mahasiswa rendah.
    Adapun jalur undangan saat ini digugat karena ternyata yang banyak diterima adalah anak-anak golongan mampu saja, sehingga jalur undangan dicurigai sebagai mekanisme PTN untuk merekrut calon mahasiswa dari golongan mampu, bukan semata karena prestasi akademiknya. Sementara itu, untuk golongan miskin, meskipun bernilai bagus, mereka belum tentu diterima. Jalur undangan juga diskriminatif karena hanya menerima siswa dari sekolah yang sudah terakreditasi. Padahal, karena suatu hal, banyak anak pintar bersekolah di sekolah yang tidak terakreditasi, sehingga mereka kehilangan peluang untuk disaring melalui jalur undangan.
    Jalur undangan saat ini dinilai kurang transparan karena memang sulit dikontrol oleh publik, tidak ada mekanisme untuk mengontrolnya, sehingga yang tahu hanya pihak PTN yang bersangkutan dan sekolah asal calon mahasiswa tersebut. Penulis termasuk salah seorang yang menganjurkan agar kuota jalur undangan tersebut dikurangi, bukan justru dijadikan instrumen tunggal. Penulis lebih percaya pada sistem tes tertulis, karena terkontrol oleh publik, minimal oleh para peserta yang begitu banyak. Umumnya peserta tes tertulis dapat menakar dirinya sendiri apakah akan diterima atau tidak berdasarkan pengalaman mengerjakan soal tes masuk PTN. Takaran mereka itulah yang dapat disebut sebagai kontrol dari masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah muncul protes dari masyarakat yang tidak diterima di PTN terhadap mereka yang diterima. Itu membuktikan bahwa sistem seleksi tertulis secara bersama selama ini, selain kredibel, transparan, karena memang selalu diumumkan melalui media massa.
    Bagi penulis, suatu kebijakan publik yang sudah terbukti kredibel dan transparan tidak perlu dipersoalkan lagi.Yang dibutuhkan hanyalah perbaikan, seperti menghilangkan joki sama sekali atau menaikkan tingkat kesulitan soal untuk mendapatkan bibit yang lebih baik. Tapi konsep tes tertulis bersamanya tidak perlu dipersoalkan lagi.
    Gagasan menghapuskan ujian tertulis masuk PTN bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Bunyi pasal 53B: (1) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah wajib menjaring peserta didik baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap program studi pada program pendidikan sarjana. Ayat 2: Pola penerimaan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak termasuk penerimaan mahasiswa melalui penelusuran minat dan kemampuan atau bentuk lain yang sejenis.
    Amanat Pasal 53B PP Nomor 66 Tahun 2010 itu jelas mengacu pada ujian tertulis secara serentak bagi seluruh PTN, atau sekarang dikenal dengan nama SNMPTN. Ironis sekali bila tidak ada preseden buruk apa pun, tiba-tiba semangat bagi semua warga itu akan ditutup begitu saja melalu penghapusan ujian tertulis secara bersama-sama dan digantikan dengan jalur undangan.
    Akses Masyarakat
    Usulan sejumlah pemimpin PTN menghapuskan SNMPTN itu tidak lepas dari perjuangan Menteri Pendidikan (sejak Bambang Sudibyo) yang menghendaki adanya integrasi ujian nasional (UN) dengan seleksi masuk PTN. Usulan itu pernah disampaikan kepada publik tapi ditolak oleh para pemimpin PTN terkemuka, karena mereka ragu akan kredibilitas UN. Di sisi lain, persoalan fungsi UN digugat terus oleh masyarakat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh ingin mengakhiri polemik dengan mengintegrasikan hasil UN sebagai salah satu alat kontrol bagi mereka yang terjaring di PTN melalui jalur undangan.
    Namun dibutuhkan kehati-hatian untuk mengambil keputusan tersebut mengingat ini menyangkut nasib generasi mendatang. Jika yang menjadi persoalan utama adalah status UN yang belum jelas, UN itu yang perlu diselesaikan secara internal. Bila UN dirasakan disfungsi, pemerintah tidak perlu ragu menghapuskannya dan tidak perlu memaksakan diri agar UN diintegrasikan sebagai instrumen seleksi masuk PTN.
    Penilaian bahwa prestasi mahasiswa yang terjaring lewat sistem ujian tertulis lebih jelek daripada yang terjaring melalui jalur undangan adalah hal yang logis, tidak aneh, dan tidak mengejutkan. Sebab, mereka yang terjaring melalui jalur undangan itu anak-anak pintar yang sudah terpilih. Selain itu, mereka didukung oleh fasilitas belajar dan gizi yang memadai. Adapun yang terseleksi melalui ujian tertulis adalah yang tidak lolos seleksi jalur undangan. Jadi wajar bila prestasi akademik mereka lebih jelek. Justru tidak rasional bila mengharapkan mereka memiliki prestasi akademik yang lebih bagus daripada yang terjaring melalui jalur undangan.
    Membandingkan prestasi akademik antara jalur undangan dan SNMPTN tidak apple to apple. Jalur undangan itu untuk mendapatkan calon-calon mahasiswa yang pintar, sedangkan SNMPTN membuka akses yang lebih luas. Dengan latar belakang yang berbeda, tidak bisa diharapkan hasil yang sama. Meski demikian, dalam bermasyarakat, mereka yang terjaring melalui SNMPTN belum tentu lebih jelek.
    Tujuan pemerintah memperluas kuota calon mahasiswa baru yang terjaring lewat tes tertulis mencapai 60 persen adalah dalam rangka memperluas akses bagi golongan miskin, terutama di perguruan tinggi badan hukum milik pemerintah. Kebijakan tersebut mendapat apresiasi positif dari publik. Jadi jangan dimentahkan lagi dengan gagasan penghapusan SNMPTN dan menggantinya dengan jalur undangan saja. Seleksi calon mahasiswa baru dengan menggunakan instrumen tunggal, jalur undangan saja, sama halnya menutup akses golongan miskin lagi masuk PTN. ●
  • Sepatu dan Politik Identitas

    Sepatu dan Politik Identitas
    Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
    Sumber : KORAN TEMPO, 7Februari 2012
    Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menenteng sepasang sepatu kets. Peristiwa itu terjadi setelah mengikuti rapat kabinet di Kemayoran (19 Januari 2012). Menteri itu tampak lelah. Dahlan Iskan mengucap, “Capek aku pakai sepatu.“ Kalimat itu diucapkan dengan wajah semringah tapi mengandung identitas dan adab politik seorang pejabat di mata publik. Sepatu justru dipilih oleh Dahlan Iskan untuk mengungkapkan kebersahajaan dalam melakoni politik.
    Sepatu juga mengisahkan protes politik dan ketakutan. Kita bisa menengok ke Australia. Julia Gillard selaku Perdana Menteri Australia kehilangan satu sepatu saat berlari demi menyelamatkan diri dari kepungan para demonstran di Canberra (26 Januari 2012). Para demonstran itu mengumandangkan hak-hak suku Aborigin. Julia Gillard lekas berlari bersama para pengawal, tapi sepatu sebelah kanannya terlepas. Sepatu itu ditemukan seorang demonstran sebagai simbol “kemenangan“atas aksi protes politik.
    Politik modern memang bisa “ditamsilkan“dengan sepatu. Kisah sepatu ala Dahlan Iskan itu merepresentasikan adab politik kebersahajaan. Kisah sepatu ala Julia Gillard adalah efek protes politik. Dua kisah ini bisa digenapi dengan kisah sepatu ala Gus Dur. Sosok humoris ini saat Orde Baru kerap membuat ulah kontroversial. Gus Dur cuma mau mengenakan sepatu jika sedang meladeni Soeharto selaku Presiden RI. Gus Dur tampak mau mengenakan sepatu sebagai laku etik-politik saat Muktamar Nahdlatul Ulama pada 1984 dan 1989. Gus Dur tak betah memakai sepatu. Memori sepatu ala Gus Dur itu adalah sajian identitas: santri di hadapan negara. Santri identik dengan sandal jepit dan negara tampil dengan sepatu.
    Identitas
    Sejarah identitas kita bergerak melalui sepatu. Pilihan bentuk, ukuran, dan warna sepatu memberi asupan atas permainan identitas mengacu pada orientasi kepribumian, Barat, atau keislaman. Sepatu mengandung serpihan-serpihan ideologis, menerakan biografi kaum pribumi meladeni modernisasi, dan merepresentasikan ikhtiar kenecisan dalam pergelaran politik-kultural.
    Berita-berita di koran, novel, drama, dan iklan merekam penghadiran sepatu dalam arus pembaratan. Sepatu menjelma imajinasi kemodernan, jagat semiotik untuk diskursus politik-kultural, memicu curiga atas tendensi-tendensi agama dan etnis. Sejarah kultural, geliat identitas, satire politik, dan kekisruhan ideologis mengalir dalam sepatu. Kisah sepatu mengantarkan kita untuk meriwayatkan transformasi sosial-politikkultural pada masa kolonialisme, mengingatkan kita pada kegenitan mengkonstruksi identitas sebagai kaum terjajah.
    Dokumentasi kisah sepatu bisa disimak dalam petikan tulisan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak (Nomor 1, Tahun 1914). Satire sepatu tampil sebagai aksentuasi ulah kepribumian me nafsirkan identitas diri di hadapan kuasa kolonialisme: “Ada seorang regent poenja penjakit nratap (hart-klopping?), sebab melihat seorang bangsanja (Djawa) memakai sepatoe jang berboenji: kijet-kijet.“Pengenaan sepatu oleh seorang Jawa dan efek bunyi itu menimbulkan kesan penolakan oleh aparat dalam arogansi kolonialistik.
    Kontras peradaban ditampilkan dengan asumsi bahwa pribumi tak pantas menampilkan diri ala Eropa. Sepatu adalah simbol khas bangsa penjajah. Jadi kaum pribumi di negeri terperintah tabu atau haram saat mengidentifikasi, meniru, dan mendandani diri ala si tuan penjajah. Pengenalan sepatu di Hindia Belanda mengandung maksud agen pemberi identitas-superioritas, simbol modernitas, dan legitimasi kultural-rasialistik. Kondisi ini menyulut dilema saat pemerintah kolonial mengagendakan modernisasi bagi pribumi melalui pendidikan dan praksis sosial-kultural.
    Sepatu pun dijadikan menu untuk pembentukan etik-politis dengan saluran elite keraton, kaum elite terpelajar, pengusaha, dan pegawai pribumi di jajaran pemerintahan kolonial. Sepatu mengejawantahkan kolonialisme dan modernitas, menggerakkan prosedurprosedur afirmasi identitas, serta mengusung diskursus politis dan kapitalis. Henk Schulte Nordholt (2005) memberi tamsil puitis: “Modernitas tidak singgah dalam sejarah Indonesia dengan bertelanjang kaki. Modernitas mengenakan sepatu.“Tamsil ini menyengat kesadaran kita akan arus sejarah resmi dalam dominasi politik dan ekonomi.
    Jejak
    Kultur kaki telanjang bagi pribumi berlangsung sekian abad. Thomas Stamford Raffles merekam hikayat ketelanjangan kaki itu dalam gambar dan foto di History of Java (1817). Pengenalan sepatu di Jawa pada abad XIX dan XX menimbulkan instabilitas identitas-kultural. Sejarah telanjang kaki mengalami godaan, pemaknaan rentan berubah, dan adonan identitas berlangsung melalui negasi-afirmasi. Hikayat sepatu mengubah persepsi atas Barat, mengoreksi kekakuan identitas, dan meleburkan diri pribumi dalam selebrasi modernitas dengan sentuhan-sentuhan lokalitas.
    Telanjang kaki tidak mengandaikan inferioritas peradaban, keterbelakangan kultural, dan kesepelean etika sosial-politik. Ketelanjangan kaki orang Jawa justru mengentalkan anutan kosmologis. Kaki telanjang representasi intimitas dengan tanah, etik-ekologis, spiritualitas, dan adab. Makna ini diintervensi oleh kuasa kolonial melalui produksi wacana modern dan praktekpraktek persuasif. Sepatu diajukan seolah untuk pemartabatan kaum elite pribumi, pengentasan dari kegelapan peradaban, dan politisasi identitas.
    Sepatu meninggalkan jejak-jejak politis, identitas, kelas sosial, iman, dan gaya hidup. Kuasa hikayat sepatu ini disikapi dengan kebersahajaan ala Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran dari Yogyakarta ini malah mengembalikan diri dalam pergumulan identitas lokal melalui pakaian dan ketelanjangan kaki. Ki Ageng Suryomentaram menanggalkan model hidup elite karena pertimbangan politik, kultural, iman, dan identitas.
    Pilihan menjadi petani di desa adalah kontroversi atas konstruksi identitas dalam kuasa kolonial. Ki Ageng Suryomentaram pun identik dengan kostum celana pendek hitam, selendang batik yang dikalungkan di leher, dan kaki tanpa sandal atau sepatu. Prosedur ini dilakoni dan dipahami demi mengenali lagi diri manusia. Penampilan ganjil pada masa modern itu tak berubah saat Ki Ageng Suryomentaram memenuhi undangan Sukarno ke Istana Merdeka (1957) untuk memberi wejangan-wejangan hidup. Hikayat sepatu seolah tamat dalam sosok manusia bersahaja asal Yogyakarta.
    Sepatu pun mengisahkan kita dan Indonesia dalam pergumulan politik dan identitas. Sepatu melampaui urusan kaki. Kita mafhum sepatu mengalami olahan makna untuk menguak kesejarahan dan nasib manusia. Sepatu meninggalkan jejak dan menggerakkan kita ke dunia bergelimang kisah. ●
  • Komitmen Bangun Pasar

    Komitmen Bangun Pasar
    Ihwan Sudrajat, KEPALA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TENGAH
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7Februari 2012
    KALAU pasar tradisional seperti ini, kita tidak memerlukan lagi supermarket atau pun minimarket,” kata Menperdag Gita Wiryawan (SM, 20/01/12) saat meresmikan pengoperasian kembali Pasar Cokrokembang, pasar desa yang terletak di Desa Daleman Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten, yang dibangun atas prakarsa Bibit Waluyo, Gubernur Jateng, yang kebetulan lahir di desa tersebut. Pasar desa yang dibangun tahun 1947, kini menjelma menjadi pasar tradisional modern, dengan zonasi produk layaknya supermarket dan lorong antarlos yang lebar dan nyaman sehingga membuat betah pembeli.

    Pasar yang semula hanya buka tiap Pon dan Legi, kini buka tiap hari dengan penataan produk yang tertib dan kebersihan terjaga. Sebuah perpindahan budaya yang sangat lancar, hampir tidak ada konflik dan para pedagang menyesuaikan diri dengan budaya baru yang selama ini tidak pernah mereka jamah. Budaya yang membuat pedagang dan pembeli lebih nyaman, lebih aman, dan lebih tertib, layaknya pergi ke pasar seperti berwisata.

    Proses pembangunan Pasar Cokrokembang berjalan sesuai dengan rencana, hampir tidak ada konflik sejak rencana itu dicanangkan sendiri oleh Pak Bibit , dari perpindahan pedagang ke pasar darurat, sampai pedagang menempati lagi pasarnya dengan kondisi fisik yang lebih representatif. Kehadiran Gubernur di tiap proses pembangunan sangat membantu terwujudnya rencana dengan tepat. Figur kepala daerah sepertinya menjadi kata kunci dari keberhasilan pembangunan dan peningkatan transaksi pasar tradisional.

    Saat ini banyak pihak yang memprihatinkan kondisi pasar tradisional, yang mulai ditinggalkan pembeli. Beberapa pasar tradisional yang saya pantau langsung tiap hari, menunjukkan volume transaksi yang makin menurun. Indikasinya bisa dilihat dari jumlah barang yang distok pedagang, periode transaksi yang lebih cepat dari biasanya dan hari pasaran yang tidak seramai biasanya.

    Kondisi fisik pasar yang umumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun, tanpa ada biaya pemeliharaan memadai dari pemkab/ pemkot, menjadi penyebab utama makin kurangnya pembeli datang ke pasar. Dari lebih dari 1.000 pasar tradisional di Jateng, hampir 80% dalam kondisi ”mengenaskan”. Bahkan banyak pasar yang terbakar, tidak sempat lagi dibangun oleh pemerintah. Saya seringkali sedih melihat pasar-pasar yang atapnya sudah tidak simetris dengan konstruksinya. Sedih karena saya yakin, kondisi itu akan dibiarkan seperti itu oleh pemkab/ pemkot dalam waktu lama. Kadang ada guyonan dari pedagang kalau mau cepat dibangun, pasarnya harus kebakaran dulu. Kenyataannya sudah terbakar pun belum jaminan dibangun kembali secepatnya oleh pemerintah.

    Fasilitas Publik

    Tidak ada pemerintah yang akan menelantarkan rakyatnya, termasuk menelantarkan pasar tradisionalnya untuk digerus oleh supermarket dan minimarket. Sayang, banyak wakil rakyat dan pejabat lebih sering masuk ke supermarket dibandingkan ke pasar rakyat sehingga mereka tidak merasakan kesusahan pasar tradisional bersaing dengan super/minimarket. Akibatnya, potret yang selalu diimaginasikan saat membangun pasar rakyat adalah sebuah pasar yang megah yang memerlukan anggaran besar untuk mewujudkannya.

    Karenanya, cara yang paling tepat pastilah mengundang investor untuk membiayai pembangunan pasar tersebut karena jika anggaran disediakan APBN atau APBD, atau dua-duanya, waktu penyelesaiannya pun jadi lebih dari satu tahun anggaran. Namun tanpa disadari, keputusan mengundang investor justru menjadi penyebab terhambatnya pembangunan kembali pasar.

    Konflik investor dan pedagang tidak terhindarkan, tawaran investor jauh di atas kemampuan pedagang. Bahkan tidak sedikit investor yang mengatur strategi menempatkan pedagang lama di tempat yang kurang strategis karena hanya membayar lebih murah, dan sebaliknya pedagang baru ditempatkan di lokasi strategis karena berani membeli lokasi dengan harga seperti ditawarkan investor.

    Tarik-menarik tersebut yang akhirnya membuat pasar yang sudah terbakar atau rusak tidak bisa dibangun sesuai mimpi-mimpi pedagang dan pemda setempat. Pemkab/ pemkot yang sudah terikat kontrak dengan investor sangat berhati-hati bila memutus kontrak dengan pihak ketiga karena konsekuensinya juga berat. Di sisi lain, mereka pun tidak tegas mengambil sikap untuk menyelesaikan konflik tersebut yang mengakibatkan status pembangunan kembali pasar tradisional yang sudah disusun dengan tahapan-tahapan pasti, menjadi mengambang, tidak jelas solusinya. Pedagang tetap menunggu, sementara pemerintah menjadi peragu.

    Pasar tradisional adalah aset pemkab/ pemkot, merupakan ruang publik tempat masyarakat berkumpul, bertransaksi memenuhi kebutuhannya sekaligus lapangan kerja yang sangat besar. Karenanya, tanggung jawab membangun kembali pasar terletak di tangan pemilik pasar, yaitu pemkab/ pemkot. Namun, tanggung jawab tersebut seringkali tidak mampu diatasi sendirian, perlu bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi. Tiap tahun anggaran, Kementerian Perdagangan selalu mengalokasikan anggaran tugas berbantuan (TP) untuk revitalisasi pasar tradisional. Tahun 2011, dialokasikan Rp 650 miliar, namun tahun ini menyusut tinggal Rp 400 miliar.

    Angka tersebut jauh dari kebutuhan, mungkin hanya mampu memenuhi tidak lebih dari 25% usulan pemda kepada Kementrian Perdagangan. Oleh karenanya, banyak daerah mengharapkan agar Menperdag yang baru, yang masih muda dan energik, bisa melakukan terobosan dengan meningkatkan alokasi untuk pembiayaan pasar tradisional menjadi lebih dari Rp 2 triliun per tahun anggaran. Saat saya usulkan hal tersebut, dengan mantap Menteri Gita Wirjawan menyatakan persetujuannya akan pentingnya alokasi anggaran yang lebih besar dan lebih signifikan.

    Komitmen Besar

    Seperti saya kemukakan, figur kepala daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan dan pengoperasian pasar yang akan berujung pada peningkatan transaksi. Langkah dan sikap tegas kepala daerah, yang peduli dengan rakyatnya, dan memahami benar arti mendayagunakan aset daerah untuk pembiayaan daerah, tentu akan berpikir lebih panjang untuk menyerahkan pembangunan atau revitalisasi pasar tradisional ke investor, kecuali memang siap berada di pusaran konflik.

    Apa yang disampaikan Bibit Waluyo saat membangun Pasar Cokrokembang sangat menarik, yakni  pasar itu milik rakyat jadi harus dibangun dengan uang pemerintah, diserahkan kembali kepada rakyat (pedagang) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukannya pedagang disuruh membeli dengan harga mahal. Pernyataannya itu yang menjadi kunci menghindari konflik dan mewujudkan pembangunan pasar yang damai.

    Saya percaya bahwa kepala-kepala daerah sekarang, mempunyai komitmen sangat besar untuk merevitalisasi pasar dengan dorongan anggaran pembangunannya. Mereka memahami bahwa pasar tradisional adalah ruang publik yang menjadi tanggung jawabnya. Komitmen ini sudah ditunjukkan oleh Wali Kota Semarang Soemarmo yang akan membangun Pasar Bulu dan pasar-pasar lainnya, serta Wali Kota Magelang, yang mendapat warisan dari wali kota sebelumnya, untuk membangun kembali Pasar Rejowinangun. Semoga hal itu diikuti oleh kepala daerah lainnya sehingga belanja ke pasar tradisional, rasanya seperti ke supermarket, tidak hanya belanja tetapi juga bisa cuci mata.

  • Teori Makan Bubur Panas

    Teori Makan Bubur Panas
    Herie Purwanto, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEKALONGAN (UNIKAL)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7Februari 2012
    “Kini bila benar tidak ada perpecahan, mestinya tidak sulit bagi KPK membuka tabir kasus suap wisma atlet “
    PENETAPAN Wasekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh sebagai tersangka dalam kasus suap wisma atlet SEA Games oleh KPK disebut-sebut bakal menjadi pintu masuk bagi tersangka lain. Penetapan yang disampaikan langsung Ketua KPK Abraham Samad Jumat pekan lalu, meski oleh sementara pihak dianggap bentuk keberanian komisi itu, pegiat antikorupsi menganggap hal tersebut sudah semestinya dilakukan sejak awal tertangkapanya mantan bendahara umum partai tersebut.
    Kesaksian dalam BAP Nazaruddin dan juga keterangan beberapa saksi di bawah sumpah di depan persidangan, menurut KUHAP sudah bisa dikategorikan sebagai salah satu alat bukti sah. Keterangan itu baik kesaksian Nazaruddin (sejak Desember 2011), Mindo Rosalina Manullang (Januari 2012), Yulianis (Januari 2011), maupun Luthfi (Januari 2011). Keterangan para saksi, jelas-jelas menyebut nama Angie, I Wayan Koster, dan beberapa nama petinggi Demokrat (SM, 04/02/12). Nama-nama itulah menurut pegiat antikorupsi, sudah selayaknya ditetapkan sebagai tersangka.
    Apa yang terjadi di KPK sehingga untuk penetapan nama-nama yang disebutkan berulang-ulang dalam persidangan Nazaruddin terkesan berlarut-larut? Sampai ada pihak meniupkan isu ada perpecahan antarpimpinan KPK? Abraham Samad menepisnya dengan mengatakan hal itu perbedaan pendapat dan tiap keputusan yang diambil merupakan keputusan kolektif kolegial.
    Kini, bila benar tidak ada perpecahan, mestinya tak sulit bagi KPK membuka tabir kasus suap wisma atlet. Ataukah KPK tengah menerapkan teori makan bubur panas, artinya pelan tapi pasti, berawal dari penetapan Angie, nantinya menyusul tersangka lain, dan akhirnya bisa menetapkan big fish-nya. 
    Dalam teori pembuktian, acapkali penyidik bersilangan dengan pendapat umum. Secara teori dan logika hukum, seringkali sebuah tindak pidana disebut telah terang-benderang, tersangka sudah di depan mata, namun fakta hukumnya penyidik sulit menemukan dua alat bukti, sebagai salah satu syarat minimal menetapkan seseorang sebagai tersangka.
    Bukti Keseriusan
    Logika inilah yang juga dihadapi Mabes Polri dalam kasus dugaan surat putusan palsu MK. Publik begitu yakin, beropini, bahkan berapriori, mengapa Andi Nurpati tak juga ditetapkan sebagai tersangka. Kapolri Jenderal Timur Pradopo menjelaskan kendala utama menetapkan Nurpati, meskipun telah melalui beberapa kali gelar perkara, belum juga menemukan alat bukti yang bisa menjeratnya sebagai tersangka. Mungkinkah ada upaya membuat kabur perkara?
    Bila benar telah dilakukan gelar perkara, mustahil sebuah perkara akan dikaburkan. Mengapa? Dalam gelar perkara, penyidik membedah secara detail langkah-langkah atau legal action yang telah dilakukan. Peserta gelar tidak hanya dari penyidik, namun juga melibatkan ahli, pengawas penyidik, sampai jaksa penuntut umum. Keterlibatan pihak-pihak di luar penyidik inilah yang bisa menjadi garansi sebuah perkara dibedah secara transparan atau tidak.
    Dengan gambaran seperti ini, logis bila penulis berpendapat KPK saat ini menerapkan teori pembuktian ala makan bubur panas. Komisi itu tidak langsung menyentuh bagian tengah bubur yang jelas-jelas masih panas tetapi memakannya dari pinggir hingga akhirnya ke bagian tengah yang nantinya sudah tidak lagi panas. Targetnya, memakan semua bubur itu.
    Menjadikan Angie sebagai tersangka, menunjukkan KPK serius menangani kasus ini. Lebih-lebih sudah ada jaring-jaring yang ditebar KPK untuk menetapkan tersangka lainnya yang ditunjukkan dengan permintaan ke Kemenkumham mencegah Wayan Koster pergi ke luar negeri. Kunci dari penetapan nama-nama tersangka baru, selain KPK harus steril dari kepentingan politik, perlu alat bukti sah yang tidak bisa dielakkan oleh mereka, meskipun di media sekarang ini mereka berkesan sebagai pihak tidak bersalah. ●