Author: Adul
-
Feminisasi Korupsi
Feminisasi KorupsiMuhammad Afifuddin, MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGIFISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADASumber : REPUBLIKA, 15Februari 2012Jika dicermati dengan teliti kasus demi kasus korupsi yang sedang diusut KPK belakangan ini, kita akan menemukan satu benang merah yang menghubungkannya, yakni keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam jejaring mafia perampok uang rakyat. Dari yang telah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa/tervonis, ada nama seperti Imas Diansari, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung yang tertangkap basah menerima suap Rp 200 juta.Selain itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina yang tersangkut kasus cek pelawat, Nunun Nurbaetie dan Miranda S Goeltom (kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI), serta Wa Ode Nurhayati (mafia banggar DPR). Sosok lainnya adalah Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang terbaru Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet.Sedangkan dalam kasus suap Kemenakertrans, Dhanarwati malah sudah divonis dua tahun enam bulan. Bahkan, kalau mundur cukup jauh ke belakang, jangan kita lupakan `ratu sel mewah’ Artalyta Suryani (Ayin) yang juga resmi divonis sebagai koruptor. Sementara itu, perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal suap/mark up korupsi adalah Nining Indra Saleh (Setjen DPR), Athiyah Laila (istri Anas Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet), atau bahkan Sri Mulyani dalam kasus Century.Sedangkan, di luar komplotan mafia anggaran dan penyuap aparat negara tersebut, ada nama Malinda Dee yang sempat beken karena kiprahnya membobol uang nasabah Citibank. Masih ada beberapa nama lagi yang lain yang akan sangat memakan ruang jika harus dituliskan semuanya.Apakah ini kebetulan semata? Asumsinya, uang tidak punya jenis kelamin. Siapa pun mempunyai `bakat’ korupsi asalkan menemukan momentum (niat dan kesempatan) yang tepat. Bisa jadi fenomena ini 100 persen sebuah kebetulan yang cantik. Namun, melihat rentetan kejadian kasus per kasus di mana keterlibatan perempuan menjadi variabel vital dalam skenario perampokan anggaran rakyat tersebut, tampaknya asumsi kebetulan sulit untuk dinalar.Untuk perdebatan ini, penulis sepakat dengan tesis penulis buku Korupsi Kepresidenan (2005), George Junus Aditjondro. Dalam sebuah seminar di UGM awal tahun ini, Aditjondro mengutarakan, fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan gejala yang relatif baru di Indonesia.
Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme yang bersangkut paut dengan skandal-skandal keuangan tersebut.Euforia AntidomestifikasiKeran kebebasan sosial-politik yang terbuka pascareformasi rupanya berdampak positif pada kian menguatnya akselerasi perempuan di sektor publik. Setelah sekian lama terdomestifikasi oleh wacana dan kebijakan yang bias gender, pelan tapi pasti perempuan di Indonesia mulai menemukan `jati diri’. Maraknya gerakan dari kaum feminis yang menuntut adanya kesamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity) untuk mengakses sumber daya sosialekonomi-politik seperti halnya laki-laki, mulai banyak diafirmasi para pemangku jabatan dan pengambil keputusan di negeri ini.Data menunjukkan, meskipun model afirmative action yang mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam parlemen gagal diterapkan, tren jumlah politisi perempuan yang duduk di DPR selalu naik dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Dikutip dari situs resmi Centre of Electoral Reform (Cetro), jika hasil Pemilu 2004 jumlah perempuan yang duduk di parlemen 11,8 persen dari total anggota DPR, Pemilu 2009 menghasilkan jumlah anggota DPR perempuan sebesar 18 persen dari keseluruhan anggota dewan.Sementara untuk DPD, jumlah anggota perempuan naik dari 22,5 persen pada periode 2004-2009 menjadi 26,5 persen pada periode 2009-2014. Diperkirakan, tren kenaikan seperti ini bakal terus terjadi dalam pemilu mendatang.Untuk komposisi kepegawaian di berbagai instansi, jumlah perempuan juga mengalami lonjakan signifikan. Jika pada akhir 2005 persentase perempuan yang menjabat sebagai eselon I dan II hanya 13,3 persen dari total jumlah PNS di Indonesia, belakangan ini rasionya sudah meningkat menjadi 21,5 persen dari keseluruhan pegawai negeri (Latfiyah, 2011).Jika pada lembaga-lembaga `pelat merah’ kiprah perempuan kian menonjol, bagaimana dengan kehadiran perempuan pada instansi-instansi swasta? Meski tidak ada data yang bisa mencerminkannya secara tepat, penulis berasumsi trennya juga meningkat. Indikasinya bisa dilihat dari kian banyaknya perempuan yang menduduki jabatan strategis di berbagai perusahaan/lembaga swasta.Gambaran tersebut bermakna bahwa perempuan sudah bisa mengatasi problem pemenuhan kebutuhan berpendidikan seperti yang pernah diperjuangkan RA Kartini dulu. Meski belum tuntas dan merata persebaran akses pendidikan bagi kaum hawa, paling tidak sebagian besar perempuan sudah menikmati keleluasaan berpendidikan sehingga mereka bisa sejajar dengan laki-laki untuk berkiprah di sektor publik.Fenomena TerbalikTren yang positif itu juga didukung justifikasi dari hasil riset Bank Dunia tahun 1999 perihal peran perempuan dalam korupsi. Melalui riset yang dilakukan Development Research Group/Poverty Reduction and Economic Management Network itu ditemukan kenyataan menurunnya tingkat korupsi bersamaan dengan kian meningkatnya jumlah perempuan di tingkat parlemen nasional. Riset tersebut menjadi dasar bagi Bank Dunia untuk merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen karena keberadaan mereka berpotensi untuk menurukan tingkat korupsi (Neta S Pane, 2011).Namun, apa yang terjadi di Indonesia seakan mematahkan hasil penelitian Bank Dunia tersebut. Peran perempuan yang menduduki sejumlah jabatan penting di negeri ini tumbang satu per satu karena terlibat korupsi. Data ICW menyebutkan, pada 2008 dari 22 koruptor yang ditangkap, dua di antaranya perempuan. Kemudian, pada 2011 jumlahnya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Fakta ini sekaligus membantah pernyataan mantan komisioner KPK M Jasin bahwa perempuan selama ini lebih berperan sebagai pendorong korupsi yang dilakukan lakilaki.Artinya, ketika akses ruang publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki dibuka juga untuk perempuan, mereka ternyata sama rentannya dengan laki-laki. Pertanyaannya, mengapa kerentanan itu terjadi? Karena para `perempuan korup’ itu sedang terjangkit sindrom yang oleh bapak Psikoanalisis Sigmund Freud disebut sebagai histeria (euforia).Efek fatal dari histeria itu adalah melemahnya fungsi superego sebagai pagar penjaga moralitas yang berkembang di kehidupan sosial seseorang oleh menguatnya ego secara berlebihan dan berciri destruktif. Manifestasi dari histeria ego adalah egoisme diri untuk kaya secara instan tanpa memedulikan nasib jutaan orang lainnya.Akhirnya, jika sejarah mencatat pelaku korupsi banyak didominasi kaum laki-laki karena luasnya akses mereka ke simpul-simpul kekuasaan ekonomi-politik, konklusi itu tampaknya tidak relevan lagi. Sebab, fenomena mutakhir justru menggambarkan menguatnya feminisasi korupsi. ● -
Pembangunan Sebagai Kemerdekaan
Pembangunan Sebagai KemerdekaanAgus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMISTSumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan: apa yang menjadi alasan fundamental yang telah menyebabkan transformasi ekonomi Indonesia tidak terwujud sesuai dengan teori ekonomi dan paradoksal dengan yang telah terjadi di negara-negara Asia Timur (lihat Pakpahan, Koran Tempo, 1 Februari 2012). Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk memberi inspirasi dalam mencari jalan keluar dalam mewujudkan cita-cita Negara Kesatuan RI dan mengatasi ketertinggalan dari negara-negara lain pada periode waktu yang akan datang.Kasus Asia Timur ini menarik untuk menjadi bahan pembelajaran kita. Apalagi dengan menyimak kasus Jepang yang ternyata pada awal 1900-an masih dicap sebagai bangsa pemalas oleh Barat (Chang, 2008). Namun, setelah Perang Dunia II, kehidupan di negara-negara kawasan Asia Timur, termasuk RRC, melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya dan tak terkejar.Sen, dalam Second Asia and Pacific Lecture on “Building Asia’s Tomorrow: Promoting Sustainable Development and Human Security” (1999), menyampaikan paham atau pandangan tentang pembangunan cara Asia. Sen, sebagai pemenang Nobel dalam ilmu ekonomi (1998), pakar ekonomi yang lahir di dan sebagai keturunan India, yang kemudian menetap di Inggris, juga telah melahirkan konsep pembangunan yang berbeda dengan para pemikir ekonomi lainnya: development as freedom.Penulis ingin menggarisbawahi kata freedom, yang terartikulasi dan lahir dari seorang ekonom berlatar pendidikan Barat, yang sangat memahami kapitalisme dan pasar, ternyata melahirkan landasan freedomsebagai roh dan napas pembangunan. Mungkin hal itu lahir karena Sen memang dilahirkan di negara yang mengalami penjajahan dan melihat serta merasakan sendiri akibat sistem ekonomi yang lahir dari penjajahan, yang ternyata menyebabkan ketidakmerdekaan (unfreedom).Jauh sebelum Sen melahirkan teori pembangunan ekonominya, para pendiri NKRI ini sudah melahirkan paham yang kurang-lebih sama atau bahkan lebih mendasar lagi daripada yang diciptakan Sen. Menyadari ihwal sejarah bangsa-bangsa yang telah dijajah selama ratusan tahun, maka para pendiri Republik melahirkan NKRI ini dengan paham yang diajarkan oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Keseluruhan isi UUD 1945 adalah demi menjaga dan menciptakan NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.Yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa paham pembangunan sebagai pemerdekaan tidak berlangsung di Indonesia. Pembahasan untuk menjawab pertanyaan ini tentu memerlukan kajian yang mendalam. Pada tulisan ini, penulis lebih bersifat menyampaikan hipotesis besar yang kiranya dapat diteliti lebih lanjut. Sudut pandang yang digunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah teori Agnotology, yaitu ilmu pengetahuan yang mendalami pertanyaan mengapa hadir budaya tidak peduli atau ignorance(Proctor dan Schiebinger, 2008).Sebagai ilustrasi, telah diuraikan penulis pada Koran Tempo, 1 Februari 2012, dan majalah Tempo 23-29, 2012 (edisi Inggris), hal yang terabaikan walaupun sudah menjadi pengetahuan yang sifatnya masif adalah guremisasi dan terkuncinya Indonesia pada struktur ekonomi kolonial yang berkelanjutan.Salah satu permasalahan besar yang penulis pandang sebagai penyebab terabaikannya kedua hal yang sifatnya fundamental tersebut adalah tidak hidup dan berkembangnya nasionalisme serta patriotisme korporasi. Petani dan rakyat kebanyakan sudah menjadi patriot, tapi perusahaan besar malah banyak yang menjadi sebaliknya. Petani padi, misalnya, sudah berhasil melipatgandakan produktivitas hasil padinya dari 2 ton per hektare pada 1960-an menjadi lebih dari 5 ton per hektare 30 tahun kemudian, tapi perusahaan besar tidak beranjak dari menghasilkan komoditas primer dan yang bersifat rent seeker.“Missing hero“, kata Platt, adalah fenomena yang melanggengkan kondisi yang baik untuk individu tapi buruk untuk kondisi sosial, baik untuk hari ini tapi buruk untuk masa depan. Berkelanjutannya situasi tersebut akibat berkelanjutannya perangkap sosial (social trap). Apakah social trap itu tercipta dengan sendirinya atau dibuat pihak lain?Pelajaran dari agnotology menunjukkan bahwa social trapitu lebih mungkin ada yang membuatnya demi pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan sepanjang sejarah. Trap tersebut bisa dibuat dalam berbagai bentuk, mulai adat kebiasaan, kata-kata yang diciptakan, peraturan perundangan yang bukan membangun tapi malah mengacaukan gerak sosial-budaya masyarakat, hingga berbagai wujud lainnya. Persoalan itu juga berakumulasi sepanjang sejarah kita.Penulis menyampaikan pendapat bahwa pembangunan ekonomi perlu dilandasi paham pemerdekaan. Paham ini juga yang telah melandasi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar yang sekarang menjadi tulang punggung ekonomi negara-negara maju. Bahkan berdirinya VOC itu sendiri merupakan instrumentasi institusi korporasi yang diproteksi dan dilengkapi kewenangan-kewenangan negara yang juga demi kemakmuran dan kemajuan negara induknya. Morse dan Shive (2003) dalam Patriotism in Your Portfoliomenyimpulkan bahwa lebih banyak negara yang patriotik dan lebih banyak wilayah yang patriotik di Amerika Serikat yang menempatkan ekuitas perusahaannya di luar negeri lebih kecil daripada yang diperolehnya. Tanpa hidup dan berkembangnya paham pemerdekaan yang melahirkan patriotisme ekonomi, tidak akan pernah lahir keunggulan kompetitif dari institusi korporasi kita. ● -
Mempersoalkan Konglomerasi New Media
Mempersoalkan Konglomerasi New MediaFirdaus Cahyadi, KNOWLEDGE MANAGER FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT,ONEWORLD-INDONESIASumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012Hari masih pagi. Namun gerbong kereta rel listrik Commuter Line rute Bogor-Jakarta sudah mulai penuh. Ada beragam cara para penumpang KRL Commuter Line melepas kejenuhan menunggu keberangkatan KRL. Beberapa penumpang tampak sedang asyik mendengarkan musik, bermain game, dan merambah Internet melalui telepon seluler, iPad, dan laptopnya.Apa yang terjadi di gerbong KRL Commuter Line tersebut menunjukkan betapa perkembangan information and communication technology begitu pesat akhir-akhir ini di Indonesia. Jumlah pengguna Internet pun melonjak dari tahun ke tahun. Tren baru itu juga membawa perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media di negeri ini. Hasil survei Media Index yang dilakukan oleh Nielsen Media Survey pada 2009 menunjukkan jumlah pembaca koran konvensional menurun, sedangkan pengguna Internet mengalami kenaikan.Data itu juga dikuatkan oleh riset yahoo.comdan TNS mengenai tren pengguna Internet di Indonesia pada 2010. Riset itu menyebutkan bahwa telah terjadi lonjakan yang signifikan dalam pengaksesan berita online, 28 persen pada 2009 dan 37 persen pada 2010. Di sisi lain, jumlah pembaca media cetak terus menurun.Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media itu segera ditangkap oleh pemilik modal di sektor media massa. Mereka tentu tidak ingin struktur konglomerasi media yang telah ada digilas oleh perkembangan tren teknologi baru ini. Dan kini dapat kita lihat bersama, hampir semua konglomerasi media memiliki portal berita online.Lengkap sudah kepemilikan media oleh para konglomerat itu. Dari cetak, radio, televisi, hingga online telah mereka miliki. Bahkan tak jarang pula berita dari media cetak, radio, dan televisi bisa dinikmati sekaligus di portal berita milik konglomerasi media tersebut. Penggabungan ini sering disebut sebagai media baru atau new media.Struktur konglomerasi media konvensional telah bertransformasi menjadi konglomerasi new media. Beberapa pihak menilai ini sebuah keniscayaan. Efisiensi proses produksi berita menjadi argumentasinya. Di era new media ini, seorang wartawan bisa meliput suatu peristiwa yang hasilnya bisa ditampilkan secara bersamaan di media dengan platform yang berbeda. Hasil liputan wartawan bisa ditayangkan di televisi, disiarkan di radio, dan diunggah atau upload di Internet. Biaya produksi dapat dipangkas, dan itu berarti efisiensi ekonomi bagi pemilik modal di industri new media.Namun persoalan konglomerasi new mediaini bukanlah sekadar persoalan efisiensi ekonomi. Konglomerasi new mediaini juga merupakan persoalan dominasi wacana di ranah publik. Dominasi wacana ini tentu sangat berbahaya, terlebih bila pemilik modal industri konglomerasi new media itu juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pemilik modal dari konglomerasi new media dengan dominasi wacana di publik bisa dengan mudah mengarahkan sebuah kebijakan publik sesuai dengan kepentingannya.Di era digital ini sebenarnya dominasi wacana publik dari konglomerasi new media bisa dilawan oleh publik. Publik secara individual atau bersama-sama dapat menuliskan perlawanannya itu melalui blog dan website pribadi atau organisasinya. Publik juga dapat melawan melalui video yang di-upload di situs jejaring sosial di Internet.Namun potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana oleh konglomerasi new media di Indonesia masih lemah. Riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight tentang aspirasi dan perilaku anak muda di enam kota besar di Indonesia pada awal 2010 menunjukkan pengguna Internet yang aktif hanya 4,4 persen. Pengertian pengguna Internet yang aktif dalam riset itu adalah mereka yang memiliki dan menulis artikelnya di blog pribadi mereka dan juga di forum-forum online.Celakanya, dari sedikit pengguna Internet yang aktif itu, sebagian tulisan mereka masih berkisar pada isu-isu yang didorong oleh industri konglomerasi new media. Penelitian Merlyna Liem, seorang peneliti new media dari Arizona State University, mengungkapkan bahwa topik yang ramai dibicarakan pengguna Twitter di Indonesia adalah persoalan gaya hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh media arus utama (mainstream).Di sisi lain, masih menurut Merlyna Liem, isu-isu yang terkait dengan persoalan masyarakat pinggiran, seperti isu tentang kasus Lapindo dan Ahmadiyah, juga tidak banyak muncul di blog-blog milik para bloggerIndonesia. Sebagian besar blogger Indonesia lebih suka menulis soal isu yang menyangkut persoalan artis atau selebritas, seperti kasus munculnya video mesum mirip artis Ariel dan Luna Maya.Celakanya, lemahnya perlawanan publik pengguna Internet di Indonesia terhadap dominasi wacana dari konglomerasi new media itu semakin diperlemah oleh berbagai kebijakan telematika yang ada atau yang sedang dirancang pemerintah. Setidaknya ada dua kebijakan dan rancangan kebijakan yang berpotensi semakin memperlemah potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana di ranah Internet.Pertama, masih dipertahankannya pasal karet pencemaran nama baik dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penggunaan pasal karet itu berpotensi membungkam publik pengguna Internet yang kritis. Setiap saat pengguna Internet yang kritis terancam terkena hukuman 6 tahun penjara dari UU ITE.Kedua, Rancangan Undang-Undang Konvergensi Telematika. Dalam RUU Konvergensi Telematika disebutkan bahwa setiap penyelenggara layanan aplikasi penyebaran konten dan informasi wajib mendapatkan izin dari menteri dan membayar biaya hak penyelenggaraan.Ketentuan izin dari menteri tentu tidak jadi masalah bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media. Namun, bagi website yang dikelola oleh organisasi yang selama ini kritis terhadap pemerintah, ketentuan itu akan berpotensi mempersulit mereka. Begitu pula kewajiban membayar biaya hak penyelenggaraan. Bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun, bagi organisasi kecil yang mengelola website, hal itu akan menjadi sebuah persoalan besar.Singkat kata, pertarungan wacana antara publik dan konglomerasi new media adalah sebuah ajang pertarungan yang jauh dari seimbang. Kebijakan telematika yang dikeluarkan pemerintah pun justru memperlemah potensi perlawanan publik yang sejak awal sudah lemah. Jika sudah demikian, hal yang bisa dilakukan publik adalah mendesak pemerintah melakukan perubahan terhadap serangkaian kebijakan telematika, dan tentu saja membuat kebijakan baru yang membatasi gurita industri konglomerasi new media di Indonesia. ● -
Komitmen Melawan Korupsi
Komitmen Melawan KorupsiTaufiequrachman Ruki, KETUA KPK PERIODE 2003-2007Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan lalu mengucapkan untuk kesekian kali jargon kampanye sebagai calon presiden, yakni akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Kali ini janji itu disampaikan di depan tokoh-tokoh LSM penggiat antikorupsi dalam satu kesempatan di Istana Negara, Jakarta.Sebagai kemauan politik, pemberantasan korupsi memang berkali-kali digaungkan oleh Presiden pada berbagai kesempatan. Dalam kehidupan kesehariannya, tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditujukan kepada pribadi dan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak banyak. Kalaupun ada, masih isu dan rumor yang lebih banyak sensasi dan dipolitisasi daripada faktanya.Persoalannya, bagaimanakah pelaksanaan dari memimpin pemberantasan korupsi seperti jargon kampanyenya? Jawabannya: masih pada kemauan politik, belum sampai kepada tindakan nyata sehingga hasilnya pun hanya sampai wacana.Faktanya indeks persepsi korupsi Indonesia masih di kelas bawah, political economy risk country kita juga masih seperti kata Yudoka: katame waza alias main bawah. Artinya, pelaku bisnis di dalam dan di luar negeri—juga orang-orang yang bersentuhan dengan birokrasi di Indonesia—masih menganggap korupsi di negeri ini masih seperti dulu.Wakil Presiden Boediono ketika masih Menteri Koordinator Perekonomian pernah berujar di depan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa untuk memberantas korupsi diperlukan strong and sustainable commitment dari pemimpin. Daniel Sparringa, ketika masih sebagai pengajar di Universitas Airlangga, juga pernah berucap, terjadinya korupsi itu bukan hanya akibat adanya bad people, melainkan juga akibat wrong system, bad system and weak system.Harus Pimpin LangsungDi negara mana pun sampai kini tidak pernah ada lembaga ad hoc sejenis KPK yang berhasil memberantas korupsi sampai tuntas, termasuk di Hongkong, Korea Selatan, atau Perancis. Fungsi lembaga ad hoc itu terbatas pada trigger mechanism-nya. Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada komitmen, kemampuan, dan keberanian dua pemimpin negara, yaitu Presiden dan Ketua Mahkamah Agung.Mengapa Presiden? Karena sebagai kepala pemerintahan sesungguhnya, pada Presidenlah segala upaya penindakan terhadap korupsi berawal. Di sinilah, sesuai jargon kampanye SBY, yakni akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.Dalam pelaksanaannya, bidang pencegahan sangat bergantung pada pembantu Presiden, yakni menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan. Karena itu, kriteria untuk memilih pembantu ini harus diawali dari penilaian terhadap komitmen dan kemampuan untuk menata sistem yang eksis di kementerian/lembaganya. Langkah ini harus diikuti keberanian untuk membersihkan perilaku koruptif pada kementerian/lembaga yang dipimpinnya.Namun, yang terjadi, Presiden memilih pembantunya dengan pertimbangan utama adalah alokasi posisi menteri dan pimpinan lembaga negara untuk partai politik koalisi dan gelar akademis yang dimilikinya. Sudah terbukti, orang yang dipilih dengan kriteria itu tidak berani dan tidak berbuat apa-apa, bahkan justru terlibat dalam korupsi di lembaga yang dipimpinnya.Hal itu terjadi bukan karena mereka adalah pribadi yang buruk, melainkan sebagian karena tak menyadari masuk ke dalam putaran sistem yang buruk dan salah. Bukan regenerasi koruptor, melainkan pejabat baru pun, jika masuk ke dalam lingkaran sistem yang salah, akan terdorong menjadi koruptor. Apalagi, sistemnya tidak ditinjau sejak awal.Pada sisi represif, Presiden punya dua institusi yang sesungguhnya memiliki kewenangan dan kapasitas yang bagus untuk memberantas korupsi, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Namun, semua kembali berpulang kepada ketepatan Presiden memilih orang yang ditugasi untuk menjadi Kapolri dan Jaksa Agung. Keduanya memang harus orang yang luar biasa.Selain dituntut mampu membersihkan institusinya yang dikenal tercemar berat oleh korupsi, Kapolri dan Jaksa Agung juga harus jadi raja tega serta berani menyidik dan menuntut setiap kasus korupsi yang dilakukan oleh sesama pejabat—pusat dan daerah—serta kolega satu korps, bahkan oleh petinggi negara yang mungkin atasannya. Komitmen dua pejabat ini harus benar-benar kuat.Kalau popularitas dan harapan rakyat kepada Presiden turun, penyebabnya mungkin pembantu Presiden yang diharapkan rakyat—punya komitmen kuat, kemampuan yang baik, dan keberanian yang boleh diuji untuk memberantas korupsi—ternyata mengecewakan.Hakim juga BerperanHakim juga berperan menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi. Sebab, akhir dari pemberantasan korupsi sebagai upaya penegakan hukum adalah vonis pengadilan. Vonis yang keras dan progresif akan menimbulkan efek pencegahan terhadap terjadinya tindakan pidana.Contohnya, putusan pengadilan yang ringan dalam kasus narkotika diduga menjadi penyebab maraknya penggunaan, peredaran, dan pemasukan narkotika di Indonesia. Penyelundup dan pengedar narkotika sangat menghindari Singapura dan Malaysia karena hukuman mati menunggu mereka di sana.Vonis terhadap pelaku korupsi di Indonesia, baik hukuman badan, hukuman denda, maupun hukuman tambahan, sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membawa kasus korupsi ke pengadilan. Juga tidak seimbang dengan biaya yang mereka keluarkan untuk kasus itu, apalagi jika diukur dengan rasa keadilan masyarakat.Bayangkan, ada putusan di satu pengadilan negeri yang hanya menjatuhkan hukuman kepada koruptor di bawah satu tahun penjara. Pelaksanaannya pun masih akan dikurangi remisi. Putusan yang lunak ini sangat tidak mendukung harapan masyarakat dan aparat yang menghendaki korupsi diberantas. Sebaliknya, ia memarakkan praktik korupsi.Memang tidak boleh Ketua MA mencampuri kewenangan majelis hakim yang sedang menyidangkan sebuah kasus. Hakim harus bebas dan mandiri dalam menjatuhkan putusannya. Namun, tidak salah juga apabila Ketua MA mengeluarkan surat edaran yang merupakan kebijakan umum dalam pemberantasan korupsi, yakni agar hakim pengadilan tindak pidana korupsi menjatuhkan hukuman maksimal jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Hal ini adalah bagian dari pelaksanaan UU.Rendahnya komitmen dan keberanian hakim inilah penyebab vonis rendah dalam menjatuhkan hukuman terhadap koruptor yang terbukti secara sah di pengadilan. Ini pula yang kemudian membuat penggiat pemberantasan korupsi menjadi frustrasi dan aparat buang batu sembunyi tangan, mencari kambing hitam, yaitu menyalahkan pengadilan yang membebaskan pelaku korupsi. Padahal, mungkin saja kasusnya dipaksakan dengan bukti dan tuntutan yang lemah. ● -
Skenario Konferensi Pers Presiden
Skenario Konferensi Pers PresidenTomy C. Gutomo, WARTAWAN JAWA POS, PERNAH BERTUGAS DI ISTANA PRESIDENSumber : JAWA POS, 15Februari 2012BANYAK yang kecewa menyaksikan tanya jawab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan wartawan di Istana Negara pada Senin malam (13/2). Dingin dan tidak ada gereget. Jawaban-jawaban presiden begitu aman dan seperti biasa, normatif. Wartawan yang hadir di Istana Negara malam itu mungkin juga bingung sendiri memilih angle berita yang menarik untuk ditulis.Saat tanya jawab antara presiden dan wartawan yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional itu berlangsung, berbagai kicauan berseliweran di Twitter maupun Facebook. Ada yang mengkritik wartawan istana terlalu santun kepada presiden, pertanyaannya kurang ”menggigit”, dan seperti sudah di-setting. Namun, saya yakin, wartawan istana malam itu tidak sedang ”diamankan” oleh istana. Sebab, wartawan istana yang saya tahu selama ini, setidaknya setelah reformasi, cukup kritis dan memiliki idealisme.
Tapi, apakah tanya jawab SBY dan wartawan malam itu sudah diskenario? Itu memang menjadi pertanyaan banyak pihak. Dari pengalaman saya ngepos di istana pada periode pertama kepemimpinan SBY (2004-2009), nyaris tak ada konferensi pers yang alami. Biasanya ada dua skenario ketika presiden mengadakan konferensi pers.
Skenario pertama, juru bicara presiden -saat itu Andi Mallarangeng- telah membuat sejumlah pertanyaan. Kemudian, pertanyaan tersebut dititipkan kepada sejumlah wartawan yang dia percaya. Saat sesi tanya jawab, Andi akan menunjuk wartawan-wartawan yang sudah dipilih tadi.
Skenario kedua, beberapa jam sebelum konferensi pers dimulai, staf biro pers dan media rumah tangga kepresidenan meminta wartawan mengirimkan SMS pertanyaan yang akan diajukan kepada presiden. Sekian pertanyaan itu akan diseleksi dan dipilih Jubir presiden. Saat sesi tanya jawab, Jubir tinggal menunjuk wartawan yang pertanyaannya sudah terpilih tersebut. Karena itu, di layar kaca, presiden terlihat sangat menguasai semua materi yang ditanyakan wartawan.
Lalu, konferensi pers Senin malam itu menggunakan skenario yang mana? Menurut informasi dari teman-teman yang meliput di istana, biro pers dan media menggunakan skenario kedua. Kali ini lebih parah. Pertanyaan dari wartawan di-listingsejak seminggu sebelum acara tanya jawab digelar. Jadi, wartawan yang ditunjuk Julian Adrian Pasha, Jubir presiden, malam itu adalah wartawan yang pertanyaannya terpilih oleh pihak istana.
Skenario itu mungkin bertujuan untuk meminimalkan berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Misalnya, menghindarkan pertanyaan wartawan yang kurang bermutu atau pertanyaan yang tidak berkaitan dengan tugas-tugas presiden. Juga, untuk menghindarkan pertanyaan yang bisa menjatuhkan wibawa presiden.
Namun, akibatnya, yang terlihat di layar kaca Senin malam lalu justru wartawan yang menuai kritik dari publik. Sebab, publik menaruh harapan besar kepada wartawan saat itu untuk ”memaksa” SBY menjelaskan berbagai isu terkini secara gamblang.
Wartawan di istana tak bisa begitu saja disalahkan dalam kasus tersebut. Pertanyaan yang diajukan wartawan sudah cukup bagus. Namun, sistem tanya jawab malam itu jelas menguntungkan SBY. Selain sudah diskenario, terlalu banyak isu yang diangkat, sehingga tidak fokus. Ada 16 pertanyaan yang diajukan wartawan malam itu dalam waktu 90 menit.
Satu faktor lagi, konferensi pers berlangsung saat malam, yakni pukul 20.00-21.00 WIB. Bagi media cetak, itu tentu sudah mendekati deadlinepukul 24.00. Karena itu, konsentrasi wartawan sudah bercabang antara mengejar berita dan mengejar deadline.
Ke depan, sebaiknya wartawan bisa memiliki bargaining positionyang lebih kuat dengan istana. Jangan mau mengikuti skenario yang dibuat biro pers dan media. Tolak segala bentuk setting-an.
Wartawan istana harus kompak. Misalnya, menentukan tiga isu penting yang akan ditanyakan. Tiga isu itu harus dijawab tuntas oleh presiden. Ketika jawaban presiden belum memuaskan, wartawan yang lain bisa mempertajam. Tidak seperti konferensi pers Senin malam lalu, jawaban presiden tidak bisa dipertanyakan lagi oleh wartawan.
Saya yakin, kalau wartawan kompak, pihak istana bisa menerima. Dulu pernah terjadi, kamerawan TV kompak menolak setting-an biro pers dan media. Akhirnya, SBY mengalah dan mengikuti skenario kamerawan TV. Sudah saatnya skenario konferensi pers di istana diakhiri. Masyarakat sudah semakin cerdas dan bisa menilai perilaku pemimpinnya. ●
-
Dasar Bubarkan Ormas Anarkistis
Dasar Bubarkan Ormas AnarkistisHasibullah Satrawi, ALUMNUS AL-AZHAR, KAIRO, MESIR; TINGGAL DI JAKARTASumber : JAWA POS, 15Februari 2012KETEGASAN masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam menolak kehadiran Front Pembela Islam atau FPI (11/2) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menyadari pentingnya melestarikan kerukunan bangsa yang majemuk.Telah maklum bersama, FPI merupakan salah satu ormas yang kerap terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan, khususnya aksi kekerasan yang bernuansa agama. Sebagian pihak telah mendesak pemerintah dan aparat keamanan untuk membubarkan ormas anarkistis (termasuk FPI). Bahkan, pembubaran ormas anarkistis pernah disarankan Kapolri, waktu itu, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di DPR (Media Indonesia, 31/8/10). Tapi, faktanya, saran itu tak dilaksanakan hingga hari ini.
Setidaknya ada dua alasan penting bagi pembubaran ormas anarkistis. Pertama, alasan kebangsaan. Dari segi kebangsaan, cara-cara anarkistis yang kerap dilakukan ormas keagamaan (termasuk FPI) dalam menghadapi masalah tertentu merupakan ancaman serius bagi kerukunan. Terutama dalam menghadapi perbedaan yang bersifat keyakinan dan keagamaan.
Bangsa ini ada bukan untuk menjadi “area perang” bagi segenap warganya karena alasan perbedaan tertentu. Sebaliknya, bangsa ini ada untuk menjadikan warna-warni perbedaan yang ada sebagai “pelangi kehidupan” nan indah. Inilah yang oleh almarhum Cak Nur disebut dengan istilah kemajemukan sebagai nikmat. Jangankan melakukan kekerasan, sebaiknya kita mengambil hikmah dan rahmat dari semua perbedaan ini.
Islam Jadi Korban
Kedua, alasan keislaman. Bisa dikatakan, Islam adalah korban utama dari berbagai macam aksi anarkistis yang dilakukan ormas keagamaan seperti FPI. Mengingat aksi anarkistis yang dilakukan ormas keagamaan kerap dilakukan atas nama agama (khususnya ajaran amar makruf dan nahi mungkar). Padahal, Islam tidak membenarkan aksi kekerasan hanya karena sebuah perbedaan atau atas nama dakwah. Bahkan, dalam konteks membela diri sekalipun, Islam lebih mengutamakan pengampunan daripada membalas (wan ta’fu khairun lakum).
Dalam sebuah hadis, contohnya, disebutkan bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Mahalembut, menyukai kelembutan dan memberikan sejumlah keistimewaan pada kelembutan yang tak diberikan pada aksi kekerasan. Bahkan, Imam Ali bin Abi Thalib pernah meriwayatkan hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa akan banyak perbedaan setelah beliau meninggal dunia. Dalam menghadapi berbagai perbedaan yang ada, Rasulullah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib agar senantiasa memilih dan mengedepankan perdamaian, meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan.
Bahkan, ajaran amar makruf (menyeru pada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) pun harus dijalankan sesuai dengan semangat kerukunan (bukan semangat kekerasan seperti yang kerap dilakukan ormas anarkistis). Apa yang disampaikan Syekh Ali Muhammad Ali Syarif dan Syekh Usamah Ibrahim Hafiz menarik untuk diperhatikan. Dalam sebuah bukunya berjudul An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat bagi Penegakan Amar Makruf Nahi Mungkar), dua ulama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang telah bertobat dari berbagai macam aksi kekerasan ini menegaskan, ajaran amar makruf dan nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan semangat mencari-cari kemungkaran atau kesalahan orang lain. Para penegak syariat hanyalah berkewajiban menyikapi kemungkaran yang tampak di depan mata, bukan keburukan atau kemungkaran yang tersembunyi di balik tembok atau di dalam kamar (hal. 63).
Dalam bukunya berjudul, Ihya`u Ulumi ad-Din, Imam Al-Ghazali yang menjadi panutan mayoritas umat Islam di Indonesia melansir sebuah cerita menarik terkait dengan penegakan amar makruf dan nahi mungkar. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah mengintai seseorang yang sedang melakukan kemaksiatan/keburukan di dalam rumahnya dari atap.
Saat diinterogasi, orang tersebut menjawab: saya mungkin benar telah melakukan kemaksiatan/keburukan di dalam rumah. Tapi saya pastikan, itu hanya satu kemaksiatan/keburukan. Sedangkan Anda (sahabat Umar) dengan melakukan penegakan amar makruf dan nahi mungkar seperti ini melakukan tiga kemaksiatan/keburukan sekaligus.
Pertama, Anda mencari-cari kesalahan orang lain atau mengintip. Padahal, Alquran melarang perbuatan ini, sesuai dengan ayat yang berbunyi, … wala tajassasu… (jangan mencari-cari kesalahan orang lain, QS Al-Hujurat [49]: 12). Kedua, Anda datang ke rumah orang lain tidak melalui pintu (mengingat sahabat Umar mengintip dari atap rumah sebagaimana di atas). Padahal, Alquran memerintahkan, … wa’tul buyuta min abwabiha … (masuklah ke rumah orang lain melalui pintu, QS Albaqarah [2]: 189).
Ketiga, Anda datang ke rumah orang lain tanpa mengucapkan salam (baca: assalamualaikum). Alquran memerintahkan: … wa tusalimmu ala ahliha… (janganlah kalian memasuki rumah orang lain tanpa mengucapkan salam kepada penghuninya, QS An-Nur [24]: 27).
Inilah yang kerap diabaikan para aktivis ormas anarkistis dalam menjalankan perjuangan keagamaan. Hingga aksi anarkistis mereka mendapatkan kecaman dari banyak pihak (termasuk dari masyarakat Kalteng dalam konteks FPI). Bahkan, tak jarang Islam pun menjadi korban dari aksi anarkistis mereka, sebagaimana disampaikan di atas. Sudah sepantasnya bila ormas anarkistis dibubarkan. ●
-
MOU Dewan Pers-Polri
MOU Dewan Pers-PolriAgus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERSSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Pada 9 Februari 2012, Dewan Pers dan Kepolisian RI meresmikan nota kesepahaman yang sangat penting untuk pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia.Perjalanan pembahasan nota kesepahaman (MOU) ini cukup panjang dan berliku. Kedua pihak butuh waktu lebih dari tiga tahun—melewati sekali momen pergantian Kapolri dan keanggotaan Dewan Pers—untuk mereduksi perbedaan-perbedaan pandangan tentang bagaimana semestinya kasus-kasus pers diselesaikan.Penyelesaian JurnalistikNota kesepahaman ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian tentang proses penanganan kasus-kasus pers. Sebagian pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Namun, tidak sedikit pihak dengan masalah yang sama memilih mengadu ke polisi. Sebagian pihak memperkarakan kinerja pers berdasarkan UU Pers. Sebagian pihak lain tidak mau tahu dengan duduk perkara UU Pers dan menggunakan UU lain untuk memeja-hijaukan media atau jurnalis. Pada titik ini sering muncul perbedaan pendapat antara penegak hukum di satu sisi dan Dewan Pers serta unsur-unsur media pada sisi lain.Terjadi benturan tafsir tentang perlindungan nama baik dan ketertiban umum dengan prinsip-prinsip universal kemerdekaan pers. Dalam ketakpastian ini, peristiwa kriminalisasi terhadap insan atau institusi pers beberapa kali terjadi dan memicu kontroversi yang tak kondusif bagi hubungan antara komunitas pers dan penegak hukum. Berangkat dari situasi inilah, Polri dan Dewan Pers kemudian menjajaki kemungkinan membangun saling pemahaman dan kerja sama dalam menyelesaikan kasus-kasus pers yang diadukan ke polisi.Nota kesepahaman Polri-Dewan Pers pertama-tama menegaskan bahwa sengketa jurnalistik semestinya diselesaikan secara jurnalistik. UU Pers No 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik telah menyediakan penyelesaian secara jurnalistik ini dengan mekanisme hak jawab, hak koreksi, permintaan maaf secara terbuka, mediasi Dewan Pers, serta sanksi pidana bagi media yang tidak mematuhi ketentuan hak jawab.Dalam konteks ini, jika Polri menerima pengaduan langsung tentang pers, Polri akan terlebih dahulu meminta Dewan Pers menilai apakah pengaduan itu tentang perkara jurnalistik atau bukan. Jika pengaduan tersebut sepenuhnya perkara jurnalistik akan diselesaikan oleh Dewan Pers. Sebaliknya, jika pengaduan itu ternyata tentang perkara non-jurnalistik menjadi kewenangan Polri untuk menyelesaikannya.Penyelesaian secara jurnalistik dapat saja tak menyelesaikan masalah. Misalnya, karena hak jawab tidak dipenuhi oleh media atau karena media mengulangi kesalahan yang sama setelah memuat hak jawab. Jika ini terjadi, Dewan Pers tidak menghalangi upaya pihak-pihak untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan delik pers.Namun, untuk menangani kasus seperti ini, polisi harus berpedoman pada UU Pers, bukan UU lain. Polisi juga akan memastikan, sebelum menempuh jalur hukum, pengadu telah terlebih dahulu menempuh prosedur penyelesaian secara jurnalistik: hak jawab, hak koreksi, atau mediasi Dewan Pers. Polisi juga berkomitmen untuk mengarahkan pengadu menempuh jalur hukum perdata. Dalam proses penyidikan perkara delik pers pada tahap selanjutnya, polisi akan selalu berkonsultasi dengan Dewan Pers.Kriminalisasi PersGuna mengevaluasi pelaksanaan nota kesepahaman, Dewan Pers dan Polri akan melakukan pertemuan koordinasi sekurang- kurangnya enam bulan sekali. Koordinasi ini sangat penting untuk memperbaiki kualitas penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.Selama 2011, Dewan Pers mencatat 85 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk: penganiayaan, perusakan, intimidasi, pengusiran, hingga penghilangan nyawa. Pelakunya pun beragam: pejabat publik, pegawai pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman suruhan pihak tertentu. Masalah yang menonjol dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah belum ada koordinasi yang memadai antara Polri sebagai penegak hukum dan Dewan Pers sebagai lembaga pelindung kebebasan pers untuk secara sigap dan secepatnya mengambil langkah-langkah penyelidikan dan penanganan masalah.Kemerdekaan PersNota kesepahaman ini secara teoretis merupakan terobosan penting untuk mengeliminasi kriminalisasi dan kekerasan terhadap pers yang masih marak terjadi di Indonesia. Nota kesepahaman ini akan jadi pedoman bagi jajaran Polri, khususnya di daerah, yang sering menerima pengaduan tentang kinerja pers, tetapi belum sepenuhnya memahami mekanisme penyelesaian perkara jurnalistik.Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Polri. Kemauan baik Polri untuk memberikan kesempatan kepada komunitas pers, yang direpresentasikan oleh Dewan Pers, untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri melahirkan optimisme bahwa ke depan, tingkat kriminalisasi terhadap pers akan semakin menurun. Dengan sendirinya kemudian Indonesia akan semakin dikenal sebagai negara dengan pemerintahan yang mempunyai komitmen terhadap kemerdekaan pers.Dewan Pers di sisi lain dihadapkan pada keharusan untuk meningkatkan kapasitas dalam menangani kasus-kasus pers secara sigap, adil, dan imparsial. Tantangan Dewan Pers adalah sanggup senantiasa bertindak tegas dan tidak kompromistis terhadap institusi atau insan pers yang tidak profesional dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.Dewan Pers perlu membuktikan bahwa fungsinya tidak sekadar melindungi kemerdekaan pers, tetapi juga menegakkan Kode Etik Jurnalistik tanpa pandang bulu. Hal ini demi menegakkan martabat pers itu sendiri serta untuk memberikan rasa keadilan bagi berbagai pihak. ● -
Penguasa (yang) Tak Acuh (118)
Penguasa (yang) Tak AcuhFarid Muttaqin, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR DEPARTEMEN ANTROPOLOGI, BINGHAMTON UNIVERSITY STATE UNIVERSITY OF NEW YORK, ASSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menjadi tokoh sentral dan amat dominan dalam membangun dan menerapkan berbagai strategi politik. Lalu, lahir apa yang tenar disebut sebagai the silent majority, mayoritas (tetapi) diam.Mereka sebagian besar, bahkan terbesar, rakyat Indonesia yang tak memiliki kemampuan berekspresi, mengungkapkan suara, serta keinginan atas negara terhadap pemerintah dan penguasa. Opresi negara (state’s oppression) yang dilakukan penguasa Orde Baru membuat rakyat negeri ini memilih diam daripada mempertaruhkan hidup jika mengekspresikan suara politik.Lalu, kebobrokan di berbagai bidang selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru itu seperti sebuah kenormalan yang wajar, yang tak perlu mendapat reaksi selain dengan diam. Bahayanya, hampir semua orang, terutama yang punya pengalaman langsung hidup di bawah kepemimpinan Soeharto, tahu betapa banyak ketidakadilan dan kekerasan terjadi saat itu.Era the silent majority sudah lewat. Ia secara ”alami” jadi usang dan karenanya menuntut perubahan. Artinya, gerakan reformasi pada 1998 sebenarnya bukan hanya reaksi dan respons politik atas kebobrokan akibat represi, opresi, dan totaliterianisme Orde Baru.Gerakan itu merupakan reaksi ”alamiah” atas kebosanan dan ”hidup dalam keusangan” ala situasi akibat the silent majority yang tak dinamis dan tak berwarna. Gerakan reformasi yang ditandai gelombang deras suara publik menjadikan negara ini penuh kegaduhan, mengganti the silent majority menjadi the noisy majority, mayoritas yang berisik.Situasinya tentu berbeda ekstrem. Jika yang pertama hanya berisi suara Presiden Soeharto, baik langsung maupun lewat para menteri dan kaki-tangannya yang lain, di era ini, koran, televisi, forum diskusi, seminar, internet, dan ruang komunikasi publik lain—termasuk kendaraan umum—hampir tak pernah sepi dari suara gaduh massa itu selama 24 jam. Talk show yang secara harfiah berarti ”pentas omongan” jadi acara paling sering ditayangkan di televisi kita, menandai dengan jelas era the noisy majority itu.Apakah situasi yang tercipta lebih baik?Seharusnya, era ”mayoritas yang berisik” ini dapat mengubah kondisi kekuasaan totaliter semacam Orde Baru menjadi kekuasaan yang lebih menggantungkan diri pada suara publik. Tidak hanya untuk mengontrol agar tidak jadi kekuasaan represif dan totaliter, tetapi juga untuk membuat program-program pembangunan yang lebih kreatif, inovatif, serta tentu saja partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan publik. Namun, hal ini tidak menjadi kenyataan di era the noisy majority sekarang ini.Sikap AbaiIndonesia pasca-Soeharto menjadi negara dengan kebebasan berekspresi paling besar di dunia. Setiap warga bisa mengungkapkan pikiran, bahkan paling kritis atau paling ”kasar” sekalipun terhadap penguasa, tanpa khawatir akan ”digebuk” atau ”dilibas”.Sekali lagi, apakah hal ini membuat kondisi menjadi lebih baik, dalam arti (penguasa) negara menjadi lebih berkenan mendengar serta mempelajari dan belajar dari suara rakyat nan gaduh itu? Ternyata tidak!Sering sekali saya ditanya kolega dari beberapa negara sahabat tentang perkembangan kondisi kenegaraan di Indonesia. Saya hanya menjawab, ”Di Indonesia rakyat bebas bicara, diberi hak berekspresi tanpa batas, bahkan termasuk ungkapan yang sebenarnya ”menghina” kekuasaan, tetapi para penguasa juga merasa punya hak untuk mengabaikan suara-suara itu.”The noisy majority ditanggapi sederhana dengan apa yang disebut the silent authority. Suatu sikap abai, tak acuh, dan tak menganggap penting suara-suara yang ramai diungkapan rakyat. Apalagi, untuk menjadikannya pertimbangan bagi keputusan dan kebijakan pembangunan.Penguasa yang diam, abai, dan tak acuh ini tentu tak hanya merugikan dari segi kebijakan yang tidak responsif terhadap kepentingan publik. Sikap tak acuh ini justru mengancam fondasi kenegaraan, terutama ketertiban hukum, politik, dan sosial.Tanda-tandanya sudah kian jelas: kekerasan massal semakin sering terjadi, pemerkosaan dan pelecehan seksual di tempat terbuka terjadi berulang, korupsi seperti terus melahirkan generasi baru. Di sana sama sekali tak terlihat rasa takut atau rasa hormat kepada hukum dan institusi negara yang merupakan salah satu fondasi utama bernegara.Jika ini terus terjadi, bisa dibayangkan akhir tragis negeri ini. Kita perlu sesegera mungkin melakukan langkah-langkah serius untuk mengubah kondisi the silent authority menjadi the responsive authority dan tidak menunggu rasa bosan memuncak. Sebab, perubahan akibat rasa bosan sering tak berujung pada kondisi yang lebih baik, seperti kita rasakan pada pengalaman gerakan reformasi. ● -
Pengabdian Taat Asas
Pengabdian Taat AsasBS Mardiatmadja, ROHANIWANSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Banyak media memaparkan catatan penting mengenai tuntutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang syarat untuk lulus sarjana, magister, dan doktor serta untuk kenaikan pangkat dosen, baik sebagai opini maupun berita. Hampir semua menegaskan: tuntutan itu mustahil dilaksanakan.Pantas dihormati hasrat orang yang menginginkan peningkatan keilmiahan hasil akhir proses persekolahan kita. Peningkatan itu perlu dilakukan dengan taat asas, secara berdaya guna, dan akhirnya berhasil guna.Berita dan opini-opini dalam media menunjukkan bahwa tuntutan Kemdikbud hampir pasti tidak akan berhasil guna. Pertanyaannya, apakah berdaya guna dan taat asas?Keduanya erat berkaitan. Sesuatu di bidang pendidikan hanya berdaya guna apabila taat-asas, yakni sesuai dengan tujuan pendidikan. Tuntutan Kemdikbud itu menonjolkan gambaran tugasnya sebagai pengurus lembaga persekolahan. Itu pun hanya dari sudut administratif (yang bertahun-tahun tidak terlaksana dengan baik juga), bahkan menjadikan evaluasi administratif itu disempitkan menjadi kuantitatif (kalau tidak malah meminggirkannya menjadi bersifat ”justru tidak ilmiah dan tidak edukatif”).Mangunwijaya, sekitar 25 tahun lalu, mengajarkan kepada saya: seorang calon penulis harus banyak kontak dengan dewan redaksi media. Ini agar tulisannya yang mungkin bermutu itu dapat diperkenalkan dengan penjelasan lisan. (Kelak apabila sudah dikenal, redaksi akan dapat percaya pada mutu tulisannya, yang tentu saja harus dipertahankan terus).Keilmiahan tidaklah cukup untuk pemuatan tulisan dalam media. Harus ditambah banyak faktor, misalnya aktual, dipaparkan dengan bahasa yang sesuai dengan pembaca, dan tidak melampaui panjang tertentu.Ketiga faktor itu tidak selalu dibutuhkan untuk diluluskan dalam ujian skripsi. Apalagi, skripsi, tesis, dan disertasi dilengkapi pertanggungjawaban lisan (yang tidak terjadi dalam pemuatan di media). Karena itu, banyak sarjana yang tulisannya diluluskan, tetapi tak pernah diterbitkan media. Di sini, tuntutan Kemdikbud tak akan berhasil guna.Ambisius vs Logika yang KeliruKeilmiahan adalah sesuatu yang majemuk. Karena itu, sangat mungkin penemuan baru sulit dipahami oleh dewan redaksi media sehingga tidak diterbitkan karena jurusnya baru dan kebaruan merupakan salah satu hal penting dalam penulisan disertasi. Tuntutan Kemdikbud berakibat pencegahan aspek kebaruan yang menyuburkan ilmu, tetapi tidak senantiasa terpahami dalam pemasaran media.Kebaruan itu juga dapat menyebabkan ”media baru” tidak mendapat akreditasi dari Kemdikbud sehingga kegagalan terbit justru didasarkan pada kelemahan Kemdikbud. Namun, bisa dipahami kalau Kemdikbud tidak mungkin ”memuat segala ilmuwan dari dunia ilmu sehingga sulit memahami keilmiahan penemuan-penemuan baru”. Ataukah Kemdikbud mau mensponsori terbitnya media ilmiah dari segala jenis ilmu tanpa peduli mutu?Tuntutan Kemdikbud ”memutlakkan penerbitan karya ilmiah” seakan dapat dipahami, tetapi tidak dapat dibenarkan jika mengingat bahwa kita tak punya media sebanyak yang diperlukan untuk calon sarjana. Sementara dunia permediaan tidak dapat memiliki ahli-ahli penilai (”tim bijak bestari”) yang siap menilai segala jenis ilmu atau penulisan baru (teolog Karl Rahner ditolak disertasinya, yang kemudian justru menjadi best seller di dunia, begitu pula banyak tokoh lain). Tuntutan itu ambisius, tetapi tak memperhitungkan realitas kemanusiaan yang umum di seluruh dunia (tak ada negara yang mewajibkan lulusan sarjana untuk memublikasikan karyanya sebagai syarat kelulusan).Tuntutan Kemdikbud menyimpan harapan agar lulusan bermutu lahir lebih banyak lagi. Dilupakan bahwa untuk kelahiran itu diperlukan bahwa sekolah-sekolah (tinggi-universitas) tidak dibuat ”impoten” dan penerima ”benih keahlian” sungguh ”subur”. Namun, tuntutan Kemdikbud justru membuat perguruan kena bahaya ”impotensi” karena memindahkan kewenangan meluluskan dari sidang ujian internal ke kewenangan publikatores, yang penghitungannya tidak hanya keilmiahan dan Kemdikbud berpretensi mampu menentukan kriteria kelulusan.Dunia publik kita, yang menjadi kancah para publikatores, tidak sedang subur karena remuknya situasi politis, mahakuasanya uang, dan bengkoknya banyak logika. Tanpa logika yang tepat, sulit lahir ilmuwan tangguh. Salah satu logika yang keliru adalah ”memprasyaratkan penerbitan karya sebagai syarat kelulusan sarjana”, bukannya merangsang keilmiahan dengan menyuburkan pembentukan istilah keilmuan, penghargaan kepada peneliti, evaluasi perguruan tinggi secara mendalam (ini malah dengan menekankan aspek administratif).Seorang ahli metodologi ilmu, Lonergan, mengajak kita meningkatkan keilmuan dengan pendalaman metodologi ”dalam masing-masing disiplin ilmu”, bukan dengan ”berpamer keluar” walau lingkup luar dapat menjadi sarana komunikasi keilmiahan universal. Komunikasi lintas ilmu dapat merangsang pendalaman keilmiahan, tetapi tidak dapat senantiasa dituntut. Itulah masalahnya ketika Kemdikbud memaksa semua sarjana hanya diluluskan kalau karya tulisnya diterbitkan oleh media. Tuntutan itu justru menafikan disiplin keilmuan yang beraneka.Alat Coba-CobaSetiap orang yang berkecimpung di dunia ilmu mafhum bahwa masa studi awal adalah masa mengenali cara kerja dasariah. Baru kemudian perlahan-lahan orang dapat menguasai bidangnya dan singgungan dengan ilmu-ilmu lain, lalu berkembanglah penguasaan keilmuannya untuk dihidangkan kepada publik. Pada waktu itulah media-media ilmiah siap menampung luapan keilmiahan orang.Dengan pengertian itu, tuntutan Kemdikbud adalah cara baik untuk merosotkan mutu media-media ilmiah, dengan menerima tulisan-tulisan yang masih merupakan awal masa bakti ilmuwan. Alih-alih meningkatkan keilmiahan bangsa, tuntutan Kemdikbud justru memandang rendah keilmuan dan karena itu menurunkan derajat media ilmiah sebagai alat coba-coba.Dalam pada itu, pasti ada sejumlah ”calon lulusan” sarjana kita yang bermutu: kita persilakan setiap perguruan tinggi menilai mereka. Siapakah kita yang mampu menilai ratusan ribu halaman dan mengecek ”catatan kaki” dan ”daftar bacaan” sehingga akurat dan tidak hanya merupakan copy-paste dari internet. (Apalagi orang Kemdikbud yang amat sibuk sehingga bahkan sulit membaca sekian ribu halaman laporan setiap perguruan tinggi kita sampai sering meminta laporan lagi walau isinya akan mirip dengan yang dilaporkan sekian tahun yang lalu). Sementara itu, peraturan negara mengizinkan perguruan tinggi tertentu tidak lagi mewajibkan skripsi dan memilih cara lain untuk meluluskan mahasiswanya.Tidak terbayangkan gunung pekerjaan yang timbul dengan adanya peraturan baru ini. Gunung itu tidak hanya secara kuantitatif tak teratasi, tetapi secara kualitatif juga mustahil sehingga pewajiban ini sulit disebut ”taat asas”. Jadi, nonedukatif juga! ● -
Membangun Kedaulatan Petani demi Pangan
Membangun Kedaulatan Petani demi PanganAgnes Aristiarini, WARTAWAN KOMPASSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Ketika kesalahan kebijakan membuat masyarakat meninggalkan diversifikasi pangan dan semakin tergantung pada beras, pemerintah justru meninggalkan petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan. Bukannya membantu petani agar berdaulat dengan membenahi produksi pangan, pemerintah memilih jalan pintas: impor beras.Berdasarkan data Kementerian Pertanian, ada tujuh komoditas pangan pokok yang diimpor dan itu belum termasuk gandum, garam, gula, dan produk hortikultura. Impor beras tahun 2010 mencapai 1,6 juta ton, jagung 2,8 juta ton, dan kedelai lebih dari 1,2 juta ton. Nilai impor mencapai Rp 50 triliun dan angka itu terus meningkat signifikan.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, tecermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Betul tidak disebutkan bahwa pangan harus dipenuhi dari dalam negeri, tetapi menyandarkan kebutuhan pada impor amatlah riskan dan ada 42,5 juta petani dikorbankan.Maka, membangun ketahanan pangan seharusnya menjadi agenda terpenting pemerintah saat ini. Cara yang paling dasar adalah memperluas area atau meningkatkan produksi per satuan luas. Kelemahan perluasan area, terutama di luar Jawa, adalah masih belum optimalnya lahan-lahan yang baru dibuka dibandingkan dengan lahan tercetak di Jawa.Sebaliknya, peluang peningkatan produktivitas lebih terbuka. Membatasi bahasan pada tanaman padi, pilihannya adalah mengembangkan padi hibrida ataupun padi tipe baru, selain memperbaiki teknologi budidaya ataupun pasca-panennya.Adalah Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) yang telah menghasilkan 17 varietas dari 57 varietas padi hibrida yang kini beredar di Indonesia. Menurut Satoto, Ketua Kelompok Peneliti Pemuliaan, Plasma Nutfah, dan Perbenihan di BB Padi, padi hibrida bisa menjadi alternatif pilihan karena tingkat produksi sudah stagnan saat ini.”Padi hibrida mempunyai keunggulan morfologi, terutama komponen akhir. Jumlah gabah isi per malai sampai 400 butir, sementara ciherang sebagai padi tipe baru favorit saat ini sekitar 150 butir,” kata Satoto.Pemuliaan tanaman hibrida memanfaatkan fenomena genetika yang disebut vigor hibrida atau heterosis, yaitu kecenderungan individu hasil persilangan (F1, turunan pertama) yang akan lebih baik dibanding salah satu atau rata-rata kedua tetuanya.Perkembangan HibridaSaat ini negara paling maju dalam pengembangan hibrida adalah China, yang sudah mengaplikasikannya sejak tahun 1976. Prof Yuan Longping, Direktur Jenderal Pusat Penelitian dan Pengembangan Padi Hibrida Nasional China, dalam Konferensi Pangan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2004, mengatakan, padi hibrida sudah ditanam di 15 juta hektar sawah atau 50 persen dari total sawah di China.”Rata-rata produksi padi hibrida nasional 7 ton per hektar, lebih tinggi 1,4 ton per hektar dibanding produksi padi biasa,” katanya.Peningkatan produksi padi hibrida berperan besar dalam ketahanan pangan karena memberi makan 60 juta jiwa setiap tahun. Inilah yang menjadikan China sebagai negara dengan penduduk terbesar dunia yang sudah swasembada beras.Sayangnya, keberhasilan China—sekali lagi—justru menjadi jalan pintas para pengusaha untuk mengimpor benih serupa ke Indonesia. Mereka lupa, padi hibrida asal China lebih rentan saat ditanam di Indonesia karena tetuanya dari dataran tinggi dengan iklim yang berbeda pula. Akibatnya, petani lagi-lagi dirugikan.Sebaliknya, padi hibrida Indonesia dikembangkan dengan dengan tetua yang sesuai dengan kondisi lokal. Kelemahan dalam pengembangan padi hibrida adalah sebagian besar tetua yang baik tidak punya gen ketahanan terhadap ancaman wereng coklat, hawar daun bakteri, dan tungro.”Sebenarnya kami sudah menghasilkan Hipa 7 yang tahan tungro serta Hipa 8, 12, 13, 14 yang tahan hawar daun bakteri. Namun, kalau serangannya meluas, padi apa pun tidak akan ada yang tahan,” tuturnya.Kendala berikutnya adalah benih. Selain harganya masih mahal—sekitar Rp 15.000 dibandingkan dengan benih biasa yang hanya Rp 7.000—penggunaan benih bersertifikat juga menjadi syarat agar yang ditanam benar-benar masih F1. ”Orang suka salah kaprah bahwa setelah F2 tidak bisa ditanam lagi. Bisa, tetapi kami tidak menganjurkan karena kalau ditanam akan terjadi segregasi,” katanya.Meski demikian, sebenarnya sudah banyak petani yang sukses menanam padi hibrida. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur, sebutlah Blitar, Madiun, Malang, dan Tulungagung, ada peningkatan hasil padi hibrida. Demikian pula di Sukoharjo, Sragen, Klaten, dan Delanggu di Jawa Tengah. Yang terpenting memang bagaimana memilih varietas padi hibrida sesuai kondisi daerah masing-masing dan memberi perlakuan budidaya sesuai rekomendasi.Alangkah sayang jika hasil yang baik dari negeri sendiri tidak berkembang karena politisasi di sana-sini. Apa boleh buat, kuncinya kembali ke pemerintah agar tidak mengkhianati program swasembada dan berpihak kepada petani membangun kedaulatannya. ●