Author: Adul

  • Mengamankan dan Melindungi Pancasila

    Mengamankan dan Melindungi Pancasila
    Noor Achmad, Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Wasekjen MUI Pusat
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012
    UNIVERSITAS Diponegoro (Undip), Sabtu, 11 Februari 2012 menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada Drs KH As’ad Said Ali. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dinilai berjasa dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran kontributif tentang hukum dan Pancasila. Apa makna penganugerahan gelar kehormatan itu?

    Sebagaimana pemikiran Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (2006: 52), Pancasila dalam sistem ketatanegaraan kita semestinya dipandang sebagai dasar negara sekaligus ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung makna yuridis kuat sebagai norma dasar (grundnorm), dan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis harus bersumber padanya.

    Karena itu, Pancasila harus menjadi rechtsidee yang di dalamnya terdapat  nilai dasar, kerangka berpikir, orientasi, dan cita-cita oleh para penyelenggara negara dan masyarakat dalam berhukum.  Adapun sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan tata nilai yang dianut yang di dalamnya terdapat cita-cita dasar dalam kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Dalam makna ini, Pancasila ditempatkan sebagai weltanschauung (pandangan hidup).

    Persoalannya, Pancasila tengah menghadapi tantangan besar sehingga bermuara pada krisis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rentetan peristiwa pengeboman, terorisme, aksi-aksi yang ingin mengganti ideologi resmi negara hingga kikisnya nasionalisme, seperti kasus guru dan siswa yang enggan menghormat bendera Merah Putih terjadi. Selain itu, pertikaian berbasis agama dan etnis, perebutan  aset dan sumber daya ekonomi, peminggiran ekonomi kerakyatan, hingga penyelewengan praktik penyelenggaraan negara seperti korupsi juga merajalela.

    Sesuai dengan aktivitas dan kompetensinya, KH As’ad Said Ali secara berkelanjutan telah lama berkhidmah dan menyampaikan pemikiran kontributifnya tentang Pancasila. Salah satu gagasan cerdasnya terekam dalam buku Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009). Rencananya, Sabtu besok ia akan menyampaikan pidato penerimaan gelar itu dengan judul ’’Tinjauan Yuridis terhadap Sarana Hukum sebagai Pengaman Ideologi dan Dasar Negara’’.

    Ideologi Terbuka

    Beberapa pemikiran menariknya antara lain; pertama; sebagai dasar dan ideologi negara Pancasila belum ditempatkan secara proporsional dalam sistem ketatanegaraan. Hingga kini memang belum ada ketentuan bagaimana ideologi negara ini harus dioperasionalkan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, serta bagaimana ideologi ini ditempatkan di tengah percaturan ideologi besar di Indonesia.

    Maka domain utama Pancasila harus berada di dalam ruang publik; ruang tempat masing-masing kelompok masyarakat yang sangat beragam itu dapat berinteraksi dan berhubungan demi memenuhi kebutuhan bersifat kolektif kebangsaan-kenegaraan. Di dalam ruang tersebut mutlak berlaku nilai-nilai Pancasila.

    Kedua; Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 belum mendapatkan proteksi yang optimal dari segi peraturan perundangan. Yang ada hingga sekarang hanya Tap MPR XXV/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999. Kedua peraturan perundangan ini terlihat belum memadai dalam mengantisipasi merebaknya gerakan-gerakan yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 1945. Maka diperlukan kriminalisasi atas perbuatan yang bertujuan mengganti ideologi negara secara lebih jelas, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

    Ketiga; melindungi dan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara harus pula meletakkan dalam kerangka besarnya, yaitu keamanan negara (state security) atau keamanan nasional (national security). Terkait di dalamnya bukan hanya soal kriminalisasi perbuatan yang mengganggu ideologi negara, pengaturan terhadap aktivitas masyarakat dalam bentuk partai politik dan ormas, kriminalisasi terhadap perbuatan yang mengancam keselamatan masyarakat secara keseluruhan seperti terorisme, melainkan juga terkait dengan pengaturan tentang TNI, Polri, dan intelijen negara.
               
    Dalam keseluruhan konteks tersebut maka apa yang dilakukan Undip hakikatnya sarat makna. Pertama; penganugerahan gelar di bidang hukum dan Pancasila ini menarik dan mendorong kembali terbukanya kontestasi pemikiran tentang Pancasila. Jika pada era Orde Baru Pancasila menjadi ideologi negara yang hegemonik-monopolistis dengan tafsir tunggal versi penguasa, lalu di era reformasi laksana hilang ditelan bumi karena jarang dibahas, maka ini bisa menjadi keran pembuka agar Pancasila bisa bertransformasi menjadi ideologi yang terbuka dan kompatibel dengan semangat zamannya.

    Kedua; penganugerahan gelar itu menyadarkan kita bahwa pengkajian terhadap Pancasila harus terus dilakukan. Masih banyak ruang kosong yang harus diisi agar nilai-nilai luhur Pancasila bisa dioperasionalkan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Misalnya tentang perlunya pengaturan kebebasan yang lebih jelas dan tepat mengenai aktivitas-aktivitas publik masyarakat, seperti berorganisasi, berkumpul, dan berekspresi.

    Tujuannya, bukan untuk membatasi kebebasan-kebebasan fundamental dalam sistem demokrasi itu melainkan mencegah digunakannya kebebasan itu untuk mengganggu keamanan negara dan masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang Partai Politik, UU Organisasi Masyarakat, dan UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum di dalamnya seharusnya memuat prevensi terhadap tindakan yang mengganggu keamanan negara atau mengancam ideologi negara itu.

    Terakhir, terkait dengan globalisasi dan dinamika tantangan domestik, alangkah baiknya jika studi dan upaya sungguh-sungguh dalam mengamalkan Pancasila menjadi bagian yang terus dilakukan demi terus tegaknya NKRI yang sejahtera, adil, dan makmur. ●

  • Pragmatisme Pers

    Pragmatisme Pers
    Sasongko Tedjo, WARTAWAN SUARA MERDEKA,
    KETUA BIDANG ORGANISASI PWI PUSAT 2008-2013
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012
    MENKOMINFO Tifatul Sembiring mengkritik tema yang diusung Hari Pers Nasional (HPN) tentang kebebasan pers. Menurutnya, kebebasan pers di Indonesia sudah tak ada masalah. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah menjamin kebebasan pers, sementara itu sistem politik otoriter sudah lama ditinggalkan. Kebebasan pers di Indonesia bahkan banyak dinilai termasuk paling maju di dunia.

    Pernyataan itu tidak salah, terutama bila dilihat dari sisi pemerintah dan sistem perundang-undangan secara normatif. Dibandingkan dengan masa Orde Baru jelas terjadi pembalikan 180 derajat. Namun pernyataan Menkominfo di Konvensi Media Massa dalam rangka HPN 2012 di Jambi pada 8 Februari lalu itu disanggah oleh Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan dan Ketua PWI Pusat Margiono.

    Dikatakan, kebebasan pers dalam pengertian yang lebih hakiki bukan hanya dalam posisi ketika berhadapan dengan pemerintah. Kebebasan pers adalah praktik jurnalistik yang benar-benar mengedepankan etika dan profesionalisme. Dengan demikian fungsi idiilnya tetap terjaga. Keberpihakannya jelas, demi kemajuan masyarakat dan bangsanya.
    Di sinilah kita akan menemukan masih banyaknya kendala dan juga ancaman bagi kebebasan pers, baik dari internal pers maupun eksternal.

    Pengaruh pemerintah menjadi salah satu faktor dan bukan lagi satu-satunya dan hal ini baru bisa terlihat dari praktik jurnalistik yang ada. Dengan demikian haruslah dapat dipahami, termasuk oleh Menkominfo bahwa jalan untuk mencapai kebebasan pers yang hakiki masih panjang dan memang harus terus-menerus diperjuangkan. Dalam hal ini kita kembali kepada teori lama bahwa pers adalah subsistem dari sistem sosial politik ekonomi dan budaya masyarakat.

    Industrialisasi Pers

    Lembaga pers adalah lembaga ekonomi, jadi media massa, baik cetak ataupun elektronik, tak akan bisa lepas dari industri dan mekanisme pasar. Industri pers bahkan menjadi industri raksasa yang membuat pelaku korporasinya kaya raya. Dengan ditopang oleh kue iklan yang tahun ini bakal mencapai Rp 80 triliun maka industrialisasi pers akan terus berkembang di masa depan. Baik media tradisional maupun media baru seperti media online akan sangat prospektif sekaligus kompetitif.

    Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada industri pers adalah ancaman pertama kebebasan pers. Kepemilikan media, terutama ekektronik, hanya terpusat pada beberapa kelompok usaha besar. Penguasaan pers pada kelompok bisnis tertentu tidak hanya perlu diwaspadai dari aspek persaingan usaha tapi juga dari sisi konten. Inilah ancaman kebebasan pers yang pertama, yakni intervensi kepemilikan media yang mengakibatkan distorsi. Tentu ini bukan sesuatu yang salah atau dapat disalahkan. Masalahnya menjadi serius manakala lembaga pers sebagai lembaga publik, apalagi yang memakai ranah publik seperti lembaga penyiaran, hanya menyuarakan kepentingan kelompok tertentu dan mengebiri kepentingan masyarakat luas.

    Intervensi terhadap media juga datang dari luar karena begitu banyak pihak yang berkepentingan untuk menggunakan pers sebagai alat atau medium untuk menyuarakan kepentingan. Dengan pola transaksional terbuka atau tidak transparan maka lembaga pemerintah ataupun nonpemerintah, terutama partai politik dan lembaga bisnis, berusaha masuk dalam wilayah konten.

    Mungkin terlalu naif untuk mengedepankan masalah ini namun sangat penting untuk menggambarkan fenomena tentang ancaman kebebasan pers yang datang dari berbagai penjuru. Masalahnya kembali kepada seberapa jauh ketahanan lembaga media dan wartawan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Justru di sinilah letak persoalannya, yakni kelemahan lembaga media dan wartawan sebagai pelaku utama industri pers yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan profesionalisme.

    Ancaman ketiga ini bersifat internal karena dari sekitar 350 media surat kabar harian di Indonesia boleh dikatakan sebagian besar belum menjadi lembaga ekonomi yang sehat dan mampu memberi kesejahteraan yang relatif baik, terutama kepada wartawan. Untuk bertahan hidup dan berkembang dilakukanlah pola-pola transaksional konten yang pada hakikatnya mengesampingkan etika jurnalistik. Pada tingkatan ini kita sering toleran dengan alasan pragmatis.

    Di sisi lain kebijakan redaksional terdikte oleh pasar dan persaingan. Masih bagus kalau arahnya adalah kepuasan konsumen namun apabila warnanya berubah karena faktor-faktor intervensi tadi tentu itu bukan kondisi yang diinginkan. Ancaman terberat ketika banyak wartawan yang mudah tergoda intervensi demi kepentingan ekonominya yang seringkali bisa dimaklumi.

    Kelemahan wartawan dari sisi etika dan profesionalisme merupakan masalah serius yang harus diatasi dan ini menjadi tanggung jawab lembaga pers ataupun organisasi profesi seperti PWI. Exit strategy-nya jelas, yakni peningkatan kompetensi dan standardisasi seperti yang sudah mulai dilaksanakan dan membuat industri pers menjadi industri yang sehat dalam kompetisi.

    Ini mudah dirumuskan tapi sulit dipraktikkan, artinya masih perlu perjuangan berat dan panjang untuk mencapai kebebasan pers yang paling hakiki. Pe-merintah dan masyarakat sebagai faktor eksternal juga sangat menentukan.
    Misalnya ketika perilaku koruptif masih tumbuh subur maka sangat mungkin pers pun terkena imbasnya.

    Pelaku pers dan insan wartawan seharusnya me-nyadari tentang masih tingginya kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap lembaga pers. Ini adalah modal besar untuk terus melakukan pembenahan. Para pemilik media pastilahmenyadari bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Jadi ancaman kebebasan pers adalah musuh kita bersama. ●

  • Salah Open atau Ora Kopen?

    Salah Open atau Ora Kopen?
    Hajriyanto Y Thohari, PENDIRI DAN PENGURUS
    LEMBAGA EDUKASI, BANTUAN, DAN ADVOKASI HUKUM JURIST MAKARA
    Sumber : SINDO, 10 Februari 2012
    Negara kita itu besar,bahkan sangat besar; juga kaya, bahkan sangat kaya.Bernard HM Vlekke dalam karya klasiknya Nusantara: A History of Indonesia yang mulai ditulis tahun 1941 dan diterbitkan tahun 1943,berarti beberapa bulan sebelum serangan atas Pearl Harbour, sudah melukiskan kebesaran Indonesia.

    Vlekke mengatakan wilayah darat Indonesia itu mencapai 2 juta kilometer persegi yang berarti hampir tiga kali lebih besar dibandingkan negara bagian Texas, Amerika Serikat (AS). Jika wilayah darat ini ditambahkan dengan wilayah lautan, maka dari titik barat di ujung Pulau Sumatera sana ke titik di perbatasan dengan Papua Nugini di timur jauh sana, jaraknya mencapai 5.000 km lebih.

    Kata Vlekke jarak ini sama dengan jauhnya Kota San Francisco ke Kepulauan Bermuda. Itu jika dilihat memanjang dari barat ke timur! Sementara kalau dilihat melebar dari utara ke selatan, dari Kepulauan Morotai ke Pulau Rote, lebar permukaan darat-dan-laut sekitar 2.000 km,yang kata Vlekke lagi, ini berarti sama dengan jarak dari Buffalo,New York, ke Key West,Florida,AS.

    Jadi total wilayah darat dan laut Kepulauan Indonesia mencapai 10 juta kilometer persegi. Ini berarti, lagilagi kata Vlekke, 2,5 juta kilometer persegi lebih luas dibandingkan tanah yang membentuk AS kontinental tanpa negara bagian Alaska. Betulbetul gede tenan negara Indonesia ini! Dengan jumlah pulau yang fantastis (konon mencapai 17.000 pulau, besar dan kecil), Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar yang tiada tolok bandingnya di dunia.

    Bukan hanya besar,Indonesia juga kaya, bahkan sangat kaya. Kaya sumber daya alam dan manusia. Bukan hanya mitos gemah ripah loh jinawi dan subur kang sarwa tinandur, tetapi realitasnya juga mengatakan Indonesia itu kaya.Tanahnya sangat subur dan kekayaan yang terkandung di bawah tanahnya dan di dalam lautannya juga luar biasa besar. Lihat saja semua daerah di Indonesia ini masing-masing mengklaim kaya, bahkan beberapa di antaranya kaya-raya.

    Saking kayanya hanya dengan penjualan kekayaan alam berupa pertambangan saja telah ikut menyumbangkan 49% dari angka pertumbuhan ekonomi (6,5% per tahun) yang dibangga-banggakan pemerintah itu. Bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang itu merusak ekologi dengan tingkat destruksi ekologi yang luar biasa, semuanya juga merupakan fakta yang tak terbantahkan.

    Lihat juga fakta kekayaan ini: ekonomi Indonesia itu terbesar ke-14 dunia dengan PDB Rp8.100 triliun (bandingkan dengan Singapura yang cuma Rp1.700 triliun)! Justru karena itu Indonesia diajak ikut dalam G-20, kumpulan negara-negara yang size perekonomiannya terbesar dunia. Sumber daya manusia Indonesia itu juga besar, bahkan secara numerikal, (240 juta jiwa) setelah China, India, dan AS.

    Manusia Indonesia secara individual pun unggul. Betapa banyak anak bangsa yang unggul jurit-nya dari dulu sampai sekarang: menjadi yang terbaik dalam banyak bidang atau menjadi juara dalam berbagai olimpiade sains dan teknologi tingkat internasional.

    Salah Open?

    Pertanyaannya adalah kenapa negara yang sangat besar dan kaya itu masih banyak yang miskin rakyatnya? Angka kemiskinan memang telah berhasil diturunkan menjadi 13,3%, tetapi angka ini sungguh problematis. Pertama, ukuran kemiskinan yang digunakan adalah mereka yang berpenghasilan di bawah USD1/hari atau bahkan Rp7.000/hari (BPS). Kedua, dengan persentase ini, angka kemiskinan secara numerikal adalah sangat besar (13,3% dari 237 juta jiwa: 31,5 juta lebih besar dari seluruh penduduk negara tetangga dekat Malaysia).

    Apatah lagi jika ukuran yang digunakan adalah USD2/hari,mungkin setengah penduduk Indonesia tergolong miskin. Pertanyaan berikutnya,mengapa negara yang sangat besar dan kaya ini masih mengimpor kedelai, jagung, beras, garam, daging, sapi, apalagi gandum, dalam jumlah yang sangat besar? Mengapa pula SDM yang secara individual sangat tinggi itu ketika menjadi satu kesatuan kok menjadi asor (kalah) dibandingkan bangsa lain?

    Aneh bin ajaib, mengapa daerah-daerah yang sangat kaya itu ketika membentuk menjadi satu kesatuan negara malah (rakyatnya) menjadi miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sampai 31 juta jumlahnya? Mengapa negara kita yang gemah ripah loh jinawi subur kang sarwa tinandur ini belum bisa menjadi negara yang toto tentrem kerto raharjo, murah kang sarwa tinuku?Adalah fakta standar: kehidupan rakyat Indonesia miskin, rendah, dengan jaminan kesehatan dan pendidikan seadanya.

    Selanjutnya lihat saja misalnya soal agraria.Sebagai negara agraris dan maritim, soal pertanahan atau agraria yang merupakan satu-satunya alat produksi rakyat tidak pernah ditangani secara tuntas.Semuanya hanya ditangani secara sambil lalu, tambal sulam, dan bersifat ad hoc. Kasus sengketa tanah atau lahan antara petani dan pengusaha perkebunan, antara rakyat dan pengusaha pertambangan, antara rakyat dan tanahtanah negara/pemerintah banyak yang belum selesai alias dibiarkan ngambang!

    Kasus Mesuji dan Bima hanyalah salah satu saja dari sekian banyak kasus yang ngambangitu. Konflik-konflik lahan agraria bersumber dari ketimpangan hak kepemilikan atas tanah. Tanah yang begitu luas dikuasai hanya oleh sedikit orang.Mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data di Badan Pertanahan Nasional 2010 memperlihatkan betapa sekelompok kecil orang (hanya sekitar 0,2% orang Indonesia) menguasai 56% aset nasional di mana 87% di antaranya berupa tanah.

    Sementara 85% petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani. Walhasil, mayoritas penduduk negeri ini adalah petani, tetapi tidak memiliki tanah. Penataan agraria tidak pernah dilakukan secara serius oleh seluruh rezim yang pernah memerintah negara ini. Jangankan pemerintahan kolonial Belanda, bahkan pemerintahan setelah Indonesia merdeka sejak zaman “Orde Lama”, “Orde Baru”, hatta Orde Reformasi sekalipun, persoalan agraria tidak pernah ditangani dengan sungguhsungguh.

    Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariayangmenelurkan PP No 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi tidak dilaksanakan. Maka tidak mengherankan jika berbagai masalah agraria tetap saja mandek dan tidak terselesaikan.

    Ora Kopen

    Jika faktanya memang demikian, berarti di sini ada semacam mismanajemen pengelolaan negara yang notabene dilukiskan oleh Bernard Vlekke sebagai sangat besar ini.Atau malah bisa jadi lebih parah daripada itu: manajemen negara selama ini,sejak merdeka 66 tahun dulu itu, ora iso ngopeni (tidak bisa mengurus dengan baik) negara yang sangat besar dan kaya ini sehingga mengakibatkan negara kita salah open (salah urus), kalau bukannya malah ora kopen (tidak terurus).

    Sepertinya, kemampuan pemimpin bangsa dan penyelenggara negara ini untuk mengurus negara yang sangat besar dan kompleks ini memang sangat terbatas. Bahwa bangsa ini mengidap kecekakan dan ketekoran budaya (cultural lag and shortage) sehingga seumpama tali memang kurang panjang (cupet) sehingga ora tekan (tidak nyampe) atau ora iso ngopeni (tidak mampu mengurus) negara yang sangat besar dan kaya ini.

    Jadi, ini bukan persoalan infrastruktur, apalagi sistem politik dan hukum, melainkan jauh lebih fundamental daripada itu, yaitu persoalan (kelemahan) budaya: ora iso ngopeni! Walhasil negara selama ini bukannya salah open, melainkan para pemimpin bangsa dan penyelenggara negara sejak merdeka 1945 ora iso ngopeni negara yang sangat besar ini.Tak aneh jika negara ini kurang terurus alias ora kopen!

  • Upah Buruh Naik, Pasti Bisa

    Upah Buruh Naik, Pasti Bisa
    Premita Fifi Widhiawati, PENDIRI DAN PENGURUS
    LEMBAGA EDUKASI, BANTUAN, DAN ADVOKASI HUKUM JURIST MAKARA
    Sumber : SINDO, 10 Februari 2012
    Pada 27 Januari 2012 demo buruh kembali meruak. Apa yang dituntut para buruh adalah hal yang sangat wajar. Seperti kutipan di awal tulisan ini: hal yang paling diinginkan buruh hanyalah lebih banyak kesempatan untuk mengolah sisi baik kemanusiaan mereka.

    Pendapat tersebut dikemukakan Samuel Gompers, pemimpin dan presiden pertama Federasi Buruh Amerika Serikat (AS). Demo besar-besaran buruh di Bekasi kali ini dipicu oleh putusan PTUN Bandung yang memenangkan gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk membatalkan SK Gubernur Banten mengenai kenaikan upah minimum kota (UMK).

    Kegagalan buruh mendapatkan kenaikan UMK terasa getir mengingat pemerintah rajin mengklaim berbagai indikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai keberhasilan pemerintahan Presiden SBY. Sejalan dengan membaiknya ekonomi Indonesia, seharusnya membaik pula nasib buruh sebagai salah satu tulang punggung ekonomi.

    Kenyataannya tidak demikian. Penetapan upah buruh dilakukan berdasarkan usulan dari Dewan Pengupahan sebagai buah Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004. UMK ditetapkan berdasarkan usulan dari Dewan Pengupahan Kota (Depeko).Keanggotaan Depeko terdiri atas wakil-wakil pemerintah, organisasi pengusaha, serikat buruh/serikat pekerja, dengan perbandingan 2:1:1, ditambah dengan wakil perguruan tinggi dan pakar.

    Penentuan upah buruh bergantung pada banyak faktor, terutama angka kebutuhan layak hidup (KHL). Penetapan KHL dilakukan berdasarkan survei Depeko terhadap beberapa komponen kebutuhan hidup. Melihat rumusan di atas, seharusnya semua baik-baik saja, sejak awal perumusan upah sudah melibatkan semua stakeholder. Kenyataannya buruh sering kali merasa tidak terwakili dalam hasil keputusan Depeko.

    Sejatinya, upah buruh (hanya) merupakan salah satu faktor dari total biaya perusahaan. Masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan pengusaha untuk kelancaran dan kelanjutan usahanya, termasuk biaya izin dan pungutan dari pemerintah pusat dan daerah. Besarnya biaya izin dan banyaknya pungutan inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan ekonomi berbiaya tinggi.

    Ketidakmampuan pemerintah untuk menekan berbagai biaya izin dan pungutan erat kaitannya dengan budaya korupsi yang sangat marak dan mendarah daging. Lantas bagaimana pengusaha menyiasati berbagai biaya tersebut? Salah satu cara yang terpaksa dilakukan adalah memperkecil upah buruh.

    Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin menaikkan upah buruh sebanyak yang mereka minta? Mengapa pengusaha keberatan untuk menaikkan upah buruh? Apakah pengusaha Indonesia sangat kikir dan kejam terhadap buruh? Atau adakah anasir lain yang menyerap sebagian besar keuntungan pengusaha yang seharusnya menjadi bagian milik buruh? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan di atas, barangkali sekarang saatnya kita semua melihat lebih dalam.

    Pihak mana yang sesungguhnya paling diuntungkan oleh buruknya hubungan buruh dan pengusaha? Pihak buruh sudah pasti tidak, mereka bahkan sebenarnya tidak ingin berdemo. Pihak pengusaha apalagi.Kelancaran proses produksi sangat terkait dengan keuntungan perusahaan yang menjadi tujuan pengusaha. Jika dua pihak yang paling berkepentingan tidak mendapatkan keuntungan dari kisruh demo,bisa jadi ada pihak ketiga yang senang mengail di air keruh.

    Melihat pada predikat ekonomi berbiaya tinggi dan kokohnya korupsi di negara kita,besar kemungkinan para koruptorlah yang paling diuntungkan oleh demo buruh. Seperti dikatakan oleh pengamat dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Euginia Mardanugraha, “Pengusaha tidak mampu membayar upah minimum karena biaya-biaya lainnya tinggi, termasuk pungutan- pungutan liar dan izinizin berusaha yang tinggi sehingga persoalan upah minimum terkait dengan biaya nonproduksi itu.”

    Pengusaha yang baik pasti memiliki keinginan kuat untuk menaikkan upah buruh dan pegawai mereka. Sedari awal pengusaha sadar bahwa buruh adalah mitra penting dalam mencapai tujuan perusahaan. Menaikkan upah buruh adalah hal logis yang akan mereka lakukan, sama sekali tidak ada keengganan untuk itu. Kendalanya adalah jika keuntungan perusahaan terus tergerus oleh banyak dan mahalnya biaya izin dan pungutan yang harus dikeluarkan pengusaha.

    Sangat elok jika pengusaha dan buruh bersama-sama menghadapi masalah yang membelit mereka.Jelas bahwa dengan segala hiruk-pikuk demo,merekalah pihak yang paling dirugikan. Pengusaha harus lebih mengakomodasi kepentingan buruh dan buruh juga lebih mengapresiasi perusahaan dengan meningkatkan kinerja.Kenaikan laba perusahaan pada gilirannya akan menaikkan upah buruh.

    Yang terpenting adalah keduanya harus bahu-membahu membentengi perusahaan dari perilaku koruptif pihak ketiga yang merugikan perusahaan. Kenaikan upah buruh pasti bisa dilakukan jika pemerintah mampu memberikan iklim berusaha yang baik. Segala aturan pemberantasan korupsi tidak akan ada gunanya bila pemerintah tidak mampu menghilangkan berbagai pungutan yang membebani pengusaha.

    Kriteria dan ukuran reformasi birokrasi dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 11/2011 tidak akan berdampak apa pun jika belum tercipta pelayanan publik yang lebih baik.

    Sudah saatnya pemerintah (pusat dan daerah) melakukan berbagai pembenahan juga penindakan, terlebih dengan sudah digunakannya Indeks Integritas Nasional (IIN) sebagai tolok ukur pelayanan publik kepada pengusaha dan masyarakat.

  • Neoliberalisme dan Ekonomi Islam

    Neoliberalisme dan Ekonomi Islam
    Herman, MAHASISWA FAI-UMJ;
     ANGGOTA LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PERBANKAN SYARIAH (LKPES) UMJ
    Sumber : SUARA KARYA, 10 Februari 2012
    Setiap sistem ekonomi memiliki filosofi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti sistem ekonomi kapitalis, filosofi ekonominya tercermin dalam dua ungkapan yaitu laissez faire dan invisible hand yang merupakan konsep Adam Smith. Dengan filosofi ini setiap pelaku ekonomi diberikan kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
    Adam Smith menyatakan bahwa jika setiap individu diberikan kebebasan untuk mengembangkan modal yang dimilikinya, maka kesejahteraan akan dapat terealisasi. Hal tersebut merupakan inti dari teori invisible hand yang digagasnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya sistem ini tidak mampu memberikan kesejahteraan malah hanya melahirkan ketimpangan ekonomi dan tidak memiliki kekuatan dalam menghadang berbagai krisis keuangan.
    Krisis keuangan yang melanda dunia saat ini tidak hanya berdampak di Amerika Serikat sebagai episentrum krisis keuangan. Tapi, juga berdampak pada negara-negara maju lainnya, seperti di kawasan Eropa dan Asia. Krisis yang terjadi saat ini adalah bagian dari siklus ekonomi kapitalisme.
    Dalam catatan sejarah ekonomi krisis keuangan dan ekonomi terjadi di negara-negara kapitalis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku, The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
    Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti matinya sistem pasar bebas. Sungguh ironis, negara yang selama ini diklaim sebagai negara adidaya, tidak berdaya menghadapi krisis. Banyak yang mengatakan bahwa krisis ini adalah bukti kematian neoliberalisme. Sehingga, dunia perlu menata kembali peran negara, pasar dan rakyat dalam menciptakan kesejahteraan sosial yang berkeadilan.
    Kegagalan neoliberalisme menjadi begitu nyata ketika ketimpangan yang terjadi di negara berkembang, justru menyerang pencetusnya, Amerika Serikat. Perekonomian mereka collaps pasca jatuhnya Lehman Brothers. Orientasi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam dogma kapitalisme, terbukti tidak mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dunia.
    Hal ini karena sistem kapitalisme berdasarkan fondasi monetary based economy bukan real based economy, sehingga rente ekonomi yang diperoleh bukan berdasarkan hasil investasi produktif, namun dari investasi spekulatif. Kenyataan bahwa uang yang beredar melalui transaksi di Wall Street adalah 3 triliun dolar AS per hari, dimana 90 persen kegiatannya spekulatif tanpa memberikan kontribusi yang berarti bagi rakyat kecil. Hal ini memperjelas bahwa ekonomi kapitalis yang diterapkan selama ini salah. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Ekonomi kapitalisme yang menganut laizes faire dan berbasis riba kembali tergugat. Kesenjangan ekonomi semakin tajam, kemiskinan dan pengangguran menggurita, serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat.
    Kursyid Ahmad (2001), secara tajam mengkritik ekonomi kapitalisme dengan mengatakan bahwa paradigma ekonomi konvensional yang muncul saat ini bercirikan pada paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transendental dan kepedulian etika, agama dan nilai-nilai moral.
    Kembali ke Ekonomi Islam
    Kapitalisme telah menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Maka, kita perlu sistem ekonomi yang bisa menjadi solusi terbaik dari kegagalan kapitalisme. Data empiris menunjukan bahwa pemecahan masalah ekonomi dunia selama ini hanya bersifat sementara. Untuk memperoleh solusi terbaik dan berkesinambungan, kita harus mampu merekonstruksi ekonomi Islam sebagai solusi ekonomi yang berkeadilan. Ekonomi Islam harus mampu mengubah ketimpangan-ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis agar berbagai ketimpangan tersebut tidak semakin mengakar.
    Hidayat (2009), mengatakan ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan, orang mulai berfikir tentang sistem ekonomi yang mampu menghadapi turbulensi neoliberalisme dan lebih dapat menyejahterakan rakyat. Solusi yang layak dikaji dan dipraktikkan adalah ekonomi Islam. Munculnya ekonomi Islam dalam peradaban dunia merupakan perkembangan menarik bagi pengembangan sosial dan ekonomi yang selama ini terhegemoni dengan kekuatan kapitalisme Barat.
    Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem yang selama ini dipahami dan diamini banyak negara. Tujuan dari ekonomi Islam bukan semata-mata berorientasi pada materi, tetapi lebih pada konsep kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, yang memberikan nilai keadilan ekonomi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani yang berdasarkan Al Qur’an dan sunnah nabi. Ekonomi Islam tidak bisa dipisahkan dari tiga konsep Islam, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq.
    Jadi dalam praktiknya, ekonomi Islam harus memuat tiga konsep Islam tersebut agar kemaslahatan dan kesejahteraan manusia benar-benar terwujud secara adil. Inilah perbedaan fundamental antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tidak akan pernah bertemu.
    Teori-teori ekonomi kapitalisme mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini berangkat dari pandangan tentang kebenaran yang mereka anut bersifat relatif dan tidak sama antara satu zaman dengan zaman yang Neoliberalisme dan Ekonomi Islam lainnya.
  • Merindukan Kepemimpinan Nabi Muhammad

    Merindukan Kepemimpinan Nabi Muhammad
    Masduri, PENELITI DI PUSAT KAJIAN FILSAFAT DAN KEISLAMAN
    FAKULTAS USHULUDDIN IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA,
    ALUMNUS PESANTREN NASY’ATUL MUTA’ALLIMIN GAPURA SUMENEP
    Sumber : SUARA KARYA, 10 Februari 2012
    Nabi Muhammad yang lahir di Makkah pada tanggal 12 Rabi’ul Awal sekitar 20 April 570/171 telah membawa perubahan besar bagi peradaban umat manusia. Baik dalam posisinya sebagai nabi ataupun kepala negara. Sejarah mencatat prestasi Nabi Muhammad sebagaimana diungkap banyak penulis dan ilmuwan.
    Michael H. Hart, seorang ilmuwan barat menempatkan Nabi Muhammad pada posisi pertama dalam 100 orang paling berpengaruh di dunia. Tentu perangkingan ini berdasar fakta sejarah yang telah dikaji secara mendalam. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh Nabi Muhammad begitu besar bagi peradaban umat manusia di muka bumi. Di samping seorang nabi, yang diutus menyampaikan risalah-Nya, Nabi Muhammad juga seorang kepala negara.
    Masih dalam catatan Michael H. Hart dalam bukunya, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Nabi Muhammad telah mampu merubah bangsanya yang egoistis, barbar, terbelakang, dan terpecah belah karena sentimen kesukuan, menjadi bangsa yang maju secara ekonomi, kebudayaan, dan kemiliteran. Bahkan mampu mengalahkan militer Romawi yang saat itu dikenal militer kuat di dunia.
    Kepala Negara
    Pola kepemimpinan Nabi Muhammad bertolak kepada empat sikap yang biasa disebut sebagai sifat wajib seorang rasul. Yakni, shidiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas). Keempat sikap ini tidak saja diimplementasikan oleh Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai rasul, namun juga dalam posisinya sebagai kepala negara, sikap dan tindakannya juga berlandaskan keempat sikap tersebut.
    Tidak mungkin Nabi Muhammad akan sukses memimpin bangsa Arab tanpa keempat sikap tersebut. Sebab kejujuran menjadi kunci utama kesuksesan seorang pemimpin. Mustahil orang yang tidak jujur akan bisa membawa perubahan bagi bangsanya. Secara ekspilisit jujur dalam konteks kepemimpinan bisa dimaknai keselarasan antara ucapan dan tindakan, serta kometmennya terhadap kepemimpinan yang sedang diembannya.
    Berlanjut pada amanah, bilamana orang jujur sudah pasti akan amanah. Sebab amanah merupakan salah satu implikasi dari sikap kejujuran. Dengan bahasa sederhana, orang yang jujur sudah pasti amanah. Sehingga antara jujur dan amanah seperti mata rantai yang saling berkaitan.
    Begitupun dengan sikap yang ketiga, tablig atau menyampaikan). Jika dalam konteks kenabian makna tablig terbatas pada penyampaian Nabi Muhammad atas semua risalah Tuhan kepada umatnya. Maka, dalam konteks kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, tablig dapat dimaknai sebagai bentuk penyampaian seorang pemimpin atas amanah konstitusi negara. Penyampaian amanah konstitusi misalnya, menjaga kesejahteraan rakyat, keadilan, kemanan dll.
    Sikap tablig juga tidak lepas dari kedua sikap sebelumnya, yakni sidiq dan amanah. Pemimpin yang jujur dan amanah, pasti ia akan tablig. Sebab, tablig merupakan dampak dari kedua sikap tersebut.
    Yang terakhir adalah fathanah. Seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki katagori ini, yakni cerdas. Sikap cerdas menjadi modal dasar bagi siasat seseorang dalam memimpin masyarakatnya. Misalnya, kecerdasan dalam menyejahterakan rakyat, kecerdasan dalam menciptakan keadailan sosial dan ekonomi, serta kecerdasan dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara dari ancaman luar.
    Keempat sikap tersebut telah terbukti mampu membawa kesuksesan kepemimpian Nabi Muhammad baik sejak ia di Madinah atau pasca pembukaan kota mekah (fathul Makkah), di mana saat itu kekusaan Islam terus menyebar luas. Bahkan Nabi Muhammad hanya butuh sebelas tahun dalam menaklukkan seluruh jazirah Arab.
    Selain keempat sikap tentu masih banyak sikap-sikap bijak lainnya, sebagai bumbu yang mampu memaniskan kepemimninan yang pernah dicapai oleh Nabi Muhammad. Seperti sikap pemberani, tegas, berpendirian kokoh, respek dan memahami kebutuhan msyarakat.
    Terapkan di Indonesia
    Kembali pada keadaan di Indonesia, negara kita sedang limbung karena beragam persoalan yang menderanya tertumpu pada pimpinan yang terus menerus dikritik dan malahan dihujat. Karena berbagai masalah tidak tertangani seperti korupsi, ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, dan sekian pesoalan lainnya. Persoalan ini lahir karena pemimpin yang tidak memiliki integritas tinggi seperti halnya Nabi Muhammad.
    Mungkin ada bahasa, Nabi Muhammad adalah manusia sempurna yang dipilih oleh Allah SWT. Sekarang konteks Indonesia, bukan dalam posisi Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, namun Nabi Muhammad sebagai kepala negara adalah manusia biasa.
    Pada posisi ini Nabi Muhammad, juga sama seperti manusia atau pemimpin pada umumnya, kemungkinan untuk melakukan tindakan penyimpangan juga ada. Namun, karena Nabi paham posisi dan tanggung jawabnya, sehingga ia bisa menjalankan amanahnya sebagai kepala negara dengan baik.
    Dalam ungkapan merindukan nabi, satu hal yang dilakukan umat, terlepas adanya kontroversi, adalah perayaan maulid Nabi. Itu sebagai refleksi diri agar manusia dapat menghidupkan kembali sifat-sifat Nabi Muhammad dalam kehidupan pribadi manusia di muka bumi.
    Terutama para pemimpin di negeri tercinta Indonesia, Nabi Muhammad merupakan sosok sangat ideal yang mesti dicontoh. Sehingga bangsa Indonesia bisa lahir kembali, sebagai bangsa yang besar dan berpengaruh, dengan lahirnya pemimpin yang bijak seperti halnya Nabi Muhammad dan rakyat yang patuh pada pemimpinnya.
  • Menyikapi Penolakan Produk Kelapa Sawit

    Menyikapi Penolakan Produk Kelapa Sawit
    Teddy Lesmana, PENELITI LIPI
    Sumber : REPUBLIKA, 9Februari 2012
    Amerika Serikat (AS) secara resmi menolak produk kelapa sawit dan turunannya dari Indonesia. Menurut Badan Perlindungan Ling kung an (Environmental Protection Agency) AS, kelapa sawit Indonesia dinilai tidak ramah terhadap lingkungan. Penolakan ini diberlakukan secara efektif sejak 28 Januari 2012.
    Meskipun AS bukan merupa kan negara importir kelapa sawit yang besar, pengaruh AS yang masih cukup besar di dunia dikha watirkan akan merugikan para pelaku usaha kelapa sawit. Sebelumnya, Uni Eropa juga pernah melakukan hal yang sama.
    Apalagi, belum lama ini terjadi kasus pembantaian satwa langka di Kalimantan dan konflik sosial di sekitar area perkebunan kelapa sawit. Bagaimana kita seharusnya menyikapi penolakan tersebut?
    Minyak kelapa sawit saat ini secara luas digunakan sebagai bahan baku, mulai dari kosmetik hingga berbagai produk pangan. Dan, sekarang di tengah-tengah krisis energi, upaya pengembang an energi alternatif muncul kembali dan salah satu bahan baku biofuel yang potensial adalah minyak kelapa sawit. Meskipun, data menunjukkan bahwa saat ini hanya satu persen dari minyak kelapa sawit untuk biofuel.
    Meskipun demikian, pada masa mendatang, peningkatan permintaan dari kekuatan ekonomi baru Cina dan India sebagai pembeli utama minyak sawit, mening katnya kesadaran kesehatan untuk minyak nabati yang sehat di negara-negara Barat, dan tumbuhnya pasar biofuel di Uni Eropa (UE) menyebabkan meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit. Fakta-fakta tersebut mengirimkan sinyal untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di negara-negara tropis.
    Badan pangan dunia/FAO (2009) menyebutkan, luas lahan minyak kelapa sawit dunia meningkat empat kali lipat dari 3,6 juta hektare (1961) menjadi 9,13 hektare pada 2007. Lebih dari 80 persen perkebunan sawit dunia ditanam di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia).
    Tingginya permintaan minyak kelapa sawit menawarkan keuntungan ekonomi yang menggiurkan. Namun demikian, ada harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi perluasan perkebunan kelapa sawit, yakni kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
    Hal ini menimbulkan dilema, di satu sisi, kelapa sawit menawarkan manfaat ekonomi, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia dalam upaya mening kat kan kesejahteraan rakyatnya. Namun, pada saat yang sama, sekitar 13 persen dari total penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan.
    Studi yang dilakukan Koh dan Ghazoul (2010) menyebutkan bahwa dengan harga sekitar 750 dolar AS per ton, jika Indonesia ingin meningkatkan produksinya menjadi 80 juta metrik ton, Indonesia perlu mengalokasikan lahan tambahan untuk perkebunan kelapa sawit sekitar 3,1-3,5 juta hektare. Ini akan menghasilkan net present value (NPV) sekitar 30 miliar-53 miliar dolar AS selama usia ber buah perkebunan kelapa sawit yang berkisar 30 tahun.
    Selain itu, industri ini akan da pat menyerap sekitar 4,5 juta tenaga kerja dan memiliki multiplier effect yang diharapkan dapat mengurangi sepertiga penduduk miskin, terutama di daerah pede saan. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana menyeimbang kan manfaat ekonomi yang berasal dari usaha perkebunan kelapa sawit seraya memelihara ke anekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan.
    Dewasa ini, Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit ter besar di dunia yang diikuti Malaysia. Kedua negara menguasai sekitar 80 persen dari produksi minyak sawit di dunia. Indonesia memiliki sekitar 9,7 juta hektare perkebunan sawit dimana sekitar 40 persennya dimiliki petani kecil. Departemen Pertanian AS mencatat, produksi mi nyak kelapa sawit di Indonesia pada 2010 mencapai 19,8 juta metrik ton dan pada 2011, produk si minyak sawit Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta metrik ton.
    Faktor-faktor berikut ini me nyebabkan pesatnya pertumbuhan komoditas kelapa sawit dalam beberapa dekade terakhir. Pertama, produktivitas minyak sawit per hektare lebih tinggi daripada tanaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed, kedelai, dan minyak bunga matahari. Kedua, biaya per unit produksi sawit adalah terendah di antara tanaman minyak nabati lainnya.
    Ketiga, minyak sawit didukung oleh kebijakan lingkungan ekonomi yang menguntungkan. Keempat, komoditas minyak sawit ini memiliki tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dan kelima, hasil olahan kelapa sawit relatif independen dari pasar produk sampingan (Thoenes, 2006).
    Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi terhadap cepatnya laju deforestasi (perusakan hutan) melalui pembabatan hutan, penanaman pada lahan yang dulunya berhutan yang telah dimanfaatkan untuk kayu lapis, kayu, pulp, dan kertas. Pendapat an yang dihasilkan dari eksploitasi hutan ini selanjutnya digunakan untuk menutupi biaya reboisasi. Selain itu, penyebab tidak langsungnya ialah pembukaan akses jalan di daerah hutan perawan yang sebelumnya terisolasi (Fitzherbert et al, 2008).
    Akan tetapi, Wicke et al (2008) menunjukkan bahwa di Indonesia, cepatnya laju deforestasi belum tentu disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pemicu yang mendasari cepatnya laju deforestasi, yaitu pertumbuhan penduduk, tingginya harga komoditas pertanian, kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, serta faktor-faktor kelembagaan.
    Situasi ini memicu keprihatin an dari banyak kalangan pemerhati lingkungan, baik di dalam mau pun di luar negeri, di mana perluasan perkebunan sawit akan menimbulkan ancaman serius bagi keberadaan keanekaragaman hayati. Hutan di Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar di mana sekitar 10 persen dari semua jenis ta nama n berbunga, 17 persen dari    semua spesies burung, 12 persen dari seluruh spesies mamalia, 16 persen dari seluruh spesies reptil, dan 16 persen dari seluruh spesies amfibi ( Collins et al, 1991).
    Keberadaan spesies flora dan fauna Indonesia saat ini mungkin sudah jauh lebih berkurang seka rang sebagai akibat eksploitasi hutan yang cepat dan meningkatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Makrofauna langka, seperti orang utan sumatra (Pongo abelii), orang utan borneo (Pongo pygmaeus), dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) akan kehilangan habitat mereka. Secara umum, aktivitas perkebunan kelapa sawit juga berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem dan marginalisasi masyarakat lokal.
    Fenomena tersebut perlu kita sikapi dengan mencari jalan tengah yang dapat dicapai dalam mendamaikan kepentingan yang bersaing antara lingkungan dan masalah ekonomi. Selain, upaya untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan varietas tinggi.
    Untuk mendukung kegiatan riset tersebut, sebagian pajak ekspor yang dikenakan terhadap komoditas kelapa sawit bisa dialokasi untuk penelitian perkelapasawitan. Selain itu, upaya untuk mendorong penerapan konsepkonsep, seperti pembayaran untuk jasa ekosistem, pendekatan high conservation value (HCV), advokasi penggunaan lahan, dan bank keanekaragaman hayati harus dilakukan secara bersamaan. Kampanye untuk menggunakan produk minyak sawit bersertifikat juga perlu diperluas dengan dukungan dari pemerintah.
    Fasilitas seperti biokredit, misalnya, bisa dikembangkan untuk menjamin kepastian perlindungan keanekaragaman hayati di area se kitar perkebunan. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam.
    Demikian pula, praktik perkebunan yang ramah lingkungan dengan mengurangi input kimia dengan bahan organik. Pemerintah dan semua pemangku kepen tingan juga harus melakukan pemetaan yang komprehensif berdasarkan fakta di lapangan sehingga penerapan insentif ekonomi benar-benar mencapai upaya pelestarian lingkungan yang melibatkan masyarakat lokal.
    Untuk mewujudkannya, diperlukan upaya bersama yang didukung pemerintah, produsen, LSM, lembaga keuangan, dan konsumen. Dengan demikian, diharapkan kita bisa memetik manfaat ekonomi dengan melestarikan keanekaragaman hayati. ●
  • Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa

    Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa
    Bagir Manan, KETUA DEWAN PERS
    Sumber : KORAN TEMPO, 9Februari 2012
    Sering kali saya menyebutkan, secara normatif kemerdekaan pers telah dijamin secara expressis verbis oleh Undang-Undang Pers. Secara implied, kemerdekaan pers dijamin UUD 1945. Sejumlah ketentuan tentang hak asasi memerlukan, bahkan efektif hanya apabila ada, kemerdekaan pers. Begitu pula dari aspek demokrasi. Tanpa pers merdeka, tidak akan ada demokrasi. Sebaliknya, tanpa demokrasi, tidak akan ada kemerdekaan pers.
    Soalnya, mengapa komunitas pers Indonesia tetap menganggap kemerdekaan pers masih dalam ancaman dan mengalami degradasi setiap tahun?
    Ada semacam kesenjangan antara das Sollen (normatif) dan das Sein. Tolok ukur yang biasa digunakan adalah kekerasan terhadap pers–penganiayaan, pembunuhan wartawan, dan perusakan. Dari sejumlah kasus kekerasan, didapati kenyataan bahwa pers sebagai pihak yang memulai kekerasan–memukul lebih dulu atau lebih dulu mengeluarkan ucapan tidak layak kepada sumber berita. Selain kekerasan, ancaman kemerdekaan pers diindikasikan dengan menghalang-halangi tugas jurnalistik, seperti larangan meliput atau memasuki tempat tertentu. Kadang-kadang pers lupa akan kewajiban etika dan hukum, seperti privasi sumber berita.
    Terlepas dari cara pers melaksanakan kemerdekaan pers secara tidak tepat atau berlebihan, harus diakui kemerdekaan pers Indonesia belumlah sangat aman.Tapi ancaman kemerdekaan pers tak hanya datang dari pelaksanaan tugas jurnalistik di lapangan. Ancaman bisa datang dari berbagai sumber.
    Selama ini yang selalu diletakkan paling depan adalah penyelenggara kekuasaan negara. Pencederaan kemerdekaan pers tidak hanya dipraktekkan oleh sistem kekuasaan otoriter atau kediktatoran, tapi juga sistem demokrasi. Ancaman atau hambatan dijalankan atas nama ketertiban umum,kepentingan umum, dan alasan lain. Pembatasan dilakukan dengan regulasi, kebijakan, atau berbagai tindakan hukum (rechtshandelingen) atau tindakan konkret (feitelijke handelingen).
    Ancaman yang tak kalah penting datang dari publik. Dalam keadaan tertentu, publik, baik kelompok maupun individu, dapat membuat permusuhan yang mencederai kemerdekaan pers. Dalam sejumlah peristiwa, wartawan menjadi korban publik, baik karena salah pengertian maupun hasutan. Di Ternate, misalnya, wartawan menjadi korban kekerasan publik.
    Kelompok kepentingan ekonomi dan politik juga bisa mengancam kebebasan pers. Pers kerap mengungkapkan cara-cara kelompok kepentingan menjalankan kegiatan ekonomi yang tidak sehat dan merugikan masyarakat. Bagi kelompok kepentingan bisnis, ini merupakan ancaman yang harus ditiadakan, baik melalui negosiasi, kekerasan, maupun tindakan mengancam pers.
    Ancaman terhadap kebebasan pers bisa juga berupa politisasi pers.Yang saya maksud sebagai politisasi pers atau pers politik adalah pers partisan (partisanship), yaitu keberpihakan kepada kekuatan politik yang bekerja untuk merebut kekuasaan negara. Pers sebagai instrumen publik secara alamiah berpolitik, bahkan harus berpolitik. Membicarakan atau memperjuangkan kepentingan publik adalah tindakan politik. Namun pers yang menjalankan politik publik mesti bebas dari keberpihakan pada suatu kekuatan politik.
    Saya melihat bermacam corak pers partisan. Antara lain, pers sebagai alat kelengkapan resmi penyelenggara kekuasaan politik. Hal ini bukan hanya didapati pada sistem kekuasaan otoriter, tapi juga demokrasi. Sistem demokrasi tidak melarang kekuatan politik memiliki pers sebagai organ pendukung. Kesamaan ideologi dan kepentingan juga menimbulkan sikap partisan.
    Kepentingan ekonomi acap kali mendorong pers bersikap partisan. Pers daerah yang melakukan berbagai kerja sama dengan pemerintah daerah, sadar atau tidak sadar, menjadi partisan sebagai akibat imbalan yang diterima.
    Pemilik pers yang menjadi aktivis atau menggabungkan diri dengan kekuatan politik tertentu bisa terseret menjadi partisan. Secara resmi barangkali pers yang bersangkutan tidak serta-merta partisan. Tapi “kewajiban“ pers bersangkutan untuk mengikuti kemauan pemilik, termasuk kemauan politik, langsung atau tidak langsung akan mendatangkan sifat partisan.
    Ancaman-ancaman terhadap kebebasan pers itu, paling tidak, akan membuat pers mengalami kesulitan untuk bersikap independen dan berimbang. Independen bukan berarti tidak berpihak. Pers independen wajib berpihak kepada kepentingan publik. Yang harus dijaga adalah keseimbangan. Inilah makna imparsial sebagai unsur independensi pers. Imparsial adalah keseimbangan.
    Selain itu, satu hal lain yang dapat mengancam kebebasan pers adalah tingkah laku pers atau internal pers sendiri. Pers yang bermutu rendah, sistem pengelolaan yang tidak baik, memaksakan kehendak untuk berpihak pada kelompok tertentu, tidak menghormati kode etik dan peraturan perundangan, akan merendahkan martabatnya sendiri. Risikonya, tidak hanya akan menurunkan kepercayaan publik, tapi juga dapat mengundang campur tangan pihak luar. Para wartawan bisa menghilangkan kehormatan untuk menjaga kebebasan pers bila ia memandang tugas kewartawanan sekadar cara mencari nafkah.  
    Industrialisasi Media Massa
    Catatan ini dibatasi pada industrialisasi pers. Media massa dapat meliputi pers dan bukan pers. Secara hakiki, sejak awal pers adalah sebuah industri. Kehadiran dan perkembangan pers tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Yang berbeda adalah perkembangan fungsi dan teknologi yang dipergunakan. Pada permulaan, fungsi pers terutama sebagai media informasi atau penyampai berita. Seiring dengan tumbuhnya peran politik, pers berperan menyalurkan, membentuk, dan mempengaruhi pendapat umum. Seiring dengan perkembangan pers sebagai sebuah usaha, pers berkembang sebagai usaha ekonomi atau bisnis. Industrialisasi pers tidak lagi kegiatan memanfaatkan perkembangan teknologi tetapi kegiatan industri di bidang ekonomi.
    Perkembangan pers, dalam proses industrialisasi maupun industri, tak mungkin dihindari, bahkan merupakan kebutuhan. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kebutuhan akan kecepatan melayani dan menyampaikan informasi, perkembangan berbagai jenis media baru, serta persaingan yang ketat, menuntut sistem pengelolaan yang scientific dan efisien.
    Industrialisasi pers sebagai suatu kemestian tidak berpengaruh pada kedudukan dan fungsi pers. Industrialisasi pers dapat menguatkan manfaat pers sebagai instrumen publik. Persoalan dapat timbul pada pers sebagai industri. Telah dikemukakan, sebagai industri, pers adalah suatu kegiatan ekonomi untuk mencari laba (sebesar-besarnya). Sebagai pencari laba, kemerdekaan bukan lagi sesuatu yang esensial. Kemerdekaan pers akan dipertukarkan sepanjang berjalan seiring dengan kepentingan ekonomi dari perusahaan pers yang bersangkutan.
    Apakah hal tersebut dapat dihindari? Ada sejumlah instrumen yang dapat dipergunakan pers agar tak mencederai kemerdekaan dan fungsi pers.
    Pertama, sebagai suatu badan hukum, pers perlu memperhatikan dengan sungguh penerapan aturan hukum seperti undang-undang antimonopoli atau antikartel, juga persaingan tidak sehat seperti perang harga. Termasuk pula memperhatikan cara-cara tidak sehat “memindahkan“ tenaga-tenaga dari satu perusahaan pers ke perusahaan pers lain dengan penawaran pendapatan atau kedudukan yang lebih tinggi tanpa kesepakatan atau pernyataan tidak keberatan dari perusahaan yang “dipindahkan“tenaganya.
    Kedua, pengerasan penegakan kode etik pers.Tidak hanya melalui Dewan Pers, tapi juga perhimpunan wartawan dan perhimpunan perusahaan pers. Masing-masing penerbit pers juga bertanggung jawab agar secara internal kode etik dapat ditegakkan melalui penegakan disiplin, kaidah profesi, dan kaidah hubungan kerja yang diatur oleh hukum.
    Ketiga, kontrol publik. Sebagai salah satu elemen dan sebagai instrumen demokrasi, pers juga harus diawasi. Karena pers bertanggung jawab kepada publik, maka publik wajib mengawasi pers agar tidak merugikan kepentingan publik dan mengindahkan prinsip-prinsip independensi, imparsial, dan berimbang.
    Keempat, harus ada kejelasan perbedaan peran antara tugas jurnalistik dan non-jurnalistik. Ketika seorang pemimpin media pers merangkap pemimpin organisasi sosial dan menayangkan siaran organisasi sosial yang bersangkutan, maka pemimpin itu tidak sedang melakukan tugas jurnalistik karena konten siaran organisasi sosial itu tidak serta-merta dilindungi oleh pers, kaidah etik, dan hukum-hukum jurnalistik. Tapi tindakan media pers yang bersangkutan menyiarkan kegiatan sosial tersebut adalah kegiatan jurnalistik yang wajib tunduk kepada asas dan kaidah etik dan hukum jurnalistik.
    Industrialisasi pers, maupun pers sebagai industri, tak mungkin dihindari tapi perlu disadari dampaknya. Ada kebaikan dan keburukan. Kebaikannya, antara lain, pers harus benar-benar dikelola profesional dengan tujuan yang jelas. Keburukannya, timbul persaingan yang dapat saling mematikan, dan ini mempengaruhi kemerdekaan pers. Keburukan lain, faktor-faktor idiil dapat bisa menjadi terbelakang dan digantikan oleh motif bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Kalau hal ini benarbenar terjadi, ancaman terhadap kemerdekaan pers menjadi sesuatu yang dapat disebut sebagai the real and present threat atau the real and present danger.
  • Kemerdekaan Pers Masih Memburuk

    Kemerdekaan Pers Masih Memburuk
    Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
    Sumber : KORAN TEMPO, 9Februari 2012
    Lembaga independen pemantau kemerdekaan pers Reporters Without Borders (RWB), di Paris, 30 Januari 2012, melaporkan indeks kemerdekaan pers 179 negara pada 2011-2012. Peringkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi ke-146, dibanding ke-117 pada 2010. Ironisnya, posisi kemerdekaan pers Indonesia kini menjadi lebih buruk dari Singapura dan Malaysia. Sementara itu, peringkat kemerdekaan pers pertama hingga kelima adalah Finlandia, Norwegia, Estonia, Belanda, dan Austria. Adapun peringkat terburuk ke-174 hingga 179 Cina, Iran, Syria, Turkmenistan, Korea Utara dan Eritrea.
    Menganalisis hasil penilaian tahunan RWB, sepertinya faktorfaktor yang mempengaruhi baikburuknya peringkat kemerdekaan pers di suatu negara adalah, pertama, kebijakan, peraturan, perundang-undangan negara itu mengancam atau melindungi pers? Negara yang politik hukumnya mengkriminalkan pers dinilai masih berpaham otoriter.
    Kedua, negara melindungi atau tidak pelaksanaan profesi wartawan. Negara yang melakukan pembiaran kekerasan terhadap wartawan yang melakukan kegiatan jurnalistik berdampak sangat kontributif terhadap memburuknya indeks kemerdekaan pers. Ketiga, tingkat keprofesionalan pers. Penyalahgunaan kemerdekaan pers bukan untuk kepentingan umum juga disoroti oleh RWB.
    Memburuknya peringkat kemerdekaan pers Indonesia posisi 2011-2012—menurut saya—karena dua hal berikut ini. Pertama, diundangkannya UU Intelijen (2011) yang beberapa pasalnya mengancam pers menunjukkan pemerintah dan DPR masih menilai pekerjaan jurnalistik juga sebagai kejahatan. Kedua, laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers menunjukkan frekuensi kekerasan terhadap wartawan tiga tahun terakhir semakin buruk. Pada 2009 ada 40 kasus, 2010 sebanyak 46, dan 2011 terjadi 96 kasus. Dari 96 kasus itu, 70 kasus berkategori kekerasan fisik. Enam pelaku utama kekerasan fisik oleh TNI 11 kali, Polri 10, preman 8, petugas keamanan 6, massa 6, dan pelajar 6.
    Apa nalarnya peringkat Indonesia lebih buruk dari Singapura dan Malaysia? Membandingkan ketiga negara itu menarik untuk dicermati. Pertama, dari segi UU Pers, kemerdekaan pers Indonesia lebih baik. UU Nomor 40/1999 tentang Pers berpaham demokrasi; meniadakan campur tangan negara dalam penyelenggaraan pers; meniadakan izin untuk penerbitan pers, sensor, dan pembredelan; serta melindungi pers untuk mengontrol penyelenggaraan negara serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Kekuatan pers Indonesia sebagaimana dikemukakan tidak dimiliki oleh Singapura dan Malaysia.
    Kedua, indeks kemerdekaan pers Indonesia (ke-146), Singapura (ke-135), dan Malaysia (ke122) dinilai sama sangat buruk, jika dibandingkan dengan Timor Leste (86). Mengapa? Karena Timor Leste sudah menyesuaikan politik hukum negaranya dengan ketentuan United Nations Human Rights Committee, yang menyebut: “Penggunaan UU Pidana dengan sanksi penjara bagi gugatan defamation atau libel–seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan–sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi“.
    Ketiga, peringkat kemerdekaan pers Indonesia, Singapura, dan Malaysia sama-sama buruk, tapi Indonesia lebih buruk karena–menurut saya–RWB merekam bahwa, di Indonesia, negara melakukan pembiaran terhadap semakin meningkatnya kekerasan terhadap wartawan. Pemim pin redaksi mingguan Pelangi, Alfrets Mirulewan, di Maluku Barat Daya, pada De sember 2010, ter bunuh. Di Tual, Maluku, (21 Agustus 2010) wuran antara pe terjadi tawuran antara pemuda desa A dan B. Wartawan Sun TV, Ridwan Salamun–kebetulan warga desa A–yang meliput tawuran dibunuh oleh kelompok desa B. Majelis hakim Pengadilan Tual (9 Maret 2011) memvonis bebas tiga terdakwa pelaku pembunuhan. Terkesan, penegak hukum takut memvonis penjara terdakwa karena akan berdampak membuat kelompok desa B marah.
    Terkait dengan penyalahgunaan kewenangan wartawan, Singapura dan Malaysia lebih baik. Beberapa tahun lalu wartawan senior Rosihan Anwar (almarhum) di satu surat kabar mainstream dalam artikel “80 Persen Wartawan Melakukan Pemerasan“memberi peringatan ma sih beroperasinya wartawan pemeras. Sekarang ini para pejabat, politikus, dan pengusaha semakin direpotkan karena dana untuk wartawan amplop harus ditambah. Wartawan “abalabal”—yang sebenarnya tidak melakukan kegiatan jurnalistik—semakin banyak dan semakin menekan untuk mendapatkan amplop.
    Pembiaran terhadap beroperasinya wartawan pemeras, wartawan amplop, dan wartawan “abal-abal”juga menyumbang terhadap peringkat buruk kemerdekaan pers kita.  
    Rekomendasi
    Kemerdekaan pers dalam paradoks. Sejak 2004, di setiap acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari, Presiden SBY selalu mengapresiasi dan menyatakan melindungi kemerdekaan pers. Tokoh dan masyarakat pers pun puas. Sementara itu, menjelang HPN, Reporters Without Borders selalu me-releasetemuannya, peringkat kemerdekaan pers Indonesia belum juga semakin baik. Kini sudah tiba saatnya tokoh dan masyarakat menyongsong HPN di Jambi, 9 Februari 2012, dengan berbuat sesuatu agar peringkat kemerdekaan pers Indonesia membaik. Pers terpanggil menyusun agenda, antara lain memperjuangkan amandemen konstitusi agar kemerdekaan pers menjadi hak konstitusional warga negara, negara tidak lagi mengkriminalkan pers; mengupayakan agar penegak hukum melindungi wartawan dalam pekerjaan profesinya; dan agar Presiden SBY mengeluarkan peraturan yang melarang pejabat negara mengamplopi wartawan. ●
  • Cyber Society dan Online

    Cyber Society dan Online
    (Refleksi Hari Pers Nasional)
    Eddy Purwo Saputro, DOSEN DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SOLO
    Sumber : REPUBLIKA, 9Februari 2012
    Flavian dan Gurrea (2009), dalam arti kel yang berjudul “Users Motivations and Attitude Towards the Online Press”, dimuat Journal of Consu mer Marketing, Vol 26 No 3 hal 164-174 menegaskan bahwa motivasi dan sikap pembaca terhadap pers online sangatlah terkait de ngan perilaku melek internet. Fakta ini membenarkan argumen bahwa perkembangan teknologi yang didukung revolusi internet memengaruhi semua rutinitas kehidupan, baik bagi dunia industri maupun individual (Huang dan Yang, 2008).
    Terkait ini, industrialisasi pers tak bisa mengelak dari fenomena yang berkembang. Inovasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan antisipasi persaingan juga me rupakan tuntutan dalam indus tri pers. Oleh karena itu, koran edi si online menjadi acuan yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kini e-paper juga menjadi kewajiban untuk disajikan kepada pembacanya. Jadi, media pers dituntut menyajikan e-paper sebagai salah satu versi meski edisi online juga telah disajikan—selain edisi cetak yang terbit tiap hari. Lalu, bagaimana nasib edisi cetak?
    Kebutuhan terhadap internet tampaknya semakin tidak terbendung dan masyarakat kian antusias mengikuti perkembangan internet. Bahkan, kini masyarakat juga semakin terbiasa dan akrab dengan era internet. Hal ini     akhirnya memungkinkan masyarakan kian melek internet. Selain itu, tarif internet kian murah dan kecepatan koneksi kian lancar. Semua ini jelas berpengaruh bagi daya jual semua produk lewat internet, termasuk daya tarik pers online dan e-paper.
    Artikel Chen dan Corkindale (2008) yang berjudul “Towards an Understanding of the Behavioral Intention to Use Online News Services: An Exploratory Study”, dimuat di Internet Research, Vol 18 No 3 hal 286-312. Temuan me reka dalam tulisan itu memper kuat argumen tentang adanya sejumlah faktor yang mendorong seseorang untuk membaca edisi online dan atau e-paper.
    Peran Internet
    Menurut Budi Raharjo (2001), beberapa hal menyebabkan jaring an teknologi internet populer sebagai media komunikasi data. Pertama, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau dunia. Kedua, implementasinya relatif lebih murah dibanding menggunakan jaringan atau fasilitas lainnya. Misalnya, menggunakan value added network (VAN) sendiri.
     
    Untuk menjadi bagian dari internet, cukuplah dengan hanya menghubungkan sistem pada koneksi internet terdekat, misalnya, melalui Internet Service Provider. Bandingkan jika memakai VAN, maka harus menggelar jaringan sendiri dan cukup mahal. Terkait hal ini, maka internet sebagai basis media online dan e-paper sangat memungkinkan karena harganya yang semakin murah, distribusi yang lebih luas, serta real time online.
    Ketiga, teknologi internet bersifat terbuka (open standard) sehingga tak tergantung kepada sa tu vendor tertentu. Keempat, penggunaan web browser mempercepat pengembangan/peluncuran aplikasi dan mengurangi learning curve dari pengguna. Kelima, teknologi internet memung kinkan konvergensi berbagai aplikasi menjadi satu. Sebagai contoh, kini di mungkinkan mengirim kan data, suara, dan bahkan gambar melalui internet tanpa ada lagi batasan waktu, tempat, dan kondisi.
    Oleh karena itu, beralasan jika kini semakin berkembang citizen journalism sehingga masyarakat bukan lagi sekedar obyek, tapi juga subyek dari pemberitaan. Artinya, edisi online dan e-paper memungkinkan publik untuk me lakukan citizen journalism secara real time online meski juga ha rus didukung dengan kontrol internal agar sajian beritanya layak.
    Allen dan Johson (2009), dalam artikelnya yang berjudul “Preser ving Digital Local News”, me ne gaskan, media pers edisi cetakm me miliki kelemahan untuk kepen tingan arsip perpustakaan, mi sal nya, terkait kualitas kertas, tinta, dan jumlah halaman setiap edisi. Media digital atau e-paper menjadi alternatif yang baik. Ti dak saja terkait pengarsipan, tapi juga lebih efisien jika diukur da lam kapasitas penyimpanan gudang. Artinya, media digital atau e-paper tak butuh gudang luas un tuk penyimpanan karena bisa disimpan dalam media internet. Dan, siapa saja, kapan saja, dan di mana saja bisa melihat lagi dengan sekali klik.
    Transformasi Media
    Transformasi media menjadi pelajaran berharga tentang revolusi dan evolusi pers, mulai edisi cetak ke edisi online dan e-paper. Hal ini telah digambarkan Alves (2001) dalam artikelnya berjudul “The future on Online Journalism: Mediamorphism or Mediacide?” dimuat The Journal of Policy, Regulation and Strategy for Telecommunications, Vol 3 No 1 hal 6372. Artinya, transformasi dari industri pers merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi. Oleh karena itu, tuntutan penyesuaian menjadi pilihan wajib yang tak bisa lagi dihindari, termasuk yang dialami industri pers kini.
    Di sisi lain, perubahan per minta an konsumen juga menjadi konsekuensi yang mendukung transformasi industri media pers. Identifikasi fenomena ini bisa dili hat dari temuan riset Flavian dan Gurrea (2006) dalam artikelnya “The Choice of Digital Newspapers: Influence of Readers; Goals and User Experience”, di muat Internet Research, Vol 16 No 3 hal 231-247.
    Dari fenomena yang ada, termasuk juga transformasi cyber so ciety akibat tarif internet yang semakin murah, maka tidak ada salahnya jika semua media pers dituntut untuk juga menerbitkan edisi online dan edisi e-paper. Hal ini, secara tidak langsung memati kan edisi cetak karena bagaimanapun juga konsumen bisa dibeda kan menjadi dua, yaitu high touch dan high tech (Saputro, 2009).  Mereka yang high touch tetap butuh edisi cetak dan yang high tech semakin akrab dengan edisi online, termasuk edisi e-paper. Artinya, realitas transformasi industri media telah terjadi. Dan, industrialisasi media harus melihat kasus ini dengan cermat untuk bisa tetap bertahan dan memenangkan persaingan.