Author: Adul
-
Menata Ulang Struktur Sosial Lewat Reforma Agraria
Menata Ulang Struktur SosialLewat Reforma AgrariaKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA,ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)Sumber : KORAN TEMPO, 8Februari 2012Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, serta simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa ada prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain itu, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) menjadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Land reform menjadi bagian penting untuk menata struktur politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.Indonesia memulai land reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat itu adalah menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok—menjadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 disahkan bersamaan dengan lahirnya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Sayang, land reform yang menurut Bung Karno merupakan “bagian mutlak revolusi” ternoda oleh konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok “kiri”pendukung land reform bersitegang dengan kelompok “kanan”penolak land reform. Stabilitas politik terguncang. Land reform era Bung Karno terhenti seiring dengan pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan land reform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform dimusuhi dan diberangus. Bahkan para penganjurnya dicap “kiri”.Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif. Ketiga, peraturan yang terkait dengan agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak kepada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.Dampaknya, tumpang-tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas. Hutan produktif, hutan lindung, dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan. Akibatnya, lahan terdegradasi, ekosistem rusak dan keanekaragaman hayati merosot, pencemaran dan dampak lingkungan meningkat, serta pelanggaran HAM dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya adalah kemiskinan mayoritas rakyat.Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji akan membagikan 8,15 juta hektare lahan kepada rakyat. Secara ekonomi, land reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur—yang dikenal dengan reforma agraria—akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waterloos dan Rutherford, 2004). Reforma agraria akan bisa mengeliminasi soal-soal struktural, baik pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria pada segelintir orang, tingginya sengketa dan konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, serta lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar warga.Lima tahun berlalu, janji itu tak pernah ditunaikan. Struktur sosial-ekonomi tetap timpang. Ini bisa dilihat dari ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri ini amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Konsentrasi aset itu 62-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tunatanah (tak berlahan). Di sisi lain, 7,2 juta hektare tanah yang dikuasai swasta ditelantarkan.Unjuk rasa sejumlah komponen yang menuntut pemulihan hak rakyat atas SDA, terutama lahan (Koran Tempo, 13 Januari 2012), bisa dimaknai sebagai usaha menagih janji Presiden Yudhoyono. Sebab, tanpa menunaikan reforma agraria, struktur sosial-ekonomi tetap timpang, dan Indonesia akan terus tersandera berbagai masalah struktural, salah satunya konflik agraria yang kian masif. Menurut Komisi Nasional HAM, sepanjang 2011 kasus sengketa lahan merupakan pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lainnya, yang mencapai 603 kasus. Menurut Badan Pertanahan Negara (2007), ada 2.810 kasus tanah besar yang berbuah konflik dan merugikan negara-warga. Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008). Beranikah Yudhoyono menata ulang struktur sosial-ekonomi lewat reforma agraria? ● -
Peran Tionghoa dalam Keislaman
Peran Tionghoa dalam KeislamanAchmad Fauzi, AKTIVIS MULTIKULTURALISME;ALUMNUS UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA, YOGYAKARTASumber : KORAN TEMPO, 8Februari 2012Kajian sejarah kontribusi Tionghoa dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa sesungguhnya perlu digugat. Setiap membincangkan teori islamisasi selalu dikaitkan dengan Timur Tengah/Arab, India, Persia, ataupun Gujarat. Hampir dipastikan tidak ada sejarawan yang menulis secara eksplisit bahwa islamisasi berasal dari Tionghoa. Padahal derajat kesahihan Islam tidak akan berkurang manakala ada peran orang-orang Tionghoa di dalamnya. Di sini orang tidak sadar bahwa sesungguhnya keislaman Tionghoa jauh lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang Tionghoa telah mengenal Islam pada saat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik (Soemanto al-Qurtuby, 2005).Sejak awal perkembangan Islam di tanah Jawa, muslim Tionghoa memang sudah eksis. Hal ini tidak hanya dibuktikan oleh kesaksian para pengembara seperti Marco Polo ataupun sumber teks-teks lokal Jawa, tapi juga peninggalan purbakala seperti konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik. Walisongo adalah keturunan Tionghoa. Novel Arus Balik (2001) gubahan Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa Sunan Kalijaga adalah putra keturunan Tionghoa yang bernama asli Gan Si Cang, hasil perkawinan antara putra Raja Majapahit, Brawijaya, dan seorang Tionghoa muslimah bernama Retna Subanci.Namun, pada saat Retna hamil tua, tanpa alasan yang jelas Brawijaya menyerahkan istrinya kepada Adipati Tuban, sehingga lahirlah putra bernama Jaka Seca, yang kelak menjadi Raden Sahid atau Sunan Kalijaga. Sunan Ampel juga bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Giri berasal dari keturunan Shih Chin Ching, dan Sunan Bonang bernama asli Bo Bing Nang. Bahkan almarhum Gus Dur berkali-kali mengaku bahwa dia adalah keturunan Tan Kim Han, yang pernah memimpin laskar Demak saat melawan Majapahit bersama Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus).Hubungan baik Jawa-Cina sebenarnya sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan tersebut terus berlangsung saat Cina dikuasai oleh Dinasti Ming (1368-1644 M) sebagai rezim yang menghargai betul eksistensi komunitas muslim di Cina. Ekspedisi tokoh legendaris Cheng Ho, yang dikenal saleh dan toleran dalam beragama, dengan melibatkan ribuan muslim Cina serta beberapa elite ekspedisi, seperti Hasan, Wang Ching Hung, Kung Wu Ping, dan Ma Huan, merupakan peristiwa fenomenal pada masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming (Budiman, 1978). Ekspedisi itu berawal pada abad ke-15 dan setiap misi muhibahnya selalu menorehkan sejarah yang mengagumkan.Dari seluruh ekspedisi Cheng Ho, jika ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya tidak hanya membawa misi ekonomi dan politik, tapi juga menyertakan di belakangnya tugas dakwah yang begitu mulia, islamisasi. Jejak historis dari ekspedisi Cheng Ho ini diakui telah menaburkan benih-benih ajaran Islam penuh kelembutan, yang di dalamnya menyeruak aroma toleransi dan penghormatan terhadap budaya-budaya lokal.Ajaran Islam yang tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), dan tasyawur (dialog) tersebut kemudian dimonumenkan oleh Walisongo pada saat membangun Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir yang ditulis pada 1849 memaparkan bahwa proyek pembangunan Masjid Demak menunjukkan berbagai pernik alegori yang penuh makna. Bangunan suci itu digarap tanpa terlebih dulu ditentukan arah kiblatnya.Baru setelah rampung, delapan wali yang terlibat dalam arsitektur masjid tertua di Pulau Jawa itu terperangkap dalam perdebatan sengit. Namun wali kesembilan, Sunan Kalijaga, berhasil memecahkan pokok perdebatan itu. Wali yang menurut karya sastra Jawa dianggap sebagai wakil “warna lokal“dalam Islam itu bertafakur sejenak. Kemudian tangan kanannya “menjangkau“ Ka’bah di Mekah dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditarik keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, dan bertaut: “Payok Ka’bah lawan sirah, gada masjid Dèn-nyataken sawujud, Cèples kenceng datan mènggok.“Nancy K. Florida da lam karya monumentalnya, Writing the Past, Inscribing the Future (2003), sebagai telaah atas puisi Jawa, Babad Jaka Tingkir, menyebut langkah Sunan Kalijaga itu sebagai upaya mempertautkan Islam universal (Ka’bah) dengan Islam partikular (Demak). Sebuah upaya menegosiasikan universalitas Islam yang diturunkan di Arab dengan lokalitas Islam di Indonesia tanpa berseberangan.Sungguh peran muslim Tionghoa dalam proses islamisasi sangat besar. Namun, sayangnya, sejarah berusaha menggilas peran besar itu lewat kekuatan dua mesin raksasanya: politik segregasi kolonial dan ideologi “otentisitas Islam”. Sejak terjadi peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Jakarta pada 1740, yang menelan korban ribuan orang, mereka mulai tersisih dan terisolasi dari jangkauan publik. Mereka dikejar, disekap, dan dikerangkeng layaknya buron dalam sebuah tempat bernama Pecinan. Realitas politik yang memilukan itu semakin diperparah oleh menetasnya ideologi otentisisme pada abad ke-20, yang mengklaim Islam murni hanyalah yang datang dari Arab. Adapun keislaman yang berasal dari luar Arab (termasuk Cina) dianggap palsu. Maka setiap perbincangan seputar teori islamisasi di Pulau Jawa selalu dikaitkan dengan Arab.Penghapusan peran Tionghoa dalam islamisasi sepertinya sudah ditebak oleh “sejarah” Sunan Kalijaga ketika membuat tiang Masjid Demak. Tiang itu bukan terbuat dari batu, bata, ataupun balok, melainkan dari tatal atau lapis kayu mengeriting yang dibuang pada saat permukaan papan diratakan dengan ketam. Ini menggambarkan bahwa Islam dibangun bukan oleh pokok kekuasaan yang kukuh dan sewenang-wenang, melainkan oleh mereka yang terbuang, tersisih, terpinggirkan, dan terlupakan jasa-jasanya. ● -
Demokrasi Sandera Kaum Muda
Demokrasi Sandera Kaum MudaZaedi Basiturrozak, KETUA DPP IMM; MAHASISWA PASCASARJANAUNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTASumber : REPUBLIKA, 8Februari 2012Politik memang sangat ampuh kalau ditempuh dengan cara demokrasi. Namun, demokrasi bi asanya akan memancing perlawanan dalam wacana negara dan kekuasaan. Situasi ini terlihat jelas dalam partai politik yang terus-menerus mengeluarkan staminanya ketika mengambil sikap dalam merespons isu-isu krusial yang pada dasarnya relatif kolaboratif.Dalam konteks ini, praktik demokrasi dan politik yang cenderung kolaboratif secara konstan belakangan ini nyaris tidak berubah. Kendati aromanya tetap (untuk mendapatkan kekuasaan), namun gagal mengakomodasi kaum muda, bahkan sebaliknya memperlemah kapasitas kaum muda lewat manipulasi politikakrobatik. Penetrasi politik terhadap kaum muda dalam iklim demokrasi justru menampilkan konflik yang melahirkan reproduksi kelas yang berkuasa.Sistem hukum yang lemah turut mewarnai gambaran pemuda hari ini yang terisolasi dan secara tidak langsung mereduksi perannya sehingga terpinggirkan di balik sirkuit-sirkuit kontrol sosial. Tidak mengherankan jika pemuda sebagai simbol komitmen jangka panjang hanya dipandang sebagai pelengkap ketimbang aset masa depan yang harus dilestarikan.Pandangan Dalam CerminMelihat “politikus muda yang terjerat korupsi“ kepala berita di media massa belakangan ini mendorong pemahaman kita untuk merevitalisasi makna tentang siapa sesungguhnya pemuda. Apakah pemuda yang selama ini kita artikan secara konvensional atau pemuda yang kita definisikan berdasarkan konteks sosial saat ini agar ada pernyataan tegas pemuda sebagai agen perubahan.Misalnya, agen perubahan yang bertindak menebarkan energi positif di tengah perbedaan antarkeyakinan di tengah masyara kat sebagaimana dicita-citakan oleh pemuda lintas agama dalam puncak perayaaan Interfaith Religious Council Indonesia. Atau, pemuda yang dipersepsikan Henry Giroux (2009) dalam bukunya Youth in A Suspect Society sebagai mercusuar harapan melalui solidaritas sosial yang memiliki kesempatan menjadi agen perubahan demokrasi modern yang berada dalam jangkauan neoliberalisme.Pengertian pemuda yang diberikan Giroux pada dasarnya ingin menawarkan pasar ide bahwa pemuda dalam konteks pendidikan politik di tengah struktur dominasi dan penindasan melahirkan konsep power pemuda. Fungsinya me lengkapi wacana budaya dan politik tandingan dengan meletak kan ide dasar perubahan yang ter kait nilai-nilai sosial. Jika ini pe sannya, memungkinkan terbu kanya peluang memahami kontur periode sejarah baru di mana perang sedang gencar dilancarkan terhadap kaum muda.Oleh sebab itu, pandangan da lam cermin (daily mirror) dapat di jadikan referensi untuk memutuskan dampak dramatis dari pot ret pemuda memang pantas ditempatkan dalam surat kabar yang mengedepankan sisi keseimbangan dan politik di sisi lain. Hal ini dapat dijadikan cermin sosial jika reproduksi makna pemuda ingin segera diredefinisi di saat demokrasi telah menyandera peran pemuda melalui kekuatan sistem politik sebuah negara.Dalam kacamata studi budaya dan komunikasi, pada level teknis pemberitaan tentang kaum muda yang berafiliasi dengan partai politik betul-betul membuat gambar tersebut lebih mudah untuk ditaf sirkan secara cepat dan istimewa. Akhirnya, pembaca, pendengar, serta realitas saling berkomunikasi yang mengonstruksi pandangan kita tentang realitas dan dunia (Carey dalam John Fiske, 2007).Dengan kata lain, eksisensi kaum muda yang berada bersama dunia dan realitas amat memengaruhi peran, posisi, dan konteksnya. Adapun, relevansinya dengan wacana politik dan demokrasi gagasan tentang kaum muda di ruang publik memiliki efek buram ketika berhubungan dengan politik dan kekuasaan.Dengan demikian, potret kaum muda tersebut menunjukkan medium yang vital guna memaknai yang tidak bisa dimaknai dan memersepsikan kelemahannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.Tentu saja, ini berarti diskursus kaum muda yang ambigu tak pelak lagi menghasilkan, –yang oleh mazhab pendidikan kritis dipandang sebagai kegagalan komunikasi pedagogis. Kegagalan itu bisa dibuktikan dengan paradigma pendidikan tinggi yang mempraktikkan konsep budaya corporate di mana kaum muda mendapatkan tradisi intelektual yang sudah kehilangan identitasnya.Sebagai konsekuensi dari tekanan ini, pendidikan tinggi semakin menjauhkan hakikat sejarahnya sebagai ruang publik untuk bertanggung jawab mendidik kaum muda dan menyediakan lapangan kerja melalui wacana pedagogi kritis akan pentingnya pengalaman dalam mengembangkan wawasan demokrasi.Akal SehatKelahiran demokrasi bukan merupakan suatu peristiwa kebetulan. Ia lahir dari proses perkembangan pemikiran manusia yang melewati lintas batas negara. Demokrasi memberikan arti penting dalam bentuk pengetahuan, informasi, dan riset bagi semua orang dan kaum terpelajar. Namun, dalam perkembangannya demokrasi semakin tak memiliki makna, bahkan terdistorsi karena tidak mampu menjawab problem kemanusiaan.Tidak jarang kita mendapatkan penjelasan tentang demokrasi lewat pengetahuan emosional, ter utama penerapan deskriptifnya, berupa penjelasan yang ditampil kan beberapa partai politik. Di samping itu kita juga memerlukan penjelasan demokrasi secara analitis dan sistematis. Bisa melalui pe ran kaum muda sebagai sosok yang diperhitungkan.Di sini, kaum muda dapat memaknai demokrasi lewat pengetahuan akali (rasional). Menilai baik buruknya demokrasi lewat kerangka konseptual. Demokrasi bukan suatu hal yang menyimpang, tapi sebaliknya struktur ber pikir manusianyalah yang ti dak sehat. Pada akhirnya terjadi penyimpangan makna demokrasi sebagai gagasan dan demokrasi sebagai realitas.Untuk itu, perlu upaya pedagogis bagaimana kaum muda me nerjemahkan konsep demokrasi dalam struktur pengalamannya. Pertama, demokrasi sebagai rea litas adalah gambaran yang jelas dan serbameliputi. Maka, dalam realitas ini perlu suatu gagasan alternatif (tandingan) bagaimana kaum muda memainkan posisi dan peran strategisnya. Jadi, realitas dapat dijadikan riset kaum muda dalam menelurkan gagasan demokrasi yang sesuai dengan konteks kekinian.Kedua, demokrasi sebagai realitas yang terikat. Dalam pengertian ini, kendati demokrasi tidak terpisahkan dalam wacana politik, tapi pada dasarnya ia sangat terikat oleh fenomena yang ada dan terjadi. Ringkasnya, demokrasi dibatasi oleh suatu hal yang bersifat partikular (khusus). Misalnya, demokrasi dengan eksistensi kaum muda itu sendiri. Oleh sebab itu, demokrasi tidak akan memiliki makna jika hal-hal yang bersifat khusus ditinggalkan.Inilah pandangan demokrasi yang perlu diuji kembali oleh kaum muda sebagai kekuatan politik yang aktif dan bukan suatu gagasan final. Untuk sementara, menimbang posisi, peran dan konteks kaum muda adalah salah satu cara memahami demokrasi dalam dimensi politik dan sosial secara sehat. Wallahu a’lam. ● -
Korupsi dan Pendidikan Integritas
Korupsi dan Pendidikan IntegritasAli Rif’an, MAHASISWA DAN PENELITI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTASumber : REPUBLIKA, 8Februari 2012Di negeri ini, korupsi berlangsung seumpama tarikan napas. Setiap detik, masyarakat disuguhi berita korupsi dan olengnya elite politik kita. Pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan selama bertahun-tahun, tapi upaya tersebut tampaknya masih jauh dari harapan masyarakat. Terbukti Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 3,0, yang berarti tetap berada pada kelompok negara terkorup. Sedangkan Transparansy Internasional tahun 2011 masih menempatkan Indonesia pada peringkat ke-100 dari 189 negara yang disurvei untuk prediket korupsi.Berbagai strategi terus dilakukan, namun karakter dan perilaku korup masih saja terjadi, bahkan cenderung makin parah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah menjaring dan menjebloskan banyak koruptor ke penjara. Tapi, toh, apa yang dilakukan KPK hanya membuat penjara semakin sesak. Perilaku korupsi masih tetap jalan, bahkan–dalam bahasa budayawan Indra Tranggono–berlangsung seperti festival.Di sinilah, tampaknya dibutuhkan pemahaman baru untuk memahami korupsi dalam konteks yang lebih esensial dan fundamental.Salah PersepsiSelama ini, dalam pemberantasan korupsi, langkah masif yang dilakukan oleh berbagai kalangan cenderung berorientasi pada pendekatan hukum. Hukum seolah menjadi jalan ampuh dalam memberangus korupsi. Padahal, pelaku tindak korupsi itu berbeda dengan prilaku kriminal lainnya. Ingat, korupsi itu kejahatan yang dilaku kan orang-orang terdidik, atau kejahatan “kerah putih”.Dengan kata lain, ketika ma sya rakat kecil (tidak terdidik) melakukan kejahatan, seperti men curi ayam. Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena alasan perut dan minimnya pen didikan yang dimiliki. Tapi, ber beda dengan para koruptor, mereka rata-rata dari kalangan me nengah dan terdidik. Masih segar dalam ingatan kita kasus Gayus Tambunan, PNS Golongan III dan alumnus sekolah kedinasan, ataupun Muhammad Nazaruddin, bekas bendahara Partai Demokrat yang kini masih ramai diperbincangkan. Mereka bukanlah orang miskin ataupun minim pendidikannya, tapi sudah lebih dari cukup. Namun, mengapa masih tetap melakukan korupsi? Karena, perilaku korupsi ini lebih didasari atas “kerakusan” dan “ter eliminasinya” pendidikan mo ral dalam diri.Karena itu, Syed Hussein Ala tas dalam bukunya The Sosiologi of Corruption pernah mengatakan bahwa pendekatan yang dilaku kan terhadap masalah korupsi ini harus berbeda. Korupsi adalah se buah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu, cara mengatasinya tidak boleh sama dengan masalah kriminal lainnya.Korupsi sangat erat kaitannya dengan moral, sementara moral erat kaitannya dengan pendidikan. Dengan kata lain, masalah korupsi yang marak terjadi di Tanah Air sebenarnya tidak melulu kesalah an penegakan hukum kita yang lemah, tapi juga terkait dengan model pendidikan kita yang masih jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.Pendidikan IntegritasHarus diakui, dunia pendidikan dan sekolah selama ini masih sekadar mengajarkan tentang teori moral, etika, kejujuran dalam bahan ajar yang diujikan secara teoretis, namun miskin dalam praktik. Nilai-nilai dasar adiluhung dan kemanusiaan acap tidak termanifestasi dengan baik dalam praktik pengajaran. Para siswa dan mahasiswa hanya diasah kecerdasan intelektualnya, sedangkan kecerdasan emosional dan spiritualnya terabaikan.Akibatnya, nalar yang timbul dari sebagian besar individu produk pendidikan nasional adalah bernalar matematis dan materialistis. Tidak mengherankan konstruksi pemikiran dan komitmen mereka tentang makna kesuksesan adalah sekadar materi dan jabatan. Hal ini sering penulis alami ketika reuni dengan teman sekolahan, hal yang paling dibanggakan lebih awal adalah soal jabatan/profesi dan materi. Sedikit sekali, misalnya, yang menanyakan hal-ihwal moralitas, kemanusiaan dan kejujuran. Masalah moralitas dan kejujuran seolah sudah tidak lagi bernilai. Karena, pada kenyataannya orang akan dianggap bernilai dan naik stratifikasi sosialnya di masyarakat jika punya jabatan tinggi dan kaya, meski jabatan dan kekayaan itu didapat dari kecurangan dan korupsi.
Orang-orang yang jujur dan saleh, semakin termarginalkan.Di sinilah perlu kiranya ada semacam resolusi terhadap model pendidikan kita. Karena, fenomena yang sedang terjadi di atas tak lepas dari hasil produk pendidikan Tanah Air. Tentu saja wacana pendidikan integritas perlu dihembuskan di sini. Pendidikan integritas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi (cipta), afeksi (rasa), maupun konasi (karsa)-nya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas).Sebab, minimnya pendidikan in tegritas itulah yang menjadi salah satu penyebab abadinya persoalan krusial bangsa seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan untuk menghasilkan keuntungan pribadi yang bersifat materi. Padahal, seperti diungkapkan pedagog Jerman FW Foerster (18691966), tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya.Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara juga pernah mengata kan, pendidikan yang baik itu selayaknya menggunakan metode among, yakni metode yang berdasar pada asih, asah, dan asuh (ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani).Tentu dalam mewujudkan pendidikan integritas, para guru dituntut tidak hanya mampu memberi materi pembelajaran tentang “petuah” bijak tentang moralitas dan kejujuran, tapi juga harus mampu menyadarkan dan membekali siswa tentang kebanggaan akan moralitas-kejujuran. Pendi dikan selayaknya menjadi fondasi yang mewatakkan etika dan sikap kejujuran, bukannya sikap sera kah dan gila kekuasaan. Karena, sesungguhnya watak dasar pendi dikan adalah sebagai antitesis dari prilaku koruptif dan demoralisasi. ● -
Pertumbuhan dan Defisit Kesejahteraan
Pertumbuhan dan Defisit KesejahteraanAhmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEFSumber : SINDO, 8Februari 2012Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan secara lengkap kinerja ekonomi 2011. Pertama, laju pertumbuhan ekonomi 2011 mencapai 6,5%. Dengan pertumbuhan sebesar itu, produk domestik bruto (PDB) menjadi sebesar Rp7.427 triliun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk,pendapatan per kapita penduduk Indonesia 2011 sebesar USD3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat 17,7% daripada tahun sebelumnya sebesar USD3010.
Kedua,secara sektoral donasi terbesar disumbang oleh sektor industri pengolahan (24,3%); pertanian,peternakan,kehutanan, dan perikanan (14,7%); perdagangan, hotel, dan restoran (13,8%); pertambangan dan penggalian (11,9%); konstruksi (10,2%); jasa-jasa (10,5%), keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (7,2%); pengangkutan dan komunikasi (6,6%); serta listrik, gas, dan air bersih (0,8%). Data ini memperlihatkan sektor industri dan pertanian (dalam arti luas) masih menjadi penyokong terbesar ekonomi nasional.Masalah Pertumbuhan Ekonomi
Dari sisi pertumbuhan sektoral, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 10,7%; diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran 9,2%; serta sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 6,8%. Sementara itu, sektor industri pengolahan tumbuh 5,56%, meningkat dari 2010 yang tumbuh 4,5%. Hal yang sama juga terjadi di sektor pertanian, yang pertumbuhannya jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.
Dengan begitu, pola pertumbuhan sektoral melanjutkan tradisi beberapa tahun terakhir yang didominasi nontradeable sector. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2011 tersebut meneruskan tradisi pertumbuhan ekonomi di atas 6% sejak 2007,kecuali diinterupsi pada 2009 akibat krisis ekonomi dunia. Pada 2007 pertumbuhan ekonomi 6,35%; setelah itu pada 2008 (6,02%), 2009 (4,63%), dan 2010 (6,19%).
Meskipun pertumbuhan ekonomi ini relatif tinggi, banyak pihak yang belum puas karena sebetulnya peluang Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terbentang luas. Namun, akibat kegagalan pemerintah membangun infrastruktur, kelambanan perizinan, dan kerumitan pembebasan lahan membuat kegiatan ekonomi tidak bisa digenjot secara cepat. Problem pertumbuhan bisa dilihat dari struktur sumbangan sektoral.
Sektor industri pengolahan donasinya terhadap PDB terus merosot sejak lima tahun terakhir.Pada 2009 misalnya sektor tersebut masih menyumbang 26,4% terhadap PDB,tapi pada 2011 turun tinggal 24,3%.Sektor pertanian juga jatuh sumbangannya, pada 2010 masih sebesar 15,3%,tapi pada 2011 tinggal 14,7%. Khusus sektor pertanian ini sebetulnya tidak terlalu masalah kontribusinya terhadap PDB menurun asalkan diikuti dengan penurunan beban tenaga kerja di sektor tersebut.
Masalahnya penurunan kontribusi terhadap PDB tidak selaras dengan penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Dalam situasi di mana masalah pengangguran menjadi isu pembangunan saat ini, penurunan donasi sektor industri pengolahan dan pertanian terhadap PDB merupakan berita buruk karena kedua sektor ini menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Intensitas Ketimpangan
Dengan seluruh gambaran kinerja makroekonomi 2011 tersebut, di dalamnya masih menyembulkan soal lama yang tidak terurai hingga kini, yaitu soal ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia bisa dilihat dari tiga sisi, yaitu ketimpangan sektoral, daerah, dan individu. Ketimpangan sektoral sudah terlihat dengan jelas dari paparan di atas.
Sektor non-tradeable tumbuh tinggi, tapi hanya menampung sedikit tenaga kerja sehingga mereka yang terlibat di dalamnya menikmati pendapatan yang tinggi. Hal yang berbeda terjadi di sektor industri pengolahan dan pertanian (tradeable) yang tumbuh rendah, namun penyerapan tenaga kerjanya tinggi.Konsekuensinya, mereka yang terlibat di kedua sektor itu hanya menerima pendapatan yang rendah.
Narasi tersebut ditopang oleh data rasio gini/RG (untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk) yang terus naik dari tahun ke tahun.Pada 2010 lalu RG sudah mencapai 0,37; padahal pada masa sebelum krisis ekonomi 1998 RG di Indonesia tidak pernah mencapai lebih dari 0,33 (semakin tinggi RG menunjukkan ketimpangan yang makin hebat).
Dengan tambahan data ini,kenaikan pendapatan per kapita yang terus berlangsung dari tahun ke tahun sebetulnya tidak banyak berarti karena penikmat kenaikan itu hanya sebagian kecil masyarakat. Sementara itu, ketimpangan daerah/regional juga masih langgeng,Pulau Jawa menyumbang 57,6%, Sumatra 23,5%, Kalimantan 9,6%, Sulawesi 4,6%, dan wilayah lain 4,7%.
Dari aspek demografis, datadata ini sebetulnya kurang menimbulkan persoalan karena jumlah penduduk memang sebagian besar berdiam di Jawa dan Sumatra.Namun, dari sisi keadilan/ketahanan wilayah, data itu menimbulkan masalah genting (secara politik). Situasi tersebut pada akhirnya lebih banyak menerbitkan kecemasan ketimbang kegembiraan dalam meneropong masa depan ekonomi nasional.
Pembangunan ekonomi hanya akan berkelanjutan bila sebagian besar masyarakat turut serta dalam gerbong pembangunan. Sebaliknya,jika sebagian besar masyarakat tergelincir dalam kegiatan ekonomi, berpotensi memunculkan social distrust kepada pemerintah.
Inilah yang pada gilirannya akan meruntuhkan kredibilitas pemerintah dan mengganggu kegiatan ekonomi, yang sebagian sudah dapat dirasakan sekarang, seperti kasus Mesuji, pertambangan di Bima, pemogokan buruh, dan aneka peristiwa yang bersumber dari defisit kesejahteraan ekonomi rakyat.
Jika pemerataan pendapatan/pembangunan ini tidak lekas disantuni, perhelatan politik 2014 (jika memang sesuai jadwal) pasti akan dihantui dengan isu kerusuhan sosial akibat ketimpangan ekonomi. Celakanya, waktu pemerintah untuk berbenah sangat terbatas!
● -
Antara Kapitalisme dan Koperasi
Antara Kapitalisme dan KoperasiTawaf T. Irawan, DIREKTUR EKONOMI LEMBAGA STUDI DAN PENGEMBANGAN ETIKA USAHASumber : SUARA KARYA, 8Februari 2012Sepertinya kita perlu merenungkan sejenak nasib kapitalisme. Hingga hari ini, kesahihan invisible hand sedang menghadapi ujian terberatnya. Satu per satu negara-negara Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol dan Belgia serta beberapa negara lainnya telah menjadi ‘negara pesakitan’. Sejumlah negara Eropa memerlukan pengobatan serius. Bahkan, di antara mereka mungkin nantinya terancam masuk ruang Intensive Care Unit (ICU).Negara-negara tersebut adalah pengusung tulen kapitalisme, yang motor utamanya adalah Amerika Serikat (AS). Terakhir, AS sendiri telah menghadapi kritik pedas dari sebagian rakyatnya yang menamakan dirinya sebagai ‘kelompok 99%’, yaitu kelompok yang merasa terpinggirkan, termarjinankan dan tidak mendapatkan keadilan ekonomi dari negaranya. Kelompok ini menjadi miskin bukan karena rendahnya kreativitas mereka. Mereka miskin karena terkunci akses ekonominya yang selama ini dikuasai oleh ‘kelompok 1%’. Kelompok inilah yang terus mengakumulasi kekuatan ekonominya dengan cara-cara yang disahkan oleh sistem kapitalisme.Wajah ‘mulia’ kapitalisme memang dapat kita temukan, misalnya, pengakuan yang demikian besar pada eksistensi individual dalam mengkreasikan hak-hak ekonomi dan kesejahteraannya. Kapitalisme memberikan ruang yang demikian besar terhadap individu dalam akumulasi modal tanpa batas. Kreasi dan kreativitas sangat dijunjung tinggi dalam paham ini. Kemudian, berbagai model dan pendekatan investasi diberikan ruang selebar mungkin dengan berbagai turunannya yang mengasyikkan.Tapi, apakah ‘hukum individualisme’ ini telah memberikan dampak positif terhadap kemaslahatan orang banyak? Kata greedy (ketamakan) yang pernah dilontarkan beberapa abad lalu oleh Adam Smith, akhirnya belakangan ini telah dibuktikan dengan banyaknya gejolak yang terjadi di beberapa negara seperti di AS dan Eropa. Sistem kapitalisme justru telah melahirkan kemiskinan 2/3 penduduk di atas muka bumi ini. (Todaro, 2000)Kesemua ini tidak lepas dari semangat ketamakan yang dibangun oleh negara-negara maju, perusahaan multi national corporation (MNC), dan para komprador di negara-negara berkembang, yang mau mengeksplorasi dan menjual kekayaan bangsanya demi kenyamanan diri dan kelompoknya.Kapitalisme yang penuh ‘wajah buruk’ itu terus di-make over agar terlihat cantik dan menarik. Padahal, banyak pakar ekonomi telah sanksi atas keampuhan sistem kapitalisme dalam menyelesaikan masalah ketimpangan dan kemiskinan dunia. Bahkan, ekonom sekaliber Paul Ormerod telah menghakimi bahwa teori ekonomi telah mati. Kegalauan para ekonom terhadap teori ekonomi akhirnya terjawab sudah dengan peristiwa serial kegoncangan ekonomi di negara-negara Eropa.Lebih BergairahMungkinkah kelesuan kapitalisme dapat tergantikan oleh gairah koperasi? Pertanyaan ini memang terdengar sangat ambisius. Terang saja, gaung dan gejolak kapitalisme terjadi nun jauh di sana. Terlalu berlebihan memang jika mencoba untuk mengkaitkan gairah koperasi dengan kelesuan kapitalisme. Tapi, di sini ada esensi penting yang perlu dilihat dari gairah koperasi itu.Perlulah disadari bahwa koperasi merupakan kumpulan orang, bukan kumpulan modal. Esensi kumpulan orang ini memberikan makna yang dalam. Koperasi sangat menghargai eksistensi orang. Berbeda dengan sistem kapitalisme bahwa orang didudukkan sebagai ‘alat produksi’. Mungkin tidak salah bahwa aksi demo buruh di Bekasi, baru-baru ini juga dapat dimaknai bahwa pekerja itu diposisikan sebagai ‘mesin pabrik’ yang diperlakukan secara efisien dan efektif.Inilah perbedaan esensial antara sistem kapitalisme dan koperasi. Yang terkandung dalam koperasi, setiap orang memiliki hak dan kewajiban sama, yang disesuaikan dengan kontribusi masing-masing. Di koperasi dikenal prinsip one man, one vote. Di koperasi juga dikenal konsep ‘redistribusi pendapatan’. Pengertian redistribusi pendapatan ini adalah bahwa setiap aktivitas koperasi, baik aktivitas modal maupun ekonomi memiliki korelasi terhadap kepentingan ekonomi anggota, karyawan, pengurus dan bahkan masyarakat.Hal ini, misalnya, terlihat pada saat koperasi membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota, pengurus, dan karyawan. Terutama, anggota dan pengurus, mereka akan memperoleh SHU sesuai dengan kontribusi masing-masing. Keaktifannya dalam mengembangkan usaha koperasi melalui peran transaksi yang dilakukannya akan berdampak pada kemanfaatan yang diperolehnya di akhir buku nanti.Lingkungan dan masyarakat di sekitar koperasi juga memperoleh kemanfaatan dari penyelenggaraan siati koperasi. Misalnya, melalui dana sosial dan pembangunan lingkungan. Dengan memperhatikan penjelasan yang sederhana ini, maka jika persepsi dan pemahamannya diagregasikan secara makro dan meluas ke seluruh Indonesia, tidaklah mengherankan jika masyarakat bahkan mereka yang berada di pelosok-pelosok desa akan mendapatkan manfaat dari keberadaan koperasi ini. Artinya, konsep redistribusi pendapatan akan mengalir dengan mulus dan berkesinambungan.Maka, tidak mengherankan, mengapa koperasi ketika belum tergusur oleh keangkuhan kapitalisme kala itu, telah mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Indonesia secara luas? Barangkali ada baiknya para pelaku ekonomi AS dan Eropa perlu menengok sejenak koperasi untuk dapat menarik hikmah di dalamnya! ● -
Orientasi Jurnal Ilmiah
Orientasi Jurnal IlmiahAgus Mutohar, MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA LEARNING TECHNOLOGIESUNIVERSITY OF TEXAS AT AUSTINSumber : SUARA MERDEKA, 8Februari 2012KEMENDIKBUD lewat Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), baru saja menerbitkan peraturan yang mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 menerbitkan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Dalam Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012, Dikti mengharuskan mahasiswa program sarjana menerbitkan makalah di jurnal ilmiah lokal. Mahasiswa program master harus menerbitkan makalah di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program doktor harus menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional.Upaya memajukan roh penelitian dunia akademis itu menuai berbagai kontroversi dari berbagai pihak, termasuk beberapa kampus. Seharusnya kebijakan tersebut patut diapresiasi karena budaya menulis dan meneliti masih sangat rendah di kalangan akademisi Indonesia. Berdasarkan data Dikti 2010, hanya ada dua jurnal ilmiah yang terakreditasi A, dan 26 jurnal ilmiah terakreditasi B. Bahkan menurut Dirjen Dikti, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuh dari jurnal ilmiah Malaysia (Kompas, 03/02/12).
Langkah maju menggenjot budaya penelitian kampus Indonesia patut ditanggapi positif. Namun, perlu beberapa pembenahan untuk memuluskan inisiatif tersebut. Rendahnya hasil karya ilmiah mahasiswa di kampus tidak dapat dilepaskan dari rendahnya budaya meneliti para dosen. Mahasiswa perlu bimbingan bagaimana cara meneliti dan menulis yang baik agar mereka bisa menjadi peneliti andal.
Produktif
Sebagai contoh, ada ungkapan menarik berkaitan dengan budaya menulis dan meneliti di kalangan pengajar di universitas Amerika Serikat yaitu publish or perish: terbitkan atau binasakan. Untuk bisa menjadi pengajar atau profesor tetap di universitas di Amerika atau sering disebut tenure, seseorang harus mampu mengajar dan juga memublikasikan karya ilmiah. Jika dua kualitas tersebut tidak terpenuhi, pihak universitas bisa memberhentikan pengajar tersebut kapan saja. Tak ayal jika tiap tahunnya, seorang pengajar sangat produktif menghasilkan karya ilmiah.
Dikti bisa mengadopsi aturan itu, misalnya membuat aturan seperti memberikan penghargaan untuk dosen yang menerbitkan karya ilmiah di tingkat internasional untuk memacu kinerja mereka sekaligus menyuburkan budaya meneliti di kampus. Jika sebuah universitas memiliki dosen-dosen mumpuni dalam penelitian, pastilah lahir pula mahasiswa yang mumpuni dalam meneliti.
Bergulirnya aturan yang mengharuskan lulusan perguruan tinggi menerbitkan karya ilmiah di jurnal, bisa memunculkan jurnal abal-abal dan tidak berkualitas karena hanya dianggap orientasi persyaratan. Untuk mencegah munculnya jurnal abal-abal, perlu upaya sistematis mengenai aturan proses penerbitan jurnal ilmiah.
Salah satu contohnya adalah proses review jurnal. Aturan penerbitan jurnal kelas internasional biasanya mengharuskan proses peer review atau review oleh beberapa ahli. Proses itu untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah jurnal ilmiah. Biasanya proses itu dilakukan secara tertutup atau blind review, artinya penerbit menyembunyikan identitas penulis karya ilmiah dalam prosesnya untuk mengedepankan aspek netralitas di kalangan editor. Dalam hal ini, Dikti harus berperan aktif dalam proses akreditasi jurnal di beberapa kampus agar menghasilkan karya ilmiah berkualitas baik. Jika tidak, akan menjamur jurnal abal-abal seperti menjamurnya sertifikat palsu dalam proses sertifikasi guru.
Kualitas
Kekhawatiran mengenai tidak cukupnya jurnal ilmiah yang akan menampung karya mahasiswa Indonesia (Kompas, 04/02/12) sangat tidak beralasan karena ada ribuan jurnal di dunia yang siap menerima tulisan asal sesuai dengan kualitas dan standar penerbit.Namun, bahasa bisa menjadi kendala besar karena rata-rata jurnal internasional mengharuskan karya ilmiah ditulis dalam Bahasa Inggris. Karena itu, pihak kampus perlu mengajarkan tata cara menulis karya ilmiah dalam Bahasa Inggris, selain Bahasa Indonesia, untuk meningkatkan kualitas mahasiswa Indonesia di kancah global. Perguruan tinggi sudah saatnya menjadi barometer budaya meneliti. Tri darma perguruan tinggi yang salah satunya adalah penelitian harus benar-benar diaplikasikan dalam wujud nyata.
Laporan dari organisasi internasional, seperti UNESCO dan OECD menyatakan bahwa budaya penelitian sebuah negara berbading lurus terhadap kemajuan ekonomi negara tersebut. Hasil satu penelitian bisa menciptakan jutaan lapangan kerja jika ditangani serius.
The University of Texas at Austin contohnya, dari hasil berbagai penelitian dan inisiatif lain dari universitas, tiap tahunnya memberikan dampak 7.4 miliar dolar Amerika terhadap ekonomi lokal dan nasional dengan dibukanya pusat penelitian dan pabrik baru yang bisa membuka jutaan lapangan kerja.
Berdasarkan data Dikti, saat ini terdapat 114 perguruan tinggi negeri dan 301 perguruan tinggi swasta. Ratusan perguruan tinggi tersebut bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa Indonesia jika mampu menelurkan penelitian dan karya ilmiah yang bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sektor lain, seperti pendidikan. ● -
Kedaulatan di Dalam Konstitusi
Kedaulatan di Dalam KonstitusiGugun El Guyanie, STAF PENELITI DARI PUSAT KAJIAN KONSTITUSIFAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTASumber : SUARA MERDEKA, 8Februari 2012’’PERUBAHAN pasal-pasal dalam UUD 1945 melalui amendemen 2002, dinilai menjadi penyebab bangsa kurang mempunyai kemerdekaan, berdaulat, dan kurang memperoleh keadilan serta kemakmuran.’’ (SM, 31/01/12). Itulah kesimpulan yang disampaikan para tokoh dalam acara Pekan Konstitusi beberapa hari lalu. Konklusi itu menarik untuk dicermati, tentunya setelah sekian lama orang tidak memperdebatkan persoalan amendemen konstitusi.Sebagaimana kita ketahui, perubahan atau yang sering dikenal dengan amendemen konstitusi, merupakan pencapaian terpenting dalam sejarah politik ketatanegaraan Indonesia. Hal itu mengingat sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan kembali ke UUD 1945, konstitusi dianggap final dan sakral, sehingga haram disentuh, apalagi diubah.
Walaupun sebenarnya kebutuhan untuk menyempurnakan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar kilat, mutlak diperlukan jika ingin membangun negara yang demokratis. Artinya bahwa, amendemen konstitusi melalui empat tahapan tahun 1999-2002, bisa disebut tidak memuaskan, namun juga tidak bisa disebut gagal. Dalam bahasanya Mahfud MD, argumen itu tidak bisa dijadikan alasan untuk kembali kepada UUD 1945 yang lama. Dalam teori konstitusi, perubahan konstitusi sangat dimungkinkan, dengan catatan tidak semudah mengubah undang-undang biasa.
Ekonomi KerakyatanMaksudnya, konstitusi bukanlah kitab suci yang sakral melainkan resultante keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta perubahannya memerlukan prosedur yang berat. Kembali pada kesimpulan Pekan Konstitusi itu, yang paling menonjol dipersoalkan adalah perubahan Pasal 33 yang berbicara perekonomian nasional. Benarkah setelah terjadi amendemen, perekonomian nasional dikuasai pihak asing, sehingga kedaulatan ekonomi kerakyatan hancur? Mari kita menengok sejarah amendemen Pasal 33. Dalam bukunya Manifesto Ekonomi Kerakyatan (20099: 122), Revrisond Baswir mencatat bahwa upaya amendemen pasal tersebut semula dimaksudkan untuk mengganti Pasal 33 secara keseluruhan.
Persiapan ke arah itu telah dilakukan oleh MPR dengan menggali masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari para pejabat pemerintah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), dan dari berbagai perguruan tinggi. Tetapi melalui perdebatan yang sengit, terutama sebagai akibat dari aksi protes yang dilakukan oleh Mubyarto, Ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan.
Walaupun demikian, kalimat penting yang berbunyi ’’Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi’’, yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, turut menguap bersama hilangnya penjelasan tersebut. Berbicara Pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan berarti berbicara soal kedaulatan ekonomi atau demokrasi ekonomi. Maka ketika berbicara kedaulatan ekonomi untuk rakyat, tidak bisa dilepaskan dari peran Bung Hatta. Persinggungan Bung Hatta dengan ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya berlangsung sejak 1922, yakni tahun pertama ia berada di Belanda. Dari latar belakang pemikiran itulah, dapat dipahami bila dalam kedudukannya sebagai seseorang yang turut mempersiapkan dan menyusun UUD 1945, Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan gagasan besar ekonomi kerakyatan sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Namun apa boleh buat, jika perjuangan tersebut mendapatkan pengkhianatan dari orde kekuasaan yang satu ke orde berikutnya. Kita merdeka hendak lepas dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi justru masuk perangkap agenda ekonomi neoliberal dan pasar bebas yang makin membikin rakyat jauh dari cita-cita merdeka. Hari ini rakyat sudah kehilangan lahan pertaniannya, diusir dari gubuknya sendiri. Skema pertanian yang diciptakan negara dengan didikte oleh pemodal asing; pupuk tanpa subsidi, kelangkaan bibit, dan beras impor.
Penghancuran industri nasional dan komoditas dalam negeri seperti keretek, beras, gula, garam, berjalan sangat sistemik. Sungguh ironi di negeri yang kaya raya gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, terjadi impor beras, impor gula, impor garam dan sebagainya.
Bahkan industri keretek yang menghidupi jutaan petani tembakau, jutaan buruh pabrik, diserang dengan isu-isu kesehatan melalui lembaga-lembaga internasional. Negara tak hadir untuk melindungi, tetapi justru ikut ambil bagian menjadi agen asing untuk menghancurkan ekonomi kerakyatan. Memang ada benarnya; jika amendemen konstitusi menjadi pintu masuk hancurnya kedaulatan ekonomi kerakyatan, jika tidak menyerap aspirasi dan cita-cita politik rakyat, namun tunduk kepada kepentingan asing dalam meloloskan agenda ekonomi neoliberal.
Dalam bahasanya Jimly Asshiddiqie, kita mempunyai konstitusi, tetapi sesungguhnya kita tidak menganut paham konstitusionalisme, yakni paham yang menganut prinsip pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Di manakah perlindungan terhadap hak ekonomi rakyat yang katanya berdaulat? ●
-
Mencari Penantang Arus di Dewan
Mencari Penantang Arus di DewanS. Djaja Laksana, MANTAN SEKRETARIS DPRD,ANGGOTA FORKOMKON SEKWAN SE-INDONESIASumber : JAWA POS, 8Februari 2012BERTAHUN-TAHUNmengamati anggota DPR dan DPRD sejak era reformasi, menggeluti dan berdiskusi dengan para sekretaris DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, tersimpul bahwa perilaku para legislator daerah tidak berubah. Yakni, dalam hal syahwat akan uang dan kemewahan.Karena itu, saya tidak lagi heran ketika Dr Syukry Abdullah SE MSi mengatakan bahwa perubahan peraturan perundangan yang mengatur kewenangan DPRD dalam penganggaran daerah dari UU Nomor 22/1999 ke UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah tidak berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif.
Dalam ujian terbuka program doktor di auditorium BRI Fakultas Ekonomi Bisnis UGM Jogja belum lama ini, dengan disertasi Perilaku Oportunistik Lagislatif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Syukry menemukan bukti empiris dari penganggaran pemerintah daerah di Indonesia. Yaitu, peraturan perundangan itu tidak dapat mengubah perilaku orpotunistik anggota DPRD. (Kedaulatan Rakyat,29 Januari).
Inkonsistensi Jujur-Peduli
Anggota DPRD yang selama ini dilihat orang “masih punya malu” untuk memboroskan uang rakyat umumnya adalah dari Fraksi PKS. Anggota FPKS DPRD Kota Tegal, misalnya, pernah menolak berangkat bersama anggota DPRD lain untuk studi banding ke Bali, karena tak jelas manfaatnya dan dinilai hanya memboroskan uang rakyat.
Demikian pula anggota FPKS DPRD Kota Salatiga, tak seorang pun ikut berangkat ke Malaysia dan Singapura untuk studi banding RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional), karena menilai tak banyak berguna, sedang dananya besar. Dalam suatu rapat pembahasan ABPD di hotel luar kota bahkan ada yang berteriak agar biaya yang dikeluarkan apa adanya, tidak di-mark up.
Semua itu tampaknya sesuai dengan slogan mereka dalam kampanye pemilu tentang sikap partai yang “jujur dan peduli”. Semua partai politik sekarang ini menyadari bahwa tingkat kepercayaan rakyat terhadap mereka berada pada titik nadir. Karena itulah, PKS dengan percaya diri selalu “menyihir” masyarakat bahwa dengan eksistensi partai dakwah ini “harapan itu masih ada”.
Sayang dalam perjalanan waktu, “sikap jujur dan peduli” serta “harapan itu masih ada” tak bisa lagi secara konsisten dipertahankan. Sekarang ini tidak atau semakin jarang terdengar ada anggota DPR dan DPRD dari partai mana pun yang menolak studi banding. Akibatnya, anggaran studi banding DPR maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota mana pun di Indonesia dari tahun ke tahun senantiasa meningkat secara signifikan.
Bahkan, di tengah stagnan dan menurunnya pos belanja masyarakat karena dialokasikan untuk pembangunan pascabencana Merapi akhir 2010, anggaran DPRD Provinsi DI Jogjakarta terus melejit. Untuk studi banding saja mencapai Rp 8,3 miliar. Padahal, menurut Kepala Bagian Persidangan Sekretariat DPRD Provinsi DIJ M. Subandrio, hasil studi banding itu tidak pernah dilaporkan dalam sidang paripurna dan tak bermanfaat bagi pembangunan masyarakat.
Kegiatan itu, menurut Subandrio, merupakan sebuah dilema. Sebab, betapa pun gubernur mengimbau agar mengurangi studi banding, hak bujet ada di tangan dewan (Harian Jogja, 3 Oktober 2011). Terbukti kemudian setelah APBD Provinsi DIJ 2012 diajukan, Mendagri Gamawan Fauzi memangkas anggaran untuk studi banding DPRD itu sampai Rp 1 miliar. Demikian pula dalam rapat-rapat pembahasan APBD maupun RUU/raperda di hotel mewah, kini hampir tak ada anggota dewan yang menolak.
Takut Tak Tahu Diri
Menjadi anggota DPR/D memang tidak murah. Termasuk dalam Pemilu 2009 di Salatiga (besar dugaan juga berlangsung di daerah lain). Para simpatisan dan konstituen PKS yang sebelumnya tak mempan money politic bisa digoyang oleh serangan fajar dan serangan duha. Caleg PKS new comer, tapi berani mengeluarkan modal besar sehingga mampu meraih suara terbanyak. Dia mengalahkan caleg PKS incumbent yang telah lima tahun “berdarah-darah” membina simpatisan dan konstituen tersebut.
Itulah salah satu faktor mengapa kaum politisi sulit lepas dari perilaku yang berisiko korupsi. Anggota FPKS DPR Nasir Djamil, dalam diskusi Polemik Sindo Radio bertajuk Koruptor Kesohor di Jakarta 10 Desember lalu, mengakui hal itu. Menurut Nasir, yang juga wakil ketua Komisi III DPR, mereka tidak ingin dianggap tidak memiliki semangat esprit de corps, tidak tahu diri atau tidak solider.
Kalau memang demikian halnya, apakah itu berarti bahwa kini tidak ada lagi suara minoritas, suara nurani, dan kebenaran yang berani menentang mainstream? Padahal, Pemilu 2014 semakin dekat, dan semua partai membutuhkan dana besar. Ini mengingat masyarakat juga semakin pragmatis, cenderung permisif terhadap politik uang. Bisakah kita meyakini dan mengatakan bahwa harapan tetap masih ada? ●
-
Ironi Bisnis Transportasi
Ironi Bisnis TransportasiAugustinus Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNISFE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA, SURABAYASumber : JAWA POS, 8Februari 2012BARUseminggu lalu (1/2) bus Majujaya jurusan Tasikmalaya-Cikampek masuk jurang di Dusun Cilangkap, Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Sumedang, karena rem blong dan menewaskan 12 penumpangnya. Lagi-lagi, kecelakaan bus kembali terjadi. Kali ini, di tol Sidoarjo-Surabaya, bus Restu jurusan Malang-Surabaya menabrak sebuah dump truck dari belakang (6/2) gara-gara sopirnya ugal-ugalan. Akibatnya, tiga penumpang bus (termasuk kernet) tewas dan 20 lainnya luka-luka.Bisnis transportasi kita sudah terlalu sering mengalami kecelakaan, baik bus, kapal laut, kereta api, maupun pesawat udara. Sebegitu rendahkah nilai nyawa manusia bagi pengemudi maupun pengelola bisnis transportasi sehingga tak lagi mengutamakan keselamatan para penumpang? Perlu diingat, nyawa satu warga itu sangat berharga, sama seperti kita menilai nyawa kita sendiri. Ini bukan soal ganti rugi atau pembayaran asuransi jiwa bagi keluarga korban, tapi soal keprihatinan kita bersama.
Tirani Ekonomi
Apa pun alasannya, kecelakaan dalam bisnis transportasi merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengawas, pengatur, dan penyedia sarana infrastruktur transportasi yang memadai serta tanggung jawab pihak pengusaha transportasi selaku penyedia jasa yang aman dan nyaman. Terjadinya human error dan lemahnya sistem keamanan alat transportasi (seperti rem blong) merupakan cerminan pengelolaan bisnis yang buruk. Pengusaha transportasi cenderung hanya menekankan pada keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang sekecil-kecilnya (doktrin utilitarianisme).
Spirit itulah yang membuat perusahaan lupa merawat alat transportasi secara intensif, menyejahterakan dan memberikan pelatihan rutin kepada pengemudi, serta membuat program penyegaran atau darmawisata bagi mereka. Dalam paradigma utilitarian, pemerintah hanya sibuk mengurusi pendapatan negara dari pajak maupun retribusi bisnis transportasi. Akibatnya, pengusaha transportasi kadang terpaksa menutupi biaya operasi dengan meminimalkan jumlah buruh serta memberikan upah seminim mungkin.
Paradigma keuntungan yang terbesar dari sumber daya yang sekecil-kecilnya sangat berbahaya dalam bisnis transportasi karena berimplikasi pada rendahnya jaminan keselamatan penumpang. Spirit yang hanya mengejar target setoran dan pendapatan akan memicu lahirnya kelalaian serta kecerobohan dalam menjalankan tugas. Sopir bus, misalnya, akan mengalami tekanan pekerjaan yang berat karena prestasi kerja, yang dihargai dengan upah maupun bonus, selalu diukur dengan pencapaian target, bukan kenyamanan dan keselamatan penumpang (kualitas produk jasa).
Bayangkan jika pengusaha transportasi sekadar berambisi meraih keuntungan berlipat ganda demi memperbesar omzet per tahun, bukankah hal itu juga bisa membahayakan keselamatan buruh dan penumpang? Sebenarnya, keuntungan terbesar yang hendak diraih pemerintah maupun pengusaha transportasi tanpa memperhatikan keadilan dan kesejahteraan bagi para buruhnya merupakan bentuk tirani ekonomi atau kemanfaatan yang menindas sekaligus membahayakan konsumen. Padahal, buruh merupakan elemen penting dari keselamatan dan kenyamanan para penumpang. Pengusaha transportasi terlalu pelit dalam mengalokasikan dana untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Padahal, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menganut konsep hubungan industrial Pancasila (vide pasal 1 angka 16). Artinya, buruh bukan sekadar faktor produksi, melainkan merupakan manusia pribadi yang memiliki harkat dan martabat. Buruh perusahaan transportasi tidak seharusnya mengeluh atas penghasilan mereka yang minim saat menjalankan tugas yang vital karena menyangkut keselamatan nyawa banyak orang.
Tampaknya, pengusaha transportasi kita perlu mencontoh credo (komitmen) perusahaan Johnson & Johnson dalam memperlakukan buruh. Dalam credo-nya, perusahaan itu menyatakan: We are responsible to our employees, the man and women who work with us throughout the world. Everyone must be considered as an individual. We must respect their dignity and recognize their merit. They must have a sense of security in their job. Compensation must be fair and adequate, and working conditions clean, orderly and safe.
Jadi, kesejahteraan buruh merupakan tanggung jawab moral pengusaha transportasi. Artinya, pengusaha bisa saja memberikan upah minimum yang melampaui ketentuan pemerintah. Dengan begitu, kesuksesan bisnis transportasi bisa diraih melalui ketaatan pada prinsip keselamatan penumpang dan keadilan terhadap buruh. Ketentuan upah minimum dari pemerintah jangan dijadikan standar optimum bagi perusahaan. Kalau memang perusahaan sanggup membayar upah sebesar kelipatan dari upah minimum, buruh transportasi akan tenang, sejahtera, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Sebaliknya, jika pengusaha transportasi tidak sanggup menyejahterakan buruhnya, pemerintah lebih baik mencabut izin usahanya daripada berisiko tinggi mencelakakan penumpang. Yang jelas, buruh transportasi yang sehat dan sejahtera berkewajiban moral untuk bekerja secara profesional dengan mengutamakan keselamatan serta kenyamanan penumpang. Mereka akan peka atau responsif terhadap kondisi alat transportasi yang butuh perawatan dan waspada terhadap perilaku penumpang yang bisa membahayakan alat transportasi.
Karena itu, demi keselamatan penumpang, pemerintah dan pengusaha wajib lebih dulu menjamin hak-hak dan kualitas hidup para buruh transportasi. Etika penentuan upah perlu didasarkan pada komitmen pengusaha yang berani berkata: Kami memperoleh keuntungan yang banyak karena kami membayar upah yang terbaik.
Sebaliknya, buruh transportasi tidak boleh sekadar menuntut kesejahteraan. Tapi, mereka harus berani berkata: Kami pantas mendapat upah yang layak karena kami bekerja dengan kualitas yang terbaik, terutama dalam menjamin keselamatan penumpang. ●