Author: Adul

  • Matinya Kewirausahaan Masyarakat

    Matinya Kewirausahaan Masyarakat
    Fadel Muhammad, MANTAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Maret 2012
    Kabar bahwa pemerintah akan mengimpor 500 ribu ton garam (sebenarnya 2,1 juta ton, yang terdiri dari garam konsumsi sebanyak 500 ribu ton dan garam industri 1,6 juta ton) sungguh mengagetkan. Ini langkah yang susah dipahami dengan akal sehat di tengah upaya serius Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan program Pugar (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat).
    Berdasarkan data terakhir, Indonesia memiliki 57.418 ha lahan garam potensial, sedangkan lahan garam yang ikut dalam program Pugar 22.597,40 ha. Sementara lahan garam yang dimiliki oleh PT Garam seluas 7.289 ha.
    Hasil riset termutakhir oleh seorang praktisi garam rakyat asal Indramayu, Sdr Ahmad Hasan sukses menemukan zat aditif dan koagul-an yang dapat mempercepat proses kristalisasi garam dan meningkatkan produktivitas serta kualitas garam. Produk garam ini telah berhasil diuji-cobakan dan diaplikasikan pada sentra-sentra garam seluruh Indonesia. Hasilnya, sungguh spektakuler, produktivitas lahan per hektar per musim panen bisa mencapai 120 ton, bahkan berpotensi hingga 200 ton per hektar. Hasil paling jeblok 80 ton.
    Jika pemerintah serius merevitalisasi garam nasional dan berhasil meningkatkan produktivitasnya menjadi 100 ton per hektar maka dari lahan garam yang berada dalam program Pugar akan dihasilkan 2.259.740 ton. Ini belum termasuk lahan PT Garam seluas 7.289 ha yang kualitas lahannya jauh lebih baik dan mendapat dukungan modal yang memadai. Sejalan dengan program industrialisasi perikanan yang dicanangkan KKP maka sebenarnya secara riil bisa dihasilkan garam sebanyak 2.988.640 ton bisa menutupi kebutuhan garam nasional.
    Impor garam adalah salah satu fenomena gunung es dari ekonomi rente yang tumbuh subur di negeri ini. Oknum pejabat pemerintah kita sudah teracuni oleh penyakit mental yang serba menggampangkan. Almarhum Profesor Kuntjaraningrat pada tahun 1974 telah mengingatkan dua kelemahan mentalitas masyarakat Indonesia, yaitu mentalitas meremehkan mutu dan mentalitas menerabas. Mentalitas ini rupanya telah berakar kuat, tidak hanya di masyarakat tetapi di kalangan birokrasi pemerintahan.
    Petani kita telah ditumpulkan kearifan lokalnya melalui Undang-undang Benih, sejumlah penangkar dan pembudidaya benih telah masuk penjara karena melakukan inovasi dan terobosan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, pada satu sisi, impor pangan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin besar. Termasuk pangan yang dapat kita buat sendiri.
    Menjelang pembukaan keran impor garam dampaknya sudah mulai dirasakan oleh petambak garam Madura. Harga garam di tingkat petambak merosot hingga 17 persen. Impor garam ini juga akan memberi imbas pada harga ketika panen raya. Mestinya pemerintah memperhatikan aspirasi para petambak garam dan melakukan triangulasi data garam nasional karena sampai sekarang belum ada angka yang disepakati dan dijadikan pegangan berapa jumlah produksi garam nasional. Angka dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kelautan saling berbeda. Kesimpangsiuran angka ini memberi ruang kepada pemburu rente dengan mengimpor garam.
    Padahal, kita sebenarnya mampu untuk berswasembada garam jika ada kemauan. Yang kita butuhkan adalah komitmen nasional. Kita memiliki lahan potensial sebesar 57.418 Ha dan lahan PT. Garam seluas 7.289 Ha. Jika direvitalisasi dan disertai kebijakan yang mendukung pengembangan produktivitas maka swasembada adalah sebuah keniscayaan. Perlu saya sampaikan bahwa petani Madura sekarang telah berhasil memproduksi garam industri dengan kadar NaCl tertinggi di dunia, yaitu 99,56 persen dan telah mulai mengekspor ke Jepang.
    Pengalaman saya di dunia bisnis dan pemerintahan sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan kewirausahaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah memperhatikan produksi masyarakat dengan memberikan dukungan kebijakan dan sarana produksi maka kegairahan masyarakat untuk berekonomi meningkat. Ini tampak pada beberapa pemerintah daerah yang berhasil memacu perkembangan ekonomi daerah yang berbasis ekonomi kerakyatan.
    Jika pemerintah sudah mengidap mentalitas menerabas atau mencari jalan paling gampang maka tidak lagi menghiraukan prestasi dan harga diri. Yang penting, tujuan diri sendiri atau kelompok tercapai maka ini akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat menjadi kehilangan harapan dan kepercayaan. Rakyat menjadi putus asa tidak tahu lagi kepada siapa mereka mengadukan nasibnya. Ini mungkin yang menjadikan masyarakat frustrasi karena ruang untuk mengembangkan kewirusahaannya tidak ada lagi.
    Akhirnya lita harus sadar dan mau mengobati penyakit sosial yang melemahkan bangsa yang sekarang banyak diidap oleh pejabat pemerintahan dan pejabat negara yaitu sifat tidak percaya kepada diri sendiri. Sifat tidak berdisiplin murni, mereka baru disiplin dan bekerja dengan benar jika diawasi langsung oleh atasan. Tetapi, jika atasan lengah atau atasan tidak punya karakter maka perilaku maunya enak sendiri akan merajalela. Dan, yang terakhir sifat tak bertanggung jawab. Belakangan ini sangat nyata kita saksikan di layar televisi dan di media massa.
    Rendahnya empati dan kepedulian terhadap kehidupan rakyat kecil, terutama dalam berekonomi telah menjadikan kewirausahaan masyarakat pelan-pelan mati dan akhirnya kita menuju menjadi bangsa kuli dan kuli di antara semua bangsa.
    Saya mengajak kepada semua pihak untuk mengingat kembali ajaran Bung Karno, “Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri”. Pernyataan tersebut kini masih terasa relevan. Kewirausahaan masyarakat adalah sebagai wahana untuk mengembangkan semangat berdikari. India dengan Swadeshi berhasil mandiri. Kita mempunyai segalanya, maka mewujudkan kemandirian nasional di bidang ekonomi adalah sebuah keniscayaan.
  • Mengoptimalkan Pendidikan Kewirausahaan

    Mengoptimalkan Pendidikan Kewirausahaan
    Herman, MAHASISWA FAI-UMJ, AKTIF DI BASIC SYARIAH ECONOMIC CAMPUS (BASECAMP)
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Maret 2012
    Membaca tulisan Aunur Rofiq yang berjudul, Wirausaha Entaskan Kemiskinan (Koran Jakarta, 12/1/2012) sangat menarik untuk dibahas. Dalam tulisannya Aunur Rofiq mengatakan bahwa kewirausahaan yang di dalamnya menuntut kreativitas dan inovasi, menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan. Apabila kegiatan kewirausahaan yang dirangsang melalui program-program tersebut berjalan efektif dan konsisten, maka akan memperluas kesempatan kerja di sektor formal maupun informal.
    Berdasarkan pemaparan di atas, pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) memiliki peranan yang sangat penting. Kewirausahaan memiliki peranan untuk menambah daya tampung tenaga kerja. Jiwa kewirausahaan akan mendorong seseorang memanfaatkan peluang yang ada menjadi sesuatu yang menguntungkan. Apalagi, jumlah pengangguran dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2011 saja, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,12 juta orang. Hal ini disebabkan sedikitnya lapangan pekerjaan, sedangkan jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi terus bertambah. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan dan orang yang akan bekerja.
    Sedangkan proporsi wirausaha Indonesia diperkirakan baru sekitar 0,24 persen dari populasi, padahal untuk membangun ekonomi bangsa yang maju, menurut sosiolog David Mc Cleiland, dibutuhkan minimal dua persen atau 4,8 juta wirausaha dari populasi penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura memiliki wirausaha 7,2 persen, Malaysia 2,1 persen, Thailand 4,1 persen, Korea Selatan 4,0 persen, dan Amerika Serikat (AS) 11,5 persen dari total penduduknya.
    Menurut data Direktorat Jendral Pemuda dan Pendidikan Luar Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 75.3 juta pemuda Indonesia, 6,6 persen lulus sarjana. Dari jumlah tersebut, 82 persen di antaranya bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta, sementara hanya 18 persen yang berusaha sendiri atau menjadi wirausahawan. Padahal, semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang menjadi wirausahawan akan dapat mempercepat pemulihan ekonomi.
    Sangat Mendesak
    Purdi E Chandra (2004) dalam bukunya, Menjadi Entrepreneur Sukses, mengatakan bahwa di era otonomi daerah saat ini, pendidikan kewirausahaan sangat dibutuhkan. Karena, dengan pendidikan tersebut sebenarnya akan banyak menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Tak hanya penting, tetapi sangat mendesak. Maka sebaiknya, iklim untuk menekuni dunia usaha harus diciptakan.
    Melihat peningkatan tenaga kerja yang tidak diiringi dengan peningkatan lapangan kerja membuat pemerintah berusaha mengatasinya dengan membuat berbagai program yang berhubungan dengan peningkatan kewirausahaan. Melalui program peningkatan kewirausahaan, pemerintah berharap kesadaran mahasiswa mengenai kewirausahaan akan muncul sehingga mahasiswa memiliki motivasi untuk membuka usaha sendiri sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.
    Pendidikan kewirausahaan yang didapatkan mahasiswa di bangku kuliah berperan penting sebagai bekal pengetahuan yang dibutuhkan dalam mengelola usaha terutama ketika menghadapi suatu permasalahan. Perguruan tinggi sebagai wadah berlangsungnya pendidikan formal akan mendorong individu menjadi seorang wirausahawan.
    Mengingat jumlah pengangguran yang masih tinggi, perguruan tinggi harus mampu berperan aktif guna menyiapkan sumber daya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional maupun internasional. Untuk mewujudkan itu semua maka diperlukan pendidikan berbasis kewirausahaan, yaitu pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) melalui kurikulum yang terintegrasi.
    Pendidikan yang demikian mempunyai orientasi pada pembentukan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) peserta didik. Yaitu, jiwa keberanian dan kemauan menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, berjiwa mandiri, tangguh dan berdaya saing, berjiwa kreatif serta inovatif untuk mencari solusi dalam mengatasi berbagai permasaahan yang dihadapinya.
    Jiwa wirausaha yang diperoleh mahasiswa diharapkan lebih berhasil karena pendidikan dan teknik manajemen modern yang mereka pelajari, sehingga individu lebih sadar akan realitas dunia usaha. Perpaduan antara pengetahuan dan teknologi nantinya akan meningkatkan terciptanya pengusaha-pengusaha muda yang juga mampu menciptakan lapangan kerja.
    Pengembangan budaya kewirausahaan di perguruan tinggi dilaksanakan untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan para mahasiswa. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi akan memberikan nilai tambah (added value) bagi kemandirian perekonomian daerah maupun nasional. Demikian pula para lulusan perguruan tinggi tidak hanya berorientasi dan mampu menjadi pekerja saja, tetapi juga berorientasi dan mampu bekerja mandiri, menciptakan usaha baru dan industri sendiri.
    Jadi, pendidikan kewirausahaan harus dimiliki oleh mahasiswa karena mahasiswa sebagai pemimpin masa depan diharapkan mampu menjadi tulang punggung bangsa. Sehingga, dengan penguasaan ilmu dan teknologi yang dimilikinya mampu menciptakan lapangan kerja, bukan malah menambah jumlah pengangguran. Karenanya, sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa dituntut untuk berpikir secara kreatif dan inovatif, khususnya dalam melihat peluang usaha yang ada di masyarakat. Mahasiswa berjiwa wirausaha berani mencoba untuk memulai usaha.
  • Jurnal Ilmiah Vs Dosen Ideal

    Jurnal Ilmiah Vs Dosen Ideal
    Bramastia, MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL ILMU PENDIDIKAN
    UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 29 Februari 2012
    Kebijakan Dirjen Dikti melalui surat kepu tusan Kemendikbud No 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 me ngenai publikasi karya ilmiah membuat tantangan mahasiswa untuk lulus dari universitas semakin besar. Surat yang ditujukan kepada seluruh rektor PTN/PTS di Indonesia ini mensyaratkan ketentuan tambahan untuk lulus wisuda bagi mahasiswa, baik level sarjana atau pascasarjana, yang harus menghasilkan makalah yang diterbitkan menjadi jurnal ilmiah.
    Surat keputusan Dirjen Dikti ini memuat berbagai persyaratan, antara lain, untuk lulus progam S1 harus menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal ilmiah, untuk lulus progam S2 harus menerbitkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti, dan untuk lulus progam S3 diwajibkan membuat makalah yang diterima pada penerbitan jurnal ilmiah internasional. Ironisnya, mahasiswa merasa terbebani dengan kebijakan tersebut. Akibatnya, kebijakan penerbitan jurnal ilmiah menjadi tanggung jawab mahasiswa. Lalu, bagaimana tanggung jawab dosen? Siapkah para dosen kita?
     
    Tragedi dosen Terkadang, penulis sedih mendengar ledekan istilah `dosen’ yang diplesetkan menjadi bukune sak kerdus, duite sak sen (bukunya satu kardus, uangnya satu sen). Mengapa demikian? Karena konon, gaji mengajar seorang seorang dosen di perguruan tinggi (PT) masih dirasakan sangat kecil dan tidak sebanding dengan apa yang diperas dari otak untuk mengajar mahasiswa.
    Akibatnya, sosok dosen lantas hanya sebatas melaksanakan kewajiban di kegiatan belajar mengajar di kampus saja, dan selebihnya keluar mencari sampingan bisnis. Data Badan Akreditasi Na sional (BAN) menyebutkan, hanya 15 persen dari 220 ribu orang pengajar yang layak untuk menyandang status sebagai dosen.
    Idealnya, dosen dituntut untuk mau melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan beban kerja paling sedikit 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam belas) SKS pada setiap semesternya. Untuk beban kerja pendidikan dan penelitian, paling sedikit sembilang SKS yang dilaksanakan di PT yang bersangkutan. Dan, beban kerja pengabdian kepada masyarakat dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengabdian ke masyarakat yang diselenggarakan PT yang bersangkutan pula atau melalui lembaga lain.
    Rendahnya kelayakan status bagi seorang dosen perlu menjadi keprihatinan PT di Indonesia. Karena idealnya, seorang dosen harus mengacu kepada Ekuivalensi Waktu Mengajar Penuh (EWMP) yang setara dengan 38 jam setiap minggu. Jika dirinci, kinerja 12 SKS tiap semester harus tersebar ke beberapa aktivitas, yaitu aspek pendidikan dua sampai delapan SKS, penelitian dan pengembangan ilmu 2-6 SKS, pengabdian pada masyarakat satu sampai enam SKS, pembinaan sivitas akademika satu sampai empat SKS, serta administrasi dan manajemen nol sampai tiga SKS sebagaimana termuat dalam Keputusan Dirjen Dikti No 48/DJ/Kep/1983 Pasal 3 ayat 1.
     
    Dosen kompeten Dosen sebagai figur seorang pendidik di PT, dituntut punya banyak pengalaman guna mengembangkan kompetensi pendidikan. Minimal, sebanyak lima `ayat’ konsep pengembangan kompetensi pendidikan ideal bagi seorang dosen. Pertama, dosen harus selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara pribadi, baik diminta maupun tidak. Hampir semua PT saat ini memo tivasi serta memacu dosen mau mengupgrade diri agar meningkatkan kemampuan personal.
    Kedua, dosen harus senantiasa meningkatkan kualitas proses belajarmengajarnya kepada mahasiswa. Untuk meningkatkan kualitas proses belajarmengajar, dosen perlu didorong mengikuti dan berpartisipasi dalam kegiatan seminar, baik skala regional, nasional, dan internasional.
    Ketiga, dosen harus mencapai gelar akademik yang tertinggi. Kebijakan tentang akreditasi telah membuat PT mengharuskan dosen untuk segera menempuh studi lanjut hingga strata tiga.
    Tentunya, diharapkan mahasiswa strata satu diajar oleh dosen dengan jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga, serta mahasiswa strata dua diajar dosen dengan jenjang pendidikan strata tiga atau guru besar.
    Keempat, dosen harus terus dipacu agar produktif dalam melakukan penelitian. Berdasarkan data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya 0,012 persen dan jauh di bawah Singapura dengan 0,179 persen serta Amerika yang dapat mencapai 25 persen. Bahkan, jumlah jurnal yang dipublikasikan Indonesia pada 2004 hanya 371, padahal, Malaysia 700 jurnal, Thailand (2.125), dan Singapura (3.086).
    Kelima, memacu dosen untuk melakukan pengabdian masyarakat. Seorang dosen harus mampu dan berani terjun memberikan pencerahan kepada masyarakat. Nilai pengabdian kepada masyarakat menjadi aplikasi teoretis yang sebelumnya diperoleh dalam bangku kampus. Hal ini penting untuk mengukur kompetensi nilai di lapangannya dari seorang dosen. Adanya kebijakan tentang publikasi karya ilmiah tidak hanya menjadi beban mahasiswa, tetapi juga menjadi tanggung jawab dosen. ●
  • Opsi Menaikkan Harga BBM

    Opsi Menaikkan Harga BBM
    Ahan Syahrul Arifin, MAHASISWA PASCASARJANA FE UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : REPUBLIKA, 29 Februari 2012
    Kepastian kenaikan BBM disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat sidang kabinet pada 22 Februari 2012. Rencana ini tentu membatalkan rencana pemerintah sebelumnya, yaitu pembatasan BBM subsidi yang diberlakukan di Jawa dan Bali mulai 1 April 2012. Lalu, dilanjutkan pada 2013 dan 2014 yang diperluas ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
    Tak dapat dipungkiri, langkah ini merupakan pilihan terbaik melihat kenaikan harga minyak dunia yang sudah mencapai 105,26 dolar AS per barel dan diperkirakan sedang menuju 150 dolar AS per barel. Hal ini diakibatkan penghentian penjualan minyak Iran. Kebijakan menaikkan harga lebih tepat walaupun cenderung menunjukkan kalau pemerintah plin-plan dalam menerapkan kebijakan BBM, mengingat Indonesia sudah menjadi negeri pengimpor minyak dan beratnya beban APBN.
    Pastinya, konsekuensi dari kenaikan BBM akan berimbas pada kenaikan harga barang, dilanjutkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, tumbuhnya pengangguran, dan meningkatnya kembali kemiskinan. Saat ini, memang angka kemiskinan terlihat semakin menurun, dari 30,02 juta orang atau 12,49 persen pada Maret 2011 menjadi 29,89 juta orang atau 12,36 persen pada September 2011(BPS,2012).
    Namun, pemerintah juga tidak bisa melupakan bahwa penduduk yang masuk golongan rentan miskin atau di atas sedikit garis kemiskinan kurang lebih hampir sama dengan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sesungguhnya sangat rentan kembali miskin bila terjadi gejolak ekonomi.
    Nah, efek dari kenaikan BBM inilah yang mestinya penting diperhatikan pemerintah, tidak sekadar dengan menelurkan kebijakan instan seperti BLT.
    Pemerintah sangat perlu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat hingga insentif buat sopir.
    Transportasi dan Subsidi
    Kembali pada soal subsidi BBM, sebetulnya yang urgent dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah membenahi sektor transportasi. Mengapa? Kita selama ini mendapat informasi bahwa besarnya tanggungan APBN terhadap subsidi BBM yang terus membengkak membebani biaya pembangunan.
    Data dari sumber APBN menyebutkan, pembatasan setelah tahun anggaran 2011 menunjukkan, volume BBM bersubsidi mengalami pembengkakan anggaran sebesar Rp 30,3 triliun pada 2011. Di mana realisasinya mencapai 41,69 juta kiloliter. Dengan demikian, realisasi konsumsi bahan bakar bersubsidi mencapai 103 persen dari kuota dalam APBN Perubahan 2011 yang ditetapkan pada level 40,36 juta kiloliter. Maka, pada APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,6 triliun dengan kuota 40 juta kiloliter.
    Pertanyaannya, mengapa beban subsidi terus membengkak? Adakah yang salah dalam skemanya ataukah sistem transportasi publik kita? Inilah yang sebenarnya lebih penting diselesaikan terlebih dahulu.
    Pada tahun lalu, fakta penjualan motor tercatat hingga mencapai sekitar delapan juta unit, meningkat pesat dari dari 2010 yang hanya 7,3 juta unit. Bahkan, pada tahun ini, diprediksi penjualan motor akan genap mencapai 8,4 juta unit.
    Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transportasi berbasis angkutan massal yang memadai. Padahal, selama ini, sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap oleh penggunan motor.
    Inilah sebenarnya yang menjadi masalah, yakni soal amburadulnya sistem transpotasi kita. Karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membenahi tata kelola transportasi publik. Perlu pengaturan yang jelas terhadap jumlah kendaraan bermotor dan mobil sambil membenahi layanan angkutan massal. Tanpa mengubah tata kelola transportasi, kita akan selalu kesulitan untuk mengatasi melonjaknya penggunaan BBM. 
    Berapa pun anggaran subsidi yang dianggarkan, bakal terus membebani belanja negara.
    Berpindah ke Gas
    Skema jangka panjang pemerintah rasanya perlu mencari solusi bagi ketahanan energi terutama dalam soal perminyakan. Sebagaimana diketahui, produksi minyak Indonesia semakin menurun bahkan kita sudah menjadi impotir minyak. Pada 1998, produksi minyak masih sekitar 1,5 juta barel per hari. Pada 2011, menurut catatan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), produksi minyak nasinonal hanya sebesar 903.441 barel per hari. Angka tersebut berada di bawah angka produksi pada 2010 sebesar 944.898 barel per hari. Jauh semakin menurun dari target produksi 945 ribu barel per hari.
    Diprediksi, angkanya akan terus menurun. Sejatinya pemerintah mesti tanggap dan segera merespons persoalan ini. Menggantungkan diri terus pada minyak sebagai bahan bakar terasa akan sangat berat apalagi melihat harga minyak dunia yang sering tidak terkendali. Pembatasan maupun pengalihan sebetulnya merupakan paradigma yang salah kaprah karena kita akan mengandalkan ketahanan energi dari impor.
    Karena itulah, sudah saatnya pemerintah serius memanfaatkan gas untuk bahan bakar kendaraan. Mengapa mesti gas? Pertama, tentu untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor minyak. Apalagi, harga komoditas minyak selalu tergantung pada faktor geopolitik. Dalam sejarahnya, harga komoditas minyak bisa melonjak hingga 400 persen. Kondisi seperti itu terjadi kala perseteruan Israel dengan negara-negara Arab meletus pada 1973/1974. Saat itu, harga minyak melambung dari tiga dolar AS per barel menjadi 12 dolar AS per barel. Selanjutnya, pada saat Revolusi Iran pada 1979, harga minyak dunia melonjak sekitar 300 persen dari sekitar 12 dolar AS ke 35 dolar AS per barel.
    Faktor geopolitik yang sangat berpengaruh terhadap harga minyak tentu akan sangat memberatkan industri-industri di Tanah Air. Sebab, diduga harga minyak bisa kembali melonjak tak terhingga jika konflik Iran dan AS buntu.
    Kedua, peralihan ke bahan bakar gas (BBG) menjadi sangat niscaya disebabkan cadangan gas Indonesia yang masih dapat dipergunakan untuk jangka waktu 90 tahun mendatang. Penggunaan BBG diyakini selain lebih murah dan hemat juga ramah lingkungan. Efisien dalam harga dan higienis dalam penggunaan, begitu kira-kira ujaran yang tepat untuk BBG. Pemerintah kiranya perlu untuk berpikir lebih cepat dalam menyusun dan merumuskan termasuk penyiapan SPBG hingga converter kit. ●
  • Memangkas Inferioritas Migas

    Memangkas Inferioritas Migas
    Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
    Sumber : KORAN TEMPO, 29 Februari 2012
    Di sektor energi, tahun “layak investasi” 2012 sebaiknya dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk meningkatkan ketahanan minyak dan gas bumi nasional dari hulu hingga ke hilir. Inilah waktu yang tepat untuk memangkas “ketidakberdayaan” atau “inferioritas” negara atas sumber daya migas agar lebih superior, sekaligus memperbaiki iklim usaha untuk kenyamanan dan keuntungan para investor yang berniat menanamkan modalnya di bumi Indonesia, khususnya di tataran migas. Kita sambut rencana Amerika Serikat untuk segera menambah investasi migas US$ 25 miliar, setelah Fitch dan Moody menaikkan ratinginvestasi Indonesia (11 Februari).
    Sektor Hulu
    Di sisi hulu, selain keharusan menggalakkan kegiatan kebumian melalui eksplorasi dan eksploitasi, untuk mulai memangkas inferioritas, pemerintah dapat memulai dari penyempurnaan kontrak production sharing (PSC) yang baru. Bila dipandang perlu, dapat dipertimbangkan pemberian insentif sebagai bentuk kompensasi penyempurnaan PSC.
    Seperti dimaklumi, sejak menjadi negara net pengimpor minyak pada 2004, Indonesia membutuhkan penguasaan volume migas yang lebih berdaulat di dalam negeri. Penguasaan volume migas yang selama ini diserahkan ke tangan kontraktor perlu dipertimbangkan kembali tanpa merugikan kontraktor.
    Tahun 2012 adalah saat yang tepat untuk mengadakan penyempurnaan kontrak guna menjawab kebutuhan bangsa, terutama setelah Indonesia menjadi negara net pengimpor minyak dan bersiap menghadapi perubahan sosial-ekonomi yang radikal di masa depan.
    Ramalan para ahli, pendapatan per kapita Indonesia bisa menembus US$ 10 ribu pada 2016-2017, naik dibanding saat ini yang sudah mencapai US$ 3,542. Pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh kondisi lainnya, seperti peningkatan jumlah penduduk dan belum berkembangnya energi “baru dan terbarukan”, akan menggiring kebutuhan impor minyak mentah serta bahan bahan bakar minyak yang lebih dahsyat. Para analis meramalkan Indonesia berpotensi menjadi negara “pengimpor terbesar keempat” di Asia, setelah Cina, India, dan Jepang (Zuhdi Pane). Masalah geopolitik, seperti krisis Selat Hormuz, menjadi sinyal buruk bagi ketahanan energi Indonesia di masa depan.
    Salah satu ketentuan kontrak yang perlu disempurnakan adalah terkait dengan pemberian kewenangan kepada kontraktor untuk memasarkan minyak bagian pemerintah. Selama ini kontraktor diberi hak dan kebebasan mengekspor seluruh volume minyak bumi bagian kontraktor serta pemerintah. Apabila pemerintah memilih mengambil bagiannya dalam bentuk minyak (natura), pemerintah harus “melapor” kepada kontraktor secara tertulis paling lambat 90 hari sebelum awal semester dengan menyebutkan jumlah yang diminta (Bab VI.2, PSC). Kondisi ini membuat kontraktor menjadi superior, sebaliknya Indonesia menjadi inferior.
    Pada waktu Indonesia masih menjadi negara net pengekspor minyak, ketentuan tersebut tidak menjadi masalah, bahkan menguntungkan pemerintah. Namun, setelah lifting cenderung menurun dan Indonesia membutuhkan volume minyak dan BBM di dalam negeri yang semakin banyak, ketentuan tersebut berbalik memberatkan, bahkan cenderung merugikan Indonesia, terutama terkait dengan semakin besarnya volume impor dari luar negeri. Pada 2011, Indonesia mengimpor minyak mentah 400 ribu barel per hari dan produk BBM 400 ribu barel per hari. Posisi ini menjadikan Indonesia sangat inferior terhadap kontraktor migas.
    Untuk kontrak-kontrak baru, disarankan ketentuan ini dibalik, bukan kontraktor, tapi Indonesia (dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang mempunyai kewenangan serta hak memasarkan seluruh volume hasil produksi minyak bumi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan BP Migas akan membayar seluruh kewajiban pemerintah, yaitu hak bagi hasil kontraktor serta pengembalian biaya operasi dalam bentuk uang (cash, bukan volume) tanpa sedikit pun merugikan kontraktor dengan basis harga pasar atau Indonesian Crude Price yang disepakati bersama. Bila ketentuan ini dipandang kurang menarik bagi kontraktor, hasil produksi bagian kontraktor (split) boleh diambil dalam bentuk natura (minyak) dan boleh diekspor.
    Ketentuan kontrak kedua yang perlu disempurnakan menyangkut pembayaran biaya operasi atau lazim disebut cost recovery, yakni kontraktor akan memperoleh penggantian biaya operasi (cost recovery) dalam bentuk volume migas yang diproduksi dari lapangan terkait (Bab VI.1, PSC). Ketentuan ini pada waktu Indonesia masih menjadi net pengekspor tidak menjadi masalah, bahkan kontraktor turut membantu memasarkan minyak bagian pemerintah. Namun, setelah Indonesia menjadi negara net pengimpor, ketentuan ini menjerat Indonesia menjadi kurang berdaulat terhadap volume minyak domestik. Konsekuensinya adalah ketergantungan impor yang semakin besar, sedangkan separuh volume lifting diekspor oleh kontraktor, dan bila Indonesia berniat membeli kembali volume domestik tersebut, kontraktor akan melepas dengan harga tinggi (premium). Ketentuan ini memberi kesempatan kepada kontraktor memburu rente dari pengembalian biaya operasi.
    Biaya operasi migas di Indonesia US$ 12-13 miliar setahun. Volume minyak bumi yang diserahkan ke tangan kontraktor sebagai pengganti biaya operasi sekitar sepertiga dari lifting minyak atau sekitar 300 ribu barel per hari. Apabila volume sebanyak itu dapat ditahan di dalam negeri untuk bahan baku kilang domestik, inferioritas migas berkurang karena adanya jaminan tambahan volume yang akan meningkatkan ketahanan energi dan berkurangnya ketergantungan impor.
    Sektor Hilir
    Bersyukur Indonesia belum pernah mengalami krisis energi berskala nasional. Katastropi sekelas tsunami Aceh tidak menyebabkan kelumpuhan nasional akibat krisis energi, terutama BBM. Bencana alam berkali-kali terjadi, tapi Indonesia mampu bertahan karena keran impor masih terbuka lebar. Namun, di masa mendatang, Indonesia tidak boleh terlena. Volume impor cenderung semakin besar dan pergolakan geopolitik bergeser menjadi ancaman negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Dunia tidak pernah sepi dari pergolakan geopolitik yang berpotensi mengancam kelancaran impor minyak, terutama dari wilayah Timur Tengah, contohnya krisis Selat Hormuz.
    Di sisi hilir, inferioritas migas yang utama adalah Indonesia belum memiliki “cadangan strategis nasional” yang terstruktur. Selama ini pemerintah menugasi Pertamina mengelola stok atau cadangan darurat yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun cadangan darurat itu sifatnya hanya berupa inventori dan hanya mampu mengatasi situasi darurat selama 22 hari konsumsi. Upaya menambah volume cadangan strategis membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk membangun infrastruktur, seperti tangki-tangki penimbunan, jaringan pipa, serta pembelian volume minyak mentah dan BBM.
    Disarankan agar pemerintah, dalam hal ini BP Migas, segera membangun cadangan strategis nasional yang lebih terstruktur dan terukur. Pertamina boleh saja ditunjuk sebagai pelaksana di lapangan, tapi strategi, pengendalian, pengawasan, dan anggaran harus ditangani pemerintah. Pada tahap awal, cadangan strategis sebaiknya ditingkatkan dari 22 hari menjadi 30 hari, kemudian secara bertahap ditingkatkan paling sedikit cukup untuk menanggulangi krisis selama 60 hari. Sebagai perbandingan, Jepang menguasai cadangan strategis cukup untuk 120 hari impor.
    Sumber inferioritas hilir lainnya adalah belum terpenuhinya penambahan kilang domestik yang sangat dibutuhkan. Diharapkan, hingga akhir 2015 Indonesia memiliki tambahan tiga kilang baru dengan total kapasitas 600-900 ribu barel BBM per hari. Namun, sejak 1998, belum ada investor yang bersedia membangun kilang karena margin kilang dianggap terlalu kecil. Para investor cenderung menuntut insentif kepada pemerintah, terutama bila investor tersebut diwajibkan juga mendatangkan minyak mentah sebagai bahan baku kilang karena produksi minyak mentah domestik tidak mencukupi.
    Pada tahun “layak investasi” 2012, diharapkan Indonesia dapat menawarkan insentif fiskal dan kompensasi yang menarik, baik di sektor hulu maupun sektor hilir, serta kemudahan nonteknis yang bersifat “lintas sektor” kepada calon investor, seperti masalah perpajakan, lahan, birokrasi, perizinan, dan otonomi daerah. Ketahanan migas ibarat mata uang dengan dua sisi, sisi hulu dan sisi hilir. Keduanya harus superior untuk menunjang ketahanan energi nasional. ●
  • Sulitkah Membudayakan Hemat Energi?

    Sulitkah Membudayakan Hemat Energi?
    Erkata Yandri, PERISET PADA SOLAR ENERGY RESEARCH GROUP,
    KANAGAWA INSTITUTE OF TECHNOLOGY, JEPANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 29 Februari 2012
    Tidak bisa dimungkiri, masalah energi adalah hot topic bagi pemerintah. Kebijakan subsidi energi yang dianut saat ini sudah sangat membebani keuangan negara. Tahun lalu subsidi energi sudah menembus angka fantastis Rp 250 triliun, dengan Rp 160 triliun khusus untuk bahan bakar minyak saja. Menyadari bahwa skenario menaikkan tarif dasar listrik dan harga BBM sangat sensitif, maka Susilo Bambang Yudhoyono pun melirik opsi lain dengan mengajak rakyatnya menghemat energi.
    Hal itu diungkapkannya pada peresmian tiga proyek pembangkit listrik tenaga uap di pengujung 2011. Mungkin ajakan SBY itu ada hubungannya dengan sosialisasi Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang penghematan energi, yang tujuan sebenarnya diarahkan untuk lingkup internal instansi pemerintah. Prosedur dan mekanismenya disusun oleh stafnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia. Jika sukses, nantinya akan diajarkan kepada masyarakat luas. Sebelumnya sudah pernah ada juga inpres serupa, yaitu Nomor 10 Tahun 2005 dan Nomor 2 Tahun 2008.
    Belum lama ini, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menginformasikan bahwa tahun lalu tercapai penghematan listrik dan air 7-10 persen, setara dengan Rp 12-14 triliun. Walaupun pencapaian itu mungkin disebabkan oleh efek kejut tanpa adanya jaminan kesinambungan, layaklah diapresiasi. Inpres hanyalah sekadar tugas atau beban. Namun fakta dikeluarkannya tiga inpres penghematan energi per tiga tahunan mengindikasikan belum terciptanya budaya penghematan energi. Mengapa?
    Miskin Contoh
    Paling tidak ada dua penyebab mengapa belum tercipta budaya penghematan energi. Pertama, miskin contoh dari sang pemimpin bagaimana sebenarnya bentuk kepedulian dalam penghematan energi. Bukanlah bermaksud mengarah ke pribadi SBY, tapi lihatlah rutinitas yang dilakukan Presiden setiap hari pergi-pulang kerja dan pemborosan energi yang terjadi. Mari berhitung! Menurut informasi, ada 10 mobil patroli dan pengawalan yang menempuh jarak sekitar 120 kilometer dengan rute Cikeas-Istana-Cikeas. Anggap saja seliter BBM untuk 10 km, maka sehari menghabiskan 120 liter, atau sebulan (20 hari kerja) 2.400 liter BBM. Belum lagi BBM yang terbakar hanya karena orang lain harus berhenti menunggu rombongan lewat. Tidakkah terpikir rutinitas harian ini suatu pemborosan energi?
    Berikutnya, hajatan pesta pernikahan anak SBY dan besannya di Istana Cipanas beberapa bulan lalu. Ayo, dihitung lagi! Diperkirakan 10 ribu tamu hadir waktu itu. Anggaplah ada dua orang per kendaraan, maka mobil yang dipakai sekitar 5.000 unit. Jika jarak tempuh setiap mobil rata-rata 90 km dengan Monas sebagai titik pusat, sudah terbakar 90 ribu liter BBM. Belum termasuk kendaraan lain yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan tersebut, tapi harus memutar karena akses normalnya ditutup untuk alasan keamanan dan kenyamanan pesta, dan juga BBM yang dibakar oleh TNI dan Kepolisian RI dalam menggelar pasukannya. Tidakkah terpikir bahwa ini adalah suatu pesta yang boros energi?
    Kedua, miskin fokus bagaimana mengefisienkan energi nasional. Fakta membuktikan buruknya perilaku ketidakpedulian energi disebabkan oleh buruknya kontrol, sedangkan buruknya kontrol disebabkan pula oleh buruknya sistem. Jadi, tanpa sistem, jangan berharap birokrat, korporat, dan rakyat bisa diajak serius melakukan penghematan energi. Semua terefleksi sampai ke bawah.
    Fenomena angkutan umum di berbagai kota sekarang ini cenderung sepi penumpang, karena banyak yang beralih ke sepeda motor. Angkutan kota yang terlalu banyak menyebabkan terjadinya penumpukan di terminal atau kendaraan ngetem di perempatan jalan. Inilah penyebab kemacetan dan energi terbakar secara percuma. Apakah kepedulian energi pada transportasi sudah menjadi fokus dan prioritas pemerintah daerah?
    Efek keberadaan mal, yang dipercaya sebagai salah satu penggerak perekonomian sehingga perizinannya dipermudah walaupun persaingannya ketat, juga perlu dipikirkan secara jernih. Mal sudah membuat sesuatu menjadi tidak efisien. Mal sudah menjadi gaya hidup yang merangsang orang datang untuk sesuatu yang mungkin tidak begitu penting. Mal menyebabkan penumpukan kendaraan di sekitarnya, yang memicu terjadinya kemacetan. Apakah pemda dan pebisnis sudah mempertimbangkan aspek efisiensi energi keberadaan mal secara keseluruhan?
    Begitu juga dengan desain perumahan yang tidak disesuaikan dengan lingkungan tropis. Rumah-rumah di Indonesia lebih mengutamakan kegagahan, bukan fungsinya. Akibatnya, penyejuk udara yang menyedot begitu banyak listrik menjadi andalan, belum lagi kebutuhan alat-alat rumah tangga lainnya yang serba listrik. Tidak salah jika PLN mengkritik pemberian subsidi listrik untuk rumah mewah. Apakah kepedulian energi sudah menjadi fokus dan prioritas pemilik rumah serta arsiteknya?
    Pemimpin tidak cukup bermodalkan keputusan atau ajakan semata dalam membudayakan penghematan energi. Tapi diperlukan contoh yang nyata, spontan, serius, dan antusias dalam mengkampanyekannya. Kalau tidak ada contoh dan tindak lanjut yang terkonsep jelas, jangan berharap penghematan energi akan tercapai, apalagi sampai menjadi suatu budaya sampai ke daerah.
    Berbuatlah!
    Masalah penghematan energi bukanlah kegiatan yang asal jadi semata, melainkan harus menjadi sesuatu yang ada hasilnya. Bukan penghematan saja, tapi harus ada perubahan perilaku yang membudayakan penghematan energi. Untuk mencapai arah itu, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan.
    Pertama, Presiden dan segenap pejabat publik lainnya harus memberikan contoh perilaku penghematan energi. Mencontohi merupakan salah satu bentuk sosialisasi yang cukup efektif. Pada setiap kesempatan dan waktu, harus ditunjukkan contoh secara konsisten. Tujuannya agar rakyat percaya bahwa penghematan energi adalah masalah serius, sehingga Presiden berusaha menjadikannya budaya dari pribadinya sendiri. Salah satu buktinya, segeralah SBY pindah ke Istana Negara. Paling tidak, di depan mata sudah menunggu penghematan nyata 2.400 liter BBM sebulan.
    Kedua, pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong efisiensi di segenap aktivitas kehidupan dan perekonomian. Penghematan energi tidak cukup hanya berbekal inpres, tapi haruslah terkonsep dan tersistem melalui program pelatihan, sinkronisasi goal semua lini baik pusat maupun daerah, audit, dan evaluasi dengan tim yang solid. Segala indikator penghematan energi harus jelas dan disampaikan kepada publik secara berkala. Intinya, harus ada rasa memiliki (ownership).
    Ketiga, pemerintah harus berani mengambil langkah revolusioner untuk mendapatkan hasil instan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, dengan cara mengubah pola (method change) ataupun tata letak (re-layout) suatu permasalahan. Cobalah berfokus pada simpul-simpul kemacetan, jam operasional pusat komersial, yang bisa dibereskan dengan kedua cara itu. Inilah yang harus segera dikaji dengan teliti. Lebih baik mengorbankan kenyamanan beberapa waktu demi penghematan daripada membiarkan pemborosan terus terjadi di depan mata karena tidak berani berbuat.
    Jika pemerintah masih juga punya hobi mengeluarkan inpres, arahkanlah ke sektor transportasi, perumahan, dan industri agar memakai serta menghasilkan produk dengan energi yang efisien. Sudah saatnya mal dan rumah mewah menanggung sebagian kebutuhan energinya dari energi terbarukan. Ini tidak hanya mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan energi, tapi juga akan merangsang tumbuhnya industrialisasi energi terbarukan yang membuka lapangan kerja untuk negara ini, dan bukan negara lain!
    Terlepas bersubsidi atau tidak, langkah penghematan energi adalah suatu keharusan. Jika memang ingin mendidik bangsa ini lebih peduli terhadap energi, lakukanlah program penghematan dengan konsep dan sistem yang jelas. Cukuplah sudah dengan tiga inpres itu, lalu “didiklah” masyarakat. Tapi janganlah “setengah-setengah” atau “asal ada” saja. Tidak ada yang sulit jika kita mau membuktikan! ●
  • Partai Vs Media, Siapa Menang?

    Partai Vs Media, Siapa Menang?
    Tjipta Lesmana, GURU BESAR KOMUNIKASI POLITIK, UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH),
    PEMEGANG PRESS CARD NUMBER ONE DARI PWI PUSAT
    Sumber : SINAR HARAPAN, 29 Februari 2012
    Sejumlah fungsionaris Partai Demokrat merasa “gerah” dan jengkel dengan pemberitaan media massa yang dinilai sangat memojokkan dan merugikan partai.
    Satu bulan terakhir berita seputar kasus Nazaruddin memang mendapat liputan yang semakin gencar, karena dikaitkannya beberapa nama pembesar Partai Demokrat. Nazaruddin, Mindo Rosalina Manullang, Yulianis dan beberapa saksi lain menyebut-nyebut nama Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat.
    Eksposur terhadap ”fenomena Angelina Sondakh”, eks Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang juga anggota Badan Anggaran DPR, betul-betul menohok.
    Yang dimaksud “fenomena Angie” adalah: (a) kesaksiannya pada persidangan Nazaruddin 10 hari lalu, (b) pemindahan Angie di DPR yang terkesan panik dari Komisi X ke Komisi III, kemudian ke Komisi VIII, tapi akhirnya kembali ke habitatnya semula, Komisi X.
    Kesal dengan pemberitaan yang dinilai bias dan bernuansa ”mengadu domba” antara sesama kader partai, Kepala Bidang Hukum dan HAM Partai Demokrat, Jimmy Setiawan, menyerukan rekan-rekannya untuk memboikot media massa. Maksudnya? Jangan mau melayani permintaan wawancara media!
    Jimmy Setiawan, pasti, tidak mengerti komunikasi.
    Jangan salahkan media kalau pemberitaan media terkesan bias dan merugikan. Informasi-informasi yang dipublikasikan/ditayangkan media, sesungguhnya, berasal dari sumber-sumber terbuka, seperti persidangan terhadap Nazaruddin, pengamat, dan orang-orang Demokrat sendiri. Media hanya mencoba memotret apa yang terjadi. Kalau kejadiannya menghebohkan, tentu saja pemberitaannya pun menghebohkan.
    Kesaksian Angelina Sondakh memang menghebohkan. Dia membantah hampir semua pertanyaan hakim dan terdakwa Nazaruddin. Bahkan, apa yang sudah tertulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditandatanganinya dibantah, termasuk soal penggunaan telepon BlackBerry miliknya. Ada kesan Angie (panggilan akrabnya) telah melecehkan para anggota majelis hakim dan pengacara serta jaksa/penuntut umum.
    Hampir semua narasumber yang dimintakan komentarnya tentang kesaksian Angie memberikan pandangan sama. Pertama, mereka sangat meragukan kejujuran Angie. Apakah Angie sedang berupaya keras untuk menyelamatkan beberapa petinggi Demokrat? Masakan, semua dijawab ”Tidak pernah”, ”Tidak pernah”, dan ”Tidak pernah”. Secara implisit, para narasumber itu melemparkan tudingan Angie telah melakukan perjury alias bersaksi bohong.
    Salahkah media jika tanggapan-tanggapan narasumber dipublikasikan di media mereka?
    Perihal pemindahan Angie dari Komisi X DPR, memang menimbulkan kepanikan dan kekacauan (messy). Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, menyatakan tidak tahu kalau Angie dipindahkan ke Komisi III, padahal sebelumnya ia mengaku sudah mengusulkan agar Angie dipindahkan ke Komisi VIII agar mendapat ”siraman rohani”. Itu artinya apa?
    Artinya, tidak ada kekompakan dalam tubuh Partai Demokrat, kalau tidak dikatakan ”ada gesekan-gesekan internal”. Pemimpin Fraksi PD kemudian berkilah bahwa rotasi Angie sudah direncanakan jauh sebelum kesaksiannya di pengadilan.
    Tapi, apakah pemimpin fraksi dan DPP tidak bisa membaca peta situasi? Segera setelah Angie memberikan kesaksian dan menimbulkan reaksi yang begitu heboh di masyarakat, apakah mereka tidak cepat membaca reaksi masyarakat, khususnya para pakar hukum pidana?
    Jika semua ini direkam dan dipublikasikan oleh media, media tidak bisa disalahkan, apalagi ada pernyataan Andi Mallarangeng, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, bahwa SBY selaku Ketua Dewan Pembina marah setelah mengetahui Angie dirotasi ke Komisi III.
    Sekali lagi, Jimmy Setiawan tidak paham komunikasi, apalagi jurnalistik. Bagaimana seorang wartawan mencari dan menulis berita, ada kriteria. Salah satu nilai berita yang tinggi adalah kontradiksi atau konflik.
    Kejadian yang mengandung nuansa kontradiksi atau konflik pasti mengandung nilai berita tinggi. Ketika satu petinggi Demokrat menohok petinggi lain dalam pernyataannya, that is good news!
    Lapor ke KPI
    Setelah wacana boikot media kandas total, beberapa warga melaporkan dua stasiun televisi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Didi Syamsuddin, salah satu Ketua Partai Demokrat yang juga anggota DPR, pengaduan itu bukan atas nama institusi (PD), tapi pribadi-pribadi.
    Tapi, beberapa di antara mereka diketahui wartawan yang bekerja di media cetak yang berkiblat ke PD. Dalam alam demokrasi, tentu saja tindakan mereka sah-sah saja. Mungkin mereka menilai liputan berita kedua stasiun TV itu tidak lagi objektif dan ”sangat menjurus”.
    Sebagai praktisi sekaligus akademisi jurnalistik, saya prihatin melihat fenomena ”kebakaran jenggot” di kalangan Partai Demokrat. Tapi, karena saya selama ini menjalin hubungan yang cukup baik dengan mereka, ada baiknya saya memberikan sedikit advis kepada kader-kader PD.
    Pertama, dalam era demokrasi liberal, informasi harus dilawan dengan informasi, bukan dengan ancaman atau intimidasi dalam bentuk apa pun.
    Kedua, media adalah wacana publik untuk mencari kebenaran. Dalam rezim otoriter, kebenaran itu milik penguasa. Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, penguasa akan sia-sia kalau mencoba membentuk kebenaran, sebab kebenaran milik publik.
    Caranya, ya, melalui dialog publik (public discourse) yang terus-menerus, bebas dan jujur. Pada saatnya nanti, pendapat ngaco akan gugur dengan sendirinya, dan yang benar akan mendapat dukungan mayoritas.
    Ketiga, terkait butir kedua, media pemerintah atau yang berkiblat ke penguasa takkan laku. Di seluruh dunia – dan dalam sistem demokrasi, sebagian besar rakyat emoh membaca atau menonton media pemerintah.
    Sebaliknya, media yang terus-menerus memaki-maki pemerintah pun takkan mendapat simpati publik. Media harus objektif dan independen. Tapi, independen bukan tidak boleh berpihak. Media harus berpihak, yaitu berpihak kepada kebenaran dan keadilan!
    Tontonan di persidangan Muhammad Nazaruddin dengan para saksinya selama ini, sesungguhnya, sekaligus tempat publik mencari dan memperdebatkan kebenaran dan keadilan. Media tidak pernah puas dengan adegan di persidangan yang kadang kala memang seperti ”badut”. Maka, media mencari sumber-sumber lain di luar pengadilan. Terjadilah diskursus publik yang intensif.
    Keempat, sejarah di mana-mana – temasuk di Indonesia – membuktikan bahwa penguasa yang memusuhi, apalagi berkonfrontasi, dengan media, kejatuhannya tinggal tunggu waktu. Media bisa serempak bersatu menghantam penguasa! Itulah yang kita saksikan pada era Megawati Soekarnoputri ketika pemerintah terus menghantam media.
    Ketika SBY tampil, benar atau salah, sebagian besar media serempak balik badan ke SBY dan meninggalkan Bu Mega. Pengalaman serupa terjadi pada era Gus Dur yang sering menyalahkan dan mendiskreditkan media ketika pernyataan-pernyataan kepala negara menimbulkan kontroversi.
    Orang-orang Demokrat boleh kesal melihat pemberitaan media hari-hari ini tentang partainya. Tapi, hendaknya mereka menyikapinya dengan kepala dingin. Jangan lupa, kebusukan tidak bisa dibungkus dengan cara apa pun! Aksi boikot atau lapor ke KPI dan Dewan Pers justru bisa merugikan diri sendiri. ●
  • Makna Oscar bagi si Bisu

    Makna Oscar bagi si Bisu
    Kris Moerwanto, SENIOR EDITOR JAWA POS
    Sumber : JAWA POS, 29 Februari 2012
    SEPERTI sudah diramal banyak pengamat film, film The Artist akhirnya benar-benar memenangi Academy Awards 2012. Pada hajatan bergengsi komunitas perfilman sedunia yang berlangsung dua hari lalu itu, tak tanggung-tanggung The Artistmemborong lima Piala Oscar. Salah satunya untuk kategori aktor terbaik, yakni Jean Dujardin (lewat film yang sama dia sudah menyabet aktor terbaik di Festival Cannes 2012 dan Golden Globe 2011). Selain itu, Oscar untuk kategori desain kostum terbaik, sutradara terbaik, dan original score. Juga penghargaan tertinggi Oscar sebagai film terbaik tahun ini. Sebelum di Piala Oscar, The Artist berturut-turut telah sukses memenangi ajang Golden Globe 2011 dan Guild Awards 2011.

    Film buatan Prancis-Amerika itu menarik untuk dibahas dari aspek marketingterkait dengan pergeseran mutakhir disiplin ilmu komunikasi. Ada yang bilang, kunci kemenangan The Artist di berbagai ajang bergengsi penghargaan film itu adalah penyajian secara unik, berbeda dengan lainnya: Kisah di film tersebut sama sekali tak menyertakan sepotong pun dialog. Padahal, film produksi mutakhir justru sibuk dengan hiruk pikuk. Tak sekadar ingin memanjakan mata, tapi juga mengeksploitasi tata suara dan bunyi-bunyian yang disokong teknologi akustik serbaluar biasa.

    Kemenangan film The Artist itu lain daripada yang lain. Itulah film bisu pertama yang berhasil memenangi Oscar sejak Perang Dunia I, di ajang yang justru perbandingan film-film “bersuara”. Kisahnya campuran unsur komedi yang diwarnai romansa dan diselingi melodrama. Dengan setting Hollywood tahun 1927, film tersebut menceritakan kehidupan seorang aktor era film bisu yang sedang galau. Sebab, di tengah puncak ketenarannya, dunia perfilman Hollywood saat itu justru sedang bersiap-siap mengadopsi teknologi yang mengawali zaman baru, yakni era “film bersuara”.

    The Artist seakan mencubit kuat urat kesadaran para praktisi komunikasi dan media tentang kekuatan fenomena paradoks di tengah tata nilai yang dianggap lazim: Ketika yang berbunyi kian bikin gaduh, ternyata yang senyap justru layak disimak. Bahwa yang bisu alias tak bersuara terbukti bisa lebih bermakna di tengah yang serbabising. Ironisnya, salah satu nomine yang dikalahkan film The Artist, kebetulan, berjudul Extremely Loud alias Sangat Bising.

    Ini catatan paradoks lain dari The Artist. Biaya produksinya terbilang murah di tengah kelaziman film Hollywood yang jor-joran menghabiskan biaya produksi mahal. Dikemasnya pun layaknya film klasik hitam putih, justru ketika berbagai film mutakhir menampilkan teknologi pencahayaan dan tata warna canggih. Belum lagi setting kisahnya yang era tempo doeloe, tahun 1927-1929. Padahal, tema-tema film kontemporer seakan bergegas berebut ingin menghadirkan kecanggihan teknologi dan serbamasa depan saat ini juga.

    Kerasnya sikap George Valentin sang tokoh utama yang diperankan aktor Jean Dujardin, yang antipati terhadap penerapan teknologi baru dari film bersuara, juga sejalan dengan maraknya fenomena gerakan De-Tech di beberapa negara sejak 2011. Yakni, kesadaran masyarakat untuk mulai membatasi ketergantungan kehidupan mereka kepada teknologi dan menggantikannya dengan pola kehidupan bernuansa kembali ke alam. Fenomena itu menjadi diametral karena umat di seluruh penjuru dunia justru sedang dilanda euforia serba connected. Sampai-sampai yang tak connected dianggap jadul dan teralienasi dari kehidupan sosial.

    Yang menarik, kemenangan The Artist itu sudah diramal salah satu agency periklanan terbesar sejagat, JWT Internasional. Dalam presentasinya yang berjudul Things to Watch in 2012, prakiraan intelijen pemasaran JWT mencatat bahwa fenomena silence adalah satu di antara seratus pertanda fenomenal yang diramal bakal terjadi. Dan ternyata terbukti. Di tengah suasana chaoticgara-gara kegaduhan dan kian bisingnya kehidupan serba connected yang dibanjiri komunikasi data dan suara di mana saja.

    Dalam tinjauan perkembangan ilmu komunikasi pemasaran, fenomena chaotic karenabanjir data, suara, dan informasi tersebut sebenarnya adalah implikasi. Terjadi ketika jagat pemasaran berubah kian memipih (horizontal). Banyak sumber informasi yang secara serentak menyuplai banyak informasi kepada banyak tujuan. Bahkan, pesan tak lagi butuh diantarkan dengan kata-kata untuk bisa dikomunikasikan. Sebab, seperti kata Marshall McLuhan, media kini telah menjelma menjadi pesan itu sendiri. Karena itu, laiknya film bisu, film The Artist pun semata mengandalkan kekuatan gambar bergerak, kualitas akting dan ekspresi pemeran, serta komposisi musik pengiring seluruh adegan sebagai sarana penyampai pesan.

    Ada yang mengistilahkan, ini adalah zaman attention economy. Inilah era ketika konsumen harus dibujuk, bahkan dibayar dulu, agar sejenak mau memperhatikan sesuatu. Tapi, kehidupan yang serba connected secara digital mengakibatkan opsi pilihan pun tersedia tanpa batas. Padahal, makin tersedia multiopsi, perhatian konsumen justru gampang terdistraksi, teralihkan ke opsi lain.

    Tapi, The Artist menyadarkan kita bahwa di tengah zaman yang serba tergesa, ditingkah suara berisik, hiruk pikuk, serta suasana yang kian gaduh dan bising sehingga kata-kata seakan semakin kehilangan makna, ternyata pesan yang sunyi justru bisa lebih berarti. Pelajaran penting bagi para praktisi komunikasi dan media tentang bagaimana bersiasat membantu konsumen media agar kian terberdayakan: mampu membedakan, memilah dan memilih mana pesan penting dari yang genting. Bisa membedakan mana pesan yang bermakna dari yang ornamental belaka. ●

  • Agar Pendaftaran Haji Lebih Adil

    Agar Pendaftaran Haji Lebih Adil
    Sudarto, CJH DAFTAR TUNGGU 2019, MENDAFTAR AWAL TAHUN LALU,
    BERPROFESI GURU SMAN 1 BANGSAL, MOJOKERTO
    Sumber : JAWA POS, 29 Februari 2012
    PENDAFTARAN ibadah haji menjadi sorotan tajam. Utamanya menyangkut penggunaan bunga setoran awal haji Rp 25 juta per calon jamaah haji (CJH). Sampai dengan musim haji 2011 jumlah setoran secara nasional mencapai Rp 38 triliun dengan bunga berkisar antara Rp 1,5 triliun sampai dengan Rp 1,7 triliun per tahun.

    Ironisnya, penggunaan bunga tersebut tidak transparan. Menurut penuturan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, memang ada sejumlah pos biaya haji seperti paspor, keperluan para jamaah untuk pemerinah Arab Saudi, biaya asrama, dan sebagainya, yang dibiayai dari bunga tersebut. Namun, perincian besarannya juga tidak ada jelas.

    Kalau memang benar pos-pos pengeluaran tersebut diambilkan dari bunga setoran para CJH, ini tidak adil bagi para CJH. Artinya, semakin lama CJH masuk daftar tunggu, logikanya makin banyak bunga yang masuk Kemenag.

    Kita tahu bahwa di setiap daerah lama menunggu untuk berangkat haji juga bervariasi. Belum lagi jika ada CJH “siluman”. Yakni, baru mendaftar, tetapi langsung berangkat, padahal tidak termasuk ONH plus. Ini berarti akumulasi bunga yang diberikan tentu lebih sedikit.

    Sebenarnya masalah bunga bank sudah lama menjadi ganjalan pikiran banyak CJH. Hanya, para CJH umumnya diam, khawatir dianggap suka ribut. Sebab, dapat membayar setoran awal saja sudah senang.

    Selain itu, untuk urusan ibadah, umumnya CJH penuh kepasrahan dan benar-benar mengesampingkan hal-hal yang menyangkut perhitungan bunga. Tidak ayal ketika KPK menyoroti transparansi pengelolaan bunga setoran awal, tentu mereka merasa “terwakili”. KPK beranggapan masalah bunga setoran awal CJH sangat rawan korupsi. Sampai-sampai diusulkan perlunya moratorium pendaftaran calon jamaah haji untuk beberapa waktu yang ditolak Menag.

    Tidak salah jika Sekjen Kemenag Bahrul Hayat mengatakan, “Kami bukan bank, kami ini kementerian.” Dengan demikian, mereka tidak mengurusi atau mengalkulasi jumlah bunga setoran awal para CJH. Namun, harus terus terang dikatakan bahwa Kemenag menyimpan uang setoran itu tidak “di bawah kasur”. Siapa pun pasti tahu bahwa uang setoran itu disimpan di bank dan tentu ada bunganya.

    Aturan akuntansi, bunga bank juga termasuk pendapatan, yang mestinya dilaporkan secara transparan. Kalau memang dikelola Kemenag, Kemenag harus bertanggung jawab atas pengelolaannya. Tidak bisa seenaknya menggunakan bunga tersebut tanpa memberikan pertanggungjawaban secara transparan.

    Dalam menyikapi adanya bunga setoran awal bagi CJH, kebanyakan tidak mempersoalkan jika tidak menjadi hak mereka. Tapi, keikhlasan mereka jangan disalahgunakan. Tetap butuh pengelolaan yang transparan dan akuntabel.

    Sampai sekarang penggunaan bunga setoran awal haji tersebut masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bunga tersebut masuk dana abadi umat. Ironisnya, dana itu tidak terdengar penggunaannya. Misalnya, menyantuni anak yatim, membantu pendidikan keagamaan, membangun tempat ibadah, atau lainnya.

    Tiadanya pelaporan secara transparan akan rawan korupsi. Apalagi, ada temuan yang menyebutkan bahwa Kemenag merupakan salah satu departemen yang tingkat korupsinya cukup tinggi. Seakan ini menjadi konfirmasi tentang kecurigaan adanya penyimpangan penggunaan bunga tersebut.

    Menyikapi kemungkinan kebocoran atau penyimpangan penggunaan bunga setoran awal bagi CJH, perlu dicarikan solusi. Yakni, mengubah mekanime pendaftaran CJH. Saat ini untuk mendaftar ibadah haji, seseorang harus memberikan setoran awal ke Kemenag. Uang pun ditampung Kemenag. Prosedur ini perlu diubah. Persyaratan finansial hanya berupa bukti setoran rekening khusus milik CJH di bank. Besarnya sesuai ketentuan Kemenag, misalnya sekarang Rp 25 juta.

    Salinan bukti pembayaran atau buku tabungan di bank itu diserahkan kepada Kemenag. Selanjutnya, Kemenag mengajukan kepada bank untuk melakukan semacam pemblokiran rekening atas nama CJH yang bersangkutan. Dengan demikian, rekening ONH tersebut hanya dapat ditambah, tetapi tidak bisa diambil.

    Keuntungan yang didapat dari mekanisme ini, rekening atas nama CJH bertambah dengan bunganya. Dengan demikian, menjelang berangkat haji, masing-masing tinggal menambah sisa setoran pelunasannya. Sebaliknya, karena tidak mendapatkan bunga dari setoran para JCH, Kemenag bisa membebankan pembiayaan haji kepada CJH. Angkanya sesuai dengan besaran biaya yang ditetapkan pemerintah bersama DPR.

    Cara ini tentu lebih memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, terutama CJH. Kemenag pun semakin kredibel karena tak dicurigai menimbun uang CJH tanpa pertanggungjawaban yang memadai.  ●

  • Kapitalis Global-Lokal

    Kapitalis Global-Lokal
    Ferdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAY, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 29 Februari 2012
    Banyak pihak di Eropa, Asia, dan Amerika Latin memboikot produk perusahaan transnasional, seperti McDonald’s, Coca-Cola, Pepsi, dan Starbucks, karena mematikan ambisi pebisnis-pebisnis lokal.
    Nutrisi yang digadang-gadang dari produk perusahaan transnasional (PT) tak sebanding dengan makanan dan minuman lokal. Produk ini unggul hanya karena embel-embel nama besar negara asalnya: Amerika Serikat.
    Kritik Sri Palupi di halaman Opini harian ini pada 2 Februari lalu, ”Pilot yang Salah Pesawat”, berkaitan dengan kondisi Indonesia yang sedang berjumpa dengan kapitalisme. Kritik terutama ditujukan kepada pemimpin kita yang tak berdaya di hadapan kekuasaan PT.
    Survei Control Risk Group (2004) menemukan bahwa PT kerap menggunakan tekanan politik dari negara asal untuk mendobrak negara yang bandel. Dari survei itu, hanya 7,6 perusahaan AS dan 9,2 perusahaan negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang tak melalui tekanan politik. Akibatnya, menurut laporan UNCTAD (2007), 78.000 PT berikut produknya membanjiri pasar seluruh dunia dan domestik.
    Tak heran jika pedagang aso- ngan yang berjejer di setiap lorong metropolis gagap melihat gerai 7-Eleven, Circle K, dan Lotte Mart. Rumah makan tradisional menjadi tak menarik bagi konsumen karena kehadiran McDonald’s, KFC, Burger King, dan sebentar lagi restoran cepat saji Johnny Rockets (AS) segera hadir di Indonesia. Mobil produk SMK di Solo merupakan produk lokal terbaru yang disambut basa-basi konsumen karena cengkeraman raksasa Honda, Toyota, dan perusahaan mobil Eropa.
    Kapitalis Lokal
    Palupi hanya menyoroti peru- sahaan asing dan lupa pada peru- sahaan domestik. Padahal, sepak terjang korporasi nasional dan transnasional sama saja: cari untung. Lihat daftar 40 orang kaya Indonesia yang mengakumulasi kekayaan 85,1 miliar dollar AS.
    Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB 2011: 752 miliar dollar AS. Total kekayaan dan aset mereka terus meningkat. Mereka mengapitalisasi semua bidang pertambangan, eceran, perkebunan, dan pertanian. Tak ada ruang bagi rakyat mengembangkan usaha.
    Kapitalis lokal tak susah mencari uang. Mereka bisa cari uang ke bank. Yang menyulitkan mereka: mendapat lahan konsesi dan izin sehingga mereka perlu bersahabat dengan penguasa. Bahkan, ada yang menjadi pengurus dan penguasa partai. Di era otonomi daerah hanya partai yang bisa mengendalikan kepala daerah karena bupati anggota partai tertentu.
    Persahabatan kapitalis dan penguasa bukan untuk urusan publik, tetapi untuk kepentingan diri. Kapitalis mendapat kemudahan berbisnis dan penguasa beroleh dana untuk proyek politik selanjutnya. Baik PT maupun korporasi domestik sama-sama buruk: mereka menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepen- tingan privat, membangun kor- poratokrasi merusak demokrasi.
    Jika PT memasarkan demokrasi sebagai pintu masuk usahanya ke Indonesia, korporasi lokal malah menjadi pemain dalam sistem demokrasi. Demokrasi bagi korporasi lokal sekadar tunggangan mengakumulasi modal.
    Dengan cara seperti itu, mereka mencaplok kekayaan seluruh Nusantara. Genaplah syair Koes Plus, ”orang bilang tanah ki- ta tanah surga”, tetapi dalam genggaman kapitalis, ”tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman”. Dalam genggaman kapitalis lahan dan tanah pertanian warga dicaplok hanya untuk investasi tambang dan pembangunan mal. Maka, baik PT maupun korporasi domestik sama- sama buruk. Keduanya menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatokrasi, dan membuat cita-cita Pancasila dan UUD 1945 jauh dari harapan.
    Dalam genggaman kapitalis, model pembangunan kita kian mengarah ke rezim liberal. Liberalisasi membuka pintu bagi pembangunan dari atas ke alas. Model ini menggodai lembaga intermediasi, seperti perbankan, untuk berpihak kepada korporasi berskala raksasa.
    Data tahun 2008 menunjukkan betapa bank-bank nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada kepada sektor UMKM yang mencapai 44 juta. Rendah- nya akses kredit berakibat langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itu sebab- nya, meski pertumbuhan ekonomi meningkat 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp 30,8 juta pada 2011, pertumbuhan itu tetap tak menyentuh hidup rakyat kecil.
    Secara teoretis, rakyat kecil seperti petani akan mendapat berkah dari pertumbuhan ekonomi jika ekspor digenjot karena menyentuh langsung petani penggarap. Ekspor kita menunjukkan grafik menaik beberapa tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, kenaikan ekspor ditopang beberapa sektor nonmigas seperti kelapa sawit. Persoalannya, meski kelapa sawit salah satu industri yang menopang ekspor Januari-November 2010 (140,65 miliar dollar AS), bukan petani plasma yang mendapat berkah dari kenaikan harga kelapa sawait mentah global, melainkan pengusaha besar sekelas Wilmar Group.
    Begitu pun nasib warga sekitar areal tambang emas, nikel, dan mangan. Mereka hanya mendapat secuil berkah kenaikan harga komoditas seperti emas dan mangan. Yang mendapat untung besar: investor tambang. Mengapa warga kecil selalu menjadi korban pembangunan?
    Tak Diperhitungkan
    Dalam pemerintah korporatokrasi, rakyat kecil tak diperhitungkan. Suara rakyat yang berteriak menegosiasikan hidup mereka di ruang publik tak tersambung ke parlemen. Rakyat hanya konstituen sebelum pemilu. Setelah pemilu, konstituen mereka pemodal yang membiayai mereka dalam kampanye pemilu. Sebab, dalam demokrasi elektoral, pendaftaran partai dan biaya operasional sangat mahal. Perlu dana dari pengusaha, modal asing, dan dana ilegal buat menghidupi partai. Banyaklah politikus terjebak korupsi.
    Untuk lolos serbuan KPK, mereka membentuk kartel politik guna melumpuhkan kinerja aparat penegak hukum dan menyabotase setiap aksi pencarian informasi. Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi demokratis. Institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap reguler dijalankan, tetapi tak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itu sebabnya, kendati institusi demokratis tampak bekerja, persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan tak tersentuh kerja institusi itu.
    Pemimpin Indonesia perlu belajar dari keberanian mantan Presiden Brasil Lula da Silva mengambil jarak dari kapitalisme global dan menerapkan program prorakyat. Ekonomi Brasil pada 2010 tumbuh 7 persen dan mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja oleh kebijakan perbankan yang baik, proteksi terhadap industri kecil, dan kebijakan land reform yang baik. ●