Author: Adul

  • Membubarkan Partai Korup

    Membubarkan Partai Korup
    Muhammad Aziz Hakim, MASTER HUKUM ALUMNUS UNIVERSITAS INDONESIA;
    PENGURUS PP GP ANSOR
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Pernyataan bahwa partai politik adalah bungker koruptor harus dilihat sebagai sebuah sindiran terhadap realitas partai politik saat ini. Adalah fakta bahwa terpidana, tersangka, dan bakal tersangka korupsi sebagian besar adalah politikus.
    Partai politik seperti berganti peran. Ia menjadi tempat perburuan rente sekaligus pelindung dari ancaman tindak pidana korupsi. Partai politik bukan lagi pencipta demokrasi, seperti yang disebutkan Schattscheider, melainkan pencipta koruptor. Pertanyaan kita, mungkinkah membubarkan partai korup?
    UUD 1945 yang diamandemen memberi pengakuan konstitusional terhadap partai politik dan mengatur pembubaran partai politik. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk memutuskan pembubaran partai politik. Berdasarkan pasal ini, pembubaran partai menjadi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.
    Landasan Yuridis
    Saat ini pembubaran partai politik dia- tur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah oleh UU No 2/2011 tentang Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 48 Ayat (3) dan Ayat (7) UU No 2/2008, partai politik dapat dibubarkan karena beberapa alasan.
    Pertama, melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Kedua, melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI. Ketiga, menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme, marxisme-leninisme.
    Satu-satunya pihak yang berhak mengajukan permohonan perkara pembubaran partai politik, menurut Pasal 68 Ayat (1) UU No 24/2003, adalah pemerintah. Ketentuan pada pasal ini juga menegaskan kewajiban pemohon untuk secara jelas menguraikan dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
    Pendeknya, secara yuridis formal pembubaran partai politik di Indonesia dimohonkan oleh pemerintah dengan alasan ada pelanggaran konstitusi.
    Di negara lain secara umum terdapat dua model alasan membubarkan partai politik. Pertama, partai melanggar konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, pemerintahan berdasarkan hukum, serta membahayakan kedaulatan dan integritas bangsa. Negara yang menganut model ini, antara lain, Thailand, Turki, Korea Selatan, dan Jerman. Kedua, partai tidak lagi memenuhi syarat sebagai partai politik: gagal memperoleh jumlah kursi tertentu dalam pemilihan umum. Alasan kedua ini administratif. Negara-negara yang menerapkan alasan kedua, antara lain, Romania, Polandia, dan Hongaria.
    Pada umumnya hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik diberikan hanya kepada pemerintah melalui penuntut umum. Namun, permohonan pembubaran partai politik di Jerman dan Romania diajukan pemerintah atau parlemen; di Eritrea dan Yaman diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum; di Slowakia oleh pemerintah atau partai politik; di Slovenia dapat diajukan oleh setiap warga negara.
    Dengan ketentuan yuridis yang termaktub pada UU No 2/2008—sebagaimana diubah UU No 2/2011 dan UU No 24/2003—sudah tertutupkah peluang membubarkan partai korup?
    Saat ini, misalnya, apakah mungkin membubarkan Partai Demokrat yang sedang dihantam badai korupsi? Peluangnya sangat tipis. Hampir tidak ada pintu masuk sebagai landasan hukum yang kuat untuk menjerat Partai Demokrat apabila ketua umumnya, Anas Urbaningrum, terseret sebagai terdakwa.
    Satu-satunya peluang—itu pun sangat sempit— adalah menjerat Partai Demokrat dengan Pasal 40 Ayat 2 huruf (a) UU No 2/2008 yang berkaitan dengan larangan melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Selain landasan hukumnya lemah, menjerat Partai Demokrat dengan pasal ini pastilah sangat sulit karena mustahil bagi pemerintah, yang notabene dikuasai Partai Demokrat, selaku satu-satunya pihak yang berhak untuk membubarkan partainya sendiri.
    Sebuah Utopia?
    Berpijak pada realitas ini, perlu dipikirkan rekonstruksi terhadap sistem kepartaian, terutama menyangkut alasan pembubaran partai politik dan pihak yang berhak mengajukan permohonan perkara pembubaran tersebut. Rekonstruksi harus dimulai dengan melakukan revisi terhadap UU No 2/2008, UU No 2/2011, dan UU No 24/2003.
    Pertama, menyangkut alasan pembubaran partai. Sudah waktunya tindak korupsi yang sistematis, terstruktur, dan masif dalam sebuah partai politik menjadi salah satu alasan hukum yang dapat digunakan untuk membubarkan partai. Pertimbangan hukum apakah tindak korupsi yang dilakukan seorang kader partai sistematis, terstruktur, dan masif yang berakibat terseretnya institusi partai sehingga layak dibubarkan adalah domain Mahkamah Konstitusi. Di tangan Mahkamah Konstitusi inilah diputuskan layak tidaknya kategori korupsi kader itu sebagai tindak pidana yang sistematis, terstruktur, dan masif.
    Dengan masuknya ketentuan ini, setiap kader partai lebih memiliki tanggung jawab menjaga ”kebersihan” partainya. Ketentuan ini juga dapat mengembalikan fungsi sejati partai politik sebagai kawah ”candradimuka” bagi para calon pejabat publik. Partai yang bersih akan menghasilkan kader yang bersih. Pada akhirnya pejabat publik yang tampil adalah kader-kader partai yang bersih pula.
    Kedua, menyangkut pemohon. Rekonstruksi mengenai pemohon perkara pembubaran partai politik mutlak dilakukan. Sudah saatnya pemohon perkara pembubaran partai tak hanya dimonopoli pemerintah. Berbagai elemen bangsa yang lain perlu mendapat hak yang sama.
    Bagaimanapun, partai politik adalah faktor kunci keberhasilan demokrasi. Maka, menjaga partai politik dari perilaku korup merupakan tugas bersama segenap elemen bangsa. Barangkali terlalu revolusioner jika setiap warga negara berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik. Oleh karena itu, minimal ketentuan yang berlaku di Slowakia patut ditiru: pemerintah atau partai politik mempunyai hak mengajukan permohonan pembubaran partai.
    Pada akhirnya kemauan politik anggota parlemen sangat menentukan dalam upaya rekonstruksi ini. Dengan tidak adanya kemauan politik ke arah rekonstruksi ini, langgam perjalanan partai politik di Indonesia dipastikan tak akan mengalami perubahan signifikan. Partai sebagai bungker koruptor masih langgeng dan membubarkan partai korup benar-benar utopia. ●
  • Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?

    Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?
    Suhartono Ronggodirdjo, MANTAN DIPLOMAT; PEMERHATI MASALAH INTERNASIONAL
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Suatu hari pada Februari 1992, Stella Liebeck bersama cucunya—dalam perjalanan di Albuquerque, New Mexico, AS—mampir beli kopi panas di restoran cepat saji McDonald’s.
    Di mobil, nenek Liebeck hendak menuang krim ke kopinya, kopi pun tumpah mengenai paha dan pinggulnya. Kopi yang masih sangat panas itu membuat kulit pahanya mengelupas sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu.
    Karena kejadian itu, Liebeck dengan bantuan pengacara menuntut McDonald’s membayar ganti rugi. Liebeck memenangi perkara dan McDonald’s harus membayar 480.000 dollar AS. Kasus ini terjadi di Amerika Serikat. Dari sudut pandang kita dan berdasarkan pengalaman di Indonesia, kasus ini terbilang aneh, tetapi di Amerika Serikat penyelesaian kasus semacam ini banyak terjadi.
    Mengapa Amerika Serikat? Ini hanya untuk mempermudah contoh kasus karena selama ini kita menganut sistem kenegaraan yang ”sama”, yakni demokrasi, kapitalis liberal (walau secara resmi tidak pernah diakui), dan negara yang mengutamakan supremasi hukum. Bahkan, para petinggi kita sering mengatakan bahwa kita ini negara hukum.
    Namun, tampaknya ada kekurangjelasan dalam pengertian negara hukum. Bisa dimaklumi karena mayoritas rakyat Indonesia tidak pernah belajar ilmu hukum, apalagi jadi ahli hukum. Akan tetapi, untuk mengetahui sesuatu kejadian itu ada pelanggaran hukum atau tidak rasanya common sense bisa merasakan.
    Sejumlah kasus akhir-akhir ini, seperti di Mesuji, Bima, dan kasus serupa di tempat-tempat lain, jelas merupakan pelanggaran hukum dan baru terkuak setelah media menjadikannya laporan dan berita. Seandainya tidak jadi berita publik, barangkali kasus itu ”tidak ada”.
    Tanggung jawab Siapa?
    Permasalahan yang jelas, tetapi jadi tak jelas karena tak pernah disinggung dan terpikirkan adalah ”siapa bertanggung jawab atas kejadian yang merugikan seseorang karena lingkungan”.
    Sebagai contoh, kejadian ketika seorang mahasiswi yang terperosok ke saluran air di pinggir jalan yang terbuka dan tertutup air karena hujan sehingga kelelep dan meninggal; seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh karena jalan aspal yang berlubang cukup dalam sehingga terluka parah; karena hujan deras baliho reklame besar roboh menimpa manusia dan kendaraan; serta baru-baru ini seorang mahasiswi satu universitas swasta nasional meninggal dunia akibat tertimpa pohon yang tumbang karena angin.
    Semua ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan. Logikanya, jalan umum itu milik siapa dan siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengawasan jalan itu, dialah yang bertanggung jawab. Siapa yang memiliki dan bertanggung jawab atas pemeliharaan got atau saluran air di jalanan umum?
    Mengapa sampai terjadi got terbuka dan tidak diperbaiki sehingga menghilangkan nyawa seseorang. Siapa pula yang bertanggung jawab atas jalan umum yang berlubang? Juga siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pemeliharaan serta penertiban baliho dan pohon-pohon besar di pinggir jalan yang tumbang karena ”tidak diurus” hingga menyebabkan seseorang kehilangan nyawa? Di negara beradab, nyawa seseorang yang tidak berdosa itu sangat mahal.
    Juga tidak kalah penting ”makanan”. Sudah sering ditemukan dan dipublikasikan makanan-makanan yang dijual di pasar menggunakan zat-zat berbahaya yang dapat merusak kesehatan, seperti formalin, zat pewarna, dan pengawet dari bahan kimia. Benar operasi pasar pernah dilakukan, tetapi tak pernah ada tindakan tegas kepada penjual dan pembuatnya. Apa yang akan dilakukan jika makanan-makanan itu menelan korban? Dan, masih banyak lagi, termasuk malapraktik kedokteran.
    Sekali lagi Indonesia adalah negara hukum dan dalam Pembukaan UUD 1945 Ayat 4 berbunyi, ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….” Mungkin kasus-kasus semacam itu tidak termasuk ranah ”negara hukum” dan secuil Ayat 4 Pembukaan UUD 1945 ini tidak jelas mengarah ke perlindungan warga negara dalam kasus-kasus seperti itu sehingga penyelesaian kasus seperti pada awal tulisan ini tidak terjadi di Indonesia. ●
  • Pertahanan Udara Nasional

    Pertahanan Udara Nasional
    Chappy Hakim, CHAIRMAN CSE AVIATION
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Dini hari tanggal 29 Juli 1947, pilot Muljono dengan pesawat Guntei serta Soetardjo Sigit dan Soeharnoko Harbani masing-masing dengan pesawat Cureng—semua pesawat peninggalan Jepang—menyerang kedudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang.
    Tahun 2003, tepatnya 3 Juli 2003, armada US Navy yang berupa kapal induk, kapal perusak, dan fregat berlayar dari Singapura menuju Australia melalui Selat Karimata, Laut Jawa.
    Saat melewati perairan Bawean, pesawat F-18 yang terbang bermanuver di udara terdeteksi oleh radar sipil dan militer Indonesia. Gerakan ini dilihat oleh pilot Bouraq dan dilaporkan ke Air Traffic Control (ATC) Surabaya karena mengganggu penerbangan sipil. Setelah diidentifikasi oleh dua pesawat F-16 TNI AU, disepakati bahwa pesawat-pesawat US Navy tersebut melaporkan posisi mereka ke ATC Surabaya dan Bali.
    September 2008, lima orang mendarat di Merauke dengan pesawat kecil dari satu titik pemberangkatan di Australia. Mereka ditahan pihak imigrasi karena tidak memiliki dokumen untuk memasuki negara lain. Pesawat yang digunakan juga tidak memiliki izin sesuai aturan internasional untuk masuk ke wilayah Republik Indonesia.
    Tanggal 29 November 2011, sebuah pesawat Falcon F-900 Papua Niugini (PNG) yang berangkat dari Subang menuju Port Moresby telah dicegat oleh Sukhoi Angkatan Udara. Pemerintah PNG marah besar kepada Pemerintah Indonesia dan insiden ini nyaris membuat hubungan bilateral terganggu.
    Sebelum itu, awal Maret 2011, sebuah pesawat Pakistan milik maskapai Pakistan International Airlines (PIA) dipaksa mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, karena tidak memiliki Diplomatic Clearance, Security Clearance, dan Flight Approval. Pesawat tersebut terbang dari Dili, Timor Leste, menuju Malaysia. Pesawat terdeteksi oleh radar bandara.
    Menjaga Kedaulatan
    Itulah beberapa contoh dari kegiatan yang berkait erat dengan tugas-tugas menjaga kedaulatan negara di udara. Menjaga dalam hal ini tentu saja bukan hanya saat negara dalam keadaan perang, melainkan juga dan terutama saat damai.
    Prioritas kewaspadaan adalah daerah-daerah perbatasan negara, baik di darat maupun di laut. Kerawanan di daerah-daerah tertentu menjadi lebih kompleks karena batas perairan antarnegara tak kunjung jelas posisinya.
    Di sisi lain masih ada pula daerah kedaulatan negara yang pengelolaannya masih di bawah kendali otoritas penerbangan negara tetangga. Di daerah yang berdekatan terdapat kawasan pelatihan militer negara itu.
    Di wilayah lain terdapat kawasan tambang lepas laut yang berjarak sangat dekat dengan Timor Leste, bahkan dengan Darwin di Australia yang baru saja dapat penempatan satu unit pasukan marinir Amerika Serikat.
    Tugas-tugas pengawasan udara wilayah kedaulatan Indonesia memang sangat kompleks. Maka, keberadaan radar canggih dan pesawat tempur yang siaga menjadi sangat penting.
    Dasar hukum pelaksanaan aktivitas menjaga kedaulatan negara di udara tidak pula sederhana. Seperti diketahui, referensi standar yang menjadi acuan bersama adalah Konvensi Chicago.
    Pasal 1 dari Convention on International Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944, berbunyi, ”Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara di atas wilayah kedaulatannya.”
    Masalahnya adalah pada kasus-kasus tertentu konvensi ini akan berhadapan dengan hukum laut internasional yang berhubungan dengan alur laut Kepulauan Indonesia atau ALKI yang mengatur batas ketinggian terbang tertentu di jalur tersebut. Belum lagi perdebatan yang belum usai mengenai ALKI yang membujur utara-selatan versus keinginan banyak pihak agar dikelola pada arah timur-barat. Semua itu tentu saja mengebiri status komplet dan eksklusif kedaulatan RI di udara.
    Peran Kohanudnas
    Maka, seperti halnya peran angkatan udara di mana pun, seluruh kegiatan angkatan udara berada dalam kerangka pertahanan udara nasional. Pertahanan ini dalam konteks tertentu secara universal akan berarti ”to defend by attacking”.
    Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) memiliki peran sentral dalam menjalankan tugas-tugas itu. Namun, dalam konteks pertahanan negara yang menganut total defense—dulu dikenal sebagai sishankamrata—kiranya Kohanudnas dan angkatan udara tidak boleh dibiarkan sendirian. Seluruh potensi nasional dalam bidang keudaraan (national air power) harus menjadi bagian utuh dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara di udara.
    Memelihara pertahanan udara nasional terlalu besar untuk didelegasikan kepada Kohanudnas saja. Kohanudnas harus diberdayakan sesuai tugas pokoknya, demikian pula angkatan udara yang bertanggung jawab terhadap kedaulatan negara di udara.
    Dirgahayu Kohanudnas! ●
  • Dikti di Seberang Harapan?

    Dikti di Seberang Harapan?
    Franz Magnis-Suseno, GURU BESAR PENSIUNAN
    SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012
    Pada tanggal 27 Januari lalu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengirim surat edaran kepada semua perguruan tinggi di Indonesia. Isinya mengejutkan banyak orang, khususnya pihak-pihak terkait.
    Sesudah mengeluhkan bahwa keluaran (output) karya ilmiah perguruan tinggi Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia, diberikan ketentuan: mulai Agustus 2012, untuk bisa lulus sarjana harus dihasilkan makalah yang terbit pada sebuah jurnal ilmiah, untuk lulus magister makalah harus terbit dalam jurnal ilmiah nasional, dan untuk mau menjadi doktor harus di jurnal internasional.
    Astaghfirullah! Itukah obat bagi anemia output ilmiah bangsa Indonesia? Muncul dua pertanyaan. Pertama, dapatkah rencana Pak Dirjen direalisasikan? Kedua, kalau dapat direalisasikan, siapa yang akan membaca ribuan makalah setiap bulan di jurnal-jurnal itu?
    Pertanyaan Pertama
    Mengikuti beberapa rekan (di internet), mari kita berhitung. Andai makalah calon lulusan S-1 sepanjang 10 halaman—makalah S-2 dan S-3 15 halaman—dan kalau setiap tahun rata-rata ada 100.000 calon lulusan S-1, perlu disediakan sejuta halaman ”jurnal ilmiah”. Kalau satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali (!) setahun, yang harus disediakan adalah sekitar 555 ”jurnal ilmiah” baru. Namun, dengan kemungkinan ”jurnal ilmiah” online, pelaksanaan fisik bisa diatur.
    Lain hal jurnal ”ilmiah nasional” yang diharuskan bagi para calon magister dan tidak bisa hanya online. Andai ada 3.000 calon magister per tahun, perlu disediakan 45.000 helai, jadi 25 jurnal (terbit 12 kali per tahun) baru.
    Masalah ini pun masih bisa dipecahkan. Biarlah perguruan tinggi (PT) menerbitkan jurnal ”ilmiah nasional”, biayanya ditagih ke mahasiswa yang mau memublikasikan makalahnya (seperti penerbit Brill di Leiden, Belanda, yang spesialisasinya memublikasikan disertasi-disertasi yang tidak menemukan penerbit bermutu asal penulis membayar).
    Kewajiban para calon doktor untuk mendaratkan makalah di jurnal internasional lebih sulit. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) luput memperhatikan sesuatu: antara lingkungan akademik kita dan lingkungan akademik luar negeri (LN) tidak ”nyangkut”. Kemungkinan besar tulisan orang kita yang an sich cukup ilmiah, tetapi dari segi diskursus ilmiah di LN tetap kelihatan polos, di luar konteks, ”ketinggalan zaman”. Saya sendiri selama 43 tahun sebagai dosen filsafat memang bisa memublikasikan cukup banyak tulisan di LN, tetapi hanya dua dalam majalah filsafat kelas I! Memang, barangkali bisa ditemukan sebuah jurnal obscure di India yang bersedia memuat karangan-karangan calon lulusan S-3 kita. Namun, apa itu yang dimaksud Ditjen Dikti?
    Mensyaratkan publikasi di LN bagi calon lulusan S-3, begitu pula dalam rangka kenaikan pangkat akademis dan sertifikasi, menurut saya betul-betul salah kaprah. Suatu gagasan yang lahir dari otak para birokrat yang tidak tahu realitas akademik, tetapi bikin susah orang lain.
    Namun, saya punya jalan keluar, jalan cemerlang! Begini! Katakanlah setiap tahun ada 300 calon lulusan S-3, ditambah 1.000 dosen yang mengurus rangka kenaikan pangkat/sertifikasi. Jadi, setiap tahun 1.300 makalah, 19.500 helai, perlu dipublikasi di LN. Nah, biar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste. Di sana Dikti mendirikan 10 jurnal ilmiah saja (terbit 12 kali setahun, pembiayaan ditagih dari para penulis). Masalah pun terpecahkan.
    Solusi Timor Leste itu mempunyai tiga keuntungan: para calon doktor/dosen kita terjamin publikasinya di LN, Dikti bisa menaikkan pendapatan sekian karyawannya (mereka yang terlibat dalam produksi 10 jurnal itu), dan Indonesia memberi sumbangan kepada perekonomian Timor Leste. Cukup genial, bukan?
    Pertanyaan Kedua
    Jadi, surat edaran Pak Dirjen bisa saja dilaksanakan. Hanya, ada dua masalah. Pertama, siapa yang mau membaca ribuan makalah setiap bulan itu yang ditulis oleh mahasiswa yang belum lulus dan yang banyak akan lulus dengan nilai B atau C? Apa Dikti sendiri bisa mengecek 1.450.000 halaman makalah-makalah itu?
    Namun, dan itu masalah kedua, kalau mahasiswa tahu bahwa makalahnya tidak mungkin dibaca dengan sungguh-sungguh, mereka tidak punya motivasi apa pun untuk menulis sesuatu yang bermutu. Jadi, mereka akan menulis ”sampah”. Dengan lain kata, surat edaran Dirjen Dikti ini adalah sarana mujarab untuk mengajak para calon akademisi kita untuk memproduksi sampah!
    Jadi, kebijakan Dikti justru bisa bikin celaka. Alih-alih mendorong mutu output ilmiah PT-PT kita, Dikti malah mengharuskan kebijakan yang hasilnya adalah menciptakan budaya asal-asalan, yang lebih buruk daripada yang ada sekarang: budaya asal tulis 10 halaman, budaya asal tulisan itu bisa ditampung di jurnal.
    Menurut saya, maaf, dalam hal ini Dikti salah besar, yakni mau meningkatkan mutu dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, dengan cara yang—kalau mau dilaksanakan menurut maksud Pak Dirjen—mustahil terlaksana. Hal yang justru terlupakan: hanya ada satu dasar bagaimana mutu intelektual bisa mencuat, yakni motivasi di batin para dosen dan mahasiswa. Ironisnya, motivasi itu justru akan dibunuh dengan surat edaran baru itu.
    Masihkah Ada Harapan?
    Sebenarnya masalah yang mendasari defisit naluri peneliti-ilmiah di kalangan mahasiswa (dan dosen) kita sudah sering diangkat, tetapi barangkali belum di Dikti: pola pendidikan kita, mulai dari SD, harus diubah. Dari pendekatan yang memperlakukan anak-anak sebagai obyek pasif yang kelakuannya dimanipulasi dan otaknya diisi oleh guru/sekolah/Kemdikbud ke pendekatan yang memandang anak (anak kecil!) sebagai subyek yang dihormati identitasnya. Oleh karena itu, perlu dirangsang semangatnya untuk ingin tahu, untuk mencari yang baru, berani bertanya, bertanya ”mengapa”, dan untuk berani mengemukakan pendapat sendiri.
    Jadi, kreativitasnya dirangsang. Mereka yang melawan tren dipuji, perbedaan pendapat dihormati, bahkan dihargai oleh guru. Anak juga dirangsang belajar berdebat. Jadi, dari anak yang diharapkan manutan alias penurut menjadi anak yang percaya diri, terbuka, berani, dan kreatif.
    Itu tentu tidak mungkin dilaksanakan dalam satu tahun. Namun, Kemdikbud bisa berbuat sesuatu, misalnya semakin memperhatikan pendidikan karakter. Guru-guru memberi dorongan supaya berani membebaskan diri dari pola pendekatan ”menggurui”.
    Kunci perkembangan intelektual mahasiswa adalah para dosen. Merekalah yang menentukan suasana belajar. Maka, Dikti diharapkan memberi dukungan agar dosen dapat berkembang secara terbuka, intelektual, dan kreatif. Untuk itu, perlu segala ”kebijakan” yang berupa harassment, pelecehan, dihentikan. (Misalnya, pengecekan terhadap data untuk kenaikan pangkat/sertifikasi yang sudah kegila-gilaan sehingga portal Kopertis/Dikti kelebihan beban [overloaded]. Sampai-sampai karyawati kami dianjurkan mengunduh [men-download] gunung data itu pagi-pagi menjelang subuh). Segala kebijakan positif seperti sertifikasi (tetapi, ya, tanpa harassment tadi) perlu diteruskan.
    Pertanyaan saya, seorang pensiunan tua, kepada rekan-rekan di perguruan tinggi: berapa lama kita—perguruan tinggi di Indonesia—membiarkan diri dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang berkesan beyond hope, melampaui harapan?
    Akan tetapi, tentu harapan masih ada, bahkan di Kemdikbud dan Ditjen Dikti. ●
  • Kebijakan Menteri Berpotensi Merugikan

    Kebijakan Menteri Berpotensi Merugikan
    Bisman Nababan, DOSEN IPB; TIM PEREVIEW JURNAL NASIONAL DAN INTERNASIONAL
    Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012
    Dua bulan terakhir, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, mengeluarkan kebijakan kontroversial menyangkut nasib mahasiswa dan dosen. Kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran ini mustahil dilaksanakan dalam kondisi sekarang.
    Surat edaran pertama bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
    Isi edaran pertama adalah Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) hanya menilai suatu karya ilmiah jika artikel dan identitas penulisnya bisa ditelusuri secara online. Perguruan tinggi dan pengelola jurnal juga wajib mengunggah karya ilmiah mahasiswa dan dosen pada portal Garuda, perguruan tinggi, dan seterusnya. Hal ini efektif untuk usulan kenaikan pangkat 2012.
    Isi edaran kedua tentang syarat kelulusan. Untuk lulus program S-1, seseorang harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, S-2 menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti, dan S-3 menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal internasional.
    Kedua surat yang tampaknya tanpa kajian mendalam ini berpotensi merugikan dosen dan mahasiswa serta merusak sistem pendidikan tinggi.
    Kelulusan S-1
    Kebijakan mensyaratkan mahasiswa program S-1 untuk menerbitkan paper-nya dalam jurnal ilmiah sangatlah berlebihan. Yang wajib menerbitkan paper di jurnal ilmiah adalah peneliti.
    Seorang sarjana belum bisa disebut peneliti karena mahasiswa S-1 baru siap dikembangkan menjadi peneliti. Banyak jurusan yang tidak mensyaratkan mahasiswanya untuk membuat skripsi, tetapi dengan tugas akhir berupa studi lapangan, studi perbandingan, atau studi kasus.
    Pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di negeri maju, seperti Amerika Serikat, tak pernah mensyaratkan mahasiswa menulis makalah di jurnal agar dapat lulus. Umumnya, program S-1 dan S-2 di negara maju dilakukan dengan jalur non-skripsi dan non-tesis. Mahasiswa S-3 di negara maju otomatis akan menuliskan hasil risetnya di jurnal ilmiah internasional karena disertasinya pasti bernilai ilmiah. Biasanya mereka menulis makalah setelah lulus.
    Fakta lain: dana penelitian relatif besar. Maka, banyak dosen mengikutkan mahasiswa dalam penelitiannya. Kalau penelitian tersebut berasal dari dana swasta dan ada perjanjian bahwa hanya pihak pemberi dana yang boleh menerbitkan hasil penelitian, kebijakan Dirjen Dikti akan menghapus peluang mahasiswa melakukan penelitian murah.
    Ada berbagai persyaratan untuk menerbitkan tulisan ilmiah dalam sebuah jurnal, di antaranya ada nilai ilmiah, mengikuti kaidah penulisan ilmiah, tidak diajukan ke jurnal lain, temuan baru, dan orisinal. Andai semua ini terpenuhi (dan ini sulit), bagaimana mengatur waktunya?
    Panduan pengelolaan pendidikan tinggi dari Dirjen Dikti menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan S-1 berlangsung empat tahun. Lebih dari itu berarti negatif terhadap nilai akreditasi jurusan dan perguruan tinggi.
    Mahasiswa yang excellent bisa lulus dalam empat tahun dan mahasiswa S-1 umumnya lulus dalam 4,5-5 tahun. Adanya kebijakan Dirjen Dikti membuat kelulusan mahasiswa molor, bertambah 11-29 bulan atau 1-2,5 tahun, sehingga mahasiswa S-1 baru lulus setelah 5-7,5 tahun.
    Tambahan waktu itu untuk membuat draf paper ilmiah, mengirim ke jurnal, menunggu hasil review, memperbaiki paper, mengirim kembali, dan menunggu penerbitan. Itu kalau lancar. Bila ditolak pengelola jurnal, mahasiswa harus menulis ulang atau bahkan mengulang penelitian.
    Mampukah jurnal di Indonesia menampung makalah mahasiswa S-1? Bayangkan berapa ratus ribu paper yang harus diterbitkan setiap tahun jika kebijakan ini diimplementasikan.
    Bisa saja setiap jurusan membuat jurnal ilmiah sendiri untuk menampung paper dari mahasiswa dan semua dosen bertindak sebagai pereview. Berapa banyak waktu bagi dosen yang tersita untuk melakukan review?
    Untuk diketahui, menerbitkan sebuah jurnal ilmiah bukan perkara mudah. Selain butuh dana besar, jurnal juga melibatkan tim pereview dan staf pengelola. Tak semua orang bisa jadi pereview karena biasanya
    sudah bergelar doktor dan menerbitkan banyak karya ilmiah. Jika setiap jurusan memiliki jurnal ilmiah dan setiap mahasiswa baru bisa lulus dengan menerbitkan paper dalam jurnal, kualitas jurnal menjadi pertanyaan berikutnya.
    Kalau tidak berkualitas, siapa yang mau baca? Padahal, salah satu ukuran mutu suatu jurnal adalah jumlah orang yang membaca dan merujuknya.
    Program S-2 dan S-3
    Keharusan menerbitkan paper di jurnal nasional terakreditasi membuat mahasiswa S-2 tidak mungkin lulus Agustus 2012. Mereka harus menunggu 1-2 tahun lagi karena proses pengiriman, review, perbaikan, dan penerbitan sebuah paper dalam jurnal nasional terakreditasi membutuhkan waktu 1-2 tahun.
    Ditjen Dikti memberi waktu dua tahun untuk penyelenggaraan program S-2 di Indonesia. Waktu ini sebenarnya hanya relevan bagi program S-2 tanpa tesis. Jika wajib tesis, umumnya mahasiswa S-2 dapat menyelesaikan studi dalam tiga tahun. Dengan kebijakan penerbitan paper di jurnal nasional terakreditasi, kelulusan mahasiswa S-2 akan molor 4-5 tahun.
    Umumnya program magister tidak mensyaratkan penulisan tesis, demikian pula halnya pada beberapa universitas terkemuka di luar negeri. Masyarakat juga lebih banyak memilih jalur non-tesis dibandingkan jalur tesis. Maka, kebijakan Dirjen Dikti ini akan mengacaukan sistem pendidikan S-2 di Indonesia sehingga sistem perlu ditata ulang, termasuk semua kurikulumnya.
    Pada penyelenggaraan program S-3, menghasilkan paper yang diterima di jurnal internasional bukan perkara mudah. Umumnya, pengiriman draf sampai memperoleh acceptance letter untuk diterbitkan butuh waktu 1-3 tahun. Pada kasus kenaikan pangkat dosen, masalahnya juga sama: tidak semua jurnal sudah online dan lamanya prosedur pemuatan paper di jurnal ilmiah.
    Dalam panduan Ditjen Dikti, penyelesaian program studi S-3 adalah tiga tahun. Namun, rata-rata penyelesaiannya 4-5 tahun karena minimnya fasilitas laboratorium. Dengan kebijakan Dirjen Dikti, penyelesaian program doktor bisa 6-7 tahun.
    Biaya penyelenggaraan program S-2 dan S-3 termasuk mahal sehingga penambahan waktu penyelesaian studi akan menambah beban mental dan finansial.
    Upaya Peningkatan
    Pemerintah seyogianya mengkaji, mengapa produktivitas paper peneliti—termasuk dosen di Indonesia—di jurnal nasional dan internasional sangat rendah. Pemerintah juga harus menyelidiki kenapa di negara lain, termasuk Malaysia, tingkat produktivitasnya lebih tinggi.
    Salah satu alasannya adalah karena para peneliti dan dosen di Indonesia tidak dapat fokus pada pekerjaan akibat gaji tidak mencukupi, bahkan untuk hidup sederhana. Belum lagi minimnya peralatan laboratorium.
    Dirjen Dikti dalam surat edarannya merujuk produktivitas paper di Malaysia yang tinggi, tetapi lupa merujuk sistem penggajian di Malaysia yang sudah mengikuti negara maju. Fasilitas dan dana penelitian juga sangat besar di Malaysia sehingga mereka dapat fokus meneliti.
    Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemberian insentif bagi peneliti untuk setiap paper yang terbit di jurnal nasional terakreditasi dan internasional, seperti yang dilakukan UI.
    Kalau pemerintah mampu meningkatkan pendapatan peneliti dan dosen pada tingkat cukup untuk hidup layak—menghidupi keluarga dengan dua anak, membeli rumah sederhana, transportasi, asuransi kesehatan, dan menyekolahkan anak sampai sarjana—serta menyediakan kebutuhan penelitian secara lengkap, peneliti dan dosen di Indonesia dijamin lebih produktif. ●
  • Legitimasi Wakil Menteri

    Legitimasi Wakil Menteri
    Amzulian Rifai, GURU BESAR ILMU HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS SRIWIJAYA
    Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012
    Pengangkatan wakil menteri oleh Presiden SBY kini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bukan itu saja, posisi wakil menteri dicurigai berpotensi memboroskan keuangan negara karena fasilitasnya bersumber dari APBN.
    Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak menyetujui adanya jabatan wakil menteri. Pertama, jabatan ini tidak memiliki alasan konstitusional karena tidak disebutkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 yang tidak menyebut posisi wakil menteri.
    Selain itu, pengangkatan wakil menteri juga akan melahirkan konflik kepentingan di organisasi kementerian, yakni antara menteri dan wakil menteri. Alasannya, kedua pejabat mempunyai kekuasaan yang sama dan juga sama-sama diangkat Presiden. Kondisi demikian dapat mengakibatkan pelayanan publik akan terhambat.
    Pengisian jabatan wakil menteri sesungguhnya bukan tidak memiliki legitimasi. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemerintahan. Dalam hal ini Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan langkah terbaik dalam mengemban amanat tersebut, termasuk di dalamnya dimungkinkan untuk mengadakan jabatan wakil menteri.
    Setiap kementerian memiliki kekhususan yang mungkin mengharuskan Presiden mengambil langkah yang berbeda dalam upaya memaksimalkan kinerja lembaga tersebut. Itu sebabnya pembuat undang-undang membuka ruang bagi Presiden untuk mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara menegaskan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
    Memang jabatan wakil menteri tidak secara spesifik disebutkan dalam UUD 1945, tetapi bukan berarti pengangkatan wakil menteri lantas tidak konstitusional. Beberapa jabatan tidak disebutkan dalam UUD 1945, tetapi eksis dan diperlukan.
    Misalnya, UUD 1945 hanya mengatur mengenai gubernur, bupati, dan wali kota, tetapi jabatan para wakilnya tidak disebutkan. Tidak diaturnya jabatan-jabatan wakil itu dalam UUD 1945 bukan berarti posisi wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota menjadi bertentangan dengan UUD 1945.
    Apalagi, dalam Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Pemerintah bersama-sama dengan DPR kemudian membentuk UU Kementerian Negara, yang memberikan legitimasi kepada Presiden untuk mengangkat wakil menteri.
    Hubungan kerja antara menteri dan wakil menteri juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011. Perpres ini secara tegas mengatur, wakil menteri bertugas membantu menteri dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan kementerian.
    Soal Pengisian Jabatan
    Saya menilai perdebatan sesungguhnya lebih pada bagaimana dan siapa yang dapat diangkat sebagai wakil menteri, bukan soal legitimasi jabatan wakil menteri. Dalam penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 dinyatakan, yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet. Soal istilah pejabat karier inilah yang kemudian memunculkan perdebatan.
    Pengangkatan wakil menteri, sebagaimana juga dengan jabatan menteri, tetap mengandung unsur politis. Itu sebabnya jabatan wakil menteri pun akan sulit menghapuskan unsur politis. Sulit jadinya apabila antara menteri dan wakil menteri memiliki akar politik yang berbeda. Mereka dituntut untuk memiliki visi dan misi yang sama.
    Itu sebabnya jabatan wakil menteri tetap sebagai political appointee yang diisi pejabat karier. Mengacu pada penjelasan Pasal 17 UU No 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, dinyatakan bahwa jabatan karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh pegawai negeri sipil alias PNS.
    Pejabat karier terdiri atas pejabat karier struktural dan fungsional. Benar bahwa jika pejabat karier struktural, ia akan terkait dengan jenjang kepangkatan dan eselon. Akan tetapi, jadi lain soalnya ketika pejabat karier diangkat atas dasar jabatan fungsionalnya. Di perguruan tinggi, misalnya, jabatan fungsional tertinggi adalah guru besar dengan berbagai persyaratan ketat yang harus dilaluinya.
    Diungkitnya jabatan wakil menteri lebih karena alasan politis, bukan semata-mata dikarenakan persoalan yuridis. Secara yuridis, wakil menteri memiliki legitimasi. Ia semestinya dipandang sebagai jabatan yang diisi pejabat karier, baik berasal dari pejabat struktural maupun fungsional.
    Dalam perspektif hukum tata negara, sekalipun jabatan wakil menteri tidak diatur, baik dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lain, Presiden sebagai kepala pemerintahan tetap memiliki kewenangan untuk mengadakannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.
    Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, posisi wakil menteri pernah diadakan. Tidak seharusnya kewenangan konstitusional Presiden tersebut diintervensi oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kekuasaan yudisial. Atas dasar ini, langkah Presiden SBY mengangkat para wakil menteri sudah sesuai dengan ketentuan. Bahwa jumlahnya terkesan ”diobral”, itu soal lain.  
  • Prahara Demokrat

    Prahara Demokrat
    Laode Ida, WAKIL KETUA DPD
    Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012
    Publik negeri ini terus ”dipaksa” menonton prahara memprihatinkan dan memuakkan, yakni kelakuan para politisi, pejabat negara, dan relasi-relasi mereka yang berkonspirasi ”merampok” uang negara.
    Lebih merisaukan lagi, pelaku-pelaku kuncinya atau terindikasi terlibat umumnya berasal dari partai politik barisan penguasa. Betapa tidak. Setelah sebelumnya M Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat/PD) sudah terlebih dulu menjadi tersangka, menyusul Angelina Sondakh (PD), I Wayan Koster (PDI-P, sudah dicekal), dan sejumlah politisi lain, termasuk Anas Urbaningrum (Ketua Umum PD), yang masuk dalam daftar nama yang disebut sejumlah saksi di persidangan.
    Pihak PD, termasuk Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampak risau dengan terbongkarnya kejahatan sejumlah oknum penyelenggara negara itu. Sebab, tak mungkin lagi menghindar, mengelak, atau menutup-nutupinya karena semua sudah terbuka.
    Kendati demikian, dan ini terasa ironis, SBY sebagai penentu kebijakan tertinggi tampak masih sangat gamang, membiarkannya berlarut-larut alias tidak bersikap tegas dengan segera meminta mundur atau memberi sanksi para kadernya yang sudah terindikasi korupsi. Posisi yang diambil SBY, seperti biasa, menyerahkannya kepada mekanisme hukum; suatu sikap paling mudah bagi figur yang tidak ingin menyelesaikan masalah secara langsung kendati memiliki kewenangan mutlak untuk itu.
    Menguras Energi
    Dengan sikap pembiaran seperti itu sebenarnya telah secara langsung memperberat beban bagi SBY. Soalnya, di satu pihak ia dihadapkan berbagai masalah bangsa yang datang silih berganti, seperti kasus Mesuji, Bima, Papua, GKI Taman Yasmin Bogor, serta korupsi di sejumlah daerah dan instansi pusat. Di pihak lain, ia pun harus menguras energi memikirkan prahara dan kegaduhan dalam parpol yang didirikannya, yang memang terus berlanjut akibat tiadanya sikap tegas dari SBY.
    Posisi atau sikap seperti itu, secara psiko-politik, tentu saja bisa dipahami. Pertama, jika penentu kebijakan di parpol bersikap proaktif melakukan gerakan pembersihan dari kader-kader busuk nan jahat, jelas akan berimplikasi pada keretakan internal atau pecah kongsi. Padahal, tak mustahil mereka yang terindikasi terlibat korupsi atau mafia itu berkontribusi besar dalam pendanaan parpol atau bahkan mungkin mendapat ”penugasan khusus” dari parpolnya.
    Kedua, terkait dengan politik mengulur waktu untuk konsolidasi meskipun pada akhirnya akan juga mengikhlaskan teman-teman separtai (yang sudah diketahui publik sebagai terkait) digiring ke kursi pesakitan. Strategi ini mengarah pada upaya saling mengamankan atau melokalisasi figur yang terlibat agar tak melebar ke figur-figur lain.
    Pada saat yang sama, juga dilakukan pendekatan melalui jalur-jalur informal dengan pihak penegak hukum yang akan menangani. Tentu saja dalam rangka meringankan hukuman sekaligus menyiasati agar proses dan materi investigasi terfokus pada oknum yang sudah telanjur masuk perangkap hukum itu.
    Pihak parpol penguasa sudah pasti tak akan kesulitan memainkan strategi kedua ini karena begitu banyak kaki tangan atau instrumen yang bisa dimainkan. Sebagian pengacara dan jaringan mafia hukum juga akan menjadikannya lahan basah sehingga akan memanfaatkan atau menggarapnya secara maksimal.
    ”Maling berdasi”, seperti halnya dimainkan oleh sebagian oknum politisi di parlemen dan di instansi pemerintah, memang memiliki akumulasi harta hasil ”rampokannya”. Sebagian akan digunakan untuk ”dibagi” dengan para mafia peradilan dalam rangka meringankan hukuman.
    Sudah bukan rahasia lagi kalau putusan pengadilan di negeri ini, juga tetap berpotensi terjadi di KPK, sebagiannya merupakan buah dari transaksi di luar pengadilan. Tak usah heran kalau para terdakwa tidak terlalu lama berada dalam ”hotel prodeo”, di mana setelah bebas pun masih bisa hidup mewah bersama keluarga menikmati sisa hasil korupsi.
    Pembenahan Mendasar
    Risiko yang harus ditanggung oleh PD sekarang, memang, harus rela kehilangan popularitas dan kredibilitas di mata publik.
    Maka, tak heran kalau hasil jajak pendapat terakhir menempatkan PD di peringkat ketiga setelah Golkar dan PDI-P. Ini penurunan signifikan sekaligus wujud kegagalan SBY dan Anas Urbaningrum dalam memimpin dan mengendalikan parpol pemenang Pemilu 2009. Pada saat yang sama, fenomena seperti itu juga menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya sudah cenderung menolak parpol penguasa yang hanya menjadi kendaraan bagi politisi yang haus harta.
    Hanya saja, tampaknya derajat kesadaran SBY untuk menciptakan parpol yang bersih masih sangat rendah, tak kunjung terketuk hatinya untuk melakukan introspeksi dan pembenahan secara mendasar. ●
  • Ayo, Kaum Muda Indonesia!

    Ayo, Kaum Muda Indonesia!
    Taufik Ikram Jamil, SASTRAWAN DAN PEMINAT MASALAH SOSIAL-POLITIK
    Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012
    Patutlah disyukuri bahwa minggu-minggu awal memasuki tahun 2012 kaum muda Indonesia memperlihatkan wajah cerah.
    Survei asing yang menyebutkan kaum muda Indonesia amat optimistis di dunia dalam menghadapi tahun 2012 seperti mendampingi kecemerlangan kreativitas sejumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) dari sejumlah kota. Sebuah awal yang baik memang, dengan satu teriakan, ”Ayo, kaum muda Indonesia!”
    Adalah Ipsos—bekerja sama dengan Reuters—pada 12 Januari lalu merilis survei tingkat optimisme kaum muda dari 24 negara dengan 21.245 responden berusia di bawah 35 tahun, 500 di antaranya berasal dari Indonesia. Optimisme kaum muda Indonesia memperoleh angka 91 atau sama dengan Perancis, tetapi di atas Brasil, Jepang, bahkan jauh di atas Amerika Serikat.
    Optimisme itu berkaca dari kondisi ekonomi tiap-tiap negara. Indonesia, misalnya, setelah 14 tahun menghilang, akhir 2011 digolongkan sebagai negara investment grade yang antara lain menunjukkan kemampuan membayar utang baik dilakukan negara maupun swasta. Begitu pula pertumbuhan ekonominya sebesar 6,6 persen pada 2011. Di tengah keadaan ekonomi global yang limbung, negara ini diperkirakan masih mampu meraih pertumbuhan ekonomi 5,8 persen pada 2012.
    Terlepas dari apa pun motif di balik survei tersebut, bagaimanapun hasil yang sudah dirilis itu tambah memoles wajah cerah kaum muda Indonesia awal 2012. Sebelumnya, rona serupa diperlihatkan kaum muda dalam usaha membuat laptop, sepeda motor, mobil, bahkan pesawat terbang. Mencuat dari Solo, mungkin karena campur tangan wali kotanya, ciptaan-ciptaan SMK itu ditemui di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Medan, Batam, bahkan Dumai, kota nun jauh di perbatasan Indonesia-Malaysia.
    Hal-hal di atas bagai bertolak belakang dengan wajah kaum muda Indonesia yang berbulan- bulan sebelumnya terkesan babak belur sehingga kemunculannya jadi amat kontras. Mulai dari kisah dugaan korupsi PNS muda sampai kasus sandal jepit di Palu. Juga bagaimana lebih dari 6.200 kaum muda berusia di bawah 17 tahun mendekam di penjara sebagai narapidana, ”dilengkapi” dugaan siksaan, seperti terlihat pada kasus Sijunjung, Sumbar.
    Orang pun masih ingat survei Komnas Perlindungan Anak Indonesia (2010) yang menyebutkan bahwa 62,7 persen dari 4.500 responden usia muda pada 33 provinsi sudah melakukan hubungan seks luar nikah.
    Intip pula sejenak survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia yang dipublikasikan Oktober 2011. Terlihat, misalnya, bagaimana 75,2 persen dari 1.200 responden kaum muda tak menaruh harapan pada politikus muda sebagai penyelenggara negara. Tegasnya, kinerja sebagian besar politikus muda dinilai buruk oleh orang yang boleh dikatakan seusia dengan mereka sendiri.
    Anas Urbaningrum yang sekitar 12 tahun lalu dinilai begitu brilian, pada usia yang berangkat dewasa, 42 tahun, justru lebam- lebam karena berbagai tudingan, termasuk dari bekas orang dekatnya, M Nazaruddin, dalam kasus wisma atlet SEA Games.
    Energi
    Masa lalu tentu tak akan tinggal begitu saja. Ia akan jadi bahan pelajaran dan diselesaikan dengan norma-norma yang sudah disepakati. Akan tetapi, masa depan adalah pertaruhan untuk kehidupan yang lebih baik.
    Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hasil survei asing di atas, yang berjalin dengan kabar kreativitas SMK, mampu menambah energi kita dalam melangkah ke depan dengan penuh rasa percaya diri. Bahwa ternyata kita mampu melakukan berbagai pencapaian bagi pemartaban manusia, di samping perbaikan-perbaikan di dalam diri kita dengan batas-batas semaksimal mungkin.
    Orang bijak dari kalangan psikologi-sosial selalu mengatakan, suatu upaya yang dilakukan dengan rasa percaya diri telah menyebabkan sebagian keberhasilan berada dalam genggaman. Ini akan menumbuhkan pikiran-pikiran positif untuk menggapai hajat yang telah ditancapkan. Pikiran kita akan tertuju pada keberhasilan sehingga acap kali kita mendengar bahwa keberhasilan seseorang akan sangat bergantung pada apa yang dipikirkan.
    Bandingkanlah kalau kita menghendaki sesuatu, tetapi sejak awal kita merasa tidak mungkin meraihnya: bukankah akan menjadi beban mental berkepanjangan? Waktu, misalnya, akan menjadi amat tidak produktif karena hal tersebut mendorong turunnya kegairahan aktivitas. Permasalahan-permasalahan pun akan timbul, yang tentu juga mengundang hal-hal buruk.
    Begitu akan terus-menerus, jalin-berjalin, yang tak akan ditemui titik ungkai penyelesaian. Akhirnya kita akan berada di tempat tanpa banyak berbuat bagi kemajuan diri sendiri.
    Perihal kita harus memelihara contoh kepercayaan diri yang ikut tersibak dalam diri kaum muda pada awal tahun ini, tentulah persoalan lain lagi. Yang jelas, wajah kaum muda sudah terlihat demikian, bagaimana pula wajah kaum di atasnya? Barangkali mungkin perlu ada survei lain untuk menjawabnya. ●
  • Mengupas RUU Ormas

    Mengupas RUU Ormas
    Mohammad Fajrul Falaakh, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012
    Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan sedang dibahas oleh panitia khusus di DPR. RUU ini telah menyedot anggaran untuk melakukan studi dan menyiapkan rancangan di lingkungan pemerintah sejak tahun 2000-an. Tulisan ini membahas akal-akalan di baliknya, misalnya agar RUU ini dapat menjadi dasar hukum membubarkan anarkisme berkelompok.
    Fenomena anarkisme dalam masyarakat selama 10 tahun terakhir ini sering dibiarkan oleh aparat kepolisian atau setidaknya karena kelemahan yang bersifat melembaga (rasio personel tak sesuai dengan jumlah penduduk) ataupun ketakmampuan perseorangan. Mungkin pula faktor ketakjelasan arah kebijakan nasional dalam pemberantasan kejahatan telah menyumbang pembiaran tersebut meski Presiden sudah dibantu Komisi Kepolisian Nasional dalam merumuskan kebijakan itu.
    Serba Mencakup
    Kenyataan tersebut tidak berkorelasi dengan akal-akalan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang sebetulnya didasarkan pada asumsi birokratik patrimonial. Ini tampak sejak definisi ormas yang serba mencakup: ”Organisasi masyarakat adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
    RUU mencakup segala macam ormas (Pasal 7 Ayat 2). Termasuk di dalamnya bidang ekonomi (koperasi dan organisasi bisnis), hukum (law firm), asosiasi profesi, asosiasi keilmuan, kegiatan sosial filantropi, seni dan budaya (kelompok paduan suara), penghayat kepercayaan, agama (tarekat dan majelis taklim), penguatan demokrasi, perkumpulan berdasarkan hobi, dan lain-lain organisasi tak berstruktur, seperti jejaring sosial (social networking). Apa pun istilah lain bagi ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan organisasi sosial), RUU Ormas memang serba mencakup.
    Pada zaman kolonial Belanda, pengaturan ormas dan kemerdekaan berserikat berseiring meski praktiknya lebih sering menggerus kebebasan berserikat. Berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan mengalaminya.
    Saat itu badan hukum sudah diatur (persona moralis atau zedelijk lichaam) seperti yayasan. Kini yayasan diatur oleh UU No 28/2004. Sudah diatur juga apabila vereniging (perkumpulan, perhimpunan, perserikatan, atau ormas) akan menjadi badan hukum (rechtspersoonlijkheid van vereniging), yang dewasa ini dikenal sebagai perkumpulan berbadan hukum atau ormas berbadan hukum. Rezim hukum terhadap perkumpulan ini (Staatsblad 1939 Nomor 570 dan Staatsblad 1942 Nomor 12-13) masih diberlakukan berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945.
    Orde Baru tak peduli tentang fenomena sosial-politik dan kultural dengan fenomena hukum. Muncullah UU Organisasi Kemasyarakatan 1985 (UU No 8/1985) berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1983. Orde Baru tak cukup dengan pengumuman badan hukum di Berita Negara dan sudah terdaftar di Departemen Kehakiman atau pengadilan negeri setempat. Berdasarkan undang-undang itu, Orde Baru mengharuskan ormas ”berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis” (Pasal 8-12) untuk dibina pemerintah (Pasal 13-14).
    Menyemai Kebebasan
    Sekarang, mirip UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, RUU Ormas menciptakan jenis baru badan hukum, yaitu ”badan hukum perkumpulan”. Akan tetapi, RUU dengan definisi ormas bercakupan luas itu justru membatasi hanya dua pilihan badan hukum, yaitu ”badan hukum perkumpulan” dan yayasan. Akibatnya, ormas di bidang ekonomi terhalang memilih berbagai jenis badan hukum yang sudah tersedia.
    RUU juga mewajibkan semua ormas bukan berbadan hukum mendaftarkan diri ke pemerintah (Pasal 16). Akibatnya, kalau tak mendaftar, ormas tak memiliki izin kegiatan atau tidak dapat beroperasi. Ini adalah konstruksi yang melanggar prinsip kemerdekaan bangsa untuk berserikat, sebagaimana ditentukan Pasal 28, 28C (2) dan 28E (3) UUD 1945, UU No 39/1999, ataupun International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dengan UU No 12/2005).
    Paradigma patrimonialisme birokratik masih disisipkan dalam RUU Ormas untuk mengatur relasi negara dan masyarakat. Seharusnya ormas tak wajib mendaftarkan diri kepada pemerintah. Ormas dapat secara sukarela mendaftarkan untuk berhubungan dengan instansi pemerintah berdasarkan kebutuhan dan sesuai jenis kegiatan ormas. Dengan demikian, tidak tepat Menteri Dalam Negeri memonopoli definisi ”menteri” (Pasal 1 Angka 7).
    Penyusun RUU Ormas juga terkecoh. Anarkisme perseorangan dan berkelompok sudah diancam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), tetapi pembiaran terhadap anarkisme dianggap karena tak ada aturan yang mewajibkan masyarakat berorganisasi (ormas) untuk mendaftarkan diri kepada pemerintah. Sebetulnya anggota ormas dapat meminta pembubaran melalui rapat anggota atau ormas lain dapat menuntut pembubaran melalui kepailitan. Atas nama ketertiban umum dan kepentingan masyarakat, Jaksa Agung juga dapat menuntut pembekuan atau pembubaran badan hukum ormas melalui pengadilan.
    Penulis beruntung dapat menyampaikan pemikiran kepada Pansus RUU Ormas di DPR (12/1/2012) bahwa keseluruhan isi RUU terpaksa dibongkar, terutama Bab IV-V. Tugas anggota DPR adalah menyemaikan demokrasi karena prinsip hukum dalam mengatur kebebasan adalah minimalis. Prinsip serupa berlaku terhadap RUU tentang perkumpulan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014 yang tidak jelas mengapa perkumpulan dan ormas dibedakan. ●
  • Polemik Pengadaan Persenjataan Militer

    Polemik Pengadaan Persenjataan Militer
    Neta S Pane, PEMERHATI PERSENJATAAN TNI-POLRI DAN KETUA PRESIDIUM
    INDONESIA POLICE WATCH
    Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012
    Rencana TNI membeli 100 tank Leopard bekas dari Belanda menimbulkan polemik panjang. Polemik ini sesuatu yang wajar mengingat pembelian tank tersebut menghabiskan uang negara triliunan rupiah.
    Siapa pun pasti setuju jika TNI melengkapi diri dengan alat utama sistem persenjataan mutakhir. Sebab, TNI yang tangguh menjadi sebuah harapan. Hanya saja, pembelian persenjataan militer perlu berorientasi pada lima hal agar tepat guna, efisien, dan efektif dalam mendukung sistem pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
    Pertama, harus berorientasi pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, persenjataan yang dibeli dapat dengan mudah dan cepat dimobilisasi serta berpindah dari satu pulau ke pulau lain.
    Kedua, disesuaikan dengan medan dan kontur tanah Indonesia yang terdiri dari pantai-pantai berlumpur, hutan, bukit terjal, rawa, dan persawahan. Tujuannya agar peralatan tersebut dinamis dan taktis dalam menjaga, mengawal, ataupun menjelajahi seluruh wilayah NKRI.
    Ketiga, diarahkan untuk mengimbangi kekuatan persenjataan militer negara tetangga. Meski Indonesia bukan negara agresor, secara faktual musuh terdekat adalah negara tetangga.
    Keempat, pembelian persenjataan militer diupayakan mengarah ke alih teknologi. Tujuannya agar kelak suatu waktu Indonesia dapat memproduksi peralatan militer secara mandiri.
    Kelima, disesuaikan dengan anggaran perawatan, pemeliharaan, dan operasional yang dicanangkan TNI. Hanya dengan demikian persenjataan yang dibeli tetap terawat dan dioperasionalisasi secara maksimal.
    Jadi Besi Tua
    Selama ini ada kebiasaan buruk yang terpelihara dalam pembelian persenjataan militer, yakni paket pembeliannya tidak pernah lengkap dan utuh. Keterbatasan anggaran selalu jadi alasan. Kebiasaan buruk lain adalah dalam hal perawatan. Lagi-lagi alasannya dana yang sangat terbatas.
    Dalam pembelian pesawat M-17, misalnya, 10 pesawat tidak punya GPS. Lima pesawat M-35 yang dibeli tak ada rudalnya. Puluhan mortir buatan RRC yang dibeli ternyata tidak bisa dipakai. Begitu juga belasan rudal Rapier tidak bisa dimaksimalkan karena tak ada radar. Tragisnya, belasan kendaraan tempur Panhard yang dibeli belum lama ini tidak dilengkapi radio, senjata, ataupun kunci roda. Bahkan, 200 jip eks RRC yang dibeli ditolak Kostrad karena tidak sesuai spesifikasi.
    Kebiasaan buruk itu menyebabkan peralatan militer TNI kerap tak dapat dioptimalkan dan akhirnya telantar jadi besi tua.
    Saat ini TNI sebenarnya punya 1.106 tank dan panser. Dari jumlah itu hanya seperempat yang masih punya aki. Selebihnya, akinya soak dan tak bisa dioperasionalkan. Tank Scorpion, radionya banyak yang rusak. Kondisi ini makin parah tatkala melihat 39 kapal perang eks Jerman Timur yang jadi besi tua atau tiga dari 10 pesawat Sukhoi tidak bisa terbang. Kendaraan tempur Unimog juga banyak yang rusak.
    Sistem perawatan yang buruk membuat peralatan yang ada tak terjaga maksimal. Biaya perawatan yang minim membuat standar perawatan tidak bisa dilakukan.
    Di sisi lain, proses pembelian yang diduga sarat KKN membuat persenjataan TNI kerap jadi korban ”bagi-bagi komisi” dan mark up. Proses pengadaannya masih dianggap sebagai tambang emas oleh sebagian pihak.
    Pengawasan Ketat
    Dalam pengadaan persenjataan militer sudah saatnya bangsa ini mengawasi secara ekstra ketat. Tujuannya agar pengadaan peralatan yang menghabiskan puluhan triliun rupiah tidak mubazir. Sudah saatnya pula TNI, pemerintah, dan DPR menetapkan skala prioritas. Sangat ironis jika TNI punya peralatan tempur, tetapi nihil amunisi.
    Untuk melatih seorang penembak tank agar mahir, misalnya, TNI perlu 30 peluru, padahal standar NATO 120 peluru. Namun, faktanya prajurit TNI hanya diberi tiga peluru. Minimnya jatah peluru itu karena TNI tak punya stok amunisi yang memadai.
    Kondisi ini sangat memprihatinkan. Perlu ada audit dan evaluasi, baik oleh pemerintah, DPR, maupun TNI. Dengan adanya audit, TNI akan lebih mudah membuat pemetaan persenjataan secara jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ukuran pembelian bukanlah kuantitas, melainkan kualitas, dan senantiasa disinergikan dengan peralatan yang sudah ada.
    Jumlah yang dibeli pun tidak perlu banyak, tetapi yang utama aspek dan memiliki daya dukung dengan persenjataan yang ada. Hanya dengan begitu peralatan tersebut efisien dan efektif serta tidak menoreh polemik panjang, sekaligus membawa manfaat bagi sistem pertahanan bangsa. ●