Author: Adul

  • Mohon Maaf, Saya Korupsi

    Mohon Maaf, Saya Korupsi
    Djoko Pitono, JURNALIS DAN EDITOR BUKU
    Sumber : SUARA MERDEKA, 15Februari 2012
    ”SAYA memang telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketika saya mulai diperiksa oleh KPK bulan lalu, saya me-ngatakan bahwa saya tidak bersalah. Saya menyatakan dengan tegas, saya bukan koruptor. Mengapa saya mengatakan hal itu? Karena saya tidak kuat menghadapi kenyataan. Jadi saya terpaksa membohongi keluarga saya, staf saya di DPR, kawan-kawan, kolega, dan masyarakat, bahkan saya sendiri. Karena itu, saya benar-benar mohon maaf…”

    Anda ingat kata-kata siapa itu? Siapa anggota DPR di negeri ini yang ditangkap KPK dan minta maaf atas tindakan korupsinya meskipun belum diadili? Tentu saja Anda bingung. Pasalnya, memang tidak ada koruptor di negeri ini yang begitu jantan mengakui perbuatannya lalu minta maaf.

    Kata-kata itu adalah kutipan dari ungkapan (dengan sedikit perubahan) anggota DPR AS, Randall Harold Cunningham, yang ditangkap polisi federal pada 2005 karena korupsi, diadili, dan dihukum berat.

    Dari begitu banyak pejabat di negeri ini dan kemudian diadili, sulit sekali menemukan kasus dengan terdakwanya meminta maaf. Bahkan setelah vonis, bahkan lagi setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hukumannya. Ungkapan penyesalan dan permintaan maaf tampaknya bukan budaya bagi pelanggar hukum, termasuk dalam kasus-kasus tipikor di negeri ini. Yang ada malah pemberian remisi bagi koruptor. Rasanya perlu penelitian, mengapa begitu. Mengapa pelanggaran tindak pidana luar biasa itu tidak membuat para pelaku luluh perasaannya. Mereka tampak tetap tebal muka, membantah, dan mengajukan banding atas putusan hakim.

    Sebuah Pembelajaran

    Padahal, apalah sulitnya meminta maaf dan menyampaikan penyesalan atas kesalahan yang dilakukan dan memberikan pembelajaran pada publik? Seperti yang dilakukan Randall Harold Cunningham? Ada banyak kasus korupsi, tidak pidana lain, dan pelanggaran etika yang melibatkan pejabat publik di AS,  serta kemudian yang bersangkutan meminta maaf.
    Mantan Gubernur negara bagian Illinois AS, Rod Blagojevich (54), meminta maaf menjelang vonis awal Desember 2011 dalam persidangan atas tindakan korupsinya. Ia tetap dihukum berat, 14 tahun dan denda 20.000 dolar AS, dan akan dibawa ke penjara pada 16 Februari 2012.

    Politikus Partai Demokrat AS itu diputuskan bersalah karena menerima 17 gratifikasi alias suap, termasuk mencoba menjual kursi Senat yang pernah diduduki Presiden Barack Obama.
    Permintaan maaf kepada publik juga disampaikan mantan Ketua DPR negara bagian Pennsylvania John M Perzel menjelang vonis sidang korupsinya pada 31 Agustus 2011. Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada politikus Partai Republik AS tersebut. Namun kasus Cunningham paling dramatis. Cunningham (kini 70 tahun) adalah mantan anggota Partai Republik di DPR (House of Representatives) AS dari negara bagian California dari 1991 hingga 2005.

    Cunningham mengundurkan diri dari DPR pada 28 November 2005 setelah mengaku bersalah menerima suap paling tidak 2,4 juta dolar AS dari kontraktor pertahanan dan menggelapkan pajak pada 2004. Mantan pahlawan Perang Vietnam itu terbukti bersalah dan pada 3 Maret 2006 dihukum 8 tahun 6 bulan dan membayar ganti rugi 1,8 juta dolar.

    Yang istimewa, penyesalan dan permintaan maaf Cunningham disampaikan sebelum dia diadili. Pada intinya, dia mengatakan telah membohongi keluarga, staf, kawan-kawan dan koleganya, publik serta dirinya sendiri. .
    Dia mengakui, dirinya telah melanggar hukum, menutupi tindakan-tindakannya, dan merendahkan jabatan tingginya. Dia mengatakan sadar bahwa dia akan kehilangan kebebasan, reputasi, harta milik duniawi, serta yang paling penting, kepercayaan kawan-kawan dan keluarganya.

    Dia pun memberikan pembelajaran yang luar biasa dengan menambahkan, ‘’Dalam hidup saya, saya telah mengalami kegembiraan yang luar biasa dan kesengsaraan yang besar. Dan sekarang, saya menghadapi rasa malu yang besar. (Tapi) saya belajar di Vietnam bahwa ukuran sejati seorang laki-laki adalah bagaimana dia menghadapi kesulitan. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya lakukan. Tetapi saya dapat bertobat. Saya sekarang berusia hampir 66 tahun dan pada saat saya memasuki masa senja kehidupan saya, saya akan berusaha menggunakan sisa waktu yang diberikan Tuhan pada saya untuk bertobat.’’ 

    Di negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang, meminta maaf kepada publik adalah etika dasar bagi politikus atau pejabat yang dinilai atau merasa bersalah dalam tugas dan tanggung jawabnya. Seringkali pula, permintaan maaf itu disertai tindakan bunuh diri, seperti mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun. Roh yang sedang diselidiki dalam kasus korupsi, bunuh diri dengan terjun ke jurang pada 23 Mei 2009.

    Pengakuan Terpaksa

    Dari ratusan kasus korupsi di Indonesia yang diamati penulis —setidaknya dari laporan media massa— nyaris tidak ada terdakwa yang menyatakan penyesalan dan meminta maaf. Pengamatan itu menyangkut kasus yang melibatkan berbagai kalangan, seperti mantan menteri, mantan gubernur, anggota DPR dan DPRD, bupati dan wali kota, jaksa, polisi, hakim, dan sebagainya.  Hampir tak ada di antara mereka yang secara jantan mengakui perbuatan korupsinya. Yang menonjol adalah bantahan terhadap dakwaan dan pernyataan tidak bersalah.

    Sedikit perkecualian barangkali Urip Tri Gunawan (UTG), jaksa dari Kejaksaan Agung yang terbukti menerima suap Rp 6 miliar lebih dari Arthalita Suryani dalam kaitan kasus BLBI. Saat diadili pada 2008, Urip menyatakan menyesali perbuatannya. Namun hal itu terucap setelah dia mengajukan hukuman ringan dengan alasan anak-anaknya masih kecil dan istrinya sedang hamil. Ketika dia ditanya hakim apakah dirinya menyesal, jaksa Urip menjawab, ‘’Benar Pak Hakim, saya menyesal.”


    Itu pun tidak ada permintaan maaf.  Mengherankan memang. Sudah jelas bersalah pun tak mau meminta maaf. Ada yang perlu dikaji, di mana letak permasalahannya. Apakah (lagi-lagi) kesalahan di sekolah kita? ●
  • Lembar Baru Kasus Nazar

    Lembar Baru Kasus Nazar
    Febri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN ICW  
    Sumber : SINDO, 15Februari 2012
     
    Belum usai persidangan Nazaruddin dengan dakwaan menerima suap di Pengadilan Tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan mantan bendahara umum Partai Demokrat ini sebagai tersangka dengan menggunakan UU Pencucian Uang (13/2).
    Fakta persidangan, kesaksian Yulianis yang mengatakan bahwa dana Permai Group senilai Rp300 miliar digunakan untuk pembelian saham Garuda Indonesia, tampaknya menjadi salah satu dasar penyidikan tersebut. Seberapa signifikan pengaruhnya untuk pemberantasan korupsi? Jika sudut pandangnya hanyalah untuk menjerat orang perorangan seperti Nazaruddin, dengan mudah kita bisa mengatakan, penetapan tersangka ini sia-sia.

    Akan tetapi, tujuan pemberantasan korupsi tentu saja tidak semata menangkap orang dengan strategi follow the suspect, tapi juga asset recovery melalui strategi follow the money. Apalagi, ini kasus pertama KPK yang menggunakan kewenangannya sebagai penyidik tindak pidana asal (predicate crime) menurut UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Kendati terhitung lama sejak UU TPPU ini disahkan pada 5 Oktober 2010,langkah KPK ini patut diapresiasi.

    Serangan Ganda

    Betapa tidak, terobosan KPK ternyata bukan hanya penggunaan pidana pencucian uang dengan predicate crime korupsi, melainkan sekaligus menerapkan ketentuan tentang pidana korporasi. Sesuatu yang juga belum pernah dilakukan KPK sejak lembaga ini berdiri, bahkan belum pernah diterapkan oleh penegak hukum lainnya dalam kasus korupsi.

    KPK menyatakan menggunakan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU Pencucian Uang untuk menjerat Nazar terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia Airways Indonesia. Jika diurai, kita bisa memahami bahwa KPK sudah masuk pada dua tahapan pencucian uang yaitu placement dan layering. Artinya, pembelian saham Garuda dari kas Permai Group tersebut dianggap sebagai penempatan hasil kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan (Pasal 3), dan upaya menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul kekayaan tersebut (Pasal 4).

    Berdasarkan fakta persidangan, mantan bawahan Nazaruddin atau wakil direktur keuangan Group Permai mengungkapkan pernah disuruh Nazaruddin pada Januari 2011. Saat itu dana Rp300 miliar dialokasikan untuk membeli saham dengan menggunakan nama lima perusahaan lain. Bagaimana konstruksi pencucian uangnya? Tentu tidak bisa dipisahkan dari asal-usul dana yang digunakan untuk membeli saham tersebut.

    Dalam kesaksian di bawah sumpah, Yulianis juga mengatakan, selama 2009 dan 2010 Permai Group mencatatkan keuntungan Rp400 miliar dari komitmen fee proyek dan Rp1,2 triliun (masing-masing Rp600 miliar) dari pengerjaan proyek. Sedangkan kelaziman penerimaan fee dari proyek yang “dibantu” Nazaruddin berkisar 13–20%.

    Untuk proyek Wisma Atlet saja, yang sekarang sedang berjalan,komitmen fee-nya sebesar 13% dan sisanya dibagi pada sejumlah aktor di Kemenpora dan daerah. Di sinilah salah satu urgensi penggunaan UU Pencucian Uang. Jika KPK hanya menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi, tentu sangatlah sulit menjerat perbuatan menempatkan dana hasil kejahatan untuk pembelian saham atau objek lainnya.

    Pidana Korporasi

    Selain memperluas wilayah kerja KPK, penggunaan Pasal 6 UU Tipikor juga merupakan catatan pertama sejak pemberantasan korupsi pernah dilakukan, yaitu penerapan pidana korporasi. Di sana dikatakan dalam hal dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.

    Meski demikian, tentu saja tidak mudah membangun konstruksi hukum tersebut hingga membuktikannya di persidangan kelak. Karena itu, menjadi penting bagi kita, akademisi hukum pidana, PPATK, dan masyarakat yang berkomitmen dengan pemberantasan korupsi, untuk mengawal dan membantu KPK menangani skandal besar ini. Bisa diperkirakan, potensi serangan balik terhadap lembaga antikorupsi ini akan menjadi kian besar.

    Tidur Nyenyak?

    Apakah pengertian korporasi? Mengacu pada Pasal 1 angka 10 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang dan Pasal 1 angka 1 UU 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, pengertian korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi,baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pertanyaan berikutnya, siapa saja yang dapat disebut korporasi? Permai Group? Garuda Indonesia? Bagaimana dengan partai politik? Poin terakhir itulah yang menurut saya akan membuat para politisi dan pembesar partai tidak bisa tidur nyenyak.

    Jika terbukti ada aliran dana pada partai, konsekuensinya tidak sederhana. Hal ini memang sudah dibantah oleh Partai Demokrat dengan mengatakan, kalaupun ada aliran dana, itu tanggung jawab personal dari pengurus partai. Kita mencatat pernyataan berulang tersebut dengan baik, yang sekaligus mengingatkan kita pada keterangan sejumlah saksi tentang aliran dana ke kongres partai sebesar Rp30 miliar dan USD5 juta yang dikatakan Nazaruddin sebagai dana pemenangan ketua umum Demokrat.

    Dari sudut pandang penggunaan pencucian uang, aliran dana tersebut kita bisa mencocokkannya dengan Pasal 5 UU TPPU, yaitu perbuatan menerima, menguasai pemberian, sumbangan,hibah,atau menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan. Masih banyak kelebihan yang bisa dimanfaatkan oleh KPK ketika menggabung kan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang seperti pembalikan beban pembuktian dan proses yang cepat untuk pemblokiran dan penyitaan. Karena itulah, saya melihat jalan yang jauh lebih panjang ke depan dari satu langkah KPK yang mulai “berani” membuka lembaran baru menggunakan UU Pencucian Uang di kasus Nazaruddin.

  • Dari Deideologisasi ke Politik Transaksional

    Dari Deideologisasi ke Politik Transaksional
    Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPR RI   
    Sumber : SINDO, 15Februari 2012
    Politik bukanlah matematika atau ilmu eksakta yang serbapasti dan rasional. Tetapi, dengan mengatakan demikian, bukan berarti politik itu barang gaib (supranatural) yang irasional (atau transrasional) dan sama sekali tidak bisa dipantau.

    Politik, kata sebuah adagium, memang lebih sebagai sebuah seni (art), yakni seni memainkan kemungkinan (the art of the possible) dari pada ilmu.Tetapi, dengan adagium ini juga, bukan lantas berarti bahwa dalam politik hal-hal yang tidak mungkin (dalam ilmu Kalam disebut “hal-hal yang mustahil” atau impossible) dapat menjadi mungkin (possible) dengan begitu saja.Pemahaman demikian agaknya terlalu arbitrer alias sewenang-wenang.

    Meski adagium “politik sebagai the art of the possible”bisa juga dipahami bahwa dalam dunia politik tidak ada yang tidak mungkin, janganlah bermain di atas ketidakmungkinan. Kalau partai yang kita dukung tidak mendapatkan sejumlah kursi dengan jumlah yang signifikan dalam parlemen misalnya, janganlah ngotot berusaha dengan segala cara untuk berkuasa. Berpolitik memang memerlukan seni, yakni seni berpolitik untuk mencapai tujuan itu sendiri. Inilah seninya politik.

    Politik yang kita tanggapi sebagai seni akan jauh dari obsesi. Jauh dari obsesi berarti jauh dari frustrasi dan stroke. Obsesi terhadap suatu posisi politik seperti menjadi anggota parlemen, presiden, atau menteri akan menjadikan seseorang berusaha dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the mean) dan karena itu akan menimbulkan kekecewaan dan frustrasi yang luar biasa manakala obsesinya itu gagal tercapai. Sebaliknya, berpolitik sebagai seni niscaya akan penuh keasyikan ter-sendiri karena kita berpolitik dengan gembira serta tidak keburu nafsu.

    Politik Transaksional

    Tetapi, akhir-akhir ini di negeri kita ini, politik sebagai seni kurang berkembang.Ada kecenderungan politik dipandang sebagai political gameatau bahkan power game semata. Tentu,yang namanya politik itu mau didefinisikan dengan cara yang bagaimanapun ujungujungnya adalah soal kekuasaan: who gets what,when, where, and how.Tetapi,bagi orang yang menghayati politik sebagai panggilan hidup mesti ditambah satu Wlagi, yaitu why: mengapa mesti berkuasa?

    Di sinilah relevansinya ungkapan nobles oblige(kedudukan yang terhormat itu mengandung kewajiban dan tanggung jawab) dalampolitikitu.Karena itu, cara dan usaha untuk mencapai kekuasaan itu mestinya dilakukan dengan suatu kerja politik yang sabar dan tekun mirip dengan sebuah “permainan”( game)yang cantik dan penuh keindahan.Dengan seni: yakni seni mencapai tujuan.

    Agaknya kini ada banyak politisi instan yang kurang memandang politik sebagai seni untuk mencapai tujuan. Atau malah jangan-jangan lebih buruk lagi dari pada itu: tidak memiliki tujuan untuk apa berpolitik kecuali sekadar meraih kekuasaan itu sendiri. Berpolitik bukan karena panggilan hidup yang sarat dengan perjuangan untuk mencapai citacita bernegara—yang benar atau salah—biasanya dikandung dalam sebuah ideologi. Ideologi menjadi sangat penting, sentral, dan signifikan dalam setiap partai politik.

    Sekarang ini alih-alih berpolitik untuk memperjuangkan sebuah cita-cita sebagaimana yang didoktrinkan olehideologi politiknya malah sebaliknya,memperlakukan politik seperti komoditi: sarat dengan transaksi. Inilah yang akhir-akhir ini disebut dengan politik transaksional. Dulu kita menjauhi politik ideologi untuk menghindari konflik-konflik ideologis yang tidak produktif.

    Maka itu, pemerintahan Orde Baru melakukan kebijakan deideologisasi politik terutama dalam bentuk kebijakan asas tunggal.Partaipartai politik seiring dengan ideologi pembangunanisme yang digalakkan waktu itu harus lebih tampil dengan program (program oriented) dengan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Begitu memasuki era reformasi yang penuh kebebasan tampillah kembali partai-partai politik yang mencoba membangunkan kembali ideologi.

    Tetapi, eksperimen ini tidak berhasil: partai-partai ideologis itu tidak laku dan justru terlempar dari pentaspolitik reformasi. Partai-partai yang bertahan adalah partai-partai yang mengklaim dirinya sebagai partai terbuka, lintas ideologi, lintas agama, lintas etnis, dan lintas budaya.Singkatnya, partai-partai tidak lagi membawa ideologi yang berbeda secara signifikan. Programnya pun nyaris tidak berbeda satu sama lain.

    Pergeseran Paradigma

    Pergeseran dari politik ideologi ke politik nonideologis yang katanya berorientasi pemecahan masalah dan programatis yang semula benar dalam konteks menghindari konflik ideologis tersebut di atas dalam perkembangannya ternyata menjadi eksesif: berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi perjuangan ideologi dalam politik, tapi perjuangan kepentingan.

    Pengertian dari apa yang disebut ”kepentingan” itu pun sudah mengalami reduksi dan distorsi sedemikian rupa sehingga menjadi sekadar kepentingan materi atau bahkan uang. Inilah pangkal dari politik transaksional yang kini menyelimuti dunia perpolitikan nasional kita baik di tingkat pusat maupun di daerah Politik transaksional terjadi baik secara internal maupun eksternal.Maka keunggulan politik seseorang tokoh tidak terlihat fenomenal karena pada sejatinya adalah keunggulan dalam bertransaksi belaka.

    Keunggulan tersebut bukan sebuah raihan politik (political achievement) karena keunggulan visi, gagasan, dan ide-ide politis-ideologis yang memesona rakyat, juga bukan karena integritas dan kredibilitas sang tokoh yang memberikan motivasi serta inspirasi, melainkan hanya karena kecanggihan transaksional. Maka itu, kemampuan artikulasi dengan retorika sebagai seni berpidato yang bagus tidak lagi terlalu relevan, bahkan akan dicemooh sebagai omdo atau omong doang.

    Pada perpolitikan era sekarang ini hampir-hampir tidak diperlukan lagi tampilnya politisi ideolog dengan kemampuan artikulasi yang memberikan inspirasi (inspiring) dan harapan, bahkan tidak untuk seorang demagog sekalipun! Di sini politik menjadi tidak indah,tidakcantik,dantidakmenarik untuk dinikmati.

    Bagaimana menarik wong cuma transaksional belaka.Kalau tohkelihatannya terjadi sebuah dinamika dan dialektika politik yang seru atau bahkan sengketa politik yang keras, sebenarnya itu cuma menyangkut inkonsistensi dalam implementasi transaksi. Apa indahnya politik jika isinya sebagianbesarcumasoaljualbeli alias ”dol-tinuku” –kata orang Jawa—atau ”entejual,anebeli” seperti kata ungkapan Betawi?

  • Kesiapan Hadapi Bencana Alam

    Kesiapan Hadapi Bencana Alam
    Aris Ananta, PENELITI SENIOR DI INSTITUTE OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES,
    SINGAPURA    
    Sumber : SINDO, 15Februari 2012
    Akhir-akhir ini puting beliung dan angin kencang telah melanda banyak daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Hujan lebat dan banjir pun makin sering terjadi.
    Pohon tumbang menyebabkan orang meninggal atau terluka.Rumah roboh menyebabkan kehilangan harta dan luka, bahkan dapat menyebabkan kehilangan jiwa. Listrik bahkan padam dan telah mengganggu berbagai kegiatan produktif masyarakat. Lalu lintas juga makin parah. Kalau diukur dengan pendapatan nasional,dampak ekonomi puting beliung,angin kencang, dan hujan serta banjir yang kini makin sering terjadi memang tidak sebesar tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta.

    Kali ini daerah yang terkena tidak luas, kegiatan ekonomi yang terkena bukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak uang. Kalau dihitung secara “ekonomi”, dampak berbagai bencana ini masih terhitung “kecil”. Namun, kerugian ekonomi tak dapat semata diukur dari sumbangan yang hilang pada pendapatan nasional, tetapi harus dilihat dari kehilangan yang diderita oleh tiap korban, kehilangan sebagai persentase pendapatan atau kekayaan tiap korban.

    Rumah yang roboh amat mungkin rumah penduduk yang kurang mampu karena bangunannya tidak kuat. Sebab itu, bencana ini amat mungkin telah membuat kelompok pendapatan rendah makin menderita. Jumlah kematian dan jumlah yang terluka memang tidak banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Tetapi, kematian dan luka bukan hanya soal jumlah.

    Kehilangan jiwa dan menderita luka merupakan tragedi berapa pun jumlahnya. Lebih lanjut,bagaimana kalau hal ini terus menerus terjadi dan makin dahsyat dan meluas? Yang mengerikan adalah bencana alam ini mungkin sekali baru permulaan dari gejala perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperkirakan bahwa iklim dunia,dan Indonesia,akan terus memanas.

    Bersamaan dengan memanasnya iklim, Indonesia (dan dunia) akan mengalami hujan yang makin deras dan makin sering, perubahan suhu udara yang cepat, terjadi angin kencang, bahkan topan dan puting beliung yang makin dahsyatdanmakinsering.Banjir dan tanah longsor akan makin sering terjadi. Air laut akan meninggi,yang mengakibatkan banjir di tempat yang tak jauh dari pantai. Semua ini akan meluas di mana-mana,termasuk di seluruh Indonesia.

    Kalau sebagian besar daerah terkena bencana, bagaimana pemerintah dan masyarakat melakukan bantuan? Sudah siapkah anggaran untuk membantu korban, yang terjadi di banyak tempat dan jumlah yang makin besar? Sudah siapkah dunia dan Indonesia untuk menghadapi hal ini? Tampaknya kita perlu menyebarluaskan cara-cara bersikap saat terjadi puting beliung, angin kencang, bahkan topan.

    Kita perlu secara teratur dan lebih sering memberikan ramalan kapan puting beliung, angin kencang, atau topan akan terjadi. Masyarakat pun perlu membiasakan diri mengikuti ramalan cuaca agar dapat berjaga-jaga menghadapi puting beliung, angin kencang, bahkan topan.

    Kian Serius

    Bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini akan amat serius.Yang terjadi belakangan ini sangat mungkin hanya suatu permulaan. Lebih parah lagi, pola pembangunan kita sering tidak memperhitungkan dampak negatif pada lingkungan. Jakarta dapat digunakan sebagai contoh. Sebelum perubahan iklim terjadi, Jakarta telah sering mengalami banjir, yang diakibatkan kesalahan dalam pola pembangunan kota Jakarta.

    Dengan perubahan iklim,kota seperti Jakarta akan makin menderita. Kita dapat melakukan usaha yang makin serius untuk mencegah atau mengurangi terjadi bencana. Pola pembangunan harus makin memperhatikan lingkungan. Kita mungkin kurang mampu untuk mengubah iklim.Namun, kita dapat mengurangi dampaknya dengan memperbaiki pola pembangunan kita.

    Sudah bukan saatnya kita terus-menerus memicu pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan kondisi lingkungan. Sekaranglah saatnya, kebijakan ekonomi diarahkan pada perbaikan lingkungan hidup.Keterlambatan dalam perubahkan orientasi kebijakan ekonomi akan memperparah dampak perubahan iklim. Ketika terjadi tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta,masyarakat dunia juga membantu kita.

    Namun, dengan ekonomi global yang makin memburuh,masyarakat internasional pun akan makin sibuk mengurus diri mereka masing-masing. Selain itu, bencana alam akibat perubahan iklim pun amat mungkin melanda mereka.Dengan kata lain, bantuan internasional tidak dapat kita harapkan seperti yang terjadi dengan tsunami di Aceh atau gempa bumi diYogyakarta.

    Tanpa usaha serius dan segera untuk melakukan perubahan kebijakan ekonomi, semua kelompok masyarakat akan terkena dan menderita. Para pembuat kebijakan pun akan terkena. Sekarang mereka dapat mengalihkan arah banjir, tetapi mereka belum bisa mengalihkan arah puting beliung dan angin kencang dan topan. Maka itu, kelompok elite nasional pun tak akan dapat menghindar dari puting beliung, angin kencang, dan topan. Sewaktu waktu mereka pun dapat terkena.

    Semoga para elite nasional segera menyadari hal ini dan segera bertindak untuk mengurangi dampak perubahan iklim, khususnya puting beliung, angin kencang,dan topan. Tindakan yang dimulai hari ini akan banyak mengurangi penderitaan akibat puting beliung, angin kencang, bahkan topan, yang dapat pula terjadi bersamaan dengan banjir dan tanah longsor. Semua bagian masyarakat, termasuk pembuat kebijakan, akan merasakan keuntungan dari tindakan yang cepat dalam menghadapi puting beliung,angin kencang, dan topan.

  • Ambivalensi Penanganan TKI

    Ambivalensi Penanganan TKI
    Sulis Styawan, PERISET CEUS UNY, KETUA PAGUYUBAN AKUR BUMI NUSANTARA
    Sumber : SUARA KARYA, 15Februari 2012
    Hukuman mati mengintai sejumlah TKI di luar negeri. Bahkan, jumlah TKI yang terancam pedang pancung terus bertambah. Satuan Tugas Penanganan dan Pembelaan Tenaga Kerja Indonesia (Satgas TKI) meyebutkan, 215 TKI terancam hukuman mati di luar negeri. Rinciannya, di Arab Saudi sebanyak 45 WNI, Malaysia (148), dan China (22). Khusus untuk WNI di Arab Saudi, 23 di antaranya sudah divonis dan sisanya dalam proses pengadilan.
    Selain vonis hukuman pancung, kasus-kasus kematian dan penyiksaan tanpa sebab yang jelas, pelecehan seksual, dan kecelakaan kerja, semakin menambah panjang daftar problematika TKI bermasalah di luar negeri. Namun, ambivalensi penanganan problema yang dihadapi TKI ini sering berseberangan dengan kemauan pemerintah untuk terus mengembangkan kesempatan kerja di luar negeri.
    Di satu pihak, pemerintah memposisikan kesempatan kerja di luar negeri sebagai TKI untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia yang saat ini masih cukup besar (8,2 juta jiwa), sekaligus sebagai sumber devisa bagi perekonomian nasional. Betapa tidak, jumlah remitansi (pengiriman uang dari TKI) setiap tahun mengalami kenaikan signifikan. Tahun 2010, jumlah remitansi sebesar 7,139 miliar dolar AS, naik dari tahun sebelumnya (6,7 miliar dolar AS).
    Namun di lain pihak, penanganan permasalahan TKI sering tidak tuntas. Ini menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap permasalahan TKI yang semakin lama kian kompleks. Memang, selama ini pemerintah telah banyak melakukan usaha dalam menangani permasalahan TKI seperti membentuk Satgas TKI, kebijakan moratorium, serta menjalin nota kesepahaman (MoU) terkait TKI. Namun, persoalan TKI justru kian banyak mencuat dan menunggu penyelesaian komprehensif.
    Bagi TKI ilegal, sudah wajar setumpuk masalah hukum menjadi ganjalan mereka. Tetapi, beberapa kasus ditengarai terjadi pada TKI legal. Apa sebenarnya akar masalah yang dihadapi para TKI selama ini?
    Pertama, ketidaksesuaian kualifikasi (mismatched of qualification) antara TKI yang dikirim dengan pekerjaan yang dibebankan. TKI dengan keahlian tata boga berharap bisa bekerja di restoran, ternyata malah dipekerjakan sebagai baby sitter di sektor rumah tangga, karena untuk memenuhi permintaan tenaga kerja.
    Kedua, penguasaan keterampilan berbasis otomatisasi yang rendah pada TKI menyebabkan rendahnya hasil kerja TKI (poor performance). Ketidakmampuan TKI mengoperasikan peralatan modern, sering dijadikan alasan utama para majikan untuk memutus kontrak secara sepihak atau memperlakukan TKI secara semena-mena.
    Memang, berdasarkan sifat pekerjaannya, TKI biasanya dipekerjakan pada sektor ‘3D’, yaitu yang bersifat dirty (kotor), dangerous (berbahaya), dan diminutive (pekerjaan yang kecil atau tidak penting), seperti di sektor konstruksi, perkebunan, pertanian, jasa perdagangan, dan sektor rumah tangga (informal). Namun, penggunaan peralatan yang serba modern dan otomatis dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari tentu menuntut penguasaan dan keterampilan dari para TKI.
    Ketiga, penghargaan yang berlebihan terhadap etos kerja keras di negara-negara tujuan TKI. Masalah penghargaan yang berlebihan ini cenderung mengarah pada bentuk eksploitasi manusia (human exploitation), sehingga majikan sering tidak mentolerir terhadap segala bentuk kemalasan dan kesalahan yang dilakukan TKI.
    Kasus-kasus yang menimpa Nirmala Bonat, Ceriyati, Siti Hajar, Sumiati, Kikim Komalasari, Ruyati, dan Darsem, misalnya, lebih merupakan tindakan eksploitasi tenaga kerja yang tidak mentolerir sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan oleh TKI. Bentuk lain perlakuan kurang manusiawi juga terjadi seperti pemotongan gaji atas hutang-hutang TKI untuk biaya pembuatan izin kerja (working permit), biaya transportasi, dan biaya agen.
    Keempat, masih minimnya perlindungan hukum terhadap TKI. Ini masalah utama TKI begitu bekerja, karena majikan akan meminta paspor sebagai jaminan keberadaan mereka selama masa kontrak. Sehingga, bila terjadi kasus di masa pertengahan kontrak kerja atau melarikan diri dari majikan, TKI tidak punya posisi hukum yang kuat dan dianggap sebagai migrant illegal yang harus berhadapan dengan hukum keimigrasian di luar negeri.
    Berpijak pada akar permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipandang sebagai langkah penanganan masalah TKI.
    Pertama, menertibkan perusahaan/agen-agen tenaga kerja agar lebih bertanggung jawab dalam menangani TKI. Bukan hanya masalah rekrutmen dan penempatan saja, namun aspek kesesuaian antara permintaan dengan supply kualifikasi tenaga kerja harus diutamakan. Pemerintah harus memberi sanksi hukum kepada agen tenaga kerja yang ‘cuci tangan’ dari masalah TKI yang disalurkannya.
    Kedua, membuat standardisasi kompetensi tenaga kerja yang dikirim oleh agen TKI, yakni calon TKI yang benar-benar terampil mengoperasikan peralatan modern dan otomatis. Hal ini kembali bermuara pada pembekalan teknis dan operasional TKI oleh agen tenaga kerja. Ketiga, perlunya wawasan etos tenaga kerja yang tinggi serta belajar mereduksi terjadinya kesalahan saat bekerja bagi para TKI.
    Terakhir, perlindungan hukum secara maksimal selama masa kerja untuk melindungi TKI dari perlakuan-perlakuan tak manusiawi, eksploitatif, dan bersifat melanggar hukum dari pihak majikan. Untuk meningkatkan daya tawar TKI, pemerintah seharusnya tidak buru-buru mencabut moratorium pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan, jika perlu moratorium harus diperpanjang sampai semua kesiapan regulasi perlindungan TKI dan sistem pengetatan calon TKI selesai. Pemerintah juga harus menata regulasi perlindungan dan penempatan TKI, -yaitu merevisi UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
  • Dilema Penyidikan

    Dilema Penyidikan
    Marulak Pardede, AHLI PENELITI UTAMA BIDANG HUKUM
    BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM-RI
    Sumber : REPUBLIKA, 14 Februari 2012
    Tidak kunjung tuntasnya penyelesaian berbagai kasus megakorupsi yang       melibatkan orang orang penting di Republik ini, telah melahirkan skeptisisme di masyarakat mengenai penegakan hukum. Dewasa ini, masalah penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan, pada kenyataannya menimbulkan permasalahan hukum pada tataran implementasinya.
    Betapa tidak, dalam kenyataannya, berbagai kasus tindak pidana tidak jelas rimbanya. Hanya berputar-putar dalam proses penyidikan dan penuntutan. Hal ini dapat terjadi karena memang tidak ada batas waktu kapan suatu penyidikan harus segera berakhir.
    Masalah batas waktu penyerahan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum ini merupakan masalah yang sangat penting dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Batas waktu ini berguna untuk menjamin hak tersangka dalam penyidikan, menjamin kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan, dan mencegah kewenangan penyidik perkara. 
    Namun, oleh mafia hukum, hal ini dianggap celah.
    Tak Diatur
    Menurut ketentuan Pasal 110 KUHAP, tidak ada batas waktu berapa lama suatu penyidikan berlangsung. Artinya, itu semua tergantung kepada penyidik, apakah penyidikan selesai dalam waktu satu bulan, dua bulan, satu tahun, atau lebih. Demikian juga setelah selesai penyidikan dilakukan, tidak ada batas waktu dalam jangka waktu berapa hari perkara itu harus sudah dilimpahkan kepada penuntut umum. Dalam praktik, tidak adanya batas waktu ini membawa konsekuensi berlarut-larutnya penanganan suatu perkara.
    Apabila perkara sudah dilim pah kan kepada penuntut umum, maka ia sudah harus selesai me neliti berkas itu dalam waktu 14 hari karena apabila tidak, konse kuensinya penyidikan dianggap telah cukup dan lengkap. Atau, dalam waktu tujuh hari, penuntut umum sudah harus memberita hukan apakah penyidikan telah cukup atau belum kepada penyi dik. Dan, paling lambat dalam waktu 14 hari, berkas perkara ha rus dikembalikan kepada penyi dik apabila hasil penyidikan dianggap masih kurang lengkap.
    Pemberitahuan bahwa hasil pe nyidikan telah lengkap atau de ngan perkataan lain, berkas perkara dan hasil penyidikan diterima dikenal sebagai PK-1. Se dangkan, pengembalian berkas per kara karena hasil penyidikan dianggap kurang lengkap disertai petunjuk dari penuntut umum di kenal dengan PK-3. Kemudian, pengantar untuk PK-3 itu dikenal dengan PK-2.
    KUHAP tidak mengatur berapa kali penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara ke pada penyidik (PK-3). Demi kian lah, KUHAP juga tidak meng atur berapa kali penyidik dapat melimpahkan berkas perkara ke pada penuntut umum. Akibatnya, dapat saja berkas perkara itu bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum untuk beberapa kali atau tanpa batas.
    Akan tetapi, bolak-balik suatu berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum guna menambah serta menyempurnakan pemeriksaan penyidik, jelas-jelas memperlambat penyelesaian penegakan hukum. Hal seperti ini ber tentangan dengan kepentingan tersangka serta berlawanan de ngan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.
    Kekurangsempurnaan pemeriksaan penyidikan dan pengembalian berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan akan membawa akibat yang kurang baik bagi nama instansi penyidik sendiri. Masyarakat akan menilainya kurang mampu atau cara bekerjanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas oleh pihak penuntut umum kepada penyidik, itu akan memengaruhi kepercayaan masya rakat kepada penyidik.
    Belanda menganut asas constante justitie (speedy trial). Sistem ini selaras dengan sistem acara pidana Eropa Kontinental yang hakim memutus karena jabatannya, bersifat tetap, langsung, dan independen. Penggunaan istilah hukum diusahakan bersifat fixed. Pencantuman peradilan cepat (constante justitie) dalam KUHAP sebenarnya merupakan penja baran undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
    Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan ha kim) merupakan bagian dari hakhak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
    Sistem peradilan cepat juga berkaitan dengan sistem hubung an antarinstansi, misalnya, antara penyidik dan penuntut umum. Jika perkara mondar-mandir antara penyidik dan penuntut umum, maka jelas merupakan rin tangan terlaksananya peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Oleh karena itu, lebih baik para jaksa diberi wewenang untuk menambah sendiri pemeriksaan untuk mempersingkat proses pidana.
    Norwegia menyebut jaksa sudah sebagai semijudge karena dapat menghentikan penuntutan dengan syarat yang disebut potale ummlatese. Di Belanda, 50 persen perkara yang diterima jaksa tidak diteruskan ke pengadilan dengan alasan kurang bukti, perkara digabung dan penggunaan asas oportunitas.
    Asas oportunitas di sana dija lankan berbeda dengan di In do nesia di mana hanya jaksa agung yang berwenang menerapkannya. Di Belanda, Jepang, dan wilayah Skandinavia, semua jaksa dapat menerapkan asas ini. Asas oportunitas dengan de mikian jadi ba gi an juga dari peradil an cepat, se derhana, dan biaya ringan.
    Berkaitan dengan permasalah an batas waktu penyerahan berkas perkara oleh penyidik ke penuntut umum yang belum diatur dalam KUHAP, maka solusi yang dapat dilakukan, antara lain, mengubah KUHAP dengan memasukkan substansi tentang penentuan batas waktu penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum. Tentu saja, batas waktu ini dilengkapi toleransi waktu yang cukup dengan pertimbangan kendala-kendala riil di lapangan.
    Jika ternyata penyidik memproses perkara yang dilaporkan melampaui batas waktu sebagaimana yang ditentukan tersebut, maka pelapor dapat mengajukan tuntutan praperadilan dengan putusan hakim yang isinya memerintahkan penyidik untuk segera menyelesaikan dan mengajukan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini, penyidik tidak mau menerima dan memproses suatu perkara pidana yang dilaporkan oleh masyarakat. Putusan diambil melalui praperadilan yang isinya agar penyidik yang bersangkutan menerima perkara yang dilaporkan dan menindaklanjuti nya sesuai ketentuan.
    Sistem Terintegrasi
    Meski dalam KUHAP jaksa tidak diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan, namun dalam undang-undang tertentu jaksa diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, antara lain, dalam kasus pelanggaran HAM berat, korupsi, serta pencucian uang. Di berbagai negara, kebijakan kriminal untuk bidang penyidikan dan penuntutan berada di tangan Kejaksaan Agung.
    Kejaksaanlah yang pada akhirnya harus menentukan perkara untuk mendapat penilaian tentang kebenaran tindakan hukumnya dalam tahap praajudikasi. Sebaiknya jaksa dilibatkan sejak awal dimulainya penyidikan dan pemberkasan perkara.
    Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebaiknya diberitahukan kepada jaksa dan diregister oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Laporan polisi sebaiknya online dengan pihak kejaksaan dan lembaga eksternal lainnya, seperti KPK dan Komisi Kejaksaan sehingga dapat dikontrol kinerja dan profesionalitasnya agar asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan berlaku secara operasional dan bukan sekadar wacana. ●
  • Industri dan UKM

    Industri dan UKM
    Achmad Deni Daruri, PRESIDENT DIRECTOR CENTER FOR BANKING CRISIS
    Sumber : REPUBLIKA, 14Februari 2012
    Majunya perekonomian macan Asia, seperti Jepang dan Taiwan, tidak lepas dari kemampuan perekonomian mereka mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) berbasis industri. Rantai penawaran industri tidak akan memiliki keunggulan kompetitif tanpa dukungan industri skala kecil dan menengah.
    Dass (2002) mengatakan, “For retailers and manufacturers alike, a company’s competitive advantage depends in large measure on the adaptability and agility of its supply chain.” Di Jepang bahkan ibu-ibu rumah tangga dilibatkan untuk merakit komponen mobil di perumahan penduduk. Indonesia belum memiliki kemampuan ibu-ibu ru mah tangga sekelas Je pang. Bahkan, siswa sekolah me nengah kejuruan otomotif belum tentu mampu mengerjakan pekerjaan yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Jepang tersebut.
    Itulah sebabnya pasar tenaga kerja di Jepang juga sangat fleksibel dalam mendukung produktivitas sektor industri. Hal ini dapat terjadi karena budaya industri bukan hanya ada di pabrik-pab rik, tetapi juga di seluruh lapisan masyarakat, seperti di rumah-ru mah tangga. Seperti juga yang di lakukan oleh Pemerintah Taiwan dengan prioritas utama membangun rencana budaya masyara kat industri.
    Selama ini justru Indonesia melupakan upaya tersebut. Ironis nya, ekonom beraliran neoliberal justru memberikan pemikiran yang dangkal mengenai industrialisasi itu sendiri. Jelas sekali bahwa perekonomian akan berkembang dengan pesat jika ada keterkaitan antara industrialisasi dan UKM itu sendiri. Dengan adanya keterkaitan itu maka multiplier perekonomian juga akan semakin besar.
    Kebijakan Industri
    Permasalahan penciptaan nilai tambah tidak semata-mata netral terhadap sektoral. Karena, sektor jasa secara relatif bersifat nontradables, artinya daya saing perekonomian tidak tercipta dengan baik. Sementara penguatan sektor tradables dalam hal ini sektor industri menjadi ukuran kekuatan daya saing yang nyata selain sektor ini juga menyerap lapangan kerja yang sangat luas.
    Penyerapan lapangan kerja tidak akan berhasil dalam sektor pertanian. Sektor pertanian hanya berhasil jika suatu negara memiliki jumlah penduduk yang secara relatif tidak terlalu besar. Misalnya, Australia yang maju dengan mengandalkan sektor pertanian dan pertambangan, namun tidak memiliki kekuatan sektor industri. Industri mobilnya hingga saat ini tidak memiliki daya saing yang memadai.
    Negara macan Asia bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia bukan karena orientasi strategi pembangunan ekonomi yang bersifat promosi ekspor, tetapi justru bersifat industrialization led growth. Bahkan, negara-negara maju saat ini juga secara khusus melakukan strategi kebijakan industrialisasi, misalnya, Prancis dengan Sarkozynya secara terangterangan mengatakan bahwa mereka membutuhkan kebijakan strong industrial policy.
    Jerman hingga saat ini juga sangat serius menjalankan kebijakan industrial policy sehingga perekonomian Jerman dapat tetap produktif sekalipun perekonomian Uni Eropa mengalami penurunan produktivitas. Negara-negara Uni Eropa yang mengandalkan sektor jasa sebagai motor pertumbuhan ekonomi justru semakin terjebak oleh perekonomian yang bubble. Dengan strategi industrialisasi yang tepat maka perekonomian Jerman dapat menyerap tenaga kerja secara maksimum di tengah krisis Uni Eropa.
    Jerman juga memiliki UKM di bidang industri yang sangat tangguh yang juga menyerap banyak tenaga kerja. Sektor mobil Jerman saja memiliki beragam merek terkenal, seperti Mercedez Benz, BMW, dan VW. Mereka membentuk cluster industry otomotif hingga level perusahaan UKM. Hal yang sama dapat dilihat di Jepang di mana kluster industri otomotif juga terjadi, mereka juga memiliki merek-merek mobil ternama, seperti Toyota, Honda, Daihatsu, dan Suzuki.
    Klaster industri ini menuntut sokongan pohon rantai industri yang sangat beragam yang tidak mungkin tercipta tanpa dukungan industri kelas UKM. Begitu pula dengan sektor elektronik dan komputer, klaster industrinya juga memerlukan dukungan pohon industri dari sektor UKM.
    Bahwa, sektor industri menuntut dukungan sektor jasa yang juga canggih sangatlah tepat, namun tidak sebaliknya. Kegiatan perekonomian yang mengandalkan sektor jasa justru bersifat trade off terhadap pembangunan sektor industri. Hal ini dapat dilihat dari fenomena penyakit Belanda di mana penguatan sektor jasa justru melumpuhkan sektor industri.
    Rantai Industri
    Perekonomian Indonesia pernah mengalami hal tersebut akibat booming harga minyak. Dampaknya adalah munculnya gejala deindustrialisasi yang ditandai oleh rendahnya produktivitas sektor industri nasional relatif terhadap rata-rata produktivitas perekonomian nasional. Jadi, bukan karena Indonesia terlalu cepat melakukan tahap pembangunan industrinya.
    Buktinya, Cina berdasarkan penelitian Dani Rodrik telah mampu memproduksi tingkatan produk yang jauh di atas kapasitas rata-rata pendapatan per kapitanya. Sampai saat ini Cina masih mampu mempertahankan produktivitas sektor manufakturnya dengan dukungan pembiayaan melalui bank-bank milik negara. Terbukti sampai sekarang Cina masih mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi di dunia dengan kontribusi yang sangat besar dari sektor manufaktur.
    Sudah saatnya bank milik pemerintah, seperti Bank BRI, dijadikan bank yang menyalurkan kredit bersubsidi kepada sektor industri UKM di Indonesia. Dengan mengandalkan sektor manufaktur maka rantai industri yang tercipta akan mampu menyerap tenaga kerja yang sangat besar ketimbang investasi yang sama di sektor pertanian atau jasa.
    Kecanggihan sektor manufaktur dalam menciptakan strategic fit justru menular ke sektor jasa. Sektor manufaktur yang kompetitif mampu melakukannya hingga level supply chain pada UKM. Kidd (1994) menyebutnya sebagai konsep produksi yang integratif, yaitu “organizations, highly skilled and knowledgeable people and advanced technologies, to achieve cooperation and innovation in response to the need to supply our customers with high quality customized products“.
    Perusahaan yang mampu mengembangkan strategi ini hingga ke tingkatan UKM adalah Toyota sehingga mampu mengungguli perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Amerika Serikat kini muncul Apple yang juga mampu menerapkan konsep manufacturing secara integral. Belajar dari Toyota dan Apple maka sudah selayaknya pemerintah pro terhadap kebijakan industrialisasi yang berbasis penguatan UKM domestik. ●
  • Menakar Kepantasan Kenaikan Tarif Dasar Listrik

    Menakar Kepantasan Kenaikan Tarif Dasar Listrik
    Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 14Februari 2012
    Belum juga tuntas mewacanakan pembatasan harga bahan bakar minyak bersubsidi, kini pemerintah menabuh genderang untuk menaikkan tarif dasar listrik per 1 April 2012. Konteks persoalannya pun sama, yakni subsidi yang dipagu untuk sektor ketenagalistrikan pada nota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 hanya Rp 45,09 triliun. Sementara itu, keseluruhan subsidi yang diperlukan untuk memasok biaya operasional PT PLN mencapai Rp 65 triliun. Jadi terdapat selisih (kekurangan) subsidi sekitar Rp 8,9 triliun. Angka Rp 8,9 triliun itulah yang akan disokong dengan kenaikan tarif dasar listrik 10 persen. Ada dua skenario yang ditawarkan untuk menaikkan tarif dasar listrik, yaitu konsumen dengan daya terpasang 450 VA tidak dinaikkan (hanya konsumen 900 VA ke atas yang dinaikkan), atau kategori 450 VA tetap dinaikkan jika melewati pagu pemakaian 60 kWh per bulan.
    Pada konteks empiris, bahkan normatif, wacana kenaikan tarif dasar listrik memang mempunyai basis rasionalitas yang cukup absah. Sejak 2003, tarif dasar listrik belum pernah mengalami kenaikan berarti. Hanya pada 2010 kenaikan sempat diberlakukan sebesar 24 persen, itu pun hanya untuk golongan konsumen 1.300 VA ke atas. 
    Akibatnya, makin tinggi kesenjangan antara biaya pokok penyediaan energi listrik dan tarif yang dibayar konsumen. Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, biaya pokok penyediaan energi listrik kini mencapai Rp 1.210 per kWh. Tapi faktanya konsumen listrik hanya membayar kurang dari separuhnya. Untuk menambal tingginya kesenjangan yang dimaksud, pemerintah mesti menggelontorkan subsidi yang per tahun terus melambung.
    Memang, melambungnya angka subsidi bukan hanya karena makin tingginya kesenjangan biaya pokok penyediaan energi listrik, tapi dipicu oleh faktor lainnya. Misalnya, pasokan gas di pembangkitan yang menurun, mundurnya pengoperasian pembangkit batu bara, plus tingginya penggunaan mesin pembangkit diesel. Saat ini sebaran penggunaan energi primer di pembangkit PT PLN meliputi batu bara 43 persen, bahan bakar minyak 23 persen, dan gas 22 persen. Faktor teknis empiris itulah yang menjadikan wacana kenaikan tarif dasar listrik cukup absah (pantas).
    Kendati demikian, kepantasan itu tidak berarti dibiarkan melenggang tanpa catatan kritis. Mengapa? Pertama, terdapat ironi antara struktur tarif yang diberlakukan untuk sektor rumah tangga dan sektor industri-bisnis. Saat ini persentase struktur tarif untuk industri-bisnis jauh lebih tinggi dibanding tarif untuk sektor rumah tangga. Kebijakan semacam ini, selain melanggar pakem kebijakan energi makro, bahkan kontraproduktif. Listrik untuk kegiatan produktif (industri-bisnis) idealnya struktur tarifnya lebih rendah, murah. Adapun listrik untuk kegiatan konsumtif (konsumen rumah tangga) struktur tarifnya lebih mahal. 
    Bahkan, jika perlu diberi “disinsentif” untuk mendorong perilaku hemat energi listrik. Lagi pula kebijakan tarif mahal untuk sektor industri-bisnis pada akhirnya akan ditimpakan kepada konsumen, berupa kenaikan harga produk barang, khususnya kebutuhan bahan pangan. Akibatnya, beban pengeluaran konsumen rumah tangga meningkat. Dan niat pemerintah membantu masyarakat (bawah) malah tidak tercapai.
    Kedua, skenario pemerintah tidak menaikkan golongan konsumen 450 VA juga tidak tepat. Sebab, faktanya, yang menjadi pokok persoalan melambungnya subsidi listrik adalah golongan 450-900 VA, yang besarannya mencapai lebih dari 80 persen dari total pelanggan PT PLN. Adapun golongan 1.300 VA ke atas praktis sudah mendekati tarif keekonomiannya. Menjadi sangat tidak adil kalau golongan ini terus dibebani tarif tinggi, sedangkan golongan 450-900 VA tidak pernah disentuh. Karena itu, akan lebih pantas jika pemerintah memberi pagu maksimum 60 kWh untuk golongan 450-900 VA. Jika melewati pagu tersebut, golongan 450-900 VA akan terkena kenaikan.
    Secara ekonomi, skenario semacam ini lebih adil, bukan hanya untuk golongan konsumen 1.300 VA ke atas, tapi juga untuk golongan masyarakat yang belum menikmati listrik. Ingat, saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 66 persen dari total populasi. Plus skenario ini juga berfungsi mengedukasi agar perilaku konsumen lebih hemat listrik. Dari sisi aksesibilitas, pagu 60 kWh masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional pemakaian per bulan. Menurut hasil studi konsorsium tiga universitas (Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung), rata-rata nasional pemakaian listrik golongan 450 VA hanya 42,5 kWh per bulan.
    Selebihnya, terlepas dari konteks ketenagalistrikan, pemberlakuan kenaikan tarif dasar listrik tidak secara serentak dengan kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Seyogianya pemerintah mendahulukan kenaikan harga bahan bakar minyak. Atau setidaknya kenaikan tarif dasar listrik diberlakukan tiga-enam bulan setelah kenaikan harga bahan bakar minyak. Hal ini dimaksudkan agar tidak memukul daya beli konsumen dan melemahkan purchasing power masyarakat secara keseluruhan.
    Merujuk pada kebijakan energi nasional, bahkan global, subsidi di sektor energi memang tidak boleh terlalu dominan, termasuk subsidi di sektor ketenagalistrikan. Apalagi dengan rasio elektrifikasi yang masih tergolong rendah, menjadi tidak adil jika subsidi di sektor ketenagalistrikan hanya dinikmati oleh konsumen yang sudah mendapatkan akses tenaga listrik. Sementara itu, lebih dari 35 persen masyarakat Indonesia masih terperangkap dalam kegelapan karena belum mendapatkan akses tenaga listrik. Karena itu, sebagian besar dana yang diperoleh dari kenaikan tarif dasar listrik tersebut seharusnya langsung didedikasikan untuk mempercepat rasio elektrifikasi. Tanpa terobosan semacam itu, rasio elektrifikasi akan melamban, dan masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik akan terus terpasung dalam kegelapan.
    Lagi pula kebijakan tarif mahal untuk sektor industri-bisnis pada akhirnya akan ditimpakan kepada konsumen, berupa kenaikan harga produk barang, khususnya kebutuhan bahan pangan. Akibatnya, beban pengeluaran konsumen rumah tangga meningkat. Dan niat pemerintah membantu masyarakat (bawah) malah tidak tercapai. ●
  • Kotak Hitam Politik

    Kotak Hitam Politik
    Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN, ITB
    Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012
    Ruang politik dan hukum hari ini diramaikan dua gerakan masif terkait kebenaran hukum.
    Di satu pihak, ada upaya lembaga hukum—khususnya KPK—membongkar ”kotak hitam” dalam beberapa kasus ”bencana” korupsi, dengan menangkap sejumlah petinggi politik yang diduga terlibat. Di pihak lain, ada ”perlawanan” gigih para elite partai mengubur ”kotak hitam” itu: menghilangkan jejak, mencari alibi, mendistorsi persepsi, dan menggiring opini sebagai cara ”melupakan” kejahatan.
    Layaknya ”kotak hitam” pesawat terbang, penangkapan elite-elite kunci itu diharapkan dapat membuka seluruh mata rantai korupsi yang melibatkan parpol. Lembaga hukum, yang selama ini terbelenggu ”konsensus jahat” para elite politik, membiarkan yang tak tampak tetap tak tampak, yang tersembunyi tetap tersembunyi, yang kabur tetap kabur. Mereka justru menyuarakan yang tak perlu disuarakan, mengungkap yang tak penting diungkap, mengadili yang tak mendesak diadili—the evil consensus.
    Keberanian KPK menangkap elite yang diduga terlibat korupsi adalah angin segar dalam melawan konsensus jahat yang menopang arsitektur politik dan hukum yang menyebabkan aneka kasus besar kejahatan dan korupsi tenggelam dalam gelombang peristiwa, isu, trik, dan permainan politik. Terbuka lebar pintu mengubah ”politisasi hukum” menjadi ”purifikasi hukum”, dengan melepaskan hukum dari segala konsensus politik dan membuka segala ”kotak hitam” kejahatan politik.
    Politik Gaya
    Kejahatan politik—seperti korupsi parpol—sering tumbuh subur bukan karena tidak ada kebebasan, melainkan karena salah memaknai dan mempraktikkan ”kebebasan”. Kebebasan melahirkan kejahatan ketika dalam sistem demokrasi belum dibangun basis etika ”tanggung jawab” dan basis hukum ”kedaulatan hukum”. Misalnya, era reformasi sebagai era terbukanya keran kebebasan justru menjadi era penuh kejahatan karena rapuhnya fondasi etika dan hukum demokratis.
    Selain itu, seperti dikatakan Wendy Brown (State of Injury, 1995), kebebasan sering bersifat ”reaksioner”, yaitu sebagai reaksi terhadap aneka ”luka”, ”perih”, dan ”ketakberdayaan”, akibat rezim represif. Misalnya, ”luka” akibat Orde Baru yang korup, represif, dan penuh kekerasan. Rezim baru yang ingin melenyapkan semua kekuasaan penyebab luka itu (tiran, koruptor, militer) nyatanya sering mendaur ulang relasi kekuasaan yang ingin dimusnahkan dengan mereproduksi cara kerjanya. Karena itu, ”luka sosial” akibat sebuah rezim korup tidak otomatis menghapus habitus dan budaya korupsi ketika rezim kebebasan diperoleh karena sifat ”reaksioner” cenderung menampilkan semangat perlawanan secara ”permukaan”. ”Gaya politik” lebih dirayakan sebagai ekspresi perlawanan ketimbang mengurus perkara substansial kebijakan, hukum, prosedur, atau organisasi tatanan politik. Perlawanan terhadap korupsi cukup dengan penampilan ”gaya antikorupsi”.
    Perlawanan terhadap korupsi dimanipulasi melalui ”gaya antikorupsi”, sementara korupsi sendiri telah telanjur menjadi bagian ”budaya politik”. Meminjam Bourdieu (The Logic of Practice, 1990), korupsi telah menjadi bagian habitus, yaitu seperangkat ”kecenderungan” (disposition) individu dan kelompok partai yang bertahan lama (durable) dan dapat diwariskan lintas generasi. Korupsi telah menjadi habitus di dalam struktur relasi kepartaian dan institusi negara.
    Di sinilah kita menemukan ”keterputusan” antara sisi permukaan dan dalam, citra dan substansi, gaya dan jati diri para elite politik ataupun partai itu sendiri. Tak heran apabila sebuah partai yang dengan jemawa mencitrakan diri secara eksternal sebagai ”antikorupsi” dalam gaya kampanye, iklan politik, dan media komunikasi politik lain; nyatanya secara internal, struktural, dan habitual mereproduksi kebiasaan korupsi dalam aneka tindakan, relasi, dan transaksi mereka.
    Ada jurang antara yang tampak (visible) dan tak tampak (invisible), yang dikatakan dan kenyataan, yang diklaim kebenaran dan kebenaran itu sendiri dalam tatanan politik bangsa. Ungkapan ”partai kami ’solid’, ’kompak’, ’bersih’, ’reformis’, dan ’menghormati hukum’!” merupakan konsensus tersembunyi untuk menutupi realitas kejahatan partai. ”Politik penyembunyian” bersifat kolektif dan konsensual ini salah satu faktor penyebab lenyapnya aneka kasus besar hukum dari pandangan publik—the politics of invisibility.
    Politik Invisibilitas
    Politik bagi Ranciere (Dissensus: On Politics and Aesthetics, 2010) adalah ”disensus”, yaitu ketaksepakatan terhadap segala konsensus tentang apa yang tampak atau ditampakkan sebagai pengalaman bersama, terhadap distribusi ruang dan waktu, serta hierarki pemisahan dalam kehidupan politik, dengan mengusung rekonfigurasi dan pembingkaian ulang atas relasi-relasi itu, untuk menghasilkan susunan, relasi, dan pengalaman baru. Tugas politik adalah menyingkap ”jurang” antara yang ditampakkan dan tak ditampakkan.
    Akan tetapi, apa yang kita temukan dalam realitas politik bangsa hari ini adalah ”disensus palsu” (pseudo dissensus), yaitu ketaksepakatan palsu para elite politik terhadap pandangan umum kebenaran. Mereka seakan-akan menyingkap jurang antara yang ditampakkan dan tak ditampakkan, tetapi sesungguhnya menyembunyikan yang tak ditampakkan itu agar tetap tak tampak. Di permukaan mereka seakan mengungkap kebenaran, padahal memalsukannya.
    Alih-alih mengungkap jurang kebenaran, para elite politik justru menampakkan yang tak seharusnya ditampakkan, mengatakan yang tak semestinya dikatakan, mengadili yang tak selayaknya diadili. Para elite politik melakukan sebuah rekonfigurasi yang tujuannya tidak untuk menghilangkan ”jurang” antara penampilan dan kebenaran, tetapi menciptakan jurang kebenaran itu sendiri, dengan merayakan citra kebenaran.
    Kini kita menghadapi politik bermuka dua, yang membangun ”partisi” antara dunia luar (eksternal) dan dunia dalam (internal). Ke luar para elite politik menampakkan diri sebagai reformis, demokratis, bersih, jujur, antikorupsi, dengan membangun politik ”disensus (palsu)” melawan segala bentuk sikap antidemokrasi melalui aneka bentuk politik pencitraan. Ke dalam, para elite politik justru membangun ”konsensus jahat” menyembunyikan aneka bentuk kejahatan (korupsi, suap, pemerasan, politik uang).
    Ada jurang antara yang tampak dan disembunyikan, antara citra dan realitas. Melalui strategi ”permainan persepsi”, politik hari ini menjelma taktik, trik, dan strategi ”kecepatan” menampakkan sesuatu melalui aneka media—inilah ”politik penampakan” (politics of appearance). Namun, menurut Virilio (The Aesthetics of Disappearance, 1991), politik penampakan dapat menjelma ”politik penghilangan” (politics of disappearance), yaitu politik ”pengalihan perhatian” untuk menghilangkan sesuatu dari ruang persepsi.
    Strategi kecepatan menampilkan peristiwa, tindakan, atau citra media untuk mengalihkan perhatian dari peristiwa kejahatan (korupsi, suap, politik uang) adalah bentuk manipulasi ”ingatan kolektif”. Acara bantuan sosial, safari politik, tabliq akbar, doa bersama, atau umrah sering dimanipulasi sebagai bagian politik perseptual menghilangkan peristiwa kejahatan dari memori kolektif, dengan menampilkan ilusi peristiwa. Inilah ”politik pelupaan” (politics of forgetfulness).
    Tugas politik sejati adalah melawan dua mata pisau kejahatan politik: ”disensus palsu” dan ”politik pelupaan” untuk menelanjangi jurang antara penampilan dan realitas, antara gaya dan substansi. Tugas hukum sejati adalah membuka ”kotak hitam” kejahatan—khususnya korupsi politik—dengan mengatakan yang selama ini dibungkam, mengungkap yang disembunyikan, mengadili yang tak teradili, untuk menutup pintu ”politik pelupaan”.
  • Pesan untuk Ketua MA

    Pesan untuk Ketua MA
    Adi Andojo Soetjipto, MANTAN KETUA MUDA MA
    Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012
    Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada Hatta Ali, yang terpilih sebagai ketua baru Mahkamah Agung.
    Seluruh rakyat mendoakan agar yang bersangkutan selalu sehat dan berhasil melaksanakan tugas memimpin lembaga yang merupakan apec penegakan hukum, yang sekarang sedang dalam keadaan ”mati”. Sungguh tugas mahaberat, berbeda dengan pelaksanaan tugas para pendahulunya, di mana hukum masih tegak dan ditaati. Sekarang yang penting bukanlah masalah ”ilmiah”-nya sebuah putusan MA, melainkan agar putusan MA ditaati dan dihormati sebagai badan peradilan berwibawa.
    Menurut pendapat rakyat, hukum di Indonesia sudah ”mati”. Putusan pengadilan dianggap sepi. Eksekusi putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dilawan dengan demo. Bahkan, ada wali kota yang seharusnya memberi contoh malah ikut-ikutan melawan itu.
    Hukum Kongkalikong
    Mengapa ini sampai terjadi? Tak perlu mencari kesalahan orang lain, cari kesalahan itu pada diri kita sendiri dulu. Putusan pengadilan tak ditaati karena masyarakat tahu putusan diambil atas dasar kongkalikong. Ini tugas pertama ketua MA: menumpas habis hakim berjiwa bejat! Rakyat pun tahu rekam jejak kita. Ini modal utama. Kita akan dicemoohkan rakyat kalau dulu kita pernah memeras orang dan pasti usaha kita takkan berhasil.
    Hakim-hakim berjiwa bejat itu bukan orang yang tak tahu hukum. Dalam melakukan perbuatannya dia pasti akan menghindari jerat hukum sehingga (perbuatannya) sulit dilacak. Perbuatan dilakukan dengan cara dan lika-liku mafia sehingga harus ada yang berani mati untuk melakukan itu sungguh-sungguh, tidak setengah-setengah.
    Hal kedua yang harus dilakukan ketua baru MA adalah komitmennya untuk aktif turut serta memberantas korupsi. Selama ini belum ada putusan hakim yang menghukum mati terpidana korupsi, padahal hukuman mati remedy ampuh yang dapat membuat koruptor jera.
    Dikatakan belum ada hukuman mati yang dijatuhkan kepada koruptor karena belum ada patokan pemidanaan bagi kejahatan korupsi. Terlepas dari pro dan kontra, saya setuju hukuman mati dijatuhkan bagi koruptor apabila ingin korupsi segera hilang dari bumi Indonesia.
    Patokan pemidanaan (sentencing standard) bagi tindak pidana korupsi dapat dimusyawarahkan di antara para hakim agung sehingga karena patokan itu dihasilkan melalui kesepakatan, tidak mengganggu kebebasan hakim. Hendaknya ketua baru MA mengajak rekan-rekannya membicarakan hal ini demi menghentikan merajalelanya tindak pidana korupsi yang mengganas menggerogoti keuangan rakyat.
    Terakhir yang ingin saya mintakan perhatian dari ketua baru MA adalah soal banyaknya tunggakan perkara di MA. Pada era almarhum Mudjono menjadi ketua MA, tunggakan perkara baru ada 4.000. Pada waktu itu, Mudjono sudah kalang kabut hendak menghabiskan tunggakan sehingga diciptakan Operasi Kikis (Opskis). Mudjono sadar perkara yang lama tak diputus menciptakan ketidakadilan. Saya sendiri tahun 1994 pernah punya gagasan untuk mencari cara tepat menghabiskan tunggakan perkara di MA yang pada waktu itu mencapai 6.000 perkara.
    Saya mencari bantuan dari Universitas Indonesia yang kemudian menghasilkan cara dengan memotong jalannya proses perkara dari 13 langkah menjadi 7 langkah. Sayang, hasil dari UI ini tidak ditindaklanjuti karena ada perbedaan pendapat di intern MA sendiri. Mudah-mudahan Pak Hatta Ali diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga dapat menunaikan tugas mahaberat ini sampai tuntas dengan hasil tidak mengecewakan rakyat. ●