Padamu negeri,
kujanjikan kebohongan,
kubaktikan keserakahan,
kusujudkan kepalsuan.
Padamu negeri,
kujanjikan kebohongan,
kubaktikan keserakahan,
kusujudkan kepalsuan.
Begitu fokusnya penghuni ruang tunggu tersebut,panggilan boarding pun tidak mampu mengusik perhatian calon penumpang. Saat penghitungan sampai pada kertas ke 40-an, seorangpenumpangmendekati saya dan berkata, “Yunus tersisih ya?” Tanpa menoleh ke sumber suara itu, saya menjawab,“ Hampir pasti.” Sesaat setelah semua kertas suara dihitung dan empat pimpinan KPK diketahui, saya menoleh ke arah sumber suara yang menanyakan nasib Yunus Husein.
Ternyata, pertanyaan itu berasal dari Prof Kacung Marijan, guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga. Dibanding saya, sepertinya, Kacung jauh lebih cepat mengerti hasil akhir voting di Komisi III tersebut. Meskipun demikian, Kacung masih menanyakan komentar saya atas hasil pemilihan pimpinan KPK.Dengan ringkas saya menjawab,“Hasil yang masih bisa dibilang lumayan.”
Keragaman
Bagi Kacung, jawaban saya memancing dia untuk mengajukan pertanyaan lain.“Kalau begitu, Anda kecewa dengan pilihan Komisi III?”Sebagai seorang anggota Panitia Seleksi, saya hanya merasa tidak begitu happy dengan hasil akhir fit and proper test di Komisi III.Semua ini bukan karena tidak sesuai peringkat yang dihasilkan Panitia Seleksi, melainkan lebih pada pertimbangan kebutuhan KPK.
Bila mau memberikan penilaian secara jujur, pilihan Komisi III dapat dinilai jauh dari ideal.Komposisi ideal itu tidak terpenuhi bukan karena figur, melainkan lebih disebabkan keberagaman latar belakang keilmuan calon pimpinan tersebut. Misalnya, ketika Panitia Seleksi memilih delapan calon, mereka yang masuk ke dalam peringkat 1-4 tidak hanya meraih nilai lebih untuk persyaratan “kepemimpinan”, “integritas”, “pengetahuan”, dan “independensi”, tetapi juga dipertimbangkan pula latar belakang keragaman ilmu calon.
Misalnya untuk Yunus Husein, yang bersangkutan mendapat nilai tambah karena pengetahuan dan pengalamannya dalam soal-soal transaksi perbankan. Tidak hanya itu, bagi Panitia Seleksi, jabatan Yunus sebagai kepala PPATK menjadi nilai tambah yang membedakan dengan calon lain. Begitu pula dengan Handoyo Sudrajat, di antara nilai tambah yang dihitung Panitia Seleksi adalah pengalamannya pernah bekerja sebagai auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Selain itu, Handoyo juga merupakan deputi pencegahan KPK.Sementara itu, meskipun agak sedikit kontroversial, sosok Abdullah Hehamahua potensial menjadi “penjaga moral” di kalangan internal KPK. Tambah lagi, Abdullah telah cukup lama menjadi bagian dari perkembangan dan pertumbuhan KPK. Merujuk hasil pemilihan Komisi III,dapat dikatakan bahwa unsur keberagaman luput dari pertimbangan komisi hukum DPR ini.
Meski demikian, sejak semula sebagian anggota Panitia Seleksi telah menduga bahwa “strategi” peringkat akan mendapat resistensi Komisi III. Bahkan ada di antara anggota Panitia Seleksi yang menduga bahwa sangat mungkin Komisi III memilih semua yang berada di peringkat 5–8. Di antara anggota Panitia Seleksi, saya termasuk yang memperkirakan bahwa Komisi III akan memilih fifty-fifty,dua yang berada di peringkat 1–4 dan dua lagi di peringkat 5–8.
Dengan perkiraan tersebut, saya termasuk yang memperhitungkan bahwa Yunus akan menjadi salah seorang pilihan Komisi III. Selain faktor kebutuhan KPK, pertimbangan saya didasarkan pada suarasuara yang berkembang di kalangan internal Partai Demokrat bahwa pilihan ke Yunus adalah harga mati. Bagi saya, tidak terpilihnya Yunus adalah sebuah kejutan besar Komisi III.Kejadian ini sekaligus menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar Partai Demokrat.
Kejutkan Komisi III
Apakah komposisi yang dihasilkan Komisi III menjadi sebuah pilihan yang aman untuk semua kepentingan politik yangmengitariparaelitepolitik termasuk yang berada di DPR? Saya kira tidak. Sekalipun ada kekecewaan di sebagian anggota Panitia Seleksi, komposisi yang terpilih sangat mungkin menghadirkan kejutan besar dalam desain pemberantasan korupsi ke depan.
Misalnya, Abraham Samad punya utang besar untuk membuktikanucapannya membongkar dan menuntaskan sejumlah megaskandal yang penyelesaiannya masih menggantung di KPK. Keraguan banyak pihak atas keterpilihannya sebagai ketua KPK seharusnya dijawab dengan prestasi monumental. Begitu pula Bambang Widjojanto, sebagai sosok yang diharapkan banyak pihak untuk menjadi salah seorang komisioner KPK,pengalaman panjangnya sebagai salah seorang aktivis antikorupsi akan menjadi modal besar untuk menggerakkan KPK.
Sementara itu, Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja akan menjadi sosok teduh untuk menggerakkan mesin extra-ordinaryKPKdalammemberantas korupsi.Saya percaya, di tengah gumpalan pertanyaan atas pilihan Komisi III,pengalaman satu tahun Busyro Muqoddas memimpin KPK lebih dari cukup untuk membantu KPK periode 2011-2015 untuk bergerak sejak hari pertama pelantikan.
Yang ditunggu publik saat ini, pimpinan KPK periode 2011-2015 tidak terjebak dalam logika elite politik DPR terutama Komisi III. Karena itu, pimpinan KPK harus mampu bertindak luar biasa dalam desain besar pemberantasan korupsi.
Salah satu pembuktian yang ditunggu publik, keberanian membongkar dan menindaklanjuti megaskandal korupsi yang terkait elite politik dan partai politik di Gedung DPR. Apabila itu dilakukan, KPK berpotensi mengejutkan singgasana para politisi di DPR terutama di Komisi III.
●
Sekiranya MK mengabulkan, sertamerta 19 wakil menteri yang diangkat SBY dalam KIB II akan rontok seketika,karena jabatan itu inkonstitusional. Saya sependapat dengan permohonan LSM itu. Secara iseng, hal ini pernah saya lontarkan kepada teman-teman dan pernah dimuat di Facebook saya. Saya katakan demikian, karena teman-teman itu ada yang dongkol dengan moratorium napi korupsi, gagasan Wakil Menkumham Denny Indrayana. Ada yang mau demo agar Denny dipecat saja.
Saya katakan kepada mereka, “Jangankan Denny. Kalau Pasal 10 UU Kementerian Negara itu kita uji ke MK dan dikabulkan,semua wakil menteri SBY itu akan rontok.” Teman-teman heran dan bertanya mengapa saya tak mengujinya ke MK,seperti dulu saya menguji UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jawab saya,saya tidak punya “legal standing” untuk mengajukan perkara.Tidak ada kerugian konstitusional apa pun pada diri saya dengan berlakunya Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.
Lain dengan UU Kejaksaan. Hendarman menetapkan saya jadi tersangka korupsi,sementara saya anggap dia tidak berwenang,karena kedudukannya tidak sah.“Jaksa Agung gadungan masak bisa menetapkan saya tersangka, terang saja saya lawan,” kata saya kepada mereka. Kebijakan moratorium Denny Indrayana tidak menimbulkan kerugian konstitusional apa pun kepada saya, karena saya bukan napi korupsi.
Mereka yang punya “legal standing” adalah para napi korupsi yang jadi korban kebijakan Denny. Sayang, mereka tidak memberi kuasa kepada saya sebagai advokat.Padahal, mereka bisa berargumen, hakhak konstitusional mereka dirugikan dengan kebijakan Wakil Menkumham. Sementara jabatan Wakil Menkumham itu inkonstitusional. Problema “legal standing” itu juga yang tampaknya bakal menggoyahkan permohonan LSM tersebut di MK.
Walaupun argumen mereka untuk menyatakan bahwa Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 masih bisa diperkuat, seperti yang dipertanyakan hakim panel MK dalam sidang pendahuluan,“ legal standing” LSM itu tidak kokoh. Sebagai pemohon, mereka harus menguraikan dengan jelas hak-hak konstitusional mereka yang diberikan UUD 1945, yang dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.
Hakhak konstitusional yang dirugikan itu tidak bisa bersifat hipotetis, tetapi benar-benar bersifat konkret,aktual,dan nyata terjadi.Kalaupun kerugian itu belum nyata, mereka harus mampu mendalilkan bahwa dengan penalaran yang wajar, kerugian itu sangat mungkin akan terjadi dengan berlakunya norma dimaksud. Tanpa “legal standing” yang kokoh, MK akan menolak permohonan LSM tersebut.
Secara Historis
Bagi saya, pengujian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2008 mestinya tidak terbatas pada keberadaan wakil menteri itu.Pengujian sebenarnya dapat dilakukan terhadap keseluruhan UU Nomor 39 Tahun 2008 itu, baik formil maupun materil. Pengujian formil dilakukan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Uji materilnya dilakukan terhadap UUD 1945.
Argumentasinya ialah bahwa seluruh norma dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tersebut bertentangan dengan apa yang diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Norma yang berisi perintah dalam Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 itu mengatakan: “Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undangundang”. Secara historis,norma pasal di atas muncul pada Amendemen Ketiga UUD 1945 Tahun 2002.
Ketika amendemen terjadi, kementerian negara sudah ada, bahkan sudah ada sejak 1945.Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara sebelum amendemen itu cukup dilakukan presiden dengan mengacu pada Pasal 17 dan Penjelasan UUD 1945 (ketika masih ada), sejalan dengan konsep prerogatif presiden dalam membentuk kabinet.Konvensi pembentukan kabinet pun telah terbentuk dalam sejarah ketatanegaraan kita sejak awal kemerdekaan.
Penambahan pasal ini ke dalam UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian yang terjadi sesuka hati di zaman Gus Dur jadi presiden. Karena itu, secara historis, Pasal 17 UUD ayat (3) UUD 1945 itu harus dipahami dalam kontekssepertiitu, kecualikitamau jadi ahistoris. Kalau demikian pemahamannya, undangundang yang harus lahir dari Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 bukanlah Undang-Undang tentang Kementerian Negara dengan segala tetek-bengeknya,melainkan Undang-Undang tentang“ Pembentukan,PengubahandanPembubaranKementerian Negara”.
Pendapat saya ini sejalan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan bahwa salah satu sebab lahirnya undangundang ialah karena diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar. Jadi, Undang-Undang “Kementerian Negara” yang mengatur tetek-bengek kementerian negara begitu rinci adalah “lain disuruh, lain dikerjakan”.
Inisiatif UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara datang dari Badan Legislasi DPR tahun 2005. Pemerintah ketika itu tengah menyiapkan RUU tentang “Pembentukan, Penggabungan, dan Pembubaran Kementerian Negara” seperti diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Saya, selaku mensesneg waktu itu, diperintah Presiden SBY untuk mewakili beliau membahas RUU Inisiatif DPR itu.
Pandangan saya bahwa DPR salah kaprah memahami Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 dengan RUUKementerianNegarayang mereka susun,telah saya kemukakan dalam Rapat Pembahasan RUU tersebut, yang dipimpin Agun Gunandjar. DPR bersikeras. Memang,harus banyak kompromi dengan DPR dalam membahas RUU.
Sayangnya, saya tidak selesai membahas RUU itu.Pada 7 Mei 2007 saya diberhentikan sebagai mensesneg. Pembahasan RUU itu dilanjutkan Hatta Rajasa dan Andi Mattalata. Maka jadilah UU Kementerian Negara seperti sekarang ini.
●
Sumantri yang gagah berani gugur di medan laga. Namanya harum dan dikenang sepanjang masa. Kombakarna membela negerinya bukan dengan kekerasan ksatria di medan laga, melainkan dengan sikap “non violence” sejati, ketika bahkan konsep itu belum dirumuskan sebagai keluhuran budi. Dia tahu bahwa Batara Rama, dengan segenap prajurit kera yang menyerang Alengka, bukan untuk menjajah negeri itu, melainkan untuk membebaskan istrinya yang diculik Rahwana.
Menyadari kenyataan itu,Kombakarna pun maju ke medan laga dengan busana serbaputih, tanpa niat mencederai lawan. Dia juga tahu, ajalnya akan tiba di medan perang ini. Jadi busana serbaputih tadi bukan pilihan sembarang pilih.Dan di sini kita jadi tahu, bukan ajal yang menjemputnya, melainkan sebaliknya: dia menjemput ajalnya dengan ketulusan dan sukacita. Tak ada penyesalan, tak ada derita, tak ada tanda penyesalan, ketika kemudian tubuh sebesar “gunung”itu roboh oleh panahpanah Lesmana.
Hujan bunga padma, bunga menur, bunga melati, dan tangis bidadari, turun dari Surgaloka,menyambut kembalinya si jiwa suci. Adipati Karna? Dia dijadikan Adipati Awangga oleh Raja Astina, dan mulia di sana. Dia menjadi terhormat karena kedudukannya. Apa balas jasanya? Dia berjanji membela raja ini dalam perang besar keluarga Bharata. Sebagai bawahan raja, Karna memperlihatkan darma bakti, balas budi,dan kesetiaan sejati yang bukan hanya kata-kata.
Raja dibela dengan pengorbanan jiwanya, mati mengenaskan di bawah hujan panas Arjuna. Para bidadari turun langsung ke medan laga untuk menolong Karna, setiap kali terjatuh, karena pukulan Arjuna. Namun,bidadari juga merawat Arjuna tiap kali kena senjata tajam Karna.Ketulusan Karna untuk memenuhi janji yang diucapkan, mampu mengguncangkan Surgaloka.Tanggung jawab, setia, tulus, itu bahasa hati.
Getarannya melampaui batas dunia fana ini. Tak mudah menjadi Sumantri yang penuh tanggung jawab dan pengorbanan.Tak mudah menjadi Kombakarna yang siap memperlihatkan sikap ‘right or wrong is my country’: sebuah patriotisme dan semangat seorang nasionalis tulen yang kini tak ada. Menjadi Karna, yang teguh pada prinsip, dan memperlihatkan dalam hidup, bahwa apa yang dikatakan dilakukan, dan hanya melakukan apa yang dikatakan.
Kata dan tindakan tidak saling menolak. Kata selalu diwujudkan.Tanda dia orang shiddiiq. Dalam peta kepemimpinan kita: kepemimpinan politik, sosial,rohaniah,atau keagamaan, adakah sisa kemuliaan, yang dimiliki tiga satria utama dalam kisah ini di dalam hidup sehari-hari kita sekarang? Negeri kita ini sudah dikepung oleh keserakahan kapitalis asing. Di sini bertempur agresivitas asing yang, dan pasivitas kita, yang tak tertolong. Kita bakal tergilas.Dan hancur luluh.
Mal-mal dan toko-toko grosir, Ranch Market dan Carrefour, telah melahap dan membunuh semua pasar tradisional kita. Indomaret dan Alfamart telah menyergap kita, hingga di gang-gang kecil. Akibatnya,semua kapasitas lokal kita mati.Semua kreativitas kita diterjang habis. Kemampuan kita yang terbatas, dihajar modal raksasa. Ini bukan lagi persaingan bebas, karena kita tak mampu bersaing. Kita memerlukan kebijakan pemerintah yang bisa memberi kita pengayoman.
Kita tak boleh dibunuh begitu saja. Jangan ada di antara kita dengan sikap dingin berkata, “Bukankah memang begitu watak pasar?” Jawabnya, “Bukan.” Kita harus tahu, pasar bukan lembaga suci. Pasar penuh rekayasa dan keserakahan. Lewat pasar bebas mereka minta DPR membuatkan undang-undang, yang menguntungkan usaha mereka. Lewat pasar mereka minta dibikinkan peraturan daerah agar tambang-tambang bisa dikuasai asing.
Lewat peraturan menteri diusahakan agar perkebunan bisa dilahap seluruhnya oleh bisnis asing. Lewat UU,peraturan pemerintah, dan keputusan menteri, didukung peraturan daerahdaerah yang menjangkau seluruh Tanah Air, rokok keretek harus dibasmi.Dan petani tembakau dimusuhi,sebelum mata pencahariannya dimatikan. Siapakah Sumantri yang di negeri ini mengabdi “raja”, yaitu seluruh rakyat Indonesia, yang dimuliakan? DPR yang membela orang asing?
Pejabat negara, yang berkhianat terhadap kewajiban konstitusional yang mereka panggul tinggi-tinggi untuk melindungi rakyat? Namun, mengapa mereka selingkuh? Siapa Kombakarna, yang bicara “right or wrong is my country”? Para peneliti, para dosen,para aktivis LSM,para penulis, para seniman: pendeknya golongan intelektual kita?
Apa wujud kepedulian mereka selama ini terhadap ketertindasan demi ketertindasan bangsa kita oleh kekuatan modal asing yang menerjang batasbatas wilayah moral,politik,dan kemanusiaan kita, yang justru difasilitasi para pejabat dan tokoh-tokoh kita sendiri? Siapa Karna, dalam hidup kita,yang ucapannya diwujudkan dalam tindakan, yang janjinya tidak bohong, yang pernyataannya menggambarkan kebenaran yang kita junjung tinggi? Presiden? Wakilnya? Menteri-menterinya?
Siapa di kalangan pemimpin politik, sosial, rohaniah/keagamaan, yang mencerminkan tanggung jawab dan jiwa ksatria, yang melindungi kaum lemah, dan rakyat pada umumnya? Layakkah orang-orang itu disebut pemimpin,dengan jiwa ksatria utama,yang kita utamakan?
●