Author: Adul

  • Indonesia Tanpa FPI

    Indonesia Tanpa FPI
    Evie Rahmawati, STAF PROGRAM LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (LSAF)
    JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 13 Februari 2012
    Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.
    Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.
    Memang benar, adalah hak setiap individu untuk berekspresi dan berserikat, termasuk individu yang terwadahi dalam FPI. Namun tengok kembali aksi-aksi melawan hukum yang dilakukan FPI (rangkaian ancaman serta tindak kekerasan terhadap gereja dan jemaatnya, Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, pers, orientasi seksual yang berbeda, tempat-tempat hiburan, warung makan kecil di bulan Ramadlan, Tragedi Monas, perusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, dll.) Bukankah melanggar hak asasi warga negara lainnya manakala mereka terus melakukan kekerasan keji dalam setiap aksinya? Apalagi seraya tangan mereka menghunus senjata tajam, pekik Allahu Akbar dimanipulasi sebagai perisai untuk menyatakan bahwa kekerasan yang mereka lakukan atas persetujuan Tuhan. Ironis, bukan?
    Karenanya, aksi penolakan yang dilakukan masyarakat adat Dayak di Palangkaraya pun menginspirasi warga negara lainnya untuk melakukan keberanian serupa dalam menanggapi arogansi FPI atau milisi sipil lainnya yang gemar melakukan tindakan kekerasan atas nama apapun.
    Di Jakarta, Minggu sore, 12 Februari 2012, puluhan individu dari berbagai latar belakang yang terinspirasi aksi masyarakat Dayak di Palangkaraya mengadakan pertemuan yang mendiskusikan pentingnya menyatukan semangat dalam menolak eksistensi FPI sebagai entitas masyarakat yang secara sistematis kerap melakukan kekerasan dalam aksi-aksinya. Berawal dari sebaran undangan melalui twitter, Tunggal Pawestri, salah seorang aktivis yang memiliki inisiatif mengadakan pertemuan tersebut, tidak menduga kalau banyak yang datang dalam acara yang digelar di Bakoel Koffie, Cikini. Beberapa nama seperti George Junus Aditjondro, Marco Kusumawijaya, M. Guntur Romli, Mariana Amirudin, dan aktivis lainnya ikut memenuhi ruangan. Begitupun salah seorang dokter dari perwakilan masyarakat adat Dayak yang tinggal di Jakarta dan seorang mahasiswa yang mengaku telah begitu muak dengan aksi-aksi kekerasan FPI, hadir dalam diskusi itu. Ini menjadi bukti, betapa masyarakat Jakarta, bukan hanya aktivis kemanusiaan semata melainkan dari berbagai unsur masyarakat, cukup terganggu dengan kehadiran FPI di Indonesia.
    Pada kesempatan yang dibangun dalam suasana yang karib tersebut, seorang peserta menyatakan bahwa banyak alasan mengapa FPI pantas ditolak. Di samping aksi-aksi kekerasannya, alasan yang lebih fundamental adalah karena FPI memperlihatkan penolakannya terhadap perbedaan melalui aksi-aksi mereka yang ditujukan terhadap kalangan minoritas. Pantaskah selalu ingin menang sendiri dengan memamerkan kekerasan di tengah-tengah masyarakat kita yang begitu majemuk? Alasan lain, sudah saatnya media mengabarkan pada masyarakat luas bahwa tidak sedikit kelompok masyarakat yang jengah dengan kehadiran FPI yang memanipulasi jubah putih dan sorbannya itu menjadi simbol mereka.
    Mengenai simbol, menurut penuturan peserta lainnya, yakni seorang perempuan yang dibesarkan di daerah Petamburan (dekat markas FPI), merasa perlu sekali sosialisasi terus-menerus perihal bahaya premanisme FPI. Artinya, masyarakat kita yang masih begitu khidmat mematuhi simbol-simbol, jangan sampai tertipu oleh pakaian yang dikenakan FPI. Sebagaimana telah dimafhumi, di Indonesia jubah dan sorban putih merupakan simbol kesalehan, identik dengan Islam. Jadilah simbol tersebut dimanfaatkan FPI untuk menyembunyikan wajah aslinya. Sehingga, lanjutnya, sedemikian brutal kelompok ini melakukan kekerasan dan pengrusakan, namun masyarakat kerap diam bahkan ironisnya ada yang menyetujui tindakan FPI yang selalu mengatasnamakan agama itu.
     
    Pada titik inilah tantangan terbesar adalah penyadaran terhadap masyarakat perihal wajah asli FPI yang tiada lain hanyalah titisan Ares Sang Dewa peperangan.
    Lalu, dokter Tata, perwakilan masyarakat adat Dayak, tampak antusias menjelaskan mengapa keberanian mengemuka dari masyarakatnya. Di Palangkaraya, aksi yang patut dicontoh tersebut tidak akan terjadi tanpa dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintahan setempat. Berkat kerjasama yang solid antara masyarakat dan elemen pemerintahan, yang sama-sama sadar akan bahaya pengaruh anarkisme FPI, aksi tersebut kemudian mencuat. Karena itu, kesadaran dan solidaritas antarelemen masyarakat itulah yang perlu dicontoh masyarakat Jakarta khususnya, dan masyarakat di berbagai daerah pada umumnya. Menurutnya, sebenarnya penolakan FPI juga telah disuarakan di daerah Kalimantan lainnya.
    Sementara, sambil mengutip sebuah hasil riset yang menyatakan bahwa di tahun 2015 mendatang Indonesia akan didominasi oleh kalangan muda, Marco Kusumawijaya merasa yakin perlu mengorganisir para pemuda untuk terlibat dalam aksi penolakan FPI ini. Pemuda adalah tonggak bangsa yang sudah semestinya menjadi garda depan dalam menyuarakan kebebasan dan keharmonisan Indonesia yang kerap diaduk-aduk FPI.
    Yang cukup menggembirakan para peserta, pada kesempatan itu dihadiri banyak kalangan pemuda yang bersemangat menyimak bahkan berpartisipasi di dalamnya.
    Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepakati kelahiran “Gerakan Indonesia Tanpa FPI.” Gerakan ini memiliki satu visi: penolakan terhadap kekerasan atas nama apapun. Tugas pertama yang ingin diembannya adalah menolak secara tegas keberadaan FPI di Indonesia. Pernyataan sikap berupa petisi dan press release mengenai penolakan ini menjadi prakondisi yang akan ditempuh gerakan ini. Petisi akan diajukan di antaranya kepada Kemendagri, Kemenkumham, Polri dan kelompok FPI itu sendiri. Di samping itu, gerakan ini pun akan memanfaatkan momentum Valentine’s day (yang diharamkan FPI) sebagai hari di mana aksi penolakan terhadap FPI akan dilakukan secara massif di Jakarta.
    Jadi, bagi Anda yang merasa bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk dan atas nama apapun harus ditentang, tidak ada salahnya menyempatkan diri bergabung dalam aksi tersebut pada Selasa besok, 14 Februari 2012. Salam perdamaian. ●
  • Terjepit di Antara Komunitas dan Kebebasan

    Terjepit di Antara Komunitas dan Kebebasan
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 13 Februari 2012
    Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.
    Terdapat ketegangan yang terus-menerus terjadi antara dua hal berikut ini: komunitas dan kebebasan. Setiap komunitas biasanya tegak berdiri atas sekumpulan nilai dan norma yang mengikat anggota-anggotanya. Tanpa norma itu, komunitas tersebut tentu akan bubar. Tetapi, karena komunitas selalu berada bersama dengan komunitas-komunitas yang lain, dalam keadaan dan situasi sosial yang juga terus berubah, maka komunitas bersangkutan juga kudu sanggup melakukan perubahan, termasuk pada level norma yang ia ikuti.
    Manakala komunitas itu gagal melakukan perubahan seperlunya, biasanya akan muncul sejumlah individu dari dalam dirinya yang melakukan “oto-kritik” atas norma yang sudah dianggap kurang relevan itu. Di sinilah, kita berjumpa dengan dilema antara kebebasan dan komunitas. Di manapun, komunitas biasanya tak suka pada individu-individu dalam “rahim”-nya sendiri yang melalukan kritik internal. Sebisa mungkin para tetua yang menjaga keutuhan komunitas tersebut akan berusaha untuk membungkam suara individu itu.
    Sebaliknya, individu tersebut tentu akan melakukan segala daya upaya untuk melawan pembungkaman itu. Dia akan menuntut kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya. Sementara pihak-komunitas akan membalas balik tuntutan kebebasan itu dengan menekankan pentingnya menjaga keutuhan komunitas, meskipun harus dengan mengorbankan kebebasan individual.
    Dilema semacam ini akan kita jumpai dalam masyarakat manapun, dan dalam lingkungan agama manapun juga. Para pengkaji sejarah pemikiran teologi biasa menyebut hal ini sebagai hubungan-penuh-tegang antara dua kutub: kutub ortodoksi yang biasanya menjaga norma komunitas yang dianggap benar, dan kutub heterodoksi, yakni suara lain yang menentang ortodoksi.
    Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.
    Apa yang kita saksikan di Palangkaraya saat masyarakat Adat Kalimantan Tengah menolak kedatangan tokoh-tokoh FPI (Front Pembela Islam) dari Jakarta pada Sabtu (11/2/2012) kemarin adalah contoh saja dari penolakan minoritas atas pemaksaan kultural semacam itu. FPI tentu hanya simbol saja yang mewakili kekuatan komunitas besar, dalam hal ini Islam (dengan corak tertentu, tentunya), yang hendak memaksakan gaya hidup tertentu pada masyarakat adat.
    Tetapi, hal serupa juga dialami oleh masyarakat Muslim di Eropa. Dalam makalahnya yang diterbitkan oleh ISIM, Amsterdam, beberapa tahun lalu, Bikhu Parekh, seorang political theorist terkemuka dari Inggris saat ini, melontarkan kritik terhadap regim sekular-liberal yang berlaku di masyarakat di Eropa yang cenderung “dismissive” atau meremehkan identitas-identitas khusus seperti agama.
    Parekh berpandangan bahwa sikap myopik atau buta terhadap agama dalam masyarakat Eropa itu harus dikritik. Regim liberal-sekular di Eropa, menurut dia, haruslah mampu mengakomodasi agama dalam dirinya. Meskipun, pada saat yang sama, Parekh juga menekankan bahwa tindakan dari pihak Muslim sendiri untuk mengapresiasi tradisi liberal-sekular di Barat juga penting. Multikulturalisme, bagi Parekh, bukan relativisme kultural, seperti dikemukakan para pengkritik kebijakan itu selama ini di Eropa; tetapi dialog dua arah antara tradisi liberal-sekular dan identitas-identitas relijius. (Baca Bikhu Parekh, “European Liberalism and ‘The Muslim Question’”, ISIM Paper 9, 2008).
    Jika di Indonesia, sejumlah masyarakat adat mencoba melawan untuk tidak lebur di dalam panci peleburan yang dibentuk oleh identitas komunitas besar, yakni umat Islam, maka di Eropa sebaliknya: masyarakat Muslimlah yang berusaha untuk melawan terhadap panci peleburan yang berbasis pada budaya liberal-sekular.
    Dalam dua kasus itu, simpati saya ada pada dua kelompok tersebut—baik dalam kasus masyarakat adat di Indonesia, atau komunitas Muslim di Eropa. Saya menaruh simpati kepada dua komunitas itu, karena mereka memang memiliki hak untuk menjaga agar identitasnya tetap utuh dan dapat mereka wariskan kepada generasi kemudian.
    Akan tetapi, ada sisi lain yang tak boleh dilupakan di sini. Baik dalam masyarakat adat tersebut, atau komunita Islam di Eropa, suatu kemungkinan berikut ini bukan mustahil akan terjadi: yakni, komunitas bersangkutan memaksakan norma dan gaya hidup tertentu kepada individu yang menjadi anggotanya.
     
    Contoh vulgar dari pemaksaan semacam ini adalan tradisi honor killing (pembunuhan kerabat sendiri untuk menjaga kehormatan keluarga) yang ada pada komunitas Muslim imgran tertentu di Kanada dan Eropa. Kasus honor killing terakhir yang ramai diberitakan media adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Muhammad Shafia, seorang warga asal Afghanistan yang berimigrasi ke Ontario, Kanada, terhadap tiga puterinya dan isteri keduanya. Kasus ini baru saja diadili dan diputus oleh Pengadilan Ontario pada 30/1/2012 lalu.
    Dalam kasus pembunuhan semacam ini, pola yang terjadi selalu berulang dari satu kasus ke kasus yang lain: konflik antara keluarga tradisional yang tinggal di masyarakat Barat yang sekular, dengan anak-anaknya yang mulai menyerap gaya-hidup masyarakat modern di sekitarnya. Pihak keluarga merasa bahwa tindakan semacam ini menyinggung kehormatan keluarga. Tindakan ekstrim muncul di sini: meng-eliminasi sama sekali individu yang melakukan penyelewengan semacam itu.
    Dalam situasi semacam ini, jelas, simpati saya adalah untuk generasi baru yang mencoba gaya hidup baru karena tuntutan lingkungan yang berubah. Saya tak bisa membela pihak komunitas yang mencoba memaksakan norma tertentu pada anggotanya dalam situasi semacam itu, apalagi dengan cara keji seperti honor killing itu.
    Dalam situasi yang pertama (kasus masyarakat Adat di Indonesia dan minoritas Muslim di Eropa), pihak komunitas berada dalam ancaman koersi atau pemaksaan yang berasal dari regim liberal-sekular. Dalam situasi kedua, pihak komunitas itulah yang melakukan koersi. Sesuai dengan prinsip liberal yang saya anut, saya berpihak kepada pihak yang kebetulan menjadi korban dari koersi, entah itu komunitas atau individu. ●
  • Bebas tidak Bablas

    Bebas tidak Bablas
    Idy Muzayyad, KOMISIONER KPI PUSAT
    Sumber : REPUBLIKA, 13Februari 2012
    Demokratisasi yang dialami oleh bangsa Indonesia pascareformasi 1998    menimbulkan berbagai perubahan mendasar dan menentukan. Dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat, media yang selama Orde Baru dikungkung dalam berbagai format aturan dan kontrol penuh dari aparatus negara, kini memasuki era kebebasan pers.
    Peringatan Hari Pers Nasional 2012 bagaimanapun merupakan bentuk perayaan dan rasa syukur terhadap anugerah kebebasan pers itu. Sungguh pun dalam beberapa hal kebebasan pers dikatakan belum sepenuhnya terwujud, namun pada praktiknya media kemudian menjelma dari institusi yang dibatasi dan cenderung menjadi corong pemerintah, menjadi institusi yang relatif mandiri dan bebas.
    Saat ini tak bisa disangkal lagi pertumbuhannya yang pesat dan beragam membuat media menisbatkan diri menjadi salah satu kekuatan sosial, ekonomi, bahkan politik. Pada kenyataannya pula, keberadaan media ini dapat diibaratkan sebagai pedang yang bermata dua.
    Kontrol Media
    Tentu saja kita semua setuju kalau media tidak lagi dikontrol kuasa pemerintah yang cenderung hegemonik, manipulatif, dan hanya menginginkan berita yang baik guna mempertahankan legitimasi dan kekuasaan yang sudah diperolehnya. Namun, seiring kebebasan yang diperoleh oleh media sejak reformasi hingga sekarang ini, ternyata fungsi dasar media belum sepenuhnya dijalankan.
    Banyak pihak yang bilang kebebasan pers sudah bergeser menjadi kebablasan pers. Beberapa media juga disinyalir cenderung mengejar profit belaka. Misalnya saja, dalam konteks dunia penyiaran, kita masih mudah menemui produk-produk siaran media yang tidak layak tonton. Pilihan sadar atas era kebebasan pers di era re formasi lebih menitikberatkan pada sistem kontrol di internal media itu sendiri.
    Setiap media harus memiliki mekanisme sensor mandiri sebagai bentuk bersandingnya kebebasan dan tanggung jawab pers. Kebe bas an bertanggung jawab yang di garansikan kepada media ada lah efek dari dikekangnya media selama kurang lebih 30 tahun. Media yang nyaris tidak mempunyai kekuatan selama era otoriter tersebut kemudian mendapatkan kembali rohnya yang indigenous.
    Kembalinya roh media sebagai satu kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang menentukan tersebut akan berbahaya bila tidak dilakukan upaya penyeimbangan dalam bentuk kontrol. Dari mana? Pertama-tama dari dalam media itu sendiri, kemudian dari masya rakat, juga lembaga berwenang yang mewakili publik.
    KPI sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat akan dunia penyiaran berada pada posisi ini. Namun, KPI tidak memiliki kewenangan kontrol dalam arti melakukan sensor dan penghakiman terhadap program sebelum disiarkan.
    Catatan pentingnya, kontrol tidak bermaksud membungkam ke bebasan pers, tetapi menyeimbangkan kebebasan itu dengan tanggung jawab dalam satu kesa tuan yang solid. Karena kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab tinggi, akan berpotensi men jadi kebablasan.
    Dalam dunia penyiaran, khu sus nya televisi, praktik penyiaran sesuai nuansa demokratis dan undang-undang yang baru telah menjamin dan mengatur kebebas an media untuk tumbuh dan hi dup merdeka. Perizinan tidak fair di zaman dulu yang merupa kan alat kontrol ampuh oleh penguasa untuk membungkam daya kritis media kini tidak lagi ber laku.
    Siaran yang dipancarkan oleh media kini le bih variatif, kritis, dan bebas me nyuarakan apa pun yang terjadi tanpa takut akan cekal, la rang an, hingga pembre del an. Dari sini lah self control me dia dalam menyeleksi, menge dit, hingga menyiarkan berita yang layak dan pantas disiarkan menjadi penting dan harus menja di nilai, karakter, dan budaya kor porat di media penyiaran kita.
    Dengan adanya nilai-nilai yang dipegang erat tersebut itu, profesionalitas media menjadi barome ter penting media dalam men ja lan kan fungsinya. Rumusan nilai-nilai itu telah terangkum da lam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI yang menjadi acuan bagi media penyiaran untuk melakukan sensor mandiri.
    Hal itu sangatlah mungkin bila mau dilakukan. Sangat bergantung pada kedewasaan dan kematangan serta profesionalitas awak media. Contoh yang paling konkret, saat terjadi bencana tsu nami Jepang, kita tidak menyaksikan media di sana menampilkan sosok mayat korban yang menge nas kan. Padahal, korban me ning gal dan hilang dalam peristiwa itu mendekati 30 ribu orang.
    Jadi, media saat ini tidak lagi diawasi secara ketat dan dikung kung dalam berbagai aturan yang mengerangkeng kebebasan. Di era sekarang, media adalah institusi yang bebas dan aman dari kontrol dan ancaman negara, namun selayaknya mempunyai kemampuan self control yang selaras dan searah dengan kebebasannya.
    Dengan demikian, produk siaran yang ditampilkan oleh lembaga penyiaran pun secara sadar sudah diseleksi oleh internal media sebelum dilempar ke khalayak.
    Program siaran dan mata acara apa pun yang disiarkan oleh media adalah produk yang sudah dianggap lolos dan sudah sesuai dengan kaidah undang-undang yang berlaku, serta cocok dengan standar konsumsi khalayak.
    Bila self control ini berjalan baik, rating yang selama ini menjadi tuhan bagi industri media, kemudian tidak lagi menjadi sesuatu hal yang utama dan menjadi nomor satu untuk dikejar sehingga meniadakan fungsi media yang lain, yang sebetulnya lebih pen ting. Fungsi-fungsi media yang lebih urgen, yaitu fungsi mendidik, mencerdaskan, sebagai pemberi informasi, dan seabreg fungsi mulia media yang lainnya kemudian tidak lagi dinomorduakan.
    Rating —yang merupakan sesuatu yang lumrah dan bernilai ekonomis untuk dikejar oleh para pelaku industri media— harus seimbang dengan konten dari siaran itu sendiri. Konten yang ada dalam setiap program yang disiarkan oleh media di samping tetap mengandung nilai rating yang tinggi, juga memenuhi kaidah aturan yang berlaku harus juga bercita rasa publik alias disukai.
    Sesungguhnya, kunci sukses media penyiaran tidak hanya jorjoran mengejar rating belaka, tetapi juga didukung daya kreatif yang tinggi serta kemampuan membaca selera khalayak.
    Bebas plus
    Media di era sekarang amat berbeda dengan media di zaman yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan pemerintah. Dengan aturan pendirian media yang sepihak dan bernuansa KKN, menambah karutmarutnya fungsi dan peran media waktu itu. Situasi ini didorong era reformasi dan seiring dengan tuntutan agar media bisa independen, bebas, dan bisa menjadi salah satu alat kontrol sosial yang efektif dan berdiri secara bebas.
    Sungguh pun demikian, media hari ini sesungguhnya tidak bisa lepas dari kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. Tetap saja ada relasi kuasa di antara keduanya yang saling berkelindan memengaruhi posisi dan peran media, utamanya media penyiaran televisi.
    Namun, kita harus tetap terus berupaya untuk menciptakan media yang diharapkan, yaitu bisa secara penuh dan seimbang menjalankan fungsi dasar media, sekaligus menaati aturan main yang telah disepakati dan memperhatikan kepentingan terbaik pemirsa.
    Media yang kemudian kita impikan adalah media yang bebas menjalankan fungsinya tanpa takut akan tekanan dan kelompok tertentu, tapi pada saat yang sama mengerti dan menyadari kalau kebebasannya bukan mutlak tanpa batas. Media bukan pula semata-mata untuk mencapai kepentingannya, apalagi sekadar mengejar keuntungan ekonomi dan bisnis semata.
    Media yang diharapkan adalah media yang sadar akan fungsi dan perannya secara utuh, sekaligus menyadari dan melaksanakan tanggung jawabnya secara penuh. Sulit memang, tapi bukan sesuatu yang mustahil.
  • Akar Korupsi di Kalangan PNS

    Akar Korupsi di Kalangan PNS
    Romy Febriyanto Saputro, KASI PEMBINAAN, PENELITIAN, DAN PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN DI PERPUSTAKAAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Februari 2012
    Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam survei yang melansir tren penegakan hukum kasus korupsi menyebutkan, tersangka berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) menempati urutan teratas selama 2011. Jumlah PNS yang jadi tersangka mencapai 239 orang. Diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta sebanyak 190 orang serta anggota DPR/DPRD sebanyak 99 orang.
    Tingginya angka korupsi PNS konsisten dengan tahun 2010, yakni sebanyak 336 orang. Koordinator Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto mengatakan, masih tingginya korupsi PNS disebabkan kegagalan badan-badan pengawas internal pemerintah pusat atau daerah, seperti Bawasda, Irjen dalam mengantisipasi berbagai penyimpangan. Kebijakan remunerasi dalam kerangka reformasi birokrasi ternyata belum efektif mereduksi berbagai perilaku korup PNS.
    Tak Sendiri
    Korupsi menurut bahasa Latin, yaitu corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri. Mereka secara tidak wajar dan tidak legal, memperkaya diri atau memperkaya orang-orang dekat dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
    Akar korupsi yang paling kuat memang berada di lembaga birokrasi. Birokrasi tak ubahnya mesin korupsi yang tak akan pernah berhenti memproduksi koruptor. Selama ini, yang banyak dicurigai melakukan tindak pidana korupsi adalah PNS golongan tua alias pa ra pejabat dengan eselon yang relatif tinggi. Kini, para koruptor muda sudah banyak belajar dari para koruptor tua tentang ilmu merampok uang negara.
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, ada 50 persen pega wai negeri sipil (PNS) muda yang kaya, tapi korupsi. Indikator kaya menurut PPATK adalah bergaya hidup mewah, mempunyai barang mewah, dan memiliki rekening ti dak wajar. Modus korupsi dila ku kan dengan mengalirkan dana yang diindikasikan dari penyelenggaraan negara berupa proyek fiktif, gratifikasi, dan suap kepada keluarga.
    Dalam ilmu psikologi, kita mengenal teori behavioral atau le bih dikenal dengan teori belajar. Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respons terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Para PNS muda ketika datang pertama kali di sarang koruptor tentu tidak pernah punya pikiran sedikit pun untuk mencuri uang negara. Pengalaman dan interaksi dengan sistem yang korup membuat pertahanan diri mereka runtuh. Korupsi yang dipraktikkan secara terorganisasi membuat abdi negara muda ini tanpa disadari menjadi bagian dari kejahatan terhadap negara.
    Para PNS muda tidak mungkin melakukan praktik kotor ini sen diri. Mereka hanya menjadi kaki tangan para koruptor yang telah berpengalaman puluhan tahun menghindari jerat hukum. Biro krasi adalah sistem, tidak mung kin seseorang tanpa menduduki jabatan penting tiba-tiba menjadi sasaran suap dan gratifikasi. Semua tentu ada hierarkinya. Menjadi tugas KPK untuk menangkap aktor intelektual di balik temuan ini.
    Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir, jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke (1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir, manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan pada pemilikan pengetahuan. Ide dan pengeta huan adalah produk dari peng alaman. Secara psikologis, perilaku PNS muda ini ditentukan “warna mental” selama menjadi kaki tangan pejabat korup.
    Tiga Hukum
    Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respons. Teori belajar ini disebut teori connectionism. Thorn dike menemukan hukum-hukum. Pertama, hukum kesiapan (law of readiness). Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus, maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diper kuat.
    Dorongan untuk melakukan korupsi dalam diri PNS muda akan semakin menguat tatkala mereka memiliki ‘bibit-bibit’ korupsi yang dalam istilah Sigmund Freud disebut dengan id. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha untuk memuas kan kebutuhan ini. Keinginan untuk menjadi kaya dengan cara instan, tetapi bisa selalu lolos dari jerat hukum.
    Kedua, hukum latihan. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan, maka asosiasi tersebut semakin kuat. Semakin sering PNS muda dilatih untuk korupsi, maka mereka akan semakin terampil menguasai seribu jurus korupsi tanpa ketahuan.
    Bahkan, bisa jadi kemampuan dan kesaktian sang murid kini melebihi sang guru. Mereka telah menjelma menjadi monster koruptor yang sakti mandraguna.
    Ketiga, hukum akibat. Hu bung an stimulus dan respons cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan, dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. 
    Selama ini, akibat ko rupsi selalu menyenangkan bagi pelakunya. Bergelimang harta dan kemewahan tatkala belum ditangkap KPK, dan setelah ditang kap pun mereka masih punya pe luang untuk hidup mewah di penjara. Ketika dipenjara pun masih punya peluang untuk mendapat kan remisi.
    Hal ini tentu akan semakin menyuburkan praktik korupsi oleh PNS. Koruptor muda akan se makin merasakan nikmatnya ko rupsi seperti kisah Bakir dalam novel berjudul Korupsi karya Pra moedya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan pertama kali pada1954 dan diterbitkan ulang pada 2002 oleh Hasta Mitra.
    Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama-kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.
    Dalam karyanya ini, Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang memikat, bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi kebiasaan sosial. Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat relevan dengan problema sosial-politik Indonesia dewasa ini.
  • Karya Ilmiah dan Mafia Gelar

    Karya Ilmiah dan Mafia Gelar
    Jusman Dalle, LEADERSHIP ISSUES RESEARCHER JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UMI MAKASSAR; PENGURUS PUSAT KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA (KAMMI)
    Sumber : JAWA POS, 13Februari 2012
    SCIENTIAest potentia. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan, kata Francis Bacon (1561-1626). Filsuf dan politikus Inggris ini tidak mengatakan kekuatan itu ada pada gelar, tapi ada pada ilmu pengetahuan. Knowledge is power tersebut relevan untuk menjadi renungan kita yang hari-hari ini berpolemik soal putusan Kemendikbud terkait kewajiban menerbitkan karya pada jurnal ilmiah sebagai syarat untuk lulus S-1, S-2, ataupun S-3.

    Penolakan atas putusan yang ditandatangani Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso itu, baik oleh tokoh maupun yang mengatasnamakan institusi, adalah sketsa buram terhadap fobia hidup tanpa gelar. Padahal, semat gelar belum tentu linier dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki.

    Padahal, tidak ada yang salah dengan kewajiban menerbitkan karya pada jurnal ilmiah sebagaimana tiga poin yang menjadi syarat lulus. Pertama, untuk lulus program sarjana, mahasiswa harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, untuk lulus program magister, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Ketiga, untuk lulus program doktor, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

    Keputusan tersebut justru akan meningkatkan kapasitas keilmuan dan kualitas serta kekuatan bangsa karena menstimulus insan-insan akademik untuk melakukan eksplorasi lebih terhadap gagasan-gagasannya. Jika pun merasa terpaksa, ada upaya membangkitkan kultur membaca, menulis, riset, ataupun diskusi.

    Menurut Edison Munaf (2011), pada 2010, total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel; jauh dibandingkan Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti kita juga sangat rendah. Itu hanya mencapai 7,9 artikel per sejuta penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang menghasilkan 2.581 artikel, diikuti Malaysia (300), Thailand (201), Pakistan (39), Vietnam (20,9), Bangladesh (10,7), serta Filipina (9,2).  Padahal, jumlah mahasiswa, baik pada tingkat S-1, S-2, maupun S-3, kian tahun kian besar, yaitu 4,8 juta menurut Mendikbud Muhammad Nuh.

    Dalam catatan LIPI, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000; hanya 4.000 jurnal yang terbit rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi (kompas.com). Dengan mensyaratkan penerbitan karya ilmiah sebagai syarat lulus dari universitas, jurnal-jurnal dan budaya ilmiah bisa kita harapkan bangkit.

    Diakui atau tidak, gelar akademik yang mestinya “sakral” kini menjadi komoditas. Baik oleh pegawai yang ingin naik jabatan kemudian secepat kilat mengejar gelar maupun oleh politisi. Peraturan di instansi (pemerintah maupun swasta) sering kali mensyaratkan gelar untuk posisi tertentu. Hal ini membuka celah “pelacuran intelektual” obral gelar.

    Pun, kini banyak politikus yang tiba-tiba memiliki jejeran gelar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Siapa tahu mereka ”membeli” gelar untuk kepentingan politik. Misalnya, menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Juga sekadar untuk gagah-gagahan agar terkesan intelek dan layak jual dalam pasar politik yang kian kompetitif dan kompleks.

    Gelar instan tersebut tentu tetap melalui prosedur. Tetapi, prosedurnya telah dilicinkan dengan fulus; diperoleh dari perguruan tinggi swasta karena aturannya fleksibel. Mutu “industri gelar” itu sulit dipertanggungjawabkan di depan publik.

    Bila aturan baru itu berlaku, konsekuensi atas pertanggungajawaban integritas gelar sebagai output menempuh pendidikan tidak hanya dipikul perguruan tinggi yang bersangkutan. Dikti atau LIPI sebagai lembaga yang mengakreditasi suatu jurnal, lembaga pengelola jurnal yang menerbitkan karya sang penulis, wajib ikut memberikan solusi. Dampaknya akan positif bagi kita semua. Pembuktian lewat karya ilmiah itu juga menjadi kontribusi para penyandang gelar sarjana, magister, ataupun doktor kepada dunia akademik dan masyarakat secara umum.

    Kita harus tetap objektif bahwa tidak semua universitas memiliki infrastruktur yang mendukung untuk memberlakukan edaran Dikti tersebut. Tidak semua universitas memiliki jurnal ilmiah cetak. Maka, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemberlakuan secara bertahap dan fleksibel. Misalnya, membolehkan diterbitkan secara online (Mendiknas di Jawa Poskemarin) atau diterbitkan di media lain seperti majalah atau diringkas dalam bentuk artikel, namun tetap relevan dengan karya tersebut. Aturan fleksibel mengenai bentuk jurnal itu sekaligus menjawab keresahan akan terbatasnya jurnal cetak yang ada. ●

  • Red Alert Pembatasan BBM

    Red Alert Pembatasan BBM
    Candra Fajri Ananda, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA
    DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
    Sumber : JAWA POS, 13Februari 2012
    RENCANApembatasan BBM (bahan bakar minyak) oleh pemerintah terus disorot. Kebetulan Nigeria yang mengurangi subsidi BBM memantik perlawanan masyarakat itu bisa menjadi suatu pelajaran penting. Sebenarnya, pro-kontra kebijakan lumrah saja. Selalu ada yang terkorbankan (worse off) maupun yang diuntungkan (better off).

    Yang ideal pemerintah mampu menjadikan kondisi semua yang berkepentingan itu lebih baik (pareto optimal). Paktiknya, sangatlah sulit itu direalisasikan. Karena kebijakan tidak akan diterima 100 persen oleh seluruh masyarakat, perlu red alert (siaga merah) kesigapan pemerintah untuk meredam dampak negatifnya. Kebijakan pembatasan BBM itu -rencananya mulai 1 April 2012- perlu diikuti pertanyaan: apa yang akan terjadi? Siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan?

    Ketegasan Pemerintah

    Tujuan utama pembatasan konsumsi BBM ialah mengurangi subsidi bagi masyarakat berpendapatan tinggi, khususnya yang bermobil pribadi dan berpelat hitam. Kebijakan itu terlalu ambisius. Sebab, persepsi saat ini, kesiapan pemerintah masih lemah dalam menilai dampak kebijakan itu. Penggeseran penggunaan BBM ke BBG (bahan bakar gas) melalui penyediaan converter mempertanyakan kesiapan industri dalam negeri untuk memproduksi; atau kalau harus diimpor, siapa pelakunya dan apa bisa cepat?

    Keterlambatan pengambilan keputusan akan memaksa para pelaku usaha bertindak ”menyelamatkan” usahanya. Muncul ketidakpastian (uncertainty). Kemungkinan meledak pasar gelap BBM oleh para spekulan. Belum lagi, siapa yang menjamin kejujuran dan keamanan di SPBU saat konsumen dipaksa berpindah ke pertamax? Hal yang paling tidak terkontrol adalah munculnya spekulasi para pelaku ekonomi demi keuntungan sendiri. Spekulasi yang seperti itu meningkatkan angka inflasi yang menghantam keras perekonomian kita yang cukup baik selama lima tahun terakhir.

    Muncul juga pertanyaan mengapa harus berpindah ke pertamax, yang berarti kita harus impor; siapa yang harus mengimpor? Semua spekulasi tersebut akan terus berkembang dan seharusnya pemerintah ”hadir secara tegas” untuk meredamnya.

    Ancaman Inflasi

    Di Jawa Timur, konsumsi BBM cukup tinggi, bahkan merupakan salah satu lima provinsi penyedot terbanyak kuota BBM nasional setelah DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Pengurangan penyediaan BBM bersubsidi akan berpengaruh terhadap kinerja sektor utama perekonomian Jatim seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri, serta jasa. Di Jatim, kuota BBM bersubsidi 2011 sekitar 4,9 juta kl (kiloliter). Melihat geliat perekonomian Jatim yang terus meningkat, diperkirakan tingkat konsumsi naik sebesar 3,8 persen. Pertumbuhan ekonomi Jatim 2011 (7,2 persen) merupakan capaian yang sangat bagus (di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang 6,5 persen) tentunya menjadi catatan penting betapa pentingnya dampak kebijakan soal BBM itu terhadap perekonomian daerah.

    Perlu diperhatikan naiknya biaya transportasi, khususnya bagi komoditas pertanian. Berdasar inflasi 2011, pengeluaran untuk bahan makanan dan makanan merupakan penyumbang terbesar (sekitar 63 persen) atas tingkat inflasi. Pemerintah perlu menyiapkan strategi agar perubahan kebijakan BBM itu tidak berimbas kepada naik drastisnya harga produk pertanian dan industri makanan, yang merupakan sektor utama perekonomian Jatim.

    Kesiapan Pemda

    Saat ini harga minyak internasional sudah mulai di atas UDS 100 per barel. Padahal, situasi sedang kian tak bersahabat. Misalnya, ketegangan Iran -sebagai salah satu produsen minyak berpengaruh- dengan Barat. Di daratan Eropa, musim dingin berkepanjangan saat ini juga akan semakin mendongkrak harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang tak stabil itu berimbas kepada kebijakan BBM pemerintah (yang mengasumsikan harga minyak di APBN sebesar USD 90 per barel).

    Peran pemda terkait kebijakan BBM tidak kecil. Perlu kebijakan yang dapat mempertahankan dan mendongkrak daya beli masyarakat. Setidaknya dalam jangka pendek pemda bisa memberikan kemudahan kepada pelaku usaha ”baru” untuk membuka lapangan kerja (baik permodalan maupun perizinan). Kedua, operasi pasar untuk sembako murah. Ketiga, pelayanan kesehatan gratis. Dan keempat, penyelenggaraan pendidikan dengan biaya gratis dan berkualitas. Semua kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Bila itu tidak dilakukan, kehidupan masyarakat bisa merosot, kemiskinan meningkat.

    Dalam jangka panjang, peran pemerintah harus mampu menyediakan fasilitas transportasi publik yang memadai. Tujuannya, secara makro mengurangi kebutuhan akan BBM. Sebagai contoh, sekarang ini dengan adanya car free day di beberapa kota Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Kota Malang, dan Kota Batu) akan mendorong masyarakat berhemat BBM. Sebaiknya itu menjadi gerakan nasional.

    Dengan demikian, kebijakan BBM serta kebijakan pencegahan dampaknya, merupakan ”paket kebijakan” yang harus didesain lebih awal. Koordinasi antarinstitusi, baik di lingkungan kementerian maupun lembaga di pusat (horizontal), serta kerja sama dengan daerah (vertical) perlu terus diupayakan, mengingat anggaran yang terbatas dan tuntutan masyarakat akan kesejahteraan yang tidak bisa ditunda.

    Upaya-upaya meredam inflasi perlu terus dilakukan sekaligus perlu dicari alternatif kebijakan BBM itu. Misalnya, meningkatkan harga premium dengan diikuti kebijakan pengontrolan efek inflatoir dari kebijakan yang dibuat.

    Tidak semua masyarakat akan senang atas kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tersebut. Karena itu, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa langkah itu diambil demi kebaikan kita semua. Mari kita berhemat dan tetap produktif. ●

  • Management Capacity di Balik Kandang Sapi

    Management Capacity di Balik Kandang Sapi
    Dahlan Iskan, MENTERI BUMN
    Sumber : KORAN TEMPO, 13Februari 2012
    SAYAlupa ini bukan Surabaya: pukul lima pagi masih sangat gelap di Jambi. Tapi, janji telanjur diucapkan: melihat perkebunan sawit milik PTPN-6, kira-kira satu jam naik mobil dari Kota Jambi. Padatnya acara Hari Pers Nasional yang dihadiri Presiden SBY tanggal 9 Februari lalu membuat tidak banyak pilihan waktu.

    Di PTPN-6 ini ada tubuh-tubuh seksi yang perlu dikunjungi: peternakan sapi yang dikombinasikan dengan kelapa sawit!

    Sudah lebih satu bulan uji coba sapi-sawit ini dilakukan. Memanfaatkan pelepah kelapa sawit untuk makanan ternak. Begitu banyak pelepah yang terbuang. Ini disebabkan kelapa sawit tidak bisa dipanen kalau pelepah yang melindungi tandannya tidak dibuang.

    Setiap pohon sawit rata-rata panen 20 kali setahun. Berarti setiap pohon membuang 22 pelepah yang bisa dijadikan makanan ternak. Pelepah itulah yang dimasukkan mesin. Dihancurkan sampai lembut. Selembut cacahan rumput. Lalu, dicampur bungkil dari pabrik pengolahan sawit. Ditambah lagi blotong yang diambil dari buangan pabrik yang sama.

    Betapa murahnya makanan ternak seperti ini. Kontras dengan peternakan yang ada. Betapa banyak peternak (sapi, kambing, ayam, bebek, lele, gurami) yang terjerat harga pakan yang mahal. Akibatnya, peternak kita kurang bergairah. Akibatnya, kita selalu kekurangan daging. Akibatnya, kita harus impor sapi. Impor lagi. Impor lagi. Tahun lalu Indonesia mengimpor 350.000 ekor sapi!

    Kenyataan tingginya impor sapi inilah yang menantang siapa pun. Termasuk menantang teman-teman BUMN yang bergerak di perkebunan sawit. Mungkin teman-teman BUMN sawit yang bisa ikut mengatasi. Mungkin kombinasi “sapi-sawit” inilah solusinya.

    Memang, sebelum melihat uji coba di PTPN-6 Jambi ini, saya sudah berpikir agar BUMN membuat peternakan skala besar di Sumba atau di salah satu pulau di NTT lainnya. Atau di Pulau Buru. Saya bersama seorang tokoh manajemen perubahan, Rhenald Kasali, diam-diam memang lagi mempersiapkan studi peternakan skala besar di Pulau Buru.

    Profesor Kasali sudah lebih dulu memiliki proyek sosial yang monumental di Pulau Buru, Maluku. Ada kemungkinan masih bisa dikembangkan lagi untuk bidang peternakan. Saya belum berani mengungkapkan soal ini karena belum begitu konkret. Biarlah tim Profesor Kasali meneruskan studinya. BUMN hanya akan menerima hasilnya dan kelak mengembangkannya.

    Sebagaimana BUMN pangan yang harus dibesarkan, Presiden SBY juga memberikan dorongan yang sangat besar untuk teratasinya kekurangan sapi ini. Rasanya, banyak skenario yang bisa disiapkan. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, misalnya, termasuk yang sangat antusias mengatasi kekurangan daging ini agar kecerdasan generasi mendatang lebih tinggi lagi.

    Sambil menunggu studi di Pulau Buru, proyek sapi-sawit seperti yang di Jambi ini bisa dijalankan lebih dulu. Pagi itu, di sebelah kandang sapi yang berisi 50 ekor, diskusi serius dilakukan. Di samping ada Dirut PTPN-6, Iskandar Sulaiman, ada juga ahli serat kelapa sawit Dr Witjaksono. Juga doktor-doktor peternakan yang menekuni bidang ini. Misalnya, Dr Bess Tiesnamurti: kelahiran Jogjakarta, lulus S-1 di Undip Semarang, S-2 di Amerika Serikat, dan mengambil doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tentu saya banyak bertanya kepada para ahli itu. Sesekali menguji dan mengklarifikasi data. Ini disebabkan pengetahuan saya di bidang peternakan sangat terbatas.

    Diskusi intensif perlu saya lakukan karena saya harus membuat keputusan yang strategis. Tidak boleh keterbatasan saya menjadi penghambatnya. Memang di masa remaja, saya adalah penggembala kambing. Bertahun-tahun setiap pulang sekolah saya harus menggembalakan kambing milik tetangga dengan upah: kelak mendapatkan salah satu anak kambingnya. Saya juga biasa memandikan sapi atau kerbau asuhan teman-teman sepenggembalaan. Tapi, saya tidak pernah sekolah peternakan.

    Diskusi tersebut terus dilakukan di sepanjang perjalanan kembali ke Kota Jambi. Itulah sebabnya, saya dan Dirut PTPN-6 gantian mengemudikan mobil. Para ahli itu sebagai penumpangnya. Diskusi di dalam mobil tidak kalah seru. Gantian mengemudi begini juga penting sekaligus untuk mengubah citra bahwa direksi perkebunan itu feodalistik.

    Tiba di Jambi, ratusan aktivis KAMMI Jambi sudah menunggu saya untuk sebuah dialog. Karena itu, sementara saya terlibat diskusi dengan KAMMI, para ahli tersebut saya minta mengadakan rapat dengan manajemen PTPN-6. Saya ingin dari hasil peninjauan dan diskusi sepanjang pagi itu ada follow-up-nya. Para ahli tersebut bersama direksi PTPN-6 saya minta membuat business plan.

    Harapan saya, ketika diskusi dengan teman-teman KAMMI selesai, saya sudah bisa melihat business planproyek sapi-sawit ini. Mereka ternyata benar-benar ahli. Sebelum saya selesai acara di KAMMI, rapat itu sudah selesai. Business plan sudah tersusun. Ini disebabkan bahan-bahan rapat tersebut memang sudah didiskusikan secara mendalam sejak pukul 5 pagi.

    Kombinasi ahli ternak dari Kementerian Pertanian dengan kemampuan manajerial direksi PTPN-6 membuat pekerjaan bisa selesai cepat. Inilah yang membuat saya pernah mengemukakan di MetroTVbulan lalu bahwa eksekutif BUMN itu sebenarnya hebat-hebat. Bahkan, dari lima kali pemilihan Marketer of the Year yang dilaksanakan Hermawan Kartajaya, empat di antaranya dimenangkan Dirut BUMN!

    Kami pun kembali ke kantor PTPN-6. Mendiskusikan business plan yang sudah dirumuskan. Berbagai angka diklarifikasi. Berbagai kesulitan dibayangkan. Berbagai hambatan diinventarisasi. Hasilnya: go!Peternakan sapi-sawit ini bisa dilaksanakan. PTPN-6 Jambi, karena kebunnya yang hanya 32.000 ha (terkecil di antara perkebunan BUMN), menyanggupi dijatah 10.000 ekor sapi setahun. Mulai kapan? Dimulai tahun ini juga. Kandang sudah harus dibuat April nanti. Sebelum musim Qurban hari raya haji Oktober nanti, sudah harus mulai panen 2.000 ekor.

    Business planakan dimatangkan lagi dalam pertemuan antardireksi PTPN sawit seluruh Indonesia sebelum akhir bulan ini. Target 100.000 ekor sapi tahun ini harus dibagi di antara perkebunan yang ada. Tahun depan, kalau bisa, ditingkatkan menjadi 200.000 ekor.

    Target waktu tersebut tidak sulit dicapai. Model kandangnya dipilih yang praktis. Memang ada dua model kandang: model berlantai semen yang tiap hari harus dibersihkan atau model lantai jerami yang hanya tiap tiga bulan diperbarui. Dua-duanya sama baiknya.

    Kalau model lantai semen yang dibuat agak miring, kotoran sapi itu bisa dimanfaatkan untuk biogas. Sedangkan, air kencingnya bisa untuk pupuk. Jangan meremehkan air kencing sapi. Kini, harga air kencing itu sudah lebih mahal daripada Coca-Cola! Begitu bagusnya kandungan pupuk air kencing sapi, harganya kini mencapai Rp 10.000/liter!

    Kalau lantai kandang itu terbuat dari hamparan sabut, tidak perlu dibersihkan setiap hari. Biarlah tinja sapi bercampur dengan Coca-Cola-nya, menyatu dengan sabutnya. Setiap tiga bulan, lantai itu bisa diambil. Menjadi pupuk organik yang luar biasa. Pupuk inilah yang akan menyuburkan perkebunan sawit. Menggantikan hilangnya pelepah-pelepah yang selama ini dibiarkan membusuk di bawah pohon.

    Tentu ide ini masih bisa dikembangkan. Begitu banyak rakyat yang memiliki kebun sawit sendiri. Tentu kelak, setelah melihat praktik di PTPN, mereka juga bisa meng-copy-paste. Karena itu, proyek sapi-sawit PTPN ini harus berhasil: menjadi contoh untuk rakyat sekitar.

    Bagi manajemen PTPN sendiri, sebenarnya proyek ini kurang menarik. Hasilnya hanya serambut dibelah tujuh jika dibandingkan dengan hasil minyak sawitnya. Karena itu, niat pengembangan sapi-sawit ini harus tidak sekadar bisnis. Melainkan juga untuk ikut menyelesaikan salah satu persoalan bangsa.

    Bagi saya, proyek seperti ini juga untuk melihat capacity yang sebenarnya dari sebuah manajemen di BUMN. Apakah sebuah BUMN sudah menggunakan kapasitas manajemennya secara maksimal? Apakah kapasitas besar yang dimiliki para direksi BUMN sudah sepenuhnya tercurah untuk kemajuan perusahaan? Atau masih banyak kapasitas yang terbuang di “arena lain”?

    “Arena lain” itu tidak boleh terlihat begitu menariknya bagi manajemen BUMN. “Arena lain” itu bisa menggeser fokus. Saya sendiri sudah diingatkan banyak teman untuk jangan tergoda sering menghadiri acara yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan BUMN. Belakangan memang terlalu banyak permintaan untuk sebuah aktivitas di luar BUMN. Saya harus segera menyadari bahwa itu adalah godaan. Saya akan memperhatikan peringatan teman-teman seperti itu.

    Kembali ke fokus memang harus digalakkan: bekerja, bekerja, bekerja. Direksi BUMN yang selama ini hanya mengurus PSO (public service obligation), misalnya, sudah harus mulai bergerak ke luar PSO. Agar kapasitas manajemen yang sebenarnya terlihat dengan nyata. PSO tetap harus dijalankan. Ini penugasan dari pemerintah. Tapi, tidak boleh direksinya tidak bergerak di luar itu. Itulah sebabnya, saya gembira ketika PT Pusri, PT Sang Hyang Sri, dan PT Pertani bersemangat menangani pembukaan sawah baru besar-besaran. Bulog juga akan ikut bergerak menangani program intensifikasi sawah mandiri.

    Kelemahan businessas usual adalah: tidak akan bisa terlihat kapasitas manajemen BUMN yang sebenarnya. Business as usual tidak akan melahirkan manajemen yang tangguh. Dengan beban yang lebih banyak dan target yang lebih tinggi, akan terlihat mana direksi yang benar-benar andal dan mana yang sebenarnya biasa-biasa saja. Peningkatan kapasitas direksi melalui penambahan beban seperti inilah jalan terbaik untuk capacity building.

    Capacity buildingmodel ini juga akan terjadi di kelompok kehutanan. Inisiatif Perhutani untuk menggarap hutan sagu menjadi industri pangan adalah capacity building dari manajemennya yang luar biasa. Perusahaan-perusahaan BUMN kehutanan (terutama Inhutani 1, 2, 3, 4, 5) tidak akan lagi kerja rutin: mengerjasamakan lahan dan mengerjasamakan apa saja yang dimilikinya. Bagaimana kita bisa melihat apakah direksi Inhutani itu hebat atau tidak kalau semua pekerjaannya di-sub-kan ke pihak ketiga.

    BUMN PPA juga berubah. Tidak boleh lagi PPA menangani hal yang kecil-kecil. Tahun 2012 ini PPA hanya akan menangani lima masalah, tapi gajah-gajah. Sudah bertahun-tahun tidak ada yang berani menyentuh gajah-gajah-bengkak itu. Di sinilah akan terlihat manajemen capacityPPA yang sebenarnya. Mungkin agak heboh-heboh sedikit, tapi bukankah manajemen yang besar memang harus menyelesaikan persoalan yang besar?

    Kalau capacity buildingini terjadi di semua bidang BUMN (perkebunan, pangan, gula, penerbangan, perbankan, kereta api, pelabuhan, kehutanan, energi, perkapalan, perhotelan, dan seterusnya), hasilnya akan gegap gempita. Kita pun akan tahu apakah kapasitas manajemen di sebuah BUMN itu sudah memadai atau belum. Kita pun akan tahu dengan sebenar-benarnya apakah semua kapasitas manajemen BUMN sudah termanfaatkan atau masih idle.

    Semua itu harus sudah terbaca sebelum 1 Juli 2012. Saat itulah, dari ribuan sapi di kebun sawit sudah banyak yang mulai hamil. ●

  • Mengulas Kembali Senjakala Dunia Barat

    Mengulas Kembali Senjakala Dunia Barat
    Shlomo Ben-Ali, MANTAN MENTERI LUAR NEGERI ISRAEL;
    WAKIL KETUA TOLEDO INTERNATIONAL CENTRE FOR PEACE,
    PENGARANG SCARS OF WAR, WOUNDS OF PEACE: THE ISRAELI-ARAB TRAGEDY
    Sumber : KORAN TEMPO, 13Februari 2012
    Sejak diterbitkan pada 1918 jilid pertama The Decline of the West karya Oswald Spengler, nubuat kiamat tak terelakkan dari apa yang dinamakan “Faustian Civilization” itu telah berulang kali menjadi topik para pemikir dan intelektual publik. Krisis yang sekarang melanda Amerika Serikat dan Eropa–esensinya akibat gagalnya etika yang inheren dalam diri kapitalisme AS, serta akibat disfungsi Eropa–mungkin dianggap memberikan kredibilitas kepada pandangan Spengler mengenai tidak memadainya demokrasi, dan kepada penolakannya yang pada intinya menganggap peradaban Barat sebagai peradaban yang pada intinya didorong oleh nafsu yang korup mengejar harta.
    Tapi determinisme dalam sejarah selalu dikalahkan oleh kekuatan kemauan keras manusia yang tidak bisa diprediksi, dan dalam hal ini oleh kemampuan luar biasa Barat untuk memperbarui diri, bahkan setelah mengalami kekalahan yang membawa perubahan besar. Benar bahwa Barat bukan lagi satu-satunya kekuatan yang mendikte agenda global, dan nilai-nilai yang dibawakannya pasti bakal mendapat tantangan yang semakin kuat dari kekuatan-kekuatan baru. Tapi kemunduran Barat ini bukan suatu proses yang linear, bergaris lurus dan tidak bisa berbalik kembali.
    Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan militer dan ekonomi Barat telah mengalami kemunduran serius akhir-akhir ini. Pada 2000, PDB Amerika delapan kali lipat PDB Cina; sekarang tinggal cuma dua kali lebih besar. Lebih parah lagi, ketidaksetaraan penghasilan yang lebar, kelas menengah yang terimpit, dan bukti meluasnya kehilangan etika dan kebalnya suatu kelompok dari hukuman, telah mendorong timbulnya kekecewaan yang berbahaya terhadap demokrasi dan semakin hilangnya kepercayaan terhadap “American Dream” akan kemajuan dan peningkatan diri.
    Namun ini bukan pertama kalinya nilai-nilai yang dibawakan Amerika menghadapi dan berhasil mengatasi ancaman populisme di masa krisis ekonomi. Variasi agenda fasis yang serupa pernah muncul di Amerika pada 1930-an ketika kaum populis di bawah pimpinan Pendeta Charles Coughlin menyerang Franklin Roosevelt yang mereka tuduh “beraliansi dengan para bankir”. National Union for Social Justice pimpinan Coughlin, yang anggotanya mencapai jumlah jutaan orang, pada akhirnya dikalahkan oleh sistem antibodi demokrasi Amerika yang kuat itu.
    Mengenai Eropa, krisis kawasan euro yang terjadi saat ini telah mengungkapkan kelemahan demokrasi dalam menangani darurat ekonomi, serta cacat yang ada dalam rancangan terbentuknya Uni Eropa. Di Italia dan Yunani, teknokrat-teknokrat telah mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan para politikus yang gagal. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbon telah mendesak ”didirikannya kembali negara” yang otoriter. Kasus-kasus semacam ini tampaknya menuju pada kembalinya masa lalu Eropa di mana gagalnya demokrasi telah membuka jalan timbulnya bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih menguntungkan sesaat.
    Meski demikian, sementara Eropa masih merupakan tanda tanya besar, pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja, betapapun rapuhnya, sudah kembali di Amerika. Lagi pula bahkan jika Cina menjadi ekonomi paling besar di dunia, katakan pada 2018, Amerika masih tetap bakal lebih kaya dari Cina, dengan PDB per kapita di Amerika empat kali lebih besar daripada di Cina.
    Yang pasti, ketidaksetaraan penghasilan dan ketidakadilan sosial merupakan bagian yang mengiringi budaya kapitalis di seluruh dunia Barat. Tapi para penantang, seperti Cina dan India, tidak pantas memberikan khotbah. Dibandingkan dengan kapitalisme India, gagalnya etika kapitalisme di negara-negara lain tidak seberapa. Di India, seratus orang kaya dari sekelompok kecil oligarki menguasai aset setara dengan 25 persen PDB negeri itu, sementara 800 juta rakyat lainnya bertahan hidup dengan uang yang kurang dari satu dolar sehari. Politikus dan hakim bisa dibeli, dan sumber daya alam yang bernilai triliunan dolar dijual kepada korporasi-korporasi besar dengan harga obral.
    Memiliki ekonomi paling besar vital bagi suatu negara yang ingin mempertahankan keunggulan militer dan kemampuan menentukan tata hubungan internasional. Menurunnya kekuatan Barat berarti semakin beratnya upaya menegakkan relevansi komponen-komponen utama sistem nilainya, seperti demokrasi dan hak universal.
    Eropa, dengan mentalitasnya yang hampir pasca-sejarah itu, telah lama menanggalkan pretensi sebagai suatu kekuatan militer. Keadaan yang sama tidak bisa dikatakan mengenai Amerika. Setbackyang dialami Amerika di Irak dan Afganistan bukannya mencerminkan menurunnya keunggulan militernya, melainkan merupakan akibat kebijakan salah arah yang berusaha menggunakan hard power untuk menyelesaikan konflik yang tidak bisa dicapai dengan kekerasan.
    Pengurangan besar-besaran anggaran pertahanan AS baru-baru ini tidak berarti menunjukkan penurunan. Ia bisa berarti dilancarkannya era baru smart defense (pertahanan yang cerdas), yang mengandalkan ide-ide yang inovatif, aliansi yang kuat, dan membangun kemampuan negara-negara mitra. Bergesernya prioritas militer AS ke kawasan Asia-Pasifik merupakan penyeimbangan kembali strategi yang bisa dipahami, mengingat fokus Amerika yang berlebihan pada Timur Tengah dan dipertahankannya kehadiran militer Amerika yang tidak perlu di Eropa.
    Terlunakkan oleh kelelahan petualangan-petualangan di seberang lautan, nafsu Amerika untuk menyelamatkan dunia dari otokrat-otokrat yang kejam di negeri-negeri lain bakal banyak berkurang. Cina otomatis bakal mengambil alih wilayah yang ditinggalkan Amerika. Walaupun ada pengurangan belanja pertahanan, anggaran pertahanan Amerika masih lima kali lebih besar daripada anggaran Cina. Lebih penting lagi, strategi jangka panjang Cina mensyaratkan ia berfokus dalam jangka pendek pada pemenuhan kebutuhannya akan energi dan bahan mentah.
    Jangan salah menarik kesimpulan: Sentrisme-Euro dan kebanggaan Barat yang arogan telah mengalami pukulan berat pada tahun-tahun terakhir ini. Tapi, bagi mereka di Barat yang sudah mengalami fatalisme, menyerah kepada nasib dan keragu-raguan diri, suatu pesan harapan sekarang datang dari Musim Bunga Arab dan dari dimulainya kembali di Rusia revolusi yang belum selesai dalam mengakhiri komunisme. Begitu juga, ketidakkonsistenan antara kapitalisme Cina dan tidak adanya kebebasan sipil di negeri itu belum terselesaikan. Kemungkinan terjadinya Musim Bunga Cina tidak bisa dikesampingkan.
    Barat menghadapi tantangan yang serius–seperti yang sudah selalu dialaminya. Tapi nilai-nilai kebebasan dan martabat yang mendorong peradaban Barat tetap didambakan sebagian besar umat manusia. ●
  • Negara Gagal Mengelola Konflik

    Negara Gagal Mengelola Konflik
    Novri Susan, SOSIOLOG KONFLIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
    Sumber : KORAN TEMPO, 13Februari 2012
    Selama dua bulan awal 2012 saja, frekuensi kekerasan dalam konflik di antara kelompok buruh, petani, dan masyarakat adat dengan negara atau swasta makin tinggi. Tingginya frekuensi kekerasan yang menyertai kasus-kasus konflik tersebut merupakan indikator bahwa negara telah gagal mengelola konflik secara demokratis.
    Seperti pada kasus amuk massa dalam konflik pertambangan di Bima akhir Januari tahun ini. Menurut laporan media, puluhan ribu orang melakukan perusakan kantor Bupati dan fasilitas-fasilitas perkantoran Kabupaten Bima. Masyarakat menuntut dicabutnya Surat Keputusan Nomor 188 tentang izin eksplorasi tambang oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Setelah amuk massa tersebut, barulah Bupati Bima memenuhi tuntutan masyarakat dengan mencabutnya. Keputusan politik itu terhitung lamban sehingga harus ditebus dengan korban jiwa masyarakat dan kerugian fasilitas pemerintahan terlebih dulu.
    Kasus konflik pertambangan di Bima, Mesuji, Lampung, sampai Papua merupakan contoh konkret tentang bagaimana negara gagal melakukan pengelolaan konflik yang berprinsip pada demokrasi. Pengelolaan konflik demokratis sarat akan upaya politik pemerintahan, yang mengarusutamakan proses dialog-negosiasi yang transparan, setara, dan responsif dalam menangani tuntutan publik. Maka dinamika kekerasan jarang terjadi di negara yang mengelola konflik secara demokratis.
    Tuntutan Publik
    Masyarakat luas secara dinamis akan menolak setiap kebijakan negara yang dipandang memberi konsekuensi buruk, tidak menawarkan keuntungan, dan mengancam keberlangsungan hidup kolektif. Pada usia demokrasi Indonesia yang tidak lagi muda, daya kritis masyarakat yang ditandai oleh kemampuan menilai kebijakan dan mengorganisasi tuntutan publik ternyata gagal dibaca secara reflektif oleh penyelenggara kekuasaan negara. Bahkan, kecenderungannya, terjadi pengabaian pada tuntutan publik oleh sebagian besar penyelenggara kekuasaan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
    Termasuk kasus konflik pertambangan di Kabupaten Bima, para pemimpin dalam pemerintahan daerah tersebut, terutama bupati, telah melakukan pengabaian politik terhadap gelombang tuntutan publik (public grievances). Pengabaian tersebut diperlihatkan oleh keengganan Bupati melakukan pencabutan kebijakan izin pertambangan yang diberikan kepada perusahaan swasta, walaupun pemerintah telah menghadapi gelombang aksi masyarakat seperti pada kerusuhan Sape, yang menyebabkan tiga warga meninggal dan lebih dari 30 orang luka-luka. Sikap politik tersebut, yang dalam literatur studi konflik disebut politik keras kepala (contentious politics), telah menyebabkan kondisi terdeprivasi secara kolektif di kalangan masyarakat. Yakni, situasi mengecewakan yang makin dalam akibat ekspektasi akan adanya perubahan sikap dan kebijakan satu kelompok atau pemerintah menemui kenyataan terbalik secara ekstrem.
    Kondisi terdeprivasi secara kolektif selalu menjadi kimia sosial suatu kelompok untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan seperti amuk massa. Dalam kasus konflik pertambangan di Bima, tampaknya amuk massa merupakan cara terakhir memperjuangkan tuntutan publik di Bima dalam pencabutan izin eksplorasi tambang. Tindakan kekerasan masyarakat yang merasa terdeprivasi oleh politik keras kepala kekuasaan negara dirangsang oleh kondisi keterpaksaan. Kekerasan dalam amuk massa bukan merupakan preferensi cara yang humanis dan taat pada prosedur hukum, yang sering dikategorikan sebagai tindakan kriminal oleh negara. Masyarakat pasti menyadari konsep hukum tersebut. Tapi kondisi terdeprivasi kolektif mendorong timbulnya keberanian melanggar tata hukum positif tersebut. Bisa jadi, dalam konstruksi makna kolektif masyarakat, para pelaku amuk massa yang melawan politik keras kepala kekuasaan dilihat sebagai pahlawan yang mengorbankan diri. Mereka berani mempertaruhkan masa depan individual mereka dengan dijebloskan dalam penjara demi kebaikan hidup kolektif.
    Demokrasi Responsif
    Dinamika tuntutan publik dalam berbagai kasus konflik vertikal antara masyarakat dan negara atau swasta, yang diwarnai ekspresi kekerasan, merupakan indikator bahwa kekuasaan negara menjauhi konsep demokrasi responsif. Kenyataan ini merupakan ironi besar karena pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, sebagai penyelenggara negara, merupakan produk demokrasi itu sendiri. J. Rhee Baum (Responsive Democracy, 2011) memberi penjelasan bahwa demokrasi responsif ditandai oleh kelembagaan pemerintahan yang memiliki kecepatan dan kualitas respons yang baik atas berbagai tuntutan publik. Pemerintahan dalam demokrasi responsif membangun sistem dan kebudayaan yang memiliki ketanggapan kuat terhadap isu-isu dalam masyarakat tentang kebijakan pemerintahan, yang selanjutnya memasukkan isu-isu tersebut sebagai prioritas dalam upaya penyelesaian masalah. Prinsip utama penyelesaian dalam demokrasi responsif adalah demi kebaikan umum (common bonum).
    Prinsip dasar menciptakan penyelesaian yang baik untuk umum adalah menyediakan dan meningkatkan kualitas partisipasi kelompok kepentingan secara transparan serta setara. Artinya, negara tidak sekadar menyediakan prosedur formal partisipasi, tapi juga mendorong kualitasnya. Dimensi dasar dari kualitas partisipasi adalah kontinuitas dialog atau negosiasi sampai terjadi kesepakatan atas konsep penyelesaian kasus tertentu. Contoh baik ini ditunjukkan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo ketika akan merelokasi pedagang kaki lima dengan melakukan 54 kali dialog. Kontinuitas dialog-negosiasi tersebut telah berhasil menciptakan penyelesaian masalah relokasi pedagang kali lima berbasis kebaikan umum, yang ditandai oleh proses damai dan dukungan masyarakat luas.
    Dalam konflik pertambangan di Kabupaten Bima, secara ironis pemerintahannya memilih politik keras kepala dan menjauhi prinsip demokrasi responsif. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Bima tidak mampu menyediakan penyelesaian konflik pertambangan itu dengan berbasis pada kebaikan umum. Selanjutnya, aparat kepolisian dimandati kekuasaan untuk “mengamankan” kebijakan legal pemerintah, yang prinsipnya adalah represif.
    Pengelolaan konflik berbagai kasus oleh negara, baik dalam isu pertambangan, pertanahan, maupun perburuhan, harus berprinsip pada demokrasi responsif. Prinsip tersebut menjadi penting jika misi utama pengelolaan konflik oleh negara merupakan pemecahan masalah yang mampu memberi kebaikan umum. Namun, ketika negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah lebih memilih politik keras kepala dan pengabaian terhadap tuntutan publik, fenomena kekerasan dan amuk massa akan terus direproduksi. Tentu saja kekerasan bukanlah prestasi yang membanggakan bagi bangsa Indonesia. ●
  • Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria

    Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria
    Sidik Suhada, KETUA DPN REPDEM BIDANG PENGGALANGAN TANI,
    AKTIVIS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 13Februari 2012
    Kasus traffickingatau perdagangan manusia kembali merebak di berbagai daerah. Baru-baru ini, Kepolisan Daerah Kalimantan Barat membongkar sindikat perdagangan perempuan di bawah umur yang akan dijadikan pemuas nafsu lelaki hidung belang di sejumlah hotel berbintang di Pontianak (Sinar Harapan, 9 Februari 2012).
    Beberapa waktu lalu, Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya juga berhasil membongkar kasus perdagangan manusia dengan korban delapan orang perempuan (Antara,27 Desember 2011).
    Maraknya kasus traffickingjuga dapat dilihat dari data International Organization for Migration (IOM) yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal korban perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011 lalu, sedikitnya tercatat ada 3.909 korban perdagangan manusia dan sebagian besar korbanya kaum perempuan.
    Kasus perdagangan perempuan semacam ini sebenarnya bukan hal baru yang ada di muka bumi ini. Modus operandinya beragam. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau lembaga penyalur tenaga kerja.
    Modus operandi yang kerap dilakukan lembaga ini juga beragam, mulai dari pemalsuan dokumen-dokumen seperti KTP, ijasah, akta kelahiran, dan surat izin orangtua atau yang berhak. Jadi sering kali identitas korban trafficking yang terbongkar tidak sama dengan alamat aslinya.
    Modus operandi kedua, biasanya para penyalur tenaga kerja tidak menjelaskan isi perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Lebih parahnya lagi, para korban trafficking ini kerap dijual sebagai pemuas nafsu seksual di tempat-tempat hiburan. Mereka bukannya ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan pada awalnya.
    Apapun kedok dan modus operandinya yang dipakai, lazimnya bermuatan iming-iming kerja enak, gaji besar, dan masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa embusan angin surga yang bermuatan penipuan.
    Namun, dalam kasus ini tentu bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Ini melainkan sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disejajarkan dengan tindak kejahatan korupsi dan terorisme.
    Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, sudah sepatutnya sanksi hukum pelaku tindak pidana traffickingpun harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: pidana mati!
    Akar Masalah
    Selain memberikan hukuman berat pada pelaku tindak trafficking yang sering kali melibatkan lintas negara dan benua ini, pemerintah juga harus menyelesaikan akar permasalahan terjadinya trafficking.
    Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dan bersifat mendasar. Pertama, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan hingga September 2011 mencapai 12,36 persen atau sekitar 29,89 juta orang.
    Dari sekian banyak jumlah kemiskinan yang ada itu, sebanyak 10,95 juta orang tinggal di perkotaan. Sisanya, sebanyak 18,94 juta orang tinggal di daerah perdesaan dan berprofesi sebagai buruh tani serta petani berlahan sempit.
    Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan ini disebabkan adanya ketimpangan hak atas kepemilikan tanah.
    Ketimpangan kepemilikan tanah ini setidaknya dapat dilihat dari data BPN-RI yang menyebutkan, sekitar 56 persen tanah di seluruh Indonesia saat ini hanya dikuasai sekitar 0,2 persen orang saja. Di sisi lain, sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak memiliki tanah alias buruh tani.
    Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan juga dapat dilihat dari fakta desa tertinggal yang ada. Dari 65.554 desa yang ada di Indonesia, 51.000 desa masih berstatus desa tertinggal. Sebanyak 20.633 desa di antaranya adalah desa miskin dan terbelakang.
    Kedua, tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan juga menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Agustus 2011 lalu, BPS mencatat sebayak 6,56 persen usia produktif berstatus sebagai penganggur terbuka. Banyaknya jumlah penganggur di usia produktif ini sebenarnya dapat diatasi apabila ada pemerataan hak atas penguasan tanah.
    Pembaruan Agraria
    Untuk dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus berani mencabut akar pokok dari masalah itu. Yakni, merombak total struktur kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan.
    Ini karena ketimpangan kepemilikan tanah itulah sumber persoalan yang sebenarnya yang melahirkan kemiskinan, pengangguran, dan maraknya korban trafficking hingga hari ini.
    Untuk dapat merombak itu, tentu tak ada cara lain selain menjalankan pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960. Hanya dengan jalan pembaruan agraria, pemerataan ekonomi yang berbasis pembangunan perdesaan berkelanjutan dapat dijalankan.
    Bagi bangsa Indonesia, gagasan pembaruan agraria atau land reform sebenarnya juga bukan sesuatu hal baru. Ini karena sejak muda, Presiden RI pertama Soekarno sudah menyebutkan soal agraria dalam tulisannya pada 1933 dan menyinggung tentang buku “Die Agrarfrage” sebagai persoalan kaum tani.
    Setelah Indonesia Merdeka, melalui pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960, secara tegas Bung Karno pun mengatakan bahwa, “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.
    Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”
    Meminjam kalimat Bung Karno itu, jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkehendak ingin mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, namun tidak mau melaksanakan pembaruan agraria sejati sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960, tentu dapat disebut sebagai “gembar-gembornya” tukang penjual obat yang tidak bermakna apa-apa.
    Hanya dengan jalan pembaruan agraria sejati, pemerataan pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan dapat diatasi. ●