Author: Adul

  • Anggaran tanpa Daya Gedor

    Anggaran tanpa Daya Gedor
    Mohammad Eri Irawan, MAHASISWA PASCASARJANA UNAIR
    Sumber : JAWA POS, 2 Maret 2012
    PROBLEMmendasar berupa tata kelola yang buruk masih saja menjangkiti anggaran publik kita. Problem tersebut berimplikasi negatif terhadap lemahnya daya dorong instrumen fiskal untuk menggerakkan perekonomian.

    Salah satu yang menjadi sorotan saat ini adalah masih banyaknya daerah yang belum mempunyai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) karena prosesnya molor. Berdasar data Kementerian Keuangan, hingga saat ini, 339 di antara 524 kabupaten/kota sudah mempunyai APBD, sedangkan 185 kabupaten/kota belum.

    Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 12 APBD belum disahkan; Sumatera Utara (21); Riau (9); Lampung (8); Jabar (15); Jateng (11); Jatim (8); NTT (12); Papua (23); dan Papua Barat (8).

    Ketika pengesahan APBD lambat, pencairan anggaran juga terhambat. Dampaknya, pembangunan tersendat. Secara umum, hal tersebut menunjukkan masih sangat rendahnya kadar tertib anggaran kita.

    Tata Kelola Buruk

    Selain lambatnya pengesahan APBD, tata kelola yang buruk ditunjukkan lewat penyerapan anggaran yang rendah, belanja sosial yang minim karena APBD tersedot untuk belanja pegawai, serta program pembangunan yang tak inovatif.

    Konsekuensi tata kelola yang buruk itu adalah pertumbuhan ekonomi di daerah tidak terdongkrak. Padahal, APBD sebagai instrumen fiskal punya peran penting dalam memacu pergerakan ekonomi masyarakat.

    Problem tata kelola yang buruk tersebut memang menyedihkan sekaligus menggelikan. Menyedihkan karena regulasi soal penyusunan APBD sebenarnya sudah sangat gamblang. Beleid sudah sangat jelas mengatur mekanisme pengesahan APBD, termasuk detail waktunya. APBD semestinya sudah harus disahkan melalui keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif maksimal sebulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berjalan atau pada November.

    Menggelikan karena lambatnya pengesahan APBD sering tidak disebabkan adanya faktor substansial seperti pertarungan ide antara legislatif dan eksekutif dalam memperjuangkan program prorakyat. Yang ada justru APBD lambat disahkan karena hubungan eksekutif dan legislatif memburuk lantaran hal-hal tak penting. Misalnya, dikuranginya anggaran yang berhubungan dengan kepentingan para anggota DPRD.

    Hal itu patut disayangkan. Padahal, penyusunan anggaran mencerminkan mutu para penyusunnya. Menurut Samuelson (1996), anggaran adalah sistem yang digunakan pemerintah dan organisasi untuk mengidentifikasi rencana pendapatan untuk pengeluaran tahun tertentu. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi perencanaan strategis yang telah dibuat.

    Anggaran publik (APBN dan APBD) memundaki amanat untuk memengaruhi struktur perekonomian guna memastikan terselenggaranya kehidupan yang memakmurkan rakyat. Jika tata kelola anggaran sangat buruk, tentu daya gedor alias efektivitas anggaran ke kehidupan ekonomi rakyat akan semakin lemah.

    Dalam literatur ilmu anggaran, bisa dibilang peran instrumen anggaran di jagat ekonomi-politik negeri ini telah bergeser dari pengungkit (stimulator) fiskal menjadi sekadar instrumen untuk memelihara sustainabilitas fiskal (fiscal sustainability).

    Mengapa anggaran publik kita tak punya daya gedor? Sebab, pemerintah tak lagi punya diskresi dalam menggelontorkan banyak dana untuk proyek pembangunan yang bisa menciptakan multiplier effect. Misalnya, pembangunan infrastruktur, penguatan pertanian, atau peningkatan daya saing UMKM. Selain karena masih lambatnya pengesahan, APBD tersandera berbagai pos belanja yang tidak atau kurang berkorelasi terhadap upaya mendinamisasi perekonomian masyarakat luas.

    Pada 2010, misalnya, Kemenkeu mencatat, APBD banyak tersedot untuk belanja pegawai (belanja rutin). Alokasi belanja pegawai naik dari Rp 123 triliun (2009) menjadi Rp 198 triliun (2010). Belanja pegawai meningkat menjadi 45 persen dari sebelumnya 38 persen. Ada pun alokasi belanja modal hanya Rp 96 triliun, anjlok dari sebelumnya Rp 104 triliun. Porsi belanja modal dalam APBD turun dari 33 persen menjadi 22 persen. Terdapat 145 daerah yang memiliki alokasi belanja pegawai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada yang mencapai 80 persen.

    Dana transfer ke daerah dari APBN yang superjumbo, melonjak sekitar 300 persen dalam tujuh tahun terakhir hingga 2012 mencapai Rp 437 triliun, terasa sia-sia jika kemudian dana itu tersita untuk pos-pos yang tak punya daya ungkit ekonomi.

    Karena itu, jelas sudah bahwa fungsi anggaran publik untuk mewarnai kehidupan masyarakat kian jauh panggang dari api. Itu belum termasuk duit negara yang lenyap dimakan calo anggaran. Belum juga memperhitungkan pelaksanaan proyek yang tak optimal karena mulai proses perencanaannya sudah dipenuhi bau anyir korupsi.

    Kondisi tersebut harus segera disikapi serius. Semua stakeholder seyogianya bergegas membalikkan arah kemudi anggaran menjadi lebih berpihak kepada rakyat. Sumber daya fiskal yang terbatas harus disikapi dengan politik anggaran yang menempatkan rakyat sebagai sumber sekaligus saluran energi dari setiap kebijakan penganggaran. Patut diingat, masih tingginya kemiskinan, salah satunya, disebabkan teramputasinya intervensi fiskal dalam program-program antikemiskinan. ●

  • Leadership dan Followership

    Leadership dan Followership
    Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
    Sumber : SINDO, 2 Maret 2012
    Rakyat yang cerdas akan memilih pemimpin yang cerdas.Pemimpin yang cerdas akan membuat rakyatnya ikut cerdas. Jadi, terdapat hubungan kausalitas timbal-balik antara kualitas seorang pemimpin (leader)dan pengikutnya (follower).
    Jadi, kalau ada seorang pemimpin dinilai tidak bagus, itu menunjukkan kualitas rakyat yang memilihnya juga tidak bagus. Kalau ada seorang pemimpin memenangi pertarungan karena kekuatan uang, artinya rakyatnya juga bermental mata duitan. Ustaz di kampung saya sering membuat analog hubungan antara pemimpin dan pengikut dengan sembahyang berjamaah. Di situ ada pemimpin (imam) dan ada pengikut (makmum) yang berdiri di belakangnya.

    Menurut norma yang berlaku, siapa pun yang menjadi imam diutamakan yang paling baik akhlaknya, paling luas ilmunya, paling senior umurnya, paling baik bacaannya. Setelah imam terpilih,makmum harus taat mengikuti aturan yang berlaku agar prosesi salat jamaah berlangsung baik dan khusyuk. Tentu salat jamaah akan rusak suasananya kalau imamnya tidak benar bacaan dan jumlah rakaatnya atau makmumnya membuat kegaduhan.

    Kualitas salat berjamaah ditentukan oleh imamnya dan makmumnya. Ketika makmum mendapati imamnya salah,makmum yang terdekat wajib memperingatkan. Jika masih juga salah berulang kali, padahal telah diperingatkan, ada dua pilihan. Makmum memisahkan diri lalu membuat jamaah sendiri atau imamnya yang menyatakan mundur, lalu makmum yang terdekat menggantikannya maju ke depan tanpa membatalkan salat jamaahnya.

    Begitulah hubungan leadership dan followership dalam salat berjamaah, semuanya berlangsung damai tanpa keributan atau huru-hara. Tentu saja dalam panggung politik, variabelnya lebih banyak dan kompleks.Hubungan antara pemimpin dan pengikut terdekatnya saling memengaruhi. Bisa jadi ada seorang pemimpin yang kurang bagus, tetapi rakyatnya bagus sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung baik-baik saja.

    Atau sebaliknya, berkat pemimpinnya yang hebat dan bagus, rakyat yang semula brengsek tidak taat aturan berubah jadi bagus. Menurut cerita, Singapura berubah begitu tertib berkat kepemimpinan Lee Kuan Yew yang cerdas, berkarakter, dan tegas sehingga perilaku rakyatnya berubah drastis. Dengan pelaksanaan otonomi daerah, sesungguhnya kita memiliki peluang dan tantangan untuk membangun sinergi hubungan yang kreatif, konstruktif, dan produktif antara leadership dan followership untuk memajukan daerah.

    Yang repot adalah ketika ruang demokrasi dibuka,rakyat bebas memilih pemimpinnya, tetapi kualitas rakyatnya rendah sehingga pemimpin yang tampil juga kurang bermutu. Akibatnya implementasi dan hasil demokrasi bukannya mendongkrak kesejahteraan dan kemajuan daerah, tetapi malah ramai-ramai menurunkan indeks pembangunan daerah. Pemimpin dan rakyatnya samasama mata duitan, sementara kinerjanya di bawah standar.

    Bagaimana dengan kepemimpinan tingkat nasional? Hubungan leadership dan followership yang paling mudah diamati adalah pada lapisan terdekat presiden, yaitu jajaran menteri dan pembantupembantunya di lingkaran istana. Komunikasi seorang presiden dengan lingkaran terdekatnya tidak terbatas melalui bahasa verbal, tak kalah pentingnya adalah gestur.

    Bagaimana suasana batin dan emosi seorang presiden menjadi bacaan yang lebih penting ketimbang apa yang diucapkan. Lebih dari itu,pembicaraan di luar acara resmi juga menjadi referensi penting bagi orang-orang terdekatnya. Sebaliknya, kepribadian dan mentalitas para followerdi seputar presiden akan berpengaruh besar pada hasil kinerja sang leader.

    Sepandaipandai seorang presiden, jika jajaran terdekatnya tidak cepat, tangkas, terampil, dan berani menerjemahkan gagasannya dalam kebijakan dan tindakan, kepemimpinannya tidak akan banyak membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan bernegara dan masyarakat. Jadi, hubungan leadership dan followership antara presiden dan rakyatnya sesungguhnya akan sangat ditentukan oleh kualitas hubungan pada lingkaran yang lebih kecil, yaitu leadership dan followershipantara presiden dan orang-orang terdekatnya di seputar istana dan dengan jajaran para menterinya.

    Meminjam ungkapan Pak Jusuf Kalla, memimpin Indonesia yang demikian besar penduduknya dan luas wilayahnya sesungguhnya tak lebih dari mengatur sekitar 500 orang saja. Pegang dan jalin komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh kunci di Republik ini, maka rakyat yang jumlahnya puluhan atau ratusan juta itu akan ikut di belakangnya.

  • Menyorot Pengunduran Diri Wakil Kepala Daerah

    Menyorot Pengunduran Diri
    Wakil Kepala Daerah
    Dodi Riyadmadji, DIREKTUR FASILITASI KEPALA DAERAH, DPRD,
    DAN HUBUNGAN ANTARLEMBAGA KEMENTERIAN DALAM NEGERI
    Sumber : SINDO, 2 Maret 2012
    Pengunduran diri Dicky Candra dari jabatan wakil bupati Garut belum lama ini disikapi riuh,sekarang pengunduran diri Prijanto dari posisi sebagai wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta juga tidak kalah riuh.

    Apakah ini memang betul-betul keriuhan yang wajar? Dengan sistem pemilihan kepala daerah yang sudah menggunakan pemilihan langsung, ada beberapa problematika yang berasal dari disharmoni regulasi dan kurang lengkapnya pengaturan. Undang- Undang (UU) No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara langsung mengatur pemilihan kepala daerah dalam Pasal 56 sampai 119.

    Sekian aturan itu ternyata belum cukup komprehensif sehingga ada beberapa kali perubahan dan penjabaran terhadap UU tersebut lewat peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu) dan peraturan pemerintah (PP). Walaupun sudah melewati beberapa kali penyempurnaan, masih ada satu hal yang luput dari pengaturan secara komplit yaitu tentang ”pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah”.

    Dalam Pasal 29 UU No 32 Tahun 2004 diatur bahwa “kepala daerah dan atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.”Istilah untuk meninggal dunia dan atas permintaan sendiri adalah ”berhenti”, bukan diberhentikan.

    Sedangkan diberhentikan mempunyai pengertian bahwa orang yang sedang duduk dalam jabatan/menjabat (kepala daerah dan atau wakil kepala daerah) itu memiliki masalah terkait administrasi, hukum, ataupun politik sehingga ”diberhentikan”. Sayang sekali,PP No 6 Tahun 2005 yang merupakan penjabaran UU No 32 Tahun 2004 dalam Pasal 123 tidak mampu mengelaborasi secara rinci apa yang diatur dalam Pasal 29 UU No 32 Tahun 2004 itu.

    Karena itulah,pada waktu terjadi kasus pengunduran diri Dicky Candra (wakil bupati Garut) dan Prijanto (wakil gubernur DKI Jakarta) terkesan muncul ”nuansa politicking”.Padahal bila semua bersikap arif dan mengembangkan sikap ”saling menghormati” dalam menafsir beberapa peraturan perundangundangan, tidak harus menimbulkan kegaduhan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

    Mekanisme Pengunduran Diri

    Bila kembali kepada hakikatnya, pengunduran diri Dicky Candra maupun Prijanto (atas permintaan sendiri) dari jabatan wakil kepala bermakna berhenti atas permintaan sendiri. Namun, karena norma dalam Pasal 29 ayat (3) berbunyi: pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD, maknanya menjadi rancu.

    Karena itu,mekanisme pemberhentian karena meninggal dunia,mundur atas permintaan sendiri,ataupun diberhentikan karena terkait masalah administrasi, hukum, maupun politik tentulah tidak sama. Bukan hanya mekanisme yang berbeda, melainkan pengaturan kuorum rapat paripurnanya pun mestinya juga dibedakan.

    Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang meninggal dunia,mekanisme pemberhentiannya cukup dengan pemberitahuan dari pimpinan DPRD dalam forum rapat paripurna dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.Lalu hasil itu diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada presiden melalui menteri dalam negeri dan atau kepada menteri dalam negeri melalui gubernur.

    Tidak perlu ada pandangan fraksifraksi. Pun demikian terhadap kepala daerah dan atau wakil yang mundur atas permintaan sendiri, mekanisme pemberhentiannya lebih rinci dan berbeda dari kasus meninggal dunia. Selain kepala daerah dan atau wakil kepala daerah menyusun alasan pengunduran diri, yang bersangkutan sedapat mungkin harus menyampaikan pidato alasan pengunduran diri di forum rapat paripurna.

    Ini penting karena semua anggota DPRD yang memiliki suara dalam pengambilan keputusan rapat paripurna harus mendengar secara langsung.Walaupun dalam rapat paripurna ada pandangan fraksi-fraksi, pengambilan keputusan (setuju atau menolak) atas pengunduran diri kepala daerah/wakil kepala daerah haknya tetap berada pada masing-masing anggota DPRD (one man one vote).

    Sedangkan untuk pemberhentian karena “diberhentikan” yangdisebabkan persoalan administrasi, hukum, ataupun politik, mekanismenya juga berbeda antara satu dan lainnya. Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya misalnya tanpa diusulkan DPRD pun tetap akan diproses SK pemberhentiannya yang waktunya bersamaan dengan proses pengesahan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

    Sementara untuk yang diberhentikan karena melanggar sumpah janji jabatan ataupun karena melanggar larangan, mekanisme pemberhentiannya tentu memiliki perbedaan. Misalnya yang dilanggar adalah larangan untuk melakukan korupsi, sejak berstatus terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang bersangkutan akan dikenakan pemberhentian sementara.

    Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,yang bersangkutan bahkan diberhentikan tanpa ada usulan dari DPRD.Bayangkan bila kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang sudah divonis di tingkat kasasi harus bergantung menunggu paripurna DPRD,di mana anggota DPRDnya ikut korupsi berjamaah pasti akan terjadi penyanderaan politik.

    Kuorum Rapat Paripurna

    Kuorum rapat paripurna DPRD untuk memproses pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah semestinya dipilah secara tegas antara pemberhentian karena ”berhenti dan diberhentikan”.

    Namun, alas hukum yang ada pada Pasal 78 PP No 16 Tahun 2010 diberlakukan sama sehingga kepala daerah/ wakil kepala daerah yang berhenti atas permintaan sendiri dapat terhambat karena anggota DPRD berselisih mempersoalkan kuorum rapat paripurna sampai tidak mengusulkan pemberhentian kepada menteri dalam negeri atau presiden sesuai jenjangnya.

    Bukan saatnya lagi kita memperdebatkan hal-hal yang sama sekali tidak berkorelasi dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat atas nama demokrasi yang tidak substantif. Hal yang seperti ini seyogianya tidak perlu terjadi lagi di era tata kelola pemerintahan sudah baik kelak. Semoga!

  • Caleg Mantan Napi Korupsi

    Caleg Mantan Napi Korupsi
    Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
    Sumber : SINDO, 2 Maret 2012
    Saat ini Rancangan Undang – Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sedang dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Itu artinya, meskipun pemilu legislatif masih dua tahun lagi, perangkat regulasi harus secepatnya dirampungkan, minimal dua tahun sebelum pelaksanaan pemilu.
    Hal ini untuk memberi kesempatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang saat ini sedang diseleksi bersama Badan Pengawas Pemilu untuk merancang dan menindaklanjuti perintah UU dalam bentuk keputusan KPU. Substansi yang paling menarik bagi publik adalah keberadaan mantan napi,khususnya mantan napi korupsi (koruptor), yang diperbolehkan mencalonkan diri.

    Dalam RUU Pemilu, DPR tetap membuka peluang bagi mantan napi yang ingin mencalonkan diri, termasuk mantan napi korupsi meski harus mengacu pada syarat yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14-17/PUU-V/2007 dan No 4/PUU/7/2009.

    Putusan MK menetapkan enam syarat bagi mantan napi: (1) untuk jabatan publik tidak berlaku, (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya lima tahun sejak selesai menjalani hukuman, (3) terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana, (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang (residivis),(5) kealpaan ringan, dan (6) tindak pidana karena alasan politik tertentu.

    Ternyata syarat ini tidak begitu berat, apalagi di era politik transaksional seperti saat ini. Tapi putusan MK ini juga merupakan pengejawantahan dari hak asasi manusia (HAM) di bidang hak-hak politik.

    Penolakan Publik

    Dikaji secara teoretis, putusan MK atas pengujian Pasal 12 huruf-g dan Pasal 50 ayat (1) huruf-g UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat bagi caleg tergolong putusan conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) yang menggariskan eks napi boleh maju jadi caleg sepanjang memenuhi syarat.

    Tapi ini menimbulkan polemik di ruang publik terhadap mantan napi korupsi lantaran ulah mereka selama ini menyakiti hati rakyat dengan mencoleng uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Salah satu pertimbangan Putusan MK karena mantan napi tetap memiliki hak politik yang sama setelah menjalani pidananya.

    Mereka dianggap sudah bersih, bahkan mencederai hak-hak politik jika tetap dilarang padahal UUD 1945 menjamin perlindungan hak-hak tersebut. Hanya saja, apakah klausul pemenuhan HAM patut dilaksanakan saat rakyat merasa hak-hak ekonomi dan sosialnya dirampas oleh koruptor? Apalagi kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif berada pada titik nadir dengan banyaknya anggota legislatif pusat dan daerah dijadikan tersangka atau mendekam dalam penjara akibat terlibat korupsi.

    Untuk membangun lembaga legislatif yang kredibel dan bisa dipercaya rakyat, seharusnya para anggotanya memiliki integritas yang mumpuni (bermoral), cerdas (kompetensi), dan bersikap negarawan (mendahulukan kepentingan rakyat). Apalagi anggota legislatif merupakan representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

    Popularitas seorang caleg tidaklah cukup, sebab hal itu bisa diperoleh dengan cara rekayasa,malah pada akhirnya hanya akan berpikiran pragmatis untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri. Kita berharap agar komitmen DPR untuk terus memperbaiki citranya tidak harus terbelenggu oleh putusan MK, khususnya pada mantan napi korupsi.

    Kekuatan mengikat putusan MK setingkat dengan UU meskipun putusan itu berdasar pada konstitusi sehingga UU Pemilu boleh disebut “ketentuan khusus”yang tidak membolehkan mantan napi korupsi mendaftar jadi caleg.

    Apalagi selalu berkumandang, kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga mencegah koruptor masuk untuk melaksanakan fungsi DPR merupakan langkah bijak agar mencegah mereka mengulangi perbuatannya (residivis) yang bisa dijatuhi pidana mati menurut Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2011 tentang Tindak Pidana Korupsi.

    Syarat Internal Parpol

    Secara konstitusi, putusan MK tidak salah yang nantinya akan dikonkretkan dalam UU Pemilu Legislatif untuk tahun 2014.Tapi kekhawatiran rakyat terhadap mantan napi korupsi patut diapresiasi, sebab jika terpilih tentu memiliki kewenangan yang besar.Saat kekuasaan di tangan dalam fungsinya sebagai legislator, yaitu wewenang penganggaran dan pengawasan, sangat mungkin mereka mengulangi perbuatannya.

    Kiranya perlu menyimak pandangan bahwa salah satu sifat buruk kekuasaan adalah cenderung untuk korup. Putusan MK yang “inkonstitusional bersyarat” soal keberadaan mantan napi memang merupakan “jalan tengah”, tetapi syaratnya terlalu mudah dipenuhi.Konsekuensinya, partai politik sebagai pintu bagi caleg harus lebih selektif menjaring caleg yang sesuai dengan harapan rakyat.

    Jangan memaksa rakyat memilih caleg mantan napi korupsi hanya dengan alasan hakhak politik.Paling ideal kalau parpol mengapresiasi putusan MK dengan syarat-syarat yang lebih ketat di partainya, sebab perdebatan menolak atau menerima bekas koruptor tidak lagi pada posisi melanggar atau tidak melanggar HAM. Semuanya bergantung pada parpol bagaimana membuat filter agar calegnya bisa dipilih rakyat.

    Tanggung jawab untuk memfilter bakal caleg ada di tangan partai sebagai manifestasi dari sebuah tanggung jawab besar. Rakyat berharap agar RUU Pemilu Legislatif bisa mengakomodasi aspirasinya, agar ke depan (tidak seperti sekarang) terpilih wakil rakyat yang bisa menjadi sosok anutan dan tuntunan.

    Kita tidak ingin wakil rakyat justru menjadi tontonan memilukan lantaran ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, butuh pemimpin yang mampu memahami kehendak rakyatnya.

  • Lorong Gelap Berantas Korupsi

    Lorong Gelap Berantas Korupsi
    L Murbandono Hs, PEMINAT DAN PENGAMAT PERADABAN,
    TINGGAL DI AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 2 Maret 2012
    SKANDAL menyangkut Nazar, Angie, beberapa petinggi Demokrat, dan seluruh ikutannya hanyalah bagian kecil pengadilan korupsi uang yang nilainya besar yang memproduksi kejahatan lingkar atas. Pesan terpenting skandal itu adalah bagaimana kasus banditisme (kejahatan berdampak luas bagi masyarakat, bangsa, dan negara) bisa menjadi ajang memutar pilihan pasal-pasal hukum dan kilah-kilah politik yang berujung mengaburkan intinya, yakni kejahatan para pelaku kriminal. Skandal itu menjadi lorong gelap bagi peradaban Indonesia.

    Apalagi, publik sejatinya sudah memahami bahwa letak kerumitan soal korupsi di negara kita sebenarnya bukan lagi pada hukum dan politik, sebab mekanismenya selalu bisa dimanipulasi. Kerumitan utama terletak pada moral buruk.  Moral buruk itu bukan hanya pada koruptor tapi juga membelit dua kelompok penjahat. Pertama; penjahat yang kebetulan jadi penegak hukum, baik perseorangan maupun kelembagaan.yang mestinya menindak koruptor. Kedua; banditisme para saksi dan advokat serta ikutannya yang mestinya mendudukkan perkara secara jujur di tempatnya yang benar dan adil.

    Apalagi, manipulasi hukum dan politik itu berlangsung sistemik. Itulah sumber merajalelanya banditisme dalam pemberantasan korupsi. Tiap kasus korupsi menyangkut uang amat banyak selalu ditangkap oknum penegak hukum yang rakus dan oknum politikus yang tamak sebagai proyek bagi-bagi rejeki.
    Akibat logis situasi tersebut: keadilan hukum material formal di ruang pengadilan dan keadilan politik (dalam mekanismenya) di gedung-gedung resmi serasa sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai perkakas memberantas korupsi. Andalan terakhir bagi pemberantasan korupsi hanya tinggal pada keadilan moral aktor-aktor penegak hukum, termasuk dari KPK.

    Dari titik itu pemberantasan korupsi masuk lorong gelap. Sebab, keadilan moral terletak dalam nurani individu. Ia entitas abstrak yang nyaris mustahil dilembagakan. Nyatanya di negara kita terdapat banyak pelembagaannya yang dianggap sebagai acuan moral: agama-agama, kementerian agama, kode-kode etik, adat, tradisi, kesepakatan sosial di dusun, kampung dan di kantor-kantor, serta seribu satu bentuk lainnya.

    Seberapa jauh hasil dan kinerja pelembagaan itu bagi produktivitas-kreativitas-kemuliaan moral individu? Tentu saja  tidak mudah dijawab. Sebab jawabannya yang objektif terletak dalam seluruh sejarah negara kita.

    Jalan Buntu

    Dan, sebagai bagian sejarah negara kita, banyak fakta keadilan sosial sejak era Orba sampai hari ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja di lembaga-lembaga hukum dan politik hampir selalu direcoki manipulasi sehingga menjadi pelindung semua jenis penjahat tingkat atas: koruptor, penjahat perang, pelanggar berat HAM, dan sebagainya. Terhadap para penjahat, para manipulator telah memproduksi begitu banyak impunitas dan lautan vonis amat ringan yang mengacau dan melecehkan nalar sehat. Artinya, di negara kita, masalah moral individu belum selesai, ibarat pungguk merindukan bulan. Itulah  situasi menjangkau yang tidak terjangkau.

    Situasi menjangkau yang tidak terjangkau itulah yang dulu dan kini masih terjadi manakala kita menghadapi para penjahat kelas atas. Sejarah pemberantasan korupsi lingkar atas di negara kita hanyalah sejarah kegagalan menegakkan keadilan yang beradab. Semua kasus besar menyangkut elite Orba sampai elite masa kini yang jumlahnya banyak sekali, nyaris tidak ada satu pun yang melegakan perasaan keadilan publik. 


    Hukum dan politik yang sejatinya menjadi andalan utama tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak berfungsi atau sengaja tidak difungsikan karena kepentingan oportunistik jangka pendek demi kuasa dan uang oleh oknum-oknum elite tertentu. 

    Maka logis jika pemberantasan korupsi serasa menumbuk jalan buntu. Yang kita miliki saat ini hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang lelah. Mengapa korupsi terus terjadi, sementara peraturan, kebijakan, tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi terus diupayakan? Apakah karena strategi antikorupsi pemerintah lemah? Apakah tidak ada komitmen politik? Apakah terhambat sistem koruptif di berbagai lembaga negara? Apakah segala strategi antikorupsi yang ada justru dikondisikan sebagai kamuflase membela koruptor?  


    Sampai kapan situasi menjangkau yang tidak terjangkau itu bakal berakhir? Kita tidak tahu. Apapun, Tuhan memberkati Indonesia. ●
  • Konsep Kerukunan Umat Beragama

    Konsep Kerukunan Umat Beragama
    Zainul Mun’im, ANGGOTA PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM UIN YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 2 Maret 2012
    Sejarah konflik atas nama agama memang bukan baru-baru ini terjadi. Konflik ini telah terjadi beberapa abad sebelum Masehi. Satu sama lain saling ‘memeras’ rasa balas dendam, setelah merasa menang, yang kalahlah bergantian ‘memeras’ dendam sepertinya, terus-menerus silih berganti. Dan, itu sangat sulit untuk dihentikan bila tidak ada konsep yang menengahinya.
    Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan universal yang terdiri dari beberapa agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman suku, ras dan agama itu, oleh karenanya sangat mungkin berpotensi terjadinya konflik di antara masyarakat Indonesia. Termasuk, konflik antarumat beragama.
    Maka dari itu, untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama, sangat dibutuhkan suatu konsep, model ataupun teori yang dapat mengikat umat semua agama. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik atau pelecehan yang kesemuanya ‘berbau’ agama. Berikut ini sebagian dari konsep yang dapat saya jelaskan, Pancasila sebagai dasar ideologi dan falsafah negara merupakan konsep pluralisme yang ideal bagi masyarakat Indonesia. 
    Dalam Pancasila terdapat setidaknya dua panca yang bisa digunakan sebagai konsep pengikat kerukunan antara umat beragama. 
    Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan konsep yang melindungi umat agama di Indonesia, karena konsep ini mengakui adanya kepercayaan satu Tuhan (Monotheisme) dan sekaligus menolak kepercayaan-kepercayaan Atheis (tidak percaya adanya Tuhan).
    Kedua, Persatuan Indonesia, Indonesia sebagai negara dengan beberapa suku dan agama di dalamnya, sangat membutuhkan adanya konsep ini, yaitu Persatuan Indonesia sebagai salah satu dasar negara, berupaya menyadarakan akan pentingnya ‘bhineka tunggal ika’ karena kemajemukan agama, ras dan suku dalam masyarakat ini, harus disatukan dengan sebuah persatuan yaitu kesadaran bahwa masyarakat semuanya adalah rakyat Indonesia.
    Kemajemukan masyarakat Indonesia membuat Indonesia sangat mudah terjadi konflik, baik antara suku ataupun umat beragama sebangsa. Maka dari itu, bila saja masyarakat sadar akan panca ketiga ini, bukan tidak mungkin kerukunan antara umat beragama dapat terlaksanakan. Karena masyarakat akan merasa bahwa semuanya adalah rakyat Indonesia, walaupun berbeda agama sekalipun.
    Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila seakan kehilangan tempat di hati setiap masyarakat Indonesia. Dari sinilah mungkin perlunya kita untuk membumikan Pancasila.
    Laicite adalah konsep sekularisme ala Prancis yang dianggap ideal guna menciptakan kerukunan beragama. konsep ini memisahkan urusan agama dan negara. Dari data yang masyhur, Leicite lahir dari sebuah konflik antara kaum gerejawi dengan kaum nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam politik.
    Dalam Laicite termaktub bahwa negara tidak meyakini dan mendukung keberadaan bentuk agama dan kepercayaan apa pun. Akan tetapi, negara menjamin kebebasan beragama, termasuk segala sesuatu yang ada di dalamnya. Arti singkatnya, negara menjamin kebebasan beragama bukan karena adanya agama tersebut, akan tetapi karena negara tersebut memang seharusnya menjamin dan memelihara kebebasan beragama, sebagaimana yang terdapat pada Laicite atau undang-undang Prancis.
    Selain dua konsep di atas, dewasa ini terdapat beberapa konsep yang diutarakan oleh beberapa ilmuwan yang disebut dengan konsep tri kerukunan.
    Saling Menghargai
    Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa menyebabkan konflik dalam agama tersebut, baik dalam soal pandangan ketuhanan, hukum dan lain sebagainya. Bila dalam satu agama saja dapat terjadi konflik, apalagi dalam hubungan antara agama?
    Konsep ini bisa menjadi sarana untuk upaya kerukunan antar-umat beragama tersebut, konsep ini menawarkan beberapa cara agar tidak saling berselisih. Kita memang berhak mengklaim kebenaran agama yang kita yakini, tapi keyakinan kita tidak boleh menutup kita untuk tetap menghargai orang yang berkeyakinan agamanya paling benar.
    Terjadinya konflik kadang disebabkan salingnya mencurigai antar-umat beragama, dan sikap saling mencurigai terkadang muncul dari jarangnya bersosialisasi antar-umat beragama. konsep ini mengupayakan adanya saling bersosialisasi dengan umat agama yang lainnya. Dengan adanya sosialisasi tersebut maka diharapkan kita akan saling terbuka dalam masalah duniawi.
    Semakin hari, pemeluk agama semakin merasakan bahwa hubungan mesra dengan pemeluk agama yang lain merupakan suatu hal yang mendesak untuk dilakukan. Maka, dialog dan bersosialisasi merupakan suatu unsur penting yang harus ada.
    Pastinya setiap agama tidak ada yang melarang umatnya untuk tetap bersosialisasi dan berkomunikasi dalam urusan duniawi dengan orang-orang di luar agamanya. Mungkin ini merupakan upaya dari agama-agama untuk tetap menjaga kerukunan antara agama.
    Menjadikan konsep-konsep atau teori-teori sebagai satu solusi, merupakan suatu hal efektif, mengingat selamanya ini selalu mencari jalan keluar tanpa terkonsep secara nyata dan rapi. Sesungguhnya semua konsep tersebut mempunyai inti pokok yang sama, yaitu upaya menjadikan masyarakat pengasih dan penyayang, tidak hanya kepada sesama agamanya, akan tetapi juga pada masyarakat yang berlainan keyakinan.
    Dan, kerukunan sejati yang abadi, hanya mungkin dicapai bila setiap umat menjadikan tabiat Allah, yakni pengasih lagi penyayang, sebagai inti ajaran etika agamanya. Itu saja.
  • Kekerasan Bersimbol Agama

    Kekerasan Bersimbol Agama
    Benny Susetyo, ROHANIWAN
    Sumber : SUARA KARYA, 2 Maret 2012
    Akhir-akhir ini, kekerasan yang menggunakan label agama marak mewarnai perjalanan negeri ini. Kekerasan dengan alasan menjaga kemurnian agama dari apa yang disebut sebagai penodaan justru kerapkali mengundang tindak kekerasan.
    Ada masalah serius dalam diri bangsa ini menyangkut maraknya aksi kekerasan bersimbol agama. Kita kehilangan kesadaran dan cita-cita hidup damai. Damai tentu bukan sekedar kata-kata saja. Damai adalah sebuah kondisi di mana masyarakat merasakan rasa aman, sejahtera dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi inilah yang hilang saat ini terutama ketika masyarakat mengalami ketidakpastian atas segala hal.
    Bangsa Indonesia sangat menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Namun di lapangan, hal itu kerap hanyalah merupakan sebuah kebohongan. Begitu mudahnya anarkisme terhadap tempat suci ibadah agama tertentu. Akar masalah dari semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula dari sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya sektarianisme di negeri Pancasila ini. Tetapi, kenyataan di lapangan, justru semangat sektarianisme dan kebencian itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan. Apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran agama? Disebut pendangkalan sebab tidak ada nilai agama mana pun yang mengajarkan kekerasan. Setiap agama mengajarkan hidup damai. Karena itu, ketika terdapat kenyataan penganut agama yang lebih menyukai cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah identitas keagamaannya, dapat dikatakan adanya suatu pendangkalan cara beragama.
    Tanpa disadari, justru realitas ini menimbulkan potensi agama sebagai ruang yang mudah dimanipulasi demi kepentingan politik sesaat. Agama kerap digunakan sebagai instrumen untuk membakar emosi pemeluknya.
    Banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama, misalnya, manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi berlandaskan etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial.
    Pelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Lalu ketika merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di situlah tindakan kekerasan potensial diledakkan.
    Agama direduksi ke dalam pemaknaan yang amat sempit. Dalil agama seolah mengabsahkan perusakan dan pembunuhan, tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian. Pemahaman agama secara miopik dan dangkal seperti ini disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan.
    Pemahaman agama yang terjerembab dalam lubang kegelapan seperti ini memiliki konsekuensi logis, yakni sulitnya orang keluar dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai satu-satunya pembenaran untuk melakukan teror dan kekerasan. Mereka yang sudah berada di dalamnya sulit diajak berkomunikasi.
    Cara berkehidupannya pun sangat eksklusif. Mereka seolah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya tertutup rapat oleh tebalnya ‘keimanan’ dan keyakinan paling benar sendiri di antara lainnya. Karena demikian, maka apa yang ada di dalam otak mereka adalah melakukan pembasmian pada orang-orang di luar yang tidak berpemahaman sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapatkan citra yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat eksklusif dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.
    Cara berpikir sempit seperti ini memudahkan pemeluknya melakukan manipulasi, dan agama rentan disalahgunakan sebagai aspirasi kepentingan politik dan pribadi jangka pendek. Teks agama mudah disalahtafsirkan kepentingannya sendiri untuk memenuhi hasrat kekuasaan tertentu.
    Dalam konteks seperti inilah Meyer menegaskan bahwa agama sangat mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik picik sempit atau hanya sekedar alat pembenaran kekerasan. Padahal, dalam hal kekerasan, tentu saja teks kitab suci harus dilihat sesuai konteksnya, khususnya di masa lampau. Tak disangkal bahwa dalam teks kitab suci sering ditemukan nilai ‘kekerasan’ dan seolah membenarkannya. Tapi, tanpa kacamata pandang progresif masa kini, nilai tersebut justru kontradiktif bila diterapkan begitu saja tanpa tidak diimbangi dengan penafsiran kebutuhan masa kini.
    Penafsiran tekstualitas agama secara sempit cenderung melegalkan seolah kekerasan dibenarkan. Tetapi, tentu saja kita harus melihat konteks sosial budaya pada zaman lalu dalam konteks situasi politik, kebudayaan dan ekonomi. Keadaan masa lalu tentu amat berbeda dengan masa sekarang. Penafsiran teks kitab suci di masa kini justru membantu bagaimana cara beragama kita agar lebih rasional, toleran, peka, terbuka dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh alasan perjuangan keagamaan.
    Dalam situasi itu dapat kita rasakan dewasa ini agama makin kehilangan wajah kemanusiaannya. Pada titik inilah kita sering kehabisan akal untuk memahami rasionalitas tindakan suci yang dijadikan pembenaran dari kekerasan dan pembantaian itu. Yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan secara mendasar agar umat beragama hidup rukun. Agar agama kembali menjadi inspirasi batin berkehidupan dan bukan merupakan aspirasi politik yang penuh aroma busuk kekuasaan.
    Sebagai inspirasi batin, maka agama berusaha membebaskan manusia dari kuasa kegelapan yang destruktif, juga dari kejahatan atas nama kesucian.
  • Pajak UMKM, Haruskah?

    Pajak UMKM, Haruskah?
    Fahmy Radhi, DOSEN PASCASARJANA UGM DAN WAKIL KETUA ISEI YOGYAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 1 Maret 2012
    Kengototan Dirjen Pajak Fuad Rahmany untuk memungut pajak peng hasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari usaha kecil semakin mengindikasikan ketidakberpihakan Pemerintahan SBY-Boediono terhadap pelaku usaha kecil. Pada akhir Februari 2012, pemerintah mulai memajaki usaha kecil dengan menurunkan ambang batas omzet yang tidak kena pajak dari Rp 600 juta menjadi Rp 300 juta per tahun. Omzet Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan PPh dan PPN sebesar dua persen. Omzet Rp 15,8 juta sampai Rp 300 juta per tahun dikenakan PPh 0,5 persen.
    Kalau kebijakan ini dilaksanakan, hampir semua usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk warung tegal, pedagang pasar tradisional, dan pedagang kaki lima wajib membayar PPh dan PPN. Dirjen Pajak berdalih memajaki usaha kecil demi asas keadilan. Padahal, UU No 20/2008 mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengembangkan UMKM agar terwujud struktur usaha yang adil dan berimbang.
    Masih Timpang
    Faktanya, hingga kini proporsi usaha UMKM dengan usaha besar (UB) masih sangat timpang. Data menunjukkan, proporsi UMKM 97,9 persen dan usaha besar 2,1 persen. Namun, kontribusi UB terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 60,3 persen, jauh lebih besar dibanding kontribusi UMKM terhadap PDB yang hanya 39,7 persen. Pengenaan pajak bagi usaha kecil akan semakin memperlebar ketimpangan antara UMKM dan UB dalam struktur perekonomian, yang merupakan pengingkaran pemerintah terhadap amanah UU No 20/2008.
    Kebijakan memajaki usaha kecil semakin mencederai asas keadilan jika dikaitkan dengan kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam mengatasi dampak krisis ekonomi. Meskipun sumbangan UMKM terhadap PDB lebih kecil, tetapi kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja mencapai 94,77 persen, jauh lebih besar ketimbang peran kemampuan UB dalam menyerap tenaga kerja yang hanya 5,33 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.
    UMKM juga telah membuktikan kemampuannya menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. UMKM tidak hanya mampu bertahan di tengah terpaan badai krisis ekonomi, tetapi juga berperan secara signifikan sebagai sabuk pengaman untuk menampung tenaga kerja, limpahan PHK dari UB.
     
    Berdasarkan peran UMKM tersebut, penggunaan alasan asas keadilan bukanlah justifikasi yang tepat untuk memajaki usaha kecil. Tanpa memajaki usaha kecil, pendapatan negara dari pajak akan berlimpah jika Ditjen Pajak punya komitmen mencegah terjadinya korupsi dan manipulasi pajak.
    Kebijakan Blunder
    Di tengah gempuran produk impor murah dari Cina, pengenaan pajak bagi usaha kecil menjadi disinsentif terhadap daya saing produk UMKM di pasar dalam negeri, apalagi di pasar ekspor. Bagaimana mungkin bisa bersaing, kalau UMKM masih harus menanggung biaya ekonomi tinggi dan tingkat suku bunga lebih tinggi dibanding pengusaha Cina, plus tidak ada insentif fiskal sama sekali?
    Tidak mustahil, pengenaan pajak bagi usaha kecil akan menjadi pembunuhan massal terhadap UMKM. Sungguh sangat ironis seandainya terjadi pembunuhan terhadap UMKM, dan salah satu pelakunya adalah Ditjen Pajak. Kalau pembunuhan massal UMKM benar-benar terjadi, tidak bisa dihindari lagi pengangguran dan kemiskinan akan semakin menjadi `bahaya laten’ bagi perekonomian Indonesia.
    Selain itu, di tengah terkuaknya dugaan perampokan besar-besaran dana APBN yang dilakukan oleh persekongkolan bejat antara oknum birokrat, elite partai, dan anggota DPR, kebijakan memajaki usaha kecil justru menjadi kebijakan blunder. Betapa tidak, usaha kecil yang seharusnya dikembangkan sesuai dengan amanah konstitusi, malah diperas membayar pajak untuk membiayai APBN.
    Ketimbang menerapkan ekstensifikasi pajak dengan menyasar usaha kecil, semestinya Ditjen Pajak lebih fokus pada intensifikasi pajak terhadap pengusaha kena pajak terdaftar yang selama ini tingkat kepatuhannya masih sangat rendah. Data Ditjen Pajak menunjukkan, dari sekitar 700 ribu pengusaha kena pajak terdaftar, baru 42 persen atau 290 ribu yang patuh melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPN.
    Data itu menunjukkan, sesungguhnya masih besar potensi PPN yang bisa dipungut negara dari sekitar 410 ribu wajib pajak terdaftar yang selama ini tidak patuh membayar PPN. Semestinya, pemerintah lebih mengintensifkan memungut PPN dari wajib pajak terdaftar yang tidak patuh daripada mengejar usaha kecil untuk membayar PPN.
    Selain dari pengusaha yang tidak patuh membayar PPN, sebenarnya masih ada potensi pajak yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah berasal dari sengketa pajak tak berkesudahan yang melibatkan sejumlah pengusaha besar, baik pengusaha nasional maupun pengusaha asing. Kalau Dirjen Pajak tetap saja ngotot memajaki usaha kecil, kebijakan ini jelas melanggar asas keadilan dan justru akan menjadi blunder bagi perekonomian.  
  • Energi dan Kesejahteraan

    Energi dan Kesejahteraan
    Herman Agustiawan, ANGGOTA DEWAN ENERGI NASIONAL RI
    Sumber : REPUBLIKA, 1 Maret 2012
    Suatu bangsa bisa dikata kan sejahtera, apabila seluruh kebutuhan rakyatnya terutama energi, dapat di penuhi secara mudah dan terjangkau. Hal ini karena jumlah energi yang dikonsumsi bukan hanya mencerminkan tingkat produktivitas, tetapi juga tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Mengapa demikian?
    Disadari atau tidak, sejak pertama kali manusia dilahirkan ke dunia secara otomatis telah mengonsumsi waktu dan ruang (alam semesta). Dua kebutuhan dasar ini telah tersedia secara cumacuma di alam. Kemudian, setelah tumbuh dewasa, manusia dengan kehebatan daya pikirnya mampu menggali dan memanfaatkan berbagai sumber daya alam untuk kelangsungan hidup mereka.
     
    Sebagian besar dari sumber daya tersebut masih memerlukan upaya khusus untuk peningkatan nilai tambah dan sebagian lagi dapat dikonsumsi langsung.
    Untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, setiap orang harus dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, setiap individu akan terus dipacu untuk lebih produktif dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sesuai dengan profesinya. Ini terjadi karena kelangkaan sumber daya alam dan kompetisi antarindividu cenderung meningkat.
    Dalam konteks produktivitas, konsumsi energi per kapita yang memadai sangat krusial. Karena itu, upaya penyediaan energi tidak boleh putus. Dan, jumlah energi yang harus dikonsumsi manusia bergantung pada waktu dan tempat (ruang) di mana mereka berada.
    Ruang dan Waktu
    Setiap orang menginginkan kehidupannya bermakna dan bermanfaat bagi yang lainnya. Untuk menjadi demikian, ia harus lebih produktif dalam pekerjaannya. Untuk menjadi lebih produktif, ia harus mampu memindahkan tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain secara berulang. Dan, saat perpindahan terjadi, di situlah energi diperlukan agar prosesnya menjadi lebih cepat, mudah, dan nyaman.
    Proses perpindahan tersebut harus tunduk pada batasan waktu dan ruang (time and spatial limitation) yang telah menjadi ketentuan Tuhan Yang Mahaesa -tubuh manusia tidak boleh ada di dua tempat pada waktu yang sama; Dan, waktu akan habis atau musnah sesaat setelah digunakan (once the time is used, then iit will be vanished). Waktu akan terus bergulir dan tidak seorang pun kuasa menghentikannya.
    Mengapa tubuh yang harus pindah, bukankah kita bisa ada di banyak lokasi pada saat yang sama via teknologi (misal teleconference)? Pertanyaan itu justru membuktikan bahwa batasan waktu dan ruang di atas memang benar adanya.
    Untuk mengatasinya, manusia produktif telah memanfaatkan teknologi.
    Hasilnya, manusia boleh ada di banyak tempat pada saat yang sama dalam bentuk citra (image). Bahkan, bisa berulang dengan waktu yang beda sekalipun.
    Namun, representasi diri semacam itu bukan fisik dan pemanfaatan teknologi sudah pasti perlu banyak energi. Ini juga salah satu sebab mengapa korelasi antara waktu dan ruang dengan energi yang terkonsumsi menjadi penting dalam mendukung produktivitas seseorang.
    Energi, Pendidikan, dan Kesehatan
    Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin besar pula tingkat konsumsi energi untuk menunjang berbagai aktivitas: membaca di malam hari serta pulang dan pergi, dari dan ke sekolah. Seorang anak yang duduk di bangku SMA memerlukan lebih banyak energi, misal, listrik dan BBM, daripada saat masih SMP , terlebih ketika dia masih SD. Demikian halnya dengan kesehatan, seseorang yang menjaga keseimbangan antara bekerja, pola makan, olahraga, hiburan dan rekreasi, termasuk pengobatan dan perawatan rutin kesehatan, konsumsi energinya relatif lebih besar daripada mereka yang tidak teratur.
    Terlihat bahwa untuk mencapai tingkat pendidikan dan kesehatan tertentu seseorang juga perlu mengonsumsi energi yang memadai. Pendidikan dan kesehatan tidak hanya merupakan syarat agar seseorang menjadi produktif, tetapi juga agar sejahtera. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
    Bila jumlah penduduk saat ini sekitar 240 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,5 persen per tahun, maka setiap tahun lahir 3,6 juta bayi. Pertanyaannya, berapa energi listrik dan BBM diperlukan agar para bayi tetap tumbuh sehat?
    Sebagai ilustrasi, bila kebutuhan listrik sang bayi sekitar 10 kWh per hari atau 3.650 kWh per tahun guna menghidupkan kulkas, memanaskan air/susu, mensterilkan peralatan bayi, dan sebagainya maka untuk 3,6 juta bayi diperlukan 13.140.000 mWh atau 13.140 gWh per tahun. Bila pembangkit berkapasitas 1 MW memasok energi 5 GWh per tahun, maka untuk kebutuhan 13.140 gWh diperlukan kapasitas pembangkit baru 2.628 mW setiap tahunnya.
    Begitu juga dengan BBM, bila untuk program bayi sehat pemerintah menyediakan kuota bensin 10 liter per bulan untuk mondar-mandir ke klinik, RS, dan keperluan lainnya maka untuk 3,6 juta bayi diperlukan 36 juta liter per bulan (432 juta liter) per tahun. Bagaimana dengan bayi yang lahir pada tahun kedua, ketiga, dan seterusnya sampai usia produktif, dan berapa subsidi dari APBN bila daya beli masyarakat masih rendah? Berapa pembangkit listrik, kilang minyak, dan infrastruktur lain yang harus dibangun?
    Betapa kompleksnya pengelolaan energi di negeri ini. Pengelolaan energi nasional yang amat fundamental adalah merealisasikan energy security yang tahan terhadap kerentanan. Oleh sebab itu, cara pandang yang menempatkan energy security sebagai national security sudah saatnya menjadi perilaku bangsa ini.
    Pemenuhan kebutuhan energi puluhan tahun ke depan harus dimulai dari sekarang dan terus-menerus berkesinambungan, terlepas dari `partai’ apa pun yang sedang berkuasa. Keseriusan menjamin pasokan dengan membangun cadangan penyangga yang siap digunakan setiap saat, merupakan kepedulian terhadap kesejahteraan bangsa. Saat ini, rakyat sedang `berkutat’ dengan kebutuhan pokok dan itu bukan berarti pangan saja, tetapi sedikit lebih maju dan cerdas, yaitu energi!
    Pada bangsa yang besar, pemerintah dan parlemennya selalu berpikir dan bertindak besar untuk kepentingan rakyat. Kesejahteraan suatu bangsa hanya akan dicapai jika rakyatnya produktif yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi energi per kapita dan bukan oleh meningkatnya persaingan menjelang pesta demokrasi 2014. ●
  • Kementerian Pertanian Bukan Dinas Sosial

    Kementerian Pertanian Bukan Dinas Sosial
    Mangku Sitepoe, MANTAN KEPALA DINAS PETERNAKAN KARESIDENAN BOJONEGORO
    Sumber : KORAN TEMPO, 1 Maret 2012
    Wakil Presiden Boediono pertengahan Januari lalu mengatakan sektor pertanian stagnan karena belum efektifnya kinerja sektor pertanian dibandingkan anggaran yang dialokasikan pemerintah.
    Dari anggaran Kementerian Pertanian 2012 di APBN yang mencapai Rp 17,8 triliun, sejumlah Rp 8,67 triliun atau 48,7 persen dialokasikan untuk bantuan sosial membantu petani yang terlanda puso. Dalam pandangan saya alokasi seperti itu memicu pertanyaan: apa payung hukumnya?
    Misalkan, kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) pertama ditemukan pada Juni 1983 di Karesidenan Bojonegoro pada sapi yang masuk dalam program bimas sapi atau sapi kredit dari pemerintah.
    Ketika itu semua peternak peserta bimas sapi menandatangani kontrak, yang isinya antara lain semua sapi peserta bimas yang terserang PMK diganti rugi dan dipakai istilah “puso” (mengambil dari bimas padi).
    Puso harus ditetapkan oleh suatu tim dalam bimas sapi yang dipimpin Otoritas Veteriner Karesidenan. Penggantian itu dimaksudkan agar peternak bisa memulai kembali usahanya.
    Dalam kasus flu burung, Menteri Pertanian pada 4 Februari 2004 mendeklarasikan bahwa flu burung pada unggas telah mewabah dengan SK No.96/Kpts/PD.620/2/2004.
    Disebabkan flu burung berstatus wabah maka berlakulah Staatsblad 1912 No 432 tentang campur tangan pemerintah dalam bidang kehewanan, bahwa dalam hal penyakit hewan menular, hewan yang dimusnahkan akan diberi ganti rugi. Dalam kasus flu burung Kementerian Pertanian mengeluarkan dana bantuan darurat.
    Sesudah tahun 2007 sesuai dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 1 Ayat 3 disebutkan wabah penyakit menular (hewan maupun manusia) yang dikategorikan bencana akan mendapat dana bantuan sosial dari Kementerian Pertanian. Itu artinya, bantuan sosial yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian harus memiliki payung hukum.
    Sejauh ini bantuan sosial pada Kementerian Pertanian yang sudah berjalan adalah subsidi pupuk, subsidi bibit dan pembebasan PPN/bea masuk impor pakan ternak. ikan, bibit ternak dan bibit tanaman.
    Diperlukankah bantuan sosial “dana puso” bidang pertanian?
    Menteri Pertanian menyatakan setiap hektare sawah yang puso kena banjir akan diberi santunan Rp 2,6 juta untuk biaya pengolahan dan Rp 1,1 juta untuk biaya pupuk, serta akan berkoordinasi dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
    Harap dicatat, istilah “puso” memberikan multitafsir serta belum ada payung hukum yang dapat dipergunakan untuk membenarkan pemberian bantuan sosial.
    Pasal 61 Ayat 1 dari Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana secara memadai.
    Jadi, jelas itu sama sekali bukan seperti dana yang dianggarkan untuk bantuan sosial oleh Kementerian Pertanian yang mencapai 48,7 persen dari dana APBN sektor pertanian pada 2012.
    Dengan dana hampir 50 persen dari anggaran pertanian di APBN digunakan sebagai bantuan sosial untuk puso akibat banjir dll dan itu payung hukumnya persetujuan oleh Komisi IV DPR. Harap diingat, Kementerian Pertanian berada di bawah Menko Perekonomian, sedangkan bantuan sosial di bawah Menko Kesra.
    Kalau sudah begini, tugas dan fungsi Kementerian Sosial maupun BNPB telah diambil alih oleh Kementerian Pertanian. Seperti dinyatakan Menteri Pertanian: dalam memberikan santunan sumbangan sosial Kementerian Pertanian berkoordinasi dengan BNPB.
    Seperti halnya puso ternak sapi kredit, sapinya masih dimiliki pemerintah belum dimiliki peternak, karena adanya sumbangan sosial berupa penggantian sapi yang terserang penyakit PMK. Demikian pula pemusnahan ayam terserang flu burung bagi peternak yang mengikuti pola kemitraan bantuan sosial Kementerian Pertanian dinikmati para pengusaha pemodal.
    Sementara itu, para petani di beberapa daerah yang dilanda banjir banyak yang tidak memiliki lahan tetapi menyewa sawah, sehingga bantuan sosial bagi petani dinikmati para pengusaha bukan oleh para petani. Atau bagaimana mengaudit kategori puso itu? ●