Yang cukup menggembirakan para peserta, pada kesempatan itu dihadiri banyak kalangan pemuda yang bersemangat menyimak bahkan berpartisipasi di dalamnya.
Penolakan atas putusan yang ditandatangani Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso itu, baik oleh tokoh maupun yang mengatasnamakan institusi, adalah sketsa buram terhadap fobia hidup tanpa gelar. Padahal, semat gelar belum tentu linier dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki.
Padahal, tidak ada yang salah dengan kewajiban menerbitkan karya pada jurnal ilmiah sebagaimana tiga poin yang menjadi syarat lulus. Pertama, untuk lulus program sarjana, mahasiswa harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, untuk lulus program magister, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Ketiga, untuk lulus program doktor, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Keputusan tersebut justru akan meningkatkan kapasitas keilmuan dan kualitas serta kekuatan bangsa karena menstimulus insan-insan akademik untuk melakukan eksplorasi lebih terhadap gagasan-gagasannya. Jika pun merasa terpaksa, ada upaya membangkitkan kultur membaca, menulis, riset, ataupun diskusi.
Menurut Edison Munaf (2011), pada 2010, total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel; jauh dibandingkan Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti kita juga sangat rendah. Itu hanya mencapai 7,9 artikel per sejuta penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang menghasilkan 2.581 artikel, diikuti Malaysia (300), Thailand (201), Pakistan (39), Vietnam (20,9), Bangladesh (10,7), serta Filipina (9,2). Padahal, jumlah mahasiswa, baik pada tingkat S-1, S-2, maupun S-3, kian tahun kian besar, yaitu 4,8 juta menurut Mendikbud Muhammad Nuh.
Dalam catatan LIPI, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000; hanya 4.000 jurnal yang terbit rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi (kompas.com). Dengan mensyaratkan penerbitan karya ilmiah sebagai syarat lulus dari universitas, jurnal-jurnal dan budaya ilmiah bisa kita harapkan bangkit.
Diakui atau tidak, gelar akademik yang mestinya “sakral” kini menjadi komoditas. Baik oleh pegawai yang ingin naik jabatan kemudian secepat kilat mengejar gelar maupun oleh politisi. Peraturan di instansi (pemerintah maupun swasta) sering kali mensyaratkan gelar untuk posisi tertentu. Hal ini membuka celah “pelacuran intelektual” obral gelar.
Pun, kini banyak politikus yang tiba-tiba memiliki jejeran gelar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Siapa tahu mereka ”membeli” gelar untuk kepentingan politik. Misalnya, menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Juga sekadar untuk gagah-gagahan agar terkesan intelek dan layak jual dalam pasar politik yang kian kompetitif dan kompleks.
Gelar instan tersebut tentu tetap melalui prosedur. Tetapi, prosedurnya telah dilicinkan dengan fulus; diperoleh dari perguruan tinggi swasta karena aturannya fleksibel. Mutu “industri gelar” itu sulit dipertanggungjawabkan di depan publik.
Bila aturan baru itu berlaku, konsekuensi atas pertanggungajawaban integritas gelar sebagai output menempuh pendidikan tidak hanya dipikul perguruan tinggi yang bersangkutan. Dikti atau LIPI sebagai lembaga yang mengakreditasi suatu jurnal, lembaga pengelola jurnal yang menerbitkan karya sang penulis, wajib ikut memberikan solusi. Dampaknya akan positif bagi kita semua. Pembuktian lewat karya ilmiah itu juga menjadi kontribusi para penyandang gelar sarjana, magister, ataupun doktor kepada dunia akademik dan masyarakat secara umum.
Kita harus tetap objektif bahwa tidak semua universitas memiliki infrastruktur yang mendukung untuk memberlakukan edaran Dikti tersebut. Tidak semua universitas memiliki jurnal ilmiah cetak. Maka, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemberlakuan secara bertahap dan fleksibel. Misalnya, membolehkan diterbitkan secara online (Mendiknas di Jawa Poskemarin) atau diterbitkan di media lain seperti majalah atau diringkas dalam bentuk artikel, namun tetap relevan dengan karya tersebut. Aturan fleksibel mengenai bentuk jurnal itu sekaligus menjawab keresahan akan terbatasnya jurnal cetak yang ada. ●
Yang ideal pemerintah mampu menjadikan kondisi semua yang berkepentingan itu lebih baik (pareto optimal). Paktiknya, sangatlah sulit itu direalisasikan. Karena kebijakan tidak akan diterima 100 persen oleh seluruh masyarakat, perlu red alert (siaga merah) kesigapan pemerintah untuk meredam dampak negatifnya. Kebijakan pembatasan BBM itu -rencananya mulai 1 April 2012- perlu diikuti pertanyaan: apa yang akan terjadi? Siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan?
Ketegasan Pemerintah
Tujuan utama pembatasan konsumsi BBM ialah mengurangi subsidi bagi masyarakat berpendapatan tinggi, khususnya yang bermobil pribadi dan berpelat hitam. Kebijakan itu terlalu ambisius. Sebab, persepsi saat ini, kesiapan pemerintah masih lemah dalam menilai dampak kebijakan itu. Penggeseran penggunaan BBM ke BBG (bahan bakar gas) melalui penyediaan converter mempertanyakan kesiapan industri dalam negeri untuk memproduksi; atau kalau harus diimpor, siapa pelakunya dan apa bisa cepat?
Keterlambatan pengambilan keputusan akan memaksa para pelaku usaha bertindak ”menyelamatkan” usahanya. Muncul ketidakpastian (uncertainty). Kemungkinan meledak pasar gelap BBM oleh para spekulan. Belum lagi, siapa yang menjamin kejujuran dan keamanan di SPBU saat konsumen dipaksa berpindah ke pertamax? Hal yang paling tidak terkontrol adalah munculnya spekulasi para pelaku ekonomi demi keuntungan sendiri. Spekulasi yang seperti itu meningkatkan angka inflasi yang menghantam keras perekonomian kita yang cukup baik selama lima tahun terakhir.
Muncul juga pertanyaan mengapa harus berpindah ke pertamax, yang berarti kita harus impor; siapa yang harus mengimpor? Semua spekulasi tersebut akan terus berkembang dan seharusnya pemerintah ”hadir secara tegas” untuk meredamnya.
Ancaman Inflasi
Di Jawa Timur, konsumsi BBM cukup tinggi, bahkan merupakan salah satu lima provinsi penyedot terbanyak kuota BBM nasional setelah DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Pengurangan penyediaan BBM bersubsidi akan berpengaruh terhadap kinerja sektor utama perekonomian Jatim seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri, serta jasa. Di Jatim, kuota BBM bersubsidi 2011 sekitar 4,9 juta kl (kiloliter). Melihat geliat perekonomian Jatim yang terus meningkat, diperkirakan tingkat konsumsi naik sebesar 3,8 persen. Pertumbuhan ekonomi Jatim 2011 (7,2 persen) merupakan capaian yang sangat bagus (di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang 6,5 persen) tentunya menjadi catatan penting betapa pentingnya dampak kebijakan soal BBM itu terhadap perekonomian daerah.
Perlu diperhatikan naiknya biaya transportasi, khususnya bagi komoditas pertanian. Berdasar inflasi 2011, pengeluaran untuk bahan makanan dan makanan merupakan penyumbang terbesar (sekitar 63 persen) atas tingkat inflasi. Pemerintah perlu menyiapkan strategi agar perubahan kebijakan BBM itu tidak berimbas kepada naik drastisnya harga produk pertanian dan industri makanan, yang merupakan sektor utama perekonomian Jatim.
Kesiapan Pemda
Saat ini harga minyak internasional sudah mulai di atas UDS 100 per barel. Padahal, situasi sedang kian tak bersahabat. Misalnya, ketegangan Iran -sebagai salah satu produsen minyak berpengaruh- dengan Barat. Di daratan Eropa, musim dingin berkepanjangan saat ini juga akan semakin mendongkrak harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang tak stabil itu berimbas kepada kebijakan BBM pemerintah (yang mengasumsikan harga minyak di APBN sebesar USD 90 per barel).
Peran pemda terkait kebijakan BBM tidak kecil. Perlu kebijakan yang dapat mempertahankan dan mendongkrak daya beli masyarakat. Setidaknya dalam jangka pendek pemda bisa memberikan kemudahan kepada pelaku usaha ”baru” untuk membuka lapangan kerja (baik permodalan maupun perizinan). Kedua, operasi pasar untuk sembako murah. Ketiga, pelayanan kesehatan gratis. Dan keempat, penyelenggaraan pendidikan dengan biaya gratis dan berkualitas. Semua kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Bila itu tidak dilakukan, kehidupan masyarakat bisa merosot, kemiskinan meningkat.
Dalam jangka panjang, peran pemerintah harus mampu menyediakan fasilitas transportasi publik yang memadai. Tujuannya, secara makro mengurangi kebutuhan akan BBM. Sebagai contoh, sekarang ini dengan adanya car free day di beberapa kota Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Kota Malang, dan Kota Batu) akan mendorong masyarakat berhemat BBM. Sebaiknya itu menjadi gerakan nasional.
Dengan demikian, kebijakan BBM serta kebijakan pencegahan dampaknya, merupakan ”paket kebijakan” yang harus didesain lebih awal. Koordinasi antarinstitusi, baik di lingkungan kementerian maupun lembaga di pusat (horizontal), serta kerja sama dengan daerah (vertical) perlu terus diupayakan, mengingat anggaran yang terbatas dan tuntutan masyarakat akan kesejahteraan yang tidak bisa ditunda.
Upaya-upaya meredam inflasi perlu terus dilakukan sekaligus perlu dicari alternatif kebijakan BBM itu. Misalnya, meningkatkan harga premium dengan diikuti kebijakan pengontrolan efek inflatoir dari kebijakan yang dibuat.
Tidak semua masyarakat akan senang atas kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tersebut. Karena itu, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa langkah itu diambil demi kebaikan kita semua. Mari kita berhemat dan tetap produktif. ●
Di PTPN-6 ini ada tubuh-tubuh seksi yang perlu dikunjungi: peternakan sapi yang dikombinasikan dengan kelapa sawit!
Sudah lebih satu bulan uji coba sapi-sawit ini dilakukan. Memanfaatkan pelepah kelapa sawit untuk makanan ternak. Begitu banyak pelepah yang terbuang. Ini disebabkan kelapa sawit tidak bisa dipanen kalau pelepah yang melindungi tandannya tidak dibuang.
Setiap pohon sawit rata-rata panen 20 kali setahun. Berarti setiap pohon membuang 22 pelepah yang bisa dijadikan makanan ternak. Pelepah itulah yang dimasukkan mesin. Dihancurkan sampai lembut. Selembut cacahan rumput. Lalu, dicampur bungkil dari pabrik pengolahan sawit. Ditambah lagi blotong yang diambil dari buangan pabrik yang sama.
Betapa murahnya makanan ternak seperti ini. Kontras dengan peternakan yang ada. Betapa banyak peternak (sapi, kambing, ayam, bebek, lele, gurami) yang terjerat harga pakan yang mahal. Akibatnya, peternak kita kurang bergairah. Akibatnya, kita selalu kekurangan daging. Akibatnya, kita harus impor sapi. Impor lagi. Impor lagi. Tahun lalu Indonesia mengimpor 350.000 ekor sapi!
Kenyataan tingginya impor sapi inilah yang menantang siapa pun. Termasuk menantang teman-teman BUMN yang bergerak di perkebunan sawit. Mungkin teman-teman BUMN sawit yang bisa ikut mengatasi. Mungkin kombinasi “sapi-sawit” inilah solusinya.
Memang, sebelum melihat uji coba di PTPN-6 Jambi ini, saya sudah berpikir agar BUMN membuat peternakan skala besar di Sumba atau di salah satu pulau di NTT lainnya. Atau di Pulau Buru. Saya bersama seorang tokoh manajemen perubahan, Rhenald Kasali, diam-diam memang lagi mempersiapkan studi peternakan skala besar di Pulau Buru.
Profesor Kasali sudah lebih dulu memiliki proyek sosial yang monumental di Pulau Buru, Maluku. Ada kemungkinan masih bisa dikembangkan lagi untuk bidang peternakan. Saya belum berani mengungkapkan soal ini karena belum begitu konkret. Biarlah tim Profesor Kasali meneruskan studinya. BUMN hanya akan menerima hasilnya dan kelak mengembangkannya.
Sebagaimana BUMN pangan yang harus dibesarkan, Presiden SBY juga memberikan dorongan yang sangat besar untuk teratasinya kekurangan sapi ini. Rasanya, banyak skenario yang bisa disiapkan. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, misalnya, termasuk yang sangat antusias mengatasi kekurangan daging ini agar kecerdasan generasi mendatang lebih tinggi lagi.
Sambil menunggu studi di Pulau Buru, proyek sapi-sawit seperti yang di Jambi ini bisa dijalankan lebih dulu. Pagi itu, di sebelah kandang sapi yang berisi 50 ekor, diskusi serius dilakukan. Di samping ada Dirut PTPN-6, Iskandar Sulaiman, ada juga ahli serat kelapa sawit Dr Witjaksono. Juga doktor-doktor peternakan yang menekuni bidang ini. Misalnya, Dr Bess Tiesnamurti: kelahiran Jogjakarta, lulus S-1 di Undip Semarang, S-2 di Amerika Serikat, dan mengambil doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tentu saya banyak bertanya kepada para ahli itu. Sesekali menguji dan mengklarifikasi data. Ini disebabkan pengetahuan saya di bidang peternakan sangat terbatas.
Diskusi intensif perlu saya lakukan karena saya harus membuat keputusan yang strategis. Tidak boleh keterbatasan saya menjadi penghambatnya. Memang di masa remaja, saya adalah penggembala kambing. Bertahun-tahun setiap pulang sekolah saya harus menggembalakan kambing milik tetangga dengan upah: kelak mendapatkan salah satu anak kambingnya. Saya juga biasa memandikan sapi atau kerbau asuhan teman-teman sepenggembalaan. Tapi, saya tidak pernah sekolah peternakan.
Diskusi tersebut terus dilakukan di sepanjang perjalanan kembali ke Kota Jambi. Itulah sebabnya, saya dan Dirut PTPN-6 gantian mengemudikan mobil. Para ahli itu sebagai penumpangnya. Diskusi di dalam mobil tidak kalah seru. Gantian mengemudi begini juga penting sekaligus untuk mengubah citra bahwa direksi perkebunan itu feodalistik.
Tiba di Jambi, ratusan aktivis KAMMI Jambi sudah menunggu saya untuk sebuah dialog. Karena itu, sementara saya terlibat diskusi dengan KAMMI, para ahli tersebut saya minta mengadakan rapat dengan manajemen PTPN-6. Saya ingin dari hasil peninjauan dan diskusi sepanjang pagi itu ada follow-up-nya. Para ahli tersebut bersama direksi PTPN-6 saya minta membuat business plan.
Harapan saya, ketika diskusi dengan teman-teman KAMMI selesai, saya sudah bisa melihat business planproyek sapi-sawit ini. Mereka ternyata benar-benar ahli. Sebelum saya selesai acara di KAMMI, rapat itu sudah selesai. Business plan sudah tersusun. Ini disebabkan bahan-bahan rapat tersebut memang sudah didiskusikan secara mendalam sejak pukul 5 pagi.
Kombinasi ahli ternak dari Kementerian Pertanian dengan kemampuan manajerial direksi PTPN-6 membuat pekerjaan bisa selesai cepat. Inilah yang membuat saya pernah mengemukakan di MetroTVbulan lalu bahwa eksekutif BUMN itu sebenarnya hebat-hebat. Bahkan, dari lima kali pemilihan Marketer of the Year yang dilaksanakan Hermawan Kartajaya, empat di antaranya dimenangkan Dirut BUMN!
Kami pun kembali ke kantor PTPN-6. Mendiskusikan business plan yang sudah dirumuskan. Berbagai angka diklarifikasi. Berbagai kesulitan dibayangkan. Berbagai hambatan diinventarisasi. Hasilnya: go!Peternakan sapi-sawit ini bisa dilaksanakan. PTPN-6 Jambi, karena kebunnya yang hanya 32.000 ha (terkecil di antara perkebunan BUMN), menyanggupi dijatah 10.000 ekor sapi setahun. Mulai kapan? Dimulai tahun ini juga. Kandang sudah harus dibuat April nanti. Sebelum musim Qurban hari raya haji Oktober nanti, sudah harus mulai panen 2.000 ekor.
Business planakan dimatangkan lagi dalam pertemuan antardireksi PTPN sawit seluruh Indonesia sebelum akhir bulan ini. Target 100.000 ekor sapi tahun ini harus dibagi di antara perkebunan yang ada. Tahun depan, kalau bisa, ditingkatkan menjadi 200.000 ekor.
Target waktu tersebut tidak sulit dicapai. Model kandangnya dipilih yang praktis. Memang ada dua model kandang: model berlantai semen yang tiap hari harus dibersihkan atau model lantai jerami yang hanya tiap tiga bulan diperbarui. Dua-duanya sama baiknya.
Kalau model lantai semen yang dibuat agak miring, kotoran sapi itu bisa dimanfaatkan untuk biogas. Sedangkan, air kencingnya bisa untuk pupuk. Jangan meremehkan air kencing sapi. Kini, harga air kencing itu sudah lebih mahal daripada Coca-Cola! Begitu bagusnya kandungan pupuk air kencing sapi, harganya kini mencapai Rp 10.000/liter!
Kalau lantai kandang itu terbuat dari hamparan sabut, tidak perlu dibersihkan setiap hari. Biarlah tinja sapi bercampur dengan Coca-Cola-nya, menyatu dengan sabutnya. Setiap tiga bulan, lantai itu bisa diambil. Menjadi pupuk organik yang luar biasa. Pupuk inilah yang akan menyuburkan perkebunan sawit. Menggantikan hilangnya pelepah-pelepah yang selama ini dibiarkan membusuk di bawah pohon.
Tentu ide ini masih bisa dikembangkan. Begitu banyak rakyat yang memiliki kebun sawit sendiri. Tentu kelak, setelah melihat praktik di PTPN, mereka juga bisa meng-copy-paste. Karena itu, proyek sapi-sawit PTPN ini harus berhasil: menjadi contoh untuk rakyat sekitar.
Bagi manajemen PTPN sendiri, sebenarnya proyek ini kurang menarik. Hasilnya hanya serambut dibelah tujuh jika dibandingkan dengan hasil minyak sawitnya. Karena itu, niat pengembangan sapi-sawit ini harus tidak sekadar bisnis. Melainkan juga untuk ikut menyelesaikan salah satu persoalan bangsa.
Bagi saya, proyek seperti ini juga untuk melihat capacity yang sebenarnya dari sebuah manajemen di BUMN. Apakah sebuah BUMN sudah menggunakan kapasitas manajemennya secara maksimal? Apakah kapasitas besar yang dimiliki para direksi BUMN sudah sepenuhnya tercurah untuk kemajuan perusahaan? Atau masih banyak kapasitas yang terbuang di “arena lain”?
“Arena lain” itu tidak boleh terlihat begitu menariknya bagi manajemen BUMN. “Arena lain” itu bisa menggeser fokus. Saya sendiri sudah diingatkan banyak teman untuk jangan tergoda sering menghadiri acara yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan BUMN. Belakangan memang terlalu banyak permintaan untuk sebuah aktivitas di luar BUMN. Saya harus segera menyadari bahwa itu adalah godaan. Saya akan memperhatikan peringatan teman-teman seperti itu.
Kembali ke fokus memang harus digalakkan: bekerja, bekerja, bekerja. Direksi BUMN yang selama ini hanya mengurus PSO (public service obligation), misalnya, sudah harus mulai bergerak ke luar PSO. Agar kapasitas manajemen yang sebenarnya terlihat dengan nyata. PSO tetap harus dijalankan. Ini penugasan dari pemerintah. Tapi, tidak boleh direksinya tidak bergerak di luar itu. Itulah sebabnya, saya gembira ketika PT Pusri, PT Sang Hyang Sri, dan PT Pertani bersemangat menangani pembukaan sawah baru besar-besaran. Bulog juga akan ikut bergerak menangani program intensifikasi sawah mandiri.
Kelemahan businessas usual adalah: tidak akan bisa terlihat kapasitas manajemen BUMN yang sebenarnya. Business as usual tidak akan melahirkan manajemen yang tangguh. Dengan beban yang lebih banyak dan target yang lebih tinggi, akan terlihat mana direksi yang benar-benar andal dan mana yang sebenarnya biasa-biasa saja. Peningkatan kapasitas direksi melalui penambahan beban seperti inilah jalan terbaik untuk capacity building.
Capacity buildingmodel ini juga akan terjadi di kelompok kehutanan. Inisiatif Perhutani untuk menggarap hutan sagu menjadi industri pangan adalah capacity building dari manajemennya yang luar biasa. Perusahaan-perusahaan BUMN kehutanan (terutama Inhutani 1, 2, 3, 4, 5) tidak akan lagi kerja rutin: mengerjasamakan lahan dan mengerjasamakan apa saja yang dimilikinya. Bagaimana kita bisa melihat apakah direksi Inhutani itu hebat atau tidak kalau semua pekerjaannya di-sub-kan ke pihak ketiga.
BUMN PPA juga berubah. Tidak boleh lagi PPA menangani hal yang kecil-kecil. Tahun 2012 ini PPA hanya akan menangani lima masalah, tapi gajah-gajah. Sudah bertahun-tahun tidak ada yang berani menyentuh gajah-gajah-bengkak itu. Di sinilah akan terlihat manajemen capacityPPA yang sebenarnya. Mungkin agak heboh-heboh sedikit, tapi bukankah manajemen yang besar memang harus menyelesaikan persoalan yang besar?
Kalau capacity buildingini terjadi di semua bidang BUMN (perkebunan, pangan, gula, penerbangan, perbankan, kereta api, pelabuhan, kehutanan, energi, perkapalan, perhotelan, dan seterusnya), hasilnya akan gegap gempita. Kita pun akan tahu apakah kapasitas manajemen di sebuah BUMN itu sudah memadai atau belum. Kita pun akan tahu dengan sebenar-benarnya apakah semua kapasitas manajemen BUMN sudah termanfaatkan atau masih idle.
Semua itu harus sudah terbaca sebelum 1 Juli 2012. Saat itulah, dari ribuan sapi di kebun sawit sudah banyak yang mulai hamil. ●