Author: Adul
-
Tekad Baru Menuju Revitalisasi
Tekad Baru Menuju RevitalisasiYoshihiko Noda, PERDANA MENTERI JEPANGSUMBER : KORAN TEMPO, 16 Maret 2012Tanggal 11 Maret 2011 adalah tanggal peringatan satu tahun bencana gempa dahsyat di wilayah timur Jepang yang terpahat kuat pada hati masyarakat Jepang. Memperingati setahun terjadinya bencana gempa dahsyat yang krisisnya belum pernah dihadapi Jepang sepanjang sejarah itu, dengan segala kerendahan hati saya menyampaikan belasungkawa kepada pihak yang mengalami tragedi bencana gempa ini dan juga kepada semua korban bencana di seluruh dunia yang mengalami bencana alam.Kita tidak dapat melupakan keluarga sahabat dan rekan-rekan yang kita cintai, yang telah menjadi korban bencana gempa. Selain itu, yang tidak akan dilupakan tentunya adalah bantuan besar dan solidaritas yang ditunjukkan, yang diberikan oleh seluruh dunia kepada Jepang. Kami berterima kasih dengan hati yang tulus atas dukungan dari masyarakat internasional.Jepang telah melakukan langkah besar menuju restorasi dan rekonstruksi selama satu tahun ini. Tanggal 11 Maret 2012 merupakan peringatan 1 tahun peristiwa bencana gempa dan hari itu harus dijadikan sebuah kesempatan untuk memperbarui tekad guna mendapatkan pelajaran dari banyaknya kesulitan yang telah kami hadapi. Saat ini, justru pada waktu yang sulit ini, adalah saatnya Jepang harus memulai revitalisasi yang sejati, dan kami sedang menyambut waktu ini.Masalah-masalah yang dihadapi Jepang saat ini adalah masalah yang jauh lebih rumit daripada masalah-masalah yang timbul akibat gempa, tsunami, serta kecelakaan PLTN tahun lalu. Jepang berjuang menuju perwujudan pertumbuhan ekonomi dan rekonstruksi kebijaksanaan fiskal selama beberapa tahun terakhir ini. Namun, dalam perwujudannya, semakin banyak waktu yang dibutuhkan, permasalahannya menjadi semakin serius.Semenjak saya menjabat Perdana Menteri pada September tahun lalu, hal yang terus saya janjikan kepada rakyat Jepang adalah bahwa kami harus merombak politik yang bersifat status quo. Menunda isu utama politik akan berdampak negatif bagi perekonomian rakyat dan masa depan Jepang. Maka, kami tidak bisa mendiamkannya begitu saja.Dengan solidaritas yang kuat, tujuan yang jelas, dan kesadaran akan krisis yang dimunculkan bencana gempa, saya yakin bahwa kami dapat menghadapi masalah mendesak, antara lain rekonstruksi wilayah bencana, penonaktifan PLTN Fukushima Daiichi Tokyo Electric Power Company dan dekontaminasi wilayah setempat, serta menuju revitalisasi perekonomian Jepang.Dalam setahun ini, untuk menuju restorasi dan rekonstruksi bencana gempa dahsyat wilayah timur Jepang, beragam kebijakan strategis diambil, penyediaan anggaran dan pembuatan kerangka hukum telah diselenggarakan. Selain itu, Badan Rekonstruksi, organisasi baru yang dapat menjawab kebutuhan dengan terpadu, sedang menjalankan rencana rekonstruksi dan kegiatan sebagai menara komando, termasuk mengumpulkan dana rekonstruksi dan menetapkan zona khusus untuk rekonstruksi.Kini, kekhawatiran terbesar yang dimiliki oleh sebagian besar rakyat Jepang, termasuk korban bencana, adalah hal-hal yang sangat mendasar. Singkatnya, seperti jaminan tempat bekerja dan kehidupan sehari-hari yang dapat dijalani dengan aman bersama keluarga. Di bawah konsep “rekonstruksi yang terbuka”, kami akan mempromosikan penciptaan lapangan kerja dengan menarik masuk investasi baru dari dalam dan luar negeri ke wilayah bencana dengan menggunakan sistem penerapan wilayah berkebijakan khusus dan penanganan lainnya, serta juga dengan merangsang industri di wilayah bencana dan mempercepat inovasi.“Kota berlingkungan masa depan” yang ditetapkan di seluruh Jepang, termasuk Kota Ofunato dan Kota Rikuzentakata di Prefektur Iwate, yang adalah wilayah bencana, merupakan salah satu di antara penanganan tersebut. Melalui pemberlakuan sistem pajak yang baik dan kebijakan deregulasi, kami akan memberikan mekanisme untuk menangani masyarakat berusia lanjut, serta untuk mendukung pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan, seperti fasilitas pembangkit listrik yang menggunakan energi yang tergantikan dan lain-lain. Jepang memiliki sosok kepemimpinan di mata dunia di bidang penghematan energi dan teknologi inovatif. Justru saat ini, dengan menerapkan pengalaman ini, saya berpendapat bahwa Jepang akan dapat menciptakan model baru pertumbuhan yang berkesinambungan dan berbagi model itu dengan dunia.Selain itu, pengetahuan Jepang yang dapat memimpin dunia dan harus dimiliki bersama adalah penurunan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Alasan bahwa gempa dahsyat kali ini merupakan kejadian yang “di luar perhitungan” sudah tidak berlaku lagi, namun menjadi bentuk pelajaran yang sangat pahit dan berat bagi Jepang. Untuk melahirkan kembali suatu komunitas yang kuat dan mengembangkan negara yang dapat bertahan terhadap bencana alam, dewasa ini seluruh kebijakan terhadap bencana sedang ditinjau dan dilakukan penguatan teknik dasar.Dewasa ini banyak proyek restorasi dan rekonstruksi yang berjalan, dan segala proyek akan menjadi sebuah langkah awal yang penting menuju revitalisasi perekonomian Jepang. Meskipun ada kekhawatiran akan ketidakjelasan arah perekonomian dunia ke depan, ditambah adanya penguatan nilai mata uang yen terhadap dolar AS, serta deflasi yang memanjang waktunya, perekonomian Jepang pasti akan kembali meraih kekuatan pertumbuhannya.Kami perlu memanfaatkan kekuatan perekonomian Jepang yang unik dan mengumpulkan kebijaksanaan dengan bekerja sama dengan mitra internasional secara terbuka, sehingga kami dapat membuka bidang baru bagi pertumbuhan. Bahkan bidang pertanian, energi, lingkungan, dan kesehatan memiliki potensi besar untuk bertumbuh di bidang industri yang akan memimpin Jepang. Dan dengan inovasi dan investasi yang dipimpin oleh pihak swasta, termasuk investasi langsung dari luar negeri, saya berpendapat bahwa Jepang akan dapat memainkan peranan penting di pasar dunia.Jepang yang luluh-lantak terbakar karena Perang Dunia II berhasil meraih perkembangan ekonominya yang cepat; dan di tengah upayanya mengatasi oil shock telah mampu menciptakan perekonomian dengan energi efisiensi tertinggi di dunia. Menyambut setahun bencana gempa dahsyat, Jepang kembali bergulat dengan proyek besar, yaitu membangun negaranya kembali. Namun, kali ini, kami tidak hanya akan mengembalikan kondisinya menjadi seperti semula. Kami bertujuan membangun Jepang yang baru. Suatu tantangan yang sangat besar dalam sejarah. Kami, orang Jepang, pasti akan dapat mencapainya. ● -
Dapatkah RUU Pemilu Mencapai Sasarannya?
Dapatkah RUU Pemilu Mencapai Sasarannya?Poltak Partogi Nainggolan, Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman, Kepala Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPRSUMBER : SINAR HARAPAN, 16 Maret 2012Menilai sejauh mana sebuah RUU dapat mencapai tujuannya sudah dapat dilakukan sejak dini dengan melihat Naskah Akademik (NA)-nya. Mengapa demikian? Ini karena NA telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RUU yang kelak menjadi UU.Tanpa NA, sebuah RUU pun tidak boleh diajukan, apalagi dibahas. Ketentuan ini diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru diloloskan akhir tahun lalu. Ketentuan itu dibuat untuk memperbaiki kualitas UU yang dibentuk.Dalam NA RUU Pemilu, sejak awal sudah dapat dinilai, betapa alasan amendemen disiapkan terburu-buru. Selain dijumpai beberapa salah tulis, tidak hanya untuk istilah asing, tetapi juga bahasa Indonesia.Karena ia dinamakan NA, yang keberadaannya diatur UU, maka kesalahan atau keteledoran dalam penyusunan tidak boleh dibenarkan. Karena itu, NA harus dipersiapkan cermat, apalagi dalam penggunaan data empiris dan penyebutan sumbernya.Sebagai sebuah pendekatan akademis, NA RUU Pemilu tidak memadai. Kemampuan memahami masalah si penyusunnya terhadap sumber-sumber studi tampak terbatas. Misalnya, untuk penjelasan atas persyaratan konsolidasi demokratis dari Juan Linz dan Alfred Stepan, serta Larry Diamond, yang menggunakan sumber sekunder.Sementara buku Linz dan Stepan (1986, 1996, Problems of Democratic Transition and Consolidation, Baltimore: Johns Hopkins University Press) dan Diamond (1999, Developing Democracy: Toward Consolidation, Johns Hopkins University Press), tidak dipelajari dan dikutip langsung.Data dan studi komparatif pun tidak ada. Padahal ini diperlukan untuk menyajikan pilihan kebijakan sebelum merekomendasikan kebijakan dalam RUU amendemen ini.Anehnya, penyusun NA ini, seperti tampak dalam bagian “Maksud dan Tujuan,” begitu yakin bahwa dengan adanya RUU amendemen ini, transisi demokratis Indonesia dapat segera diakhiri, dan tahap konsolidasi tercapai pasca-pemilu 2014.Problem PresidensialismeDengan NA seperti ini, masalah konsolidasi direduksi dengan upaya menerapkan pemilu sistem proporsional terbuka atau tertutup, menciptakan 3-6 atau 3-8 kursi parlemen per dapil, dan menetapkan ambang batas parlemen 3-5 persen.Padahal, para pemikir politik di negeri demokrasi maju pun sudah mengalami kebuntuan untuk bisa menjawab mengapa beberapa negara gagal mengakhiri transisi. Dengan sendirinya “demokratisasi gelombang keempat” tidak menjamin konsolidasi, tetapi dapat berakhir ke kekacauan dan terciptanya negara gagal.Secara kritis, seharusnya diketahui hambatan konsolidasi demokratis terletak tidak hanya di persoalan pemilu, namun juga pada pilihan sistem pemerintahan dan kepartaian, yang dapat menghasilkan sistem politik yang tidak jelas antara presidensial dan parlementer.Singkatnya, kombinasi sistem presidensial dengan sistem banyak partailah yang menjadi persoalan klasik, karena gagal menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat, dan stabil, yang dapat mengantar pada konsolidasi. Debat akademis yang bermula dari pengalaman empiris negara demokrasi baru yang muncul lebih 2 dasawarsa ini, belum selesai.Tahun 1990, Linz dalam Debatte ueber presidentialismus und parlamentarismus telah memulai debat kritis soal pilihan presidensialisme atau parlementarisme. Linz bersama Valenzuela (1991) kemudian melihat kaitan sistem presidensialisme dan demokrasi mayoritas yang menjadi penyebab kegagalan demokrasi presidensial.Jadi, sejak lama para teoritisi politik, demokrasi, dan perubahan sosial telah melihat sistem presidensialisme tidak cocok diterapkan dengan sistem banyak partai. Karena itu, upaya memperbaiki sistem pemilu bukanlah solusi tunggal yang ampuh mengatasi stagnasi demokrasi.Carothers (2002) juga telah mengingatkan bahwa sukses demokratisasi tergantung pada tujuan dan kepentingan dan perilaku para elite politik. Sementara warisan dan kondisi ekonomis, sosial, dan kelembagaan tidak berpengaruh signifikan.Perkawinan praktik sistem presidensialisme dan parlementarisme yang diterapkan Indonesia telah membawa negeri ini ke wilayah abu-abu (Merkel, 2004), menuju negara gagal, akibat kompleksitas masalah yang muncul.Parlemen (DPR) telah muncul sebagai “superbodi” yang sangat asertif (Feoly, 2001). Ketidakberdayaan pemerintah diperparah pembusukan politik akibat KKN yang tidak dibasmi konsisten pasca-pergantian rezim 1998.Sebagai “superbody”, parlemen menghambat kerja pemerintah, sebab presiden hanya didukung kekuatan terbatas di parlemen. Apalagi, jika presiden terpilih kepemimpinannya lemah, walaupun ia telah menang mutlak dalam pilpres.Berbeda dengan di Indonesia, di AS, kehadiran dua jenis pemilu yang berbeda, yakni pileg dan pilpres, tidak menimbulkan kompleksitas tinggi bagi sistem presidensialisme, sebab ia tidak menganut sistem banyak partai.Ukuran demokratisasi sukses dijalankan, tidak lagi cukup dengan terpenuhinya prosedur minimum, seperti pemilu yang jujur, kompetisi elite yang bebas, dan eksisnya masyarakat sipil dan penegakan hukum, seperti dikatakan Dahl (1971).Ia harus diperluas dengan upaya memperbaiki hubungan konstituen dengan wakilnya, terutama proses artikulasi dan perjuangan kepentingan mereka pascapemilu. Jadi, demokrasi tidak sekadar prosedural, tetapi juga substansial.Permasalahan pokok terletak pada sistem presidensialisme yang diterapkan dengan struktur politik banyak partai. Sistem ini tidak signifikan menghasilkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dan demokratisasi yang lebih baik.Ia menciptakan kontestasi antara institusi presiden dan parlemen, karena legitimasi yang berbeda dan ganda (Mainwaring dan Soberg, 1997).Kombinasi sistem ini menghasilkan presiden minoritas dan pemerintahan yang terbelah, karena sulit memperoleh dukungan partai-partai lain di parlemen dan bergantung pada koalisi yang rapuh (kasus Setgab). Akibat sistem ini muncul konflik berkelanjutan antara presiden dan parlemen, yang menciptakan demokrasi yang tidak stabil (Linz dan Valenzuela, 1994).Politikus MengambangBelajar dari pengalaman Amerika Latin, para pengamat transisi telah melihat kombinasi sistem presidensialisme dengan banyak partai menciptakan banyak politikus mengambang (Canaghan, 1994), tidak hanya massa mengambang seperti masa Orba.Secara empiris, kebanyakan negara demokratis baru di Amerika Latin pada Gelombang Kedua telah memilih sistem presidensial, sehingga militer mudah memanfaatkan situasi untuk menjaga kepentingannya lamanya.Legitimasi demokratis yang ganda telah menyebabkan kegagalan demokrasi presidensial di Amerika Latin. Presiden terputus hubungannya dari institusi legislatif, sedangkan peran institusi legislatif independen dari presiden.Sistem ini juga memiliki kelemahan mengikuti ketentuan zero sum game: pemenang meraih semuanya, yang kalah kehilangan semuanya.Sementara absennya mekanisme konflik yang jelas dalam peraturan pemilu akan menimbulkan “implikasi mayoritarian”, yang menyebabkan 60 persen warga tanpa perwakilan politik! ● -
Menyoal Moratorium Haji
Menyoal Moratorium HajiMuhammad Bagus Irawan, PENELITI KAJIAN SOSIAL KEAGAMAANIDEA STUDIES, IAIN WALISONGOSUMBER : SUARA KARYA, 16 Maret 2012Ihwal pelaksanaan ibadah haji di Indonesia selalu menjadi perbincangan alot. Ini terkait dengan usulan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqodas kepada Kementerian Agama (Kemenag) agar menunda/menutup sementara (moratorium) pendaftaran jamaah haji.Sebabnya, dari tahun ke tahun, minat dan jumlah masyarakat Indonesia untuk menunaikan rukun Islam kelima itu semakin membeludak; sementara kuota calon haji (calhaj) dari Kemenag relatif sama setiap tahun dan tidak ada penambahan signifikan. Sehingga, antrean calhaj pun makin panjang, bahkan antrean bisa mencapai 10-12 tahun.Usulan moratorium ini dianggap langkah preventif yang bijak, meskipun menyulut pro dan kontra. Wakil Ketua KPK memandang bila pengelolaan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), terutama terkait biaya pendaftaran awal sebesar Rp 25 juta per calhaj, belum diselenggarakan dengan profesional, akuntabilitas dan transparan, hal ini sangat rawan penyelewengan. Apalagi, calhaj sendiri tidak pernah mendapat informasi yang jelas mengenai dana dan bunga BPIH yang sudah disetorkan. Bila kasus-kasus macam ini terus dibiarkan diduga rawan kebocoran dan mudah dikorup.Dalam catatan KPK, dana BPIH mencapai Rp 38 triliun dan bunganya Rp 1,7 triliun. Adapun jumlah pendaftar calon haji hingga Februari 2012 membengkak menjadi 1,4 juta orang dengan setoran awal Rp 32 triliun.Namun, usulan moratorium itu pun ditolak oleh Menteri Agama Suryadharma Ali, karena dinilai sama saja dengan mencegah masyarakat menunaikan ibadah haji. Senada dikemukakan oleh anggota Komisi VIII DPR RI Hasrul Azwar yang menilai KPK terlalu berlebihan. (Pelita 23/2/12) Jika KPK menengarai rawan penyelewengan, alangkah baiknya KPK melakukan pengawasan dan audit terhadap dana BPIH.Bahkan mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi juga menyatakan KPK sudah keluar dari kapasitasnya, mengingat kebijakan penyelenggara negara seharusnya diukur dari dampak yang ditimbulkan terhadap rakyat, bukan dari asumsi-asumsi. Selain itu, tugas dan fungsi KPK bukanlah dalam mengkaji konsepsi dan aturan, namun menyelidik ekses serta penyelewengan dari sebuah aturan, yakni korupsi. Jikalau ada usulan moratorium haji, semestinya usul itu berasal dari masyarakat atau DPR. (Antaranews, 28/2/12).Bila ditelaah lagi, usulan moratorium ini memiliki banyak urgensi.Pertama, jika dilaksanakan akan meminimalisasi tumbuh suburnya lahan korupsi. KPK dalam hal ini mengingatkan kepada Kemenag agar lebih berhati-hati mengelola dana yang dititipkan umat. Risikonya jelas, bila ada oknum Kemenag yang terbukti menyeleweng, harus siap menanggung dosa dan hukuman dunia dan akhirat.Kedua, para calhaj yang sudah mendaftar, secara psikologis bisa merasa lebih tenang dan tinggal menunggu informasi dana dan kepastian waktu keberangkatan. Ini mengingat selama ini para calhaj yang sudah mendaftar bisa dikatakan dalam situasi tidak menentu dan terombang-ambing.Ketiga, tentunya moratorium pendaftaran haji bukanlah upaya menyetop masyarakat yang belum mendaftar untuk menunaikan jamaah haji. Namun, alangkah baiknya apabila dana yang sudah dikumpulkan rakyat itu ditabung sendiri, dikelola untuk perniagaan yang akan menguntungkan, atau digunakan untuk membantu yang lain ketimbang dana itu disetor ke Kemenag dan tidak ada kejelasan.Keempat, Kemenag harus bertanggung jawab dengan amanat dana yang sudah dihimpunnya, agar nantinya bisa dilaksanakan pemberangkatan haji yang laik dan tidak kacau lagi. Kemenag harus segera membenahi segala kelemahannya dalam prosesi dan pelayanan pemberangkatan calon jamaah haji Indonesia, supaya tidak ada jamaah yang kecewa dan menjadi korban lagi.Kelima, tentunya KPK sebagai pihak pengusul tidak berhenti di situ saja, tetapi menjalankan fungsi utamanya mengaudit dan menjaring para koruptor yang selalu memanfaatkan peluang untuk korupsi.Terakhir, adanya usulan moratorium pendaftaran haji dari KPK kepada Kemenag menjadi bukti keharmonisan antar-institusi untuk selalu mengingatkan dan menjalankan tugas terbaiknya bagi terwujudnya kesejahteraan dan ketentraman rakyat. Bagaimanapun, terkait sistem dan asumsi apa pun, rakyat mengharapkan keputusan yang terbaik.Bagi Kemenag, terlepas dari polemik yang terjadi itu, sejatinya usulan moratorium dipandang sebagai teguran yang harus menjadi perhatian. Secepatnya Kemenag melakukan pembenahan sistem dan manajemen haji, dengan akuntabilitas, dan transparansi yang tinggi. Sudah saatnya Kemenag menata diri, memberikan akses informasi yang jelas kepada para calhaj, untuk apa saja dana BPIH tersebut.Selain itu, adanya moratorium ini juga merupakan langkah preventif, mengingat hasil audit tahunan Indonesian Coruption Watch (ICW) yang menempatan Kemenag dalam lumbung institusi yang paling rawan korupsi.Selama ini, Kemenag juga menuai pandangan miring terkait sistem pelaksanaan ibadah haji. Bukan rahasia umum lagi, apabila dari tahun ke tahun, pelaksanaan ibadah haji tidak beres dan semrawut dan persoalannya selalu sama membuat pemerintah dinilai tidak mampu membenahinya. Bahkan Komisi VIII DPR RI sebagai pengawas pelaksanaan haji sesuai UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan haji tahun 2011 kacau balau. (Pelita, 5/12/11) Kondisi itu bila dibiarkan dapat menghambat kemabruran haji yang dilaksanakan.Jadi, sebaiknya Kemenag sebagai penyelenggara haji memperbaiki kinerja dan pelayanan pelaksanaan ibadah haji, melakukan instrospeksi dan tidak mencari kambing hitam atau melempar kesalahan. Bagaimanapun, banyak jamaah haji yang merasa tidak puas dan kecewa terhadap Kemenag. Ini perlu mendapatkan perhatian secara seksama. Wallahu a’lam bis showab. ● -
Memacu Mobil Listrik Nasional
Memacu Mobil Listrik NasionalRudiono, DOSEN TECHNOPRENEURSHIP; KONSULTAN HKI;ALUMNUS S-1, S-2, DAN S-3 UNIVERSITAS IBARAKI, HITACHI, JEPANGSUMBER : JAWA POS, 16 Maret 2012DI tengah hiruk pikuk kenaikan BBM, muncul ide segar, yakni pengembangan mobil listrik nasional (molinas) dari Kementerian BUMN. Gagasan itu mudah-mudahan menjawab multimasalah yang sedang berkembang. Terutama, masalah penghematan pemakaian BBM, khususnya di bidang transportasi, dan solusi untuk optimalisasi energi listrik produksi PLN yang masih terbuang. Mobil listrik juga membantu mengurangi polusi udara dan gas CO2, yang ditargetkan pemerintah Indonesia turun 26-41 persen pada 2020.Mudah-mudahan gagasan itu menjawab kerinduan rakyat Indonesia, khususnya warga Esemka Solo, untuk memiliki mobil nasional yang didukung penuh Kementerian BUMN.
Mobil listrik atau electric vehicle (EV) adalah alat transpor yang digerakkan motor berenergi listrik dari baterai. Itu bukan teknologi baru. EV awalnya dikembangkan dan terkenal pada akhir abad 19. Tetapi, kemudian EV tenggelam setelah produksi masal mobil murah ber-BBM (mass production cheaper gasoline car) berkembang pesat.
Saat krisis energi (1970-1980) terjadi, EV mulai dilirik lagi. Lalu, memasuki 2000, mobil listrik mulai dikembangkan secara intensif untuk dikomersialkan. Alasan utamanya, energi fosil semakin langka, harga minyak meroket, serta perhatian terhadap masalah lingkungan atau go green concern meningkat. Mobil listrik diharapkan dapat mengurangi emisi gas CO2, salah satu gas rumah kaca penyebab kerusakan lapisan ozon dan fenomena pemanasan global.
Contoh mobil listrik yang ada di pasar saat ini adalah Tesla Roadster, REVAi, Mitsubishi-iMiEV, Nissan-Leaf, Smart-ED, dan BYD. Leaf dan iMiEV diberitakan terjual sebanyak 20.000 unit. Lumayan banyak. Mobil listrik juga disebut memiliki high performance yang tidak kalah jika dibandingkan dengan gasoline car (GC), seperti top speed (kecepatan puncak) mencapai 370 kilometer (km) per jam, akselerasi maksimum 0,68 G, jarak tempuh sekali charge300 km, dan lama waktu charge 30 menit. Sedangkan keunggulan EV jika dibandingkan dengan GC, EV adalah green car (rendah polusi) yang sangat efisien dan energinya murah (seperempat GC). Itu membuktikan bahwa mobil listrik layak dikembangkan secara komersial.
Banyak negara sangat concern akan pengembangan mobil listrik. Belanda, misalnya, mencanangkan 10.000 EV pada 2015. Untuk mendorong penduduknya membeli EV, Belanda menyediakan infrastruktur mobil listrik. Amerika Serikat adalah yang paling getol. Negeri Abang Sam itu menawarkan pemotongan pajak dan insentif kepada setiap penduduk pemakai EV. Negara-negara anggota UE, termasuk Inggris, tidak mau kalah. Negeri itu mengobral grant sebesar GBP 5.000 bagi setiap pembeli mobil listrik. Di Asia, Jepang adalah leading countrydi bidang EV. Negeri Sakura pencetus Kyoto Protocol tersebut menargetkan penetrasi pasar mobil listrik mencapai 35 persen pada 2020. Tiongkok dan India juga antusias
Peluang Besar Indonesia
Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, dengan pendapatan per kapita USD 3.500, dengan total penjualan mobil 800 ribu unit per tahun dan sepeda motor 8 juta unit per tahun, merupakan potensi pasar EV yang sangat besar. Jika 10 persen dikonversi ke EV, Indonesia berpotensi menyerap 80 ribu mobil dan 800 ribu sepeda motor EV. Wow, itu potensi bisnis luar biasa.
Belajar dari pengalaman Tiongkok dan India, saat ini waktunya bagi Indonesia melirik mobil listrik, menguasai dan mengembangkan teknologi EV, serta mendirikan perusahaan molinas. Untuk tujuan itu, tiga elemen penting, yaitu pemerintah, universitas, dan industri, perlu duduk bersama dan ikut serta. Pemerintah yang berperan sebagai regulator, fasilitator, sekaligus moderator sangat diharapkan menjadi komando dan terus berperan aktif sampai program tersebut berhasil. Figur kepemimpinan sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, industri diharapkan menjadi sumber dana dan sumber input market nice untuk pengembangan produk EV. Industri akan menjadi pelopor mass production sekaligus ujung tombak pemasaran dan edukasi pasar di market place. Elemen berikutnya; universitas; diharapkan menjadi think tank technology EV; research center and development; serta lembaga edukasi, engineering, dan training. Kerja sama baik semua elemen akan menjadi barometer dan kunci keberhasilan program molinas.
Di awal program, sebaiknya fokus pada penguasaan teknologi EV dan pengembangan mobil listrik tepat guna untuk pasar dan lingkungan Indonesia. Mobil listrik sekarang -meskipun hasil pengembangan negara maju dan memiliki high performance- belum tentu tepat memenuhi kebutuhan pasar nasional. Karena Indonesia adalah negara berkarakter khusus, beriklim tropis dengan hujan lebat, panas terik, dan banjir serta jalan bergelombang, dibutuhkan mobil listrik hasil pengembangan tepat guna tepat sasaran.
Dalam pengembangan molinas, sebaiknya sejak dini dititikberatkan penguasaan hak kekayaan intelektual (HKI), baik berupa paten, desain, merek, cipta, dan sebagainya. Para ilmuwan dan peneliti dari institusi pemerintah, universitas, serta bagian research and development perusahaan wajib diorientasikan dan dipacu untuk pendaftaran HKI.
Secara paralel, sangat diharapkan dukungan pemerintah, khususnya dari Ditjen HKI Kemenkum HAM untuk membantu percepatan proses perlindungan HKI. Khususnya saat proses pemeriksaan substantif untuk paten/desain atau HKI lainnya, orisinalitas, kebaruan, dan inventive step (syarat pemberian HKI) sekecil apa pun, seyogianya diperhitungkan dan diupayakan penerbitan HKI bagi-anak-bangsa.
Pada 2020 mobil listrik diproyeksikan mengonversi pasar mobil bensin. Jepang, AS, UE, Tiongkok, dan India akan berlomba-lomba membidik pasar mobil listrik dunia, termasuk pasar Indonesia. Gelombang ekonomi global akan memaksa Indonesia membuka pasar nasional bagi produk EV asing. Kita tak perlu khawatir selama HKI yang berhubungan dengan teknologi EV dan produk mobil listrik tepat guna kita kuasai, kita kembangkan, serta kita produksi sendiri. Ayo, kita mulai. ●
-
Persoalan Dasar UU Keamanan Nasional
Persoalan Dasar UU Keamanan NasionalMuhadjir Effendy, REKTOR UNIV. MUHAMMADIYAH MALANG,MENULIS DISERTASI TENTANG MILITERSUMBER : JAWA POS, 16 Maret 2012ADA persoalan terminologis mendasar yang perlu disepakati dalam rancangan undang-undang keamanan nasional (RUU Kamnas) yang kini digodok. Termasuk terminologi mengenai apa itu “keamanan”. Hal tersebut pernah dilontarkan Dr Riefki Muna dari LIPI pada sebuah diskusi dalam rangka sosialisasi RUU Kamnas yang digelar Kementerian Pertahanan.Adapun Wakil Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (pur) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, UU Kamnas akan diposisikan sebagai “payung” bagi undang-undang yang terkait dengan masalah keamanan nasional. Konsekuensinya, undang-undang yang sekarang sudah ada mungkin perlu penyesuaian terhadap semangat dan substansi UU Kamnas, serta perlu sinkronisasi antarundang-undang yang ada di bawah payung UU Kamnas tersebut.
Maksud tulisan ini adalah ikut memberikan masukan terhadap dua persoalan di atas.
Pakar militer, Samuel P. Huntington (dalam buku Soldier and the State) membuat tiga kategori keamanan, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional. Untuk keamanan militer, dilihat dari istilah yang dikenakan saja sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah fungsi keamanan yang diperankan militer. Di sini Huntington menekankan pada tugas dan tanggung jawab militer sebagai kekuatan bersenjata yang bersifat eksternal kendati ia juga memasukkan internal, yaitu insurgensi (pemberontakan, Red) dan kejahatan bersenjata di dalamnya.
Konseptualisasi ini mengacu pada karakteristik militer negara maju pasca-Perang Dunia II yang kekuatan militernya memiliki sejarah dan tradisi menjadi bagian dari negara penjajah. Karena itu, sangat kuat orientasi eksternal dan karakter invasionisnya. Doktrin pertahanannya bukan melindungi dan mempertahankan wilayah negara, tetapi lebih diarahkan kepada melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan.
Pada pasca-Perang Dunia II, seiring perubahan bentuk dari imperialisme menjadi kapitalisme, doktrin melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan berubah menjadi melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan negara di luar negeri, termasuk kepentingan ekonominya.
Kerangka teoretik di atas akan kurang berhasil apabila digunakan untuk menjelaskan kedudukan militer dan keamanan nasional di negara berkembang yang dari kesejarahan sangat kontras dengan sejarah militer negara maju (penjajah). Militer negara berkembang justru lahir dari kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Implikasinya, militer negara berkembang, baik postur maupun doktrinnya, cenderung sebagai tentara rumahan (home defence army), yang berorientasi internal. Pandangan tersebut sesuai dengan tesis Anthony Giddens: bahwa keberadaan militer di negara-negara yang tidak pernah menjadi penjajah (negara pra-modern) umumnya lebih memiliki fungsi internal, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menciptakan tertib sosial.
Dalam hal penciptaan keamanan nasional (national security), ketiga kategori keamanan tersebut di atas, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional, tidak boleh ditempatkan dalam posisi sejajar dan linier. Dalam arti ketiga-tiganya seolah secara sendiri-sendiri memberikan kontribusi kepada terwujudnya suatu keamanan nasional. Pandangan yang benar adalah ketiga-tiganya harus berjalin-berkelindan dan saling menentukan. Ketiga-tiganya tidak secara sendiri-sendiri dalam mewujudkan keamanan nasional, melainkan saling memperkuat dan menentukan.
Ada tiga fungsi yang masing-masing “memproduksi” keamanan, yaitu fungsi pertahanan-keamanan, ketertiban-keamanan, dan stabilitas-keamanan. Peran utama fungsi pertahanan adalah militer, peran utama fungsi ketertiban adalah polisi (dan aparat penegak hukum yang lain), sedangkan fungsi stabilitas dilakukan aktor-aktor lain di masyarakat yang meliputi para politisi, pelaku ekonomi, golongan profesional, para pemuka agama, dan sebagainya.
Jadi, apabila UU Kamnas nanti dimaksudkan sebagai payung, akan sangat banyak undang-undang yang harus disesuaikan dan disinkronkan. Apabila fungsi sebagai payung itu bisa dilakukan secara terpadu dan sistemik, dengan sendirinya UU Kamnas akan menjadi landasan bagi pembangunan sistem pertahanan dalam arti yang luas, atau sistem pertahanan semesta (total defence system).
Sekadar perbandingan, negara Singapura telah memberlakukan doktrin keamanan nasional yang didasarkan pada sistem pertahanan semesta pada 1984 (Derek Da Cuncha: Sociological Aspect of the Singapore Armed Forces). Di Singapura konsep pertahanan juga diberi arti yang luas, meliputi lima aspek. Pertahanan militer (military defense) adalah hanya sebagai salah satunya. Empat aspek yang lain adalah pertahanan psikologi (psychological defense), pertahanan ekonomi (economic defense), pertahanan sosial (social defense), dan pertahanan sipil (civil defense). ●
-
Berdoa untuk SBY
Berdoa untuk SBYTaufik Ikram Jamil, SASTRAWANSUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012Ajakan Abdul Wahab agar saya ikut berdoa untuk Presiden SBY cukup menyentak perasaan.Apakah sahabat saya—yang tinggal di kampung nun di perbatasan Indonesia-Malaysia- Singapura sana—itu merasa bahwa SBY begitu memprihatinkan? Atau, mungkin, ajakan tersebut tanpa dilatarbelakangi pertanyaan semacam itu sebab doa sebenarnya patut diajukan dalam semua keadaan. Hanya perasaan saya saja yang, seperti kebanyakan orang, masih salah kaprah terhadap doa: menganggapnya hanya berkaitan dengan kecemasan atau sejenisnya.Cuma, kebetulan sekali, sebelum ajakan itu disampaikan, kami memang bertukar kesan tentang keadaan politik di dalam negeri melalui pesan pendek di jalur telepon seluler. Sosok SBY tentulah jadi muara pembicaraan karena ia adalah pendiri sekaligus pembina Partai Demokrat (PD) yang mengusungnya menjadi presiden. Justru PD saat ini menghadapi begitu banyak masalah, yang mau tak mau membawa nama pemerintah karena posisinya saat ini.Sekadar mengingatkan, bukankah masalah oknum PD tidak saja berhubungan dengan rakyat secara langsung, seperti dugaan sejumlah kasus suap ataupun korupsi, tetapi juga berkaitan dengan antaroknum PD. Hal terakhir ini, misalnya, terlihat dari pengungkapan permainan uang dalam kongres PD tahun 2010.Wajah PD dan dampaknya di tengah masyarakat itu bertumpang tindih dengan masalah sosial dan ekonomi. Masalah sosial, misalnya, diperlihatkan melalui penyebaran video mesum yang dilakukan, mulai dari siswa sampai artis hingga pejabat, juga masih terbukanya akses sekitar tiga juta situs porno. Belum lagi ihwal indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada level 124 di antara 187 negara.Pasal ekonomi cukup dikatakan tentang angka kemiskinan Indonesia yang bertambah jadi hampir 40 juta jiwa berdasarkan perhitungan internasional, yakni nilai pengeluaran Rp 7.800 per kapita per hari. Sementara penghasilan 40 orang terkaya setara dengan pendapatan 60 juta jiwa paling miskin dalam produk domestik bruto negeri ini.Semua kondisi di atas diperkirakan makin memburuk. Dalam tubuh PD saja, misalnya, pengelompokan di antara sesama mereka tak terhindarkan. Nama Anas Urbaningrum, sang ketua umum, semakin terpuruk. Seruan agar ia mengundurkan diri dari jabatannya semakin menggaung dengan alasan disebut-sebut dalam sejumlah kasus hukum dan etika berpolitik.Di sisi lain, angka kemiskinan diperkirakan akan muncul sehubungan dengan kenaikan harga BBM per 1 April. Harga berbagai kebutuhan akan melambung, sementara penghasilan belum dapat naik seketika. Contohnya, upah pekerja di Bekasi yang baru disepakati bulan lalu sekitar Rp 1,5 juta apakah kemungkinan dinaikkan lagi ketika dampak kenaikan harga BBM terjadi?Paling TerpukulOrang yang paling terpukul melihat kondisi-kondisi di atas, seharusnya, tentulah SBY. Dengan hanya melihat makna kata ”pendiri sekaligus pembina” yang melekat pada SBY, tentulah dapat disimpulkan bahwa penampilan orang-orang PD merupakan bagian dari pekerjaan pembina. Sayangnya, penampilan kader PD banyak yang tak elok, antara lain tersangkut masalah hukum. Alhasil, munculnya sikap mempertanyakan hasil pembinaan sekaligus sosok pembinanya, bukankah itu terasa jadi amat wajar?Seperti Wahab, saya juga berpendapat bahwa siapa pun orang yang berada pada posisi SBY, segala persoalan di atas tidak mudah ditangani. Tak ada yang tahu persis tentang pemikiran serta kesimpulan SBY terhadap kondisi bangsa terkini, kecuali dirinya sendiri dan Tuhan YME.Sehubungan dengan hal itulah, berdoa untuk SBY menjadi suatu kemestian agar ia tak salah menyimpulkan sehingga tidak keliru pula mengambil tindakan. Sebab, jika salah dalam bertindak akan berdampak luas bagi negara. Bukan mustahil kalau kondisi sosial, ekonomi, dan politik memburuk akan berakumulasi, lalu meledak jadi huru-hara.Akan mahal sekali taruhannya jika hal terakhir itu sampai terjadi. Untuk mencapai status investment grade saja, Indonesia memerlukan waktu 14 tahun. Kalau akibat kerusuhan sosial sampai tergulingnya pemerintah terjadi lagi seperti tahun 1998, setidaknya diperlukan lebih panjang waktu untuk mencapai tingkat investment grade.Memang, seharusnya doa dipanjatkan bukan dalam kondisi tak sedap saja, tetapi pada setiap awal melangkah. Semua agama sangat menghargai kebiasaan doa. Sementara semua doa akan dikabulkan kalau dilakukan dengan tulus: hanya mengharapkan keridaan dari Allah.Dengan kesadaran ini pulalah, tak usah berpikir panjang lagi untuk mendoakan SBY, apalagi sampai menunda-nundanya. Wahai jiwa yang tulus, yang benar-benar menginginkan bangsa ini tidak makin jauh terpuruk, tadahkan tangan dan mintalah kepada Allah agar SBY diberi kemampuan menyelesaikan masalah yang melanda Indonesia, termasuk gonjang-ganjing di dalam tubuh Demokrat. Amin…. ● -
Lumpuhnya Tangan Republik
Lumpuhnya Tangan RepublikDonny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UISUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012Rakyat sedang menghitung hari menuju kenaikan harga BBM. Pemerintah pun sibuk menyiapkan argumen etis untuk menopang kebijakan ini.Argumen yang paling sering dilontarkan adalah keadilan distribusi. Subsidi BBM yang dinikmati kelas menengah mencerminkan ketidakadilan. Keadilan baru paripurna jika subsidi dikurangi dan sebagai gantinya mekanisme sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dijalankan. Kita tenggelam dalam argumentasi ini. Alhasil, kritik direduksi jadi ketidakberpihakan ke nasib rakyat kecil. Kebijakan yang sejatinya tak populis jadi terkesan populis karena dibedaki logika keadilan.Sesat PikirPertanyaannya, apakah logika keadilan kenaikan harga BBM dapat diterima akal sehat publik? Logika keadilan tersebut adalah self-fulfilling prophecy karena dia yang menaikkan harga adalah dia yang membagikan BLT. Ini persis perkataan seorang pengusaha pupuk yang mencalonkan diri jadi bupati, ”Apabila rakyat memilih saya, pupuk pasti murah.”Kedua, kenaikan harga BBM akan memukul semua orang tak peduli kaya atau miskin. Rakyat miskin pun bakal sulit membeli beras yang harganya naik akibat biaya distribusi yang melonjak. Kebijakan BLT sejatinya narkotika politik. Itu membuat rakyat berhalusinasi bahwa hidupnya tertolong oleh kenaikan harga BBM. Padahal, rakyat menderita akibatnya naiknya harga bahan pokok dan BLT menjaga agar dia dapat bertahan dalam penderitaannya.Klaim bahwa subsidi BBM hanya menguntungkan kelas menengah berbenturan dengan fakta bahwa 65 persen BBM dikonsumsi masyarakat dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS per hari. Di dalam 65 persen itu terdapat 29 persen yang pengeluaran per kapita kurang dari 2 dollar AS per hari. Sebelum rencana pengurangan subsidi dikemukakan, pemerintah sejatinya sudah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk nelayan. Pemerintah harus berjibaku dengan fakta lapangan seperti itu sebelum menepuk dada sebagai ”dewa penyelamat” rakyat kecil.Pengusaha juga bakal terpukul dengan kenaikan harga BBM. Biaya produksi membengkak dan akibatnya produk jadi tak kompetitif di pasaran. Alhasil, kenaikan harga BBM akan membuka arus impor barang murah dari luar negeri. Kenaikan harga BBM akan melunturkan daya saing produk bangsa sendiri di hadapan produk bangsa lain.Contoh kasus sudah sangat kentara. Brebes sebagai penghasil bawang merah terbaik se-Indonesia megap-megap melawan bawang merah impor dari India dan Thailand. Kita dapat membayangkan akibatnya bagi para petani bawang jika harga BBM dinaikkan.Tangan KiriSejatinya sebuah republik memiliki dua tangan. Tangan kanan dipakai untuk mencabut proteksi, mengurangi pajak orang kaya, mengetatkan anggaran, dan meminta bantuan lembaga keuangan internasional apabila diperlukan. Tangan kiri sebaliknya dipakai untuk menjamin akses kebutuhan dasar bagi rakyat miskin, menguatkan daya saing pengusaha nasional, dan memberi insentif bagi inovasi lokal yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.Tangan kanan bersandar pada logika pasar yang hanya melihat hubungan manusia sebagai relasi ekonomi belaka. Sementara tangan kiri bersandar pada logika konstitusi yang melihat hubungan manusia lebih dari sekadar jual beli. Tangan kiri republik ini, misalnya, bergerak ketika melihat kenyataan bagaimana rakyat miskin tidak mampu mengakses layanan kesehatan akibat minimnya daya beli.Kenaikan harga BBM adalah indikasi lumpuhnya tangan kiri republik. Pemerintah memiliki argumen untuk menerangkan stroke sosial yang mendera republik ini. Harga minyak dunia yang meroket dijadikan alibi bagi kelumpuhan tersebut. Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menaikkan harga BBM guna menyehatkan APBN. Beban subsidi yang membengkak disinyalir akan membuat APBN berjalan tertatih dan jalan darah perekonomian pun tersumbat.Kembali, kita dapat mempersoalkan argumen ini. Apakah lumpuhnya tangan kiri republik dikarenakan sebab-musabab eksternal atau internal. Atau, lebih parah lagi, tangan kiri republik sengaja dilumpuhkan demi tegaknya fundamentalisme pasar.Mari kita turun ke lapangan faktual. Dalam kurun 2005-2012, anggaran belanja birokrasi naik dari 39,6 persen ke 51,4 persen, sedangkan anggaran subsidi BBM turun dari 18,8 persen ke 8,7 persen. Apa artinya ini, politik anggaran yang dijalankan pemerintah memang sejak awal tak berpihak kepada rakyat. Hak rakyat atas bahan bakar murah dikorbankan di altar birokrasi yang korup dan tidak efisien.Fakta itu membuktikan betapa tangan kiri republik ini memang tak mau digerakkan. Semakin tangan kiri digerakkan, semakin jauh republik melangkah dari logika pasar. Pasar tak mengenal tangan. Dia hanya mengenal ”tangan yang tidak kelihatan”, yang sejatinya adalah tangan kanan republik. Dengan demikian, tangan kiri dan tangan kanan republik berbanding terbalik. Semakin leluasa tangan kiri republik, semakin terbelenggu tangan kanannya. Demikian pula sebaliknya.Republik ini, meminjam istilah Negri (2009), republik kaum berpunya (republic of property). Kaum berpunya dapat membeli BBM berapa pun harganya. Sebaliknya, kaum tak berpunya tak sanggup membeli beras ketika harga melambung. Republik kaum berpunya adalah republik tanpa tangan kiri. Republik yang didirikan semata-mata untuk melindungi kaum berpunya, at any cost. Padahal, kita tahu betapa konstitusi memberi kekuatan penuh bagi berfungsinya tangan kiri republik. Atau, pemerintah (yang mengatasnamakan republik) sengaja mematahkan tangan kirinya guna mengkhianati konstitusi? Kita lihat saja nanti. ● -
Teologi Pajak
Teologi PajakMasdar Farid Mas’udi, ROIS PBNUSUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012Pajak kini jadi isu politik, hukum, dan kenegaraan yang sangat sensitif.Korupsi dan penyelewengan uang pajak yang kian tak terkendali telah mengobarkan kekecewaan berat di kalangan rakyat. Wacana boikot pajak pun mulai menyeruak, yang jika dibiarkan bisa berakibat fatal terhadap eksistensi negara itu sendiri.Faktanya, jika ”bernegara” merupakan kata kerja, membayar pajak adalah aksi paling nyata. Pajak adalah darah kehidupan negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Bagi semua penguasa, tidak ada perlawanan politik yang lebih mematikan selain boikot pajak oleh rakyat.Upeti dan Kontra-PrestasiSepanjang sejarah telah berlaku dua konsep pajak sekaligus dua konsep negara yang dikonstruksikannya. Pertama, pajak sebagai upeti (persembahan) dari rakyat untuk penguasa. Kedua, pajak sebagai kontra-prestasi (imbal jasa) dengan penguasa.Pajak sebagai upeti adalah pajak yang dibayarkan sebagai bukti ketundukan rakyat kepada sang penguasa. Inilah era feodalisme raja-raja. Pajak-upeti ini telah berlaku beribu tahun sejak berdirinya lembaga kekuasaan di bawah kendali orang-orang yang mengaku sebagai penguasa bumi, bahkan jagat raya. ”Ana rabbukuml a’la (Akulah Tuhan kalian yang mahatinggi),” begitu klaim Fir’aun mewakili segenap para raja-dewa di hadapan rakyatnya.Pada era ini tentu belum ada UU yang memastikan bagaimana dan untuk kepentingan siapa pajak dibelanjakan; juga belum ada konstitusi yang menegaskan untuk kepentingan siapa kekuasaan yang terlahir dari pajak dijalankan. Semuanya terserah sang raja sebagai personifikasi negara. ”Etate ce moi (negara adalah saya),” kata Raja Luis dari Perancis menjurubicarai para raja absolut di seantero jagat raya.Pada era pajak sebagai upeti ini otomatis belum dikenal istilah ”korupsi” sebagai konsep penyalahgunaan uang pajak oleh penguasa. Sebab, semua kebijakan penguasa, terutama terkait penggunaan uang pajak, adalah sah dan benar adanya. Jika uang pajak digunakan seluruhnya atau sebagian besar untuk kepentingan penguasa, itu hak mereka.Terhadap praktik kekuasaan sewenang-wenang dan korup inilah Bible menegaskan: pandanglah para pemungut dan penikmat pajak seperti layaknya kalian memandang pelacur, pemabuk, penyamun, dan orang-orang yang tidak mengenal Allah (Matius: 11/19; 21/31; 18/17). Muhammad Rasulullah pun menegaskan: Tidak bakal masuk surga para pemungut dan pemakan uang pajak-upeti; La yadkhl al-jannah shahibu maksin (HR Ahmad).Bisa saja, di era ini muncul satu atau dua ratu adil dari sekian banyak raja yang berkuasa. Tapi, itu lebih karena rahmat Tuhan daripada sistem kekuasaan dan politik yang diberlakukan.Adapun konsep pajak sebagai kontra-prestasi (imbal jasa atau jizyah) mulai muncul setelah rakyat pembayar pajak menyadari bahwa raja bukanlah dewa yang boleh memperlakukan rakyat semaunya. Boleh saja raja memungut pajak, tetapi tidak boleh lagi secara cuma-cuma.Piagam Magna Carta di Inggris awal abad XIII antara para baron (tuan tanah) selaku pembayar pajak dan raja merupakan tonggak sejarah kesadaran baru pajak sebagai imbal jasa. Kesadaran ini dipertegas oleh Revolusi Perancis dan Amerika abad XVIII yang menuntut konsekuensi pembayaran pajak dengan keterwakilan mereka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Revolusi ini mengusung slogan terkenal: No taxation without representation.Sejak saat itulah makna pajak bergeser dari upeti untuk penguasa jadi imbal jasa (jizyah) antara rakyat pembayar pajak dan penguasa. Intinya: pajak boleh dipungut, tetapi harus diimbangi dengan pelayanan dari negara kepada rakyat pembayarnya.Jelas, konsep ini lebih maju dan terasa lebih adil dibandingkan konsep pertama, pajak sebagai upeti. Namun, bagaimanapun, di sana masih ada cacat bawaan yang dapat memperlebar kesenjangan antara rakyat kuat (pembayar pajak besar) di satu pihak dan rakyat lemah yang hanya bisa membayar pajak kecil atau bahkan tidak mampu sama sekali.Dengan konsep imbal jasa, pembayar pajak besar berhak mendapatkan layanan besar dari negara/penguasa. Sementara rakyat pembayar pajak kecil, apalagi yang tidak mampu membayar sama sekali, harus nerimo dengan sisa layanan dari negara, itu pun jika masih ada iba.Era pajak sebagai imbal jasa inilah era negara modern kapitalistik dewasa ini: era demokrasi semu dan elitis, era pasar bebas yang egois. Kemakmuran yang melimpah dari bumi Allah dimonopoli sekelompok orang dari kalangan elite penguasa (umara) dan pengusaha (aghniya); sementara bagian terbesar umat manusia dibiarkan tenggelam dalam kemiskinan dan ketakberdayaan.Pajak untuk KeadilanJika umat manusia mau mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua, mutlak didefinisikan kembali konsep pajak secara mendasar dan revolusioner: pajak sebagai strategi ”redistribusi kemakmuran dan keadilan” untuk semua.Meminjam bahasa agama, pajak mesti kita definisi ulang bukan lagi sebagai persembahan ataupun imbal jasa untuk penguasa, melainkan sebagai aktualisasi strategis dari rasa kasih (Kristiani) atau darma (Hindu-Buddha) atau sedekah alias kesetiakawanan sejati (Islam) untuk sesama, terutama yang lemah, apa pun agama/keyakinan dan warna kulitnya.Tujuannya memastikan semua anak manusia dapat hidup di bumi Allah secara terhormat dan bermartabat. Jangan sampai terjadi lagi, hanya karena faktor bawaan atau sosial dan lingkungan, sebagian orang menguasai terlalu banyak, sementara sebagian yang lain hanya kebagian sedikit atau bahkan tidak kebagian sama sekali.Adalah negara, selaku pemikul kepentingan publik (masalih ammah) sekaligus lembaga kekuasaan kolektif, yang harus memikul tanggung jawab mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Meminjam bahasa Islam, negara adalah payung Allah di muka bumi, di mana umat yang lemah dan teraniaya berlindung untuk mendapatkan hak-haknya (Assulthan dhillullah fil ardl ya’wi ilaihi kullu madhlum).Untuk tujuan inilah, dengan gamblang Allah memberikan mandat kepada negara untuk memungut sebagian dari rezeki mereka yang dianugerahi kelebihan dan meredistribusikannya bagi kepentingan yang kurang mampu dan untuk kepentingan bersama (Al Quran [9]: 60).Prinsipnya: (i) pajak memang harus dibayar, tetapi bukan lagi sebagai persembahan atau imbal jasa untuk penguasa, melainkan sebagai ibadah karena Allah demi kemaslahatan bersama; (ii) pejabat negara sebagai pemungut dan pengelola pajak harus dievaluasi bukan lagi sebagai pemilik uang pajak, melainkan hanya sebagai ”amil” yang harus mempertanggungjawabkan setiap rupiah dari pajak yang dipungut kepada Allah di akhirat nanti dan kepada segenap rakyatnya di dunia ini.Perihal berapa tarif pajak atas obyek apa saja, berapa batas minimal obyek terkena pajak, dan kapan jatuh tempo pembayaran adalah persoalan kebijakan (ijtihadiy) yang perlu disesuaikan dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain sesuai kemaslahatan bersama. ● -
Risiko Ambang Batas Nasional
Risiko Ambang Batas NasionalSyamsuddin Haris, PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIASUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012Empat masalah krusial rancangan undang-undang pemilihan umum belum tuntas, panitia perumus sudah menambah persoalan baru: menyeragamkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold bagi DPR dan DPRD.Perolehan suara parpol secara nasional menjadi dasar menghitung kursi DPRD (Kompas, 13/3). Mengapa DPR tidak menghitung risikonya?Menjelang berakhirnya tenggat penyelesaian RUU Pemilu, sembilan partai politik di DPR hingga saat ini belum sepakat soal besaran persentase ambang batas DPR, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu, dan mekanisme penghitungan suara.Dalam soal ambang batas DPR, Partai Golkar dan PDI-P bertahan pada angka 5 persen, Partai Demokrat 4 persen, PKS 3-4 persen. PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura berharap tidak naik (dari 2,5 persen). Kalaupun dinaikkan, tak lebih dari 3 persen.Terkait daerah pemilihan (dapil), pilihan besaran berkisar 3-6 kursi (usulan Golkar), 3-8 (Demokrat), atau tetap 3-10 seperti hendak dipertahankan parpol kecil. Sistem pemilu masih mempersoalkan apakah proporsional terbuka, tertutup, atau semiterbuka, sedangkan mekanisme penghitungan suara sudah ada tanda-tanda kesepakatan, yakni dituntaskan di dapil, tidak perlu ditarik ke tingkat nasional seperti Pemilu 2009.Fragmentasi Politik LokalHasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 memperlihatkan begitu tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Fragmentasi terjadi karena semua parpol yang memperoleh kursi berhak duduk di DPRD, termasuk parpol-parpol ”gurem” yang meraih satu-dua kursi Dewan. Akibatnya, seperti hasil Pemilu 2009, DPRD kabupaten/kota berisi belasan parpol. Di DPRD Provinsi NTT, misalnya, jumlah anggota 55 orang dari 18 parpol yang memperoleh kursi. Sebelas parpol masing-masing hanya meraih satu kursi.Fragmentasi politik lokal yang ekstrem tersebut berdampak pada berkembangnya kecenderungan politik dagang sapi di DPRD sehingga pemerintah daerah acap kali harus menegosiasikan berbagai kebijakan daerah dengan kepentingan parpol yang amat beragam. Persoalan semakin kompleks ketika kepala daerah terpilih hanya mewakili minoritas koalisi politik di DPRD. Akibatnya, pemerintah daerah tidak hanya sulit bekerja maksimal, tetapi juga terpenjara oleh struktur politik hasil pemilihan itu.Realitas politik lokal seperti ini memerlukan penyederhanaan. Semakin banyak parpol di DPRD semakin kecil pula peluang terbentuknya pemerintahan lokal yang bisa bekerja efektif. Maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan APBD yang melibatkan anggota DPRD adalah sebagian produk dari perangkap kolusi dan persekongkolan politik akibat fragmentasi politik lokal yang ekstrem ini. Perlu diberlakukan ambang batas parlemen bagi DPRD agar struktur politik lokal lebih sederhana.Ambang Batas ParlemenWalaupun demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen yang seragam secara nasional bukanlah solusi tepat. Rekayasa institusional demikian justru keliru dan salah kaprah. Lanskap politik nasional bukan saja tidak persis sama, melainkan justru sangat berbeda dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota. Parpol yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya parpol yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerah. Bahkan, parpol pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama.Selain itu, parpol yang gagal memperoleh dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan parpol harapan masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Hasil Pemilu 2009 memperlihatkan, meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai besar” di tingkat daerah.Realitas politik seperti ini terjadi karena preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada parpol, tetapi justru kepada para calon anggota legislatif yang diajukan parpol. Semakin populer caleg di suatu daerah, semakin besar pula parpol yang mencalonkan dapat dukungan.Risiko PolitikAda sejumlah risiko politik jika ambang batas parlemen diseragamkan secara nasional. Pertama, pemilu legislatif akan kehilangan rohnya sebagai mekanisme mengonversi suara menjadi kursi parlemen karena suara rakyat untuk DPRD didasarkan hasil pemilu DPR. Padahal, para caleg yang dipilih dan diajukan di tiap tingkat parlemen berbeda.Kedua, jika didasarkan hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang mengindikasikan tingginya fragmentasi pilihan terhadap parpol, sebagian DPRD kabupaten dan kota hasil Pemilu 2014 mendatang kemungkinan hanya berisi 1-3 parpol. Haruskah DPRD berisi satu parpol jika sebagian besar perolehan parpol lain di bawah persentase ambang batas parlemen nasional?Ketiga, hampir dipastikan banyak suara hilang tidak terakomodasi dalam DPRD sehingga prinsip proporsionalitas sistem pemilu yang berlaku akan lenyap pula. Keempat, disadari atau tidak, pemilu yang dimaksudkan untuk memilih para wakil berubah menjadi pemilu untuk memilih parpol karena kehadiran, kapasitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem.Karena itu, sebelum tenggat terlampaui dan RUU menjadi UU, para politisi parpol di DPR perlu berpikir ulang untung dan rugi pilihan solusi institusional yang sangat berisiko secara politik. Pemberlakuan mekanisme ambang batas parlemen bagi DPRD memang diperlukan untuk menyederhanakan struktur politik lokal, tetapi bukan dengan cara keliru dan salah kaprah.Penghitungan kursi parpol di DPRD semestinya didasarkan pada perolehan suara parpol di daerah masing-masing agar prinsip keterwakilan, proporsionalitas, dan kedaulatan rakyat tetap dijamin oleh UU Pemilu. ● -
Me-manage ke Atas
Me-manage ke AtasEliezer H Hardjo, ANGGOTA DEWAN JURI REKOR BISNIS (REBI) &INSTITUTE OF CERTIFIED PROFESSIONAL MANAGERS (ICPM) – USASUMBER : SINDO, 16 Maret 2012Me-manage ke atas tidak sama dengan memanage atasan, sekalipun termasuk di dalamnya. Me-manage ke atas adalah bagaimana Anda mengatur dan mengelola apa yang Anda miliki atau yang ada pada diri Anda, termasuk potensi yang belum tergali untuk membantu Anda naik ke atas dalam jenjang karier Anda.
Banyak dari kita,khususnya para eksekutif dan profesional yang memimpikan untuk meraih jabatan yang lebih tinggi akan tetapi dalam keseharian melaksanakan tugas manajerial, justru masuk dalam pusaran yang turun ke bawah dan bukan meniti tangga ke atas. Tiap-tiap orang yang ingin maju dan meraih jabatan yang lebih tinggi, harus berinisiatif dan proaktif merancang atau membuat tangga karier bagi dirinya, tidak berlaku pasif dan menunggu perusahaan membuatkan untuk dirinya.Jangan berharap orang lain dalam hal ini atasan berpikir untuk kita jika Anda sendiri tidak memikirkan diri Anda.Belum lagi atasan Anda sibuk memikirkan urusan dan tanggung jawabnya yang menuntut konsentrasi sehingga tidak sempat memikirkan nasib Anda. Banyak dari kita yang mengharapkan bahkan menuntut atasan kita memberi perhatian dan menolong kita, akan tetapi yang ada di benak atasan sesungguhnya terbalik dengan yang kita pikirkan; mereka berpikir apa yang dapat kita – bawahannya – bantu untuk meringankan tugasnya.
Itulah hakikat keberadaan kita ketika kita menjadi bawahan seseorang. Dengan Anda membantu dan meringankan tugas dari atasan Anda; akan memberikan waktu bagi dia untuk memikirkan nasib Anda.Di sinilah letak rahasianya bagaimana kita me-manage ke atas, bukan bermimpi untuk mengatur atasan kita supaya ia mengikuti kemauan kita,namun bagaimana ia menjadi tergantung kepada kita dan menghargai apa yang kita perbuat baginya yang memperingan tugasnya. Kita membantu atasan kita untuk berhasil dalam tugas dan tanggung jawabnya.
Memang ada juga atasan yang tidak menghargai dan berterima kasih apalagi jika ia menganggap Anda sebagai pesaing yang akan merebut kedudukannya, dan berusaha untuk selalu menutupi kelebihan Anda di mata atasannya namun jangan kiranya itu menyurutkan Anda berbuat yang terbaik karena pada akhirnya untuk kebaikan Anda juga. Michael S Dobson dan Deborah Singer, penulis buku Managing Up (AMACOM) memberikan tips bagaimana membuat dan meniti tangga karier ke atas: 1. Miliki sikap positif dan biasakan memandang jauh ke depan.
Me-manage bawahan saja tidak mudah apalagi atasan, oleh karena itu perlu realistis dalam hal ini bahwa besar tantangan yang Anda hadapi. Sikap positif adalah dengan melihat semua rintangan atau halangan sebagai tantangan bukan sebagai masalah atau problem yang mematahkan semangat. Orang yang bersikap positif selalu melihat segi baiknya, sedangkan orang yang bersikap negatif selalu melihat dari segi buruknya. 2. Sesuaikan diri Anda dengan gaya kepemimpinan atasan Anda.
Tiap-tiap orang mempunyai gaya dalam kepemimpinan, ada yang bersikap dekat, friendly, menganggapnya sebagai mitra kerja, ada yang menjaga jarak bahkan bersikap sombong dan arogan. Anda harus bersikap “right or wrong, he or she is my boss” . Dengan berjalannya waktu dan sikap Anda yang tetap sopan dan mengontrol diri akan mengubah keadaan. 3. Bersikaplah profesional, Anda harus mengetahui dengan baik apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab Anda.
Anda perlu menanyakan kepada atasan Anda apa yang dia harapkan dari Anda. Anda harus berusaha memenuhinya bahkan lebih daripada yang dia harapkan. Bukan untuk atasan Anda, akan tetapi untuk diri Anda sendiri, karena itu merupakan tugas Anda.Dengan Anda memperbaiki kesalahan atau kekurangan Anda, Anda menjadi bertambah profesional. 4. Miliki pandangan yang lebih besar dan lebih luas dalam pekerjaan. Kala Anda melihat pekerjaan Anda hanya pada batas diri Anda maka Anda memperkecil kesempatan untuk dapat maju.
Anda harus berusaha melihat dalam lingkup yang lebih luas. Baik itu di departemen Anda berada maupun di ruang lingkup perusahaan yang lebih besar. 5. Miliki hubungan baik dengan setiap orang, baik itu atasan Anda, yang merupakan kewajiban bagi Anda,maupun dengan rekan kerja bahkan siapa saja yang Anda berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pekerjaan Anda dalam lingkungan perusahaan. 6. Jalan terakhir.
Apabila Anda telah melakukan semua daya dan usaha, namun tidak ada penghargaan yang Anda terima dari atasan Anda atau dari perusahaan, maka tidak ada salahnya untuk mulai berpikir mencari lowongan di tempat lain. Setidaknya ada dua landasan pemikiran bagi Anda untuk dengan tidak ragu memilih untuk hijrah ke perusahaan lain. Pertama, kedudukan yang lebih tinggi.Kedua, perolehan penghasilan (income) yang jauh lebih tinggi dari yang Anda terima sekarang.
Dan kalau mau ditambahkan, yang ketiga adalah bahwa perusahaan yang Anda akan hijrah jauh lebih besar dari perusahaan sekarang. Me-manage ke atas bukan hanya berlaku di perusahaan di mana kita bekerja sekarang, namun juga di perusahaan manapun kita berkarier. Buatlah tangga bagi Anda untuk meniti karier dan jangan andalkan orang lain yang membuatkannya bagi Anda. Sukses!
●