Author: Adul
-
Reformasi Pendidikan Dikhianati
Reformasi Pendidikan DikhianatiUtomo Dananjaya, SOSIOLOG DAN MAGISTER FILSAFAT UNIVERSITAS INDONESIASumber : KOMPAS, 13 Februari 2012Reformasi tahun 1998 dalam bidang pendidikan adalah berupa amandemen Pasal 31 UUD 1945, pembaruan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20/ 2003), dan penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung tentang ujian nasional. Namun, sikap pemerintah yang kemudian mengingkari hukum perundangan ini bukan saja pengkhianatan atas reformasi bidang pendidikan, juga berisiko bagi generasi masa depan.Dalam UUD 1945, pendidikan nasional mendapatkan perhatian, baik kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu ”mencerdaskan bangsa” tertera dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan secara kuantitatif menyangkut ”semua warga negara memperoleh pendidikan” tertera dalam Pasal 31 Ayat 1.Hingga era reformasi bangsa Indonesia menyadari, secara kualitatif dan kuantitatif negara tidak bisa memenuhi amanat UUD. Oleh karena itu, ketika kesempatan amandemen UUD 1945 terbuka, maka Pasal 31 mengalami perubahan besar.Anggaran PendidikanAyat (2) yang sama sekali baru dimunculkan: ”Semua warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.Juga Ayat (4): ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.Ayat (2) dan Ayat (4) ini memperjelas kewajiban pemerintah tentang anggaran pendidikan. Kewajiban itu bahkan diperjelas oleh Pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa anggaran 20 persen tersebut di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan.UU APBN 2004 dan 2005 tidak memenuhi UUD Pasal 31 Ayat (4) dan Pasal 49 UU Sisdiknas. Terpilihnya SBY-JK menumbuhkan harapan baru. Tetapi dalam UU APBN 2006 anggaran pendidikan juga tidak mencapai 20 persen.Oleh karena itu, sekelompok orang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi bahwa APBN—khusus anggaran pendidikan—tidak sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31. Tuntutan ini diterima oleh MK, tetapi pemerintah mengabaikan putusan tersebut. Begitu pun terhadap UU APBN 2007 dan 2008, berturut-turut uji materi diajukan dan diterima oleh MK.Kemudian, seorang dosen dan seorang guru dari Sulawesi Selatan mengajukan uji materi terhadap Pasal 49 (1) UU Sisdiknas. Mereka memohon agar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan dimasukkan ke dalam 20 persen APBN/APBD. Permohonan itu diterima oleh MK sehingga pengertian 20 persen dari Pasal 31 (4) UUD 1945 menyimpang dari pengertian awal.Dengan keputusan MK ini, tidak ada lagi kesempatan rakyat menuntut pelaksanaan Pasal 31 (4) UUD yang memprioritaskan pendidikan. Ini adalah penyimpangan pertama yang dilakukan pemerintah terhadap konstitusi kita, UUD 1945, tentang anggaran pendidikan.Lihatlah anggaran pendidikan dalam APBN 2012 sejumlah Rp 290 triliun atau 20 persen dari APBN. Dari jumlah ini, yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan hanya Rp 72,009 triliun atau hanya sekitar 5 persen dari APBN (Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014).Penyelenggaraan PendidikanPerubahan paradigma pendidikan adalah dari paradigma pengajaran jadi paradigma pembelajaran. Perubahan satu kata ini sederhana, tapi bermakna dan berlatar belakang teori ilmiah pendidikan dan menuntut praktik pendidikan yang berubah dari tradisi guru bicara siswa tertib mendengar. Dalam perubahan UU Sisdiknas No 20/2003 dikemukakan pertimbangan: UU Sisdiknas No 2/1989 tak mampu lagi menampung gagasan UUD 1945, karena itu harus dilakukan perubahan.Pasal yang menandai perubahan UU Sisdiknas adalah Pasal 4 Ayat (1) sampai Ayat (6) tentang Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pendidikan. Ayat (1) berbunyi: ”Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.Pasal tersebut menampung gagasan perubahan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum 1994 lebih berbasis materi, sedangkan tuntutan mengharuskan perubahan paradigma dalam penyempurnaan pendidikan. Kurikulum perlu berbasis kompetensi dan disesuaikan dengan perbedaan kultural dan kemajemukan bangsa.Sementara dalam penjelasan PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional, reformasi pendidikan nasional meliputi beberapa hal. Misalnya disebutkan, penyelenggaraan pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan. Dalam proses tersebut, mengembangkan potensi dan kreativitas menjadi hal utama. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke pembelajaran.Sayang sekali uraian penjelasan terkait reformasi pendidikan tersebut tak sejalan dengan standar isi pada PP No 19/2005 itu sendiri. Kurikulum yang baru seharusnya mengutamakan kompetensi dasar sebagai pengganti orientasi materi, sementara dalam PP No 19/2005 yang diutamakan kompetensi lulusan.Standar Nasional Pendidikan menggunakan kompetensi dasar mata pelajaran dan standar kompetensi kelulusan yang mengabaikan kemajemukan bangsa. Penyimpangan ini merupakan kebijakan yang tak dijabarkan secara utuh dari UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Penyimpangan itu oleh Profesor Winarno Surakhmad disebut sebagai kriminalisasi pendidikan.Pemerintah juga mengabaikan hak asasi manusia dengan menyelenggarakan ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan dalam proses pendidikan nasional. Keputusan MA No 2596 K/PDT/2008 diabaikan. Padahal, keputusan itu memberikan ketetapan hukum terhadap putusan pengadilan negeri yang menuntut pemerintah untuk menangguhkan dan membatalkan UN di tahun-tahun berikutnya.Tiga pelanggaran ini berakibat pada penyelenggaraan pendidikan nasional, baik kualitas maupun kuantitas, cukup mengkhawatirkan karena kegagalan pemerintah di dalam pendidikan akan berkepanjangan. Gagasan reformasi pendidikan dibatalkan oleh sikap pemerintah sendiri. ● -
Merenungkan Kembali Demokrasi Kita
Merenungkan Kembali Demokrasi KitaSatrio Wahono, SOSIOLOG DAN MAGISTER FILSAFAT UNIVERSITAS INDONESIASumber : KOMPAS, 13 Februari 2012Melihat berbagai berita media massa sebulan terakhir ini saja membuat kita muak dengan kebobrokan moral di negeri ini.Mulai dari konflik agraria di Mesuji, persidangan remaja pencuri sandal jepit, tragedi dua remaja yang tewas akibat dugaan penganiayaan oleh polisi yang menginterogasi mereka, hingga deretan kasus suap dan renovasi berjumlah fantastis di DPR. Semua membuat kita mengurut dada dan bertanya: inikah buah dari reformasi dan demokratisasi selama hampir 14 tahun ini?Kondisi memprihatinkan itu mengundang kita merenungkan kembali demokrasi yang sudah kita jalankan selama ini, demokrasi yang justru melahirkan para ”bandit politik dan hukum” yang kian merajalela.Belajar dari SejarahAda pemeo, ”demokrasi memang tidak sempurna, tetapi itu adalah sistem terbaik dari yang ada”. Demokrasi seolah-olah menjadi ”agama” karena jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang disalahkan adalah proses dan aktor-aktor demokrasinya, bukan demokrasi itu sendiri.Sejarah bangsa kita menunjukkan, demokrasi liberal yang pernah kita jalankan pada Orde Lama ternyata memajan kita dengan masalah serupa dengan yang kita hadapi sekarang.Bung Karno pernah begitu jengkel terhadap ulah partai-partai hingga dia ingin membubarkan partai politik. Dalam pidatonya, ”Marilah Kita Kubur Partai-partai” (1956), Soekarno mengungkapkan kegeramannya karena partai-partai saling sikut. Kebobrokan partai-partai menghasilkan ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara.Bung Hatta juga jengkel melihat para politisi mempraktikkan ”ultra demokrasi” (”Demokrasi Kita”, Panji Masyarakat, 1960) yang cuma menghasilkan jatuh-bangunnya berbagai kabinet dalam hitungan bulan.Hanya saja, kedua tokoh itu bersilang jalan soal cara mengatasinya. Apabila Soekarno menggagas Demokrasi Terpimpin sebagai solusi, Hatta memilih pembenahan partai. Solusi pertama terbukti gagal dalam sejarah, sementara solusi kedua sudah kita coba selama 13 tahun ini dan lagi-lagi belum memberi hasil menggembirakan.Oleh karena itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk menjauh dari solusi ”Hattaian” yang mengedepankan pembenahan alias ”reformasi” di satu sisi. Sebagai gantinya, jangan-jangan bangsa kita memang lebih cocok dengan solusi ”Soekarnoian” yang mengutamakan pentingnya pemimpin kuat. Hanya saja, pelaksanaannya dalam bentuk Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno waktu itu tidak berjalan baik.Demokrasi TerpimpinIsmail Suny dalam disertasinya, ”Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” (1963),mengungkapkan kejengahannya terhadap ketidakstabilan politik akibat pelaksanaan Demokrasi Parlementer. Suny berpendapat, demokrasi liberal telah gagal karena tidak cocok dengan kultur Indonesia.Menurut Suny, Demokrasi Terpimpin secara ketatanegaraan adalah corak demokrasi terbaik bagi Indonesia, mengamini pemikiran integralistik Supomo yang menekankan kedaulatan sebagai kedaulatan negara bukan kedaulatan rakyat. Negara dianggap memiliki kapasitas sebagai bapak dan pengayom, yang mewujud dalam konsep Demokrasi Terpimpin dengan dipandu seorang Bapak (dan kuat seperti Soekarno). Maka kita paham melalui Suny bahwa kegagalan demokrasi liberal telah menyebabkan pendulum ketatanegaraan condong ke arah eksekutif (executive heavy) dan berlanjut ke era Soeharto hingga 1998.Setali tiga uang dengan Suny, sosiolog senior Selo Soemardjan dalam ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita” (1961) mengatakan upaya penggantian sistem pemerintahan kolektif seperti dalam demokrasi liberal dengan pemerintahan terpimpin sebenarnya mudah diterima rakyat karena sejarah Indonesia memang lebih banyak dipenuhi oleh raja, sultan, dan penguasa absolut lainnya. Mereka dianggap masyarakat sebagai mediator dengan kosmologi penguasa kehidupan. Jadi, masyarakat memercayakan semua kekuasaan kepada penguasa absolut itu seraya mengharapkan kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan manusia.Pendek kata, meski tak memungkiri bahwa Demokrasi Terpimpin—solusi ”Soekarnoian”—mencabut hak-hak dasar politik, Soemardjan menyatakan bahwa konsep primus inter pares (orang utama di antara para manusia yang setara kedudukannya) seperti Demokrasi Terpimpin lebih cocok untuk Indonesia.Akhirul kalam, perjalanan sejarah kita telah memampangkan dua solusi bagi ”penyakit” dalam demokrasi, yang ternyata masih relevan bagi era ”kebanditan dan pembegalan politik” saat ini. Terpulang pada kita untuk tetap bertahan dengan solusi ”Hattaian” atau kita justru perlu memutar haluan menuju penerapan kembali solusi ”Soekarnoian”. Tentu dengan berbagai varian yang relevan. Semoga menjadi permenungan kita bersama yang ingin menyaksikan negara jaya. Tidak berkubang dalam dosa. ● -
Uang Panas Nazaruddin
Uang Panas NazaruddinDonal Fariz, PENELITI DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN ICWSumber : KOMPAS, 13 Februari 2012Uang M Nazaruddin mengalir sampai jauh. Dari kawan hingga partai, dari dalam negeri hingga luar negeri.Uang panas cepat menguap. Istilah ini agaknya tepat untuk menggambarkan rotasi uang dalam kasus suap yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Fee yang ia peroleh dari perusahaan- perusahaan yang menggarap proyek pemerintah begitu fantastis. Begitu pula jumlah uang yang ia tebar untuk rekan sesama politisi, birokrat, hingga partai.Gurita bisnis dan uang yang dimiliki Nazaruddin terungkap dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Para saksi yang juga bawahan Nazaruddin di Grup Permai, seperti Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis, menjelaskan permainan proyek maupun persekot yang diterima.Nazaruddin berperan mengatur peruntukan fee. Istrinya, Neneng, berperan sebagai direktur keuangan perusahaan sekaligus memegang kendali brankas uang perusahaan tersebut.”Fee” Besar-BesaranSebagai ilustrasi, untuk kasus proyek pembangunan wisma atlet di Palembang, Grup Permai memperoleh fee 13 persen dari proyek bernilai Rp 191 miliar ini. Bahkan sebelumnya Nazaruddin sempat menyebut angka 21 persen kepada PT Duta Graha Indah (PT DGI) melalui Rosa karena ia sudah belanja Rp 20 miliar untuk DPR terkait proyek tersebut.Itu baru satu proyek PT DGI. Kesaksian Yulianis di persidangan mengungkap, PT DGI paling tidak memiliki 10 proyek yang dikerjakan pada tahun 2010 atas bantuan Grup Permai sehingga membayar fee kepada perusahaan milik Nazaruddin itu. Ini belum termasuk proyek 2009.Nazaruddin tak hanya memiliki satu perusahaan. Setidaknya ia punya 10 perusahaan di bawah Grup Permai, di antaranya PT Mahkota Negara, PT Anak Negeri, dan PT Anugrah Nusantara. Ia juga memiliki setidaknya tujuh perusahaan pinjaman untuk menjalankan berbagi proyek. Jika pola-pola serupa dengan kasus wisma atlet juga diterapkan oleh perusahaan lain terhadap berbagi proyek, bisa dibayangkan betapa kayanya politisi muda ini.Sebagian kekayaan Nazaruddin disimpan di luar negeri. Kesaksian Oktarina yang juga bekas anggota staf Nazaruddin menyebutkan, ada uang senilai 5 juta dollar AS, 2 juta euro, dan 3 juta dollar Singapura yang dikirim ke Ampi IT dan Talent Center di Singapura. Kedua perusahaan itu belakangan diketahui tidak melakukan apa-apa, sekadar untuk menyimpan uang.Dengan tumpukan fee yang ia terima, tak aneh jika Nazaruddin rajin menebar uang ke partai maupun koleganya sesama politisi. Uang sebesar Rp 30 miliar dan 5 juta dollar AS ”disedekahkan” untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung. Uang dibawa langsung oleh Yulianis (Kompas, 25 Januari 2012).Belum jelas sampai saat ini uang tersebut dipakai untuk biaya pelaksanaan kongres atau malah dijadikan ongkos pemenangan kandidat tertentu. Yang pasti, jika di persidangan nantinya terbukti, kedua motif tersebut akan punya konsekuensi yuridis karena menerima uang yang diduga berasal dari praktik korupsi.Selain Partai Demokrat (PD), para politisi kerap disebut menerima sejumlah uang dari Nazaruddin. Termasuk di antaranya Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dalam penyelenggaraan Kongres Partai Demokrat di Bandung itu.Khusus untuk wisma atlet, uang 1,1 juta dollar AS dialirkan ke Senayan untuk memuluskan proyek tersebut. Menurut keterangan Rosa, mereka yang turut menerima di antaranya Mirwan Amir, Angelina Sondakh, dan I Wayan Koster. Badan Anggaran pun diduga turut bermain.Darah KejahatanKasus Nazaruddin membuktikan kekuatan uang. Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan pelaku korupsi. Hasil kejahatan adalah life blood atau darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap (life blood of crime).Tugas KPK memang tidak mudah. Selain mengejar para pelaku yang disebut-sebut dalam persidangan, pekerjaan rumah terbesar bagi KPK tentu saja adalah mengejar aliran uang Nazaruddin (follow the money) karena ada begitu banyak politisi hingga partai yang disebut-sebut menerima uang. Ini masih ditambah dengan begitu banyaknya perusahaan yang dimiliki Nazaruddin dan pernah menggarap proyek- proyek pemerintah.Pada saat bersamaan, Nazaruddin juga bergerak aktif untuk mengaburkan asal-usul uang yang ia peroleh. Ia, misalnya, membeli saham Garuda hingga Rp 300 miliar atau bahkan memindahkannya ke luar negeri.Oleh karena itu, KPK harus bergerak cepat untuk mengejar uang dan aset Nazaruddin serta memakai undang-undang pencucian uang sebagai senjata yang efektif. Secara teoretis, jika hasil kejahatan yang ia lakukan dikejar dan disita untuk negara, dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan itu sendiri.Penyelesaian secara hukum dari sisi aktor dan uang menjadi dua indikator tuntas atau tidaknya kasus tersebut di tangan KPK. Jika tidak, uang panas Nazaruddin yang masih tersembunyi berpotensi memproduksi kejahatan yang sama pada masa mendatang. ● -
Kereta Api untuk Siapa?
Kereta Api untuk Siapa?Suwardjoko P Warpani, PEMERHATI ANGKUTAN DAN LALU LINTAS;DOSEN TRANSPORTASI PWK, ITBSumber : KOMPAS, 13 Februari 2012Kereta api melayani semua penduduk. Sebagai angkutan jarak jauh dan menengah, kereta api memperlancar mobilitas orang—umumnya golongan menengah ke bawah—dan barang.Dengan demikian, tujuan operasi kereta api (KA) dan juga moda angkutan lain terutama adalah melayani kebutuhan mobilitas. Beda antara KA dan moda angkutan lain adalah pada aspek finansial.Operasi layanan KA di mana pun tidak bisa mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket untuk menutup biaya operasional. Dengan kata lain, jangan mengharapkan laba dari jasa operasi KA. Pendapatan lain bisa diperoleh dari subsidi sebagai konsekuensi tarif yang ditetapkan oleh pemerintah dan komersialisasi nilai aset KA, seperti ruang stasiun KA.Gagasan memanfaatkan ruang stasiun KA sebagai ruang komersial sebagaimana di bandara bukan gagasan yang salah. Yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan layanan jasa KA, karakter layanan KA, dan pangsa pasar jasa layanan KA yang tidak identik dengan angkutan udara.Moda TiriKebijakan pembangunan prasarana angkutan di Indonesia masih sangat berpihak kepada angkutan jalan raya. Sistem angkutan jalan raya lebih banyak mendapat porsi pembangunan prasarana (jalan raya) sehingga moda angkutan jalan (kendaraan bermotor) berkembang pesat melampaui kapasitas jalan.Bandingkan dengan prasarana dan sarana angkutan jalan rel yang ibarat anak tiri. KA kurang mendapat perhatian walau kewajiban yang diembannya cukup berat. Rel yang sudah uzur, gerbong tua, ataupun lok renta masih diwajibkan mengangkut banyak penumpang. Bagaimana KA bisa berbenah jika untuk menaikkan tarif saja—karena subsidi jauh dari kebutuhan—pemerintah tidak mengizinkannya.PT KAI dituntut memberikan layanan prima, tetapi kebutuhannya tidak dipenuhi. Akibatnya, PT KAI mencipta berbagai upaya menghimpun dana dari berbagai sumber sampai-sampai melupakan sektor usaha lain yang sebenarnya membantu kenyamanan layanan jasa KA. Para ”pegel” (pedagang golongan ekonomi lemah) di stasiun KA bukannya dibina agar berkembang menjadi usaha yang mapan dan maju, melainkan akan digusur dan digantikan pemodal besar semacam mart.Lebih celaka lagi, penempatan tapak usaha ini tepat di depan tangga jalur jalan penumpang. Dari sisi pengusaha, barangkali ini tapak ideal karena seolah memasang ”jaring” di tempat ikan lewat. Akan tetapi, dari sisi keamanan dan kenyamanan penumpang, penempatan ini justru sangat berbahaya pada saat terjadi bencana. Jika terjadi bencana, arus penumpang yang panik turun melalui tangga akan terhambat keberadaan mart.Mengapa hal ini bisa terjadi? Bisa diduga bahwa mart yang mampu membayar sewa lebih mahal akan dapat memilih tempat. Lantas, bagaimana nasib kebijakan pemerintah daerah yang membatasi mart agar tidak mematikan usaha ”pegel”?Ruang TerminalSelama ini, anggaran pemerintah melalui Ditjen Bina Marga hanya untuk membangun jaringan jalan, sedangkan pengadaan wahana angkutan bukan tanggung jawab pemerintah. Berbeda halnya dengan angkutan jalan rel. Anggaran pemerintah (melalui PT KAI) bukan hanya untuk membangun jalan rel, melainkan juga untuk terminal/stasiun, rambu dan sinyal, serta lok dan gerbong, termasuk pemeliharaan dan perawatannya.Sebagaimana komersialisasi di sepanjang koridor jalan (raya), ruang bandara, ruang pelabuhan, tidak salah jika ada gagasan komersialisasi ruang stasiun KA karena di sepanjang jalan rel justru harus bebas hambatan. Yang perlu menjadi pertimbangan adalah sifat layanan jasa KA dan pangsa pasar jasa KA.Gagasan membuat stasiun KA seperti bandara tidak mungkin sekadar mencontek. Jasa ”pegel” jelas tetap dibutuhkan masyarakat pengguna jasa angkutan KA. Keberatan pada ketidaktertiban mereka bisa diatasi dengan ketegasan, kejelasan aturan, dan konsistensi penertiban.Pendekatan revitalisasi dengan cara menggusur ”pegel” jelas berisiko. Revitalisasi seharusnya justru memberdayakan ”pegel” dan jadi bagian tak terpisahkan dari layanan jasa KA. Sasaran utama sama: memberikan kenyamanan kepada penumpang dan membuat usaha ”pegel” bisa tumbuh ideal. Bantu ”pegel” agar mampu membantu operasi KA.Sumber dana lain bagi PT KAI yang selama ini tampak terabaikan adalah aset berupa lahan. Di Pulau Jawa dan Sumatera, aset lahan KA luar biasa besar, tetapi telah berpuluh tahun tidak dikelola serius. Dalam hal ini, negara harus ”turun tangan”.PT KAI, sejak zaman Djawatan Kereta Api sampai menjadi PT KAI, tidak mampu menguasai aset tanah ini, bahkan tidak terhitung yang sudah lepas dari dokumen KA. Aset PT KAI adalah aset negara, tetapi siapa yang akan peduli jika negara juga tidak peduli?KA adalah moda angkutan yang melayani kebutuhan mobilitas sehari-hari di daerah perkotaan semacam Jabodetabek dan angkutan jarak jauh yang murah bagi masyarakat pada umumnya. Sangat disayangkan jika kelas ekonomi dihapus hanya karena memburu laba finansial, tetapi ”tidak memperhitungkan” keuntungan nonfinansial dan keuntungan turunan dari operasi jasa KA.Tulang punggung sistem transportasi pulau khususnya pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sebagian Papua) seharusnya bukan hanya jalan raya, melainkan justru KA yang perlu diutamakan. Angkutan jalan raya seharusnya diposisikan sebagai angkutan alternatif dan angkutan pengumpan.Perlu KonsekuenKA adalah jasa pelayanan guna memperlancar mobilitas orang dan barang. Jasa angkutan ini mengharapkan keuntungan tidak langsung berupa efek rambatan dari terselenggaranya jasa angkutan jalan rel.Pemerintah harus konsekuen melaksanakan konsep dana subsidi atau public service obligation (PSO) agar layanan jasa angkutan jalan rel dapat beroperasi dengan baik. Sumber dana selain subsidi melalui PSO adalah komersialisasi ruang terminal.Pemerintah juga harus segera turun tangan untuk mengembalikan aset negara berupa lahan yang secara historis adalah aset KA. Dengan demikian, PT KAI memiliki sumber pendanaan lain guna mendukung operasi layanan jasa KA.Komersialisasi ruang terminal (stasiun) harus tetap memperhatikan porsi bagi para ”pegel” sebagai bagian tak terpisahkan dari jasa layanan KA. Hal ini mengandung makna memberi ruang hidup bagi usaha kecil mengingat pangsa pasar jasa KA adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.Sasaran revitalisasi ruang stasiun seharusnya adalah (terutama) memberdayakan ”pegel” serta menciptakan kepastian dan ketenangan usaha, bukan ”menggusur” mereka dan menggantikan dengan pemodal kuat. ”Pegel” dan pemodal kuat dapat beroperasi berdampingan secara damai, bukan yang kuat ”mematikan” yang lemah. ● -
Defisit yang Sedikit Lebih Tinggi, Mengapa Tidak?
Defisit yang Sedikit Lebih Tinggi, Mengapa Tidak?Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE DAN DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIASumber : KOMPAS, 13 Februari 2012Seorang penulis Amerika Serikat yang sedih pernah menulis: kesempatan itu seperti matahari terbit, jika menunggu terlalu lama, ia akan hilang. Kalimat itu mengingatkan saya pada Indonesia hari ini. Betapa tidak, minggu lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 6,5 persen tahun 2011. Saya kira kita harus memberikan apresiasi terhadap prestasi ini. Namun, apakah 6,5 persen optimal?Saya jadi ingat Anne Booth dengan bukunya, Indonesia: A History of Missed Opportunities. Saya kira Booth benar. Tengok saja sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011. Cukup menggembirakan karena pertumbuhan secara imbang didorong oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Namun, kita melihat, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya 0,3 persen karena pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 3,2 persen. Seandainya pertumbuhan pengeluaran pemerintah dapat mencapai lebih dari 7 persen saja, pertumbuhan ekonomi 2011 akan mencapai 7 persen. Jika bisa tumbuh 15 persen seperti tahun 2009, pertumbuhan ekonomi akan mendekati 8 persen! Jika itu dialokasikan pada infrastruktur, kapasitas sisi penawaran akan meningkat sehingga ekspansi kredit Bank Indonesia tidak akan mendorong inflasi atau memanasnya perekonomian (overheating). Saat ini, setiap pertumbuhan ekonomi berada di atas 6,5 persen, neraca transaksi berjalan kita akan defisit. Perekonomian tak mampu menampung pertumbuhan yang tinggi.Itu sebabnya, pemerintah sebenarnya tidak perlu terlalu takut dengan defisit anggaran yang lebih besar jika dialokasikan untuk infrastruktur. Dengan rasio utang terhadap PDB yang berada di bawah 25 persen, ruang untuk ekspansi sebenarnya tersedia—tanpa risiko stabilitas makroekonomi. Dan kita tahu, toh, berdasarkan undang-undang, defisit anggaran tidak bisa lebih dari 3 persen. Dengan kondisi itu, sebenarnya situasi cukup aman karena defisit anggaran juga tidak bisa melompat terlalu besar sehingga meningkatkan rasio utang terhadap PDB dan membahayakan stabilitas perekonomian.Namun, kita tahu, pemerintah punya persoalan dalam membelanjakan uang. Penyebabnya antara lain Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 54) yang menyulitkan proses lelang, desentralisasi, serta kekhawatiran soal korupsi dan penyesuaian dengan sistem kinerja anggaran (budget performance). Belum lagi, ruang fiskal yang amat terbatas. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bisa menjadi pendorong perekonomian?Pertama, saya kira Perpres 54 perlu direvisi lagi. Revisi yang dilakukan baru-baru ini tidak banyak membantu. Proses lelang masih amat menyulitkan. Dalam merevisi perpres ini, lakukan simulasi dulu atau proyek percontohan untuk menguji apakah proses lelang menjadi lebih mudah atau tidak. Perpres tidak membutuhkan persetujuan parlemen. Jadi, ini sepenuhnya ada dalam wewenang pemerintah.Kedua, saya bersimpati dan mengerti sepenuhnya masalah keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Oleh karena itu, tingkatkan ruang fiskal dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan alokasikan dananya untuk infrastruktur atau program kemiskinan. Agar efektif dan jumlah ruang fiskal yang bisa diperoleh lebih besar, gunakan pilihan kenaikan harga, bukan pembatasan subsidi BBM.Ketiga, jika anggaran tetap tidak bisa diserap, apa yang bisa dilakukan secara cepat, efektif, dan efisien untuk meningkatkan defisit anggaran guna mendorong perekonomian? Jawabnya adalah berikan insentif pajak untuk pembangunan infrastruktur, terutama di Indonesia timur. Selain itu, juga turunkan tarif Pajak Penghasilan dan naikkan batas penghasilan tidak kena pajak. Kompensasinya bisa dilakukan dengan menaikkan jenis pajak lain.Dalam kasus Indonesia, kebijakan stimulus fiskal dengan memberikan potongan pajak akan efektif karena tiga hal: Indonesia adalah negara dengan penduduk muda. Penduduk muda akan lebih fokus kepada pendapatan saat ini dan bukan pendapatan masa depan sehingga tambahan pendapatan dari potongan pajak akan mendorong konsumsi. Selain itu, juga ada kendala akses pada kredit perbankan sehingga tambahan pendapatan akan digunakan untuk belanja. Satu hal lagi: kecenderungan belanja (marginal propensity to consume) masyarakat Indonesia masih relatif rendah karena penduduk masih relatif miskin. Itu sebabnya, potongan pajak akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi.Ingin bukti empiris? Salah satu alasan kebijakan yang membuat Indonesia selamat dari krisis keuangan global 2008 adalah stimulus fiskal. Tidak banyak yang menyadari bahwa 61 persen dari stimulus tahun itu diberikan dalam bentuk potongan pajak. Basri dan Rahardja (akan terbit) menunjukkan bagaimana efektifnya kebijakan itu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kesempatan untuk tumbuh lebih tinggi amat terbuka. Belum lagi kebijakan membuka keran likuiditas di Eropa saat ini—guna mengantisipasi krisis Eropa—dalam jangka menengah akan mendorong modal mengalir kembali ke Indonesia.Itu sebabnya, pertumbuhan di atas 8 persen atau 9 persen bukan hal yang mustahil. Tanpa itu, masuknya Indonesia dalam peringkat investasi tidak akan berarti banyak. Dan kesempatan ini hanya terbuka sampai tahun 2025 sebelum ia hilang karena menurunnya potensi pertumbuhan akibat persoalan usia lanjut. ● -
Kuasa Politik Vs Hukum
Kuasa Politik Vs HukumGunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA SE-MARANG, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUMSumber : SUARA MERDEKA, 13Februari 2012BABAK baru pemberantasan korupsi korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi harapan segar tentang masa depan penegakan hukum di Indonesia, setelah penangkapan Nunun Nurbaetie, penetapan status Miranda Swaray Goeltom, dan bergeraknya pengungkapan kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang yang menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka.Berbagai pihak meyakini bahwa penetapan Angie yang notabene merupakan bagian dari kelompok penguasa merupakan entry point untuk merambah pada aktor-aktor besar yang notabene adalah kelompok yang tergabung dalam oligarki kekuasaan. Tanpa bermaksud prejudice, selama ini dan sudah jadi keyakinan umum bahwa kekuasaan (power) merupakan entitas yang paling potensial untuk mereduksi supremasi hukum.Panggung sejarah dunia mana pun, banyak menampilkan bukti betapa kekuasaan telah mengancam eksistensi hukum dengan beragam intervensi, termasuk di Indonesia. Maka wajar jika kemudian, agenda-agenda penegakan hukum seringkali mengalami pelemahan secara de facto jika dihadapkan pada kekuatan lapisan kelompok pengusa. Dengan demikian, penuntasan kasus wisma atlet ini menjadi penting secara hukum, bukan saja sebagai simbol komitmen pemberantasan korupsi melainkan lebih penting dari itu, juga sebagai wujud pertarungan antara hukum dan kekuasaan.Kuasa PolitikSejak gegap-gempita demokrasi berdentang keras dan kekuasaan politik secara langsung dilegitimasi rakyat, muncul kesan bahwa otoritas politik begitu kuat mewarnai berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak ada segmen kehidupan kita yang tidak bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung dengan berbagai kebijakan politik, termasuk dunia hukum. Pasalnya, hukum merupakan produk politik yang dikreasi melalui sistem keterwakilan di lembaga-lembaga parlementer.Meski konsepsi ini tidak sepenuhnya mampu menampung keluasan dimensi hukum, secara mekanistik memang dibenarkan bahwa hukum itu merupakan produk politik melalui sistem parlementer. Menurut Montesque, dalam konsepsi trias politica, diharuskan terjadinya pemisahan dan pendistribusian kekuasaan dalam tiga pilar (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan segala peran dan fungsinya masing-masing.Tetapi, idealita konsepsi trias politica itu tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan praksis, mengingat kekuasaan ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar pemisahan dan pendistribusian kekuasaan semata. Sebab, kekuasaan juga menyangkut relasi-relasi yang lebih rumit seperti kehendak mempertahankan kekuasaan, memperoleh kekuasaan secara pintas, mendapatkan kekuasaan secara lebih luas dan sebagainya. Akibatnya medan politik benar-benar riuh oleh berbagai macam pertarungan kepentingan.Sayang, dalam konteks Indonesia, kegaduhan medan politik ini tidak diimbangi dengan kematangan politik yang cukup. Akibatnya, politikus yang sekaligus para pemangku kuasa negara terjebak dalam sejumlah perilaku dan tindakan shock culture seperti ambisi cepat kaya dengan menyalahgunakan kewenangan, penyimpangan kekuasaan, dan bahkan terkurung dalam hedonisme kekuasaan yang teramat melampaui batas.Kecenderungan-kecenderungan seperti inilah yang kemudian membuat supremasi politik (para politikus) menjadi sangat dominan. Lebih jauh, dominasi politik ini juga membentuk warna tersendiri berupa terjadinya transaksi kewenangan yang dipertukarkan untuk saling mempengaruhi dan saling mengamankan satu dengan yang lain. Fenomena ini dapat dibaca misalnya ketika DPR hendak membonsai kewenangan KPK karena begitu banyaknya anggota parlemen yang terseret kasus korupsi.Kuasa HukumBerbeda dari kuasa politik yang bertumpu pada otoritas, kuasa hukum bertumpu pada keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Prof Satjipto Rahardjo secara ilustratif menggambarkan dunia hukum sebagai sebuah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. ● -
Kinerja Ekonomi 2011
Kinerja Ekonomi 2011Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, PENGAMAT EKONOMISumber : SINDO, 13 Februari 2012Pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan tentang produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal IV/2011, sekaligus melaporkan kinerja perekonomian sepanjang tahun lalu.
Beberapa hal yang menarik perhatian saya tentang kinerja perekonomian tersebut menjadi basis penulisan artikel ini. Dewasa ini bisa dikatakan hanya segelintir negara yang memiliki kinerja perekonomian bagus. Secara global, Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan beberapa kali melakukan revisi ke bawah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Bahkan China, misalnya, juga dilaporkan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, meski masih berada pada level yang tinggi.Demikian juga India yang awalnya didera pemanasan ekonomi, akhirnya mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi setelah Bank Sentral India (RBI) menaikkan suku bunga 13 kali dalam 20 bulan. Dengan keadaan seperti itu, rasanya merupakan karunia yang besar dapat melihat perekonomian Indonesia tumbuh 6,5% sepanjang 2011, lebih tinggi dibandingkan 6,1% pada tahun sebelumnya.Keadaan ini merupakan suatu anomali bagi perkembangan ekonomi dunia, sehingga Indonesia serta-merta semakin masuk dalam radar investor global.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perekonomian Indonesia mampu tumbuh lebih tinggi lagi? Untuk pertanyaan semacam ini,saya senantiasa memiliki jawaban “ya”. Jawaban ini terkait potensi pertumbuhan ekonomi kita yang memang memungkinkan untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Jika pemerintah mampu mengoptimalkan anggarannya untuk pengeluaran yang lebih produktif, misalnya lebih banyak melakukan pembangunan infrastruktur, kinerja ekonomi Indonesia pasti akan lebih baik dari yang kita capai ini.
Di lain pihak, saya juga berpendapat data statistik perekonomian kita rasanya masih mengandung pelaporan di bawah yang sebenarnya di sana-sini. Ini berarti, PDB yang dilaporkan sebesar Rp7.427,1 triliun (berdasarkan harga berlaku) sebetulnya lebih tinggi lagi. Untuk poin kedua, saya dapat menggunakan contoh sangat mencolok,yaitu subsektor perkebunan. Subsektor ini pada 2010 dilaporkan menyumbang PDB (berdasarkan harga yang berlaku) Rp135,3 triliun.
Saya belum memiliki angka detail untuk sepanjang 2011. Namun sampai kuartal III/2011, sumbangan PDB subsektor perkebunan mencapai Rp121,3 triliun. Sangat mungkin sumbangan subsektor tersebut sepanjang 2011 lebih dari Rp140 triliun. Mengingat sektor ini mencakup begitu banyak tanaman, seperti kelapa sawit, karet, cokelat, kopi, teh, rempah-rempah, yang sepanjang 2011 menghasilkan angka ekspor lebih dari USD40 miliar, agak aneh jika sumbangan PDB subsektor tersebut hanya dilaporkan Rp140 triliun.
Jika kita ambil kelapa sawit saja, pada 2011 lalu produksi kelapa sawit Indonesia lebih dari 23 juta ton.Jika rendemen kelapa sawit sebesar 23% (ini sudah suatu angka yang tinggi karena umumnya di sekitar 20%), maka untuk menghasilkan 23 juta CPO diperlukan 100 juta ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Sepanjang 2011, harga TBS pada level petani saja umumnya berada di sekitar Rp1.400–1.700 per kilogram.Ini berarti untuk 100 juta ton menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp155 triliun (angka rata-ratanya).
Jika angka tersebut dikurangi dengan pupuk dan obat hama, sangat mungkin dari kelapa sawit saja dihasilkan sumbangan PDB sekitar Rp140 triliun, kurang lebih sama dengan sumbangan PDB seluruh subsektor perkebunan sesuai data BPS tersebut. Lalu bagaimana dengan karet,cokelat, teh,dan produk perkebunan lainnya yang pada 2011 lalu juga tumbuh melimpah? Secara kasar, saya memperkirakan PDB subsektor perkebunan tersebut paling tidak dua kali lipat dari data yang dilaporkan saat ini.
Jika dilihat dari sisi penggunaannya (expenditure side), kinerja perekonomian 2011 sungguh patut disyukuri.Pada tahun 2011 yang lalu, investasi (yaitu Pembentukan Modal Tetap Bruto) naik lebih dari 8,8%,sehingga pangsanya mencapai lebih dari 32% seluruh PDB.Dalam keadaan investasi yang meningkat demikian tajam, umumnya sektor eksternal (yaitu neraca pembayaran) kita bisa menghadapi ancaman.Namun yang terjadi, neraca perdagangan Indonesia masih surplus hampir USD12 miliar.
Ini terjadi karena ekspor juga meningkat sangat tinggi, yaitu sebesar 13,6%, sementara impor “hanya”naik 13,3%.Perkembangan tersebut membuat perekonomian Indonesia berkembang menjadi semakin sehat dan berimbang.Pangsa konsumsi masyarakat menjadi sebesar 54,6%,sementara pangsa investasi mencapai 32% dan ekspor mencapai 26,3%, sedangkan konsumsi pemerintah hanya 9%. Khusus untuk konsumsi, pangsanya turun cukup tajam dibandingkan tahun 2004 yang lebih dari 60% PDB, sementara investasinya pada tahun 2004 hanya sekitar 20% dari PDB.
Jika dilihat dari lapangan usahanya,tampak pertumbuhan yang tertinggi masih disumbangkan oleh sektor jasa-jasa, terutama komunikasi dan transportasi yang sebesar 10,7%. Data inilah yang sertamerta memancing komentar, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas. Jika kita menilik datanya lebih lanjut, pada 2011 lalu sebetulnya merupakan turning point bagi industri pengolahan.
Setelah sejak 2005 pertumbuhan industri pengolahan nonmigas berada di bawah pertumbuhan ekonomi pada umumnya sehingga menimbulkan istilah “deindustrialisasi”, maka pada 2011 lalu industri pengolahan nonmigas telah mencapai pertumbuhan sebesar 6,8%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi keseluruhan yang mencapai 6,5%. Ini berarti, fenomena “deindustrialisasi” sudah tidak terjadi lagi saat ini.
Bahkan kalau kita melihat sumbangan industri pengolahan dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 1,6%,yaitu sama dengan sumbangan sektor perdagangan, hotel, dan restoran, maka kita melihat kemungkinan terjadinya peningkatan lebih lanjut dari sumbangan sektor Industri pengolahan pada 2012 menjadi lebih besar. Jika pada tahun 2012 ini sumbangannya menjadi paling tinggi, kita semakin layak untuk mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi kita bukan tidak mungkin sebentar lagi akan dihela oleh sektor industri pengolahan, atau yang seringdikatakan sebagai industry led growth.
Dengan berbagai karakter tersebut, kinerja ekonomi Indonesia pada 2011 sungguh sangat membesarkan hati. Mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 2011 sebagai tidak berkualitas, pada akhirnya merupakan suatu pernyataan yang sungguh mengerdilkan prestasi kita sendiri.
● -
Korporatokrasi Pangan
Korporatokrasi PanganKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT, PENULIS BUKU IRONI NEGERI BERASSumber : SINDO, 13 Februari 2012Hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, tengah menghadapi ancaman korporatokrasi. Korporatokrasi adalah gabungan kekuatan korporasi, institusi keuangan internasional (IMF, Bank Dunia), dan pemerintah yang menyatukan kekuatan finansial dan politik guna memaksa warga dunia mengikuti kehendak mereka.Korporatokrasi bisa terbentuk apabila ada kekuatan lokal yang loyal dan bertindak sebagai komprador. Gejala ini sudah merasuk di banyak negara,termasuk Indonesia. Hampir semua sektor, termasuk pertanian, sudah dijamah. Pemaksaan korporatokrasi tidak dilakukan lewat cara-cara kekerasan (koersif) seperti era kolonialisme di masa lalu. Contohnya era VOC (1602–1800) dengan praktik Tanam Paksa (1830–1870) di Indonesia. Sebagai gantinya, korporasi memakai mekanisme pasar untuk memuluskan praktik penjajahan.Praktik itu antara lain ditandai munculnya sistem rantai pangan(agrifoodchain) olehkorporasi multinasional (MNCs). Sistem ini menghubungkan mata rantai sejak dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (price procurement). Artinya, sektor pangan—mulai produksi, perdagangan,pengolahan hingga pasar ritel—tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga semakin terkonsentrasi. South Center (2005) merilis data yang menyebutkan bahwa 85–90% perdagangan pangan dunia dikontrol hanya oleh 5 MNCs.
Kontrol
Dengan penguasaan pasar (hampir monopoli mutlak) MNCs bisa mengontrol harga input pertanian,mempraktikkan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga supermurah. Sebagai ilustrasi,Wal-Mart di Amerika Serikat misalnya memanfaatkan suplai yang berlebih untuk mendepak pemasok lama dan menekan harga pisang dari 1,08 euro (2002) menjadi 0,74 euro (2004).Akibatnya, petani pisang di Kostarika sebagai pemasok merugi dan tidak bisa membayar buruh dengan upah minimum layak. Sebab, tiap USD1 harga pisang di Kostarika 57% jatuh ke MNCs. Untung besar (windfall profit) diraih korporasi dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi serta menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot. Sebaliknya,harga yang dibayar oleh konsumen untuk produk olahan atau produk jadi terus meningkat.
Jadi, mekanisme pasaryangdidesainkorporasitidak hanya merugikan petani,tetapi juga memeras konsumen. MNCs juga memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia untuk memuluskan tujuan. Di bawah tekanan dan lobi-lobi korporasi atas nama globalisasi, IMF dan Bank Dunia mendesak pemerintahandibanyaknegara agar menerapkan kebijakan neoliberal.Pemerintah dipinggirkan dan bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan jadi domain negara.Noreena Hertz (1999) menyebut gejala ini sebagai “peng-ambilalihan diam-diam”(silent take-over).
Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga.Kini,setelah mengadopsi sistem monokultur, petani tergantung asupan kimiawi dan paket teknologi korporasi global yang memonopoli dua pertiga pasar global pestisida dan seperempat penjualan bibit g l o b a l ber i k u t patennya.Kebijakan led-export production berdampak langsung pada terciptanya situasi-situasi genting ini: ratusan juta petani guremyang dulunya mandiri, petani kehilangan tanah,kehilanganpekerjaan,kehilangan sumber pangan dan kelaparan.
Pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta,Juni lalu,Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi multinasional seperti Nestle,Monsanto, Cargill,Unilever,dan Danone. Mereka bersedia menjadi pembeli produk pangan asal Indonesia.
Bahaya Mengintai
Bukan hal baru terjalin kerja sama petani dan korporasi. Sebagai pencetak laba, juga bukan hal baru korporasi bisa meraih keuntungan dari bahan baku yang dihasilkan petani. Masalahnya, patut disayangkan, cara meraih kekayaan dilakukan dengan memeras keringat petani sampai habis tanpa memberi imbalan yang sepadan.Korporasi multinasional pertama di negeri ini, VOC,adalah catatan yang baik ihwal sejarah eksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani, oleh korporasi.
Bahaya mengintai pertanian Indonesia.Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk pangan lokal yang mereknya moncer di pasar?
Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Jika kekhawatiran saya itu terjadi, ini artinya kita kembali mengundang kolonialisme yang dengan sekuat daya (tenaga, harta, dan nyawa) diusir para founding fathers dari negeri tercinta.
● -
Jangan Pangkas Subsidi BBM
Jangan Pangkas Subsidi BBMAhmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RISumber : SINDO, 13 Februari 2012Jika semata-mata karena tekanan subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012,alasan pemerintah sangat lemah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Pemerintah harus membenahi dan meningkatkan dulu efektivitas pengelolaan APBN serta mempertanggungjawabkan progres dari proyek energi terbarukan (renewable energy). Jangan lagi mengurangi subsidi BBM untuk rakyat. Benar bahwa subsidi BBM terus menggelembung pada APBN 2012 akibat meningkatnya konsumsi rakyat.Itu sebuah konsekuensi logis. Lalu, apa yang salah dari kontinuitas peningkatan konsumsi BBM itu?Peningkatan konsumsi BBM harus diterjemahkan sebagai mobilitas rakyat untuk menjangkau dan mendapatkan sedikit bagian dari kue pembangunan yang tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kalau tidak mobile atau diam dan hanya menunggu di rumah, rakyat kecil tidak akan mendapat bagian dari kue pembangunan yang pendistribusiannya memang tidak merata. Rakyat kecil berhak menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,5%.
Tidak Merata
Mengacu pada realitas kehidupan mayoritas rakyat,bisakah pemerintah menyebutkan dan mengidentifikasi berapa banyak rakyat Indonesia yang bisa menikmati tingginya pertumbuhan ekonomi tanpa harus membanting tulang di tengah minimnya lapangan kerja yang tersedia? Hanya segelintir. Kalau kemacetan dan peningkatan volume penjualan mobil dijadikan ukuran untuk memotret perbaikan kesejahteraan rakyat,jumlahnya hanya ratusan ribu. Hingga November 2011 penjualan mobil di dalam negeri hanya 810.765 unit. Jumlah ini tidak semuanya dibeli oleh rumah tangga.Boleh jadi, sebagian besar dibeli oleh perusahaan. Bandingkan dengan volume penjualan sepeda motor.Hingga November 2011, volume penjualan sepeda motor anggota Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) sudah mencapai 7,5 juta unit. Lebih dari 90%-nya dibeli rumah tangga secara kredit. Ayah, ibu, dan anak berboncengan mengendarai sebuah sepeda motor sudah menjadi pemandangan sehari-hari, baik pada lalu lintas perkotaan yang padat dan semrawut maupun di pelosok-pelosok desa yang lebih lengang.
Itu membuktikan bahwa tidak banyak dari seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi tadi. Menurut Badan Pusat Statistik ( BPS), jumlah penduduk hampir miskin mencapai 5 juta jiwa per 2011.Pertambahan 5 juta jiwa itu berasal dari 1 juta penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin dan 4 juta penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin. Selama tiga tahun terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten.
Per 2009, penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa, sekitar 8,99% dari total penduduk.Per 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88% dari total penduduk Indonesia.Tahun lalu, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28% dari total populasi. Kalau subsidi BBM mulai dikurangi April 2012,eksesnya akan sangat luar biasa.Jumlah penduduk miskin dipastikan bertambah secara signifikan. Mereka akan sangat menderita karena penurunan subsidi atau kenaikan harga BBM premium dan solar selalu diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Karena itu,nafsu untuk menaikkan harga BBM premium dan solar harus dilawan. Rakyat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak proposal kebijakan menaikkan harga BBM premium dan solar yang diajukan para menteri ekonomi di kabinet.Sebab, sesuai dengan kapasitasnya sebagai regulator dan pelayan rakyat,pemerintah tidak boleh hanya memprioritaskan keseimbangan APBN dalam mengatur ketersediaan bensin premium dan solar.
Kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas pemerintah. Kalau para menteri ekonomi cerdas dan bijaksana, demo aliansi buruh di Cikarang, Jawa Barat,pekan lalu, sudah menjelaskan banyak aspek tentang kehidupan akar rumput di republik ini.Artinya, kalau harga bensin premium dan solar dinaikkan, para buruh bersama anak-istri mereka akan sangat menderita karena nilai tukar pendapatan mereka akan turun tajam akibat naiknya harga kebutuhan pokok.
Minyak Jarak
APBN tidak akan mengalami tekanan serius jika pemerintah efektif mengelolanya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, efektivitas pengelolaan APBN dirasakan makin buruk, ditandai dengan penyerapan yang lamban dan tingginya persentase kebocoran akibat perilaku korup oknum birokrat.Kalau kebocoran itu bisa ditekan dan keseimbangan bisa terjaga, subsidi BBM tidak akan merusak keseimbangan APBN.
Artinya, sebelum mengambinghitamkan subsidi BBM sebagai faktor perusak keseimbangan APBN, pemerintah seharusnya berintrospeksi.Berapa besar anggaran yang terbuang begitu saja akibat ketidakmampuan pemerintah sendiri mencegah kebocoran. Remunerasi yang gagal mencegah kebocoran harus dikaji lagi karena mulai dirasakan sebagai pemborosan. Selain itu, pemerintah juga harus mempertanggungjawabkan progres dari program pengembangan energi alternatif.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 5/ 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Perpres tadi ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Menindaklanjuti Inpres No 1/2006 itu, dialokasikan anggaran Rp300 miliar untuk sejumlah proyek, antara lain dialokasikan Rp70 miliar untuk membangun empat pabrik pengolah biodiesel berbahan minyak jarak dan minyak kelapa sawit mentah atau CPO oleh Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pemerintah harus menjelaskan kepada rakyat tentang sejauh mana perkembangan proyek percontohan pengembangan energi alternatif yang telah dilakukan. Setelah empat pabrik pengolah biodiesel tadi, selanjutnya apa? Sejauh ini,pemerintah belum memperlihatkan kesungguhan mendalami energi alternatif. Padahal, pengembangan minyak jarak yang dilakukan pakar dari ITB sejak 1997 sudah mencatatkan progres signifikan.
Beberapa institusi (perusahaan) swasta bahkan serius dan konsisten memproduksi minyak jarak. Masyarakat di beberapa daerah pun sudah diajak menanam pohon jarak. Jika pemerintah menggagas dan bertekun pada proyek minyak jarak, ketergantungan pada BBM bisa dikurangi sehingga beban persoalan energi nasional pun bisa direduksi.
● -
Koruptor Generasi Kedua
Koruptor Generasi KeduaMohamad Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIASumber : SINDO, 13 Februari 2012Apa kata paling tepat untuk menggambarkan tingkah laku para pejabat—terutama anak-anak muda—yang sangat dekat keterlibatannya dengan korupsi selain “memalukan”, “nista”, “ironis”, dan “menjengkelkan”?
Memalukan tepat karena mereka bagian dari generasi yang mengutuk orang-orang Orde Baru yang korup, yang dianggap tak tahu malu. Mengapa mereka sekarang— hanya dalam waktu begitu pendek—malah menjadi jauh lebih memalukan karena mereka boleh jadi lebih serakah dari para tokoh yang mereka kutuk? Jadi, kata memalukan tepat untuk menggambarkan keburukan mereka. Kata kedua,“nista”, juga tepat karena anak-anak itu baru menginjak usia empat-lima puluhan tahun dan dalam posisi berkuasa.Mengapa serakah dan buru-buru ingin menjadi sangat kaya, lebih dari orang-orang Orde Baru yang mereka kutuk?Dalam posisi seperti mereka, tidak korup pun hidup dengan sendirinya jauh dari kecukupan. Bahkan mewah. Apa lagi yang dicari? Gerak-gerik mereka mengerikan. Dalam waktu pendek mungkin bisa mereka menguras kekayaan Tanah Air untuk digondol ke luar negeri. Keserakahan itu sebuah kenistaan yang nyata. Kata ketiga, “ironis”, tak kurang tepatnya. Mereka itu anak-anak yang hidup di dunia agama, anak pesantren, dekat kiai, diajari mengaji, dan dalam mengaji itu ditegaskan korupsi haram jadah dan dari sudut rohaniah mereka sendiri mengutuk buruknya korupsi.
Tapi mereka korup secara memalukan tadi. Kalau kita tahu latar belakang mereka preman jalanan sejak kecil dan bahwa perkara merampok, menjarah rayah milik orang dianggap bukan masalah,maka melihat mereka terlibat korupsi kita tidak akan kaget, tidak akan heran, dan—sekali lagi—tak merasakan adanya “ironi”itu. Kata keempat, “menjengkelkan”, siapa bilang tidak tepat menggambarkan ulah mereka? Para mantan tokoh dan yang bahkan memimpin organisasi Islam untuk kalangan pemuda dan mahasiswa dan kesan luarnya begitu saleh,begitu santun dan lembut, tapi mengapa diam-diam membiarkan dirinya terlibat perkara haram yang diketahuinya dengan baik sejak kecil?
Pengetahuan mendalam— sebagai tokoh gerakan keagamaan di kalangan pemuda dan mahasiswa tadi—tentang halal-haram itu apa relevansinya dengan hidup? Mengapa masih muda sudah munafik, sudah memperlihatkan pertentangan tajam antara pengetahuan dan tindakannya? Ini perkara sangat menjengkelkan karena bukankah berarti mereka menjual agama dan pengetahuan keagamaan mereka dengan murah meriah, di depan jutaan rakyat?
Ada bahkan yang mengatakan kepada wartawan, “Lho, apa salahnya kaya?” Betapa naif sikapnya. Kaya itu sudah salah bagi orang yang latar belakangnya miskin dan tibatiba hidupnya berlimpah harta. Salah sekali.Kecuali dari kecil sudah memperoleh warisan kekayaan Nabi Sulaiman. Sikap sopan, lembut, berpeci ke sana-kemari, tapi tak merasa malu menjadi kaya, bahkan kelihatannya tak malu diketahui publik kemungkinan keterlibatannya dalam korupsi besar dan luar biasa, apa ini bukan perkara ”menjengkelkan”? Bahkan “sangat menjengkelkan” seperti disebut di atas?
Dalam kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dan kasus Wisma Atlet, jelas terlihat bahwa koruptor generasi kedua lebih serakah, lebih lihai—tapi lihai dalam kejahatan untuk apa dikagumi—dan lebih cekatan menghindar ke sana-kemari. Yang tak menghindar, tinggal di dalam negeri, dengan pura-pura kalem, pura-pura sopan, dan menganggap tuduhan pada diri mereka hanya khayalan,hanya dongeng,karena mereka semua memiliki posisi penting, kuat, dan ada kedekatan dengan Presiden, yang baru kemarin sang Presiden mengatakan akan membiarkan yang dituduh korup tetap dalam posisi mewahnya dan tak akan bertindak apa pun.
Presiden, yang berteriak hendak mengganyang sendiri korupsi dari negeri ini dan siapa pun yang ditugasinya harus melaporkan kepadanya apa yang ditemukannya, kini, ketika suara bangsanya sudah gemuruh karena jengkel kepada para koruptor yang dekat dengan dirinya, malah diam saja. Apa yang bisa diharapkan dari presiden macam ini? Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro untuk menghajar penjajah Belanda membikin guncang pemerintahan kolonial di sini.
Kalau kita mendapat sekali lagi presiden yang rapi dan halus tingkah laku maupun rambutnya, maka dalam lima tahun pemerintahan yang akan datang keuangan negara juga bisa guncang seperti keuangan Belanda di masa Perang Diponegoro. Guncangnya keuangan Belanda kita syukuri, tapi bagi kita akan menjadi ancaman bila generasi para koruptor sekarang berkuasa lebih lama. Negara bangkrut karena keserakahan para pejabat—dan mereka orang muda—apa tak akan mengenaskan?
Sopan, lembut, seperti tak berdosa, dan penuh tata krama, apa gunanya kalau tindakannya mengacaukan perekonomian negara? Mungkin lebih baik orang pencilakan atau bedigasan, pendeknya tidak sopan, tapi hidup apa adanya, dan tidak penuh kepura-puraan. Lain kali, hati-hati memilih orang sopan, orang lembut, seperti tak berdosa, dan hatihati pula memilih orang yang rapi jali dan penuh pretensi untuk disebut bersih, yang kelihatan bijak tapi penakut dan malas mengambil risiko jabatan.
Dalam keseluruhan, di antara empat kata di atas, kata “ironis” bisa juga dipakai menilai kebijakan pemerintah. Presiden yang sudah dengan gagah berani berjanji hendak mengganyang korupsi di negeri ini, tapi kenyataannya pemerintahan ini mungkin bisa disebut yang paling korup di antara semua pemerintahan sebelumnya, selama masa Reformasi.
Tuhan, rupanya Engkau pun ditipunya dengan ikrar tak bermakna apa-apa tersebut. Maka, saya kira, kita harus bertindak mengawal ketat, dari jarak dekat dan kritis, agar semua kasus korupsi, sejak kasus Bank Century, dibongkar kembali. Jangan biarkan koruptor generasi kedua merajalela.
●