Author: Adul

  • Memperkuat Undang-Undang KPK

    Memperkuat Undang-Undang KPK
    Roby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 2 Desember 2011
    Bagian Pertama
    Ketidakmampuan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus korupsi akbar (grand corruption), seperti kasus Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet, secara
    adil, tuntas, serta obyektif terus menuai sinisme publik. Apabila hal ini dibiarkan, kepercayaan publik (public trust), yang krusial bagi eksistensi dan efektivitas kinerja KPK, akan terus menurun. Tanpa tindakan yang strategis dan komprehensif, masyarakat suatu saat nanti akan memandang KPK tidak berbeda dengan institusi
    penegak hukum lain yang korup, tidak memiliki kredibilitas, dan tidak berdaya memberantas korupsi.
    Tapi ketidakberdayaan KPK tersebut sesungguhnya (sebagian) disebabkan oleh kelemahan kebijakan (policy defects) Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002.
    Karena itu, revisi dalam arti penguatan undang-undang itu adalah suatu keniscayaan.
    Sebagai perbandingan, undang-undang yang mendirikan Komisi Independen Antikorupsi (Independent Commission Against Corruption atau ICAC) Hong Kong, yang
    menjadi model komisi antikorupsi di banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami beberapa kali perubahan. Begitu juga dengan ICAC Act 1988, yang mendirikan ICAC New South Wales (Australia).
    Tulisan ini mengusulkan revisi untuk memperkuat UU KPK. Bagian pertama membahas kelemahan (Undang-Undang) KPK. Bagian terakhir mendiskusikan mekanisme akuntabilitas, penguatan fungsi pencegahan, dan penindakan KPK (preventive and investigative power).
    Kelemahan
    Kelemahan mendasar KPK, sebagaimana tersirat dalam diktum menimbang UU KPK, adalah sifat ad hoc dari KPK itu sendiri. KPK didirikan karena “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Artinya, KPK tidak diperlukan lagi atau dibubarkan bila lembaga pemerintah itu, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, sudah berfungsi dengan efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.
    Hal ini tentu saja membuka peluang bagi kekuatan korup menggalang kekuatan politik
    di eksekutif ataupun legislatif untuk membubarkan KPK kapan saja. Mereka bisa saja beralasan KPK tidak diperlukan lagi, karena kepolisian dan kejaksaan telah “berfungsi dengan baik”, atau beralasan KPK justru telah “mengganggu berfungsinya sistem peradilan pidana dalam suatu negara hukum”. Sifat ad hoc KPK juga dapat menimbulkan ketidakpastian masa depan dan ketidaktenangan pegawai KPK dalam bekerja.
    Karena itu, dalam berbagai tulisan saya berdasarkan pengalaman berbagai negara yang berhasil memberantas korupsi, saya mengusulkan agar KPK ditetapkan sebagai
    institusi independen permanen dalam pemberantasan korupsi, meskipun kepolisian dan kejaksaan telah berfungsi dengan baik.
    Bahkan, dalam tulisan saya,“(Sekali Lagi) Menyelamatkan KPK!”(Koran Tempo, 26 Agustus 2011), karena peran KPK yang sangat besar dan strategis bagi berfungsinya
    demokrasi dan pemerintahan, the rule of law, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan serta eksistensi bangsa dan negara, saya berpendapat KPK hendaknya ditetapkan menjadi lembaga konstitusional (constitutional body) seperti halnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dengan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi UUD antikorupsi, seperti UUD Thailand, KPK dengan fungsinya yang strategis seperti penyidikan dan penuntutan, termasuk penyadapan, hanya dapat dibubarkan dengan referendum.
  • Negosiasi Durban

    Negosiasi Durban
    Fachruddin Mangunjaya, KANDIDAT DOKTOR PROGRAM STUDI LINGKUNGAN IPB
    Sumber : KORAN TEMPO, 2 Desember 2011
    Tidak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator dan aktivis lingkungan, kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC). Pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang diadakan pada 28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta negara lainnya.
    UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi universal yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka yang tergabung dalam konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang berkomitmen untuk: pertama, mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan nasional, dan praktek terbaik yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi nasional untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi perubahan iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang. Ketiga, bekerja sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan terus
    meningkat.
    Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota untuk menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.Tahun ini ada dua agenda penting dalam negosiasi tersebut yang diperdebatkan. Pertama, perjuangan mereduksi emisi yang selama ini berbasis pada kesepakatan antarbangsa (global accord) Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya akan membahas apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi Protokol Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang —termasuk Indonesia—adalah agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan legal dari dunia, sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin mekanisme finansial untuk tetap mempertahankan hutannya. Beberapa praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya dan mendesak supaya hal ini bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally binding).
    Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.
    Kerja Sama Global
    Upaya negosiasi untuk mencapai penurunan emisi karbon di tiap negara sudah tentu sulit dilakukan tanpa adanya kerja sama antarnegara yang berkomitmen menurunkan
    jumlah emisinya dan bantuan pasti untuk menahan laju kerusakan hutan. Diperkirakan sumber emisi global yang berasal dari kebakaran hutan serta pembukaan lahan dan hutan adalah 20- 25 persen emisi global. REDD+ memerlukan kesepakatan internasional yang mengikat (legally binding international agreement), dengan penurunan target emisi yang akan mendorong skema kredit karbon dalam upaya menurunkan pembukaan lahan dan hutan di negara berkembang.
    Beberapa skema sukarela telah dilakukan untuk mencoba REDD+ di lapangan,
    termasuk upaya pemerintah Indonesia berniat menurunkan 26 persen emisinya.
    Karena itu, Indonesia telah mendapatkan komitmen bilateral dari Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya dari berbagai pemerintah untuk mencoba
    REDD+ di lapangan.
    Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah dilakukan, debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan —terutama dalam upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada di pinggiran hutan, di antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak dikehendaki mengulang kapitalisasi hutan menjadi keuntungan para elite pengusaha hutan yang “berganti baju investasi” menjadi penjaga hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya tanpa dapat mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk pertambangan ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan yang bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan ditinggalkan, seperti sisa lahan yang tercemar tambang dan tidak lagi subur, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih.
    Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah hutan alam yang
    produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem, penahan kesuburan lahan,
    penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung dalam jangka panjang.Kebijakan jangka pendek tentu tidak akan dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti kebutuhan akan kayu, bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik serta terlihat menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong pribadi, partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-cucunya dan masa depan bumi.
    Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai barier alami atas perubahan iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah Indonesia telah menghabiskan jutaan dolar untuk membangun jalan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi kenaikan genangan air laut (rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi
    lupa bahwa kawasan tersebut dulu merupakan hutan mangrove yang telah diubah menjadi lahan gudang, pabrik, dan perumahan.
    Bagaimanapun upaya mempertahankan lingkungan harus dapat mengubah perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan. Perubahan iklim memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu (warga negara) hingga kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan perilaku (gaya hidup) hendaknya tidak hanya dilakukan dalam negosiasi global, juga dalam skala nasional, lokal, tingkat organisasi kolektif masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan), bahkan tingkat perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya mereduksi emisi karbon individual mereka.
  • OWS: Orasi Warga Sedunia

    OWS: Orasi Warga Sedunia
    Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN, WARTAWAN,
    PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK DUAFA
    Sumber : KORAN TEMPO, 1 Desember 2011
    Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu? Apakah kita tidak peduli lagi kepada ketidakadilan dan kehidupan masa depan yang lebih bermoral? Sejak 17 September 2011, sebagai warga dunia, kita menyaksikan puluhan ribu warga segala usia melakukan demonstrasi damai secara berkelanjutan di Taman Zuccotti, di distrik finansial Wall Street,Kota New York, Amerika Serikat.
    Mereka menyebut diri “kami kaum 99 persen”. Itu merujuk pada jurang menganga di antara kaum 1 persen, yang menguasai kekayaan berlimpah, berbanding dengan kaum 99 persen dari populasi yang hidup dalam kemelaratan, tidak punya pekerjaan, tidak punya akses ke pendidikan dan kesehatan.
    Puluhan hingga ratusan ribu warga negara adidaya itu mengecam ketidakadilan ekonomi, tingginya angka pengangguran, ketamakan dan korupsi yang merajalela, serta fakta bahwa pemerintahan pusat (Washington) ternyata tunduk belaka di bawah kaki para baron korporasi, khususnya para pengelola jasa keuangan di Wall Street.
    Pemberdayaan Rakyat
    Gerakan yang diilhami oleh aksi revolusioner “Musim Semi Arab”itu menamakan diri “Occupy Wall Street (OWS)”. Mereka menduduki dan berkemah di Taman Zuccotti sambil menyelenggarakan berbagai kegiatan: orasi, pentas ironi, rapat, diskusi dan pelatihan tentang demokrasi, hingga kelas yoga dan meditasi. Para aktivis grup Adbusters asal Kanada, melalui jejaring media sosial, menyerukan agar gerakan tanpa pemimpin itu diselenggarakan oleh
    seluruh warga dunia yang senasib, dengan agenda acara yang sudah tersusun rapi hingga 2012.
    Apakah Revolusi OWS akan mengubah tatanan demokrasi dan tatanan perekonomian dunia? Atau, apakah setelah komunisme runtuh, kini demokrasi dan kapitalismenya juga akan mengalami nasib serupa, justru dimulai dari jantung perekonomian Amerika Serikat? Apakah “demokrasi sosialis”-nya Hugo Chavez dari Venezuela akan menjadi alternatif?
    Dalam situs resminya, para penggerak demo menulis: “Gerakan OWS memberdayakan rakyat sejati untuk menciptakan perubahan asasi dari bawah ke atas. Kami ingin melihat majelis umum ada di setiap pekarangan, di setiap pojok jalan, karena kami tidak butuh Wall Street dan tidak
    butuh politikus untuk membangun masyarakat yang lebih baik.”
    Ketika kepolisian Kota New York, 17 November lalu, mencoba membubarkan perkemahan kaum antikemapanan itu, aksi serupa sudah marak dilakukan di berbagai kampus di 30 kota di seluruh negara bagian. Mereka berkemah di taman-taman dan menduduki jembatan-jembatan yang dianggap sebagai simbol dari pengabaian oligarki yang menyebabkan terjadinya kerusakan di dalam kehidupan masyarakat. Seorang peserta aksi pembangkangan sosial tanpa kekerasan itu menyatakan, “Sistem politik kami harus melayani semua orang—bukan hanya kaum kaya dan berkuasa. Sekarang ini Wall Street menguasai Washington. Kami adalah kaum 99 persen, dan kami berada di sini untuk merebut kembali demokrasi kami.”
    Demo yang merebak secara eskalatif di negeri yang mengaku sebagai contoh negara demokrasi terbaik bagi dunia itu justru dipicu oleh dasar moral utama yang menjadi alasan kenapa demokrasi harus diterapkan sebagai sebuah sistem: liberte, egalite, fraternite. Demokrasi gaya Amerika Serikat yang berporos pada sistem ekonomi kapitalis liberal—dengan jargon pasar bebas dan peran minimal pemerintah—ternyata hanya melahirkan oligarki konglomerasi yang luar biasa rakus dan tamak. Minoritas populasi menguasai lebih dari separuh pendapatan dan kekayaan negara berpenduduk lebih dari 308 juta jiwa itu. Sang 1 persen telah menjadi tiran bagi kaum 99 persen.
    Ketidakadilan ekonomi itu, menurut ekonom Amerika Serikat pemenang Hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz, yang pernah duduk di Dewan Penasihat Ekonomi pemerintahan Bill Clinton dan Bank Dunia, terjadi akibat penerimaan informasi yang asimetris (para konglomerat mendapatkan informasi lebih lengkap ketimbang rakyat jelata). Sehingga, di Wall Street, misalnya, para elite pengelola perdagangan saham bisa melakukan berbagai kelicikan melalui penjualan saham perdana kepada publik, penggorengan harga saham melalui triktrik akuntansi yang rumit, insider trading, pemotongan pajak, patgulipat merger dan akuisisi, yang kesemuanya merupakan perampokan atas dana publik dan dana talangan pemerintah, yang hanya memperkaya para CEO dan komplotannya di perbankan, pemerintahan, Kongres, dan partai
    politik. Ketika praktek-praktek busuk itu terbuka kepada publik, bangkrutlah korporasi energi Enron, korporasi telekomunikasi WorldCom, biro akuntansi Arthur Andersen, dan banyak lagi. Praktek-praktek semacam itu terjadi di seluruh dunia, terutama yang penguasanya takut dan tunduk kepada tekanan Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
    Revolusi Global
    Demo serupa juga terjadi di berbagai negara, antara lain di Kanada, Jepang, Inggris, Spanyol, Jerman, dan Yunani. Dengan kalimat lain, OWS adalah sebuah revolusi kebudayaan yang niscaya menggelegak secara global.
    Semangat suci kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dijanjikan oleh sistem demokrasi telah diinjak-injak oleh para penganjurnya yang zalim. Amoralitas para pelaku bisnis yang “berzina”dengan para politikus dan birokrat tidak hanya merusak fondasi demokrasi di dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Dengan bantuan Departemen Keuangan, Bank Dunia,
    dan IMF, para gurita Wall Street itu menjulurkan belalai-belalai keserakahannya ke seluruh dunia, dengan jargon penuh kemunafikan: “demokrasi”dan “pasar bebas”—yang di Amerika sendiri diingkari secara terang-terangan!
    Kemunafikan itu pun dikecam habis oleh Stiglitz. Adalah amoralitas dan kemunafikan kuartet Departemen Keuangan-Wall Street-Bank Dunia-IMF yang dituding dan dibuktikan oleh penelitian Stiglitz puluhan tahun, yang menjadi biang bagi ambruknya perekonomian Amerika
    Serikat pada 1990-an, yang daya rusaknya berimbas ke seluruh dunia (terakhir Yunani dan Italia), termasuk Indonesia.
    Di Indonesia, dampak dari kerusakan dan racun yang ditebarkannya (kerakusan dan korupsi serta “perzinaan”segitiga penguasa-politikus-pengusaha, dari pusat hingga daerah, dari kota hingga ke desadesa) terus berlangsung hingga kini secara epidemik dengan tingkat keparahan yang semakin menjadi-jadi.
    Miliarder di Indonesia
    Tidak mengherankan jika data distribusi simpanan nasabah bank-bank di Indonesia, yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada 22 Juli 2011 menunjukkan: jumlah rekening dengan nominal di atas Rp 5 miliar hanya 42.120 rekening, alias hanya 0,04 persen dari jumlah rekening keseluruhan (sekitar 100 juta rekening). Total simpanan pada segmen tersebut mencapai Rp 1.005,40 triliun (dari total simpanan Rp 2.494,71 triliun).
    Jika para miliarder itu masing-masing memiliki dua rekening dari jumlah 42.120 rekening tadi—belum termasuk dana yang mereka simpan di luar negeri—itu artinya pemilik dana lebih dari seribu triliun rupiah itu hanya 21.060 orang! Merekalah para penguasa sebenarnya di negeri berpenduduk 237 juta jiwa ini. Dan mereka memamerkan kekayaannya, antara lain, dengan
    kepemilikan rumah-rumah mewah dan mobil-mobil kinclong di jalan raya hingga ke lapangan parkir di gedung DPR-RI. Sementara itu, kaum 99 persen hanya bisa menjadi penonton di pinggir jalan atau dari dalam angkutan umum yang sumpek, berjubel, dan bercopet.
    Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu?
  • Naratologi Kekuasaan

    Naratologi Kekuasaan
    Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD-ITB 
    Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011
    Tulisan ini diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya, Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua, narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya: soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.
    Dalam film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.
    Bagi para gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa berjalan biasa-biasa saja.
    Sementara itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang didefinisikan pemerintah sebagai ”yang kredibel” ke rumah pribadi SBY di Cikeas.
    Kedua, pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.
    Keempat adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua, kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.
    Pada adegan ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.
    ”Mal” Tanpa Jendela
    Kecuali keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi ”gawat darurat”. Ini berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya sama-sama berada di dalam sebuah ”studio narasi” sehingga terpisah dari realitas.
    Jika narasi gangster merupakan ”realitas baru” yang dilahirkan sebagai representasi dari realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam ”mal” tanpa jendela, tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.
    Seperti dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena ”kekacauan di dalam” akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada keputusan: ada yang harus ”diselamatkan” di satu sisi dan ”dicelakakan” di sisi lain.
    Sebagai penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga dengan begitu kita bisa menerima—paling tidak untuk sementara—perasionalan itu.
    Kita memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah, dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.
    Hal ini lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik) adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.
    Ketika kursi kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan) menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas prestasi yang ”dibendakan”. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada dirinya adalah untuk dirinya yang ”dianggap mumpuni” itu.
    Kekuasaan telah menariknya dari ”realitas comberan”, khalayak yang tak berprestasi. Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.
    Naratologi Gangster
    Padahal, kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai ”jembatan” yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka, kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan kepentingan khalayak.
    Dalam konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.
    Itu berarti, ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan ”bertanya kepada khalayak”. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi ”jembatan”.
    Jika lulus hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan, barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.
    Situasi itu tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya. Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi gangster. ●
  • Ruang Etalase Politik

    Ruang Etalase Politik
    Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
    INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
    Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011
    Ruang politik bangsa akhir-akhir ini dirasuki semangat ”materialisme”, menyebarkan aroma kegusaran publik. Mulai dari gaya hidup hedonistis anggota DPR, dana kampanye politik yang seakan tanpa batas, kekayaan pejabat negara yang berlimpah, pesta ulang tahun atau pernikahan keluarga pejabat yang mewah, hingga kemewahan kamar tahanan bekas pejabat atau politisi.
    Terjerat arus materialisme, para elite politik gagal mengusung ”nilai-nilai baik bersama” (common good) yang substansial bagi masa depan res-publica: kejujuran, kebenaran, loyalitas, keutamaan, kerja keras, dan keteladanan. Yang tumbuh justru ”nilai-nilai buruk bersama” (common bads): nilai-nilai memuja material, tampilan, hedonisme, simbol, gaya, dan gaya hidup, haus kedudukan, mental korup, jalan pintas, ketidakterpecayaan, kecurangan, dan kekerasan.
    Karena ruang demokrasi didominasi para ”pemuja” material, simbol, dan gaya hidup, kekuatan politik direduksi menjadi ”kekuatan material” dan ”kekuatan citra” sebagai jalan pintas kekuasaan politik. Kombinasi ”industri politik” dan ”industri pencitraan”—dilengkapi aneka trik manipulasi media—menciptakan ”ruang etalase politik”, di mana relasi intersubyektivitas di antara elemen-elemen politik tak didasari oleh landasan nilai-nilai politik, tetapi ekses-ekses nilai mesin ”industrialisasi politik”.
    Demokrasi Oligarkis
    Sistem demokrasi yang terkontaminasi virus-virus ”komersialisasi” menyebabkan kekuasaan politik tak lagi dibangun oleh kekuatan intelektualitas, kecakapan, karisma, meritokrasi, atau kepemimpinan, tetapi oleh ”kekuatan materi” (the power of wealth), di mana kekayaan dikonversi menjadi kekuasaan. Dominasi kekuatan material mengubah watak res-publica, di mana kebaikan (atau malah keburukan) bersama (common good) merupakan efek perayaan material.
    Seperti dikatakan Jacques Ranciere (Hatred of Democracy, 2006), sistem demokrasi hari ini didominasi bukan oleh para elite politik yang berjuang membangun nilai-nilai kebaikan bersama, melainkan oleh para ”individu egoistik” atau ”konsumer serakah” yang mengumbar hasrat-hasrat pribadinya atas nama kepentingan publik. Mereka memanipulasi ruang politik dan ruang publik demi akumulasi material, yang direinvestasi menjadi reproduksi kekuasaan.
    Karena ”kutukan” material, ruang demokrasi kini menjadi ”ruang apolitik” (apolitical space) karena nalar, logika, dan argumen politik diambil alih kalkulasi ekonomi. Ruang politik menjadi semacam ”etalase ekonomi”, yaitu ranah pertarungan kekayaan untuk mendapatkan kekuasaan. Di sini, kekuatan politik satu-satunya adalah modal ekonomi (economic capital), menggusur modal budaya (pendidikan, kecakapan, kepemimpinan) dan modal simbolis (karisma, etnisitas, pamor).
    Ruang politik demokratis menjelma menjadi ”industri politik”, di mana setiap proses, relasi, dan wacana politik hanya dapat dibangun melalui kekuatan modal ekonomi, media, dan pencitraan. Artinya, ”demokrasi” kini menjelma menjadi semacam ”oligarki”, di mana kekuasaan bukan di tangan ”rakyat”—seperti yang diyakini—melainkan di tangan segelintir orang kaya (oligarch). Melalui kekayaannya, para oligarch ini bahkan mampu ”membeli” rakyat, warga, atau publik dengan mengeksploitasi mereka sebagai obyek dan komoditas politik.
    Dalam industri politik, ”konstituen politik” menjelma menjadi ”konsumer politik”. Mereka tak hanya ditawari aneka ”komoditas politik” menawan dan gemerlap (kampanye, iklan, slogan), tetapi mereka sendiri kini dikonversi menjadi ”komoditas”, yang dieksploitasi tenaga, pikiran, waktu, dan keterampilan mereka, demi kepentingan jangka pendek para elite politik, untuk kemudian ”dikecewakan” setelah kekuasaan didapat, semacam ”fetisisme komoditas” (commodity fetishism), seperti dikatakan Marx.
    Demokrasi mengajarkan kebebasan memilih melalui ajang pemilihan umum, tetapi kekuatan modal (kampanye, pencitraan, polling) yang menggiring pilihan warga; demokrasi merayakan kebebasan pers, tetapi media (televisi) dikuasai oleh para ”taipan politik” yang mudah mengontrol opini publik; demokrasi membuka kebebasan berkumpul, berasosiasi, dan berdemonstrasi, tetapi semuanya kini menjadi ”komoditas” para elite politik untuk aneka kepentingan mereka.
    Kondisi ”demokrasi oligarkis” macam ini yang menyebabkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadi milik orang (atau partai) kaya. Ini pula yang mendorong lingkaran setan korupsi—baik individu, kelompok, maupun partai—karena hasrat akumulasi modal dalam waktu singkat sebagai jalan kekuasaan, diikuti hasrat mengembalikan investasi modal (dalam kampanye, iklan), plus ”keuntungan” (politik), layaknya hukum ekonomi.
    Etalase Demokrasi
    Dalam sistem demokrasi, khususnya di negara republik seperti Indonesia, menurut Iseult Honohan (Civic Republicanism, 2002), fondasi arsitektur masyarakat politik adalah kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebaikan bersama yang dikembangkan di dalamnya. Untuk itu, di dalamnya perlu dibangun budaya publik (public culture) yang sehat, yaitu aneka sikap, mentalitas, perilaku, makna, dan nilai-nilai yang membawa pada kebaikan bersama.
    Di dalam arsitektur demokrasi-republikan, ”warga” (citizen) menjadi pilar komunitas politik, yang melaluinya dirangkai nilai kebaikan, keutamaan, imajinasi, utopia, dan cita-cita bersama. Keutamaan dan kebaikan bersama itu bukan warisan, melainkan disusun bersama melalui relasi intersubyektivitas dinamis di antara elemen-elemen politik berbeda (ideologi, kelompok, partai) dengan cara membangun ruang publik yang sehat, di mana nilai, keyakinan, dan ideologi dipertarungkan.
    Akan tetapi, pada era globalisasi dan abad informasi kini kebaikan bersama itu kian sulit dirumuskan karena kondisi saling-pengaruh yang mencirikan masyarakat kontemporer.
    Maka, kata Chantal Mouffe (The Return of the Political, 1993), yang kini harus dikejar bukan kebaikan bersama, melainkan kekuatan res-publica sendiri, yaitu praktik kewargaan, relasi intersubyektif antarwarga, atau ”hubungan sipil” (civil intercourse) kuat, dengan membangun bahasa pergaulan, norma, aturan main, dan nilai-nilai bersama dalam iklim perbedaan.
    Kekuatan masyarakat demokratis bukan pada kebaikan bersama, melainkan pada ”ikatan bersama” (common bond), yang memungkinkan individu atau kelompok yang berbeda bertarung secara sehat, dengan saling menghargai eksistensi masing-masing, meskipun ”berseteru” dalam ideologi politik. Res-publica, dengan demikian, adalah artikulasi ”kepentingan bersama”, yaitu memberikan ruang untuk segala kepentingan, tujuan, keinginan, dan keyakinan, tetapi dalam bingkai saling menghargai eksistensi.
    Akan tetapi, karena demokrasi telah menjelma menjadi ”demokrasi oligarkis” dan ruang politik menjadi ”industri politik”, ”ikatan bersama” dan ”nilai bersama” itu kini tumbuh dalam wajah buruk, yaitu wajah ”apolitis”. Ikatan dan nilai bersama intersubyektif itu dibangun bukan untuk motif kebaikan bersama, melainkan lingkaran setan kekayaan-kekuasaan. Di dalamnya, kebaikan bersama dimanipulasi jadi ”citra kebaikan bersama”, untuk menutupi ”keburukan bersama”.
    Dalam alam demokrasi oligarkis, para oligarch menggusur statesman, imagocraft menggantikan statecraft, res-oeconomicus meminggirkan res-publica. Ruang politik menjelma ruang window display politik karena yang ditampilkan di ruang publik adalah ”barang pajangan” politik, yang dikemas melalui strategi komunikasi, informasi, dan pencitraan abad informasi yang canggih, memukau, memesona, sekaligus menipu.
    Akan tetapi, di balik etalase politik yang tampak memesona—dengan barang pajangan politik yang tampak menarik—disembunyikan segala keburukan, kelemahan, bahkan kejahatan politik (korupsi, manipulasi, mafioso). Dominasi motif kekuasaan plus kekayaan ketimbang motif menggali keutamaan publik, alih-alih mampu menciptakan ”kebaikan umum”, di dalam demokrasi oligarkis hanya menyisakan ”keburukan umum”. Keburukan umum itu kini yang menjadi ”keutamaan publik” kita. ●
  • HIV, Remaja, dan Media Sosial

    HIV, Remaja, dan Media Sosial
    Amrizal Muchtar, DOKTER, PRAKTISI KESEHATAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 1 Desember 2011
    Revolusi komunikasi telah terjadi dalam sekitar lima tahun terakhir. Revolusi ini ditandai
    dengan munculnya media-media sosial di Internet, seperti Facebook,Twitter, blog, dan
    Youtube, yang mengubah secara besar-besaran jalur komunikasi dunia. Dengan media-media sosial ini, manusia dengan mudah berbagi informasi yang bisa memberi dampak positif dan dampak negatif. Untuk kasus HIV sendiri, media sosial diindikasikan telah mendukung penyebaran HIV lebih cepat.
    HIV adalah suatu virus penyebab AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Menurut Wikipedia, AIDS adalah sekumpulan gejala atau infeksi yang timbul karena
    rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (human immunodeficiency virus). HIV bekerja dengan melemahkan daya tahan tubuh manusia.
    Orang yang terkena virus ini akan kehilangan daya tahan tubuh, sehingga akan terserang banyak penyakit. Bahkan penyakit flu, yang pada orang normal mudah sembuh sendiri dengan istirahat, akan berkepanjangan dan menjadi semakin parah.
    Banyak sekali penyakit yang bisa menerpa penderita AIDS. Penyakit-penyakit tersebut terjadi akibat infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit yang dengan mudahnya menjangkiti mereka karena tidak ada reaksi perlawanan dari dalam tubuh. Beberapa penyakit tersebut adalah pneumonia pneumocystis,TBC, esofagitis, diare kronis, toksoplasmosis, meningitis, demensia, kelenjar getah bening, sindroma kaposi, dan masih banyak lagi.
    Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, M. Subuh, dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat, 25 November 2011, jumlah pengidap HIV di Indonesia mencapai 2,4 persen dari total populasi atau sebesar 186 ribu orang. Jumlahnya bahkan mungkin lebih besar dari itu dan bisa mencapai lebih dari
    200 ribu orang. Sungguh angka yang luar biasa besar untuk suatu penyakit yang mematikan. Kita bisa membayangkan bahwa di sekitar kita mungkin sudah lalu lalang
    penderita HIV tanpa kita sadari. Kita bisa saja tertular kalau tidak berhati-hati dalam bergaul.
    Jumlah besar ini setiap saat semakin meningkat mengingat tidak adanya kontrol dalam penyebarannya. Jumlah pemakai narkoba suntik makin lama makin bertambah. prostitusi juga semakin meningkat. Maraknya penggunaan media sosial malah meningkatkan praktek prostitusi secara online.
    Booming media sosial di Indonesia telah terjadi dalam lima tahun terakhir. Saat ini Facebook menempati posisi tertinggi untuk pemakaian jaringan sosial, menyusul
    Twitter. Di Indonesia, pemakaian Facebook dan Twitter telah mencapai 47 juta pengguna dari total penduduk Indonesia sebesar 245 juta. Data ini menempatkan
    Indonesia di peringkat dua dunia dan peringkat satu Asia dalam hal pemakaian media sosial. Media sosial memang bisa membawa dampak positif bagi masyarakat. Mudahnya komunikasi menjadikan mudahnya seseorang mendapatkan banyak teman baru dan bercengkerama dengan kawan-kawan lama. Ini tentu saja bisa mendatangkan rezeki bagi banyak kalangan.
    Tapi media sosial ternyata ibarat “pedang bermata dua”. Di sisi tajam yang satu, media sosial membawa dampak positif.Tapi di sisi yang lain, media sosial juga mengundang hal-hal negatif yang sudah terbukti sering terjadi. Salah satu contohnya adalah penyebaran HIV dengan perantaraan media online ini. Biasanya kasusnya melibatkan remaja-remaja yang tentu saja masih labil. Suburnya prostitusi online ini tentu saja membawa dampak besar terhadap penyebaran HIV.
    Remaja yang terlibat biasanya masih sangat awam ihwal adanya HIV yang mengancam kehidupan mereka. Remaja tersebut biasanya cuma memikirkan bagaimana mereka bisa mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Mereka tidak berpikir atau bahkan tidak tahu bahwa sudah banyak sekali penderita HIV di sekitar mereka. Bahkan orang yang “memakai” jasa mereka mungkin saja sudah terkena virus ini.
    Mengapa banyak sekali remaja yang terlibat kasus prostitusi online? Ada beberapa penyebabnya.Yang pertama adalah berkembangnya pola pikir materialisme, di mana baik-buruknya manusia dinilai dari banyaknya harta yang dia miliki. Ini diperparah oleh gencarnya media-media televisi maupun media online yang menularkan gaya hidup hedonistik. Lama-kelamaan, tertanamlah dalam benak remaja bahwa kebahagiaan
    hanya bisa diraih dengan uang.
    Yang kedua, kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai etika, moral, serta agama kepada remaja. Remaja adalah sosok yang masih labil. Belum banyak pengetahuan tentang mana yang benar dan mana yang salah. Mereka masih membutuhkan bimbingan dari keluarga untuk menjalani hidup.Tanpa bimbingan yang
    benar, remaja bisa saja terperosok mengikuti ajakan teman-temannya yang tidak benar. Hanya demi uang untuk membeli smartphone, membeli pakaian baru, akhirnya para remaja labil tersebut rela melakukan praktek prostitusi yang berujung pada penyebaran
    HIV/AIDS. Pengetahuan mereka akan penyakit menular seksual sangat minim. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka bisa mendapatkan segepok uang tanpa susah payah setelah melakukan transaksi.
    Didorong oleh uang banyak dan didukung ketidaktahuan, mereka dengan gampangnya melakukan hubungan seksual tanpa pengaman dengan pelanggan yang positif mengidap HIV/AIDS. Akhirnya tertularlah mereka oleh penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya tersebut. Setelah itu, akan terjadi efek domino di mana remaja tersebut akan menularkan lagi virus HIV ini ke pelanggan yang lain. Hal itu berlanjut terus tanpa ada habisnya. Akhirnya, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia pun semakin melonjak. Menurut statistik, sekitar 70 persen ODHA adalah remaja.
    Kenyataan tragis ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Tidak boleh kita mengatakan, “Saya tidak akan tertular karena saya ini orang baik-baik. Saya tidak berzina dan saya
    tidak memakai obat-obatan terlarang.” Fakta menunjukkan bahwa sudah ribuan orang yang tidak bersalah tertular HIV.Dia tidak bersalah, tapi suaminya bersalah karena sudah memakai jasa prostitusi. Dia tidak bersalah, tapi dia tertular akibat kontaminasi darah pengidap HIV di rumah sakit. Dan masih banyak jalur lain yang membuat seseorang yang sangat tidak pantas menderita HIV akhirnya tetap bisa tertular.
    Karena itulah, semua pihak, baik pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan, LSM, maupun masyarakat kecil seperti kita, harus peduli terhadap penyebaran penyakit ini. Makin luas penyebarannya, makin besar pula risiko kita untuk kena. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi. Mulailah dari yang kecil, misalnya menjaga keluarga kita agar selalu on the track.  Bekalilah keluarga kita dengan ilmu agama dan pendidikan moral yang cukup, sehingga bisa selalu terhindar dari bahaya negatif dunia maya.
    Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah lawanlah serangan digital negatif media sosial dengan serangan digital positif. Harus ada inisiatif, baik dari LSM, pemerintah, maupun pribadi, untuk menyebarkan pesan-pesan digital positif ke dunia maya guna
    mengingatkan kembali warga dunia maya ke arah yang benar. Kita berdoa semoga penanggulangan HIV di negara kita bisa menjadi lebih baik. Setidaknya, tingkat pengetahuan tentang HIV dan penyebarannya bisa menjangkau seluruh masyarakat sampai ke tingkat individu di negara kita tercinta.Ayo kita merenung apa yang kita bisa berikan di Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2011.
  • Antara HAM dan HIV

    Antara HAM dan HIV
    Zubairi Djoerban, Manajer Pusat Layanan HIV Terpadu RSCM; Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia  
    Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011
    Lima belas tahun terakhir kita menyaksikan kemajuan pesat dalam pengobatan, pencegahan, dan layanan kesehatan untuk orang dengan HIV dan AIDS. Kekhawatiran para ahli delapan tahun lalu bahwa akan muncul ”gelombang kedua” wabah AIDS yang menyapu kawasan Asia dan Pasifik ternyata tidak terjadi. Bahkan laju infeksi menurun 20 persen.
    Semua itu tak lepas dari kemajuan di bidang pengobatan. Makin banyak orang dengan HIV/AIDS—lazim disebut ODHA—di Indonesia tetap sehat, kualitas hidup membaik, dan tetap produktif setelah 10 tahun minum obat antiretroviral (ARV) yang disediakan gratis oleh pemerintah. Bahkan, ada yang telah 18 tahun mengonsumsi obat ARV dan tetap sehat hingga hari ini.
    Penelitian di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat menunjukkan keberhasilan pengobatan ARV: 77,2 persen ODHA yang minum ARV menunjukkan peningkatan CD4 hingga di atas 200. CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator fungsi kekebalan tubuh. Selanjutnya pada 88,7 persen ODHA kadar virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi lagi. Sementara yang memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70 persen.
    Tonggak Kemajuan
    Michel Sidibe, Direktur Eksekutif Badan AIDS PBB (UNAIDS), menyatakan bahwa 2011 adalah tahun istimewa karena titik terang untuk mengakhiri wabah AIDS sudah terlihat jelas. Jutaan orang telah diselamatkan lewat upaya pencegahan penularan dan pengobatan sehingga kita mampu mewujudkan generasi baru yang bebas HIV.
    Seharusnya tidak ada lagi bayi lahir dengan HIV dan kita mampu mencegah kematian ibu akibat AIDS. Mengobati dengan ARV lebih dini terbukti mencegah penularan HIV 92-96 persen. Sidibe menyatakan bahwa ”Pengobatan adalah pencegahan.”
    Optimisme ini tecermin dalam tema Hari AIDS Sedunia yang diperingati hari ini, 1 Desember 2011, yakni ”Getting to Zero” atau ”Mencapai Nol”. Tema ini terdiri atas tiga subtema, yaitu penghentian penularan, diskriminasi, dan kematian.
    Masa depan yang lebih baik sudah di depan mata, tinggal bagaimana kita meningkatkan percepatan penanganan HIV dan AIDS dengan investasi yang pintar. Prasyaratnya ialah komitmen, kepemimpinan, serta upaya yang luar biasa kuat.
    Dengan demikian, deklarasi komitmen politik para pemimpin negara dalam KTT AIDS PBB di New York (10 Juni 2011) harus segera diimplementasikan. Komitmen ini menyangkut upaya mengintensifkan penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di tingkat masyarakat.
    Kondisi Indonesia
    Kalau jumlah ODHA di seluruh dunia pada akhir 2010 ada 34 juta orang, di Indonesia jumlahnya diperkirakan 300.000 orang. Mengacu pada pernyataan Sidibe bahwa pengobatan adalah pencegahan, kita perlu bekerja keras untuk menemukan kasus ataupun membuka akses kepada ODHA untuk mendapat ARV.
    Hingga saat ini kurang dari 30.000 ODHA yang mendapatkan ARV atau kurang dari 10 persen dari estimasi jumlah ODHA. Dengan demikian, masih ada jurang sangat besar antara estimasi dan kasus yang teridentifikasi.
    Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah tes HIV bagi 5 juta-20 juta rakyat Indonesia pada tahun 2012, agar semakin banyak ODHA mendapatkan pengobatan ARV pada tahap dini.
    Penanggulangan menjadi penting karena HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis multidimensi: krisis kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan terutama krisis kemanusiaan.
    Di Botswana, misalnya, kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia hilang begitu saja sekitar 15 tahun lalu. AIDS membuat negara kehilangan banyak tenaga terampil dan terdidik. Upaya Pemerintah Botswana melakukan tes HIV terhadap semua warga negara untuk pengobatan ARV sejak 10 tahun lalu kini mulai memulihkan kondisi sosial ekonomi negara tersebut.
    Jika tak memutuskan langkah yang tepat dan segera, bukan mustahil krisis Botswana akan terjadi di sini. Gejalanya sudah tampak dari ancaman HIV/AIDS pada kelompok usia produktif. Data yang tersedia menyebutkan 46,4 persen kasus terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, 31,5 persen pada kelompok 30-39 tahun, dan 9 persen pada kelompok 40-49 tahun.
    Oleh karena itu, berbagai upaya perlu diintensifkan. Misalnya, upaya mengurangi penularan seksual, mencegah penularan di kalangan pengguna narkotika, dan mengeliminasi infeksi baru pada anak. Semua berlangsung paralel dengan upaya mencegah kematian akibat tuberkulosis yang saat ini menjadi penyebab kematian utama di Indonesia.
    Apalagi di Indonesia semakin banyak anak menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS. Di RS Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) setiap bulan ada 210 bayi dan anak dengan HIV mendapat obat ARV. Angka ini di luar sekitar 1.500 ODHA dewasa laki-laki dan 400 ODHA dewasa perempuan yang berobat jalan ke RSCM setiap bulan.
    Tentu keadaan ini amat memprihatinkan. Saat negara-negara lain mulai keluar dari krisis akibat HIV, Indonesia justru baru memasuki krisis.
    Perspektif HAM
    Berkaca dari pengalaman Botswana dan Afrika Selatan, kita bisa belajar bahwa perspektif HAM sangat penting dalam penanggulangan HIV/AIDS.
    Akses pada tes dan pengobatan serta pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual adalah hak yang harus diberikan kepada semua orang agar terhindar dari risiko penularan dan kematian. HIV dan AIDS tak bisa ”dikunci” hanya pada domain kesehatan. Perspektif HAM mengharuskan kehadiran negara sebagai pihak yang bertanggung jawab agar akses-akses di atas terbuka bagi masyarakat.
    Respons terhadap epidemi AIDS harus tecermin pada perubahan perilaku, baik perseorangan maupun institusional. AIDS menyerang semua lapisan masyarakat: berpendidikan tinggi ataupun rendah, orang tua, remaja dan anak anak, buruh, petani, dokter, wartawan, pejabat, selebritas, kaya ataupun miskin.
    Advokasi bersama untuk masyarakat yang tak bisa menyuarakan kebutuhannya sangat diperlukan, utamanya untuk membuka akses universal terhadap pengobatan, pencegahan dan dukungan. Perlu perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial dan mendistribusikan sumber daya. ●
  • Seleksi Capim KPK

    Seleksi Capim KPK
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN, INISIATOR KPK  
    Sumber : SINDO, 1 Desember 2011
    Seleksi calon pimpinan KPK (capim KPK) tengah berlangsung dan tidak berbeda dengan seleksi pimpinan KPK jilid I dan II.

    Semua calon berbicara keras, tampak memiliki motivasi kuat untuk memberantas korupsi, dan tidak akan terpengaruh atau dipengaruhi oleh kekuasaan atau elite politik. Namun, terbukti dalam perjalanan kepemimpinan KPK, semua pernyataan mereka hanya untuk “memikat” anggota legislatif agar lolos dari seleksi. KPK jilid I saya amati lebih solid,lebih tegas,dan tidak tampak adanya pengaruh kekuasaan atau politisi,tetapi KPK Jilid II tampak gamang, tidak solid, serta terlihat mengabaikan aspek kolektivitas kepemimpinan.

    Dan terakhir sangat menyedihkan serta mengecewakan karena berkolaborasi dengan calon/tersangka kasus Wisma Atlet SEA Games sekalipun hanya satu orang pimpinan KPK danpegawailapispertamaKPK. Pasca kriminalisasi Bibit- Chandra tampak pimpinan KPK tidak kompak dan gamang serta tampak “ketakutan” dikriminalisasi. Bahkan pimpinan KPK menolak diberhentikan sementara jika menjadi tersangka sekalipun sebelumnya mereka telah mengetahui isi UU KPK; sikap yang mencerminkan miskin integritas dan kepercayaan diri.

    Sikap dan perilaku yang traumatis tersebut dengan cerdik dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk terus menyodok jauh ke dalam lingkup internal KPK sehingga pimpinan lapis kedua dan lapis ketiga KPK telah goyah dan saling curiga serta meluntur solidaritas senasib sepenanggungannya.Sudah tentu akhirnya kondisi itu akan bermuara pada kepentingan kelompok, kekuasaan, dan uang.

    Keruntuhan

    Bak pepatah,tiada ada asap tanpa api dan bau busuk akan tetap tercium serta menyengat ke mana-mana, begitulah yang kini tengah melanda KPK. Tingkat kepercayaan publik semakin turun,bahkan sebuah lembaga survei menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di bawah Polri—peristiwa yang tidak pernah terjadi selama KPK jilid I.

    Jerih payah mempersiapkan pembentukan KPK dengan modal hibah ADB sebesar USD1 juta seketika amblas dengan keterlibatan pimpinan KPK dan pegawai KPK dalam kasus Nazarudin. Apa penyebab pertanda dari “keruntuhan KPK jilid II”? Penyebab utama adalah integritas dan kualitas serta pengalaman pas-pasan pimpinan KPK jauh di bawah kapasitas dan kemampuan teknis hukum pimpinan di lapis kedua, bahkan lapis ketiga.

    Sementara kedua lapis tersebut tidak memiliki kewenangan yang setara dengan pimpinan KPK. Mengapa hal ini terjadi? Jelas semuanya berasal dari awal proses seleksi oleh panitia seleksi (pansel) ketika itu yang didominasi mereka yang tidak pernah memahami visi dan misi pembentukan KPK. Bahkan ada dari mereka yang sejak awal (1999) tidak mau tahu dan tidak pernah ikut terlibat dalam persiapan pembentukan KPK sama sekali. Hal ini juga terjadi di Pansel KPK jilid III.

    Semakin sulit dipercaya, sebagai pendiri KPK,KPK dalam tekanan publik dan serangan luar yang bertubi-tubi telah membentuk advokasi untuk dijadikan beking. Langkah ini mencerminkan ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri untuk membuktikan bahwa kepemimpinan KPK jilid II solid dan kuat di mata publik. Yang sulit dipercaya bahwa kini juru bicara KPK bukan hanya Johan Budi, melainkan semua pimpinan KPK menjadi juru bicara untuk diri masingmasing sehingga yang tampak ke luar, KPK bukan milik kolektif, melainkan milik individuindividu pimpinan KPK.

    Pembentukan komite etik untuk menyelesaikan kasus pimpinan dan pegawai KPK yang diduga terlibat dengan Nazaruddin saya nilai tidak transparan dan tidak etis, bahkan terkesan “melindungi” mereka yang seharusnya dinyatakan bersalah.Hal ini jauh berbeda dengan sidang majelis kode etik kepolisian ketika memeriksa Kompol Arafat dan Sumarni yang terbuka dan dibuka untuk umum dan diliput media massa.

    Pesimistis

    Berdasarkan pengamatan penulis,kini lembaga KPK yang superbodi berada di ujung tanduk kepercayaan masyarakat luas.Apalagi kasus-kasus megakorupsi bailout Bank Century, BLBI, serta di bidang minyak gas dan bumi masih berjalan di tempat sampai saat ini.Perubahan signifikan yang diharapkan sangat tergantung dari hasil seleksi capim KPK jilid III saat ini.

    Saya memiliki insting bahwa keberadaan calon pimpinan KPK baru,siapa pun orangnya, tidak akan banyak membawa perubahan signifikan terhadap kepercayaan publik dalam pemberantasan megakorupsi. Mengapa? Coba tengok berbagai media,termasukmajalah Tempo edisi 28 November 2011, yang secara gamblang menerangkan bahwa sejumlah capim KPK melakukan lobi-lobi ke fraksifraksi dan tokoh parpol. Di antara mereka ada yang mengakui perbuatan tersebut dan selebihnya capim-capim lain tidak ada yang membantahnya.

    Dari fakta yang disebutkan dalam majalah Tempotersebut, semakin nyata bahwa siapa pun orang yang terpilih menjadi pimpinan KPK adalah “titipan parpol”. Tentunya kondisi itu telah melanggar prinsip conflict of interest sebagai salah satu pilar integritas kepemimpinan KPK yang terbukti dengan contoh kasus Nazaruddin.

    Saya dan publik luas masih tetap berharap agar capim KPK jilid III dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU KPK dan dijalankan dengan amanah serta integritas tinggi.Saya usulkan, untuk memperkuat kedudukan, tugas, dan wewenang KPK, perlu dilakukan beberapa langkah. Pertama, revisi UU KPK karena telah kedaluwarsa setelah melalui proses sembilan tahun.

    Kedua, pembentukan dewan kode etik dari luar pimpinan KPK untuk menjaga kemandirian dan rasa ewuh pakewuh serta sekaligus meniadakan lembaga penasihat di dalam organisasi KPK yang selama ini tidak tampak pengaruhnya terhadap kinerja pimpinan KPK. Ketiga, diusulkan pembentukan lembaga pengawas eksternal KPK untuk memantau dan mengkaji informasi masyarakat tentang kinerja dan perilaku pimpinan dan pegawai KPK. Berikan kesempatan kepada KPK untuk satu periode lagi!

  • Ambiguitas Pengamanan Uang Negara

    Ambiguitas Pengamanan Uang Negara
    Marwan Mas, DOSEN ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Desember 2011
    Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah terjadi penyimpangan uang negara (rakyat) sebesar Rp103 triliun. Tetapi anehnya, tidak tampak upaya konkrit dan progresif dari pemerintah untuk menghentikan penggerogotan uang negara itu. Hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menunjukkan, dari uang negara yang menguap itu, baru Rp37,8 triliun yang ditindaklanjuti.
    Meski Presiden SBY pernah berjanji akan berada di garda terdepan dalam memberantas korupsi, namun praktik korupsi semakin menggila di lingkungan elite politik dan kekuasaan. Ini kemungkinan lantaran konsep pemberantasan korupsi tidak terstruktur. Malah ambigu dalam memberantas korupsi saat KPK dan DPR bersilang pendapat soal pemeriksaan pimpinan Banggar DPR. Di satu sisi KPK ingin membongkar dugaan suap di Kementrans, sementara DPR tidak menerima baik pemeriksaan itu.
    Respon atas penyelewengan uang negara hanyalah sebatas pidato, atau paling banter melalui Instruksi Presiden, tetapi tidak dibarengi dengan aksi nyata di lapangan. Itu yang membuat para pencoleng begitu leluasa, seolah mendapat toleransi, sementara aparat hukum dibuat tak berkutik. Rasanya semua teori sudah dikeluarkan oleh para pengamat, tetapi mereka tak punya kewenangan untuk bertindak. Menyetop perampokan uang negara tidak bisa hanya dengan retorika. Tugas pemimpin negaralah yang mestinya menggerakkan kebijakan yang dibuatnya agar menjadi bergigi. Siapa pun yang terbukti merampok uang negara, tanpa pandang bulu harus dibawa ke ruang pengadilan untuk dihukum sesuai kesalahannya.
    Aksi Konkrit
    Dalam acara Jakarta Lawyer Club (JLC), beberapa waktu lalu, mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) menyebutkan, dana APBN yang paling banyak dikorup adalah anggaran untuk belanja barang (BB) dan belanja modal (BM). Padahal, anggaran di sektor itu sangat minim dibandingkan dengan belanja pegawai dan untuk membayar utang negara. Korupsi anggaran BB dan BM sudah pasti akan merembet ke sektor lain, terutama pada pendanaan hajat hidup orang banyak.
    Kalau pengamanan uang negara hanya dilakukan melalui pidato dan instruksi tanpa aksi konkrit, perampokan akan terus terjadi tanpa hambatan. Sudah waktunya bentuk pengamanan uang negara dari intaian para koruptor perlu dilakukan. Misalnya, dengan membentengi gerakan para aktivis antikorupsi yang sering dikriminalisasi saat melaporkan dugaan korupsi oleh elite politik dan kekuasaan. Bisa juga melalui aksi-aksi unjuk rasa secara damai mendukung pemberantasan korupsi secara total.
    Pada sisi lain, aparat hukum juga dipompa nyalinya untuk lebih berani membongkar penyelewengan uang negara dari pusat sampai daerah. Hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi perlu diberi pemahaman agar konstruksi hukum dikembalikan pada posisi idealnya. Bukan sekadar mengagungkan keadilan prosedural, sebab yang juga penting adalah pemenuhan keadilan substansial.
    Kebenaran dan keadilan harus selalu dijadikan basis dalam memerangi para pencoleng uang negara. Jika setiap perkara korupsi yang ditangani selalu memikirkan akibat buruknya bagi kekuasaan, jangan bermimpi negeri ini akan bebas dari cengkraman para pencoleng.
    Semua komponen bangsa harus satu kata, di negeri ini ‘tidak ada tempat’ sejengkal pun bagi para koruptor. Uang negara dalam APBN dan APBD tidak akan bisa digunakan menyejahterakan rakyat kalau tangan-tangan jahil dibiarkan bebas. Korupsi harus ditangani secara luar biasa, baik pada proses penyidikan, penuntutan, maupun pada penjatuhan pidana yang dapat menimbulkan efek jera.
    Harapan KPK Baru
    Harapan pada KPK tetap menyala meski belakangan ini mendapat sorotan. Paling tidak, kepada pimpinan KPK baru (jilid III) nanti, yang saat ini sedang digodok oleh DPR. Delapan calon pimpinan KPK sedang menjalani uji kelayakan, DPR diharapkan memilih sosok yang benar-benar berani, memiliki integritas, dan tahan godaan.
    Rakyat selalu berharap pada KPK yang diibaratkan memiliki ‘pisau tajam’ berupa wewenang luar biasa dalam memerangi korupsi. Pisau itu harus terus diasah dan digunakan kepada siapa saja, bukan hanya pada orang yang tidak lagi memegang kekuasaan. Namun, KPK tidak boleh dibiarkan bekerja sendirian, semua komponen bangsa harus berdiri di belakangnya dan secara bersama memerangi perilaku korupsi yang sudah sistematis dan masif. KPK perlu diproteksi dari kemungkinan intervensi dan tekanan politik. Sekali saja KPK terjebak oleh tipuan para koruptor, dipastikan akan terus dimainkan dan diperdaya.
    Kuatnya gertakan para pencoleng uang negara, sering membuat hakim kelimpungan saat memeriksa perkara korupsi. Boleh jadi hakim tak punya pilihan, selain hanya mengejar kepastian dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Terdakwa korupsi dibebaskan dengan dalih dakwaan penuntut umum lemah, karena memang sengaja dilemahkan. Akibatnya, kebenaran dan keadilan diabaikan, tidak dijadikan landasan dalam menjatuhkan putusan. Semuanya karena tekanan dan kepentingan politik, yang terkadang sulit dihindari aparat penegak hukum.
    Kita tidak boleh abai, karena kekuatan para koruptor begitu nyata dan terstruktur, jaringan dan pendukungnya menyebar secara terselubung. Untuk melawannya harus satu kata, tak boleh sedikit pun sikap ragu dan ambigu dalam mengamankan uang negara. Publik paham, tidak boleh ada yang kebal hukum, semua sama kedudukannya di depan hukum. Makanya KPK, kepolisian, kejaksaan, dan hakim harus selalu diingatkan dan dimotivasi untuk berani dan tidak tebang pilih. Uang negara harus dijaga dari tangan-tangan jahil.
  • Hakim, Suap, dan Kesejahteraan

    Hakim, Suap, dan Kesejahteraan
    Achmad Fauzi, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALSEL, ALUMNUS UII YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Desember 2011
    Sorotan publik terhadap hakim akhir-akhir ini sangat tajam. Produk putusan yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan disinyalir memiliki kandungan kecurangan dan unsur kejahatan hukum di dalamnya. Di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), misalnya, vonis bebas dianggap petaka yang harus segera ditelusuri, baik dari segi materi putusan maupun kemungkinan keterlibatan oknum hakim dalam praktik jual beli hukum.
    Penulis sesungguhnya tidak setuju jika putusan pengadilan direcoki oleh otoritas non-yudisial karena bisa menjadi petaka bagi kemerdekaan hakim dalam mengadili suatu perkara. Sementara entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya imunitas yudisial dan independensi hakim. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada undang-undang yang memberikan saluran tersendiri sehingga ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan ditempuh melalui upaya hukum yang lebih tinggi.
    Kendati demikian masyarakat tetap memiliki ruang yang luas untuk memantau kinerja peradilan. Iklim keterbukaan peradilan yang selama ini dibangun serta rencana pendirian jejaring Komisi Yudisial (KY) di daerah sebagaimana termaktub dalam UU Komisi Yudisial yang baru, sangat membantu masyarakat dalam memantau dan melaporkan oknum hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan mengurangi timbangan keadilan. Ini kemajuan menggembirakan.
    Lihat saja, data hukuman disiplin berikut ini. Sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung merilis setidaknya ada 110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Sedangkan hukuman disiplin periode Januari-September 2011 yang dijatuhkan kepada hakim berjumlah 35 orang Pelanggaran kode etik yang dikategorikan berat, salah satunya adalah praktik jual beli hukum.
    Banyak pakar berasumsi bahwa praktik jual beli hukum tumbuh subur karena kran informasi di pengadilan tersumbat, sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos kerja aparat peradilan. Namun, asumsi itu tidak sepenuhnya benar.
    Mahkamah Agung melalui KMA 1-144/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, telah membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai dari publikasi putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum, standar operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang tidak puas atas pelayanan peradilan.
    Bahkan hasil penelitian Pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap layanan pengadilan di Indonesia, beberapa waktu lalu, menunjukkan persepsi positif. Sebanyak 70% masyarakat Indonesia menyatakan puas jika berurusan dengan birokrasi di pengadilan. Meski ada beberapa aparat peradilan yang tersangkut kasus suap dan pelanggaran kode etik lainnya, namun masyarakat menilai mekanisme kerja yang dibangun MA telah memenuhi syarat terwujudnya good sustainable development governance.
    Sebab Utama
    Penulis melihat bahwa persoalan utama praktik jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh dua faktor, yakni moral dan finansial. Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh Mahfud MD dalam seminar “Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), baru-baru ini mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.
    Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap. Para penyuap kadangkala paham membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial.
    Oleh karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral dan keimanan yang kokoh. Kesadaran itu tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan dari lingkungan keluarga yang notabene menjadi komunitas terkecil dalam masyarakat berbangsa.
    Ada ajaran kebajikan yang mengatakan, jika ingin menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah perilaku pemimpinnya. Jika ingin memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban masyarakatnya. Jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah moral keluarganya. Jika moral keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan masyarakatnya, kualitas pemimpinnya, dan martabat bangsanya.
    Semangat untuk menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim, seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim dalam UU disebut sebagai pejabat negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak mencerminkan pejabat negara.
    Ketika PNS setiap tahun naik gaji, hakim tidak demikian. Banyak hakim di daerah yang harus mengontrak rumah petak, lantaran tidak memiliki rumah dinas. Ke kantor naik becak, angkot atau jalan kaki karena tidak ada kendaraan dinas. Sungguh sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan menerima suap jika tidak memiliki kesadaran moral yang tinggi.
    Mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan, salah satunya dengan pemuliaan hakim. Yaitu, jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim.