Author: Adul

  • Mengelola Kembali Pola Konsumsi

    Mengelola Kembali Pola Konsumsi
    Susidarto, PRAKTISI PERBANKAN DI YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 3 Desember 2011
    “Selama ini bank penerbit kartu kredit hanya mengincar calon nasabah yang sudah memiliki kartu sehingga memicu over finance”

    Kepemilikan kartu kredit bakal diatur kembali. Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan regulasi terkait dengan pembatasan kepemilikan dan utang kartu itu, termasuk penagihan oleh debt collector. Semua itu akan tertuang dalam revisi Peraturan BI (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Regulasi ini ditunggu banyak pihak karena ada beberapa hal penting yang perlu kembali diatur, terutama menyangkut perlindungan nasabah. Semua itu dalam rangka menyehatkan industri bank penerbit kartu kredit agar tumbuh lebih sehat lagi.

    Beberapa aturan baru itu antara lain penghasilan calon nasabah minimal Rp 3 juta/ bulan, dengan plafon maksimal tiga kali gaji. Nasabah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan hanya boleh memiliki maksimal dua kartu kredit dari penerbit (issuer) berbeda. Bunga kartu kredit pun dibatasi maksimal 3% per bulan dan kartu tidak bisa digunakan sebagai landasan mengajukan kredit tanpa agunan seperti selama ini. Regulasi baru itu terkait erat dengan prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyaluran consumer loan.

    Rencana penerbitan regulasi ini setidaknya dipicu oleh kemerebakan kasus yang terkait dengan kartu kredit. Terlebih belakangan ini, bank-bank di Indonesia sangat gencar menawarkan jasa itu. Cukup hanya berbekal KTP dan slip gaji, seseorang bisa dengan cepat mengantongi kartu dari issuer (penerbit) kartu kredit. Dengan kemudahan itu tidak mengherankan ada pegawai biasa, dalam arti tidak kaya-kaya amat, bisa memiliki lebih dari satu kartu.

    Bagi karyawan dengan golongan ”biasa-biasa saja”, memiliki banyak kartu bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Kemudahan untuk menggesek tunai (populer dengan istilah gestun) dan menggunakan kartu, biasanya menyebabkan pemegangnya terjebak utang-piutang berbunga tinggi.

    Maklum, penerbit kartu biasanya mengenakan bunga cukup tinggi, rata-rata di atas 3% efektif per bulan, dan angka itu sangat mencekik leher. Bagi yang cerdas biasanya menutup pembayaran sesegera mungkin. Namun mereka yang hanya mampu membayar cicilan minimal bisa terjebak mekanisme pembayaran kredit berbunga tinggi.

    Analisis Mendalam

    Bagi bank penerbit kartu, bisnis ini sangat menjanjikan profit tinggi. Bisnis consumer loan dalam bentuk ini memiliki prospek cerah di tengah banyaknya penduduk Indonesia berperilaku konsumtif. Saat ini persentase kepemilikan kartu kredit di negara kita masih rendah, kurang dari 10% dari total jumlah penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih 50% warga negaranya memiliki kartu tersebut. Di negara itu, tidak memiliki kartu kredit berarti tidak bisa lancar bertransaksi.

    Di Indonesia, pangsa pasar kartu kredit masih sangat luas. Sayangnya, selama ini penerbit hanya mengincar calon pemegang yang sudah memiliki kartu. Akibatnya terjadi over finance terhadap sesesorang, yang mengakibatkan kredit macet. Banyak di antara pemegang kartu yang sudah macet, namun karena memiliki lebih dari satu kartu, ia bisa mengakalinya dengan cara gali lubang tutup lubang.

    Terlebih belakangan ini mekanisme gestun bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Hanya dengan biaya di muka 2-3%, pemegang kartu bisa mengambil uang tunai di gerai, dan nantinya masuk item pembelian barang. Akibatnya, mekanisme pengambilan tunai resmi dari kartu itu berupa cash advance dengan bunga rata-rata 5%, menjadi tidak laku sama sekali.

    Fenomena gestun ini menambah runyam kondisi keuangan si pemegang kartu. Lambat laun kredit macet itu akan meledak manakala pemegang kartu kewalahan mengatur cash flow-nya. Dalam konteks ini diperlukan kehati-hatian dari para issuer untuk kembali menyeleksi calon pemegang kartu, misalnya dengan menganalisis secara mendalam.

    Harus diakui, selama ini banyak nasabah memperlakukan kartu redit ibarat lampu aladin. Karena itu, upaya BI mengantisipasi ledakan kredit macet kartu kredit patut diapresiasi, dan memang perlu ketegasan menata ulang consumer loan dalam bentuk itu.

  • Inti Dialog Deradikalisme

    Inti Dialog Deradikalisme
    Ahmad Rofiq, SEKRETARIS UMUM MUI JAWA TENGAH, DOSEN IAIN WALISONGO SEMARANG
    Sumber : REPUBLIKA, 3 Desember 2011
    Masih ada silang pendapat mengenai substansi RUU tentang Intelijen Negara kendati DPR pada 11 Oktober 2011 sudah mengesahkannya menjadi UU. Esensi mengenai hal itu bisa didekati lewat dialog publik mengenai deradikalisme dan antiterorisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa prihatin atas merebaknya radikalisme di negeri yang masyarakatnya dikenal agamais, santun, dan humanis, tetapi faktanya ada kejadian yang menyentak rasa kemanusiaan dan keberagamaan, di antaranya kasus bom di Bali dan  Jakarta, serta bom bunuh diri di masjid di kompleks Mapolres Cirebon (15/04/11), dan di gereja di Kepunton Solo (25/09/11).

    Radikalisme merupakan paham keagamaan hasil tafsir eksklusif sekelompok orang, yang menurut mereka benar tetapi tidak sejalan dengan hakikat agama Islam, atau agama lain,  yang bertujuan mewujudkan keselamatan, kebahagiaan, ketenteraman, dan kesentosaan. Radikalisme ini dengan mudah mengarah kepada terorisme, baik secara psikis dan terlebih lagi secara fisik. Lebih-lebih pelakunya mengaku muslim dan menebar teror dengan tameng berjuhad atas nama agama.

    Allah menurunkan Islam sebagai risalah (message) atau ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk mewujudkan kasih sayang bagi penghuni alam raya (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu substansi ajarannya pun mengedepankan persamaan, persaudaraan, toleransi, keadilan, keseimbangan, moderasi , dan saling menghormati.

    Hanya pemeluk agama yang sangat tidak paham, sesat, dan salah besar, apabila dia melakukan tindakan teror, menakut-nakuti dan menyengsarakan orang lain yang tidak bersalah, apalagi dilakukan dengan cara bom bunuh diri, yang jelas mengorbankan dirinya sendiri, dan menewaskan orang lain, apapun agamanya.

    MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa NKRI adalah final, dan gerakan yang mengganggu atau mengancam keutuhannya adalah subversif (bughat), demikian juga gerakan yang ingin memisahkan diri (separatisme) yang hukumnya haram. Demikian juga tentang terorisme, MUI telah menegaskan bahwa gerakan teror pun haram hukumnya.

    Semua pihak perlu mendukung UU Intelijen Negara, yang segera ditandatangani Presiden, dan disosialisasikan kepada masyarakat. Negara telah membentuk Badan Intelijen Negara (BIN) perlu memiliki intrgritas dan komitmen tinggi untuk mengawal, menyosialisasikan, dan menjalankannya dengan pendekatan humanistik, dan tidak mengganggu penegakan HAM.

    Agama adalah panduan, nilai, norma, dan dasar berpijak manusia untuk menjadi dan menuju jati dirinya yang hakiki, mengabdi kepada Tuhan dan sesama. Negara berkewajiban menjamin warganya dapat terpenuhi HAM-nya, mendapatkan rasa aman, nyaman, sejahtera, dan hidup bahagia di negeri ini.

    Aspek Manfaat

    UU tentang Intelijen Negara hanyalah instrumen bagi negara, dan juga masyarakat supaya dapat hidup tenang, aman, nyaman, dan tidak merasa khawatir. Sebagai instrumen, dalam hukum Islam berlaku kaidah, yang artinya sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu (yang lain) maka sesuatu itu wajib hukumnya.

    Jika UU Intelijen Negara merupakan dasar hukum dan instrumen untuk bertindak bagi negara, demi mewujudkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat maka keberadaan regulasi itu urgen. Hal itu sejalan dengan aksioma hukum Islam li al-wasail hukm al-maqashid. Dengan kata lain, jika ikhtiar itu untuk mewujudkan tujuan nasional maka keberadaan UU itu sebagai instrumen adalah wajib.

    Dialog mengenai deradikalisme dan antiterorisme diharapkan dapat difahami oleh penganut agama yang masih berobsesi dan menafsirkan ajaran agama secara eksklusif, cenderung radikal, dan mengedepankan tindakan teror.

    Muaranya adalah menyadarkan mereka kembali kepada pesan substantif Rasulullah SAW, bahwa kualitas keberagamaan seseorang bisa diukur ketika orang lain merasa nyaman baik oleh tutur kata, tulisan, pendapat, maupun dari tangan atau kekuasaannya.

    Merupakan penistaan dan penodaan agama tatkala seseorang mengaku beragama tetapi tindakannya menimbulkan kesengsaraan, ketakutan, dan ketidaknyamanan bagi orang lain. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mewanti-wanti lewat ayat yang artinya sebaik-baik manusia adalah (mereka) yang paling memberi manfaat bagi orang lain. ●

  • Ketika Guru Besar “Dilecehkan”

    Ketika Guru Besar “Dilecehkan”
    Tjipta Lesmana, GURU BESAR KOMUNIKASI POLITIK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    Sejak pemerintah mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk sektor pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melancarkan berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas akademik pendidikan tinggi.
    Salah satu di antaranya keharusan bagi setiap dosen untuk mengantongi sertifikat dari Dikti. Nantinya, hanya pengajar yang berstatus “serdos” (sertifikat dosen) boleh mengajar di perguruan tinggi/universitas. Untuk mendapatkannya, pengajar tentu harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
    Sebagai imbalannya, tiap dosen yang sudah bersertifikat diberikan tunjangan oleh Dikti. Besarnya, tampaknya, disesuaikan dengan pangkat akademik yang disandangnya. Makin tinggi pangkat seorang dosen, makin besar tunjangannya.
    Untuk guru besar (profesor), kecuali tunjangan dosen, diberikan juga Tunjangan Kehormatan, karena mereka dianggap orang-orang “terhormat”. Bahkan kabarnya, ada juga tunjangan khusus. Sebelumnya, selama puluhan tahun tunjangan guru besar hanya diberikan kepada profesor dari perguruan tinggi negeri (PTN).
    Di atas kertas kebijakan itu bagus. Para dosen bertambah semangat untuk mengejar “cum” dan pangkat akademik supaya tunjangan dari pemerintah terus meningkat. Para profesor juga gembira seraya berterima kasih kepada pemerintah.
    Tunjangan kepada dosen diberikan setiap tahun, dibayar dua kali setahun, masing-masing untuk semester ganjil dan semester genap. Untuk itu, tiap semester dosen diwajibkan mengajukan laporan BKD (Beban Kerja Dosen) kepada Dikti melalui Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) di daerahnya. Berapa persisnya tunjangan dosen, tidak ada yang tahu.
    Saya sebagai guru besar tidak mengetahui persis berapa besaran tunjangan guru besar yang diberikan pemerintah. Pihak Dikti tidak pernah mengumumkan. Mestinya, jumlah dan cara perhitungannya diumumkan secara terbuka, supaya jelas dan kita sama-sama mengeceknya. Maklum, di republik tercinta ini, pengeluaran apa saja cenderung disunat atau ditilep oknum-oknum pejabat kotor.
    Pada awalnya, tunjangan kepada dosen bersertifikat diberikan secara otomatis, setiap Mei dan Oktober/November. Namun, tunjangan untuk Mei tahun ini tiba-tiba dihentikan sementara tanpa ada pemberitahuan. Para pengajar bertanya-tanya. Semula, dikabarkan tunjangan itu macet, susah dicairkan di Kementerian Keuangan.
    Tapi, pada Agustus 2011 pihak Kopertis mengeluarkan pemberitahuan resmi bahwa tunjangan dosen “mulai sekarang” tidak diberikan otomatis, melainkan bergantung pada laporan BKD. Hanya dosen yang: (a) sudah memasukkan laporan BKD per semester, (b) isinya benar, dan (c) sudah diverifikasi Kopertis yang berhak menerima tunjangan.
    Benar dan Diverifikasi?
    Apa yang dimaksud “isian BKD benar dan sudah diverifikasi” Kopertis? Di sinilah permasalahan berawal! Ternyata, tidak mudah mengisi BKD yang benar, yang sesuai ketentuan yang dibuat pemerintah.
    Pertama, dosen yang melakukan aktivitas di luar (kampus) harus mendapat persetujuan dari pemimpinnya. Kalau Anda seorang dosen, misalnya diminta berceramah di Markas Besar Kepolisian RI, sebelumnya Anda harus mengantongi persetujuan tertulis dari pemimpin anda. Jika tidak ada izin, kegiatan itu tidak bisa dimasukkan dalam laporan BKD.
    Apakah para pejabat Kopertis dan Dikti tidak paham hukum? Ketentuan hukum tidak boleh berlaku surut! Ini prinsip hukum yang amat mendasar dan ditulis jelas di KUHAP.
    Lagi pula, kenapa harus ada persetujuan dari pemimpin in advanced? Bagaimana kalau undangan datang mendadak? Bagaimana kalau seorang profesor mendadak diundang untuk memberikan pendapat di layar televisi tentang masalah bangsa yang serius? Bagaimana kalau pemimpin kita sedang cuti?
    Kedua, beban kerja dosen, termasuk profesor, tidak boleh melebihi 16 SKS/semester. Jika di BKD beban tugas Anda melebihi 16 SKS, kesimpulannya otomatis diberikan predikat “T” alias tidak lolos, padahal kesimpulan laporan Anda harus “M“ (memenuhi syarat).
    Bagaimana jika seorang guru besar, de facto, pada semester berjalan melaksanakan ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi lebih dari 16 SKS? Bahkan 20 SKS lebih? Ada dua opsi yang harus dilakukan sesuai arahan orang Dikti. Pertama, SKS-SKS yang lebih diberikan kualifikasi “beban lebih”, sehingga tidak dihitung SKS-nya. Kedua, kegiatan-kegiatan Tri Dharma sebagian jangan dimasukkan alias dilempar ke tong sampah!
    Bukankah ini sama juga menyuruh profesor curang atau berbohong? Ya, kita disuruh berbohong, teriak beberapa teman saya serempak! Mestinya, profesor yang memang mempunyai kehebatan melakukan kegiatan lebih dari 20 SKS/semester diberikan ekstra penghargaan atau ekstra tunjangan, bukan sebaliknya, tidak bisa keluar tunjangannya dengan alasan laporan BKD-nya ditolak sistem.
    Jangan lupa, kemampuan intelektual seseorang berbeda. Ada akademikus yang mampu membaca cepat, menulis supercepat, menganalisis permasalahan cepat, dan setiap tahun sanggup menyempurnakan SAP-nya. Ada juga akademikus yang lelet,membaca teks bahasa Inggris pun tidak mampu, bahan kuliah diberikan bak tape recorder, dan tidak pernah direvisi selama 20 tahun!
    Mengapa dosen yang berkemampuan luar biasa disamakan penghargaannya dengan dosen yang pas-pasan kapasitas intelektualnya? Lebih tragis lagi, dosen yang berprestasi hebat itu disuruh berbohong, disuruh menyembunyikan kinerjanya untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
    Menulis Buku
    Ketiga, dosen wajib setidak-tidaknya dalam kurun waktu tiga tahun menulis buku, melakukan penelitian, dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Ini bagus, tapi ketika dosen menunjukkan karya buku yang ditulisnya, dipermasalahkan hal-hal tetek-bengek dengan tuduhan tak memenuhi persyaratan ilmiah.
    Keempat, tunjangan dosen rupanya dibayarkan “per blok”. Jika di satu PTS terdapat 10 dosen bersertifikat, dan ada lima yang laporan BKD-nya dinilai belum memenuhi persyaratan, tunjangan ke-10 dosen itu macet, menunggu perbaikan laporan BKD lima dosen itu.
    Logikanya, dosen yang dinilai BKD-nya memenuhi syarat harus langsung dibayarkan tunjangannya. Dalam laporan BKD terakhir, saya sudah masukkan penulisan buku dan penelitian yang saya lakukan, serta begitu banyak kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan penyebarluasan ilmu saya kepada masyarakat. Kenapa masih juga ditolak? No news!
    Kelima, satu PTS “dipegang” satu assessor. Assessor itu tentu juga sibuk dengan kegiatannya. Senin (28/11), pihak Kopertis III mengundang seluruh guru besar yang ada, sekitar 170 orang. Mereka diberi penjelasan tentang pengisian laporan BKD yang benar.
    Banyak di antara yang hadir kecewa, bertanya-tanya, kenapa kita dipersulit. Setelah itu secara umum, masing-masing PTS diminta berkonsultasi lebih dalam lagi dengan assessor yang sudah ditetapkan.
    Sebaiknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang adalah profesor doktor dan mantan rektor, memperbaiki sistem pelaporan dosen bersertifikat. Buatlah sesederhana mungkin, tak perlu hitung-hitungan jelimet. Guru besar kok disuruh mengerjakan administrasi yang begitu jelimet.
    Tugas pokok guru besar di seluruh dunia sama, yakni meningkatkan kualitas akademik, menciptakan inovasi akademik, serta meningkatkan kepeduliannya kepada masyarakat melalui pengabdian ilmunya.
    Apakah tunjangan kepada dosen dan guru besar dari pemerintah sesungguhnya diberikan setengah hati? Atau semua ini memang bagian dari kesemrawutan birokrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena penyaluran tunjangan untuk guru pun ternyata problematik? ●
  • Jangan Salah Pilih Ketua KPK

    Jangan Salah Pilih Ketua KPK
    Benny Susetyo, PENGAMAT MASALAH SOSIAL, AKTIF DI SETARA INSTITUte
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    Komisi III DPR hari-hari ini mengadakan uji kelayakan terhadap calon-calon pemimpin KPK. Semoga saja ketua dan anggota yang terpilih adalah tokoh yang terbaik, karena mereka termasuk orang yang akan menentukan masa depan bangsa ini.
    Bila Komisi III salah memilih orang maka publik akan makin pesimistis menghadapi masa depan, mengingat korupsi di bangsa kita sudah masuk tahap paling “sempurna”, yakni merasuki lembaga politik dan kekuasaan.
    Karena itu, dibutuhkan pemimpin KPK yang bukan hanya berani, cerdas, dan memiliki kejujuran dan moralitas, namun mampu menekan angka korupsi oleh para pejabat publik. 
    Pemberantasan korupsi harus memiliki efek terhadap kesejahteraan.
    Pemimpin baru harus memiliki visi yang jelas untuk memberantas korupsi di lingkup birokrasi pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan yang terbukti cenderung korup. Sangat jelas bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, upaya itu akan berjalan di tempat.
     Tugas pemberantasan korupsi itu begitu berat, mengingat virus korupsi sudah mendarahdaging (internalized) di tubuh birokrasi. Perlu proses yang terencana dan sistematis untuk mengembalikan keadaban pemerintahan kita menuju tata kelola yang baik dan bersih.
    Harus diperhatikan secara saksama bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar pencitraan. Kita belum sampai pada proses inti “pemerintahan yang bersih”, baru sekadar citra pemerintahan yang bersih. Di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih itu, publik secara sadar masih melihat dengan jelas masih begitu banyak kasus korupsi yang dibiarkan begitu saja.
    Sebagai bangsa, sepatutnya kita malu, kok manusia Indonesia hampir setiap tahun bertengger di papan atas negara koruptor.
    Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, kita berada di tebing kehancuran, hanya selangkah lagi untuk masuk zaman kegelapan. Ketika hukum dan pemerintahan hanya sebatas citra dan goresan kata-kata, kepercayaan sudah hancur.
    Negara Hukum
    Selama ini, keadilan hukum ditegakkan karena hal tersebut menguntungkan kepentingan penguasa, dan akan diabaikan bila dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa.
    Jadi, keadilan hukum itu sebenarnya untuk siapa? Sepatutnya para pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya, agar menimbulkan efek jera itu. Susahnya, banyak oknum aparat penegak hukum juga pelaku korupsi.
    Karena itu, langkah politik pemimpin untuk berada di garda terdepan memimpin pemberantasan korupsi harus disertai dengan teladan agar rakyat mendukung. Untuk mewujudkan keadilan hukum, dibutuhkan iktikad politik yang kuat dari penguasa. Tanpanya, tak mungkin keadilan hukum terwujud.
    Selain itu, di negara demokrasi, semua entitas yang berproses di dalamnya tetap harus tunduk di bawah payung hukum. Karena itulah Indonesia memilih sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berciri kekuasaan (machstaat). Kekuasaan, seberapa pun besar dan kuatnya, tetap harus tunduk di bawah norma hukum.
    Kekuasaan berperan besar melahirkan hukum yang peka terhadap perasaan publik, hukum yang dipercaya sebagai satu-satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi. Tentu berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus ditanggung dari kenyataan ini.
    Meski sulit dilaksanakan, kekuasaan tetap harus tunduk dan berada dalam payung hukum. Hukum berkeadilan adalah hukum yang dipercayai dan ditaati. Hukum bisa dipercaya apabila diterapkan prinsip kesetaraan dalam hukum, serta ada ketaatan yang dilandasi komitmen kesederajatan.
    Pengawasan Masyarakat
    Beberapa kasus korupsi yang muncul dewasa ini sebagian besar terbuka karena kontrol publik yang semakin hari semakin ketat. Walau masih banyak jumlah kasus korupsi yang belum terkuak, lambat tapi pasti dengan kemauan politik yang kuat dan kontrol publik yang semakin disiplin, akan berhasil menguak satu per satu tindakan yang merampok uang negara ini.
    Momentum ini bisa mempertegas kembali bahwa korupsi merupakan penyakit kronis yang mengancam kita semua. Karena itu, pemberantasan korupsi akan minim hasilnya tanpa dukungan semua kalangan. Rakyat adalah pihak yang paling dirugikan dalam setiap tindak korupsi.
    Kekuasaan seharusnya memelopori pemberantasan korupsi, bukan malah menghambat seperti yang terjadi belakangan ini. Publik berharap Komisi III benar-benar memilih ketua KPK yang tepat. ●
  • Kata-kata pun Dikorupsi

    Kata-kata pun Dikorupsi
    Victor Sihite, WARTAWAN SENIOR
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    “Dari mana data jaksa penuntut umum ini sehingga berkesimpulan bahwa Dudhie Makmun Murod memberikan amplop berisi 39 TC kepada terdakwa I Panda Nababan, dengan nilai Rp 1,950 miliar?” tuturnya.
    Kalimat di atas adalah kutipan dari penjelasan terdakwa Panda Nababan pada sidang pengadilan kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom beberapa waktu lalu (Kompas, 16 Juni 2011).
    Menjadi pertanyaan, apa itu TC? Tuberkulosiskah, training center-kah, tok-cerkah, atau apa.Eh, ternyata travellers cheque alias cek perjalanan. Itu baru ketahuan setelah penulis terpaksa menelusuri kembali berita tersebut dari muka.Komentar: Perlu-perlunya menyingkat istilah.
    Hemat (baca: pelit) amat sih kita dalam berkata-kata, sampai-sampai kalimat kita bisa bermakna ganda. Yang jelas hemat berbahasa tidak hanya ditandai kepandaian menyingkat, melainkan kepandaian atau seni menyusun kalimat sesuai kaidah bahasa yang baik dan benar.
    Ataukah memang bahasa pun sudah dirasuki “budaya” korupsi yang telah merasuki seluruh sendi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat? Sampai kata-kata pun dikorupsi?Korupsi bahasa tersebut juga sudah menulari cerdik pandai.
    Coba misalnya simak, ahli-ahli kesehatan sudah terbiasa berkata, “Kebiasaan BAB sembarangan itu tidak baik.” Kenapa tidak lugas saja menyebut ‘buang air besar’? Mereka merasa jijik barangkali sehingga perlu eufemisme alias berhalus-halus.
    Bagaimana kalau nanti anak-anak juga menyingkat buang air kecil dengan BAK? Lalu, makan enak jadi ME, bekerja keras jadi BK, bohong besar jadi BB, kurus-kering jadi KK, sakit keras jadi SK, dan sebagainya. Lucu, bukan?Bukan cuma lucu.
    Bahasa Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia yang mendiami belasan ribu pulau besar dan kecil itu menjadi buruk, karut-marut.
    Akibatnya banyak orang merasa terusik membaca surat kabar karena penuh dengan tanda baca, penuh singkatan dan akronim, belum lagi istilah-istilah asing yang memerlukan energi ekstra dan waktu lebih untuk dapat memahaminya.
    Tampilan berita pun jadi buruk dari segi estetika dan berita itu menjadi kurang komunikatif. Ada semacam kesan di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini, jika bertutur, baik lisan, apalagi tertulis tanpa menggunakan singkatan, seakan si penutur atau si penulis ketinggalan zaman, kuno atau udik.
    Seakan-akan modernisasi itu hanya berciri sekadar kepandaian seseorang menyertakan kata-kata asing atau singkatan-singkatan dalam bertutur lisan maupun tertulis. Guru bahasa kami dulu di Grup Sinar, Prof Dr Anton Moeliono berpesan, berbahasalah dengan sederhana, tetapi baik dan benar dalam arti menaati kaidah-kaidah.
    Kalimat jangan rancu sebagaimana banyak ditemui, baik lisan maupun tertulis  Prinsip itu sejalan dengan nasihat para guru jurnalis, yakni kalimat-kalimat seyogianya singkat, padat dan jernih. Jadi, dengan menggunakan kata-kata asing ataupun dengan singkatan-sing
    katan yang seenaknya saja, apalagi akronim yang sama sekali tidak berdasarkan suatu aturan main yang baku, pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip yang diajarkan para guru tersebut.
    Para aktivis zaman ini hendaknya juga mempertimbangkan dampak kebiasaan menyingkat-nyingkat tersebut terhadap generasi muda, khususnya mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Tidakkah kita khawatir mereka akan pusing mendapati “hutan” singkatan di mana-mana?
    Bahasa menurut para budayawan menunjukkan identitas suatu bangsa. Kalau kita tidak meninggalkan kebiasaan buruk dalam berbahasa, jangan harap bangsa kita akan dihargai dalam pergaulan internasional. Bahkan, boleh jadi dunia internasional akan mencemooh kita sebagai bangsa yang tidak “PD”, eh, percaya diri, ha-ha-ha. ●
  • Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS

    Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS
    Tjipto Subadi, DOSEN FKIP DAN PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 2 Desember 2011
    Pernyataan Presiden AS Barack Obama di depan Parlemen Australia di Canberra, Kamis (17/11) lalu, yang akan menjadikan wilayah Asia Pasifik menjadi prioritas utama politik luar negeri dan pertahanan AS menjadi kekhawatiran tersendiri bagi wilayah damai tersebut. Apalagi, setelah Presiden Obama mengatakan militer AS akan menyebar di Asia, terutama Asia Tenggara, di mana AS akan membangun pangkalan militer di Darwin, Australia, yang disusul dengan mendatangkan pasukan marinir, kapal perang, dan pesawat tempur yang dimulai tahun depan. Meskipun, Obama berdalih pangkalan militer di Darwin dimaksudkan hanya untuk operasi bantuan kemanusiaan, bukan operasi militer.

    Tahun depan baru 250 marinir yang ditempatkan di Darwin, namun pada 2016 jumlah tersebut naik 10 kali lipat menjadi 2.500 marinir. Padahal, jarak Darwin dengan Nusa Tenggara Timur hanya 820 km, yang bisa dicapai oleh pesawat tempur kurang dari satu jam. Sedangkan, perusahaan tambang raksasa AS Freeport Mc Moran memiliki tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia, di Timika, Papua Barat, yang hanya “selemparan batu” dari Darwin.

    Tentu saja rencana AS untuk mendirikan pangkalan militer di Darwin mengkhawatirkan Cina, meski AS sudah mempunyai pangkalan militer di Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Sementara itu, bekas pangkalan udara  Clark dan laut Teluk Subik di Filipina ternyata masih sering digunakannya untuk melakukan operasi antiteroris di Asia Tenggara.

    Cina khawatir sebab merasa negara kuning itu selama ini paling berkuasa di Laut Cina Selatan, tempat gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly yang kaya akan minyak bumi sedang diperebutkan Cina, Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan. Keenam negara itu mengklaim ratusan pulau kecil di gugusan Paracel dan Spratly adalah milik mereka. Sehingga, dapat menimbulkan konflik bersenjata. Kehadiran AS di kawasan itu tentu saja membuat Cina khawatir, sebab politik hegemoninya akan mendapat saingan berat dari politik hegemoni AS.  

    AS selalu berdalih bahwa negara adidaya itu termasuk negara Pasifik karena mempunyai wilayah di Hawaii dan Guam yang masuk kawasan Pasifik. Jadi, sah-sah saja jika AS memiliki perhatian geopolitik dan geostrategis terhadap wilayah Asia Pasifik, termasuk Australia dan Laut Cina Selatan. Apalagi, hampir 100.000 pasukan AS ditempatkan di Jepang, Korsel, Taiwan, Singapura, dan Thailand, bahkan masih tersisa di Filipina, yang kesemuanya berada di kawasan Asia.

    Asia Pasifik
    Sebagaimana dikatakan Presiden Obama, AS mulai berpaling ke Asia Pasifik seiring perang yang sudah berakhir. Jelas yang dimaksud Presiden Obama adalah berakhirnya perang di Irak dan rencana penarikan pasukan AS dan NATO secara menyeluruh dari Afghanistan pada 2014 nanti.

    Sebenarnya, AS telah gagal dalam membangun politik hegemoninya di Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam kasus Irak, AS mengalami kegagalan total untuk menguasai Negeri Seribu Satu Malam itu setelah melakukan invasi untuk menggulingkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Sedangkan, di Afghanistan, meski dibantu pasukan NATO, AS juga gagal mengusai negara bergolak tersebut. Bahkan, hampir 2.500 nyawa prajurit terbaiknya hilang di Afghanistan. Boleh dikatakan Taliban saat ini masih menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan ketika malam hari, namun ketika siang hari digantikan oleh pasukan NATO dan Afghanistan.

    Kegagalan politik AS di Timur Tengah semakin nyata setelah rezim Mubarak, Ben Ali, dan Ali Abdullah Saleh yang selama ini menjadi pendukung kuatnya bertumbangan satu persatu dan digantikan rezim yang kurang bersahabat dengan AS dan Israel. Bahkan, Partai An Nahdhah yang memenangkan Pemilu Parlemen di Tunisia jelas anti-Israel, sementara kekuatan partai pendukung Ikhwanul Muslimin yang tergabung dalam Aliansi Demokrat dan Aliansi Islam Partai Nour diprediksi akan memenangkan Pemilu Parlemen Mesir yang akan digelar pada Senin (28/11) nanti. Jika kedua aliansi kekuatan politik Islam itu menang, tamatlah sudah pengaruh AS dan Israel di Mesir. 
          
    Meski politik hegemoni AS di Timur Tengah semakin goyah, namun AS tetap berusaha menguasai berbagai sumber minyak di wilayah Timur Tengah dengan mengandalkan sekutu setianya, Arab Saudi. Sebab, bagi AS, tersedianya pasokan minyak secara aman dan lancar dari Timur Tengah sangat vital bagi kehidupan negara superpower yang berpenduduk 320 juta orang tersebut. Krisis minyak di AS pascaperang Timur Tengah pada 1973 lalu menjadi pelajaran sangat berharga akan pentingnya persediaan minyak bumi bagi negara adidaya itu.    

    Apalagi, negara-negara Islam di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, UEA, Qatar, Bahrain, dan Libya saat ini menguasai 75 persen cadangan minyak dunia yang mencapai 685,6 miliar barel. Sedangkan, cadangan minyak lainnya ada di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (98,6 miliar barel), Eropa dan Eurasia (97,5 miliar barel), Afrika (77,4 miliar barel), Amerika Utara, termasuk AS dan Kanada (49,9 miliar barel), dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia (38,7 miliar barel). 

    Strategi AS untuk menguasai cadangan minyak dunia adalah dengan berusaha mengooptasi geopolitik dan geostrategis sumber-sumber minyak di Timur Tengah. Semua cara dilakukan AS untuk menguasai negara-negara Islam penghasil minyak dunia itu, seperti operasi intelijen, pengintaian, penyusupan melalui pasukan khusus, hingga invasi militer dalam skala penuh, seperti Afghanistan dan Irak.

    Sementara itu, di Asia Selatan, para geolog AS sudah lama mengetahui melalui pengamatan satelit, jauh dibawah bumi Afghanistan yang terlihat tandus dan gersang itu terdapat cadangan minyak bumi luar biasa besarnya yang diperkirakan tidak kalah dengan Arab Saudi. Jika AS mampu menguasai Afghanistan dengan mengalahkan para pejuang Taliban, ke depannya Afghanistan akan menjadi rebutan berbagai perusahaan minyak raksasa AS. Sementara, perusahaan minyak Eropa hanya akan mendapat sebagian kecil meski negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO turut mengirim pasukannya ke Afghanistan.  

    Selain itu, untuk melanggengkan penguasaannya atas cadangan minyak dunia yang sangat strategis, sampai 2003 tercatat AS telah menempatkan 75 persen kekuatan militernya yang total berjumlah 1,5 juta pasukan pada 730 basis militernya di lebih dari 50 negara di dunia, dan yang terbaru yaitu di Darwin Australia tahun depan.

    Penempatan basis-basis militer tersebut memang disengaja tidak jauh dari sumber-sumber minyak, terutama di Timur Tengah dan wilayah strategis di Asia Pasifik. Untuk itu, dari tahun ke tahun AS terus menambah anggaran militernya. Sementara, anggaran tahun ini mencapai tiga triliun dolar.

    Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kiblat politik luar negeri AS semakin diarahkan ke kawasan Asia Pasifik? Pertama, jelas untuk membendung kekuatan militer Cina yang semakin dominan di kawasan strategis itu. Kedua, AS merasa gagal dengan politik hegemoninya di Timur Tengah untuk membendung pengaruh Iran yang semakin kuat secara militer dan diplomasi. Ketiga, AS memiliki banyak pasukan dan pangkalan militer strategis di kawasan Asia Pasifik, bahkan Asia Tengah.

    Selain membendung pengaruh Cina, AS diam-diam juga berusaha menghalangi pengaruh Rusia yang kembali bangkit pascaruntuhnya komunisme awal 1990 lalu. Keempat, perhatian AS terhadap Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia semakin besar. AS memandang Indonesia yang kaya akan barang tambang secara geopolitik dan geostrategi semakin penting untuk mendukung politik hegemoninya di kawasan Asia Pasifik, terutama untuk menghadapi pengaruh Cina yang diprediksi akan menjadi negara superpower baru pada pertengahan abad ini menggantikan AS.

  • Jebakan RUU Pangan

    Jebakan RUU Pangan
    Didik J Rachbini, KETUA MAJELIS WALI AMANAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR
    Sumber : Kompas, 2 Desember 2011

    Rancangan Undang-Undang Pangan yang mulai dibahas di DPR masih menyisakan banyak masalah. Tumpuan pangan nasional masih pada produksi dan konsumsi beras sehingga swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor sejalan dengan produksi. Semua itu berpotensi membuat petani semakin tidak sejahtera.
    RUU Pangan memang menuai kritik karena ditengarai sangat liberal. Swasta yang tidak diatur berpotensi menjadi spekulan dan mematikan petani kecil.

    Selanjutnya Pasal 15 menyebutkan bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan dan impor, meskipun harus diutamakan produksi dan cadangan dalam negeri. Ini berarti peluang impor sejalan dengan usaha produksi dan cadangan pangan dalam negeri.
    Pasal 15 menyetarakan produksi dalam negeri dan impor sehingga memudahkan impor sebagai komplemen yang bersamaan dengan produksi dalam negeri. Semestinya sistem produksi dan cadangan diatur dalam pasal yang berbeda. Dengan demikian, sasaran swasembada pangan utama secara nasional menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkannya.

    Memasukkan peran swasta dalam stok pangan nasional bisa bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk menjaga harga pangan yang baik, tetapi terjangkau rakyat. Masalahnya, pangan seperti beras sudah menjadi komoditas politik untuk kepentingan nasional dalam hal ketersediaan dan keamanannya. Oleh karena itu, seharusnya peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar yang bersaing sempurna, tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan dan sekaligus kesejahteraan petani.

    Peran pemerintah

    Dalam hal peran negara dalam sistem produksi pangan, kelemahan RUU ini adalah menempatkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersubstitusi, bukan saling melengkapi.

    Dalam Pasal 20 dan 21 disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pusat wajib mengembangkan teknologi pangan, memfasilitasi pengembangan sarana dan prasarana produksi. Pasal seperti ini lemah sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa saling tuding jika gagal menjalankan kewajiban menjaga ketersediaan dan keamanan pangan.

    Kelemahan lain RUU ini ada pada Pasal 48, yang mengaitkan kebijakan produksi dan perdagangan pangan dengan kebijakan inflasi. Perlu diketahui bahwa jika kebijakan produksi dan perdagangan pangan dipakai untuk mengendalikan inflasi, kebijakan tersebut akan kehilangan kesempatan dan kekuatannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani. RUU Pangan tidak boleh menyandera hak petani demi kepentingan moneter.

    Perlu diketahui bahwa masalah inflasi sangat kompleks, mulai dari faktor moneter dan sektor riil, sektor dalam negeri dan luar negeri. Pada sisi sektor riil, harga pangan beras hanyalah salah satu dari ribuan produk lain.

    Kebijakan inflasi harus dijalankan seimbang untuk mengendalikan harga semua produk yang mungkin memengaruhi harga secara agregat, tidak dikhususkan pada pangan terutama beras. Padahal, produk industri lain dibiarkan saja mengikuti pasar, tidak dikendalikan sehingga nilai tukar petani terus tergerus seperti sekarang. Penurunan nilai tukar petani akan menurunkan kesejahteraan petani.

    Dengan demikian, Ayat 2a tentang pengendalian inflasi pada Pasal 48 seharusnya dihapus. Jika kebijakan pangan dibuat dengan mempertimbangkan inflasi, tujuan kebijakan pangan untuk kesejahteraan petani menjadi hilang.

    Perencanaan pangan

    Produksi pangan memerlukan perencanaan karena terkait dengan berbagai indikator produksi termasuk iklim, apalagi sistem produksi pangan ini ditopang oleh usaha rumah tangga petani kecil yang rentan terhadap segala perubahan. Di sinilah peran negara atau pemerintah membuat perencanaan produksi beras untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga perlu terlibat di dalam sistem penyangga pangan.

    Dalam hal peranan negara, RUU Pangan sudah mengakomodasi aspek ini, seperti terlihat pada Bab III Pasal 6. Disebutkan bahwa perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, ketahanan pangan, dan keamanan pangan.
    Sistem perencanaan pangan ini terintegrasi dengan perencanaan nasional dan perencanaan daerah serta mengikutsertakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Aspek perencanaan ini merupakan bagian awal dari kebijakan pangan seperti yang terlihat pada Pasal 7, 8, 9, dan 10.

    Sistem perencanaan pangan sangat penting karena pada musim panen, pasokan sangat melimpah dan mengakibatkan harga turun. Negara wajib menyerap pasokan petani sehingga petani tetap bergairah berproduksi pada periode berikutnya. Di sinilah perlunya sistem penyimpanan dan cadangan pangan agar harga tetap wajar dan menjadi insentif bagi jutaan petani kecil.

    Dalam aspek perencanaan, perlu dipertimbangkan antara lain produksi dan kebutuhan konsumsi, cadangan pangan, impor, ekspor, keanekaan pangan, distribusi, serta perdagangan. Aspek lain adalah keamanan
    pangan, penelitian dan pengembangan, pengendalian harga, keamanan pangan, pembiayaan, ataupun kelembagaan (Pasal 10).

    Ada masa pasokan beras sangat kurang sehingga perlu penyangga, seperti saat paceklik atau tidak panen. Sebaliknya ada masa panen raya, yaitu saat pasokan berlimpah sehingga harga pangan cenderung turun dan merugikan petani.

    Kondisi inilah yang harus diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang Pangan sehingga ketidaksempurnaan pasar dan fluktuasi pasokan bisa diatasi dengan peran negara. Bukan sebaliknya, diisi oleh swasta besar, yang akan menjadi spekulan dan berpotensi mematikan produsen petani kecil ataupun rakyat konsumen.

  • Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?

    Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?
    Jousairi Hasbullah, ANALIS STATISTIK SOSIAL BPS
    Sumber : Kompas, 2 Desember 2011
    Hasil Sensus Penduduk 2010, yang secara rinci baru saja dipublikasikan BPS, dibandingkan dengan hasil Sensus 1930 pada zaman Belanda, mengalami penurunan signifikan persentase suku Jawa dan Tionghoa di Indonesia. Gejala positifkah?
    Persentase suku Jawa di Indonesia jauh berkurang. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan angka 40,22 persen, bandingkan hasil Sensus 1930 yang 47,02 persen di seluruh Indonesia. Persentase suku Tionghoa menurun lebih tajam, yaitu dari 2,04 persen pada tahun 1930 tinggal 1,20 persen tahun 2010.
    Angka absolut kedua suku tersebut tidak berkurang. Suku Jawa pada tahun 1930 berjumlah 27,8 juta jiwa dari 60 juta penduduk Indonesia waktu itu dan tahun 2010 menjadi 95, 2 juta dari total 237 juta penduduk Indonesia. Sementara orang Tionghoa pada tahun 1930 sebanyak 1,2 juta jiwa dan kini 2,8 juta jiwa.
    Menentukan suku bangsa seseorang biasanya dilakukan dengan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan antropologis yang didasarkan garis keturunan dan pendekatan etnodemografis yang didasarkan dari pengakuan yang bersangkutan. Pendekatan antropologis yang jauh lebih rumit sangat tidak memungkinkan diterapkan dalam sensus yang berskala masif, dengan varian kemampuan petugas yang sangat heterogen. Sebaliknya, pendekatan etnodemografis lebih praktis, mudah, dan memungkinkan digunakan dalam sensus.
    Seorang migran yang telah menetap cukup lama di daerah lain dan budaya setempat: tradisi, bahasa, nilai, dan norma telah mewarnai perilaku kesehariannya, dapat saja menyatakan sebagai anggota suku tempat dia berada. Petugas sensus akan mencatat sesuai dengan pengakuan yang bersangkutan. Inilah yang disebut pendekatan etnodemografis.
    Mengapa Menurun?
    Penurunan persentase suku ini dapat saja direspons negatif. Beberapa anggota kelompok suku biasanya lebih suka melihat persentase yang meningkat sebagai tanda bahwa nilai-nilai, budaya, dan bahasa suku masih dominan. Biasanya sangat penting untuk berbagai keperluan, termasuk kepentingan politik.
    Di sisi lain, penulis memandang penurunan persentase suku Jawa dan Tionghoa sebagai hal positif. Pertama, pada suku Jawa ataupun Tionghoa tingkat fertilitasnya di bawah rata-rata orang Indonesia.
    Rata-rata anak yang dilahirkan oleh perempuan Indonesia (2010) sebanyak 2,15 anak, di provinsi yang didominasi oleh suku Jawa jauh lebih rendah. Di Jawa Tengah 1,99 anak dan di Yogyakarta hanya 1,39 anak. Pada suku Tionghoa, kemungkinan angka fertilitasnya juga jauh 
    lebih rendah. Akibatnya laju pertambahan populasi orang Jawa dan orang Tionghoa berlangsung lebih lamban dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia.
    Kedua, migrasi suku Jawa telah berlangsung sejak lama ke berbagai penjuru Nusantara, baik melalui jalur force migration (kuli kontrak, transmigrasi) maupun migrasi spontan sebagai pengaruh dari chain migration (migrasi berantai), yaitu mengikuti famili yang telah pindah ke daerah lain. Mereka yang telah turun-temurun berbaur bukan hanya secara fisik melalui jalur perkawinan antarsuku, juga secara budaya—termasuk dengan nilai-nilai lokal setempat, kemungkinan tak lagi mengaku sebagai suku Jawa melainkan sebagai anggota suku tempat mereka berada.
    Fenomena yang sama tampaknya terjadi pada suku Tionghoa. Orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya, yang telah beberapa generasi tinggal menyatu dengan suku-suku lokal setempat, sebagian di antara mereka tak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, tetapi sebagai orang suku setempat.
    Jika saja data yang dikemukakan didasarkan atas hasil sensus penduduk pada masa pemerintahan Soeharto, barangkali pengakuan tersebut dapat dipertanyakan tingkat kesukarelaannya, apakah karena memang merasa sebagai suku setempat atau karena rasa takut. Namun, ketika pengakuan itu datang pada tahun 2010, saat kebebasan dirasakan oleh semua orang, pengakuan tersebut adalah pengidentifikasian diri yang memang diyakini apa adanya.
    Ketiga adalah fenomena Jakarta dan sekitarnya. Orang-orang Jawa dan Tionghoa yang telah hidup di lingkungan Betawi dalam beberapa generasi kemungkinan besar tak lagi menganggap diri mereka orang Jawa atau orang Tionghoa, tetapi orang Betawi. Indikasi ini sangat nyata dengan pertambahan anggota suku Betawi yang luar biasa selama 80 tahun terakhir. Pada tahun 1930 jumlah orang Betawi baru 1,66 persen dari total penduduk Indonesia, saat ini meningkat menjadi 2,87 persen. Tahun 1930 suku Betawi menempati urutan ke-8 suku terbesar di Indonesia, saat ini menempati posisi lima besar nasional.
    Semangat Multikultural
    Hasil sensus, di mana pun, membatasi kajiannya pada fakta umum dan makro. Untuk merinci lebih jelas mengapa suatu fenomena terjadi, butuh kajian ilmiah yang lebih mendalam. Namun, dari kecenderungan umum ini kita mendapatkan hipotesis berharga bahwa suku Jawa dan suku Tionghoa, yang menurun persentasenya, selain telah berkontribusi positif pada pembatasan kelahiran juga dan yang utama memiliki semangat pembauran yang tinggi. Begitu juga dengan suku Betawi yang terbuka terhadap pendatang.
    Dapatkah kita mengatakan bahwa ketiga suku tersebut, tanpa banyak diketahui selama ini, telah menjadi pelopor dari semangat multikultural yang positif untuk persatuan Indonesia. Suatu tantangan untuk dikaji lebih mendalam bagi kelangsungan Indonesia sebagai negara-bangsa pada masa mendatang. ●
  • Bergurulah kepada Humor Hitam

    Bergurulah kepada Humor Hitam
    Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN; TINGGAL DI YOGYAKARTA
    Sumber : Kompas, 2 Desember 2011
    Mau jadi pemimpin di negeri ini? Gampang! Siapkan duit banyak dan atur lobi. Lalu, jangan lupa: teruslah berlatih mengucapkan kata prihatin sefasih-fasihnya.
    Strategi yang disebut terakhir ini penting. Itu karena negeri kita adalah negeri bencana, baik bencana alam, bencana politik, bencana sosial, bencana ekonomi, maupun bencana hukum. Juga bencana teknis ataupun bencana sistemik. Wujudnya bisa macam-macam: jembatan ambrol, busung lapar, konflik horizontal, pengangguran, korupsi, hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan yang sangat buruk.
    Dengan kata prihatin itulah Anda akan dapat empati publik meski setelah mengucapkan kata itu Anda tidak berbuat apa-apa. Manfaatkan masyarakat yang pemaaf dan mengidap penyakit lupa. Bahkan jika gagal mengemban tugas sosial pun, Anda jangan sekali-kali menyatakan mundur. Itu tindakan yang tidak lazim.
    Anekdot berupa ”nasihat” semacam itu kini tumbuh subur di masyarakat. Kita bisa menganggapnya sekadar guyonan. Namun, sangat mungkin anekdot itu serius. Bukankah di tengah kesumpekan sosial, guyonan atau anekdot politik adalah kanal pelepasan bahkan 
    perlawanan yang diam. Itu bukan hanya terjadi di negeri totaliter, juga di negeri yang (mengaku) demokratis.
    Masyarakat kita sangat kreatif, terutama jika dalam tekanan. Kepahitan hidup mereka olah jadi humor hitam yang cerdas.
    Maka, jika kebetulan Anda bagian dari penyelenggara negara, jangan sekali-kali menganggap humor hitam sebagai hiburan ketika mendengar guyonan mereka. Bisa jadi itu sindiran untuk 
    mengukur seberapa tinggi Anda memiliki kepekaan atau rasa malu sebagai birokrat, teknokrat, wakil rakyat, dan penegak hukum.
    Penggelinciran Makna
    Humor hitam bukan banyolan vulgar seperti dalam tayangan komedi di televisi. Humor semacam itu tak lebih dari komoditas. Humor hitam bukan barang dagangan, melainkan renungan keprihatinan yang memiliki daya kritis. Ia mengoreksi keadaan bukan dengan 
    caci-maki, sumpah serapah yang penuh tanda seru, melainkan melalui refleksi simbolik yang subtil.
    Logika yang digunakan adalah logika terbalik (negatif), semacam penggelinciran atas makna realitas yang dikontruksi negara. Humor hitam memandang bahwa negara merupakan rezim pemaknaan atas realitas yang harus dikritik. Itu karena negara bisa melakukan korupsi 
    semantik, misalnya melalui eufemisme atau kebohongan terhadap publik, demi 
    melanggengkan kekuasaan.
    Pemimpin yang baik selalu menolak kebenaran tunggal, berbeda dengan penguasa yang selalu jadi pemborong kebenaran. Untuk itu, pemimpin yang baik selalu rendah hati membuka diri terhadap pelbagai tafsir atas realitas. Dari sana, ia mendapatkan pencerahan. Oleh karena itu pula, Soekarno, Sjahrir, Bung Hatta, Tan Malaka, dan pemimpin sejati lainnya selalu membaca karya sastra dan filsafat. Oleh karena itu, Bung Hatta dan Ali Sadikin selalu menyaksikan pementasan Bengkel Teater-nya Rendra.
    Mereka adalah pemimpin yang tumbuh dalam tradisi intelektual yang kental. Bukan jenis pemimpin pop yang gemar membuat album lagu sentimentil. Mereka adalah pemimpin yang punya cita-cita ideal atas negara-bangsa. Bukan jenis pemimpin yang manja dan selalu menuntut pelayanan dari negara.
    Degradasi kepemimpinan secara nasional telah melahirkan pelbagai anomali politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Negara tidak terepresentasi secara normal (konstitusional), tetapi cenderung menjadi semacam koloni para penakluk dan petualang politik yang hanya berpikir soal kekuasaan dan pemilikan.
    Membangun Kesadaran
    Dalam negara yang gelap dan pengap, humor-humor hitam pun muncrat dengan sangat deras. Ini terjadi seiring kurang efektifnya kritisisme pelbagai komunitas demokratik untuk mengubah keadaan. Ternyata, rezim berkuasa sangat imun terhadap kritik. Rezim punya cara jitu untuk 
    meredam kritik, yakni membiarkan kritik itu berbiak di masyarakat. Rezim percaya kritik akan padam dengan sendirinya karena para pengkritik akan kelelahan dan putus asa. Sikap ndableg ternyata efektif dan murah untuk meredam kritik.
    Humor hitam mungkin juga akan bernasib sama dengan kritik yang muncul dari kekuatan komunitas demokratik. Namun, ia akan terus membangun kesadaran sehingga akan tercipta resistensi publik atas rezim yang dipandang abai. Kepercayaan pun diam-diam menguap.
    Pemimpin sejatinya mestinya mau rendah hati untuk berguru kepada humor hitam: di sana ada penilaian yang jujur atas realitas. Namun, masih adakah pemimpin sejati di negeri ini, di tengah melimpahnya tawaran kemewahan dan hedonisme? ●
  • Hukum yang Berjarak

    Hukum yang Berjarak
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 2 Desember 2011
    Bahasa hukum adalah bahasa harap maklum. Masyarakat awam diandaikan mengerti apa yang dituliskan dalam pasal, ayat, dengan kalimat dan anak kalimat yang ditandai dengan koma.

    Bukan kalimat pendek yang diajarkan di sekolah, cukup dengan 12 kata tanpa menghitung kata sandang atau kata sambung. Dengan demikian masyarakat umum bisa bingung untuk hal sederhana. Misalnya perlu dihapus atau tidaknya remisi bagi koruptor. Yang mencuat dan berkelebat di permukaan adalah berkutat soal pasal, soal ayat, soal undang-undang, soal peraturan dengan nomor, dengan strip atau garis miring dan tahun.

    Padahal masyarakat selama ini sudah linglung dengan peristiwa yang demikian jelas: ada jaksa menerima suap di kantor kejaksaan, tersangka koruptor bebas, pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak kunjung tuntas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang daftarnya makin panjang sampai dengan keadaan dalam rumah tahanan atau penjara masih ada yang istimewa. Keadaan semacam ini akan berulang sehingga muncul istilah adanya pembiaran, serangan balik para koruptor.Pergulatan yang terjadi seolah hanya ada di panggung, hanya untuk mereka yang mampu mendemonstrasikan kutipan ayat tanpa melibatkan masyarakat.

    Bahasa Melindungi

    Penggunaan bahasa atau istilah pun terkesan lebih memihak dan melindungi pelaku yang bersalah. Istilah jaksa nakal, hakim nakal, polisi nakal yang jelas terbukti kesalahannya adalah contoh sederhana yang dipergunakan. Dan bukan jaksa jahat, hakim jahat atau polisi jahat.Padahal kita tahu benar perbedaan kata nakal dengan jahat. Juga aparat atau pejabat yang jelas tertangkap tangan masih bisa dibela dengan gagah: harus ada praduga tak bersalah, biarlah pengadilan yang membuktikan.

    Kalaupun terbukti, masih ada berbagai upaya banding-membanding yang kadang kala diakhiri dengan hal itu terjadi karena khilaf. Bahkan kredo yang dianggap sakti, ”hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh”, hanyalah permainan bahasa k a r e n a kita tahu sejak zaman dulu yang nam a n y a langit tak pernah runtuh. Pada sisi ekstrem lain, masyarakat yang bukan tak tahu hukum menemukan penyelesaiannya sendiri sehingga pencuri ayam—sekarang lebih banyak pencuri sepeda motor— langsung dihajar hingga jontor. Pencopet kabur yang tertangkap langsung dihajar hingga babak belur.

    Masyarakat yang berbuat dipersalahkan karena main hakim sendiri karena diadili massa dan bukan aparat dan atau institusi yang mendapat kehormatan menangani. Dua sisi yang berseberangan, dua bentuk pendekatan yang bertolak belakang ini menggambarkan kutub berbeda dengan tujuan sama. Semangat menyelesaikan persoalan makin cepat makin baik dan semangat sesuai dengan koridor hukum barang kali bisa disatukan pada titik tertentu, kasus tertentu.

    Dengan demikian keinginan masyarakat mendapatkan tempat dan mata rantai proses hukum tidak menjadi lelet. Makna lain yang berharga adalah masyarakat terlibat—melibatkan atau dilibatkan— dan dengan demikian upaya penegakan hukum menjadi gerakan dan gebrakan kebersamaan. Bukan hanya pada elite hukum semata.

    Bahasa Menuntaskan

    Keikutsertaan masyarakat akan terjadi jika idiom-idiom yang dipergunakan mudah dimengerti dan ada bukti. Istilah rule of law,bahkan istilah penegakan hukum, terasa berjarak dengan perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan sehari-hari. Barangkali dengan menggunakan istilah ereksi hukum lebih mudah dimengerti.Sebab kata ereksi mudah dipahami. Juga kalau dikaitkan dengan kata “tidak ayo” atau loyo.

    Juga akan mudah diasosiasikan kenapa terjadi tidak ayo.Apakah karena ada penyakit, pikiran tak bisa konsentrasi, atau kurang rangsangan,atau memang sudah impoten. Keikutsertaan masyarakat akan menemukan wujudnya jika bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang menuntaskan. Bahasa yang menyelesaikan. Bukan yang mengambang dan abu-abu menunggu permainan, mengulur waktu. Bahasa tuntas adalah bahasa hitam atau putih.

    Apakah dugaan korupsi yang terjadi di kementrian tertentu itu benar terbukti atau tidak.Apakah prosesnya terbuka dan bagaimana hasil akhirnya. Sesungguhnya sangat sederhana. Sama sederhananya ketika menangkap penjahat dan menggunduli rambutnya seketika. Di sini dalam kasus begini hukum sebab-akibat menjadi membumi di mana reward dan punishment bukan wacana semata. Keikutsertaan masyarakat dalam ereksi hukum akan lengkap dengan adanya tokoh-tokoh yang menjadi contoh suri teladan.

    Di kalangan penegak hukum nama-nama Bismar Siregar, Yap Thian Hiem, Baharuddin Lopa, Hugeng Iman Santosa tetap harum dan didamba. Pada saat yang sama, masyarakat awam juga menemukan jawaban tuntas apa yang terjadi pada dirinya.Merekalah sebenarnya korban ketidakberdayaan, merekalah yang sebenarnya membutuhkan keadilan berdasarkan KetuhananYang Maha Esa. Ereksi hukum karenanya tidak hanya berhenti sebagai retorika, sebagai bahasa niat atau ayat semata,tidak juga pada satu waktu tertentu masa pemerintahan siapa.

    Ereksi hukum akan terus diupayakan karena begitulah kehidupan ini berkelanjutan. Hukum saja mematikan, tapi roh menghidupkan. Begitulah yang tertuliskan. Dan roh itu juga ada pada masyarakat awam yang dianggap buta hukum. Mengabaikan keberadaan mereka berarti mengkhianati sumber kehidupan dan mematikan roh.