Author: Adul
-
Saat Kepercayaan terhadap Hukum Runtuh
Saat Kepercayaan terhadap Hukum RuntuhHandrix Chrisharyanto, DOSEN PSIKOLOGI UNIVERSITAS PARAMADINASumber : KOMPAS, 7 Februari 2012Hukum di Indonesia saat ini menjadi sorotan publik. Hukum di Indonesia diibaratkan sedang mengalami terjun bebas ke titik nadir. Pandangan semacam itu menjadi penguatan negatif terhadap keberadaan hukum di Indonesia.Hukum di Indonesia juga acap kali digambarkan dengan ilustrasi tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Situasi yang menggambarkan bahwa hukum di Indonesia hanya mampu menghadapi orang-orang tanpa kekuasaan dan mati di hadapan orang-orang berkuasa. Dewi keadilan pun diibaratkan hanya membuka matanya saat dihadapkan dengan kekuasaan sehingga keadilan itu sendiri dapat dipermainkan.Kondisi hukum seperti ini pada dasarnya menurunkan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat akan keberadaan hukum itu sendiri. Hal ini melihat kondisi hukum kita yang sering kali lemah dan absurd terhadap kasus-kasus yang melibatkan para elite politik dan elite penguasa. Hukum juga kerap loyo saat dihadapkan dengan cukong-cukong berduit. Hukum menjadi sahabat bagi para pesakitan yang mampu membayar hukum itu sendiri.Menyadari akan fondasi keadilan akan hukum pada dasarnya melihat dari para personel penyelenggara hukum yang dimiliki negara ini. Keberadaan institusi kehakiman, kejaksaan, kepolisian, dan KPK menjadi representasi akan tinggi atau rendahnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum itu sendiri.Kepercayaan yang tinggi dari masyarakat pada dasarnya menjadi konteks legitimasi yang lebih diperlukan daripada hanya dalam konteks legalitas. Situasi tersebut dikarenakan bahwa legitimasi pada realitasnya memberikan penguatan dalam fondasi sosial psikologis (Faturochman, 2008). Dalam hal ini, legitimasi masyarakat jadi faktor terpenting. Sebab, penyelenggaraan negara ini pada dasarnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Legitimasi tersebut harus mampu dibangun oleh para penyelenggara hukum dengan mulai membangun pilar-pilar kepercayaan yang ada. Merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Mishra (1996), jelas sudah bahwa membangun suatu kepercayaan pada dasarnya dilakukan dengan menguatkan beberapa dimensi.Empat DimensiPaling tidak ada empat dimensi yang perlu mendapat penguatan. Pertama, dimensi kompetensi. Dalam hal ini dimensi kompetensi mengarahkan pada kemampuan yang perlu dimiliki dalam menghadapi suatu permasalahan yang dihadapi.Institusi hukum sebagai representasi hukum di Indonesia saat ini memberikan visualisasi yang rendah akan kompetensi dalam penanganan hukum. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus besar yang mandek ataupun kabur dalam penyelesaiannya. Hukum dirasakan tidak mampu mendobrak dengan keras, malah linglung, saat dindingnya dilapisi selimut kekuasaan.Kedua, dimensi keterbukaan yang harus melekat agar dapat memberikan label tepercaya bagi suatu pihak. Keterbukaan dalam hal ini terkait dengan konteks kejujuran yang dimiliki. Keterbukaan ataupun kejujuran yang ditekankan, dalam hal ini, adalah berupa paparan akan kebenaran-kebenaran yang sesuai dengan fakta lapangan sesungguhnya.Saat hukum melalui para penegak hukum dirasa terlalu sering menutup-nutupi kebenaran untuk melindungi salah satu pihak penguasa, dimensi ini hanya akan ditampakkan secara negatif oleh rakyat. Persepsi rakyat akan kebenaran yang seharusnya ditunjukkan oleh hukum itu sendiri menjadi lemah. Hukum gagal mencapai tingkat tertinggi dari keterbukaan ataupun kejujuran itu sendiri.Ketiga, dimensi perhatian atau kepedulian. Dimensi ini menjadi salah satu ranah yang harus diperhatikan agar mampu mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Dalam dimensi ini, kepercayaan akan terbentuk saat adanya persepsi yang muncul terkait seberapa jauh dalam memperhatikan ataupun memedulikan kepentingan pihak lain, di samping kepentingan diri pribadi.Dalam ranah hukum saat ini, para penegak hukum dirasa tidak mampu membentuk kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan rakyat. Para penegak hukum gagal menjadi pihak yang tepercaya, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang hanya mementingkan diri sendiri dengan menerima suap. Tayangan drama- drama keadilan yang marak saat ini adalah buah dari itu semua.Keempat, dimensi reliabilitas menjadi tidak kalah pentingnya yang harus dimiliki untukmemunculkan kepercayaan kepada satu pihak. Reliabilitas menekankan pada kesamaan atas apa yang menjadi perkataan dan perbuatan. Integritas menjadi fondasi penting di dalam menggambarkan dimensi reliabilitas yang ingin dicapai.Hukum harus menyadari atribut yang melekat di dalamnya. Bahwa hukum bergerak tanpa memandang siapa pun pihak yang bersalah, tidak bernegosiasi, ataupun bersifat hitam dan putih harus mampu ditegakkan. Dalam realitasnya, hukum tidak berjalan sesuai atribut yang melekat di dalamnya. Hukum saat ini nihil akan kepuasan dalam tindakan integritas yang nyata. Siapa yang memiliki kekuasaan dapat menggoyang hukum ataupun menjadikan hukum itu sendiri loyo.Hukum harus mampu digambarkan sebagai pihak yang dapat dipercaya dengan aksi-aksi keadilan tanpa pandang bulu melalui institusi-institusi hukum yang ada. Saat hukum mampu memberikan representasi keadilan yang memuaskan, rakyat dengan sendirinya akan mampu memercayakan permasalahan hukum kepada hukum itu sendiri tanpa perlu mengedepankan tindakan anarkistis sebagai bentuk delegitimasi terhadap hukum oleh rakyat. ● -
Transparansi Penerimaan SDA
Transparansi Penerimaan SDAMarwan Batubara, DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIESSumber : KOMPAS, 7 Februari 2012Pemerintah mengakui tidak memiliki data primer pertambangan mineral dan batubara sehingga negara berpotensi dirugikan.Sebelumnya, Dirjen Pajak mengatakan, guna mencapai target penerimaan pajak 2012 sebesar Rp 1.032 triliun, pemerintah akan mengintensifkan pemungutan pajak sumber daya alam (SDA), terutama migas, mineral dan batubara, serta kelapa sawit. Ditjen Pajak akan menunjuk surveyor independen untuk menyurvei sekitar 9.000 perusahaan tambang. Targetnya adalah memperoleh data primer industri tambang, seperti daftar perusahaan, volume produksi, volume ekspor, dan seterusnya, selain merupakan upaya meningkatkan pengawasan.Rencana Ditjen Pajak ini menunjukkan buruknya pengelolaan penerimaan SDA selama ini. Hanya untuk membuat daftar semua perusahaan tambang berikut data produksi, keuangan, dan pajak saja, pemerintah tak becus. Mungkin juga karena ada oknum pejabat yang sengaja menyembunyikan data, terlibat KKN, di samping penyelewengan oleh oknum perusahaan. Tak heran, penerimaan negara jauh lebih rendah daripada seharusnya.Penyebab KerugianBerdasarkan perhitungan teoretis, rata-rata penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara 25 persen terhadap pendapatan kontraktor. Karena itu, untuk produksi batubara 340 juta ton tahun 2011, semestinya negara memperoleh Rp 68 triliun. Ternyata, berdasarkan data Ditjen Pajak, penerimaan negara dari tambang emas, tembaga, timah, batubara, dan sebagainya hanya Rp 87 triliun.Hal itu menunjukkan penerimaan negara dari pertambangan sangat rendah dan kontraktor mendapat bagian jauh lebih besar. Maka, Freeport pun berubah dari perusahaan gurem menjadi raksasa dunia. Menurut majalah Forbes (11/2011), 12 dari 40 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha batubara.Ada dua faktor utama penyebab kerugian negara pada sektor SDA, yaitu aturan yang bermasalah dan moral hazard oknum pejabat dan pengusaha. Hal ini tampak pada sejumlah penyelewengan berupa kekurangan/penyembunyian data, transfer pricing, penggelembungan biaya (cost recovery), penyalahgunaan tax treaty, manipulasi self-assessment, transparansi/akuntabilitas yang rancu, serta inkonsistensi dan pelanggaran aturan. Sebagian bukti penyelewengan ada dalam laporan BPK.Terkait penyembunyian data, Kementerian ESDM mengakui hanya menghitung hasil produksi batubara perusahaan tambang yang terdaftar di pusat dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) besar. Sementara kuasa pertambangan (KP) kecil tidak dihitung. Yang terdaftar di pusat sekitar 80 persen dari total perusahaan. Berarti ada ratusan perusahaan tidak terkena DMO.Di sisi lain, pihak pemda juga tidak optimal mengawasi dan memperoleh pajak. Menurut perkiraan Kementerian ESDM, produksi batubara Indonesia 2012 adalah 332 juta ton. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyebutkan produksi bisa mencapai 380 juta ton. Selisih data ini jelas menunjukkan besarnya kerugian negara.Terkait transfer pricing, mantan Direktur APBI Priyo BS mengungkapkan, pengusaha sering menggunakan kontrak lama guna menghindari pajak. Harga batubara yang dijual ke perusahaan terafiliasi di bawah standar, padahal acuan harga kontrak lama sudah tidak relevan. Akibatnya, setoran pajak jadi kecil.Dalam hal penyelewengan cost recovery (CR), BPKP tahun 2006 pernah melaporkan potensi kerugian negara periode 2000-2005 sekitar Rp 9,37 triliun oleh 43 KPS. BPK (2007) juga melaporkan potensi kerugian negara dari penggelembungan CR periode 2000-2006 senilai Rp 18,07 triliun. Namun, hingga kini kedua kasus tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Padahal, hasil audit telah dilaporkan ke DPR dan pemerintah, termasuk kejaksaan dan kepolisian.Beda TafsirTerkait tax treaty, perbedaan penafsiran tarif pajak adalah penyebab kecilnya penerimaan pajak migas. Tarif yang dipakai kontraktor adalah tarif PPh pada tax treaty (Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda/P3B) yang lebih murah daripada tarif pemerintah berdasarkan UU No 36/2008 tentang PPh 20 persen.Solusinya adalah dengan menerapkan PPh ditambah pajak dividen dan royalti sehingga secara umum total pajak yang harus dibayar 44 persen. Sementara pajak PPN, PBB, dan PDRD dibayar oleh negara dengan mengambil dana dari bagian penerimaan migas. Namun, hal ini tak kunjung diselesaikan pemerintah. Padahal, berdasarkan laporan KPK (Juli, 2011), ada 14 perusahaan migas asing menunggak pembayaran pajak Rp 1,6 triliun.Tentang self-assessment, reformasi perpajakan pada 1983 telah menetapkan penggunaan sistem self-assessment. Wajib pajak dipercaya menghitung dan membayar pajak sendiri sesuai data yang dimiliki. Berapa pun pajak yang dibayar dianggap benar sepanjang tidak ada data lain. Pemerintah tidak bisa menguji kebenaran perhitungan wajib pajak jika tidak memiliki data lain.Sistem ini berpotensi ”dimanfaatkan” wajib pajak untuk membayar pajak sekehendak hati. Karena itu, pemerintah harus memiliki data sendiri.Dalam hal transparansi data, pemerintah sengaja tidak menampilkan dan membuka secara transparan rincian penerimaan negara dari pajak mineral dan batubara dalam setiap penyampaian APBN. Padahal, sejalan dengan prinsip transparansi pendapatan industri ekstraktif (Perpres No 26/2010), informasi tersebut harus disampaikan ke publik sekaligus mencegah KKN.Sebenarnya telah banyak UU atau PP baru guna meningkatkan penerimaan negara, seperti PP No 45/2003 tentang PNBP, UU No 28/2007 tentang KUP, serta UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.PP No 45/2003, misalnya, memerintahkan kenaikan royalti emas dan tembaga dari masing-masing 1 persen jadi 3,75 persen dan 4 persen. Namun, pemerintah takut memberlakukannya kepada sejumlah perusahaan besar seperti Freeport atau Newmont. Pasal 35A UU No 28/2007 memerintahkan pengumpulan data berbagai sumber guna pengujian data self-assessment pajak. Namun, PP turunan dari UU tersebut tak kunjung diterbitkan.Yang paling mengecewakan, pelaksanaan UU No 4/2009. Meskipun sudah tiga tahun lebih ditetapkan, pemerintah belum juga mampu memberlakukan perintah UU tersebut kepada kontraktor besar, seperti Freeport, Newmont, KPC, dan Adaro.Presiden SBY telah menyatakan pemerintah akan merenegosiasi kontrak-kontrak mineral dan batubara, tetapi hingga kini hasilnya belum tampak. Bahkan, beredar kabar bahwa renegosiasi akan dihentikan. Jika ini terjadi, berarti perintah UU dan konstitusi dilanggar dan kedaulatan negara dilecehkan. Mungkin penunjukan surveyor pajak juga akan bernasib sama.Ke depan, aktivitas surveyor saja tidak cukup. Beberapa aturan harus diperbaiki dan peraturan yang berlaku harus dijalankan secara konsisten. Untuk itu, dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah. SDA negara seharusnya dimanfaatkan secara adil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan pengusaha dan pemburu rente. ● -
Pemerintah Galau
Pemerintah GalauA Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIKUGM, YOGYAKARTASumber : KOMPAS, 6 Februari 2012Status investment gradeyang diberikan oleh lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s kepada Indonesia mulai memberikan hasil. Indeks Harga Saham Gabungan, pekan lalu, kembali menembus 4.000. Level psikologis yang sangat dibutuhkan untuk membantu kinerja perekonomian Indonesia tahun ini. Mata rantai berikutnya, kurs rupiah kembali menguat ke level Rp 9.000 per dollar AS.Selain status investment grade, hal positif lain ditunjukkan oleh inflasi Januari 2012 yang hanya 0,76 persen. Biasanya pada Januari inflasi selalu tinggi, sekitar 1,0 persen. Secara tipikal, hujan deras dan banjir pada Januari serta gangguan transportasi berujung pada inflasi. Namun, tahun ini kondisi cuaca tidak terlalu ekstrem sehingga inflasi juga cenderung ”jinak”.Inflasi year on year kini hanya 3,65 persen. Berarti, tren inflasi rendah masih berlanjut. Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga kembali punya opsi untuk menekan BI Rate yang kini 6,00 persen. Harapannya agar bank menurunkan suku bunga dan mendorong kegiatan kredit lebih agresif. Ekspansi kredit kini 25 persen, sudah termasuk tinggi dalam sejarah perbankan kita.Bisa dimengerti jika BI ingin ekspansi lebih besar. Pertama, rasio kredit berbanding produk domestik bruto kita yang hanya 30 persen, jauh dibandingkan negara emerging market lain yang di atas 100 persen.Kedua, untuk mendorong bank agar tidak menyimpan likuiditasnya di BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia. Masih banyak bank—terutama bank besar—yang rasio kreditnya (loan to deposit ratio/LDR) rendah, yakni di bawah 70 persen. LDR bank yang moderat adalah 80 persen dan agresif pada 90 persen ke atas.Namun, masalahnya, BI juga harus berhitung lebih cermat. Jika BI Rate diturunkan menjadi 5,75 persen, apakah tidak mengusik ketenangan rupiah? Jangan sampai jika suku bunga deposito diturunkan, para penabung justru mengalihkan dana mereka ke dollar AS. Akibatnya, kurs dollar AS akan menguat, sebaliknya rupiah akan melemah.Sejak krisis subprime mortgage 2008 di Amerika Serikat, dinamika mata uang dunia punya pola yang menarik. Kurs dollar AS tiba-tiba bisa menguat justru karena berbagai situasi buruk. Saat saham-saham di Wall Street berguguran menyusul kebangkrutan Lehman Brothers, medio September 2008, dollar AS justru menguat. Alasannya karena investor global menarik dana mereka dari pasar modal di seluruh dunia dan dikembalikan ke New York.Hal sama terjadi saat krisis zona euro kian kritis, dengan jatuhnya ekonomi Yunani (2010) dan Italia (2011), dollar AS juga terindikasi menguat. Juga saat ekonomi Spanyol ikut kritis dengan pengangguran 23 persen, dampaknya euro melemah dan dollar AS menguat. Rupiah pun melemah.Lalu, kapan rupiah menguat? Rupiah menguat saat investor global mulai melakukan konsolidasi. Ke mana dananya mesti dialirkan. Pilihannya, tentu kepada negara-negara emerging market yang paling stabil dan prospektif, yakni China, India, Brasil, dan Indonesia. Saat itulah rupiah menguat lagi.Kalkulasi yang perlu dilakukan BI adalah sampai seberapa rendah—how low can you go—suku bunga Indonesia masih menarik bagi investor agar tetap memegang rupiah? Sementara itu, data yang harus dipertimbangkan adalah cadangan devisa kini 110 miliar dollar AS. Level ini relatif konstan beberapa bulan terakhir, tetapi jauh dari 124,5 miliar dollar AS pada Agustus 2011.Rekomendasi saya, BI Rate tetap 6 persen, melihat perkembangan. Jika rupiah stabil dan menguat serta dana global masuk lebih cepat sehingga cadangan devisa naik, saat itulah BI Rate layak diturunkan menjadi 5,75 persen.Dalam kepentingan lain, rendahnya inflasi saat ini sebenarnya merupakan momentum bagus bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Jika dibiarkan, tahun ini subsidi BBM sebesar Rp 150 triliun, ditambah subsidi listrik Rp 50 triliun.Setidaknya, timbul tiga kegalauan dalam hal ini. Pertama, jumlah subsidi itu tak masuk akal dibandingkan dengan volume APBN 2012 sebesar Rp 1.418 triliun. Ini jelas tidak sehat dan mengancam keberlanjutan APBN.Kedua, subsidi BBM yang terus-menerus dan membesar menyebabkan masyarakat lengah untuk tidak efisien. Efisiensi bukanlah hal yang dapat dilakukan secara sukarela atau diwacanakan, tetapi perlu ”agak memaksa”.Ketiga, kesalahan alokasi subsidi BBM akan terus berlanjut. Ini tidak adil karena sebagian orang kaya justru menikmati subsidi BBM. Kegalauan ini harus dihentikan.Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengusulkan agar pemerintah memberi subsidi secara konstan. Artinya, harga BBM bersubsidi akan dinaikkan, tetapi kemudian harganya akan berfluktuasi menyesuaikan dengan dinamika harga minyak dunia.Apa pun alasannya, ide ini kemajuan. Jauh lebih bisa diterima daripada ide membatasi konsumsi BBM yang sangat rawan kericuhan. Sementara itu, ide konversi ke bahan bakar gas perlu dilakukan sebagai strategi jangka menengah dan panjang karena perlu persiapan infrastruktur yang tak sederhana.Meski demikian, ide Menkeu masih luput menyerap aspirasi keadilan. BBM bersubsidi hendaknya terarah ke kelompok miskin. Kelompok menengah yang memiliki mobil pribadi perlu ”dilatih” agar ke depan membeli BBM yang tak bersubsidi.Usul saya, BBM bersubsidi (fully subsidized) dengan harga Rp 4.500 per liter hanya pada sepeda motor. Sedangkan untuk mobil pribadi diterapkan periode transisi. Mereka wajib membeli BBM setengah subsidi (partially subsidized), misalnya Rp 6.500 per liter. Sebagian mobil pribadi pasti terpaksa ke pertamax, sebagian lagi terpaksa ”turun kelas” ke sepeda motor.Ke depan, jika momentumnya baik, harga ini pelan-pelan ditingkatkan mendekati harga keekonomian. Skema ini menjawab beberapa kegalauan sekaligus: (1) menyelamatkan APBN; (2) memaksa masyarakat berhemat dan efisien; serta (3) mewujudkan keadilan subsidi agar tidak terjadi salah alokasi. Kapan saatnya? Secepatnya. Mumpung inflasi sedang rendah. ● -
Bunga Kredit dan Arsitektur Perbankan
Bunga Kredit dan Arsitektur PerbankanMirza Adityaswara, EKONOM; ANALIS PERBANKAN DAN PASAR MODALSumber : KOMPAS, 6 Februari 2012Tingginya bunga kredit sedang menjadi sorotan Bank Indonesia. Namun, BI tak secara spesifik menyebutkan bunga kredit segmen mana yang dianggap terlalu tinggi.Apakah segmen korporasi atau segmen kredit ritel; bunga kredit kepemilikan rumah (KPR), kartu kredit, kredit mikro, kredit tanpa agunan (KTA), atau kredit lain. Bunga kredit berbagai segmen itu berbeda-beda. KTA dan kartu kredit bunganya masih di atas 30 persen karena tak ada jaminan dan untuk konsumtif. Untuk kredit korporasi, banyak perusahaan besar yang terdaftar di bursa efek, bunga kreditnya sudah rendah, bisa hanya 7,5 persen, yang artinya sekitar 3 persen di bawah suku bunga dasar kredit yang diumumkan bank-bank.Bank besar, seperti BCA dan Mandiri, sudah berani menawarkan bunga KPR di bawah 8 persen pada tahun pertama meski tahun selanjutnya bunga mengambang karena sumber dananya jangka pendek. Namun, bank yang memiliki unit kredit mikro masih menawarkan bunga tinggi, 25-35 persen per tahun. Padahal, jika negara ini ingin membangun industri kecil dan industri rumah tangga, bunga kredit ritel dan mikro harus diusahakan turun lebih banyak lagi.BI juga menyoroti tingginya margin bunga bersih atau selisih pendapatan bunga dengan biaya bunga (net interest margin/NIM) perbankan yang saat ini 5,9 persen, tetapi BI tidak membandingkan NIM perbankan secara historis. NIM sebelum krisis 1998 di bawah 4 persen. Bahkan, beberapa bank besar yang dimiliki para konglomerat dulu memiliki NIM yang hanya sekitar 2,5 persen karena mereka banyak menyalurkan kredit kepada grup sendiri yang kemudian kolaps pada saat krisis 1998 sehingga membebani APBN sampai kini.Tentunya kita tak ingin kembali ke kondisi sebelum tahun 1998 karena yang mendapat akses kredit pada saat itu sebagian besar hanya para konglomerat dan beberapa korporasi.Kuncinya PersainganBunga kredit korporasi saat ini bisa rendah karena bank dalam negeri bersaing dengan bank luar negeri. Selain itu, bunga kredit korporasi bersaing dengan instrumen pendanaan dari pasar modal (obligasi). Berhubung makroekonomi Indonesia membaik, investor portofolio asing terus masuk membeli Surat Utang Negara (SUN) sehingga imbal hasil SUN berjangka 10 tahun turun tiga tahun terakhir dari 9,5 persen menjadi 5,8 persen.Akibatnya, imbal hasil obligasi korporasi juga ikut turun menjadi sekitar 8 persen. Dampak positifnya, perbankan terpaksa harus mau menurunkan bunga kredit korporasi ke bawah 9 persen. Jadi, kuncinya tingkatkan persaingan. Dulu sebelum 1998 pemerintah pernah mewajibkan bank memberikan kredit usaha kecil sebesar 20 persen dari total portofolio. Namun, cara ini gagal.Yang terjadi, beberapa bank justru mengakali regulasi dengan memecah kredit korporasi jadi kredit kecil-kecil. Sebaliknya, saat ini kita lihat ada beberapa bank selain BRI yang dengan sukarela masuk ke segmen kredit mikro, yaitu Danamon, BTPN, dan Mandiri. Kredit mikro nilai kreditnya maksimum Rp 50 juta.Pemain lain, seperti Bank OCBC NISP dan CIMB Niaga, juga mulai melebarkan sayap masuk ke kredit mikro. Total kredit mikro bank umum sudah mencapai Rp 300 triliun atau 14 persen dari total kredit. Ini positif karena dari sekitar 1.800 BPR yang ada, total kreditnya hanya Rp 40 triliun. Ditambah koperasi simpan pinjam, mereka tidak akan mampu mendanai seluruh kebutuhan potensi kredit usaha mikro di Indonesia.Ternyata tanpa paksaan dari regulator dan tanpa insentif Arsitektur Perbankan, bank-bank tersebut masuk dengan sukarela ke segmen kredit mikro karena penciuman bisnis. Bank adalah lembaga komersial. Yang dilihat oleh bank adalah adanya margin yang tinggi di segmen kredit mikro. Dampak positifnya, masyarakat kecil diuntungkan karena jika dulu mereka hanya memperoleh akses kredit dari para rentenir, sekarang ada alternatif pendanaan dari perbankan.Menambah SuplaiDengan adanya kompetisi, bunga kredit mikro BPR mulai turun. Namun, penurunan bunga kredit mikro masih terlalu lambat karena kompetisinya masih kurang. Suplai kredit mikro harus ditambah. Namun, jika kita tak sabar, pemerintah harus menyediakan dana tambahan di APBN untuk kredit usaha rakyat. Hanya saja, kita juga harus siap menambah modal Askrindo untuk menyerap kredit macet KUR. Rasanya tak akan mampu APBN mendanai itu semua.Selanjutnya, jika kita bicara NIM, sesuai definisinya, NIM adalah selisih pendapatan bunga dan biaya bunga. Suatu bank bisa saja punya NIM hanya 1 persen, tetapi itu bukan karena bunga kreditnya yang rendah, melainkan karena bunga dananya yang tinggi dan terbebani kredit bermasalah sehingga hanya tersisa NIM 1 persen untuk membiayai operasional bank. Ini juga tak sehat karena bank akan sulit berkembang. Jadi, tak tepat jika BI malah senang melihat bank dengan NIM terlalu rendah.Untuk menyalurkan kredit, bank membutuhkan dana. Pendanaan bisa datang dari simpanan (deposit), pasar uang, dan pasar modal. BI mengatakan tak ada kekurangan likuiditas di pasar uang karena penempatan ekses likuiditas bank di BI melimpah, sekitar Rp 410 triliun. Bank menempatkan aset likuid di BI untuk berjaga-jaga jika terjadi pencairan kredit yang kini belum ditarik (undisbursed loans).Penempatan di BI bunganya 4,5 persen, lebih menarik daripada Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang hanya 1,9 persen sehingga yang masuk membeli SPN hanya investor asing. Bunga pasar uang antarbank (PUAB) jangka waktu satu hari (overnite) hanya 4,5 persen, artinya 1,5 persen di bawah bunga acuan BI (BI Rate), tetapi volumenya kecil dan tenornya kebanyakan maksimum satu minggu sehingga bank tidak bisa menjaring dana dari PUAB. Jumlah kredit yang belum ditarik sangat besar, Rp 640 triliun atau sekitar 30 persen dari total kredit, meski memang tak semuanya bersifat ”pasti dicairkan”. Angka itu termasuk kredit infrastruktur.Jika kondisi memang likuid, mengapa para pemilik dana besar punya kekuatan tawar untuk memojokkan perbankan agar membayar bunga deposito tinggi, bahkan bisa 3 persen di atas bunga acuan BI? Ini semua cerminan dari hukum permintaan dan penawaran. Semakin tinggi rasio kredit terhadap dana deposit (loan to deposit ratio/LDR), semakin giat bank menjaring dana simpanan nasabah untuk mendanai kredit. Meski LDR perbankan kelihatannya hanya 81 persen, banyak bank yang LDR-nya sudah mendekati 100 persen. LDR di atas 90 persen tidak sehat. Masalahnya ekses likuiditas dari investor asing tak bisa dipergunakan oleh bank.Hampir tidak ada bank yang menerbitkan Certificate Deposits (CD) di pasar uang. Masih sedikit bank yang punya akses menggali dana jangka panjang obligasi dan saham. Akibatnya, bank berebut dana di satu pasar saja, yaitu pasar Time Deposits (TD). Kesimpulannya, BI harus membenahi Arsitektur Perbankan agar suplai kredit mikro bertambah serta bersama Bapepam-Lembaga Keuangan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) memperdalam likuiditas di pasar uang jangka pendek dan jangka panjang agar bunga deposit turun. Benahi problem makro perbankan dengan pendekatan makro, jangan dengan pendekatan mikro. ● -
DPD Masih Ancam Pers
DPD Masih Ancam PersSabam Leo Batubara, KOORDINATOR MPPI 1998-2003; WARTAWAN SENIORSumber : KOMPAS, 6 Februari 2012Apakah sikap Dewan Perwakilan Daerah terhadap kebebasan pers sudah lebih reformis dibanding MPR, DPR, dan pemerintah?Selama ini MPR, DPR, dan pemerintah masih berkultur tak melindungi kebebasan pers, malah masih bertradisi mengekang dan mengancam pers. Dari Naskah Perubahan Kelima UUD 1945 Februari 2011 terkait kebebasan pers, usulan DPD ternyata masih mengancam kebebasan pers, malah mundur ke paradigma otoriter Orde Baru.Mengancam PersDalam naskah perubahan, Pasal 27F Ayat (2) DPD mengusulkan, ”Negara wajib menjamin kebebasan pers dan kebebasan media lainnya.” Usulan itu masih mengancam pers karena DPD tak menegaskan apakah puluhan UU—seperti KUHP dan Undang-Undang Intelijen—dilarang diberlakukan terhadap pers atau tidak? Jika masih berlaku, usulan amandemen DPD masih mengancam pers. Amandemen pertama konstitusi AS (1791) jelas menjamin kebebasan pers: ”Congress shall make no law… abridging the freedom of the speech, or of the press.” Amandemen yang secara tegas melarang pembuatan UU yang mengancam pers justru diberi payung hukum sebagai hak konstitusional rakyat AS.Salah satu penyebab keterpurukan rezim Orde Lama dan Orde Baru karena pers tak diberi kebebasan memberi peringatan dini atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Untuk mencegah ini terulang, sejumlah aktivis kebebasan pers yang tergabung dalam Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) mengajukan Rancangan Ketetapan MPR tentang Kebebasan Informasi ke Sidang Istimewa MPR November 1998.Beberapa isi pokok Rantap diakomodasi di Tap MPR agar ”segala peraturan dan perundang-undangan yang membatasi kebebasan pers dilarang,” ditolak oleh MPR.MPPI melanjutkan perjuangan agar kebebasan pers jadi hak konstitusional, dengan mengakomodasi usulan ini dalam Amandemen II pada Sidang Tahunan (ST) MPR Agustus 2000 ataupun Amandemen IV pada ST MPR Agustus 2002. MPR tetap menolak usul amandemen MPPI.Pada ST MPR Agustus 2000, MPR menetapkan Amandemen II UUD 1945 yang memberi kebebasan sekaligus ancaman terhadap pers. Berdasarkan Pasal 28E dan 28F—dapat diinterpretasikan—pers berhak mengungkap dugaan tentang pejabat, politisi, dan pengusaha yang bermasalah, misalnya dalam kasus tindak korupsi. Namun, Pasal 28G dan 28J juga memberi hak kepada pejabat yang disoroti pers itu untuk mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan KUHP pers terkait dapat dipidana penjara dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.Akibatnya, karena pasal itu mengancam, pers menghentikan mengungkap, misalnya temuan kasus rekening gendut yang dipublikasikan PPATK. Untuk merevisi Amandemen II, delegasi Dewan Pers menemui Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan menyampaikan surat berisi usulan terhadap Amandemen UUD 1945 (7/8/2007). Usulan berupa penambahan kalimat pada Pasal 28F Amandemen II setelah perkataan ”segala jenis saluran yang tersedia,” ditambahkan ”termasuk melalui pers yang bersumber dari kemerdekaan pers dan disertai jaminan tidak dikenakan adanya undang-undang dan peraturan yang dapat mengurangi kemerdekaan pers.”Fakta menunjukkan, selama 66 tahun ini DPR dan pemerintah telah menerbitkan puluhan UU yang mengancam pers dan satu UU yang melindungi kebebasan pers, yakni UU No 40/1999 tentang Pers. Pada tahun 2008 saja, DPR dan pemerintah menerbitkan lima UU yang sejumlah pasalnya mengancam pers.Langkah MundurKetika RUU Pers diperdebatkan di publik, kemudian dibahas di DPR tahun 1999 terkait desain Dewan Pers muncul pilihan apakah melanjutkan ketentuan UU Pokok Pers No 21/1982 dan PP No 1/1984 bahwa Dewan Pers dipilih Menteri Penerangan atau melakukan perubahan berdasar paradigma demokrasi? UU No 40/1999 tentang Pers memilih ”sembilan anggota Dewan Pers dipilih oleh komunitas pers.”Dalam naskah perubahan kelima UUD 1945 pada Pasal 30G, DPD mengusulkan pembentukan ”Komisi Kebebasan Pers (KKP) berwenang memajukan, menjaga, dan melindungi kehidupan pers yang bebas.” Komisi ini hasil peleburan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia dan anggotanya dipilih DPR.Usulan DPD agar komisi itu dipilih DPR sama dengan kembali ke paradigma rezim Orba yang otoriter. DPD tentu paham, sebagian besar anggota dewan, parpolnya sama dengan parpol pendukung pemerintah. Selain itu, menurut paham demokrasi, fungsi pers sebagai kekuatan keempat demokrasi adalah mengontrol legislatif, pemerintah, dan yudikatif, bukan sebaliknya.DPD tak mengetahui tahun 1999 pemerintah mencoba menyatukan RUU Pers dan RUU Penyiaran dalam satu RUU Media Massa. Turunannya melebur Dewan Pers dan KPI dalam satu komisi. Aktivis prodemokrasi dan kebebasan pers menolak karena RUU tersebut mengatur dua media yang berbeda karakteristik.Media penyiaran memerlukan frekuensi; lewat pesawat televisi dan radio kontennya bebas memasuki ruang keluarga. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat oleh negara, antara lain persyaratan izin penyelenggaraan penyiaran. Izin itu dapat dicabut. Sementara media cetak tidak perlu frekuensi, tak memerlukan regulasi pemerintah, cukup dengan swaregulasi, dan tidak memerlukan izin penerbitan. Media cetak masuk ruang keluarga karena dikehendaki.DPD juga kurang paham, sebagian besar konten media penyiaran hiburan bukan produk pers. Komisi mana yang mengawasinya? Sementara KKP tak berhak melakukan. Jika DPD punya kemauan politik memperjuangkan negara wajib jamin kebebasan pers berdasar paradigma demokrasi, amandemennya harus menempatkan kemerdekaan pers sebagai hak konstitusional warga negara dengan rumusan Pasal 28F dilanjutkan dengan ”termasuk melalui pers yang bersumber dari kemerdekaan pers dan disertai jaminan tidak dibenarkan adanya undang-undang dan peraturan yang dapat mengurangi kemerdekaan pers.”Atau, merevisi usul perubahan Pasal 28F Ayat (2) jadi, ”Negara wajib menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala peraturan dan perundang-undangan yang membatasinya.” Rumusan perubahan sebaiknya menggunakan istilah kemerdekaan pers agar sesuai kata kemerdekaan Pasal 28 UUD 1945. Amandemen dengan salah satu rumusan ini dengan sendirinya meniadakan usul perubahan Dewan Pers dan KPI menjadi satu komisi. ● -
Integrasi untuk Tumbuh, Inovasi untuk Makmur
Integrasi untuk Tumbuh, Inovasi untuk MakmurDA Medvedev, PRESIDEN FEDERASI RUSIA; KETUA APEC 2012;TUAN RUMAH KTT APEC PADA SEPTEMBER 2012 DI VLADIVOSTOK, RUSIASumber : KOMPAS, 6 Februari 2012Pada 2012, Rusia mengetuai forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik, APEC. Kota Vladivostok dipersiapkan untuk menyelenggarakan KTT APEC. Bagi kami, hal ini bukan saja misi kehormatan, melainkan juga tugas yang sangat penting.Rusia adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kawasan Asia Pasifik yang luas dan semakin maju. Pentingnya kawasan ini bagi pembangunan sosial-ekonomi Rusia, terutama bagi Siberia dan Timur Jauh, merupakan suatu kenyataan. Oleh karena itu, salah satu prioritas kami yang tak bisa dipersoalkan adalah interaksi dengan negara-negara Asia Pasifik di bidang perdagangan dan penanaman modal serta keikutsertaan aktif dalam integrasi regional.Kami memiliki yang bisa ditawarkan kepada mitra-mitra kami untuk mengatasi masalah energi, transportasi, ilmu dan teknologi, serta pelestarian alam di kawasan Asia Pasifik. Juga untuk mengembangkan dialog antar-peradaban yang luas dan lengkap serta menjamin secara komprehensif stabilitas politik-militer di kawasan ini. Kami pun siap secara efektif berinteraksi di bidang penanggulangan bencana dan pemberantasan terorisme.Berpartisipasi AktifDalam Deklarasi Pemimpin APEC (APEC Leaders Declaration) yang diadopsi di Hawaii, AS, tercantum secara jelas bahwa ”kawasan kita adalah pelopor pertumbuhan global” (our region is now the vanguard for global growth). Rusia sebagai ketua forum ini akan berbuat sebanyak mungkin guna memperkokoh posisi Asia Pasifik sebagai yangterdepan.Apa yang ingin kami buat secara konkret? Pertama-tama, Rusia bertekad melestarikan kesinambungan dalam kerja APEC. Pemerintah Rusia juga akan berupaya mengembangkan secara konstruktif agenda tradisional forum ini.Arah kunci kerja kami adalah terus meliberalisasikan kegiatan di bidang perdagangan dan investasi di Asia Pasifik serta memperkokoh integrasi ekonomi regional. Kami mengharapkan meraih hasil-hasil praktis dari jaringan kerja sama yang fundamental ini bagi APEC.Sejak Rusia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), wakil-wakil negara kami mendapatkan peluang ikut serta sepenuhnya dalam pembahasan isu-isu liberalisasi perdagangan. Justru posisi bersatu ekonomi-ekonomi APEC harus membantu mereka, negara-negara anggota, keluar dari jalan buntu dalam proses perundingan perdagangan multilateral dan membuat perundingan ini lebih konstruktif.Partisipasi aktif dalam integrasi regional adalah pilihan yang kami sadari. Menurut saya, itulah satu-satunya pilihan yang benar. Untuk itu, kami—bersama dengan Kazakhstan dan Belarus sebagai Uni Bea Cukai—siap membahas persetujuan-persetujuan mengenai perdagangan bebas (FTA) dengan perekonomian- perekonomian APEC. Dengan terbukanya peluang bagi potensi ”ruang ekonomi bersatu”, hal ini bisa membuka arah aktivitas integrasi APEC yang memiliki kualitas baru dan menciptakan prospek-prospek perluasan pasar Asia Pasifik ke seluruh Benua Eurasia.Rusia pun berniat mendorong peningkatan kerja sama dalam kerangka APEC untuk menjamin keamanan pangan. Seperti halnya ekonomi-ekonomi anggota APEC, kami berkepentingan adanya produk makanan yang terjangkau secara fisik dan ekonomi serta berkualitas tinggi dan aman.Tanggung jawab sosial pemerintahan periode pascakrisis terus meningkat. Hal ini menegaskan keperluan kita untuk menciptakan arsitektur pasar pangan yang mantap serta menurunkan fluktuasi harga di pasaran. Selain itu, penting juga terus mencari dana untuk menjamin pengembangan pertanian berdasarkan pada peningkatan investasi timbal balik, penggunaan teknologi modern, dan pematuhan terhadap standar-standar mutu.Prospek perkembangan integrasi di Asia Pasifik berhubungan erat dengan kebutuhan untuk menyempurnakan sistem transportasi dan logistik atau, seperti yang sering dinamakan oleh anggota-anggota APEC, untuk menjamin konektivitas rantai produksi dan penjualan di kawasan tersebut. Rusia siap menawarkan akses ke koridor transportasinya yang merupakan jalan terdekat penghubung Asia dan Eropa.Kami sadar bahwa jalan-jalan itu harus dimodernisasi, yang tentunya butuh investasi besar. Hal ini akan dibahas dengan mitra-mitra kami dan saya yakin mereka akan berminat terhadap tawaran kami. Kami sudah mempunyai hasil kerja praktis dalam penggunaan teknologi modern di bidang transportasi, antara lain mengenai rute dan penanganan kargo serta pengawasan gerakan sarana dan wahana pengangkutan.Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang stabil diperlukan orientasi terhadap pembangunan inovatif. Tema ini adalah salah satu prioritas bagi Rusia yang kiranya perlu direspons secara aktif oleh mitra-mitra di APEC. Rusia akan mendorong interaksi yang luas antara universitas-universitas, pusat-pusat penelitian, dan perusahaan-perusahaan kita. Kerja sama di bidang pendidikan dan pengembangan potensi manusia juga sangat penting. Perlindungan kekayaan intelektual pun menjadi semakin aktual. Kami juga melihat peluang untuk memajukan prakarsa bersama di bidang-bidang tersebut dalam APEC.Rusia adalah salah satu pemasok energi utama ke pasar global, tetapi kami berniat fokus di APEC dengan tak hanya pada isu pokok penjualan bahan bakar. Isu ini tentu saja sangat penting untuk saat ini, hari ini, tetapi kami juga harus memikirkan tentang hari esok. Oleh karena itu, kami akan terus mempromosikan diskusi konstruktif mengenai spektrum luas penjaminan keamanan energi serta pertumbuhan ”hijau”.Perlu Usaha BersamaKawasan Asia Pasifik adalah salah satu kawasan yang paling rentan terhadap berbagai bencana. Gempa bumi dan tsunami serta bencana antropogenik dan epidemi menuntut kita harus melipatgandakan upaya untuk meningkatkan persiapan ekonomi anggota APEC terhadap bencana alam dan keadaan darurat lain.Selama masa kepemimpinan Rusia di APEC, forum itu juga akan terus fokus pada kerja sama di bidang pemberantasan terorisme dan kejahatan lintas batas. Menurut saya, tak ada yang akan mempertanyakan pentingnya aspek kegiatan APEC.Ini adalah bidang utama kegiatan Rusia di bawah moto: ”Integrasi untuk Tumbuh, Inovasi untuk Makmur”. Saya yakin, dengan usaha bersama, pada 2012 kita akan berhasil memperkokoh integrasi Asia-Pasifik yang akan memberikan manfaat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di kawasan ini. ● -
Kebangkitan Mobil Nasional?
Kebangkitan Mobil Nasional?Mudrajat Kuncoro, GURU BESAR ILMU EKONOMI FEB UGMSumber : KOMPAS, 6 Februari 2012Mobil karya pelajar SMK Surakarta patut diapresiasi di tengah minimnya inovasi bidang industri dan teknologi otomotif di Tanah Air. Mobil Kiat Esemka hasil rakitan SMKN 2 Solo, SMKN 5, dan SMK Warga Solo, Jawa Tengah, berkapasitas 1.500 cc dan tergolong kelas sport utility vehicle memiliki 80 persen muatan lokal. Inovasi terlihat di bagian badan mobil. Mereka juga mengerjakan seluruh bagian mesin hingga interior dan suku cadang lokal. Meski baru prototipe dan belum diproduksi massal, mengapa kita tak memanfaatkan hadirnya mobil Esemka sebagai momentum menciptakan perubahan mendasar industri otomotif nasional?Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tren penjualan mobil di Indonesia meningkat setiap tahun. Sepanjang 2011, sedikitnya 834.948 mobil diproduksi di Indonesia. Selama 2007-2011, penjualan mobil per tahun tumbuh sekitar 26 persen. Segmen terbesar mobil Indonesia tipe 4 x 2 dengan angka penjualan 530.762 unit dan pikap/truk yang terjual 271.943 unit, masing-masing menguasai 63,3 persen dan 32,5 persen dari total produksi mobil.Jika dicermati, industri otomotif Indonesia sebenarnya masih tahap merakit dan belum punya merek asli Indonesia. Dominannya merek Jepang (Toyota, Honda, Daihatsu, Mazda, Nissan, Suzuki, Mitsubishi, dan Isuzu), Eropa (BMW, Mercedez, Audi, VW), Korsel (Hyundai, KIA) menunjukkan betapa industri mobil dikuasai pemain global. Para pemain otomotif utama Indonesia adalah jawara kaliber global yang mengendalikan kebijakan suplai bahan baku/komponen, model, pemasaran, serta pengembangan teknologi otomotif.Kebijakan industri otomotif di Indonesia masih mengacu agen tunggal pemegang merek (ATPM). Tak mengherankan, industri otomotif nasional masih terbatas pada perakitan, minim ekspor, dan transfer teknologi dari prinsipal. Industri mobil nasional masih menjadi ”anak tiri” dalam struktur industri di Indonesia.Reformasi Kebijakan IndustriKomisi VI DPR, minggu lalu, sepakat membentuk panja pengembangan industri otomotif nasional guna mendesak pemerintah dan swasta mendukung pengembangan program mobnas. Komisi VI minta Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta lembaga pemerintah non-kementerian bidang ristek terus-menerus berkoordinasi mengembangkan inovasi, membantu desain dan rancang bangun mobnas.Benarkah pemerintah tak serius kembangkan mobnas? Dalam Perpres No 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan buku putih Kementerian Perindustrian memang tak disinggung tentang mobnas secara eksplisit. Strategi jangka panjang industri kendaraan bermotor hingga 2025 adalah memperkuat basis produksi kendaraan niaga, kendaraan penumpang kecil, dan sepeda motor, meningkatkan kemampuan teknologi produk dan manufaktur industri komponen kendaraan bermotor, memperkuat struktur industri pada semua rantai nilai melalui pengembangan kluster otomotif, pengembangan keterkaitan rantai suplai melalui kluster, pengembangan desain rekayasa, pengembangan produk komponen otomotif, serta manufakturing penuh sepeda motor utuh.Kalau kita serius mau mengembangkan mobnas, mau tak mau, arah kebijakan industri nasional, khususnya kluster industri alat angkut, perlu direformasi. Selain mobil Esemka, sebenarnya terdapat sejumlah mobnas lain, seperti Komodo (PT Fin Komodo), GEA (PT Inka), Arina (UNS Semarang), Mobira (PT Sarimas Ahmadi Pratama), dan Mahator (PT Maha Era Motor). Mobil berkonsep city car Tawon juga diproduksi PT Sumber Grasindo Jaya di Rangkasbitung, Banten, dan sudah berstandardisasi Euro 3 serta hampir 100 persen komponennya lokal meski mesin masih impor. Pemprov Sulawesi Selatan bersama Universitas Hasanuddin dan PT Inka tak mau kalah dengan Esemka, mencipta mobil lokal bernama Moko.Bukan sekarang saja mobil lokal berusaha jadi tuan rumah di negeri sendiri. Mulai dari mobil Timor dengan program mobnas era Orde Baru, minibus Texmaco Macan, bajaj Kancil, hingga mobil Marlip buatan LIPI. Semua tenggelam. Jadi, apa yang perlu dilakukan agar mobnas laku di pasaran dan jadi tuan di negeri sendiri?Pertama, perlu komitmen penuh dan perencanaan jangka panjang dari pemerintah. Simak bagaimana Malaysia merencanakan mobnas atau dikenal dengan merek Proton. Proton adalah Perusahaan Otomobil Nasional yang didirikan 1983 atas perintah mantan PM Mahathir Mohamad. Mahathir merancang National Automotive Policy (NAP) dengan tujuan akhir menumbuhkan penciptaan nilai ekonomi secara berkelanjutan.Perlu Dukungan PenuhIndustri mobnas perlu dukungan penuh pemerintah agar dapat kompetitif secara internasional. NAP memfasilitasi transformasi yang dibutuhkan dan integrasi industri mobnas dalam jejaring industri mobil regional dan global. Kebijakan kunci NAP: (1) sejumlah paket hibah (industrial adjustment fund) dan insentif agar mobnas bisa mencapai skala operasi, keterkaitan industri, dan pengembangan komponen lokal dan kapabilitas Bumiputra; (2) agar dapat diproduksi massal perlu partisipasi semua pihak dalam rantai nilai produksi.Kedua, mendorong kemitraan strategis dengan para pemain global dalam pengembangan mobnas. Sebagai pemain baru, Malaysia menggandeng Mitsubishi Motors untuk transfer teknologi, mengembangkan industri mobnas, dan suku cadang. Produksi mobnas pertama adalah Proton Saga, September 1985, dari pabrik manufaktur di Shah Alam, Selangor. Awalnya produksi komponen mobil seluruhnya oleh Mitsubishi, tetapi bertahap komponen lokal dipergunakan karena teknologi dan keterampilan telah ditransfer.Produksi 100.000 unit dicapai Januari 1989. Pada 1993, model Proton Wira diluncurkan dengan modifikasi dari Mitsubishi Lancer/Colt. Lebih dari 220.000 unit terjual selama 1996-1998. Proton Perdana, yang didasarkan atas model Mitsubishi Galant/Eterna, diperkenalkan 1995; diikuti Proton Waja (Proton Impian di pasar UK) diluncurkan 2001 sebagai model mobil pertama yang didesain Proton. Hingga 2002, Proton pernah memegang pangsa pasar 60 persen di Malaysia.Ketiga, mengembangkan mobnas tidak hanya sekadar prototipe, desain, dan produksi mobil yang aman bagi konsumen dan ramah lingkungan, tetapi juga harus lulus berbagai uji sebelum diproduksi massal. Saat ini, mobil Esemka hanya tinggal merampungkan uji emisi. Untuk uji kelayakan dari Kementerian Perhubungan sudah lolos. Namun, masih kurang uji emisi yang menjadi bagian dari uji kelayakan untuk mendapatkan sertifikat uji tipe. Jika sertifikat uji tipe didapat, produksi massal pun bisa dimulai.Pengalaman China mengembangkan mobil yang bersih dan efisien perlu disimak. Hingga akhir 2007, China merencanakan mengurangi rata-rata konsumsi BBM per 100 kilometer untuk semua jenis kendaraan sebesar 10 persen. Untuk itu, prioritas diberikan untuk penelitian dan pengembangan mobil listrik dan hibrida serta menggunakan energi alternatif, terutama gas (CNG/LNG).Kota-kota mega, seperti Beijing dan Shanghai, telah menerapkan standar emisi Euro 3. China pun menandatangani perjanjian patungan dengan American Motors Corporation untuk memproduksi mobil penumpang di Beijing, produksi Volkswagen Jerman di Shanghai, dan Peugeot dari Perancis di Guangzhou.Industri Terkait dan PendukungKeempat, mengembangkan industri terkait dan pendukung dengan aliansi antara pemerintah, industriawan, investor, dan peneliti. Mobil Kiat Esemka hasil kreasi pelajar SMK bukanlah saingan bagi industri otomotif dalam negeri. Gaikindo dan semua anggotanya perlu memberikan dukungan kepada para pelajar, seperti bantuan komponen mesin dan pelatihan pembuatan kendaraan, serta peneliti di sejumlah universitas danlembaga penelitian otomotif.Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memfasilitasi Riset Unggulan Nasional untuk pengembangan rancang bangun, komponen lokal, dan kluster industri mobnas dari hulu hingga purnajual. Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Industri perlu proaktif menawarkan insentif fiskal (keringanan pajak, seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah), pembebasan bea masuk atas impor komponen tertentu, negosiasi di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan menentukan arah kebijakan industri mobnas jangka panjang.Tanpa keempat hal tersebut, mobnas hanyalah angin surga dan impian semata. Atau memang Indonesia adalah surga bagi para raksasa otomotif global? Habis Timor terbitlah Kiat Esemka? ● -
Lampu Kuning untuk Bank Eks Century
Lampu Kuning untuk Bank Eks CenturyHenny Galla Pradana, WARTAWAN EKONOMI BISNIS JAWA POSSumber : JAWA POS, 10 Februari 2012NAMA Bank Mutiara (PT Bank Mutiara Tbk/BCIC) yang sebelumnya adalah Bank Century kembali mencuat. Namun, kali ini Mutiara mendapat isu positif. Bank yang sepenuhnya berada di bawah kendali Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu telah mendapat penawaran menarik dari Yawadwipa Companies.Yawadwipa Companies merupakan korporasi yang didirikan Christopher Holm. Sebelum saat ini menjadi CEO, Holm juga pernah menduduki posisi direktur di Bank of America, Merrill Lynch, dan Citigroup.
Yawadwipa mengaku memiliki dana USD 1 miliar melalui pembentukan Java Fund, yang kini tengah menunggu persetujuan otoritas pasar modal. Yawadwipa menawar Bank Mutiara hingga USD 750 juta atau hampir setara dengan nilai bailout Bank Century Rp 6,7 triliun.
Tentu, pinangan Yawadwipa terhadap Mutiara tersebut merupakan berkah, namun bila tak hati-hati bisa jadi musibah. Jika Yawadwipa yang akan membeli saham Mutiara bukan perusahaan ”beres”, itu bisa menjadi pil pahit seperti yang ditelan Century pada 2008 silam.
Dikejar Deadline
Sebagai pengingat, pada 2008, Bank Century termasuk bank gagal yang perlu di-bailout tanpa campur tangan pemegang sahamnya. Laporan keuangan pada 2008 menyebutkan, bank itu merugi Rp 7,28 triliun. Tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) minus 22,29 persen. Modal bersih tercatat minus Rp 1,5 triliun. Tingkat profitabilitas (return on asset/ROA) minus 52,09 persen dan rasio pengembalian modal (return on equity/ROE) minus 981,63 persen. Tingkat kredit macet Century sangat tinggi, yakni 10,42 persen (maksimum 5 persen).
Dua tahun setelah di-bailout, pada 2010, Bank Century yang menjadi Bank Mutiara menunjukkan pembukuan yang positif. Laba bersih Rp 217,9 miliar; CAR 11,16 persen; dan kredit macet turun di level 4,84 persen. ROA dan ROE Century masing-masing terangkat di angka 2,39 persen dan 39,55 persen. Hingga akhir 2011, laporan unaudited menunjukkan laba bersih Bank Mutiara Rp 291 miliar.
Performa bank yang semakin baik itu menjadi deadline bagi LPS. Sesuai UU Nomor 24/2004 tentang LPS, jika ekuitas atau modal bank yang di-bailout sudah menunjukkan nilai positif, LPS harus menjual sahamnya kepada pihak luar dengan nilai minimal sama dengan nilai bailout (Rp 6,7 triliun).
Berdasar pasal 42, keputusan untuk menjual saham tersebut sebenarnya harus diambil LPS tiga tahun sejak bailout, yakni pada 2011. Tapi, LPS tak mampu menemukan pembeli. Deadline LPS pun mundur dua tahun ke 2013. Penjualan Mutiara yang molor justru merugikan pemerintah. Jika tidak tuntas pada 2013, selang setahun, LPS berwenang menjual saham tanpa mempertimbangkan nilai bailout pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi tanah air yang semakin positif sebetulnya merupakan suasana baik bagi Bank Mutiara. Anggota Board of Commissioner LPS Mirza Adityaswara menyebutkan, meski masih terbilang rendah, peringkat Mutiara dalam hal coverage berada di atas BTN (bank BUMN) dan Bukopin. Per September 2011, komposisi coverage Mutiara mencapai 63,8 persen. Sementara itu, BTN dan Bukopin masing-masing hanya 41,4 persen dan 47,4 persen.
Memang, Mutiara masih kalah jauh dibanding BCA yang coverage-nya 350,3 persen atau BRI (189,5 persen). Namun, dengan berbekal coverage yang meluas, potensi pangsa pasar yang dibidik Mutiara juga semakin besar.
Belajar dari BCA
Penjualan atau divestasi bank harus melalui alur panjang dan ketat. Mulai pembukaan penawaran di surat kabar, pengumuman langsung kepada calon investor, registrasi investor, penawaran awal yang bersifat tidak mengikat, uji tuntas (due diligence) oleh calon investor, hingga penawaran akhir. Pemerintah diharapkan transparan untuk proses itu. Trauma ketidakpercayaan karena kasus Century harus menjadi pengingat.
Mari belajar dari kasus BCA sepuluh tahun silam. Sebanyak 70 persen saham bank dengan nasabah terbanyak saat itu dimiliki Grup Salim. Namun, karena krisis ekonomi 1998, terjadilah rush. BCA pun kolaps. Atas desakan IMF, pada 2001, BCA dijual. Pembelinya adalah perusahaan investasi berbasis di Mauritius, yakni FarIndo Investment Ltd yang di-back up Farallon Capital (AS).
Setelah ditelisik, FarIndo Investment Ltd ternyata merupakan perusahaan patungan FarIndo Holdings dan Alaerka Investment Ltd milik PT Djarum yang berbasis di Mauritius. Dalam hal ini, Djarum mempunyai kedekatan dengan Grup Salim lewat Salim Oleochemical. Melalui konsorsium Bhakti Investama yang di dalamnya ada Grup Wings dan Lautan Luas, Djarum membeli Oleochemical dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Karena itu, pihak yang terkait dalam penjualan saham Bank Mutiara nanti harus betul-betul mengklarifikasi lebih jauh sumber pendanaan asli Yawadwipa Companies. Sebab, ini menyangkut kepentingan publik. Jangan sampai pemilik baru Bank Mutiara adalah ”orang lama yang bermasalah”. ●
-
Menghentikan Kriminalisasi Pers
Menghentikan Kriminalisasi PersSamsul Wahidin, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANGSumber : JAWA POS, 10 Februari 2012PERKEMBANGANmenarik dunia pers di tanah air pada Hari Pers Nasional kemarin ditandai dengan penandatanganan MoU (memorandum of understanding) atau nota kesepahaman antara Polri dan pers. Ini merupakan poin bersejarah sehubungan dengan demokratisasi pers sebagai “pilar keempat” negara.Tema sentral langkah yuridis Polri dan Dewan Pers itu adalah mencegah atau menghentikan kriminalisasi terhadap pers. Legal reasoning (logika hukum) pada alur nota kesepahaman tersebut, dasarnya merupakan refleksi dari upaya untuk lebih mengonkretkan iktikad baik (to goeder trouw) dari penegak hukum, khususnya Polri, dalam menghadapi permasalahan hukum yang bermula dari aduan masyarakat.Pemberitaan media menjadi andalan informasi dan media komunikasi masyarakat. Menurut survei Edelman Trust Barometer 2012, media di Indonesia dipercaya 80 persen dari responden yang disurvei. Ini yang tertinggi; di Asia Pasifik hanya 63 persen, di dunia hanya 53 persen. Meski tepercaya, pemberitaan bisa menimbulkan beban tertentu bagi pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu, harus ada saluran hukum buat menyelesaikanhnya.
Delik Pers
Sejatinya istilah delik pers (pers delict) itu bukan terminologi hukum, tetapi istilah sosial yang kemudian digunakan untuk menyebut pelanggaran kinerja wartawan atau insan pers. Tuntutan atau aduan bisa terjadi dua hal. Pertama, tuntutan ditujukan kepada media pers sebagai lembaga yang legal formalnya berkinerja atas dasar undang-undang; dan, kedua, ditujukan kepada orang lain sebagai akibat atau karena pemberitaan pers yang dirasa merugikan dirinya.
Dalam kasus kedua, sebagaimana kasus Aburizal Bakrie dan Ramadhan Pohan (yang kemudian dicabut), tidak akan menjadikan pers sebagai pihak bermasalah. Permasalahan hukum muncul karena penilaian adanya indikasi pencemaran nama baik. Artinya, itu bukanlah delik pers.
Dalam hal kedua inilah yang kiranya dikonkretkan oleh Polri. Artinya, ketika ada aduan berhubungan dengan kinerja wartawan, yang basisnya adalah terjadinya mal-journalism (kesalahan dalam profesi jurnalis) ingin dipastikan terlebih dahulu. Apakah benar mal-journalism atau bukan, Dewan Pers adalah tempat menentukannya. Berbagai kasus selama ini juga sudah dimediasi Dewan Pers.
Kasus yang berkaitan dengan kriminalisasi media kiranya menjadi dasar penyelesaian ini. Misalnya, ketika kantor media didatangi yang berujung ke laporan Polri dan berlanjut ke pengadilan (kasus Tommy Winata versus Tempo), seharusnya dikonfirmasikan ke Dewan Pers dulu, lembaga yang memang diberi kewenangan oleh undang-undang.
Di dunia Barat, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat, ketika kesadaran hukum sudah berangkat dari nalar yang rasional, ketika ada pemberitaan pers yang merugikan seseorang juga bisa dituntut. Harus dibuktikan bahwa sumber yang dijadikan bahan rujukan bersifat “awu-awu“. Foto yang ditampilkan dinilai melanggar right of privacy. Kasus pencemaran nama baik (libel suit), khususnya di kedua negara itu, kadang diputuskan bahwa pers bersalah dan harus membayar ganti rugi. Ini adalah delik pers yang didasari mal-journalism.
Untuk membuktikan bukan mal-journalism– dan tidak merupakan delik pers-, seorang wartawan harus bisa membuktikan bahwa alur kinerjanya sesuai dengan prinsip jurnalislitik yang beretika.
Tidak Tolak Aduan
Ada konstruksi hukum yang bersifat asasi bahwa Polri tidak boleh menolak sebuah laporan dan atau pengaduan dari masyarakat. Dalam hal aduan yang berhubungan dengan pers, sudah seharusnya berkonfirmasi dengan Dewan Pers, untuk memastikan apakah cukup bukti dan atau argumentasi hukum tentang ada atau tidak adanya delik pers.
Konkretnya, menjawab permasalahan, apakah penerbitan sebuah berita telah melalui proses penurunan sebuah sajian berita sesuai dengan etika jurnalistik. Misalnya, dalam hal check and rechecks, bahkan control checks. Di sinilah posisiDewan Pers yang telah dipahami Polri dan menuangkannya dalam MoU tersebut.
Dalam perspektif yuridis, konstruksi UU No 40/1999 tentang Pers bahwa akibat pemberitaan pers, aduan bisa saja dilakukan melalui tiga jalur. Pertama pidana, kedua perdata, serta ketiga pidana dan perdata. Laporan, pengaduan, tuntutan atau bentuk lain adalah refleksi dari hak asasi.
Konfirmasi pada Dewan Pers merupakan bentuk apresiasi terhadap kelembagaan pers yang secara institusi diwakili Dewan Pers tersebut. Lebih dari itu, hasil konfirmasi juga mempunyai nilai alat bukti dan legitimasi bagi Polri untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan aduan masyarakat akibat pemberitaan pers.
Dalam hal aduan perdata, sekali lagi, itu adalah hak asasi. Tidak ada UU yang melarang seseorang mengajukan tuntutan perdata (akibat pemberitaan pers). Asasnya jelas bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang masuk dan menjadi kewenangannya untuk mengadili. Namun, sering sangat sulit (bahkan musykil) membuktikan adanya kerugian yang diakibatkan pemberitaan pers.
Makna MoU itu bagi wartawan adalah agar insan pers tidak perlu takut sepanjang kinerjanya sesuai dengan rambu yang dipatok berdasar Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI).
Seperti halnya notaris, sebelum polisi bertindak atas laporan terhadap notaris, polisi mengetuk pintu majelis kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Begitu pula menyangkut laporan terhadap dokter, polisi menghubungi majelis kehormatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Untuk wartawan, konfirmasi ada atau tidaknya pelanggaran kode etik itu alamatnya adalah Dewan Pers.
Kesepahaman dengan Dewan Pers itu akan membantu Polri agar lebih cermat dan tajam dalam menilai laporan pidana menyangkut pers. ●
-
Rasionalitas Ujian Nasional
Rasionalitas Ujian NasionalTh Rosid Ahmad, MANTAN KETUA MGMP BAHASA INGGRIS SMKKOTA (DAN EKS KARESIDENAN) SEMARANGSumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012SEMESTER genap baru saja dimasuki tapi banyak sekolah, bahkan sejak jauh hari, sudah melakukan berbagai langkah strategis mengantisipasi pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini. Kritik dan penolakan terhadap ujian itu silih-berganti mewarnai dunia pendidikan. Muncul segudang argumen kritis rasional pun demi mendukung penolakan itu.Mereka menilai UN merampas kewenangan sekolah dalam menentukan kelulusan, juga tidak memenuhi kriteria akuntabilitas keadilan karena mencampakkan siswa tidak lulus sebagai korban yang dicap bodoh. Selain meningkatkan angka putus sekolah, UN dianggap menggagalkan Wajib Belajar 9 Tahun.
Yang cukup mendasar, pelaksanaan UN dinilai bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) dan keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 September 2009. Dengan bersikukuh melaksanakan UN yang memboroskan anggaran (tahun 2011 Rp 667 miliar), pemerintah dianggap menutup telinga atas masukan masyarakat pendidikanAnggaplah semua argumen mereka itu benar tapi semata-mata berpegang pada alasan penolakan saja bisa menjerumuskan karena berarti kebenaran hanya dilihat dari satu sisi. Demi penglihatan yang lebih proporsional, selayaknya juga melihat dari sisi lainnya, yakni penyelenggaraan UN.
Tidak bisa dimungkiri, ujian itu turut memberi efek positif dalam pembelajaran. Salah satunya, apa yang dikenal dengan istilah incentive learning, pemacu semangat belajar, baik di kalangan siswa, guru, maupun sekolah. Lewat penyelenggaraan ujian itu, banyak sekolah bekerja keras menyiapkan murid agar lulus secara maksimal. Mereka menerapkan berbagai kiat dan program, dari pemetaan materi esensial sesuai standar kompetensi lulusan (SKL), mapping dan drill soal, bimbingan belajar, sampai klinik belajar.
Sementara itu, sekolah yang memiliki mental juara justru menjadikan ujian itu sebagai ajang bergengsi dalam berkompetisi demi menghasilkan lulusan dengan predikat nilai tertinggi secara nasional.Saat ini sebagian sekolah menambah jam pelajaran sore hari khusus untuk mata pelajaran UN: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sekolah lain mengajak siswa masuk jam ke nol, mulai pukul 06.00-07.00.
Kredibilitas Sekolah
Lantas, bagaimana jika UN dihapus? Bila itu dilakukan, apalagi waktunya sudah sangat terlambat seperti saat ini, bisa-bisa terjadi chaos di dunia pendidikan: Bagaimana siswa segera bisa studi lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau bekerja sebagaimana dirancang sebelumnya? Untuk mengatasinya, mesti diciptakan satu aturan baru dan itu tidak gampang direalisasikan.
Boleh saja berandai-andai, tiap lembaga pendidikan menyelenggarakan ujian sekolah sendiri. Mungkin saja, mayoritas sekolah lantas berhasil meluluskan 100% siswanya. Tapi bagaimana dengan tanggapan masyarakat, khususnya perusahaan yang akan merekrut lulusan? Bisakah sertifikat kelulusan dari tiap sekolah diterima adil tanpa membeda-bedakan sekolah favorit dan sekolah gurem?
Bisa jadi, sekolah yang kurang dikenal menjadi korban. Gara-gara ijazah mereka diragukan, lulusan menemui hambatan melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan. Banyak faktor menjadi penyebab, salah satunya terkait rendahnya kualitas penyelenggaraan ujian.
Sekiranya harus ada perubahan menyangkut UN, selayaknya dilakukan pada awal tahun pelajaran. Dengan mempertimbangkan semua aspek terkait, tidak ada pilihan lain UN harus tetap terlaksana. Yang penting, kegiatan berlangsung tertib tanpa kebocoran sehingga mampu mengukur kompetensi siswa secara benar dan adil. Dengan begitu, kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan nasional, dan memotivasi siswa untuk belajar secara optimal. ●