Author: Adul

  • Bestialisasi Korupsi

    Bestialisasi Korupsi
    Sindhunata, PEMIMPIN REDAKSI MAJALAH BASIS
    Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011

    Padamu negeri,
    kujanjikan kebohongan,
    kubaktikan keserakahan,
    kusujudkan kepalsuan.

    Kata-kata di atas dibuat oleh penulis untuk merespons lukisan 13 pelukis senior yang tergabung dalam Kelompok Cibubur Art.
    Para pelukis tersebut—antara lain Haris Purnomo, Bonyong Munny Ardhie, Umbu Tanggela, Hari Budiono, dan Bambang Sudarto—merasa gerah atas situasi sosial-politik akhir-akhir ini, lebih-lebih terkait masalah korupsi. Mereka ingin membuat karya bersama. Namun, mereka merasa belum punya ide dan simbol yang bisa mengikat mereka untuk menumpahkan kegerahan dan kegeramannya.
    Akhirnya mereka sepakat untuk merespons artikel ”Negeri Para Celeng” (Kompas, 31 Mei 2011). Lalu jadilah sebuah lukisan besar, terdiri atas tiga panel, yang akan dipamerkan awal Desember ini di Jakarta. Lukisan itu menggambarkan manusia-manusia yang merangkak, membungkuk, dan bersujud-sembah. Format sujud mereka membentuk postur-postur celeng. Tapi sudah tiada lagi kelihatan rupa celeng di sana, yang ada adalah manusia- manusia yang tidak merasa lagi dirinya adalah celeng, walau perilakunya seperti celeng: perilaku yang tak tahu malu, hedonis, serakah, dan rakus.
    Lebih dari satu dekade, dunia seni rupa sempat dibayang-bayangi oleh ’celeng’-nya perupa Djokopekik. Sekarang celeng Djokopekik itu sudah tiada. Ia menjelma jadi manusia-manusia: laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Tak kelihatan lagi muka celeng. Yang kelihatan muka manusia-manusia berdasi, perempuan seksi, anak-anak, manusia yang bersujud-sembah. Semua menampilkan selera serakah, rakus, dan penuh nafsu.
    Mengancam Kemanusiaan
    Kebohongan, keserakahan, dan kepalsuan adalah ”bawah sadar” di balik korupsi, yang habis-habisan menggerogoti bangsa ini. ”Bawah sadar” itu sedemikian kuat berakar dalam diri para pelaku korupsi, sampai ”bawah sadar” itu menjadi semacam naluri yang harus ditaati dan dituruti. Korupsi telah menggerogoti nurani manusia, dan mendegradasikannya jadi sekadar naluri yang tak tahu malu, meski dirinya bohong, serakah, dan palsu. Untuk tidak mengatakan ”manusia telah menjadi binatang”, mitos Jawa mempunyai kata ”celeng” bagi orang yang hanya menuruti naluri keserakahannya itu.
    Untuk memperjelasnya, meminjam istilah Peter Sloterdijk, korupsi yang menggerogoti nurani manusia itu adalah semacam bestialisasi atau pembinatangan manusia. Bestialisasi terang-terangan mengancam sivilisasi. Memang tak mungkin peradaban dibangun jika masyarakat kita digerogoti bestialisasi warganya dengan terus-menerus korupsi, tanpa nurani lagi. Jika demikian, dalam waktu dekat masyarakat kita akan ambruk, seperti ambruknya Jembatan Kartanegara Mahakam yang, walaupun menelan biaya miliaran rupiah, ternyata sangat rapuh.
    Korupsi sebagai bestialisasi juga mengancam sendi-sendi humanisme. Dana pendidikan disunat sehingga terganggu pula cita-cita pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang diharapkan untuk membuat bangsa ini makin human. Dana untuk orang miskin dikorup sehingga makin menderitalah kaum tak berada yang sebenarnya berhak mendapatkan bantuan negara. Pengadilan kasus korupsi kelihatan menginjak-injak rasa keadilan masyarakat sehingga makin tak acuhlah masyarakat terhadap kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan untuk membangun humanisme masyarakat.
    Lewat kelihaian dan trik-trik korupsi, partai-partai politik tampak memperkaya pundi-pundinya sehingga tiadalah fairness dalam demokrasi, di mana nilai-nilai kemanusiaan ingin ditegakkan. Praktik korupsi juga terus-menerus membentuk kita jadi manusia suka berdusta, munafik, dan palsu. Di wilayah agama, korupsi bahkan bisa menipu orang untuk tampak saleh, walau telah menilep uang negara.
    Jelas, sebagai bestialisasi, korupsi adalah potensi barbaristis bagi humanisme. Humanisme akan runtuh karena korupsi. Karena lewat korupsi, manusia diam-diam dibestialisasikan setiap hari, dalam segala aspek dan aktivitas kehidupannya. Maka korupsi adalah hama bagi kemanusiaan, seperti celeng adalah hama bagi petani. Yang dimakan dan dilahap oleh korupsi bukan hanya uang, tetapi lebih-lebih kemanusiaan. Adalah parah jika uang negara habis karena korupsi, tapi lebih parah lagi apabila kemanusiaan bangsa kita hancur karena bestialisasi korupsi yang menghancurkan nurani tadi.
    Belum lama ini ada wacana, bagaimana jika pelaku korupsi berat dihukum mati. Betapa pun kita kurang atau tak menyetujui wacana itu, kita kiranya bisa memaklumi alasan mengapa wacana itu sampai timbul. Pelaku korupsi memang layak diganjar hukuman seberat-beratnya. Mereka tak hanya penjahat keuangan, tetapi juga penjahat kemanusiaan. Celeng adalah hama tanaman, karena itu petani membunuhnya. Korupsi hama kemanusiaan, karena itu maklum juga jika para pelakunya pernah diwacanakan dihukum mati.
    Gerakan Rakyat
    Korupsi adalah hama bagi kemanusiaan. Karena itu, seluruh bangsa harus bersama-sama menghadapi korupsi. Tak cukup penanganan korupsi hanya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itulah yang kiranya terjadi dalam gerakan Anna Hazare di India, Agustus lalu. Kisan Baburao Hazare (74 tahun) mogok makan menuntut dibentuknya perundang-perundangan yang keras terhadap korupsi. Perundangan-undangan itu harus membentuk pilar-pilar yang baru, kuat, dan bebas dalam perang melawan korupsi. Dituntutnya pula agar parlemen mengesahkan undang-undang yang berani memberikan hukuman berat dan keras kepada penyuap dan pegawai pemerintahan yang suka main suap.
    Dalam waktu dekat ternyata orang- orang berbondong-bondong mendukung Hazare. Tak kurang 80.000 warga bergabung dalam demonstrasi di Delhi, menyerukan agar pemerintah mengabulkan tuntutan Hazare. Mereka berteriak-teriak: Anna, Anna. Anna, artinya saudara tua, begitulah mereka menyebut Hazare.
    Sebelumnya Hazare hanyalah aktivis petani. Ia mengajak warga desanya bersama-sama membangun suatu desa percontohan, di mana mereka dapat hidup saling menolong dan jujur dalam persaudaraan. Hazare sendiri hidup amat sederhana. Ia tinggal di bilik kecil, hanya ada dipan dan lemari kecil di dalamnya. Ia berusaha meresapkan ajaran Gandhi dan filsuf India, Swami Vivekanda.
    Dari seorang aktivis petani, Hazare mendadak jadi pejuang nasional. Itu terjadi karena ia berjuang melawan korupsi dengan berani mogok makan 12 hari.
    ”Anna, hidup perjuanganmu. Kami berdiri di belakang kamu. Hidup India,” demikian teriakan orang-orang di kota-kota besar India. Pendukungnya bukan hanya kelas bawah, juga kelas menengah. Kalangan menengah ini semula apatis, tiba-tiba mereka bangkit dan menyatakan sanggup meninggalkan kenyamanan dan kepentingannya sendiri, lalu turun ke jalan, ikut berjuang melawan korupsi. Mereka tak lagi memikirkan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan negeri India yang mereka cintai.
    Demokrasi yang Korup
    Mengapa mendadak inisiatif Hazare menjadi gerakan Anna Hazare yang meluas di India? Jawabnya: karena masyarakat sudah jenuh, gerah, dan marah. Mereka sadar, korupsi sangat membahayakan dan bisa menghancurkan negara. Mereka tinggal menunggu kapan kejengkelan mereka bisa meledak menjadi gerakan protes nasional. Ini hanya persoalan waktu. Maka, begitu Hazare muncul, mereka pun berduyun-duyun mendukungnya. Dalam hal ini Hazare adalah simbol yang bisa menghimpun dan mendinamisasi kekesalan rakyat itu menjadi gerakan.
    ”Bersama-sama kami membangkitkan kepercayaan bahwa negara kami dapat menumbangkan korupsi, dan kami dapat mengusahakan perubahan undang-undang yang kami perlukan untuk melawan korupsi,” kata Hazare.
    Gerakan Hazare memang bisa dituduh membahayakan demokrasi karena gerakan itu di luar parlemen dan tata peraturan yang sudah disepakati untuk kehidupan demokrasi. Akan tetapi, kalau demokrasi itu adalah demokrasi yang korup, bagaimana demokrasi itu bisa berjuang melawan korupsi? Maka rakyat sendiri akan berjuang secara langsung melawan korupsi, seperti terjadi dalam gerakan Anna Hazare. Kalau itu terjadi, janganlah buru-buru rakyat dituduh melakukan anarki terhadap demokrasi. Elite politik yang harus mawas diri, jangan-jangan gerakan rakyat adalah protes karena tiada kelihatan lagi gereget dan tanggung jawab moral pemimpin mereka melawan korupsi.
    DPR baru saja memilih ketua KPK. Jangan dikira peristiwa ini tidak ditanggapi dengan sinis oleh masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin lembaga perwakilan rakyat yang juga terkenal amat dijangkiti wabah bestialisasi korupsi itu masih mempunyai integritas moral untuk menentukan orang yang paling jujur, bersih, dan tegas sebagai ketua KPK?
    Kita membutuhkan seorang ketua KPK yang berjiwa, bersikap, dan beraga seperti Anna Hazare. Akan tetapi, harap diingat, dalam kondisi bestialisasi korupsi sekarang ini, yang bisa menentukan siapakah yang layak menjadi ”Anna Hazare” bukanlah DPR, melainkan rakyat sendiri. Sayang rasanya tokoh itu belum muncul sehingga rakyat juga belum bisa menilainya. Anna Hazare, di mana kamu?
    Ataukah Anna Hazare pada hakikatnya tak diperlukan karena kita sebenarnya sudah jengkel, kesal, marah, dan geram terhadap korupsi? Kalau demikian, kita tinggal menunggu lahirnya people power yang akan menumbangkan korupsi. Hanya di sini pun kita mesti waspada, janganlah people power itu dimanfaatkan Anna Hazare-Anna Hazare palsu. ●
  • Jera Korupsi

    Jera Korupsi
    Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011
    Laporan utama harian ini, terbitan 25 November lalu, ”Aparat Tidak Jera Korupsi”, membuat kita geleng-geleng kepala dan sangat prihatin. Ancaman hukuman penjara ternyata tidak membuat keder kalangan pejabat publik dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Mulai dari mantan menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, petinggi Polri, jaksa, sampai hakim sudah banyak yang dijebloskan ke penjara.
    Dari waktu ke waktu, Komisi Pemberantasan Korupsi, juga Polri dan Kejaksaan, menangkap para pejabat publik yang terduga—dan kemudian terbukti di pengadilan—melakukan korupsi. Akan tetapi, tetap saja ada yang berani melakukan korupsi dan pasti masih banyak lagi yang sedang berusaha dengan cara apa pun menilep aset dan harta publik.
    Hampir bisa dipastikan, kasus-kasus korupsi yang terungkap hanya merupakan bagian kecil atau puncak gunung es dari wabah korupsi di negeri ini. Masih banyak koruptor yang melenggang kangkung, bebas dari jangkauan hukum, bahkan asyik berbelanja entah di mana, apakah karena mereka memiliki beking tertentu yang kuat atau karena mereka dapat ”membeli” aparat hukum dengan uang hasil korupsi.
    Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa pemberantasan korupsi sama sekali masih jauh dari selesai, bahkan sebaliknya: terlihat kecenderungan tambah meruyak ke mana-mana, menjangkiti hampir semua sektor publik. Akibatnya, kini seolah- olah hampir tidak ada lagi sektor publik yang bisa dipercaya bersih dari korupsi. Bahkan, sektor penegak hukum yang semestinya bebas dari korupsi seakan-akan menjadi tongkat membawa rebah karena adanya mereka yang terlibat korupsi.
    Ketamakan dan Hedonisme
    Memandang terus berlanjutnya korupsi dalam skala mencemaskan di kalangan para pejabat publik, korupsi yang mereka lakukan tak lain karena kerakusan. Gaji dan berbagai insen- tif yang mereka terima sangat lebih daripada cukup. Karena itu, mereka korupsi karena ketamakan belaka, bukan karena ”kebutuhan”—yang juga tidak bisa dan tidak boleh ditoleransi karena setiap dan semua bentuk korupsi tidak dapat dibenarkan.
    Namun, korupsi karena ketamakan lebih-lebih lagi tidak bisa ditoleransi, apalagi dibiarkan, karena angkara murka nafsu ketamakan sangat merusak baik pribadi, masyarakat, maupun negara-bangsa.
    Tamak memang salah satu sifat bawaan manusia yang sebenarnya bisa dikendalikan dari diri sendiri baik dengan menggunakan akal sehat maupun hati nurani. Selanjutnya, tamak juga bisa dikendalikan dengan mendasarkan diri pada ajaran agama serta norma adat dan sosial. Namun, dalam realitas, terdapat manusia yang tak bisa menggunakan akal sehat dan nuraninya dan, bahkan, tidak mengindahkan ajaran agama yang dia imani.
    Mereka juga tidak takut terhadap berbagai undang-undang dan ketentuan hukum yang memberikan ancaman berat terhadap pelaku korupsi. Ini tidak lain karena mereka lebih dikuasai hawa nafsu setan, ketamakan, dan kerakusan mencuri aset publik serta negara.
    Mengapa mereka lebih dikuasai hawa nafsu tamak?
    Dalam banyak segi, nafsu tamak untuk korupsi selain disebabkan kegagalan mengendalikan hawa nafsu diri yang bernyala-nyala, juga karena lingkungan sosial yang langsung maupun tidak langsung mendorong dan menjerumuskan pejabat publik ke dalam korupsi.
    Ini bisa mulai dari lingkungan keluarga: suami atau istri yang menjadi tokoh publik berorientasi pada kehidupan melimpah atau berlaku lebih besar pasak daripada tiang. Dengan kecenderungan ini, tumbuhlah sikap serba permisif terhadap korupsi: suami atau istri tidak pernah saling melarang, bahkan membiarkan dan mendorong suami atau istrinya melakukan korupsi untuk memenuhi orientasi serta gaya hidup berkelimpahan.
    Yang tidak kurang pengaruhnya adalah lingkungan kehidupan sosial yang lebih luas di kelompok sendiri, kantor, bahkan masyarakat umumnya. Gejala meningkatnya gaya hidup materialistis dan hedonistik di banyak lingkungan lembaga publik juga turut memberikan kontribusi bagi kian merajalelanya korupsi. Bahkan, di lingkungan seperti ini seolah-olah terjadi konspirasi untuk bersikap saling sokong dan tahu sama tahu atas keberlangsungan praktik-praktik korupsi.
    Hukuman Sosial
    Cara ”konvensional”, khususnya hukuman kurungan, kelihatan tidak mampu mencegah pejabat publik tertentu melakukan korupsi. Apalagi, ketika hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan sering relatif ringan dan menjadi lebih ringan lagi dengan adanya remisi yang diberikan secara indiskriminatif.
    Juga bukan rahasia lagi, ada pelaku korupsi sering menghabiskan waktu di luar penjara dengan berbagai alasan, seperti sakit, sehingga dapat tidur-tiduran di ruang rawat eksekutif yang kian banyak tersedia di rumah sakit. Dalam istilah Betawi, hukum terus dikadalin melalui cara seperti ini.
    Karena itu, perlu berbagai cara inkonvensional dalam usaha membuat jera pejabat publik pelaku korupsi. Di antara hukuman tidak konvensional itu adalah ancaman hukuman mati, hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh kekayaan, dan kewajiban melakukan pelayanan sosial. Yang terakhir ini adalah koruptor, misalnya, diwajibkan melakukan kerja sosial tertentu, seperti membersihkan toilet umum, dalam jangka waktu tertentu—kalau perlu, pakaian yang bersangkutan dilengkapi dengan tulisan ”koruptor”.
    Yang tak kurang penting adalah hukuman dan sanksi sosial semacam pengucilan dari lingkungan masyarakat. Kini sudah waktunya masyarakat menghilangkan sikap permisif terhadap korupsi dan koruptor dan, sebaliknya, memperkuat perlawanan serta sikap antikorupsi mulai dari lingkungan sosial paling kecil.
    Di sinilah peran tokoh yang memiliki integritas dalam berbagai lembaga sosial dan ormas menjadi sangat penting untuk terus mengambil inisiatif dalam konsolidasi serta pemberdayaan masyarakat melawan korupsi. ●
  • Perlu Desentralisasi Asimetris

    Perlu Desentralisasi Asimetris
    M Mas’ud Said, ANGGOTA DEWAN PAKAR, PENGURUS PUSAT MASYARAKAT ILMU PEMERINTAHAN INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 5 Desember 2011
    Setidaknya ada tiga provinsi di Indonesia yang bisa menjadi dasar pertimbangan mengapa Indonesia seharusnya menerapkan desentralisasi asimetris. Ketiga provinsi ialah DI Yogyakarta, Papua, dan Aceh.
    Sebagaimana diketahui, secara legalitas, otonomi daerah kita hanya mengenal dua sistem, yaitu otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam sistem otsus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.
    Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration.
    Sudahkah sistem legalitas otonomi kita dapat mengaspirasi dinamika di provinsi lain? Jumlah provinsi yang menuntut kekhususan akan bisa bertambah kalau kita memasukkan Bali yang memiliki kekhasan budaya dan pariwisata, DKI Jakarta yang memiliki kekhususan sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, atau bahkan Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya.
    Diperlukan kebijakan untuk mengadopsi sistem otonomi asimetris dengan payung hukum setingkat instruksi presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU. Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh serta memberikan bantuan khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi Provinsi Kepulauan Riau bisa dijadikan inspirasi bagi pelaksanaan otonomi di luar kerangka otsus dan otda 2004.
    Dalam pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia di Jakarta akhir Juni, tersirat betapa keanekaragaman sejarah pemerintahan dan budaya lokal sudah menjadi kenyataan sejarah.
    Selain itu, ada juga keinginan kuat untuk mengakomodasi kekhususan dengan cara aman tanpa meminta otsus. Dari sini muncul konsep jalan tengah yang disebut dengan istilah desentralisasi asimetris, di mana provinsi bisa mendapatkan atau melaksanakan skema agak khusus pada bidang tertentu di luar ketentuan otsus dan otoda 2004 yang terlalu mengedepankan generalisasi tanpa membuat UU baru.
    Indonesia Memang Asimetris
    Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di tingkat provinsi menyusul sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan sekarang. Dalam rangka mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan intelektual masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan solusi interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan kewenangan lebih besar kepada provinsi.
    Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan antara pusat serta daerah yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir selama belum ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan di atas. Tanpa upaya mencari solusinya, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.
    Secara konseptual, desentralisasi asimetris bukanlah hal baru. Desentralisasi asimetris telah dilaksanakan baik di negara-negara federal maupun unitarian meski awalnya bukan dimaksudkan untuk memberi kekhususan sebagaimana di Indonesia. Jika desentralisasi asimetris diartikan sebagai ruang gerak lebih luas bagi provinsi di luar Aceh dan Papua, konsep ini patut dipertimbangkan sebagai basis teoretis bagi pelaksanaan otonomi di luar otsus dan otda.
    Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa provinsi? Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.
    Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan kebuntuan mekanisme formal. Contohnya, Provinsi DIY tidak perlu mengubah sistem pemilihan gubernurnya karena sistem itu telah berjalan justru sebelum negara ini lahir. DIY dapat melaksanakan pilkada dengan sistem lokalnya. Demikian juga DKI Jakarta dapat melaksanakan keistimewaan terbatas sebagai ibu kota untuk masalah-masalah pembangunan sosial dan ekonomi agar dapat bersaing dengan koleganya, seperti Singapura atau Kuala Lumpur.
    Untuk kasus Indonesia, fokus otda yang diletakkan pada kabupaten dan kota sudah tepat. Otsus di level provinsi untuk Aceh dan Papua juga sudah masuk akal. Namun, kita masih melihat adanya kelemahan saat dihadapkan pada situasi pemerintahan provinsi lain yang beraneka ragam. Ada alasan mengapa desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi, yakni, dalam posisi barunya di perundang-undangan, ia adalah ujung tombak, wakil pemerintah di daerah, sekaligus sebagai daerah otonom.
    Fondasi dan nilai utama desentralisasi asimetris adalah demokrasi sekaligus memperkuat NKRI. Dengan posisi asimetris untuk sektor tertentu ini, kehendak mengubah posisi politik provinsi dari semula sebagai ancaman disintegrasi menuju kebebasan terbatas untuk mengembangkan diri sebagaimana dijamin pasal 18 UUD 1945 bisa ditingkatkan.
    Dari pengamatan di lapangan, bisa dilihat bahwa selama ini daerah yang membuat isu ”lepas dari NKRI” bukanlah level kabupaten atau kota, tetapi provinsi. Dengan menambah keleluasaan yang sewajarnya di tingkat provinsi, diharapkan ia bisa menjadi jantung pertahanan agar daerah tak menerabas melebihi haknya untuk berubah.
    Pelaksanaan desentralisasi asimetris bagi DI Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Bali bukan hanya akan mengakomodasi keberagam anyang ada, tetapi juga memberi keleluasaan bagi mereka untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI. ●
  • Kejut(k)an Komisi III

    Kejut(k)an Komisi III
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
    Sumber : SINDO, 5 Desember 2011
    Hampir dapat dipastikan, kalangan yang memberikan perhatian bagi KPK menunggu dengan gumpalan pertanyaan: Siapa yang akan terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2011- 1015?

    Bagi sejumlah pihak yang melihat KPK “sesuatu banget” dalam agenda pemberantasan korupsi, proses voting ibarat menyaksikan partai final sepak bola yang berujung adu tendangan penalti. Setidaknya, suasana menegangkan menyaksikan pemilihan di Komisi III DPR itu saya rasakan di sebuah ruang tunggu di Bandara Soekarno-Hatta. Suasana yang sebelumnya terasa agak gaduh mendadak berhenti.

    Begitu fokusnya penghuni ruang tunggu tersebut,panggilan boarding pun tidak mampu mengusik perhatian calon penumpang. Saat penghitungan sampai pada kertas ke 40-an, seorangpenumpangmendekati saya dan berkata, “Yunus tersisih ya?” Tanpa menoleh ke sumber suara itu, saya menjawab,“ Hampir pasti.” Sesaat setelah semua kertas suara dihitung dan empat pimpinan KPK diketahui, saya menoleh ke arah sumber suara yang menanyakan nasib Yunus Husein.

    Ternyata, pertanyaan itu berasal dari Prof Kacung Marijan, guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga. Dibanding saya, sepertinya, Kacung jauh lebih cepat mengerti hasil akhir voting di Komisi III tersebut. Meskipun demikian, Kacung masih menanyakan komentar saya atas hasil pemilihan pimpinan KPK.Dengan ringkas saya menjawab,“Hasil yang masih bisa dibilang lumayan.”

    Keragaman

    Bagi Kacung, jawaban saya memancing dia untuk mengajukan pertanyaan lain.“Kalau begitu, Anda kecewa dengan pilihan Komisi III?”Sebagai seorang anggota Panitia Seleksi, saya hanya merasa tidak begitu happy dengan hasil akhir fit and proper test di Komisi III.Semua ini bukan karena tidak sesuai peringkat yang dihasilkan Panitia Seleksi, melainkan lebih pada pertimbangan kebutuhan KPK.

    Bila mau memberikan penilaian secara jujur, pilihan Komisi III dapat dinilai jauh dari ideal.Komposisi ideal itu tidak terpenuhi bukan karena figur, melainkan lebih disebabkan keberagaman latar belakang keilmuan calon pimpinan tersebut. Misalnya, ketika Panitia Seleksi memilih delapan calon, mereka yang masuk ke dalam peringkat 1-4 tidak hanya meraih nilai lebih untuk persyaratan “kepemimpinan”, “integritas”, “pengetahuan”, dan “independensi”, tetapi juga dipertimbangkan pula latar belakang keragaman ilmu calon.

    Misalnya untuk Yunus Husein, yang bersangkutan mendapat nilai tambah karena pengetahuan dan pengalamannya dalam soal-soal transaksi perbankan. Tidak hanya itu, bagi Panitia Seleksi, jabatan Yunus sebagai kepala PPATK menjadi nilai tambah yang membedakan dengan calon lain. Begitu pula dengan Handoyo Sudrajat, di antara nilai tambah yang dihitung Panitia Seleksi adalah pengalamannya pernah bekerja sebagai auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

    Selain itu, Handoyo juga merupakan deputi pencegahan KPK.Sementara itu, meskipun agak sedikit kontroversial, sosok Abdullah Hehamahua potensial menjadi “penjaga moral” di kalangan internal KPK. Tambah lagi, Abdullah telah cukup lama menjadi bagian dari perkembangan dan pertumbuhan KPK. Merujuk hasil pemilihan Komisi III,dapat dikatakan bahwa unsur keberagaman luput dari pertimbangan komisi hukum DPR ini.

    Meski demikian, sejak semula sebagian anggota Panitia Seleksi telah menduga bahwa “strategi” peringkat akan mendapat resistensi Komisi III. Bahkan ada di antara anggota Panitia Seleksi yang menduga bahwa sangat mungkin Komisi III memilih semua yang berada di peringkat 5–8. Di antara anggota Panitia Seleksi, saya termasuk yang memperkirakan bahwa Komisi III akan memilih fifty-fifty,dua yang berada di peringkat 1–4 dan dua lagi di peringkat 5–8.

    Dengan perkiraan tersebut, saya termasuk yang memperhitungkan bahwa Yunus akan menjadi salah seorang pilihan Komisi III. Selain faktor kebutuhan KPK, pertimbangan saya didasarkan pada suarasuara yang berkembang di kalangan internal Partai Demokrat bahwa pilihan ke Yunus adalah harga mati. Bagi saya, tidak terpilihnya Yunus adalah sebuah kejutan besar Komisi III.Kejadian ini sekaligus menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar Partai Demokrat.

    Kejutkan Komisi III

    Apakah komposisi yang dihasilkan Komisi III menjadi sebuah pilihan yang aman untuk semua kepentingan politik yangmengitariparaelitepolitik termasuk yang berada di DPR? Saya kira tidak. Sekalipun ada kekecewaan di sebagian anggota Panitia Seleksi, komposisi yang terpilih sangat mungkin menghadirkan kejutan besar dalam desain pemberantasan korupsi ke depan.

    Misalnya, Abraham Samad punya utang besar untuk membuktikanucapannya membongkar dan menuntaskan sejumlah megaskandal yang penyelesaiannya masih menggantung di KPK. Keraguan banyak pihak atas keterpilihannya sebagai ketua KPK seharusnya dijawab dengan prestasi monumental. Begitu pula Bambang Widjojanto, sebagai sosok yang diharapkan banyak pihak untuk menjadi salah seorang komisioner KPK,pengalaman panjangnya sebagai salah seorang aktivis antikorupsi akan menjadi modal besar untuk menggerakkan KPK.

    Sementara itu, Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja akan menjadi sosok teduh untuk menggerakkan mesin extra-ordinaryKPKdalammemberantas korupsi.Saya percaya, di tengah gumpalan pertanyaan atas pilihan Komisi III,pengalaman satu tahun Busyro Muqoddas memimpin KPK lebih dari cukup untuk membantu KPK periode 2011-2015 untuk bergerak sejak hari pertama pelantikan.

    Yang ditunggu publik saat ini, pimpinan KPK periode 2011-2015 tidak terjebak dalam logika elite politik DPR terutama Komisi III. Karena itu, pimpinan KPK harus mampu bertindak luar biasa dalam desain besar pemberantasan korupsi.

    Salah satu pembuktian yang ditunggu publik, keberanian membongkar dan menindaklanjuti megaskandal korupsi yang terkait elite politik dan partai politik di Gedung DPR. Apabila itu dilakukan, KPK berpotensi mengejutkan singgasana para politisi di DPR terutama di Komisi III.

  • UU Kementerian Layak Diuji

    UU Kementerian Layak Diuji
    Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : SINDO, 5 Desember 2011
    Ada LSM mengajukan permohonan uji materil Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).Pasal 10 itu bunyinya: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.

    Pemohon menganggap norma pasal ini tidak sejalan dengan norma konstitusi,yakni Pasal 17 UUD 1945 yang mengatakan, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”. UUD 1945 tidak menyebutkan keberadaan wakil menteri,sehingga pemohon berpendapat Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu bertentangan dengan UUD 1945.Pemohon minta MK membatalkan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan uji materil di atas memang menarik.

    Sekiranya MK mengabulkan, sertamerta 19 wakil menteri yang diangkat SBY dalam KIB II akan rontok seketika,karena jabatan itu inkonstitusional. Saya sependapat dengan permohonan LSM itu. Secara iseng, hal ini pernah saya lontarkan kepada teman-teman dan pernah dimuat di Facebook saya. Saya katakan demikian, karena teman-teman itu ada yang dongkol dengan moratorium napi korupsi, gagasan Wakil Menkumham Denny Indrayana. Ada yang mau demo agar Denny dipecat saja.

    Saya katakan kepada mereka, “Jangankan Denny. Kalau Pasal 10 UU Kementerian Negara itu kita uji ke MK dan dikabulkan,semua wakil menteri SBY itu akan rontok.” Teman-teman heran dan bertanya mengapa saya tak mengujinya ke MK,seperti dulu saya menguji UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jawab saya,saya tidak punya “legal standing” untuk mengajukan perkara.Tidak ada kerugian konstitusional apa pun pada diri saya dengan berlakunya Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.

    Lain dengan UU Kejaksaan. Hendarman menetapkan saya jadi tersangka korupsi,sementara saya anggap dia tidak berwenang,karena kedudukannya tidak sah.“Jaksa Agung gadungan masak bisa menetapkan saya tersangka, terang saja saya lawan,” kata saya kepada mereka. Kebijakan moratorium Denny Indrayana tidak menimbulkan kerugian konstitusional apa pun kepada saya, karena saya bukan napi korupsi.

    Mereka yang punya “legal standing” adalah para napi korupsi yang jadi korban kebijakan Denny. Sayang, mereka tidak memberi kuasa kepada saya sebagai advokat.Padahal, mereka bisa berargumen, hakhak konstitusional mereka dirugikan dengan kebijakan Wakil Menkumham. Sementara jabatan Wakil Menkumham itu inkonstitusional. Problema “legal standing” itu juga yang tampaknya bakal menggoyahkan permohonan LSM tersebut di MK.

    Walaupun argumen mereka untuk menyatakan bahwa Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 masih bisa diperkuat, seperti yang dipertanyakan hakim panel MK dalam sidang pendahuluan,“ legal standing” LSM itu tidak kokoh. Sebagai pemohon, mereka harus menguraikan dengan jelas hak-hak konstitusional mereka yang diberikan UUD 1945, yang dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.

    Hakhak konstitusional yang dirugikan itu tidak bisa bersifat hipotetis, tetapi benar-benar bersifat konkret,aktual,dan nyata terjadi.Kalaupun kerugian itu belum nyata, mereka harus mampu mendalilkan bahwa dengan penalaran yang wajar, kerugian itu sangat mungkin akan terjadi dengan berlakunya norma dimaksud. Tanpa “legal standing” yang kokoh, MK akan menolak permohonan LSM tersebut.

    Secara Historis

    Bagi saya, pengujian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2008 mestinya tidak terbatas pada keberadaan wakil menteri itu.Pengujian sebenarnya dapat dilakukan terhadap keseluruhan UU Nomor 39 Tahun 2008 itu, baik formil maupun materil. Pengujian formil dilakukan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Uji materilnya dilakukan terhadap UUD 1945.

    Argumentasinya ialah bahwa seluruh norma dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tersebut bertentangan dengan apa yang diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Norma yang berisi perintah dalam Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 itu mengatakan: “Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undangundang”. Secara historis,norma pasal di atas muncul pada Amendemen Ketiga UUD 1945 Tahun 2002.

    Ketika amendemen terjadi, kementerian negara sudah ada, bahkan sudah ada sejak 1945.Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara sebelum amendemen itu cukup dilakukan presiden dengan mengacu pada Pasal 17 dan Penjelasan UUD 1945 (ketika masih ada), sejalan dengan konsep prerogatif presiden dalam membentuk kabinet.Konvensi pembentukan kabinet pun telah terbentuk dalam sejarah ketatanegaraan kita sejak awal kemerdekaan.

    Penambahan pasal ini ke dalam UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian yang terjadi sesuka hati di zaman Gus Dur jadi presiden. Karena itu, secara historis, Pasal 17 UUD ayat (3) UUD 1945 itu harus dipahami dalam kontekssepertiitu, kecualikitamau jadi ahistoris. Kalau demikian pemahamannya, undangundang yang harus lahir dari Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 bukanlah Undang-Undang tentang Kementerian Negara dengan segala tetek-bengeknya,melainkan Undang-Undang tentang“ Pembentukan,PengubahandanPembubaranKementerian Negara”.

    Pendapat saya ini sejalan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan bahwa salah satu sebab lahirnya undangundang ialah karena diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar. Jadi, Undang-Undang “Kementerian Negara” yang mengatur tetek-bengek kementerian negara begitu rinci adalah “lain disuruh, lain dikerjakan”.

    Inisiatif UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara datang dari Badan Legislasi DPR tahun 2005. Pemerintah ketika itu tengah menyiapkan RUU tentang “Pembentukan, Penggabungan, dan Pembubaran Kementerian Negara” seperti diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Saya, selaku mensesneg waktu itu, diperintah Presiden SBY untuk mewakili beliau membahas RUU Inisiatif DPR itu.

    Pandangan saya bahwa DPR salah kaprah memahami Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 dengan RUUKementerianNegarayang mereka susun,telah saya kemukakan dalam Rapat Pembahasan RUU tersebut, yang dipimpin Agun Gunandjar. DPR bersikeras. Memang,harus banyak kompromi dengan DPR dalam membahas RUU.

    Sayangnya, saya tidak selesai membahas RUU itu.Pada 7 Mei 2007 saya diberhentikan sebagai mensesneg. Pembahasan RUU itu dilanjutkan Hatta Rajasa dan Andi Mattalata. Maka jadilah UU Kementerian Negara seperti sekarang ini.

  • Korupsi dari Sama Enaknya

    Korupsi dari Sama Enaknya
    M. Sih Setija Utami, DOSEN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 5 Desember 2011
    ”Murid dari negara korup lebih cenderung menerima perilaku suap karena menganggap norma sosial mereka membolehkan”
    Ingar-bingar pemilihan pimpinan KPK baru saja kita lalui. Abraham Samad resmi terpilih sebagai ketua lembaga itu. Kini KPK makin disibukkan dengan perang melawan korupsi yang juga makin menggurita. Sejatinya, di negara kita korupsi bukan lagi milik politikus dan penguasa melainkan juga milik rakyat, termasuk dunia akademisi.
    Pada pelatihan dosen misalnya, sering ada pengumuman bahwa pelatihan yang sedianya enam hari diperpendek menjadi lima hari dengan alasan efisiensi waktu, uang, dan tenaga.
    Panitia kadang menambahkan,” Sama enaknya kan?” Panitia tidak capai, Bapak dan Ibu juga bisa segera bertemu keluarga.” Ya sama enaknya, siapa yang dirugikan?
    Mengapa korupsi dipermasalahkan. Bukankah sama-sama enak dan nyaman?  Hasil penelitian Nekane Basabe dan Maria Ross (2005) ataupun Shu Li dan kawan-kawan (2006) menemukan bahwa budaya kolektivistik berkorelasi tinggi dengan perilaku korup. Pada budaya kolektivistik, orang cenderung melakukan nepotisme karena berprinsip sama-sama enak dan tahu sama tahu.
    Korupsi dimulai dari sesuatu yang ”mulia”, ingin ”membantu” orang lain. Seorang pegawai perusahaan merasa sangat tidak nyaman saat tetangganya menitipkan anaknya untuk bekerja di tempatnya. Seorang anak buah merasa tidak nyaman saat pemimpinnya memberi uang hasil sisa proyek. Mau melapor? Kasihan pimpinan, aku toh tidak lebih suci ketimbang dia, aku toh tidak dirugikan, dan seterusnya.
    Harmoni dalam budaya kolektivistik membuat orang lebih memikirkan bagaimana kelompoknya dipandang bagus oleh kelompok lain walaupun itu berarti mengorbankan kepentingan diri tiap anggotanya. Harmoni kelompok membentuk identitas kelompok lebih kuat ketimbang identitas pribadi.
    Dengan ritualitas keagamaan yang tinggi, orang Indonesia tahu persis bahwa korupsi tidak baik. Tapi banyak orang Indonesia tetap korupsi karena ketika bersama dengan orang lain, keyakinan dirinya luntur, dikalahkan oleh kepentingan kelompok. Kesamaan dengan orang lain lebih penting ketimbang keyakinan pribadi.
    Hal ini juga didukung sebuah model berpikir dari teori psikologi sosial. The Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh  Icek Ajzen dan Martin Fishbein menunjukkan bahwa perilaku ditentukan oleh niat, sedangkan niat ditentukan oleh sikap terhadap perilaku dan norma subjektif.
    Hasil penelitian Cameron dan kawan-kawan tahun 2005 terhadap 2.000 murid di Indonesia, Australia, India, dan Singapura menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap para murid itu terhadap perilaku suap. Hal ini menunjukkan bahwa secara pribadi murid di negara itu sejatinya tidak menyetujui perilaku suap.
    Nilai Kebenaran
    Namun penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Barr dan kawan-kawan tahun 2006, berupa permainan untuk mengungkap perilaku suap mengungkap bahwa murid dari negara-negara korup lebih cenderung menerima perilaku suap karena menganggap norma sosial mereka membolehkan perilaku suap. Hasil dua penelitian ini menunjukkan bahwa generasi muda yang tidak setuju korupsi pun cenderung membiarkan korupsi saat mereka menganggap kelompok sosial mereka mengehendaki atau membiarkan korupsi terjadi.  
    Budaya kolektivistik bukanlah budaya yang buruk karena membuat kita selalu eling lawan waspada terhadap lingkungan, serta mengajari untuk tidak adigang, adigung, lan adiguna. Namun, saat kita selalu membiarkan identitas diri tertutupi oleh kehendak kelompok maka kita akan mengalami disintegrasi moral. Kita tahu bahwa korupsi tidak baik, tetapi tetap melakukannya. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
    Untuk membuat berani menyuarakan apa yang ada di dalam hati, kita harus berani menjadi pemimpin, minimal bagi dirinya. Hal ini bisa kita latihkan pada anak-anak  sejak dini. Sejak kecil mereka kita ajarkan bahwa manusia tak selalu seragam, ada yang pandai dan ada yang kurang pandai, ada yang kaya dan ada yang kurang kaya.
    Tetapi apa pun kondisi orang itu, tiap individu berhak memiliki pikiran dan keyakinan berbeda. Apa yang kita yakini benar perlu diungkapkan. Orang lain tidak harus selalu menerima ide kita tetapi kita pun harus menghormati perbedaan. Keberanian mengungkapkan kebenaran yang diyakini sejak dini akan menjadi benteng masing-masing individu untuk tidak ikut dalam gelombang besar kesesatan. ●
  • Kebijakan Utang Global

    Kebijakan Utang Global
    Achmad Maulani, PEMERHATI MASALAH SOSPOL, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 5 Desember 2011
    Krisis utang Eropa yang saat ini memburuk diprediksi makin memburuk beberapa waktu ke depan, dan mencapai klimaksnya pada pertengahan 2012. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah memperingatkan bahwa krisis utang yang kini menggurita di sejumlah negara zona euro bukan hanya berdampak buruk di tataran regional melainkan dapat menyebar ke seluruh dunia.
    Krisis utang global ini harus menjadi pelajaran serius bagi pemerintah kita untuk mengoreksi kembali kebijakan utang. Bahkan, kalau perlu harus menerapkan moratorium atau menyetop sementara pembayaran kewajiban utang guna meningkatkan kapasitas APBN. Langkah mengoreksi kebijakan utang atau bahkan moratorium perlu diambil karena jika terus mengandalkan utang untuk menutup defisit anggaran, Indonesia kian rawan dengan dampak krisis global.
    Sampai Oktober 2011, total utang Indonesia Rp 1.768 triliun, ekuivalen dengan 25,6% dari produk domestik bruto (PDB). Dari sisi volume, jumlah itu dalam batas ambang aman, namun dari sisi penggunaannya, ternyata lebih dari 81% dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor non-tradable yang tak banyak menyerap tenaga kerja.
    Perinciannya, 48,6%digunakan sektor perbankan, 15% sektor jasa, 11% sektor properti, 5% sektor air, gas, dan air bersih, serta 2,1% dipakai sektor transportasi dan komunikasi. Untuk sektor tradable, yang sesungguhnya menyerap tenaga kerja banyak, penggunaan utang tidak lebih dari 18%.
    Dari data itu kita bisa memahami mengapa keputusan berutang banyak mengundang kontroversi. Artinya, kebijakan berutang yang tidak diimbangi dengan efektivitas alokasi utang jelas takkan mampu mendorong sektor tradable dan memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas. Indikator paling nyata akan ketidakefektifan penggunaan utang dapat dilihat dari lemahnya daya serap tenaga kerja.
    Lantas, engapa kita terus berutang? Secara teoritis dan dalam tataran ideal, utang masih dapat dibenarkan ketika bertujuan mendorong output nasional melalui peningkatan kapasitas produksi. Dengan demikian, utang dapat diibaratkan keuntungan masa depan yang dimanfaatkan sebagai modal saat ini atau investment multiplier.
    Persoalannya alasan ideal itu seringkali justru tidak berlaku. Utang baru yang banyak diserap pemerintah ternyata lebih banyak dialokasikan menutupi beban utang masa lalu. Lingkaran defisit anggaran ini sudah berjalan lama, dan pemerintah sepertinya tetap menganggap utang merupakan satu-satunya jalan keluar agar terbebas dari impitan defisit. Padahal impitan defisit tidak akan pernah selesai jika alokasi utang tetap tidak efektif.
    Agenda Terselubung
    Sesungguhnya dibutuhkan sebuah politik anggaran yang berpihak pada rakyat banyak, yakni kebijakan anggaran yang menjamin ketersediaan lapangan kerja, pemenuhan hak atas pendidikan, dan penyediaan jaminan sosial. Semua cita-cita besar itu hanya menjadi jargon kosong jika politik anggaran pemerintah, yang tercermin dalam penyusunan APBN, masih tersandera oleh beban utang yang sangat besar.
    Dari semua itu, setidaknya ada dua hal yang dapat disimpulkan terkait implikasi kebijakan utang. Pertama; implikasi terampasnya kesejahteraan masyarakat. Utang yang besar jelas berimplikasi atas pembayaran, baik pembayaran bunga maupun cicilan pokok, dan itu artinya pemerintah harus merogoh kocek APBN dalam jumlah besar.
    Tahun 2011, pemerintah merencanakan menambah alokasi pembayaran utang hingga Rp 249.727 triliun. Angka itu jauh lebih besar dari total belanja modal —yang sesungguhnya punya implikasi langsung atas kesejahteraan masyarakat— yang hanya Rp 136.877 triliun. Jika kondisi ini terus dibiarkan akibat lebih jauh adalah penyusunan APBN akan disandera penambahan utang-utang baru.
    Implikasi kedua; kebijakan utang tanpa perencanaan matang hanya akan menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Faktor ini sering diabaikan oleh pengambil kebijakan karena disilaukan potensi yang bakal diperoleh dari penggunaan utang. Padahal seringkali di balik utang, ada agenda terselubung yang berdampak panjang, baik ekonomi maupun politik. ●
  • Berpolitik Tanpa Dusta

    Berpolitik Tanpa Dusta
    Djoko Subinarto, PEMERHATI MASALAH SOSPOL, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
    Sumber : SUARA KARYA, 5 Desember 2011
    Hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara kita rupanya sampai pula pada kesimpulan sejumlah kalangan bahwa rezim yang sedang memangku kekuasaan saat ini telah sering melakukan dusta. Adanya tudingan ini sangat boleh jadi semakin menebalkan pemahaman publik bahwa jagat politik negeri ini belum bisa lepas dari sejumlah perilaku tak elok dari sebagian besar politisi kita.
    Secara sederhana, ‘dusta’ dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Contohnya, aslinya hitam, tetapi kemudian malah dikatakan putih. Janji-janji manis, namun akhirnya tidak pernah ditepati, itu juga contoh lain dari dusta.
    Dalam salah satu karya bertajuk Think Why Politicians Have To Lie, Philip Dorell (2006) menyebutkan bahwa politisi, seperti juga salesman mobil bekas, memiliki kecenderungan untuk terus berdusta. Bedanya, menurut Dorell, salesman mobil bekas cenderung berdusta karena kemungkinan besar calon pembeli tidak akan bisa melihat secara persis apa yang didustakannya. Sedangkan politisi akan terus berdusta kendatipun khalayak sendiri sudah mengetahui apa yang didustakannya.
    Karena kecenderungan untuk berdusta ini, di sejumlah negara, politisi senantiasa mendapat nilai sangat rendah dalam soal kepercayaan dari publik. Kate Wall, sebagaimana dikutip Rainer Adam (2004) menulis, jajak pendapat di banyak negara demokrasi telah menempatkan politisi hampir di urutan terbawah dalam hal kredibilitas di mata publik. Alasannya, demikian Wall seperti dikutip Rainer Adam, mereka dipersepsikan sebagai pendusta jika sampai pada soal melindungi kepentingan pribadi mereka.
    Sementara itu, Joel Hirschhorn (2008) menyatakan, sebagian besar politisi memiliki satu kesamaan: tidak jujur. Menurutnya, mayoritas politisi tidak pernah jujur ihwal apa yang dikatakan dan dilakukannya.
    Ihwal mengapa politisi memiliki kecenderungan untuk berdusta, Philip Dorell menyodorkan dua argumen. Pertama, politisi berdusta karena khalayak kerap menaruh harapan terlalu besar kepada mereka. Kedua, politisi sendiri perlu melakukan itu untuk menarik minat khalayak.
    Adanya harapan besar dari khalayak dan kebutuhan untuk menarik minat khalayak mendorong politisi akhirnya gemar menghembuskan janji-janji manis. Padahal, belum tentu segala janji manis ini bisa dipenuhi oleh mereka. Faktanya, yang kerap tercipta adalah janji-janji kosong yang jauh dari harapan serta kenyataan. Ujung-ujungnya, publik pun langsung mencap bahwa mereka telah dibohongi oleh para politisi.
    Yang lebih parah, dengan mengobral janji-janji manis, para politisi justru lebih banyak bekerja demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Padahal, semestinya mereka ini bekerja untuk membela secara sungguh-sungguh kepentingan rakyat yang diwakilinya. Mereka seharusnya memegang prinsip pro bono publico alias demi kepentingan publik.
    Artinya, kepentingan publik harus dinomorsatukan di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Bukan malah sebaliknya. Mereka bekerja untuk membela kepentingan pribadi serta kelompoknya dan melakukan berbagai upaya – termasuk berdusta – agar kepentingan pribadi serta kelompok mereka senantiasa terpenuhi, sementara kepentingan publik ditempatkan entah di urutan ke berapa.
    Menanti Negarawan
    Sesungguhnya, publik mesti memahami bahwa politisi bukanlah negarawan. Berharap terlalu banyak kepada politisi tentulah akan berujung pada kekecewaan. Mengapa? Tabiat dan kecenderungan politisi – di mana pun – adalah lebih memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ini tentu beda dengan sosok negarawan.
    Menurut Lawrence W Reed, Presiden The Makinac Center For Public Policy, Michigan, AS, negarawan akan jauh lebih besar kemungkinan mengedepankan apa-apa yang benar dan menjadi hak-hak rakyat. Mereka tidak akan mengobral janji-janji yang tidak bisa ditepati atau janji-janji yang nantinya justru akan mereka langgar.
    Sebaliknya, demikian menurut Lawrence W Reed Reed, politisi lebih senang mengumbar janji-janji manis dan muluk-muluk yang kemungkinan besar justru tidak pernah bisa mereka penuhi atau mengapungkan janji-janji yang justru kelak malah mereka langgar sendiri. Karenanya, tambah Laurence W Reed, kita sesungguhnya memerlukan jauh lebih sedikit politisi dan memerlukan jauh lebih banyak negarawan.
    Karut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini, yang ditandai antara lain dengan makin merosotnya aspek penegakan hukum, menurunnya kemandirian bangsa serta makin besarnya kesenjangan sosial, dimungkinkan karena makin minimnya sosok negarawan saat ini.
    Yang berkuasa saat ini adalah lebih banyak para politisi yang seringkali lebih sibuk mengedepankan kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Politik yang mereka praktikkan bukan lagi politik kebajikan dan kesejahteraan bagi segenap bangsa, melainkan hanya sebatas politik transaksional untuk menggapai kepentingan pribadi dan kelompok.
    Berpolitik tanpa dusta dan tanpa muatan transaksional mungkin saja dilakukan sepanjang jagat politik dikuasai oleh para negarawan. Tentu, kita sangat berharap, mudah-mudahan saja negeri ini ke depan ini, khususnya mulai tahun 2012 nanti bisa secepatnya melahirkan sosok-sosok negarawan sejati.
    Lahirnya negarawan-negarawan sejati akan membawa bangsa dan negeri ini lepas dari karut-marut yang berlarut-larut dan segera membuat kehidupan rakyat negeri ini berubah ke arah yang lebih cerah.
  • Tanggung Jawab Ksatria

    Tanggung Jawab Ksatria
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 5 Desember 2011
    Kebudayaan Jawa menempatkan tiga satria: Sumantri, Kombakarna, dan Adipati Karna,sebagai tipe ideal dalam tingkah laku yang berhubungan dengan tugas, tanggung jawab, dan pengorbanan. Hal itu disebut “tripama watak satria”.

    Sumantri mengabdi pada Raja Maespati, Sri Harjuna Sasrabahu, titisan Dewa Wisnu. Dia memperoleh jabatan patih, yang memiliki kekuasaan besar dan kemuliaan duniawi. Tugas pertamanya memboyong putri dari Negeri Magada untuk diperistri sang Raja. Demi kesetiaan, tanggung jawab dan pengabdian yang tulus, dia berhasil memenangkan sayembara perang tanding melawan musuh sakti.Tugas besar berikutnya, dia harus menghadapi Dasamuka dan prajuritnya, yang menjarah Negeri Maespati.

    Sumantri yang gagah berani gugur di medan laga. Namanya harum dan dikenang sepanjang masa. Kombakarna membela negerinya bukan dengan kekerasan ksatria di medan laga, melainkan dengan sikap “non violence” sejati, ketika bahkan konsep itu belum dirumuskan sebagai keluhuran budi. Dia tahu bahwa Batara Rama, dengan segenap prajurit kera yang menyerang Alengka, bukan untuk menjajah negeri itu, melainkan untuk membebaskan istrinya yang diculik Rahwana.

    Menyadari kenyataan itu,Kombakarna pun maju ke medan laga dengan busana serbaputih, tanpa niat mencederai lawan. Dia juga tahu, ajalnya akan tiba di medan perang ini. Jadi busana serbaputih tadi bukan pilihan sembarang pilih.Dan di sini kita jadi tahu, bukan ajal yang menjemputnya, melainkan sebaliknya: dia menjemput ajalnya dengan ketulusan dan sukacita. Tak ada penyesalan, tak ada derita, tak ada tanda penyesalan, ketika kemudian tubuh sebesar “gunung”itu roboh oleh panahpanah Lesmana.

    Hujan bunga padma, bunga menur, bunga melati, dan tangis bidadari, turun dari Surgaloka,menyambut kembalinya si jiwa suci. Adipati Karna? Dia dijadikan Adipati Awangga oleh Raja Astina, dan mulia di sana. Dia menjadi terhormat karena kedudukannya. Apa balas jasanya? Dia berjanji membela raja ini dalam perang besar keluarga Bharata. Sebagai bawahan raja, Karna memperlihatkan darma bakti, balas budi,dan kesetiaan sejati yang bukan hanya kata-kata.

    Raja dibela dengan pengorbanan jiwanya, mati mengenaskan di bawah hujan panas Arjuna. Para bidadari turun langsung ke medan laga untuk menolong Karna, setiap kali terjatuh, karena pukulan Arjuna. Namun,bidadari juga merawat Arjuna tiap kali kena senjata tajam Karna.Ketulusan Karna untuk memenuhi janji yang diucapkan, mampu mengguncangkan Surgaloka.Tanggung jawab, setia, tulus, itu bahasa hati.

    Getarannya melampaui batas dunia fana ini. Tak mudah menjadi Sumantri yang penuh tanggung jawab dan pengorbanan.Tak mudah menjadi Kombakarna yang siap memperlihatkan sikap ‘right or wrong is my country’: sebuah patriotisme dan semangat seorang nasionalis tulen yang kini tak ada. Menjadi Karna, yang teguh pada prinsip, dan memperlihatkan dalam hidup, bahwa apa yang dikatakan dilakukan, dan hanya melakukan apa yang dikatakan.

    Kata dan tindakan tidak saling menolak. Kata selalu diwujudkan.Tanda dia orang shiddiiq. Dalam peta kepemimpinan kita: kepemimpinan politik, sosial,rohaniah,atau keagamaan, adakah sisa kemuliaan, yang dimiliki tiga satria utama dalam kisah ini di dalam hidup sehari-hari kita sekarang? Negeri kita ini sudah dikepung oleh keserakahan kapitalis asing. Di sini bertempur agresivitas asing yang, dan pasivitas kita, yang tak tertolong. Kita bakal tergilas.Dan hancur luluh.

    Mal-mal dan toko-toko grosir, Ranch Market dan Carrefour, telah melahap dan membunuh semua pasar tradisional kita. Indomaret dan Alfamart telah menyergap kita, hingga di gang-gang kecil. Akibatnya,semua kapasitas lokal kita mati.Semua kreativitas kita diterjang habis. Kemampuan kita yang terbatas, dihajar modal raksasa. Ini bukan lagi persaingan bebas, karena kita tak mampu bersaing. Kita memerlukan kebijakan pemerintah yang bisa memberi kita pengayoman.

    Kita tak boleh dibunuh begitu saja. Jangan ada di antara kita dengan sikap dingin berkata, “Bukankah memang begitu watak pasar?” Jawabnya, “Bukan.” Kita harus tahu, pasar bukan lembaga suci. Pasar penuh rekayasa dan keserakahan. Lewat pasar bebas mereka minta DPR membuatkan undang-undang, yang menguntungkan usaha mereka. Lewat pasar mereka minta dibikinkan peraturan daerah agar tambang-tambang bisa dikuasai asing.

    Lewat peraturan menteri diusahakan agar perkebunan bisa dilahap seluruhnya oleh bisnis asing. Lewat UU,peraturan pemerintah, dan keputusan menteri, didukung peraturan daerahdaerah yang menjangkau seluruh Tanah Air, rokok keretek harus dibasmi.Dan petani tembakau dimusuhi,sebelum mata pencahariannya dimatikan. Siapakah Sumantri yang di negeri ini mengabdi “raja”, yaitu seluruh rakyat Indonesia, yang dimuliakan? DPR yang membela orang asing?

    Pejabat negara, yang berkhianat terhadap kewajiban konstitusional yang mereka panggul tinggi-tinggi untuk melindungi rakyat? Namun, mengapa mereka selingkuh? Siapa Kombakarna, yang bicara “right or wrong is my country”? Para peneliti, para dosen,para aktivis LSM,para penulis, para seniman: pendeknya golongan intelektual kita?

    Apa wujud kepedulian mereka selama ini terhadap ketertindasan demi ketertindasan bangsa kita oleh kekuatan modal asing yang menerjang batasbatas wilayah moral,politik,dan kemanusiaan kita, yang justru difasilitasi para pejabat dan tokoh-tokoh kita sendiri? Siapa Karna, dalam hidup kita,yang ucapannya diwujudkan dalam tindakan, yang janjinya tidak bohong, yang pernyataannya menggambarkan kebenaran yang kita junjung tinggi? Presiden? Wakilnya? Menteri-menterinya?

    Siapa di kalangan pemimpin politik, sosial, rohaniah/keagamaan, yang mencerminkan tanggung jawab dan jiwa ksatria, yang melindungi kaum lemah, dan rakyat pada umumnya? Layakkah orang-orang itu disebut pemimpin,dengan jiwa ksatria utama,yang kita utamakan?

  • Malu

    Malu
    Putu Setia, KOLUMNIS TEMPO
    Sumber : TEMPO INTERAKTIF, 4 Desember 2011
    Abraham Samad terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Saya tak paham–selain tak mau tahu–ada pertarungan politik apa di balik terpilihnya Samad. Bahwa Samad disokong oleh kelompok ini, bahwa koalisi partai pemerintah pecah, bahwa Samad sudah disandera partai tertentu, saya tak mau memikirkannya. Tambahkan lagi puluhan gosip di sekitar itu, saya tak peduli. Saya tetap senang dengan terpilihnya Samad.
    Berkali-kali saya dikecewakan oleh para wakil rakyat. Dalam kasus tertentu bahkan saya dibuat muak. Namun, kali ini, ketika mereka memilih Samad sebagai Ketua KPK, saya kok sepakat. Saya setuju dengan pilihan itu, mungkin karena saya “buta politik”.
    Apakah karena Samad “anak muda”, sedangkan negeri ini sepertinya akan terus dipimpin orang-orang lanjut usia? Apakah karena dia “orang daerah”, pada saat urusan daerah tak kunjung diperhatikan pusat? Apakah karena tabungannya hanya Rp 200 juta–tak mungkin nanti ia mantu berbiaya miliaran–sehingga saya senang dia terpilih? Sedikit benar. Yang banyak benarnya adalah karena Samad secara terbuka menyebutkan kata “malu” pada saat dicecar anggota Dewan Perwakilan Rakyat. “Kalau setahun saya tak bisa menuntaskan kasus besar, saya mundur. Malu rasanya datang dari jauh, Makassar, tak bisa apa-apa,” katanya.
    Malu! Kata yang kehilangan arti di Kota Jakarta, kata yang tak pernah diucapkan, dan perilaku yang tak pernah dipraktekkan oleh pejabat dan petinggi negara. Tapi “orang daerah”, yang masih kental dengan kearifan lokal, menempatkan kata “malu” sebagai sesuatu yang sakral. 
    Saya percaya Samad memegang kata-katanya itu, karena sanksi moralnya berat. Ini sudah menjadi budaya di banyak daerah, seperti halnya orang Bali atau orang Minang, yang malu pulang kalau tak berhasil di rantau. Ketidakberhasilan itu, apalagi disertai kecurangan, harus dipertanggungjawabkan dengan malu, mundur, mengalah, dan sejenisnya.
    Saat ini, siapa yang masih punya rasa malu, kalau indikatornya memakai budaya daerah? Nunun Nurbaetie, kita tahu, tersangka kasus cek pelawat yang sudah diburu pasukan Interpol. Abraham Samad pun menargetkan menangkap Nunun dalam setahun ini. Kalau tidak berhasil, dia malu. Tapi apakah suami Nunun, Adang Daradjatun, yang menjadi anggota Komisi Hukum DPR, merasa malu atas kasus istrinya ini? Jika indikatornya “orang daerah”, semestinya malu, kemudian ikut “mencari” istrinya, dan menyerahkannya kepada KPK.
    Ada pejabat negara yang menikahkan putranya dengan pesta demikian mewah, menghabiskan miliaran rupiah. Berapa tahunkah ia menabung uang ini dari gajinya sebagai pejabat negara? Padahal dia pernah mengeluhkan gajinya yang tak naik-naik. Kenapa bisa mengeluarkan uang sedemikian banyak untuk mantu? Seharusnya dia merasa malu, minimal malu kepada dirinya sendiri.
    Para koruptor jelas tak punya rasa malu. Ketika kasusnya terbongkar, dia ditangkap, diperiksa, diadili, dan dipenjara, rasa malu itu tak ada. Termasuk keluarganya. Calon-calon koruptor pun akhirnya bertambah, toh kalau ketahuan dan dipenjara, itu hanya “nasib sial”. Tak ada efek jera dari tertangkapnya koruptor terdahulu. Maka menjadi menarik kalau ide “Kebun Koruptor” Mahfud Md. direalisasi saja, toh hanya mempermainkan rasa malu, dan belum tentu pula ada efek jera.
    Mari beri Samad kesempatan untuk berjuang, apakah dia berhasil menangkal rasa malu itu, sekaligus bisa mempermalukan lebih banyak lagi koruptor. Bahwa ia akan disetir dan disandera oleh mantan pemilihnya, lupakan sajalah. Kalau itu terjadi, rasa malu dia malah akan bertambah-tambah. ●