Author: Adul
-
Antara Jembatan Lebak dan Max Havelar
Antara Jembatan Lebak dan Max HavelarEndang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM-BELANDASumber : SINAR HARAPAN, 9Februari 2012Nyaris setiap hari selalu ada kisah pilu di negeri ini. Salah satu kisah pilu yang baru-baru ini jadi sorotan adalah jembatan gantung di atas Sungai Ciberang yang menghubungkan Desa Sangiang Tanjung, Kecamatan Kalanganyar, dengan Desa Pasir Tanjung, Kecamatan Rangkasbitung.Jembatan gantung yang rusak itu menjadi sangat terkenal setelah diberitakan koran Inggris Daily Mail. Jembatan “Indiana Jones”, begitulah nama yang diberikan oleh koran asal Inggris itu. Dinamai demikian karena tiap hari anak sekolah dan warga yang hendak menyeberangi jembatan, harus membahayakan keselamatan diri seperti dalam film Indiana Jones.Lalu televisi-televisi Indonesia mem-blow-up jembatan itu. Stasiun televisi China, CCTV 4 juga menayangkan masalah ini.Pesepak bola profesional asal Belgia Vincent Kompany yang bermain di klub Manchester City juga miris melihat anak-anak sekolah harus berjuang melintasi jembatan itu.PesanBupati Lebak, Mulyadi Jayabaya memang sudah menutup jembatan itu mulai Senin (23/1).Tapi jembatan rusak itu sudah telanjur membawa pesan betapa amburadulnya pengelolaan negara ini sehingga hanya menyejahterakan segelintir elite, tapi menyengsarakan rakyat banyak, khususnya wong cilik.Simak berbagai komentar di Facebook atau Twitter yang mengecam para elite, yang tega menikmati fasilitas mewah dan berlimpah di tengah penderitaan warga.Entahlah, ketika melihat jembatan itu di You Tube, ingatan penulis langsung melayang pada Max Havelaar (Selanjutnya disingkat MH).Seperti diketahui, MH adalah judul sebuah novel yang ditulis Eduard Douwes Dekker yang memakai nama samaran Multatuli atau “Aku Sudah Banyak Menderita” (1820-1887). Buku yang ditulis dalam tempo sebulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia itu, lalu diterbitkan pada 1860.MH ditunjuk jadi wakil residen di Keresidenan Lebak yang membawahi beberapa kabupaten di Banten pada 1850-an. Sebagai orang Belanda yang baru tiba di tanah jajahan, ia gemar mengamati dan mengkritik keadaan. Entah apa komentarnya, andai dia melihat jembatan rusak di atas, pasti dia prihatin.Dulu, MH begitu prihatin melihat perilaku dan mentalitas birokrat seperti ditunjukkan Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara. Sebagai asisten residen yang baru, sesaat setelah tiba di Rangkasbitung, MH melihat rakyat Lebak hidup sengsara dan miskin akibat diperas sang bupati, keluarga dan menantunya yang menjabat sebagai Demang Parangkujang. MH menilai bupati telah memeras rakyat (knevelarijn).Hati MH secara khusus amat terpukul melihat penderitaan para kuli di perkebunan kopi. Mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati. MH tak mau sekadar prihatin atau berempati. Dia berusaha mencari bantuan agar penjajahan atas manusia kuli di perkebunan kopi bisa diakhiri.Dia melaporkan ke atasan atau pejabat yang lebih tinggi, namun tak ada jawaban memuaskan. Akhirnya MH mendesak Gouverneur-general, penguasa tertinggi di Hindia Belanda agar ada hati nurani untuk para kuli di perkebunan kopi.Tentu saja MH tak lupa menentang “Indische Baten”, suatu keuntungan yang dinikmati Belanda dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel), sistem yang diperkenalkan oleh Van den Bosch tahun 1830. Tulang punggung sistem ini adalah kaum bangsawan feodal.RelevansiMH sudah menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda. Melihat sikon Indonesia terkini, penulis jadi berpikir, buku itu seharusnya juga menjadi bacaaan wajib bagi para birokrat Indonesia saat ini. Pesan Max Havelaar jelas masih relevan dengan kondisi kita.Mengapa? Karena kondisi Indonesia pada 2012 ternyata tidak beda jauh dengan kondisi 1860. Misalnya, kini makin banyak suara di Tanah Air menyebutkan, penjajahan itu masih berlangsung. Malah penjajahan terasa kian pedih karena banyak yang merasa dijajah oleh sesama anak bangsa, seperti dirasakan warga Mesuji, Bima, dan Papua.Penjajahan itu bukan ilusi. Simak perilaku para pejabat pemerintah yang lebih berorientasi melayani egosentrismenya ketimbang melayani rakyat. Simak beragam proyek seperti renovasi ruang Banggar, toilet, dan tempat parkir DPR yang bertujuan memanjakan ego para wakil rakyat. Apa yang dilakukan DPR (baca: Dewan Penindas Rakyat) itu jelas sungguh menyakiti rakyat.Memang menyedihkan jika jaksa, hakim, gubernur, menteri, hingga lurah di desa justru terus-menerus mencari sesuatu demi kesejahteraan diri, bukan kesejahteraan bersama (bonum commune). Inilah ironi sehingga negeri ini terasa kian absurd dan buram potretnya.Bahkan dari kasus korupsi seperti kasus wisma atlet dan berbagai kasus lain yang menyeret polisi, jaksa, hakim, dan pengacara membuat rakyat makin muak. Moralitas para aparat, penegak hukum, dan pejabat publik benar-benar sudah busuk. Praktik politik yang mengabaikan etika marak di mana-mana.Rakyat, khususnya “wong cilik” kini menjadi apatis dan kehilangan kepercayaan. Tidak ada lagi “jembatan” yang menghubungkan hati wong cilik dengan hati para elite dan penguasa. “Jembatan” itu sudah dirusak oleh para elite dan penguasa kita.Bila kepercayaan rakyat pada pemerintah sudah rendah dan tidak ada perbaikan yang radikal serta mendasar, pemerintahan bisa terjun bebas menuju enthropic government yang tinggal menungggu keruntuhannya saja, seperti tesis Karl D Jackson dalam The Prospects for Bureaucratic Polity in Indonesia. Pemerintah atau DPR jangan menulikan telinga dari kritik yang mencoba mengingatkan.Tapi apa yang terjadi? Pemerintah lebih suka membela diri dengan menonjolkan indikator pertumbuhan ekonomi yang diapresiasi pihak asing. Padahal, dalam konteks hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah, jangan lagi bicara pertumbuhan ekonomi.Rakyat, khususnya wong cilik tak peduli RI sudah naik peringkat. Seperti diketahui, lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings baru menaikkan peringkat utang Indonesia ke level investment grade (layak investasi). Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Rating juga baru menaikkan peringkat utang luar negeri Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3.Wong cilik hanya rindu harga kebutuhan pokok jadi murah, menyekolahkan anak tak kesulitan, transportasi aman, lancar serta tidak diperkosa, upah kerja layak, dan sebagainya. Apa artinya? Makro ekonomi membaik, tapi wong cilik terus menjerit dan jauh dari kondisi sejahtera?Maka rakyat sungguh merindukan sosok-sosok pemimpin yang bisa kembali berempati dengan penderitaan dan masalah rakyat. Mendesak ada pemimpin yang mampu membuat “jembatan” dengan hati rakyat yang sudah telanjur apatis dan kehilangan kepercayaan. Rakyat merindukan sosok pemimpin dengan spirit seperti MH.Meski bukan Mesias, asisten residen Lebak itu berani menyuarakan kebenaran sehingga tidak pernah sibuk membuat kebohongan atau menonjolkan politik pencitraan.MH juga berusaha mengakhiri segala bentuk ketidakadilan bagi rakyat, tanpa risiko takut kehilangan jabatan. Karena jabatan sebenarnya adalah amanat dan mandat rakyat, bukan sesuatu untuk yang lantas dipamer-pamerkan, lalu dimanfaatkan untuk memperkaya diri di tengah penderitaan rakyat. ● -
Iklan Politik dan Makna Kebebasan
Iklan Politik dan Makna KebebasanManunggal K. Wardaya, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED,PHD RESEARCHER PADA RADBOUD UNIVERSITEIT NIJMEGEN BELANDASumber : SUARA MERDEKA, 9Februari 2012”Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru karena keridaan penuh sukacita media itu”DALAM dunia jurnalistik, menerima upah atau imbalan dari narasumber, terlebih yang dapat memengaruhi pemberitaan adalah hal yang pantang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan tidak saja berisiko membuat wartawan kehilangan objektivitasnya, namun juga menghalanginya dari menyampaikan informasi krusial yang patut diketahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh pewarta semacam demikian pula tak akan dapat memenuhi hak warga negara untuk tahu (right to know).Pada gilirannya media tempat wartawan melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan.Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai sarana kontrol sosial telah terpositifkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan peran pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu.Ugeran perilaku para pewarta kita kenal sebagai kode etik jurnalistik, yang menurut penjelasan Pasal 7 UU Pers adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Terkait dengan etika pewarta dalam relasinya dengan narasumber, Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya menyatakan; wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar, yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.Hal senada dijumpai pula dalam Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada butir ke-14. Pada butir ke-13 Kode Etik Jurnalistik AJI bahkan menegaskan larangan bagi jurnalis untuk memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi.Lembaga EkonomiPasal 3 Ayat (2) UU Pers memberi ruang bagi media untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga ekonomi, antara lain dengan menawarkan jasa iklan dalam berbagai formatnya. Fungsi sebagai lembaga ekonomi inilah yang dalam konteks berbagai kontestasi memperebutkan jabatan politik menjadi celah bagi calon elite untuk mengintroduksi diri pada konstituen, bahkan menjinakkan media.Elite politik berlomba-lomba ’’membeli’’ media dengan selubung legal; pemasangan iklan. Potensi dana besar dari calon elite politik membuat media memandang momen perekrutan kepemimpinan politik lebih sebagai lahan subur mendulang untung ketimbang panggilan tugas mengawal demokrasi. Akibatnya, media mengikuti keinginan customer.Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru karena keridaan penuh sukacita media itu. Sukar untuk tidak mengatakan bahwa media yang menjalankan praktik semacam itu sebagai tidak sedang mencari keuntungan dengan posisi yang dimilikinya. Media lebih berpihak pada calon elite politik yang menawarkan keuntungan daripada kepada kepentingan publik.Media lupa bahwa di balik fungsinya sebagai lembaga ekonomi, ia tidak boleh abai terhadap fungsinya sebagai pengawas kekuasaan. Pada akhirnya, publik jugalah yang dikorbankan karena media kehilangan kemampuannya untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.Padahal informasi dari medialah sebenarnya bekal utama publik dalam menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan umum.Dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional 2012 ini, patut kiranya insan media memaknai ulang terhadap kebebasan pers. Bahwa kebebasan pers tidaklah cukup dimaknai sebagai bebas dari segala intervensi yang represif dan koersif semata, namun juga dari buaian kapital yang memiliki kesamaan muara: pengangkangan hak publik untuk tahu. ● -
Wajah Ganda Cukai Rokok
Wajah Ganda Cukai RokokNugroho SBM, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS (FEB) UNDIP SEMARANGSumber : SUARA MERDEKA, 9Februari 2012DALAM artikelnya ’’Dilema Cukai Rokok di Daerah’’ (SM, 24/02/12), Prof Purbayu Budi Santosa memaparkan dampak kenaikan cukai rokok dan kampanye cukai rokok ilegal terhadap kebangkrutan industri rokok menengah dan kecil, khususnya di Kudus. Padahal cukup besar jumlah warga di kota itu yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok. Dia juga mengusulkan agar persentase dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) ke daerah diperbesar.Secara teori dan praktik dalam kebijakan fiskal, cukai rokok termasuk excise tax, yaitu pajak yang bertujuan mengurangi konsumsi terhadap barang yang dipajaki. Jenis pajak itu biasanya dikenakan terhadap rokok dan minuman beralkohol. Jadi fungsinya lebih sebagai alat pengatur ketimbang alat penerimaan negara. Logikanya kalau pemerintah terus menaikkan cukai maka harga rokok pun naik dan jumlah perokok bisa menurun.Tetapi pemerintah sampai saat ini masih mendua hati terhadap cukai rokok. Di satu sisi menyadari fungsinya untuk mengendalikan, bahkan mengurangi jumlah perokok, tetapi di sisi lain masih mengharapkan sebagai penerimaan negara di APBN. Di samping itu, pemerintah menyadari bahwa industri rokok merupakan penyumbang besar penyerapan tenaga kerja sehingga ingin agar cukai yang dikenakan jangan sampai mematikan industri rokok.Bukti bahwa pemerintah masih mengharapkan cukai rokok sebagai penerimaan APBN dan agar cukai rokok jangan sampai mematikan industri rokok adalah ketika tahun 2004 Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip diminta oleh Kementerian Keuangan meneliti tentang cukai rokok. Penelitian tersebut dilandasi kenyataan bahwa penerimaan cukai rokok di APBN waktu itu diperkirakan tidak mencapai target.Penelitian tersebut mengajukan hipotesis berdasarkan Kurva Laffer. Laffer adalah profesor penasihat ekonomi Presiden Reagan yang terkenal dengan Reaganomics-nya. Intinya paham Reaganomics percaya bahwa perekonomian hanya bisa digerakkan dimulai dari sisi produksi atau supply. Maka kebijakan yang harus ditempuh adalah memberikan insentif kepada sisi produksi antara lain dengan pemotongan pajak.Kurfa LafferTim peneliti FEB waktu itu menduga yang dihipotesiskan Laffer dengan kurvanya telah terjadi dalam hal tarif cukai rokok. Tarif cukai rokok ditetapkan terlalu tinggi sehingga terjadi penggelapan cukai dan penurunan produksi rokok sehingga penerimaan cukai rokok di APBN juga menurun, dan akibatnya tak memenuhi target.Fakta di lapangan memang menunjukkan kebenaran hipotesis Laffer. Banyak pabrik rokok mengelapkan cukai dengan berbagai cara: tidak memakai cukaii, memakai cukai palsu, dan memakai cukai tak sesuai dengan golongan pabrik (sebagaimana diketahui tarif cukai untuk pabrik rokok kecil, menengah, dan besar berbeda). Bahkan ada fakta tak terkontrolnya bahan yang dipakai pabrik rokok ilegal. Di lapangan ditemui ada produk yang memakai obat mercon agar rokok keretek ketika diisap berbunyi: kretek, kretek…Penurunan produksi juga sudah terjadi. Banyak pabrik rokok yang dulunya memberlakukan 3 shift produksi menjadi hanya 1 atau 2 shift sehingga mengakibatkan penurunan penerimaan cukai rokok di APBN. Penulis setuju kalau pemerintah mulai tegas memberlakukan cukai rokok bukan sebagai penerimaan melainkan juga alat pengatur, bahkan menurunkan jumlah perokok.Tentang penggunaan dana bagi hasil cukai rokok biasanya di berbagai negara sebagian besar digunakan untuk pemulihan kesehatan perokok dan pencegahan polusi yang mengakibatkan terjadinya perokok pasif yang lebih berbahaya. Caranya lewat kampanye antirokok atau melokalisasi kawasan untuk perokok. Terkait dengan usulan Purbayu agar dana bagi hasil cukai juga dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, bisa saja dilakukan tetapi hal itu tidak biasa di negara lain. ● -
Pers, dari dan untuk Rakyat
Pers, dari dan untuk RakyatSoetjipto, WARTAWAN SUARA MERDEKA(?)Sumber : SUARA MERDEKA, 9Februari 2012TEMA peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini adalah ’’Kemerdekaan Pers, dari dan untuk Rakyat’’, sepertinya ingin mengingatkan untuk kali ke sekian tentang pentingnya kemerdekaan pers. Bahwa kemerdekaan pers itu bukan semata-mata untuk pers melainkan lebih luas dari itu, yakni bagi kepentingan masyarakat, bangsa, negara, bahkan kemanusiaan.Kemerdekaan pers dalam pengertian sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, memang berasal dari rakyat. Rumusan itu tertuang dalam ketentuan Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebagaimana UU yang lain, UU Pers itu yang membuat juga rakyat, melalui wakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Jadi tepat sekali penegasan kemerdekaan pers itu dari rakyat untuk rakyat. Pers sekadar sarana dan pelaku dari kemerdekaan itu.Pada era keterbukaan informasi dan demokratisasi seperti sekarang ini, kemerdekaan pers sangatlah penting. Kemerdekaan pers bahkan menjadi salah satu indikasi, apakah suatu negara menganut sistem demokrasi secara sehat atau tidak. Suatu bangsa tidak layak menyebut negaranya menganut sistem demokrasi manakala tidak ada kemerdekaan/ kebebasan pers.Kemerdekaan/ kebebasan pers adalah kondisi yang mutlak diperlukan agar pers dapat melaksanakan semua hak, fungsi, dan peranannya. Dengan kata lain, tanpa ada kemerdekaan/ kebebasan pers, pelaksanaan hak, fungsi, dan peranan pers tidak maksimal. Bahkan bisa terhambat. Jika ini terjadi, yang rugi sesungguhnya bukan hanya kalangan pers melainkan juga kita semua, masyarakat luas.Kemerdekaan pers atau kebebasan pers? Dua istilah yang secara harfiah berbeda tetapi substansinya sama. Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengibaratkan seperti selembar daun sirih, Dibolak-balik berbeda warna tetapi kalau digigit sama rasanya.Konstitusi nasional kita memang pernah menggunakan dua istilah itu. Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 menggunakan istilah kebebasan pers. Adapun UU Nomor 40 Tahun 1999, dan UUD 1945 menggunakan istilah kemerdekaan pers.Fungsi PersEsensi kemerdekaan/ kebebasan pers dapat dilihat dari dua hal. Bebas dari apa dan bebas untuk apa. Yang pertama, tentu bebas dari ancaman dan paksaan. Bebas dari sensor, beredel (breidel), dan larangan penyiaran. Masa sebelum diundangkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 dikenal sebagai masa pers tiarap. Sensor, beredel, larangan penyiaran dalam berbagai bentuknya sering dilakukan terhadap pers nasional. Koran-koran seperti Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, atau Detak, pada masa Orde Baru pernah diberedel.Begitu juga beragam ancaman dan tekanan sering dilakukan terhadap pers. Baik itu oleh penguasa, aparat keamanan ataupun masyarakat. Terutama dari mereka yang merasa kepentingannya terganggu oleh suatu pemberitaan pers.
Lantas, bebas untuk apa? Ya, bebas untuk melaksanakan hak-haknya. Di antara hak yang sangat penting dari pers adalah hak untuk mencari, mengolah, dan menyiarkan informasi dan gagasan. Bebas untuk apa lagi? Untuk melaksanakan fungsi pers, terutama fungsi sebagai sarana informasi, edukasi dan kontrol sosial. Apa lagi? Bebas untuk melaksanakan perannya. Terutama terkait dengan peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengawasi, mengkritik, mengoreksi, dan memberi saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Juga peran memperjuangkan kebenaran dan keadilan.Fungsi dan peran pers itu nyata, semua berkaitan dengan kepentingan umum. Tetapi semua itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik manakala pers tidak diberi kebebasan dalam mencari informasi, mengolah informasi, dan menyiarkan informasi. Inilah pentingnya dukungan semua pihak terhadap prinsip kemerdekaan/ kebebasan pers. ● -
Pendapatan per Kapita Mencerminkan Siapa?
Pendapatan per Kapita Mencerminkan Siapa?A. Prasetyantoko, KETUA LPPM, UNIKA ATMA JAYA, JAKARTASumber : SINDO, 9Februari 2012Kian jelas,Indonesia masuk dalam kelompok negara berpenghasilan menengah (middle income countries). Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pendapatan per kapita 2011, yang sudah mencapai Rp 30,8 juta atau sekitar USD 3.542,9.
Terjadi kenaikan cukup signifikan dari periode sebelumnya.Dengan kata lain, penduduk Indonesia rata-rata berpenghasilan Rp 2,56 juta setiap bulannya. Tidak ada yang salah dengan data statistik ini.Kenaikan itu bersumber dari dua hal pokok, kinerja pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 6% sejak 2010, serta penguatan nilai tukar yang membuat “nilai” perekonomian kita naik.Meskipun begitu,ada persoalan di balik peningkatan tersebut.Pertama, peningkatan diikuti oleh penguatan rupiah, sehingga daya saing produk ekspor kita melemah. Dunia usaha berorientasi ekspor pasti kedodoran menghadapi situasi itu. Kedua, terkait dengan hal pertama, buruh akan menghadapi kondisi perusahaan yang menghadapi kesulitan, sehingga tuntutan kenaikan upah menjadi sulit. Itulah mengapa seakan terjadi suasana yang berbeda di dunia nyata.Kontradiksi itu sangat jelas terjadi untuk kasus upah buruh.
Bagaimana mungkin, perekonomian baik dan pendapatan per kapita meningkat, tetapi upah buruh tidak bisa dinaikkan? Itulah realitas yang oleh ekonom terkemuka JM Keynes disebut sebagai “counter intuitive”. Ilmu ekonomi harus mampu menjelaskan situasi yang tidak sesuai dengan intuisi tersebut. Di Kabupaten Tangerang, misalnya, buruh terus berjuang menuntut pemberlakuan kenaikan upah minimum regional (UMR) dari Rp1.379.000 menjadi Rp1.527.000 per bulan. Demikian pula di Kabupaten Bekasi, yang berujung pada penutupan jalan tol. Dan jika kita lihat, besaran UMR masih berada jauh di bawah pendapatan per kapita. Jadi, pertanyaan yang menggelitik: sebenarnya pendapatan per kapita itu mencerminkan kelompok masyarakat yang mana?
Kesenjangan Sektoral
Kenaikan pendapatan per kapita mengukur pendapatan rata-rata penduduk dalam setahun. Dia merupakan turunan langsung dari produk domestik bruto (PDB) yang sepanjang 2011 tumbuh sebesar 6,5% atau secara nominal sebesar Rp7.427,1 triliun. Inilah kinerja perekonomian terbaik sejak 15 tahun terakhir. Pertanyaannya, siapa yang menikmati pertumbuhan tinggi tersebut?
Dilihat secara sektoral, industri transportasi dan telekomunikasi tumbuh paling pesat, sebesar 10,69%. Disusul oleh industri per-dagangan, hotel dan restoran sebesar 9,18%. Bagaimana dengan sektor pertanian? Dia hanya tumbuh 2,98%. Betapa besar perbedaan itu.Umumnya, sektor jasa erat kaitannya dengan kelompok menengah yang berpenghasilan dan daya beli relatif tinggi.
Apa yang membuat Indonesia tumbuh cukup tinggi? Perekonomian Indonesia berbasis pada permintaan domestik,dengan mengandalkan kenaikan daya beli kelas menengah.Pada struktur PDB 2011, sebesar 54,3% disumbang oleh kegiatan konsumsi masyarakat, sementara konsumsi pemerintah sebesar 9%,sehingga total permintaan domestik (permintaan rumah tangga dan pemerintah), hampir mencapai 65% sendiri dari total PDB.
Sementara sisanya disumbang oleh investasi (32%), dan selisih dari ekspor terhadap impor. Sejak 2010, investasi tumbuh tinggi.Tidak bisa disangkal, memburuknya proyeksi perekonomian negara-negara maju, justru menjadi berkah bagi perekonomian yang sedang tumbuh seperti Indonesia.
Goldman Sachs mengatakan, negara seperti Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai “emerging market”, tetapi “growth market”.Potensi pasarnya luar biasa, sehingga banyak investor yang tertarik untuk masuk. Sejak 2010, nilai investasi di Indonesia terus meningkat. Data BPS menunjukkan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh di atas 8% sejak 2010.
UNCTAD dalam World Investment Report 2011, juga mencatat bahwa Indonesia pada 2010 masuk 20 negara penerima aliran modal asing langsung (Foreign Direct Investment– FDI).Ke depan, sektorsektor konsumsi dan terkait dengan kebutuhan kelompok menengah akan tumbuh.
Kelas Menengah
Indonesia memang surga bagi sektor konsumsi. Betapa tidak, penduduknya sangat besar, sekitar 230 juta jiwa. Menurut catatan Bank Dunia (2010),jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 134 juta. Definisinya, kelompok dengan penghasilan sebesar USD2–20 per hari. Dari kelompok yang lebar itu, bisa diklasifikasikan dalam 4 kelompok.
Pertama,lowest middle class dengan penghasilan antara USD2–4/hari (sebanyak 38% dari total penduduk). Kedua, low middle class antara USD4–6/hari (sebanyak 11%). Ketiga, middle middle class atau berpenghasilan antara USD6–10 USD(5%).Keempat, upper middle classdengan penghasilan antara USD10–20/hari (1,3%).
Kita bisa melihat,kelompok yang disebut “kelas menengah” itu, ternyata hampir separuhnya berpenghasilan kurang dari USD6/hari. Jadi, sebenarnya pendapatan per kapita bahkan tidak mewakili kelompok menengah di Indonesia. Pendapatan per kapita sejatinya lebih mencerminkan banyaknya orang kaya dan super kaya. Indonesia memiliki pertumbuhan orang kaya tercepat di antara negara-negara ASEAN.
Di antara negara berkembang, Indonesia berada di urutan ke-8 dilihat dari banyaknya jumlah orang kaya. World Wealth Report 2011 yang disusun Merrill Lynch & Capgemini melaporkan, dibandingkan dengan wilayah lain, usia orang-orang super kaya (highly net-worth individual/HNWI) di kawasan Asia dikuasai oleh orang muda.
Bila secara global jumlah HNWI yang berusia 31–45 tahun hanya 15%, di kawasan Asia proporsinya sebesar 38%.Sama-sama kaya, tetapi dengan umur yang lebih muda, punya implikasi ganda: konsumsi lebih banyak dan usia produksi lebih panjang. Predikat investment grade akan membuat investasi terus mengalir. Namun, kue pembangunan ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok penduduk.
Kenaikan pendapatan per kapita lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah kelas menengah, dan terutama orang-orang superkaya yang peningkatan asetnya melonjak drastis akhir-akhir ini. Pendapatan per kapita jelas tidak mencerminkan pendapatan buruh, apalagi pekerja informal yang jumlahnya sangat banyak di negeri ini.
Ada persoalan sangat serius dengan kesenjangan di negeri ini.Bagi sebagian besar penduduk, kenaikan pendapatan per kapita itu tidak bermakna apaapa, karena tidak ikut menikmatinya.
● -
Tantangan untuk Kebebasan Pers
Tantangan untuk Kebebasan PersFelix Jebarus, PEMERHATI PERS DAN KOMUNIKASI POLITIK,PENGAJAR DI STIKOM LSPR JAKARTASumber : SINDO, 9Februari 2012Pada hari ini bangsa Indonesia merayakan hari Pers Nasional. Setelah menikmati kebebasan sejak diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, belakangan ini mulai timbul pro-kontra terhadap kebebasan pers.
Ada sementara pihak yang menilai bahwa pers Indonesia sudah kelewat bebas,bahkan kebablasan. Namun ada pandangan sebaliknya, bahwa pers sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu, menurut kelompok yang belakangan ini revisi terhadap Undang-Undang Pers, sama sekali tidak diperlukan. Bagaimanapun,sistem pers sangat terkait dengan sistem politik yang berlangsung di setiap negara.Negara-negara yang menganut sistem pe-merintahan otoriter, tentu akan menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat dan kaku terhadap kegiatan pers.Pers akan menjadi bagian atau menjadi alat kekuasaan. Perbedaan pendapat atau kritik terhadap penguasa merupakan sesuatu yang diharamkan. Sebaliknya, negara-negara yang menganut sistem politik demokratis pun akan membebaskan pers untuk melakukan kritikan.
Kemerdekaan pers untuk menyampaikan informasi, dijunjung tinggi. Secara teoretis,kajian yang menyangkut hubungan antara politik suatu negara dan kondisi kehidupan persnya, telah menjadi fokus perhatian Friederich Siebert dkk.Mereka meletakkan empat teori dasar mengenai sistem pers yaitu: sistem pers otoriter; sistem pers bebas; sistem pers komunis; sistem pers bebas bertanggung jawab.
Praktik pengaturan terhadap pers di setiap negara, mengacu pada teori-teori tersebut. Dalam pentas politik Indonesia terutama pada era Orde Baru, pemerintah memperkenalkan “sistem pers Pancasila”. Namun, betapapun menggunakan label Pancasila, sistem pers yang dibanggakan pemerintahan Orde Baru itu merupakan wujud sistem pers otoriter. Dalam praktiknya, begitu banyak surat kabar yang dicabut atau dilarang terbit selama rezim Orde Baru.
Bahkan, wartawan yang dianggap vokal serta berbeda pendapat dengan pemerintah tak jarang dicekal. Surat kabar Sinar Harapan, harian Prioritas, majalah Tempo,majalah Editor,serta tabloid Detik,termasuk contoh kecil media massa yang merasakan brutalnya tindakan rezim Orde Baru.Tidak heran bila para pekerja pers merasa trauma dengan pelbagai tindakan pemerintah yang sewenangwenang mengendalikan media massa.
Pers Reformasi
Tumbangnya rezim Orde Baru membawa angin segar bagi dunia pers. Serangkaian kebijakan terhadap pers pun turut mendukung terwujudnya kemerdekaan pers. Lahirnya UU Pers No 40 Tahun 1999 merupakan puncak dari semua kebijakan yang mendukung kebebasan pers. Kini, setelah pers mendapatkan kemerdekaan, atau terbebas dari rongrongan penguasa, lantas apakah tidak ada tekanan terhadap kebebasan pers? Ternyata penindasan terhadap para jurnalis/wartawan masih sering terjadi.
Dalam era reformasi, tekanan itu muncul dari masyarakat. Ketika terjadi pemberitaan yang dianggap tidak sesuai fakta, tak jarang ada warga masyarakat yang mudah marah dan melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ancaman kekerasan fisik terhadap kalangan jurnalis selama tahun 2011.
Berdasarkan pemaparan Ketua AJI Eko Maryadi dalam Catatan Akhir Tahun di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pada 28 Desember 2011 jumlah kekerasan fisik pada 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang didominasi aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi intimidasi, teror, pemukulan, penyerangan, pengeroyokan, pembakaran, sampai pembunuhan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menunjukkan data yang bahkan lebih mencengangkan. Menurut lembaga ini, kekerasan terhadap wartawan pada 2011 (96 kasus) justru meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 (69 kasus). Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan menun-jukkan bahwa, masyarakat belum seluruhnya memahami atau menghargai profesi wartawan sebagai pekerja pers.
Padahal, UU Pers memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat melakukan “Hak Jawab” manakala merasakan adanya kesalahan dalam pemberitaan media massa (Pasal 1 ayat 11 UU No.40 tahun 1999) dan, wartawan pun dituntut untuk melayani “Hak Jawab”dari masyarakat (Pasal 5 ayat 2 UU No 40 Tahun 1999).
Pelanggaran Etika
Patut diakui,kekerasan terhadap pers kerap juga dipicu karena kurangnya pemahaman prinsip-prinsip etika jurnalistik di kalangan sebagian wartawan. Sering terjadi pelanggaran kode etik oleh para jurnalis. Dalam catatan Dewan Pers,selama tahun 2011 terjadi banyak pelanggaran kode etik secara serius oleh media. Sekitar 80% dari sekitar 500 kasus yang masuk ke Dewan Pers berkaitan erat dengan pelanggaran kode etik.
Bagir Manan mengakui penyebab terjadinya pelanggaran kode etik, selain karena kecerobohan dari pihak wartawan dan redaksi yang belum memahami betul kode etik jurnalistik, yang tidak kalah penting pula,karena adanya kepentingan redaksi dan kepentingan pemilik media itu sendiri.
Oleh karena itu, perlu ada peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan esensi dari kebebasan pers pada satu sisi, sementara itu pada sisi lain,menjadi hal yang mendesak bagi para pekerja pers (wartawan) untuk tetap patuh pada kode etik jurnalistik dalam pemberitaan. Hal tersebut patut direnungkan di hari Pers Nasional.Selamat Hari Pers Nasional!
● -
Kompetensi Wartawan Bukan Momok
Kompetensi Wartawan Bukan MomokPetrus Suryadi Sutrisno, Direktur eksekutif Lembaga Kajian Informasi, wartawan utama, pengajar LPDS, dan penguji kompetensi wartawan, serta anggota Tim Perumus SKW – Dewan PersSumber : JAWA POS, 9Februari 2012STANDARkompetensi wartawan dan uji kompetensi wartawan (SKW/UKW) sejak 9 Februari 2010 merupakan trend-issue bagi komunitas wartawan atau media. Terutama setiap 9 Februari digelar perhelatan Hari Pers Nasional; pada 2010 di Palembang 2010, kemudian 2011 di Kupang, dan kini di Jambi.SKW/UKW pada 2011 masih dianggap sebagai hal baru, sebagai ”momok” bagi sebagian wartawan. Kini SKW/UKW sudah mulai dianggap hal yang biasa. Bahkan, itu menjadi keharusan sebagai syarat bagi seorang wartawan yang kompeten atau profesional.
SKW dideklarasikan dan langsung diratifikasi oleh 19 perusahaan pers nasional (termasuk Dahlan Iskan dari Jawa Pos Group, Red) pada Peringatan HPN 9 Februari 2010 di Palembang.
Meskipun sosialisasi penerapan SKW merupakan misi dan tugas Dewan Pers, Lembaga Pers dr Soetomo/LPDS, ”anak kandung” Dewan Pers  sebagai lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan jurnalistik, juga terlibat dan bahkan memelopori. Yakni, dalam pembuatan perangkat uji, prosedur pelaksanaan UKW, materi uji dan membuat panduan, metode, serta sistem penilaian UKW. Kelak itu digunakan sebagai model dan menjadi satu-satunya referensi bagi lembaga penguji lain.
LPDS melakukan uji coba-uji perdana UKW di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar dengan disponsori Yayasan Tifa. LPDS pun memperoleh predikat sebagai lembaga pelaksana UKW yang pertama di Indonesia pada Juli 2011. Setelah itu, organisasi PWI pusat dan Kantor Berita Antara mendapat status yang sama.
PWI pusat juga telah melaksanakan beberapa kali UKW. Sedangkan Antarayang sebelumnya pernah melakukan UKW internal juga kembali melakukan UKW dengan menggunakan standar Dewan Pers. Sementara itu, RRI dan AJI sedang mempersiapkan diri menjadi lembaga penguji kompetensi wartawan.
Hingga kini, belum ada rekapitulasi Dewan Pers yang mendata mana di antara 19 perusahaan yang meratifikasi Piagam Palembang 2010 yang telah menerapkan SKW dan melakukan UKW. Namun, dalam catatan Dewan Pers, kelompok media Kompasdan Tempo pernah dan telah menerapkan SKW mereka sendiri.
Kelompok media Jawa Pos telah mengawali melakukan UKW bekerja sama dengan LPDS pada 23-26 Mei 2011. Sebanyak 27 wartawan dalam  kelompok Jawa Pos -Wahana Semesta Merdeka- melakukan UKW bagi 32 orang wartawan muda, madya, dan utama. Kemudian, pada 30-31 Januari 2012, acara yang sama diadakan untuk 50 orang wartawan. Bahkan, 47 orang di antara mereka adalah pemimpin redaksi.
Kelompok Harian Pikiran Rakyat, Bandung dan kelompok harian Bali Postjuga telah meminta LPDS untuk melaksanakan UKW.
Hingga akhir 2011, data tidak resmi LPDS tentang peserta UKW sampai akhir 2011 berjumlah 299 wartawan. Sedangkan yang digelar PWI berjumlah 508 wartawan.
Kita belajar dari pengalaman UKW kelompok wartawan utama yang umumnya para pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan redaktur senior dari Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Makassar, Medan, Surabaya, dan Balikpapan serta Bali. Fakta menunjukkan bahwa setelah hari kedua UKW dilaksanakan, ketakutan dan gamang para peserta UKW mulai berkurang. Peserta UKW mulai memahami makna dan tata cara, serta dapat mengikuti ritual UKW sesuai dengan panduan uji.
Situasi di atas membuktikan bahwa sosialisasi merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari pelaksanaan UKW itu sendiri. Bahkan, peserta UKW merasa tidak punya cukup waktu untuk membaca semua panduan UKW yang tersedia. LPDS menggunakan pola 3 (tiga) hari, yakni satu hari penuh digunakan untuk sosialisasi SKW dan panduan mengikuti UKW serta 2 (dua) hari digunakan untuk uji materi kompetensi.
Meskipun Dewan Pers telah belasan kali melakukan sosialisasi SKW/UKW, tetap saja pada hari pelaksanaan UKW itu sendiri rasa takut, gamang, dan ngeri umumnya tetap menyelimuti para peserta UKW. Situasi itu membuktikan bahwa, pertama, sosialisasi yang digunakan Dewan Pers belum menggunakan format komunikasi sosialisasi yang baku dengan metode terukur. Kedua, sosialisasi yang selama ini diadakan cenderung hanya terpusat di ibu kota provinsi atau kota-kota besar. Padahal, wartawan Indonesia yang jumlahnya sekitar 40 ribu juga tersebar di lebih dari 500 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Ketiga, peserta program sosialisasi SKW/UKW tidak serta merta juga menjadi peserta UKW itu sendiri.
Sebetulnya UKW bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan. Prosedur atau tata cara melaksanakan UKW, bahkan materi UKW, sebelumnya bisa dibaca sendiri dalam buku panduan UKW yang diterbitkan LPDS.
Pemenuhan standar kompetensi wartawan (SKW) sudah dianggap sebagai syarat mutlak bagi seorang wartawan untuk memenuhi standar kualifikasi profesional. Standar itu akan lebih menjamin terciptanya fungsi pers yang maksimal, adanya kebebasan pers sejati. Pers tidak terkooptasi dengan kepentingan penguasa, pengusaha, dan pemilik modal -penyalahgunaan pers untuk kepentingan tertentu.
Kebebasan pers yang dilandasi SKW bisa jadi merupakan ancaman dan ketidaknyamanan  bagi para koruptor, politisi busuk, dan pengusaha yang kolutif (Majid Tehranian, 2001). Pers atau wartawan yang sudah dinyatakan kompeten mestinya tidak akan pernah bisa dibeli, dibungkam, atau direkayasa oleh siapa pun. ●
-
Media dan Kekuasaan
Media dan KekuasaanThomas Koten, DIREKTUR SOCIAL DEVELOPMENT CENTERSumber : SUARA KARYA, 9Februari 2012Dalam masa pemerintahan Presiden Yudhoyono ini, sudah cukup sering terdengar keluhan atau kritikan kekuasaan terhadap media massa yang dinilai tidak berimbang dalam mengemas pemberitaan. Misalnya, pemberitaan tentang suap dan korupsi yang menimpa sejumlah kader Partai Demokrat. Dalam kasus tersebut, pers dinilai begitu gencar memberitakannya melampaui pemberitaan dalam kasus-kasus hukum lainnya. Bahkan, ada media yang dinilai hanya gemar melakukan kritik terhadap ketidakberhasilan pemerintahan Yudhoyono, tanpa menyampaikan sisi-sisi keberhasilan.Karena merasa gerah dengan kritikan tajam media tersebut, kadang-kadang kritikan pemerintah itu berubah menjadi kecaman. Itu pernah terjadi di awal tahun ini tatkala Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengancam akan memboikot media yang selalu mengeritik pemerintah untuk tidak mendapatkan iklan dari instansi pemerintah. Ironisnya, media yang rajin mengeritik pemerintah juga diancam tidak diberi informasi, dan orang-orang yang diundang untuk diwawancarai dalam prime time pun dilarang datang.Apa yang terlihat kemudian adalah, serangan balik media terhadap kritik pemerintah pun dilancarkan. Media yang di era otoriter-militeristik Orde Baru selalu merasa dibelenggu atau dikerangkeng oleh sepak terjang kontrol kekuasaan, tentu tidak mau lagi terperangkap oleh kekuasaan yang menakutkan tersebut. Sebaliknya, kekuasaan yang merasa diri semakin tidak nyaman di era demokrasi dan pers bebas ini tentu juga tidak mau terus menerus diusik oleh pisau kritik media yang terkadang memang memerahkan telinga. Karena, kalau dibiarkan, bisa berakibat buruk bagi kekuaaan. Bagaimana membedah masalah ini?Kekuasaan dan Kontrol MediaPerlu dicatat bahwa kekuasaan yang digenggam presiden adalah milik rakyat, karena kekuasaan itu didelegasikan oleh rakyat kepada presiden pada saat pemilu. Karena itu, seorang penguasa perlu terus menerus memahami bahwa kekuasaan yang sedang digenggam itu tidak bisa bebas dari kontrol dan kritik rakyat yang telah mendelegasikan kekuasaan itu kepadanya. Kontrol dan kritik rakyat kepada jalannya kekuasaan presiden adalah kewajiban rakyat. Bahkan, rakyat bisa mengambil kekuasaan itu kapan saja, tatkala melihat bahwa kekuasaan itu tidak sanggup dijalankan oleh sang penerima delegasi.Jadi, meski kritik itu terasa pedas, tetapi itulah salah satu konsekuensi logis bagi seorang presiden yang telah memutuskan untuk menerima kekuasaan yang didelegasikan oleh rakyat kepadanya. Seorang penguasa tidak bisa merasakan bahwa kekuasaan yang digenggam itu merupakan milik pribadi yang harus dipertahankannya secara terus-menerus. Sehingga, ia menjadi pongah di hadapan rakyat. Dan, pers adalah sebuah media publik yang bertugas untuk menuangkan dan menyampaikan bentuk-bentuk kontrol dan kritik rakyat kepada kekuasaan, dalam hal ini presiden sebagai pemimpin eksekutif.Di era pemerintahan otoriter, yang mendewakan kekuasaan, tentu pemerintah berusaha menghindari kritik. Sehingga, segala bentuk kritik publik pun dibungkam. Media massa dikontrol secara ketat alias kebebasan pers dibelenggu atau dikerangkeng.Tetapi, para penguasa otoriter lupa bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak abadi. Yang abadi hanyalah kekuasaan milik rakyat. Keperkasaan rakyat akan merontokkan kekuasaan yang pongah. Dibangunlah demokrasi dan dikembangkan kebebasan pers agar kekuasaan yang dijalankan oleh presiden dapat dikontrol oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan mutlak. Itulah yang terjadi selama ini, rezim otoriter militeristik Orde Baru ditumbangkan oleh kekuatan rakyat untuk membangun kembali demokrasi dan kebebasan pers.Dengan demikian, pemerintah hendaknya memahami bahwa media adalah perangkat rakyat untuk mengontrol dan mengeritik proses penyelenggaraan kekuasaan. Sebab itu, mengancam dan melemahkan institusi media, seperti melarang memasang iklan di media, di mana iklan merupakan nyawa penerbitan media, sama artinya dengan melemahkan hak rakyat atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, hak politik warga negara untuk mengontrol pemerintah. Ini harus diingat selalu oleh pemerintah, terutama para pembantunya. Tugas pemerintah bukan mengkritik rakyat, tetapi berusaha agar menjalankan aspirasi rakyat.Ingat bahwa di era globalisasi informasi atau yang disebut sebagai era digital ini, pembungkaman terhadap media hanyalah mimpi belaka. Pembungkaman terhadap media hanyalah melahirkan solidaritas protes rakyat pencinta media dan demokrasi terhadap kekuasaan. Lebih dari itu, publik akan mencari jalan lain yang bukan lagi sekadar mengkritik pemerintah atau penguasa, tetapi berusaha untuk merontokkan kekuasaan yang dianggap pongah.Bagaimana pun media tidak bisa dibaca sebagai kekuatan buta dengan segudang idealisme kosong tanpa pijakan riil.Media tentu punya sarat kepentingan dan etika keberpihakan demi penegakan keadilan dan perajutan kebenaran. Keberpihakan pada korban atau pihak yang lemah selalu menjadi pilihan bagi media dalam memeteraikan etikanya. Maka, tidak aneh jika media selalu berpihak pada rakyat “sebagai pihak yang lemah” dalam berhadapan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.Selain itu, dalam konteks sosial bernegara, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media itu. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal, eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat pembacanya.Maka, tatkala dorongan masyarakat begitu kuat untuk membongkar kasus korupsi, penegakan supremasi hukum, penyelesaian kasus kekerasan dan lain-lain, media wajib menjembataninya. Media tampil menjalankan misi profetisnya yang meletakkan dirinya bukan sekadar sebagai corong berita, namun harus mampu mendesak pengusutan tuntas secara informatif berbagai kasus pelanggaran itu. ● -
Keterbukaan Informasi Masih Tersandera
Keterbukaan Informasi Masih TersanderaSiti Nuryati, ALUMNUS PASCASARJANA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPBSumber : SUARA KARYA, 9Februari 2012Dalam suatu diskusi publik bertema “Respon Badan Publik atas Pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”, baru-baru ini muncul ragam persoalan yang dijumpai para pengelola layanan informasi. Khususnya, dari berbagai institusi publik, baik kementerian, lembaga MPR, DPR, DPD, MA, MK, kejaksaan, kepolisian, BUMN, parpol, perguruan tinggi, lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).Badan publik dimaksud menurut definisi UU KIP adalah, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau luar negeri.Meski sudah diundangkan sejak 1 Mei 2010, nyatanya baru sekitar 12 persen badan publik di Tanah Air yang sudah menerapkan UU KIP yang mengamanatkan, segera membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai instrumen pengelola informasi. Nyatanya, belum direspon dengan antusias oleh badan-badan publik. Salah satu penyebabnya, adanya kekhawatiran bahwa keberadaan PPID justru akan menelanjangi badan publik. Itu sebabnya, kenapa badan publik masih tergagap-gagap memahami dan menerjemahkan UU KIP, yang kelahirannya memang ditujukan untuk membawa perubahan paradigma badan publik dalam mengelola informasi.Sebelum UU KIP berlaku, pengelolaan informasi dilakukan dengan paradigma tertutup. Hampir seluruh informasi adalah tertutup, kecuali yang diizinkan terbuka. Namun, setelah berlaku, paradigma pengelolaan informasi bergeser menjadi pengelolaan informasi secara publik. Artinya, seluruh informasi adalah terbuka (informasi publik), kecuali yang dikecualikan.Pemberlakukan UU KIP tidak perlu dikhawatirkan, karena akan meningkatkan kredibilitas badan publik dalam pengelolaan dan pelayanan informasi sehingga kepercayaan meningkat kepada badan publik. Sungguh beragam kesulitan akan ditemui badan publik ketika dirinya tidak membentuk PPID. Badan publik akan kesulitan mengomunikasikan pengumpulan dan dokumentasi data, mengembangkan layanan informasi, menghambat kinerja badan publik yang tidak membidangi hal tersebut.Ketiadaan PPID juga berpotensi menghambat partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik serta berpotensi meningkatkan sengketa informasi publik. Asal badan publik memiliki komitmen untuk membenahi kinerjanya maka sesungguhnya tidak sulit untuk melaksanakan UU KIP ini.Menjamurnya kasus korupsi di tubuh pemerintah ataupun di partai politik (parpol) saat ini sesungguhnya bisa dicegah andai UU KIP ini dilaksanakan dengan baik. Karena, publik bisa mengontrol apa yang dilakukan pemerintah maupun parpol berikut aliran dananya. Indikasi adanya penyelewengan bisa dideteksi lebih dini oleh masyarakat.Logikanya, kalau memang bersih, mengapa risih? Aktivis FITRA dalam diskusi publik ini mengatakan tak sedikit parpol yang merasa risih ketika dimintai informasi terkait laporan keuangan parpol. Padahal, UU KIP mengamanatkan bahwa laporan keuangan badan publik merupakan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.Tampaknya belum menjadi kebiasaan badan publik di Tanah Air untuk mengumumkan laporan keuangannya secara terbuka. Misalnya, dengan meng-upload di website badan publik bersangkutan. Padahal, langkah tersebut merupakan cara untuk menunjukkan kepada publik bahwa tidak ada masalah dengan pengelolaan keuangan di badan publik. Intinya, pemberlakuan UU KIP bisa menjadi momen percepatan reformasi birokrasi di tubuh badan publik di Tanah Air, terutama terkait dengan kualitas pelayanan informasi. Sayangnya, ketidaksiapan badan publik menjadi hambatan utama.Ketidaksiapan badan publik melaksanakan UU KIP juga turut disumbang saat awal pembahasan UU ini oleh DPR RI. Karena menyangkut berbagai aspek penyelenggaraan negara, semestinya UU ini tidak hanya digodok di Komisi I DPR, melainkan perlu dibahas lintas komisi. UU ini pun terkesan kejar tayang sehingga banyak aspek yang terlewatkan/tidak terwadahi, di antaranya tidak secara jelas mengatur sanksi bagi pemohon informasi yang tidak bertanggung jawab. Kelemahan ini kian lengkap saat pemerintah tidak berupaya dengan sungguh-sungguh mendorong penerapan UU ini oleh badan-badan publik, melakukan pembinaan dan monitoring sehingga kendala-kendala implementasinya dapat dideteksi sedini mungkin.Kemungkinannya, ke depan UU KIP perlu direvisi agar didapatkan formula terbaik, bagaimana memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk mengetahui apa dan bagaimana sebuah badan publik bekerja. Juga, membangun nuansa bahwa pemohon informasi saat meminta informasi ke badan publik itu karena memang suatu bentuk keingintahuan. Diharapkan setelah mengetahui, ia bisa berperan dengan baik sebagai warga masyarakat. Atau, sekaligus sebagai bentuk kepedulian untuk turut membangun dan memperjuangkan hak-hak publik, dan bukan untuk mengambil keuntungan tertentu.UU KIP ini sangat penting dalam menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses, alasan pengambilan keputusan publik termasuk yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Manfaat lainnya adalah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik serta mendorong penyelenggaraan negara secara transparan, efektif, efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.Sayang sekali, jika tujuan-tujuan mulia ini kandas di tengah jalan lantaran masih banyaknya lubang-lubang dalam UU KIP. ● -
Kelas Menengah di Asia
Kelas Menengah di AsiaAkira Moretto, WAKIL KEPALA BAGIAN PENELITIAN DI PT STRATEGIC ASIASumber : SINAR HARAPAN, 8Februari 2012Salah satu fenomena paling penting abad 21 adalah kebangkitan dari warga kelas menengah di Asia. Kelompok strata sosial ini mendapatkan perhatian yang cukup besar, tidak hanya karena jumlah keseluruhannya yang besar, tetapi disebabkan juga oleh peningkatan jumlah penduduk kelas menengah ini yang semakin meluas.Meskipun perkiraan akan jumlah dari kelas ini bervariasi, menurut Bank Dunia (2007), warga kelas menengah Asia tercatat hanya 1,4 persen dari populasi penduduk dunia di tahun 2000, namun begitu pada 2030 kenaikan tersebut diperkirakan akan terus meningkat mendekati angka 9 persen.Sebagai tiga negara terbesar di kawasan Asia dan dunia, China, India dan Indonesia mempunyai porsi yang cukup besar akan jumlah warga kelas menengah baru di Asia.Hal ini tidak mengherankan karena ketiga negara tersebut merupakan pemain utama di kancah regional dan global dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial, serta memiliki angka pertumbuhan pendapatan nasional (GDP) mereka yang sangat fenomenal.Fakta lain yang dapat diambil dari bangkitnya kelompok kelas menengah ini adalah kenyataan bahwa mereka sekarang termasuk dalam golongan yang diinginkan dari para pembuat kebijakan ekonomi dan kelompok bisnis untuk terus bertambah, terutama sebagai pembayar pajak dan konsumen.Banyak dari para pembuat kebijakan dan ekonom yang mulai membayangkan seberapa besar peran yang akan dimainkan oleh kelas menengah Asia ini pada dekade mendatang untuk membantu perekonomian global keluar dari krisis yang melanda saat ini.Menurut definisi internasional, seseorang dari golongan sosial menengah diperkirakan memiliki pendapatan tahunan lebih dari US$ 3.000 atau sekitar US$ 8 setiap hari. Apabila kita mengambil Indonesia sebagai salah satu contohnya, sejumlah tersebut dapat mencukupi lebih dari kebutuhan dasar hidup sehari-hari.Selanjutnya, menurut Nomura, sebuah bank investasi Jepang, kelas menengah sosial Indonesia tumbuh sampai dengan 50 kali lipat dari tahun 2004 dan 2010, atau dengan kata lain, meningkat dari 1,6 juta ke lebih dari 50 juta orang.Beberapa prediksi juga memproyeksikan bahwa kaum kelas menengah Indonesia akan tumbuh sampai dengan 150 juta pada 2014. Hal ini tentu saja akan membuat pihak pengelola pajak, pelaku bisnis dan penyedia layanan jasa di Indonesia bersukacita, bahkan apabila kenaikan tersebut hanya setengah dari angka yang diramalkan.Walaupun jumlah kelas menengah tersebut relatif mudah diperkirakan, berbagai studi yang dilakukan oleh badan-badan internasional menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu mewakili golongan tertentu yang memiliki kemiripan karakteristik atau pun nilai-nilai tersendiri.Sebagai konsumen, kaum menengah ini akan membelanjakan uang untuk barang-barang kebutuhan yang masih logis atau wajar pada saat pendapatan baru secara teratur mengalir ke pundi-pundi uang mereka. Sebagian di antaranya termasuk lemari es, televisi, mesin pendingin (AC), dan music stereo.Di samping itu, kelompok ini juga memanfaatkan lebih banyak waktu luang mereka, pergi ke bioskop, lebih sering makan di restoran dan juga bepergian, selain membeli lebih banyak barang untuk hadiah atau pun suvenir. Oleh karena itu, pihak wiraswasta dan pencetus inovasi lebih sering membidik kelas menengah tersebut sebagai sasaran utama produk-produk mereka.Lebih BerpendidikanPada umumnya, warga strata sosial ini lebih berpendidikan dan mempunyai kecenderungan melakukan investasi di bidang pendidikan dan sekolah bagi anak-anaknya.Lebih lanjut lagi, mereka memandang sumber daya manusia seperti pendidikan, pengetahuan termasuk juga tabungan, merupakan hal penting bagi mereka yang pada kenyataannya perilaku-perilaku seperti ini cukup dapat menopang pertumbuhan ekonomi suatu negara.Kelompok menengah faktanya merupakan bagian dari masyarakat yang seringnya bersedia membayar ekstra untuk produk-produk yang berkualitas lebih tinggi, yang pada akhirnya mampu mendorong permintaan untuk barang-barang kebutuhan berkualitas tinggi.Dengan demikian, seiring pertumbuhan jumlah kelompok kelas menengah ini, investasi di bidang pengetahuan atau sumber daya manusia juga meningkat.Tentu saja, sekilas banyak dari karakteristik-karakteristik tersebut dapat diasosiasikan terhadap penduduk kelas menengah Indonesia, dan seiring meningkatnya jumlah kelompok ini, gambaran di atas tercermin dalam keluarga-keluarga kelas menengah yang baru.Poin penting selanjutnya, bagaimana untuk mempertahankan kebangkitan dari kelompok ini merupakan faktor yang sangat krusial bagi Indonesia, terutama dalam sudut pandang yang baik.Selama ini peningkatan di sektor konsumsi secara keseluruhan didorong dari pasar domestik, sehingga perubahan atau sentimen yang terjadi di pasar global memberikan efek yang cukup kecil di Indonesia. Peningkatan tersebut kemungkinan akan terus berlangsung terlepas dari apa pun yang akan terjadi di Yunani, Negara Kawasan Pengguna Euro atau pun Amerika.Walaupun kebangkitan kelas menengah tersebut merupakan hal yang patut disyukuri, hendaknya perhatian terhadap golongan masyarakat miskin sebagai mayoritas penduduk dunia tidak dikesampingkan begitu saja.Di Indonesia, tingkat kemiskinan – di mana orang hidup dengan US$ 1 per hari – masih sekitar 14 persen dari jumlah keseluruhan penduduk yang masih membutuhkan perhatian sangat besar.Apakah nantinya akan muncul efek kemakmuran “menetes ke bawah” ketika para kelompok kelas menengah tersebut mendirikan usaha-usaha kecil dan mempekerjakan karyawan dari kaum yang lebih miskin? Dapatkah pemerintah, seperti yang ada di Indonesia, sungguh-sungguh menjangkau keluarga-keluarga miskin tersebut, yang mungkin tidak mampu memanfaatkan efek kemakmuran yang tercipta?Tentu saja, tantangan akan ketidaksetaraan di Indonesia tetap ada dan banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka usaha mendistribusikan kesejahteraan seperti yang diungkapkan sebelumnya.Sekali lagi, kebangkitan kelas menengah Indonesia merupakan fenomena baru yang disambut baik oleh semua pihak, sehingga untuk seterusnya marilah berharap bahwa hal ini akan menjadi komponen penting untuk membantu perbaikan hidup bagi warga golongan miskin. ●