Author: Adul

  • TV Digital: Anak Haram Undang-Undang Penyiaran

    TV Digital:
    Anak Haram Undang-Undang Penyiaran
    Veven Sp Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 3 MARET 2012
    Rencana siaran televisi digital, sangat boleh jadi, bakal memberikan kenyamanan bagi mata pemirsa, karena gambar di layar kaca jadi jauh lebih cemerlang, jernih, dan tajam. Selain itu, dengan teknologi digital, satu frekuensi, yang selama ini hanya bisa diisi oleh satu stasiun televisi sistem analog, kini bisa memuat belasan program dalam saat yang sama. Dengan demikian, anggapan monopoli frekuensi itu jadi sedikit bisa ditepis karena pemain (baru) lain bisa mendapat peluang untuk makin meramaikan langit Indonesia.
    Yang menjadi persoalan adalah acuan siaran televisi digital tersebut, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, selain peraturan menteri yang sama Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital. Dua peraturan menteri (permen) ini masing-masing ditandatangani pada 22 dan 23 November 2011.
    Rujukannya, sekali lagi: peraturan menteri! Paling-paling ditambah keputusan menteri (kepmen) yang sama, Nomor 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012 tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tidak Berbayar. Hanya itu. Mungkin tak soal benar. 
    Persoalan hukumnya, suatu peraturan–dari permen, peraturan pemerintah, kepmen, peraturan daerah, hingga surat keputusan–merupakan turunan dari peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal peraturan menteri dan keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika ini, induknya seharusnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran). Dalam UU Penyiaran yang dimaklumatkan sejak 28 Desember 2002 itu sama sekali tidak atau belum termaktub perihal siaran televisi digital itu.
    Dalam UU Penyiaran, hanya terdapat satu kata “digital”, itu pun terkesan sambil lalu lantaran kemungkinan keberadaannya masih sangat jauh di depan. Sementara itu, ada 21 frasa “penyiaran swasta” dalam undang-undang yang sama, dan atas frasa terakhir inilah yang kemudian dilahirkan turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan yang dimaklumatkan pada 16 November 2005 ini terhitung terperinci, terdiri atas 73 pasal dan 120 ayat.
    Bisa dikatakan, peraturan pemerintah ini mengatur perihal lembaga penyiaran swasta yang sesungguhnya sudah beroperasi. Toh, tetap dibutuhkan pengawalan untuk merumuskan pasal dan ayatnya agar tidak menyimpang dari undang-undang yang menjadi payung hukumnya. Sementara lembaga penyiaran digital yang difantasikan masih berada jauh nun di seberang itu, belakangan hal itu seperti mendadak dihadirkan di depan gerbang dan sama sekali tanpa pengawalan. Itu sebabnya, dalam peraturan dan keputusan menteri tadi ditubuhkan atau dibangun lembaga baru yang tak disebut-sebut dalam undang-undang.
    Lembaga baru yang memiliki peran penting itu setidaknya ada dua, yakni Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Multipleksing (LPPPM), yakni lembaga-lembaga yang secara prinsip menjadi pengelola program siaran untuk dipancarluaskan ke khalayak–yang satu melalui slot kanal frekuensi radio, satunya melalui perangkat multipleks dan transmisi. Padahal, dalam UU Penyiaran, hanya dikenal terminologi lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan–serta beberapa varian di antaranya meliputi lembaga penyiaran lokal, penyiaran berjaringan, penyiaran melalui satelit, kabel, dan terestrial.
    Selain itu, dalam permen dan kepmen tak lagi didapatkan sebuah institusi yang menjadi amanat undang-undang, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Melalui judicial review yang diajukan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Mahkamah Konstitusi, Maret 2008, memang telah mempreteli peran KPI sebagai regulator pemberi izin frekuensi bersama pemerintah, namun peran lain sebagai pengawas dan pemberi teguran atas isi tayangan tak ikut dicopot.
    Menjadi pertanyaan: apakah dalam sistem digital ini KPI tak difungsikan untuk televisi atau pemain baru? Atau seluruh stasiun penyiaran tak berbayar tak lagi perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan keberadaan KPI? Saya rasa, pertanyaan penting ini menjadi bahan bahasan atas UU Penyiaran yang berlangsung pada hari-hari ini.
    Namun, ada kesan, peraturan dan keputusan tersebut main kejar-kejaran dengan pembahasan untuk penyempurnaan UU Penyiaran itu. Bahkan KPI mengaku tak diajak serta dalam proses perumusan pasal dan ayat dalam permen, kepmen, dan peraturan pemerintah perihal siaran televisi digital itu.
    Tak jelas benar apa yang dikejar, termasuk penetapan 6 April 2012 sebagai pembukaan tender bagi penyelenggaraan penyiaran televisi digital, dua bulan sejak ditandatanganinya Kepmen Kominfo Nomor 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012. Tampaknya, terlampau simplistik jika dikalkulasi bahwa Menteri Kominfo berniat membangun monumen sebelum berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II pada 2014. Namun, saya tak hendak pula menduga-duga agar anggaran untuk membeli sejenis antena televisi digital (disebut mux) itu–per buahnya seharga Rp 20 miliar–harus segera cair pada tahun ini. Pasalnya, keharusan total bersiaran dan berpenerimaan siaran televisi digital itu dirancangkan pada awal 2018, sebuah waktu yang terhitung jauh.
    Belajar dari pengalaman UU Penyiaran yang beberapa pasal pentingnya tak bisa terimplementasikan, padahal sudah diberi peluang waktu cukup panjang, awal April 2012–ditambah tak tergemakannya sosialisasi perihal televisi digital itu ke khalayak maupun ke lembaga penyiaran yang sudah bersiaran pun–jadi kian terasa ketergesa-gesaannya. Apalagi UU Penyiaran yang seharusnya menjadi payung hukum itu masih dalam proses pembahasan. Lain soal jika kepmen dan permen perihal penyiaran televisi digital itu hendak menakdirkan dirinya sendiri sebagai anak haram. ●
  • Serangan Umum 1 Maret 2012

    Serangan Umum 1 Maret 2012
    Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT, ROTTERDAM
    SUMBER : KORAN TEMPO, 3 MARET 2012
    Sejarah adalah hasil dari konstruksi atas fakta di masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan sejarah itu ibarat mengumpulkan berbagai hal yang terserak kemudian dikumpulkan. Seharusnya sejarah ditulis dengan metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi. Tentu saja motif di balik penulisan itu amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah itu ditulis.
    Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, misalnya, juga pernah ditulis dengan maksud melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga mengundang polemik, khususnya dari para pelaku atau saksi Serangan Umum lainnya. Polemik juga terjadi antara sejarawan dan peminatnya. Yang tak kalah seru tentunya polemik antara para pemuja dan penghujat Soeharto.
    Pertama-tama harus diungkapkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan TNI dan didukung rakyat sungguh terjadi. Dengan kata lain, ada faktanya. Jadi, Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hasil rekayasa. Dalam peristiwa itu, ada beberapa pelaku sejarah, antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pak Harto. Adapun kronologi Serangan Umum secara singkat bisa diungkapkan sebagai berikut.
    Serangan umum terhadap Kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, itu setelah terlebih dulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang-lebih pukul 06.00.
    Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pemimpin. TNI berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, pasukan TNI mengundurkan diri.
    Jadi, Serangan Umum 1 Maret memang punya makna besar bagi keberadaan Indonesia, negeri yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat Serangan Umum 1 Maret, eksistensi Indonesia bisa ditunjukkan kepada masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Serangan Umum merupakan sebuah titik balik pada masa Revolusi Fisik. Dan dalam hal ini, kita semua tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan kontribusi Pak Harto. Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun mengakui kehebatan strategi militer yang dipimpin Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.
    Tapi yang jadi masalah dan kemudian mengundang kontroversi adalah bahwa Pak Harto, semasa menjadi Presiden RI, tergoda untuk melebih-lebihkan peran dirinya sembari mengurangi peran saksi sejarah yang lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto menganggap dirinya sebagai penggagas awal serangan umum itu. Lewat film Janur Kuning(1979), Soeharto mencoba memperlihatkan peran dirinya. Film itu punya pesan utama bahwa dia tokoh sentral sekaligus penggagas awal serangan terhadap Yogyakarta tersebut, yang waktu itu diduduki Belanda. Film ini menjadi tontonan wajib bagi pelajar dan kemudian rutin disiarkan oleh TVRI setiap 1 Maret pada 1980-1997.
    Padahal banyak sumber menyebut penggagas awal dan utama Serangan Umum 1 Maret adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto justru mengurangi peran Sultan dan menyangkal fakta bahwa dia pernah bertemu dengan Sri Sultan pada 14 Februari 1949, saat Sultan membeberkan gagasan serangan umum kepada Soeharto. Padahal ada saksi mata yang melihat pertemuan Sultan dengan Pak Harto. Inilah yang jadi sumber kontroversi. Jadi, seandainya Pak Harto tidak mengklaim sebagai penggagas awal Serangan Umum, tidak pernah akan ada kontroversi atau polemik.
    Dengan demikian, Pak Harto telah memanipulasi sejarah yang seharusnya ditulis dengan obyektif, jujur, dan mengutamakan kebenaran. Dengan sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan Istana yang mendukungnya sesungguhnya telah mengabaikan adanya kearifan sejarah (wisdom of history) untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara proporsional. Mengapa Pak Harto harus melebih-lebihkan perannya dalam Serangan Umum 1 Maret?
    Para penguasa memang selalu berusaha menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan, kalau perlu, ia melakukan manipulasi atau kebohongan. Sejarah dijadikan alat propaganda untuk melayani kekuasaan dan melupakan misi sucinya sebagai sebuah ilmu obyektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran.
    Tidak mengherankan jika kemudian istilah sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).
    Yang sangat disayangkan, manipulasi sejarah tidak hanya dilakukan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Hampir semua buku sejarah yang ditulis dalam era Pak Harto berkuasa (1965-1998) ditulis tidak dengan benar. Syukurlah, setelah lengsernya Pak Harto, upaya meluruskan sejarah, khususnya dari saksi sejarah, termasuk para korban HAM di era Pak Harto, cukup marak.
    Kemudian, yang memprihatinkan, dalam level pemerintahan, masih ada upaya untuk melestarikan kebohongan. Tidak mengikuti tren untuk meluruskan sejarah seperti dilakukan sebagian korban. Coba simak, meski sudah 13 tahun Reformasi, pemerintahan saat ini tampak tidak berdaya atas kasus Munir dan banyak kasus pelanggaran HAM di era Soeharto mulai 1965 hingga 1998. Banyak peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibiarkan dalam misteri. Banyak pertanyaan korban atau keluarganya hingga kini tidak terjawab tuntas.
    Coba tanyakan kepada Sipon, istri Wiji Thukul, atau orang tua Bimo Petrus Anugerah. Tanyakan kepada para orang tua yang anaknya hilang yang tergabung dalam IKOHI, yang belum lama ini berdemo di depan markas AD (30 Agustus). Tanyakan kepada para eksil yang kini merindukan negeri ini.
    Sayang, pertanyaan-pertanyaan mereka sering membentur dinding keangkuhan penguasa negeri ini. Presiden SBY dan pemerintah sekarang memang bukan dalang semua pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi sebenarnya pemerintahan SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya semua peristiwa itu.
    Sekaligus, dengan pengungkapan ini, pemerintah punya komitmen untuk meluruskan sejarah yang banyak dimanipulasi semasa Orba. Dengan demikian, kita akan bisa menghentikan semua kebohongan sejarah yang ditulis penguasa atau orang-orang kuat di masa lalu. ●
  • Pers Jangan Mudah Teralihkan

    Pers Jangan Mudah Teralihkan
    Asbari Nurpatria Kresna, WARTAWAN SENIOR
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 3 MARET 2012
    Psywar atau psychological waratau perang urat syaraf sudah digunakan sejak zaman dulu. Caranya bermacam-macam dan menggunakan berbagai alat.
    Di masa modern sekarang ini pun perang urat syaraf biasa digunakan untuk mengecoh masyarakat atas suatu masalah yang sedang terjadi dan mengalihkannya pada masalah-masalah lain.
    Menggunakan budaya dan tradisi suatu bangsa yang dikalahkan agar bangsa itu tetap menghargai penakluk dilakukan Cyrus Agung. Mengawini bangsa dan menaklukkannya dilakukan atas perintah Alexander Agung agar Negara Baru Makedonia tetap menghargai Yunani. Jengis Khan pada abad ke-XIII juga menggunakan perang urat syaraf dalam menaklukkan negara lain.
    Di masa modern, biasa digunakan pamflet, radio, surat kabar, atau lainnya. Penyerbuan Normandia di masa Perang Dunia II diawali perang urat syaraf juga di samping tipu daya militer.
    Korupsi
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar kebijaksanaan antikorupsi. Sayang, kebijaksanaanya diintersep dan dilibas kader-kader Partai Demokrat (PD) yang mengangkatnya menjadi Presiden RI.
    Pemberantasan korupsi sangat didukung sebagian besar rakyat Indonesia, kecuali para koruptor. Sayang, di dalam pemberantasan ini, satgas dan komisi-komisi dibentuk, bukannya merenovasi lembaga yang dianggap korup.
    Akibatnya, beban negara makin berat, karena harus memberikan gaji pada anggota lembaga bentukan baru. Hasil korupsi tidak pernah diminta kembali dari para koruptor, walaupun para pelaku dijatuhi hukum penjara dan denda.
    Untuk mempertahankan citra PD yang makin merosot, terpaksa SBY mengundang wartawan dan memimpin sendiri konferensi pers di Puri Cikeas pada 22 Januari 2012. Sesungguhnya masih ada orang lain yang dapat memimpin pertemuan dengan wartawan itu.
    Maka benarlah kata seorang mahasiswa Universitas Dr Moetopo Beragama dalam acara Metro TV News “Sarasehan Anak Negeri” pada 9 Februari 2012, yang mengatakan, “Untuk keperluan negara, SBY membentuk satgas-satgas. Tetapi untuk kepentingan partainya, ia turun sendiri.”
    Memang seorang presiden atau anggota DPR menduduki jabatannya karena partainya, tetapi setelah menjabat presiden atau anggota DPR haruslah lebih mementingkan bangsa dan rakyat negeri ini.
    Sidak Wamenhukham
    Masyarakat menilai macam-macam ketika Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenhukham) Prof Dr Denny Indrayana melakukan inspeksi dadakan ke Rumah Tahanan Cipinang, tempat Muhammad Nazaruddin ditahan dalam kasus korupsi Wisma Atlet.
    Sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, ia mendapat kesempatan baik setelah Presiden SBY mengangkatnya menjadi Staf Khusus Presiden bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Satgas Pemberantasan Mafia Hukum).
    Setelah berhasil meringkus Gayus, Raja Mafia Pajak, Denny Indrayana diangkat menjadi Wamenhukham, walaupun bertentangan dengan Peraturan Presiden No 47/2009 yang mewajibkan Wamenhukham pegawai negeri karier eselon IA. Padahal Denny Indrayana baru eselon IIIC.
    Namun dalang tidak kekurangan akal sehingga untuk keperluan itu dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 76/2011 yang mengubah peraturan sebelumnya. Ketua Mahkamah Mahfud MD mengatakan peraturan ini mengancam jenjang karier kepegawaian
    Pada 6 Februari 2012 Denny dikukuhkan sebagai Profesor Hukum Konstitusi. Dalam orasinya ia mengucapkan terima kasih, antara lain kepada SBY yang memungkinkan dia menjadi profesor.
    Dalam kapasitas sebagai Wamenhukham inilah Denny, dengan bantuan CCTV, dapat menjebak Muhammad Nasir, anggota Komisi III DPR, adik kandung Nazaruddin yang mengunjunginya di luar jam kunjungan. Ia melakukan inspeksi dadakan yang menurut pengakuannya dilakukan pada pukul 23.00, tetapi Nasir mengatakan pukul 21.00.
    Sebagian besar rakyat menilai sidaknya ini psywaruntuk mengalihkan perhatian rakyat banyak dan media yang menyorot terus menerus PD. Tindakannya ini dapatlah dimengerti, karena atasannya adalah tokoh dan mantan Sekretaris Dewan Kehormatan PD. Denny ingin membuktikan telah bekerja baik, seperti yang diinginkannya, dan menunjukkan baktinya kepada SBY.
    Kasus ini mencuat dan menjadi perhatian pers dan media elektronika, serta online. Seperti telah dilakukan Cyrus Agung, Alexander Agung, dan Jengis Khan, psywar dapat diakhiri dengan mengalihkan perhatian pula.
    Itulah sebabnya pers dan media elektronika jangan terpancing pada pengalihan masalah utama di dalaam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Teguh dan kukuhlah sampai akhir. ●
  • MP3EI dan Daerah Tertinggal

    MP3EI dan Daerah Tertinggal
    Helmy Faishal Zaini, MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
    SUMBER : REPUBLIKA, 3 MARET 2012
    Pada Sidang Kabinet Paripurna, Presiden mengemukakan bahwa pada Mei akan meluncurkan Masterplan Program Perencanaan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). MP3KI disusun secara integral dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2025 yang sudah diluncurkan tahun lalu. Melalui MP3EI, pemerintah berusaha untuk menarik investor sebanyak mungkin, tetapi diimbangi dengan   pengurangan kemiskinan melalui program-program dalam MP3KI. 
    Melalui program ini, secara bertahap angka kemiskinan akan terus ditekan dari sekarang 13 persen hingga menjadi empat persen pada 2025.
    Pendekatan MP3EI berdasarkan pada pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, baik yang telah ada maupun yang baru. Dengan demikian, pendekatan dalam MP3EI merupakan integrasi dari pendekatan sektoral dan regional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ini dilakukan dengan mengembangkan cluster industri dan kawasan ekonomi khusus.
    Dalam pengembangan pusat-pusat pertumbuhan disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi dan infrastruktur pendukungnya. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan koridor ekonomi Indonesia.
    Pembangunan koridor ekonomi dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing pulau besar (sesuai dengan letak dan kedu dukan geografis masing-masing pulau) maka ditetapkan enam koridor ekonomi.
    Masing-masing koridor ekonomi memiliki tema pembangunan sendiri-sendiri. Koridor Ekonomi Sumatra dengan tema pembangunan sebagai “Sentra   Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”. Koridor Ekonomi Jawa tema pembangunannya adalah “Pendorong Industri dan Jasa   Nasional”.
    Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional” dan  Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas, dan Pertambangan Nasional”.
    Sedangkan, Koridor Ekonomi BaliNusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional” dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.
    Jika kita melihat sebaran daerah tertinggal dari masing-masing koridor tersebut maka pada Koridor Ekonomi Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, daerah tertinggal berada pada wilayah penyangga. Sedangkan, sebaran daerah tertinggal pada Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku berada pada wilayah utama. Dengan demikian, melalui sebaran koridor ekonomi itu, daerah tertinggal bisa berperan sebagai wilayah penyangga dan/atau wilayah utama kegiatan pembangunan di suatu koridor.
    Perhatian pemerintah terhadap penurunan angka kemiskinan terus-menerus dilakukan. Dalam upaya untuk menurunkan kemiskinan, pemerintah melakukan berbagai intervensi langsung dengan program-program prorakyat. Untuk program ini ada empat cluster, yaitu program “Bantuan dan Perlindungan sosial”, “Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat” (PNPM) Mandi ri, “Kredit Usaha Rakyat” (KUR), dan program “Murah untuk Rakyat”.
    Program “Murah untuk Rakyat” ini, yang merupakan cluster empat dari program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan mencakup program rumah murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih untuk rakyat, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan               masyarakat miskin perkotaan. Selain program yang diluncurkan tersebut, pemerintah juga memberikan perhatian terhadap rakyat kecil dan miskin. Dalam konteks ini, semua warga negara berpenghasilan rendah memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan.
    Dalam rangka untuk menurunkan kemiskinan tersebut dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, kini Presiden akan meluncurkan program MP3KI. Program ini, seperti dikatakan Menko Perekonomian, merupakan tindakan afirmatif (affirmative action) untuk perlindungan sosial dan penguatan masyarakat miskin. Sehingga, melalui program ini yang disandingkan dengan MP3EI, diharapkan akan dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
    Daerah Tertinggal
    Penyebaran nilai indeks pembangunan manusia (IPM) kabupaten tertinggal sebagian besar berada di bawah garis nilai IPM nasional. Selain itu, daerah tertinggal masih menjadi konsentrasi adanya kemiskinan, yaitu rata-rata tingkat kemiskinan sebesar 23,4 persen. Penyebaran tingkat kemiskinan kabupaten daerah tertinggal sebagian besar masih berada di atas garis tingkat kemiskinan nasional.
    Rendahnya kualitas SDM dan tingginya kemiskinan tersebut, di antaranya berkaitan dengan permasalahan rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan dasar, khususnya pendidikan, kesehatan, serta rendahnya akses terhadap sumber perekonomian yang dapat mendukung daya beli masyarakat.
    Dengan kondisi seperti itu, programprogram yang diluncurkan oleh Presiden yang terkait dengan MP3EI akan memberikan dampak positif bagi daerah-daerah tertinggal. Begitu juga dengan program MP3KI.
    Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) terus-menerus berupaya melakukan terobosan-terobosan dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal, seperti melalui bedah desa dan program “Prukab“. KPDT juga terus meningkat dan mengintensifkan koordinasi-koordinasi dengan stakeholders, baik itu dengan pi hak kementerian/lembaga terkait maupun dengan dunia usaha, BUMN, dan swasta, untuk bersama-sama membangun daerah tertinggal agar cepat maju dan sejajar dengan daerah lain. ●
  • Menunggu Peran MIUMI

    Menunggu Peran MIUMI
    Adian Husaeni, DEKLARATOR MIUMI
    SUMBER : REPUBLIKA, 3 MARET 2012
    “Rakyat rusak karena penguasanya rusak; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit gila dunia.”
    Mutiara hikmah dari Imam al-Gha zali itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat memberikan sambutan dalam acara deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Selasa (28/2). Mahfud MD, saat itu, tampak sangat serius. Ia menyebut berbagai fenomena kerusakan masyarakat akibat rusaknya ulama dan intelektual. Lihatlah, dalam berbagai survei, calon pemimpin hanya disuvei aspek popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitasnya. “Tidak ada kriteria akhlak.”
    Karena itu, jika ulama dan intelektual rusak, maka rusaklah seluruh tatanan dan masyarakat itu sendiri. Imam al-Ghazali (wafat 1111 M) sudah lama mengingatkan masalah ini. Karena itulah, al-Ghazali menuliskan bab tentang Ilmu di awal kitab monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin. Peran penting ilmu dan ulama dibahas secara panjang lebar. Begitu juga dijelaskan bahaya kerusakan ilmu dan ulama jahat (ulama as-su’).
    Pada malam deklarasi MIUMI, Prof Dr Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah, mengingatkan, kehadiran MIUMI harus memberikan solusi bagi berbagai persoalan bangsa, diantaranya soal imoralitas.
    Ketua MUI KH A Cholil Ridwan, mengajak ulama untuk lebih “mendekat ke masjid” dan aktif mengurusi masalah umat. Kehadiran Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, menarik banyak perhatian.
    Bambang yang selama berbulan-bulan tidak mun cul di media massa, malam itu hadir untuk menyampaikan sambutan. Ia mengingatkan MIUMI agar segera bekerja, karena, kata dia, “Mulut kita satu, tapi tangan dan kaki kita ada dua.“
    Lebih Beradab
    Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Ustaz Fadzlan Garamatan, dai asal Nuu Waar (Papua), dijelaskan bahwa MIUMI menegaskan adanya kesinambungan risalah keilmuan, perjuangan, dan dakwah di Nusantara yang merupakan amanah dan tanggung jawab bagi kaum intelektual dan ulama dari masa ke masa. Hal lain yang melatarbelakangi pendirian MIUMI adalah kemerosotan otoritas ulama serta perpecahan ulama dan umat. Ini mengkhawatirkan.
    Ulama diamanahi Nabi SAW sebagai pewaris perjuangan penegakan risalah kenabian. Maknanya, umat Islam wajib mewujudkan adanya ulama-ulama dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi (kifayah). Pengadaan ulama adalah salah satu kewajiban penting. Tentu, ulama di sini adalah ulama yang sebenarnya. Ulama wajib memahami makna risalah. Dalam kaitan inilah ulama wajib memahami Alquran dan Hadis Nabi serta metodologi yang benar dalam memahami kedua sumber utama ajaran Islam itu. Juga, ulama mestinya terlibat aktif dalam solusi bagi persoalan umat. Dan yang penting, ulama juga wajib berakhlak mulia, mempunyai sifat takut kepada Allah (khasyatullah), dan zuhud (tidak gila dunia, termasuk gila jabatan).
    Adab memang salah satu konsep kunci dalam Islam dan juga menjadi salah satu kata kunci dalam Pancasila. Saat memberikan ucaptama (keynote speech) di Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977, Prof Dr Syed Muhammad Naquib alAttas menyebutkan problem utama umat Islam adalah lose of adab (hilang adab), yang berakar pada kondisi kerancuan ilmu (confusion of knowledge). Ilmu yang salah mengantarkan kepada ke rusakan tata-pikir seseorang dan selan jutnya kerusakan tatanan masyarakat yang beradab.
    Ketika adab hilang maka manusia tidak tahu lagi bagaimana seharusnya bersikap terhadap Tuhan. Syirik adalah dosa yang tak terampuni dan kezaliman besar. Syirik menyejajarkan al-Khaliq dengan makhluk. Kini, di era modern, bahkan banyak manusia berani menantang Tuhan, menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Saat Tuhan disingkirkan maka manusia merasa sebagai Tuhan. Sikap seperti ini sangat tidak beradab kepada Tuhan.
    Adab pada ilmu adalah kemampuan memilah dan memilih ilmu-ilmu yang wajib (baik fardu ain atau fardu kifayah) dengan ilmu-ilmu yang salah. Masya rakat beradab menempatkan orang berilmu dan saleh ke posisi tinggi, lebih tinggi ketimbang penghibur. Adab terhadap Nabi maknanya, kesediaan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah (suri tauladan). Tidak beradab jika menempatkan pezina dan pendusta di atas posisi Nabi.
    Terobosan penting dalam MIUMI adalah kesepakatan menjadikan Ahlu sunah waljamaah (Aswaja) sebagai titik acuan bersama. Konsep Aswaja menaungi berbagai paham dalam Islam. NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, alIrsyad, dan sebagainya tercakup dalam konsep ini. Dengan ini, MIUMI juga menolak pengembangan paham libe ralis me dan aliran sesat. Penolakan itu harus dilakukan secara ilmiah, berdasarkan hujah dan keilmuan yang jelas.
    Fungsi penting MIUMI adalah se bagai wadah pengembangan potensi intelektual dan ulama muda dari berbagai daerah. Komitmen dakwah dan keilmuan dijadikan sebagai acuan. ●

  • Sesat yang Menyesatkan

    Sesat yang Menyesatkan
    Masdar Farid Mas’udi, ROIS PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
    SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012
    Semua orang tahu, sesat artinya salah jalan. Mestinya belok kanan, malah belok kiri sehingga bukannya sampai ke tujuan, justru semakin menjauh.
    Sesat atau ”tersesat” adalah kecelakaan yang tak dikehendaki siapa pun. Jika Anda orang budiman, melihat orang tersesat, tentu Anda akan menolongnya, dengan memberi tahu yang bersangkutan mana jalan yang benar, dengan kasih dan kepedulian. Namun, sungguh terjadi, bahkan semakin banyak terjadi, melihat orang lain tersesat malah memakinya, bahkan menyerangnya. Nalarnya: sudah diberi tahu jalan yang benar, kok, ngotot memilih jalan yang salah. Terhadap orang seperti ini, Anda memang layak kesal dan geleng-geleng kepala. Namun, kalau sampai memukul, apalagi membunuhnya, yang lebih bermasalah adalah Anda, bukan dia yang tersesat.
    Main Hakim Sendiri
    Dalam kamus umat beragama, sesat artinya salah jalan terkait tujuan akhir kehidupan, untuk kembali pada Tuhan. Pertaruhannya tuntas dan telak. Maunya ke surga, hidup abadi dalam kebahagiaan dan kemuliaan, tahunya malah ke neraka, alam gelap penuh hina dan nestapa.
    Masalahnya, semua agama dengan klaim kebenaran absolut masing-masing menawarkan gambar dan peta jalan berbeda-beda perihal surga. Mana yang benar? Wallahu a’lam! Sebab, belum ada seorang pun di dunia ini, baik yang mengaku beriman maupun yang kafir, pernah membuktikan sendiri langsung, live, apa yang diklaimnya sebagai surga ataupun neraka. Bahkan, dari kalangan para pemuka agama yang mengaku paling tahu pun, belum ada yang pernah menyaksikan surga ataupun neraka itu.
    Meski demikian, semua agama sepakat pada dua hal: pertama bahwa surga itu ada; apa pun konsep kebahagiaan yang ada di dalamnya. Bukan agama kalau tak menawarkan surga dan mengancam pembangkangnya dengan neraka. Kedua, semua agama sepakat, di balik konsep surga dan neraka, ada yang disebut Tuhan, Zat Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta alam semesta. Yang menjadi masalah dan sekaligus titik konflik di antara agama-agama bahwa setiap mereka menawarkan jalan surga yang berbeda-beda, sekaligus mengklaim hanya jalan mereka yang bisa menjamin orang sampai ke sana; sementara jalan yang ditawarkan agama atau keyakinan lain dituding sebagai kebohongan belaka.
    Tidak berhenti di situ; di kalangan penganut agama dan kitab suci yang sama, dengan mazhab atau aliran berbeda, pun bisa terjadi aksi saling tuding dan menistakan satu sama lain sebagai pembawa ajaran sesat dan menyesatkan (dlallun mudlillun).
    Arkian, dilihat dari perspektif internal masing-masing, semua agama/keyakinan adalah benar dengan klaim kesanggupan mutlak mengantarkan penganutnya ke surga. Namun, pada saat yang sama, dilihat dari sudut pandang agama/keyakinan pihak lain, semuanya hanya dusta yang sesat dan menyesatkan pengikutnya ke dalam neraka. Dengan logika ini, harus dikatakan bahwa pada dasarnya tak ada penganut agama/keyakinan berhak menghakimi agama atau keyakinan lain.
    Sebab, semua agama dan penganutnya, di mata pihak lain, sama posisinya sebagai tertuduh. Saling menghakimi di antara tertuduh itulah dan aksi ”main hakim sendiri” yang tidak bisa diterima oleh logika apa pun.
    Allah Yang Menghakimi
    Agama sebagai ”keyakinan” adalah sesuatu yang tersembunyi di relung hati; tidak seorang pun bisa mengetahui secara persis sosok dan anatomi keyakinan orang lain. Menghakimi keyakinan orang lain adalah absurd dan tak bisa diterima akal sehat. Khalifah Umar ra berkata, ”Nahnu nahkum bidzzhawahir, wallahu yatawallas saraair (Kita manusia hanya bisa menghakimi yang tampak, sementara perihal yang tersembunyi [keimanan] dalam hati Allah saja yang mengetahui).”
    Demikian pula jalan keselamatan (syariat/mansak) antara satu umat dan umat lain bisa berbeda-beda dan demikian faktanya. Maka, nasihat Al Quran, ”Janganlah kalian saling bertengkar dan saling menghakimi perihal ini, berdoalah saja kepada Allah” (QS al-Hajj [22]: 67). Jika harus ada penghakiman, biarlah Allah yang jadi hakimnya. Itu pun bukan di dunia ini, melainkan di akhirat nanti, ”Allah yang akan menghakimi perselisihan di antara kalian, di hari kiamat nanti (QS al-Hajj [22]: 69).
    Kebinekaan agama dan keimanan adalah kehendak Allah yang tak bisa kita tolak atau hindari. Setiap orang berhak dan sepantasnya berbangga dengan agama dan keyakinannya tanpa harus menuding keyakinan orang lain sebagai kepalsuan dan kesesatan. Tak pantas akhlak agamawan kalah dengan kaum kapitalis; mereka sanggup mempromosikan produknya setinggi langit tanpa melecehkan produk pihak lain. Cukup katakan: Keyakinan saya atau kami memang berbeda dengan keyakinan Anda. ”Kami tidak menyembah yang kalian sembah; sebagaimana Anda juga tidak perlu menyembah apa yang kami sembah. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu” (QS al-Kafirun [109]: 6).
    Beda agama atau keyakinan bukan suatu kejahatan, melainkan realitas kehidupan yang sepenuhnya terjadi atas kehendak-Nya. ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya semua manusia akan dihimpun dalam satu agama atau keyakinan yang sama. Akan tetapi, Allah ingin membuktikan mana di antara kalian yang lebih baik amalnya daripada yang lain. Maka, berlombalah dalam berbuat kebaikan untuk sesama (bukannya saling mencela, menistakan, dan memaksakan keyakinan atas sesama)” (QS al-Maidah [5]: 45). ●
  • Menghilangnya Nilai Moral

    Menghilangnya Nilai Moral
    James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
    SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012
    Kita agak terenyak melihat betapa sudah menyebarnya korupsi di semua sendi kehidupan bangsa ini. Di harian ini, Rabu lalu, diturunkan berita dari hasil diskusi di Redaksi Kompas tentang DPR yang terbelit korupsi. Disebutkan, praktik korupsi di lembaga legislatif saat ini ditengarai makin ganas. Hal itu terlihat dari banyaknya anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi. Semakin banyak dan semakin beragam kasus korupsi yang terungkap di DPR.
    Salah satu alasannya adalah anggota DPR harus berburu modal untuk mengamankan posisinya pada Pemilihan Umum 2014. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P DPR, yang menjadi salah satu peserta diskusi, mengemukakan, ada tiga hal yang membuat wakil rakyat terjerat korupsi, yaitu pembiayaan partai, sistem pemilu dengan memakai suara terbanyak yang membuat biaya politik semakin tinggi, dan lingkungan.
    Sebagai gambaran, Eva bercerita, pada Pemilu 2004, Eva menghabiskan Rp 225 juta untuk kampanye, dan Rp 75 juta di antaranya dipakai untuk sumbangan kepada partai. Biaya itu melonjak pada Pemilu 2009. ”Dulu, pemilih sudah senang jika dikunjungi dan disapa. Namun, sekarang, hal itu tidak cukup lagi,” ujarnya.
    Lalu, haruskah seseorang korupsi untuk memenuhi itu? Di manakah nilai moral yang seharusnya membatasi tindak-tanduk seseorang? Sebab, pada saat kesempatan untuk korupsi itu terbuka luas, adalah nilai moral yang mencegah seseorang untuk melakukannya.
    Dari kasus yang terjadi pada Partai Demokrat yang mendudukkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka, terlihat dengan jelas bagaimana uang-uang panas berseliweran dari satu orang ke orang yang lain. Angelina PP Sondakh, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, dan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, adalah dua di antara banyak nama yang disebut-sebut menerima uang dalam jumlah besar.
    Angelina, yang muncul di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sebagai saksi dengan terdakwa Nazaruddin dalam kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang, membantah bahwa ia menerima uang dan melakukan komunikasi melalui Blackberry Messenger (BBM) dengan saksi lain, Mindo Rosalina Manulang.
    Sama seperti Angelina, Anas pun membantah keterangan saksi-saksi dalam sidang pengadilan dengan terdakwa Nazaruddin, yang menyebutkan bahwa Anas menerima kiriman miliaran rupiah dan mobil mewah. Anas pun membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan mengatakan, ”Itu dagelan, bukan kesaksian.”
    Namun, bantahan itu tidak dilakukan Anas di sidang pengadilan karena ia memang belum dihadirkan sebagai saksi. Karena itu, dalam memberikan bantahan, Anas tidak dicecar oleh penasihat hukum Nazaruddin seperti halnya Angelina Sondakh.
    Tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada Angelina dan Anas tidak lantas dapat diartikan sepenuhnya benar. Diperlukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung tuduhan itu. Sebaliknya, Angelina dan Anas pun memerlukan bukti yang kuat untuk mendukung bantahannya.
    Angelina mungkin memerlukan bukti yang lebih kuat mengingat ia dalam sidang pengadilan mengaku baru memiliki telepon genggam Blackberry pada akhir 2010. Namun, media massa memiliki beberapa foto yang memperlihatkan Angelina telah menggunakan Blackberry sejak belum menikah dengan mendiang suaminya, Adjie Massaid. Bahkan, saat hamil, ia sudah memegang Blackberry.
    Bantahan saja tidaklah cukup. Ada pepatah yang mengatakan, ”ada asap, ada api”, yang pengertian bebasnya kira-kira adalah tuduhan-tuduhan itu tidak akan muncul jika seseorang tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
    Ada kata-kata bijak dari China, ”jika Anda mengenakan baju putih, jangan masuk ke gudang arang. Sebab, walaupun Anda hanya lewat saja dan tidak melakukan apa-apa, baju Anda akan dikotori debu arang”.
    Perlu Komitmen Penegak Hukum
    Walaupun kali ini harian ini menyoroti korupsi di DPR, tidak berarti korupsi hanya terjadi di jajaran legislatif. Korupsi juga terjadi di jajaran eksekutif, yudikatif, dan institusi lain.
    Bahkan, ironis, ketika kita melihat Gayus HP Tambunan, bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, kembali divonis penjara, Kamis lalu, ada lagi pegawai Ditjen Pajak yang diperiksa Kejaksaan Agung karena kasus yang hampir sama dengan Gayus, yang kekayaannya lebih dari Rp 100 miliar. Nama pegawai itu Dhana Widyatmika Merthana. Ia diketahui memiliki rekening bernilai miliaran rupiah dan harta lain yang tidak wajar. Dhana antara lain memiliki rekening senilai Rp 60 miliar, padahal gaji Dhana sesuai golongan kepegawaiannya (III C) kurang dari Rp 5 juta per bulan. Proses pemeriksaan terhadap Dhana masih berlangsung.
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun mengingatkan publik bahwa masih ada ”gayus-gayus lain” di negeri ini. Pada pertengahan 2011, PPATK melaporkan kepada penegak hukum adanya 294 orang yang dicurigai melakukan pencucian uang. Dari jumlah itu, 174 orang atau 59,6 persen terindikasi korupsi.
    PPATK meminta komitmen dari penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan kepolisian, untuk menindaklanjuti laporan itu…. ●
  • Fikih Revolusi

    Fikih Revolusi
    Hasibullah Satrawi, SARJANA HUKUM ISLAM AL-AZHAR, KAIRO, MESIR; PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY JAKARTA
    SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012
    Ada satu bagian dari Musim Semi Arab yang acap terlewatkan dari ulasan para pengamat: bahwa revolusi terjadi di negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya mengikuti aliran Ahlussunnah (bukan Syi’ah), seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
    Revolusi di negara-negara Ahlussunnah menarik diperhatikan karena masuk kategori peristiwa tak lazim. Bahkan, pada tahap tertentu dapat dikatakan, revolusi ini telah melabrak tradisi keagamaan yang termanifestasi dalam bentuk produk hukum (fikih) yang antirevolusi.
    Pada awalnya, lembaga-lembaga keagamaan terkemuka di Arab mempertahankan pandangan fikih yang antirevolusi. Hal ini terlihat jelas dari sikap lembaga keagamaan selevel Al-Azhar yang memilih diam saat terjadi revolusi di Mesir.
    Al-Azhar baru bersikap tegas setelah kekuatan revolusi Mesir berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Itu pun tidak dalam bentuk sikap tegas mendukung kelompok revolusi sekaligus menghujat rezim Mubarak, tetapi dalam bentuk sikap mengayomi semua kekuatan berpengaruh di Mesir demi terwujudnya masa depan yang lebih cerah bagi negeri piramida itu.
    Beberapa waktu terakhir, sikap Al-Azhar acap berbeda seratus persen dari sikap awalnya terkait dengan revolusi yang terjadi. Sikap mutakhir Al-Azhar justru mendukung aksi revolusi yang terjadi seperti di Suriah karena rezim yang berkuasa dianggap telah melakukan kejahatan besar dengan membunuh anak-bangsanya sendiri.
    Fikih Antirevolusi
    Tradisi fikih di kalangan Ahlussunnah melarang keras revolusi untuk melawan sebuah pemerintahan yang sah. Bahkan, pengharaman ini juga berlaku dalam konteks pemerintahan yang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran Islam.
    Dalam kitab Fathul Bari sebagai contoh, ditegaskan bahwa revolusi terhadap pemerintahan yang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran Islam tidak diperbolehkan. Satu-satunya alasan yang membuat revolusi dibolehkan adalah kekafiran sebuah rezim, yakni manakala rezim yang ada sudah melarang umat Islam melakukan ibadah yang wajib seperti shalat dan lainnya. Dalam konteks seperti ini, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, pengarang buku ini, mewajibkan revolusi rakyat untuk menurunkan rezim kafir tersebut.
    Secara normatif, pandangan fikih antirevolusi yang berlaku di kalangan Ahlussunnah sebagaimana di atas berlandaskan salah satu ayat Al Quran yang mewajibkan patuh kepada Allah, Rasul, dan ulilamri (athi’ullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum; Qs. An-Nisa’: 59). Mayoritas ulama menafsirkan kata ulilamri dalam ayat di atas sebagai pemerintahan yang sah.
    Oleh karena itu, berdasarkan ayat di atas, umat Islam wajib mematuhi pemerintah yang sah. Mereka yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dianggap sebagai kelompok bughat (pemberontak) yang harus diperangi (sesuai dengan ketentuan Al Quran, Al-Hujurat: 9).
    Di luar ayat Al Quran di atas, pengharaman terhadap revolusi di kalangan Ahlussunnah juga dibangun di atas kaidah hukum fikih yang dikenal dengan istilah saddu az-zara’i’ (menutup kemungkinan buruk). Atas dasar kaidah fikih ini, revolusi diharamkan karena bisa membuka pintu-pintu keburukan yang lebih parah, seperti pembunuhan, perang saudara, perusakan fasilitas publik, dan yang lainnya. Agar kemungkinan-kemungkinan buruk itu tidak terjadi, revolusi pun diharamkan.
    Almarhum filsuf terkemuka Arab modern dari Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri, menjelaskan latar belakang yang membuat fikih Ahlussunnah melarang keras revolusi. Dalam bukunya berjudul Al-Aqlu As-Siyasiy Al-’Arabiy (Nalar Politik Arab), Al-Jabiri melansir bahwa nalar Ahlussunnah dalam hal-hal yang berkaitan dengan perpolitikan dan pemerintahan cenderung harmonis. Istilah yang digunakan oleh Al-Jabiri adalah laysa abda’ bil imkani mimma kana (tidak ada yang lebih baik dari yang sudah terjadi, 2000: 233).
    Melalui penalaran seperti ini, kelompok Ahlussunnah tidak mau mengotak-atik realitas politik dan kepemimpinan yang ada, baik pemerintahan pada masa sekarang maupun pemerintahan pada masa terdahulu.
    Dalam konteks pemerintahan sekarang, otak-atik sebuah pemerintahan dikhawatirkan justru menjadi awal bagi terjadinya pelbagai macam tragedi yang berdarah-darah. Adapun otak-atik pemerintahan pada masa terdahulu dianggap lebih tidak memungkinkan lagi mengingat hal tersebut akan berakibat pada hal-hal yang jauh lebih buruk, yaitu mengotak-atik sejarah pemerintahan awal dalam Islam.
    Inilah yang membedakan aliran Ahlussunnah dari aliran-aliran yang lain dalam Islam, khususnya aliran Syi’ah. Berbeda dengan kelompok Ahlussunnah, Syi’ah mengembangkan nalar yang bercorak idealis. Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ma yanbaghiy ay-yakuna (yang seharusnya ada dan terjadi).
    Pokok utama dari penalaran seperti ini adalah menciptakan tatanan politik dan kekuasaan seideal mungkin walaupun hal ini harus ditempuh melalui jalur revolusi, tidak hanya dalam konteks pemerintahan yang ada sekarang, tetapi juga dalam realitas pemerintahan yang menyejarah.
    Peringatan Dini
    Pertanyaannya adalah apa makna dari fikih revolusi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beraliran Ahlussunnah itu? Dalam hemat penulis, fenomena di atas setidaknya menunjukkan semakin matangnya kedewasaan masyarakat, terutama dalam menghadapi persoalan keagamaan dan kenegaraan.
    Kedewasaan telah membuat masyarakat membangun dan meyakini rasionalitas publik yang bersifat kontekstual sehingga mereka berani mendobrak pelbagai macam ketentuan, baik yang bersifat pandangan keagamaan antirevolusi maupun kebijakan rezim yang otoritarianistik dan manipulatif.
    Oleh karena itu, fenomena fikih revolusi sejatinya menjadi peringatan dini bagi semua pihak, khususnya kalangan pemuka agama dan pemerintah agar mereka tidak mengeluarkan sikap ataupun kebijakan yang menyalahi rasionalitas kontekstual masyarakat. Bila tidak, bukan mustahil masyarakat akan mengambil tindakan yang dianggap sesuai dengan rasionalitas publik yang ada.
    Dalam kondisi seperti ini, tidak menutup kemungkinan revolusi seperti yang terjadi di dunia Arab (yang awalnya diharamkan) juga akan melebar dan mengguncang negara lain di luar kawasan Timur Tengah, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya juga mengikuti aliran Ahlussunnah. Setebal apa pun fatwa pengharaman yang dikeluarkan oleh kaum agamawan atau seindah apa pun klaim kesuksesan yang disampaikan pemerintah. ●
  • Kekerasan di Suriah

    Kekerasan di Suriah
    Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, UI
    SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012
    Gelombang Musim Semi Arab tampaknya belum benar-benar berhenti. Tuntutan perubahan masih menggelora di Suriah, salah satu negara kunci di kawasan Timur Tengah.
    Tuntutan perubahan yang disampaikan kelompok oposisi ditanggapi dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah. Kekerasan pun merebak di beberapa kota. Sejauh ini sudah lebih dari 7.500 orang tewas. Hanya saja, kekerasan dan jatuhnya korban jiwa tak serta-merta mendorong intervensi internasional atas nama tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect). Hal ini berbeda dengan di Libya beberapa waktu lalu. Tentu bukan karena jumlah korban jiwa dianggap belum ”keterlaluan” jika hingga kini intervensi internasional belum juga dilakukan.
    Lebih Pelik
    Alasan utama terletak pada riil politik yang melekat dalam konteks Suriah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Libya. Ada empat dorongan mengapa kasus Suriah menjadi lebih ”pelik” untuk diselesaikan. Pertama, keberadaan negara besar di belakang Suriah. Suriah merupakan salah satu sekutu utama Rusia, bahkan sejak periode awal Perang Dingin (masih dengan nama Uni Soviet). Kedekatan tampak, misalnya, jika kita mencermati teknologi militer yang dimiliki Suriah yang sangat kental karakter Uni Soviet/Rusia-nya.
    Dukungan politik Rusia ke Suriah juga tampak di PBB. Terakhir, awal Februari, Rusia menggunakan hak veto terhadap draf resolusi bernomor S/2012/77 yang diusulkan beberapa negara Arab, Jerman, Inggris, Turki, dan AS. Rusia menilai usulan resolusi tersebut tak akan membawa hasil yang positif untuk menyelesaikan kekerasan dan memilih pendekatan diplomasi langsung dengan rezim Bashar al-Assad.
    Kedua, keberadaan kekuatan regional di belakang Suriah. Selain kedekatan dengan Rusia, Suriah juga membangun aliansi dengan Iran. Suriah dan Iran merupakan duet maut dalam menentang eksistensi Israel. Kedekatan kedua negara salah satunya terlihat dalam pendirian dan kinerja Hisbulah, kelompok Syiah anti-Israel yang berbasis di Lebanon selatan. Suriah jadi negara penghubung Hisbulah dan Iran, termasuk menjadi jalur utama transmisi senjata. Tak mengherankan jika kemudian ada yang berpendapat kekacauan di Suriah saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat menekan Iran.
    Ketiga, kekuatan jejaring kelompok bersenjata yang dimiliki rezim penguasa Suriah. Suriah dikenal sebagai frontier states yang paling keras menentang Israel. Suriah bukan saja secara langsung berkonfrontasi dengan Israel terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan dan kawasan Sheeba, tetapi juga berperan penting melanggengkan konflik antara Israel dan Lebanon.
    Selain itu, Suriah juga menjadi negara di belakang Hisbulah dan Hamas, dua kekuatan bersenjata anti-Israel yang hingga saat ini gagal ditundukkan oleh Israel. Jejaring kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Suriah ini membuat intervensi terhadap kondisi politik domestik di Suriah akan jadi semakin rumit.
    Terakhir, karakter negara intelijen. Selama periode kepemimpinan klan Assad, Suriah dikenal sebagai negara otoriter di mana peran intelijen dalam mengamankan rezim sangat dominan. Peran para mukhabarat, agen-agen rahasia, dalam mengontrol beragam aspek kehidupan penduduk sedemikian besar. Hal ini berimbas pada lemahnya kesatuan visi kelompok oposisi. Kelompok oposisi, meski disatukan oleh kepentingan yang sama, tak dibangun oleh jejaring yang kuat dan mapan.
    Selain itu, karakter negara intelijen yang dibangun oleh ayah-bapak Assad tidak semata memberikan keuntungan kepada klan mereka saja, tetapi juga kelompok elite yang lain. Hingga saat tulisan ini dibuat tak terdengar kabar pembelotan yang dilakukan tokoh-tokoh kunci pemerintah. Artinya, gerakan perlawanan yang muncul saat ini tak mengakar di kalangan elite. Hal ini tak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu Suriah sebelum Hafiz al-Assad berkuasa yang penuh gejolak politik dan kudeta.
    Sikap Indonesia
    Keempat hal tersebut menjadikan kasus Suriah spesial jika dibandingkan kasus-kasus pergolakan di negara Arab lain. Menghadapi kondisi di Suriah, sikap seperti apa yang harus diambil Indonesia? Ada dua prinsip dasar yang harus dipegang oleh Indonesia dalam masalah ini.
    Pertama, harus ada konsistensi penghormatan terhadap kedaulatan negara. Salah satu poin penting yang mendasari penolakan Rusia atas usulan resolusi S/2012/77: Rusia tak melihat rezim Assad sebagai salah satu sumber masalah, hal yang berbeda dengan pandangan para pengusul resolusi. Harus ada penjelasan rasional apakah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang berlangsung di Suriah beberapa tahun atau dekade terakhir muncul semata karena rezim berkuasa? Atau, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu muncul karena dorongan struktural mengingat perilaku rezim Assad, Hafiz maupun Bashar, juga bergantung pada konflik Arab-Israel secara keseluruhan.
    Salah satu kekuatan yang membuat rezim Assad bertahan dan mendapat dukungan elite yang kuat adalah konsistensi rezim Assad dalam memerangi Israel. Konsistensi tersebut juga meningkatkan citra Suriah di dunia Arab. Rezim Assad menggunakan ancaman Israel sebagai isu untuk meningkatkan kohesivitas politik internal. Keberadaan ancaman Israel yang nyata berkontribusi pada hadirnya relasi yang positif antara rezim dan militer. Atas nama ancaman Israel, rezim mendapatkan dukungan dari militer dan elite lain untuk menciptakan kontrol negara atas publik.
    Pergeseran nilai yang dibawa Musim Semi Arab, yang meletakkan keterbukaan di atas stabilitas, secara tak sengaja akan berkontribusi pada pandangan mengenai konflik Arab-Israel. Cara pandang berkonflik akan dapat digerus oleh pandangan transparansi dalam relasi antarkelompok dan penekanan pada kesejahteraan publik. Secara perlahan, ini mampu merekonstruksi relasi antara negara-negara Arab dan Israel.
    Kedua, konsisten pada proses penyelesaian secara damai. Kompromi politik masih tetap jadi opsi terbaik dalam kondisi saat ini. Apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya sebaiknya tak dilakukan di Suriah. Penggulingan paksa hanya akan memperkeruh situasi di Suriah mengingat posisi Bashar al-Assad masih cukup kuat di tataran elite.
    Hafiz al-Assad pernah membuka keran liberalisasi ekonomi (infitah) pada periode 1980-an. Upaya keterbukaan ini gagal karena dilakukan dengan sangat terkontrol. Upaya serupa dengan derajat kontrol negara atas proses keterbukaan yang lebih minim bisa dilakukan untuk meredakan ketegangan. Meningkatnya tensi kawasan jangan sampai memaksa para pihak yang bertikai di Suriah memilih jalan kekerasan yang tidak berujung. ●
  • Negara Membunuh Esemka

    Negara Membunuh Esemka
    Agus Haryanto, DOSEN DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL 
    FISIP UNSOED PURWOKERTO
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 3 MARET 2012
    KEGAGALAN mobil Esemka dalam uji emisi membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Seolah-olah tak percaya, sebagian besar publik mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mendukung industri nasional. Peran negara dalam perekonomian memang menjadi pembahasan dunia. Di satu sisi, kini Indonesia terikat berbagai perjanjian internasional, seperti free trade agreement (FTA), yang dianggap menguntungkan industri dalam negeri karena ada pengurangan tarif bagi produk kita untuk masuk ke negara lain tapi di sisi lain dikhawatirkan menghancurkan industri dalam negeri karena kalah bersaing.
    Lihatlah contoh kasus FTA China-ASEAN yang melibatkan Indonesia tahun 2010. Setelah pemberlakuan ksepakatan itu, produk China membanjiri Indonesia. Sampai-sampai jeruk lokal dan batik Indonesia pun dikalahkan. Tak mengherankan kalau muncul guyon God made everything, but everything made in China.
    Negara menjadi aktor yang disalahkan dalam kasus tidak lolosnya uji emisi Esemka. Tapi, sebagaimana sering disampaikan Jokowi bahwa hak itu (lolos uji emisi) tidak bisa diminta dengan cara mengemis. Maka kerja keraslah yang harus dikedepankan untuk mengusungnya.
    Kita juga perlu membayangkan, seandainya negara meloloskan uji emisi Esemka kendati belum memenuhi standar, pasti muncul polemik hebat. Pemerintah akan diprotes oleh industri otomotif asing yang ada di Indonesia. Efeknya kemungkinan pabrikan tersebut meninggalkan Indonesia dan merelokasi basis industrinya ke Thailand atau Vietnam. Kita bisa membayangkan ribuan pengangguran baru akibat hal ini.
    Selain itu, pemerintah dianggap tidak konsisten menjalankan regulasi, dalam hal ini peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Perhubungan. Pemerintah dianggap memproteksi industri dalam negeri yang berdampak kecaman dunia.
    Persoalannya, seandainya Esemka benar-benar ’’terbunuh’’ maka peristiwa ini akan menjadi tragedi bagi industri dalam negeri. Pasalnya, mobil rakitan siswa SMK yang difasilitasi Kiat Motor Klaten itu telah menghadirkan harapan munculnya industri mobil nasional (mobnas), yang embrionya dari Jateng.
    Membantu Swasta
    Negara seharusnya tidak membiarkan Esemka terbunuh, apalagi hanya dengan dalih fair trade dengan negara lain, atau dalih negara membiarkan sektor swasta berkompetisi di pasar. Pemerintah seharusnya membantu melalui dua cara yaitu meningkatkan daya saing Esemka dan memasarkan produk itu. Daya saing dapat dibangun melalui supervisi pemerintah, misalnya mendatangkan tenaga ahli. Langkah ini tidak melanggar fair trade yang didengung-dengungkan WTO.  
    Mari kita lihat bagaimana Amerika Serikat menyokong industrinya. Walaupun Boeing bukanlah perusahaan negara, pada Februari 2012 ia bisa merealisasikan perjanjian jual beli 230 pesawat dengan Lion Air Indonesia. Kontrak kedua perusahaan itu senilai 22,4 miliar dolar AS itu, merupakan kontrak terbesar dalam sejarah Boeing, baik dari sisi transaksi maupun jumlah. Pesanan banyak pesawat oleh Lion Air ini dinilai sangat membantu mengatasi masalah pengangguran di Amerika Serikat.
    Order itu mampu membantu menciptakan sekitar 100.000 lapangan kerja di AS dalam jangka panjang (www.thejakartapost.com/ news/2012/02/14/lion-air-contract-more-boeing-aircraft.html). Kontrak ini didahului nota kesepahaman November lalu, bahkan disaksikan Barrack Obama. Pabrik pesawat asal Eropa, Airbus, iri. Direktur Operasional Airbus John Leahy mengatakan kesepakatan tak terjadi tanpa keterlibatan Obama. Dalam konteks ini kita melihat bagaimana pemerintah AS membantu perusahaan swasta berkembang di tengah persaingan global.
    Kita lihat lagi ketegasan Amerika melindungi industrinya. Januari 2012, mereka mengeluarkan notifikasi yang isinya mengembargo CPO dari Indonesia. Kebijakan itu untuk mendukung program green product yang sedang digiatkan, lewat penerapan standar minimal kandungan CO2 di level 20%. Berdasarkan penelitian Notice of Data Availability Environmental Protection Agency,  kandungan CPO Indonesia dan Malaysia hanya 17%. Karena itu, pada 28 Januari lalu, AS memberi waktu kepada kita hingga 27 Febuari untuk memberi sanggahan.
    Isu soal CPO ini dianggap oleh sebagian kalangan berembus lantaran ada kompetisi sumber bahan bakar biodiesel kendaraan bermotor di AS. Selama ini, selain menggunakan CPO, AS menggunakan biji bunga matahari dan minyak kedelai. Kedua produk ini banyak dihasilkan oleh negara-negara Barat. Pemerintah Indonesia menganggap embargo ini sebagai bentuk proteksi produk tersebut. Dari contoh itu, apakah pemerintah kita tega membiarkan Esemka ’’terbunuh?’’ ●