Author: Adul
-
Kajian Ekonomi, dari Boeke, Berkeley, hingga ANU
Kajian Ekonomi, dari Boeke, Berkeley, hingga ANUThee Kian Wie, STAF AHLI, PUSAT PENELITIAN EKONOMI–LIPI (P2E-LIPI), JAKARTASumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011Sewaktu Indonesia masih Hindia Belanda, kajian tentang ekonomi Indonesia didominasi ekonom Belanda, khususnya Professor JH Boeke yang terkenal dengan teorinya tentang dualisme ekonomi.Dikemukakannya bahwa ekonomi Indonesia terdiri atas dua sistem sosial yang saling berbenturan, yaitu sistem sosial yang diimpor dari luar yang pada umumnya merupakan kapitalisme dan sistem dalam negeri yang prakapitalis.Implikasi kebijakan dari teori Boeke yaitu bahwa masyarakat prakapitalis yang terdapat di Indonesia dan masyarakat kapitalis lainnya tidak berpotensi untuk berkembang.Teori itu dikritik keras oleh banyak ekonom, misalnya Prof DH Burger (Belanda) dan juga Prof M Sadli. Kini teori Boeke tak pernah dibahas lagi dalam buku teks ekonomi.Profesor Burger juga telah menulis buku dua jilid tentang sejarah sosiologi-ekonomi Indonesia dalam bahasa Belanda. Jilid pertama tentang sejarah sosiologi-ekonomi Indonesia sebelum abad ke-20 telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Profesor Prajudi Atmosudirdjo.Sewaktu masih Hindia Belanda, tak banyak ekonom di Indonesia, karena pendidikan ilmu ekonomi hanya ada di negeri Belanda. Jumlah mahasiswa Indonesia yang dapat belajar sangat terbatas, yaitu Mohamad Hatta, Aboetari, Saroso, dan Sumitro Djojohadikusumo.Mereka alumni Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda (sekarang Universitas Erasmus) di Rotterdam. Khusus Sumitro Djojohadikusumo, dia meraih gelar doktor ekonomi di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam pada 1943, dengan disertasinya ”Het Volkscredietwezen in de Depressie” (Dinas Perkreditan Rakyat selama Depresi Ekonomi tahun 1930-an).Sesudah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, pada 1951 Dr. Sumitro—setelah lepas dari jabatan Menteri Perdagangan dan Industri selepas kejatuhan Kabinet Moh Natsir—diangkat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang baru didirikan pada September 1950.Semasa menjadi dekan FEUI (1951–1957) dia berhasil menjadikan FEUI sebagai fakultas ekonomi paling terkemuka di Indonesia.Dia banyak merekrut guru besar dan lektor Belanda melalui hubungannya dengan Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda, seperti Prof Emile van Konijnenburg yang juga Presiden Direktur Garuda Indonesian Airways (yang pada waktu itu adalah usaha patungan antara maskapai KLM dan pemerintah Indonesia), Prof CF Scheffer, Prof Van der Velden, Prof. Weinreb, Drs C van der Straaten, dan Drs F Ormeling.Dominasi BerkeleyDengan memburuknya hubungan politik Indonesia dan Belanda pertengahan 1950-an, terkait soal Irian Barat dan eksodus pengajar Belanda, Prof Sumitro menjalin hubungan dengan Universitas California di Berkeley pada 1956.Sejumlah staf pengajar muda dikirim belajar, antara lain: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Suhadi Mangkusuwono. Sejumlah profesor didatangkan dari Berkeley: Prof Bruce Glassburner, Prof. Leon Mears, Prof Leonard Doyle, Prof Don Blake, dan dua mahasiswa pascasarjana Hans Schmitt dan Ralph Anspach.Para guru besar dari Universitas Berkeley itu memanfaatkan kesempatan untuk membuat kajian, terutama Prof Glassburner dan Prof Mears. Prof Glassburner menyunting buku berjudul The Economy of Indonesia–Selected Readings, diterbitkan Cornell University Press, Ithaca, 1971.Di situ banyak diulas tentang berbagai aspek ekonomi Indonesia selama 1950-an dan awal 1960-an. Sementara itu, Prof Mears menghasilkan buku Rice Marketing in the Republic of Indonesia (penerbit PT Pembangunan Press, Jakarta, 1961).Seorang ekonom Amerika yang sejak awal 1970-an hingga kini masih mengamati dan mengkaji ekonomi Indonesia, khususnya tentang perkembangan industri manufaktur, kesempatan kerja dan kemiskinan, adalah Prof Gustav Papanek (Universitas Boston), yang telah menyunting buku The Indonesian Economy, terbit pada 1981.Kiblat Baru: ANUAkan tetapi sejak awal 1970-an kajian tentang ekonomi Indonesia bergeser ke Australia, khususnya The Australian National University (ANU), Canberra, yang diprakarsai Prof HW Arndt.Ketika menjadi Kepala Department of Economics, Research School of Pacific Studies, ANU, pada 1963, Arndt menyadari Australia tak mungkin mengabaikan perkembangan ekonomi Indonesia, negara tetangga terbesar dan terdekat.Setelah kunjungan ke berbagai universitas ke Indonesia dan bertemu dengan beberapa ekonom muda yang terkemuka, seperti Widjojo Nitisastro dan Moh Sadli, pada November 1964, Arndt memulai proyek kajian khusus tentang ekonomi Indonesia, yaitu Proyek Indonesia ANU.Dia merekrut Dr David Penny (ekonom pertanian), Kennetth Thomas, Dr J Panglaykim, dan dua asisten peneliti, yaitu Lance Castles dan Boediono (kini Wakil Presiden RI).Arndt juga meluncurkan penerbitan pertama jurnal khusus tentang ekonomi Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) pada Juni 1965. Kini BIES sudah memasuki tahun ke-47 dan merupakan satu-satunya jurnal ekonomi di dunia yang khusus membahas masalah ekonomi Indonesia.Khususnya tulisan pertama dalam BIES, yaitu Survey of Recent Developments, mungkin adalah tulisan yang paling diminati para pembaca BIES. ● -
Anak-anak Papua yang Membanggakan
Anak-anak Papua yang MembanggakanKristanto Hartadi, WARTAWAN SENIOR SINAR HARAPANSumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011Masalah Papua memenuhi benak saya hari-hari ini, karena banyak hal terjadi di sana yang membuat saya akhirnya bertanya: apakah Papua akan merdeka, seperti yang terjadi di provinsi RI ke-27 Timor Timur?Seorang rekan diplomat senior dan pernah menjadi duta besar di sejumlah negara ketika saya tanyakan hal itu menjawab pasti: merdeka tidak bisa, tapi untuk lepas dari Indonesia terbuka peluangnya.Artinya, jelasnya, Papua sudah pernah “dimerdekakan” oleh Indonesia ketika akhirnya Belanda memilih menyerahkan wilayah terakhir yang didudukinya di Hindia Belanda itu pada tahun 1962.Agar Belanda tidak terlalu hilang muka digelarlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan metode disesuaikan dengan situasi saat itu di Irian Barat. Jadi, kalau sebutannya merdeka lagi itu tak lazim, katanya.Mengenai hal ini saya akan coba tulis dalam kesempatan lain. Masih terkait Papua, Senin (5/12), saya hadir dalam sebuah diskusi terbatas mengenai soal pendidikan di Papua. Salah satu narasumber adalah Prof Dr Yohanes Surya, yang berhasil membuktikan bahwa anak-anak Papua yang dididiknya jauh dari bodoh, bahkan cerdas.Dia buktikan itu bahwa anak-anak pedalaman (dari Puncak Jaya, Mulia, Tolikara) yang diambil secara acak, karena mereka rata-rata tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung, dalam tempo beberapa bulan dapat diubah sampai mampu menjadi juara Olimpiade Sains.Pilih Panjat PohonRekan Antie Sulaiman, staf di Pusat Kajian Papua, di Universitas Kristen Indonesia, mengeluhkan di rumahnya ada dua anak asuh asal Papua, tetapi mereka “nakal-nakal”, sulit disuruh belajar, senangnya bermain dan memanjat pohon, bahkan ada yang dua kali tidak naik kelas.Oleh Yohanes Surya dijawab apa yang dihadapinya juga demikian, karena mereka menjadi “nakal” tak lain karena takut menghadapi soal yang mereka tidak paham, sehingga memilih lari, memanjat pohon, atau bersembunyi di kolong.Bahkan, tuturnya, ada seorang anak asal Merauke yang kesenangannya bermain dengan buaya, namun kalau diberi soal lari tunggang langgang.“Jadi, pada tahap awal harus diajarkan kepada mereka bahwa matematika itu mudah, jangan ajarkan mereka kali-kalian kalau tambah dan kurang belum tuntas, misalnya,” kata Yohanes. Kini di Surya Institut terdapat 600 anak dari berbagai kabupaten di Papua menjalani pendidikan dan tahun depan akan datang lagi 400 anak.Berkat keberhasilannya mendidik anak-anak di Papua itu, Yohanes Surya diajak bekerja sama oleh PP Muhammadiyah untuk mengajarkan metodenya itu. Ini karena ada sekitar 1 juta murid di berbagai lembaga pendidikan dasar Muhammadiyah, juga PB NU, memintanya mengajarkan matematika dan fisika untuk jutaan anak di pesantren-pesantren mereka.Dalam diskusi itu juga terungkap bahwa banyak pihak di Republik Indonesia yang tidak suka kalau anak-anak Papua menjadi pintar karena “nanti Papua makin cepat merdeka dari Indonesia”.Anggapan itu pasti akan langsung dibantah pemerintah. Kenyataannya, dana otonomi khusus yang triliunan rupiah tidak berbuahkan pada didirikannya lebih banyak sekolah di kampung, di gunung, di lembah, atau di pantai-pantai Papua.Banyak anak Papua tetap terbelakang karena tidak terjangkau pendidikan yang layak. Sementara itu, anak-anak dari para pendatang yang tinggal di kota-kota besar di Papua lebih merasakan dana otonomi khusus, fasilitas pendidikan mereka jauh lebih baik.UP4B Mau Bikin Apa?Dalam upaya mengatasi desakan Papua untuk memisahkan diri yang makin kuat itu, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).Saya menduga UP4B ingin meniru kisah sukes Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRRN) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto, yang pascatsunami 26 Desember 2004, mengelola dana sekitar Rp 70 triliun untuk merehabilitasi wilayah Aceh dan Nias.Namun, kritik dan pertanyaan banyak muncul. Wah, Otsus Papua dinilai gagal sekarang malah digantikan oleh sebuah “unit”? Sebagai badan “koordinasi”, apa kewenangan yang dimiliki UP4B? Apakah UP4B tak lebih dari proyek yang lain lagi? Tipuan apa lagi yang akan dimainkan di Papua?Menjadi tugas UP4B, yang dipimpin Letjen TNI (purn) Bambang Dharmono, untuk membuktikan bahwa pesimisme yang muncul itu tidak beralasan, dan tugas pertamanya adalah kesejahteraan di Papua membaik, setidaknya dalam dua tahun mendatang.Namun, meski tidak mengurusi soal keamanan, ketua UP4B wajib mengingatkan Presiden Yudhoyono dan rekan-rekannya di jajaran TNI/Polri agar mengakhiri gelar militer di Papua. Ingatkan aparat keamanan itu, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang masih dan eksesif itulah yang berpotensi “memerdekakan Papua”.Mari kita buka catatan sejarah, renungkan lagi apa yang membuat rakyat Timor Timur memilih pisah dari Indonesia, meski sudah lebih dua dekade terintegrasi. ● -
Memulai Pembaruan dari Ranah Minang
Memulai Pembaruan dari Ranah MinangEvi Rahmawati, MAHASISWI UIN JAKARTASumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 6 Desember 2011Ketika kata pembaruan dikaitkan dengan Islam, maka yang ingin diperbarui sejatinya bukan Islam sebagai agama, bukan pula al-Quran sebagai kitab suci, melainkan pembaruan terhadap penafsiran atas keduanya. Karena tafsir seseorang atas al-Quran bukanlah al-Quran itu sendiri. Ia sekadar tafsir atasnya. Maka, perubahan atas tafsir terhadap al-Quran dan agama masih mungkin. Jika al-Quran sudah pasti kebenarannya, absolut, maka penafsiran terhadapnya masih mengandung banyak kemungkinan, termasuk kemungkinan salah. Untuk itu, sebagai sebuah produk penafsiran atas al-Quran, maka kebenaran dalam sebuah penafsiran menjadi relatif. Hasilnya, oleh karena mengimani sebuah penafsiran, maka seseorang bukan saja bisa menjadi konservatif pada level pemikiran, bahkan ia bisa mendasarkan aksi terornya dari al-Quran, sebagaimana yang dilakukan para teroris akhir-akhir ini.Itulah penekanan Abdul Moqsith Ghazali atas pembaruan yang ingin dilakukan melalui buku berjudul “Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia” yang untuk pertama kalinya di-launching di IAIN Imam Bonjol Padang, 22 November 2011 lalu. Buku yang merupakan antologi tulisan beberapa intelektual Muslim semisal M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendy, Abdul Moqsith Ghazali, Ulil Abshar-Abdalla, Neng Dara Affiah, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali-Fauzi, dkk. ini menurut Moqsith membawa agenda pembaruan yang berdasar pada tiga sendi atau pokok pemikiran: sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.Secara lugas, Abdul Moqsith Ghazali yang dikenal dengan keluasan pemahaman fikih dan ushul fikih dalam menjelaskan pemikiran liberalnya itu, menegaskan bahwa sekularisme adalah solusi terbaik untuk mengatasi kompleksitas kehidupan bangsa Indonesia.Sekularisme merupakan model yang tidak bisa dihindarkan ketika mendudukkan relasi agama dengan negara. Sebagai sebuah negara yang plural, maka sistem pemerintahan yang perlu dikembangkan di Indonesia mesti mampu mengakomodir segenap kebutuhan bangsa yang plural itu. Jika sebaliknya, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak wilayah yang ingin memisahkan diri manakala Indonesia dipaksa menjadi negara agama. Karena pluralitas bangsa kita dengan segenap kearifan lokalnya sendiri-sendiri itulah, Islamisasi negara menjadi tidak mungkin dilakukan. Namun demikian, tambah Moqsith, “desain sekularisme yang tepat bagi Indonesia adalah sekularisme yang ramah terhadap agama. Seperti Kanada, bukan model Prancis yang sekularismenya antiagama dan dan melarang seluruh simbol-simbol keagamaan di ruang publik.”Tentang pluralisme, Moqsith meyakini betapa pluralisme penting untuk ditegakkan dalam Islam. Menurut doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi yang sudah terbit sebagai buku dengan judul “Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al Quran” ini, gagasan dan praktik pluralisme dalam tubuh Islam masih sarat dengan berbagai persoalan. Banyak hal yang harus kita perbarui terkait dengan cara pandang kita terhadap agama-agama dan kelompok lain. Padahal, Islam sendiri tumbuh dalam konteks yang plural. Bahkan selama masa hidupnya, Nabi memiliki keluarga dari berbagai kalangan agama dan golongan. Karena itu, jika pluralisme ditolak, maka sama saja dengan menentang konsep dasar Islam dan konteks kehidupan Nabi sendiri.Kalaupun di Kitab Suci terdapat ayat walan tardlo ‘ankal yahuudu walan nashaara hatta tattabi’a millatahum apakah lantas kita juga menutup mata atas ketentuan lain yang secara tegas dinyatakan al-Quran yang sangat menghargai dan membenarkan ajaran-ajaran (kitab) mereka? Apakah kita mengingkari ayat waanzalnaa ilaikal kitaaba bilhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi minal kitaabi wamuhaiminan ‘alaihi fahkum bainahum bima anzala Allah? Demikian Moqsith menantang peserta agar membuka pandangan atas kebenaran agama-agama lainnya di hadapan Allah.Sementara, ketika memaparkan gagasannya mengenai liberalisme, pengajar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia yang juga adalah Kyai bagi beberapa kalangan santri ini pun secara cerdik melakukan pendekatan sejarah kultural setempat (Sumatra Barat). Dengan merunut kejadian sejarah, ada semacam pembuktian betapa akar kebebasan berpikir telah lebih dulu dilakukan oleh ulama besar dari Sumatera Barat, Kyai Haji Agus Salim. Moqsith menceritakan bahwa satu abad yang lalu Kyai Haji Agus Salim telah menjadi peletak dasar pemikiran Islam liberal di Indonesia. Dengan tegas, ia mendobrak kemapanan konsep hijab bagi perempuan dan laki-laki. Agus Salim, papar Moqsith, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan tidak perlu dipisahkan oleh hijab yang sifatnya material, karena yang menjadi hijab laki-laki dan perempuan adalah spiritualitasnya, hatinya.Dengan sedikit sanjungan, Moqsith menyatakan kekagumannya akan keunikan Sumatra Barat, yang bisa dikatakan sebagai representasi, semacam taman mini pemikiran Islam di indonesia. Di Sumatera Barat, kita bisa melacak kelahiran tokoh besar dari mulai yang Islamis, semisal Haji Agus Salim, hingga yang komunis, seperti Tan Malaka. Karena akar sejarah yang sedemikian beragamnya itu, maka tak heran jika kita bisa mendapati dualisme yang berbeda dalam keberislaman di Padang. Semisal persoalan penerapan Syariah Islam, baik yang menolak ataupun yang menyuarakan, semua ada di sini, Padang, Sumatera Barat. Namun tidak bisa dielakkan bahwa Padang bisa dikatakan sebagai tempat lahirnya para pembaharu Islam di sepanjang sejarahnya. Karena itu, pembaharuan pemikiran Islam bukan saja mungkin, tetapi sudah sewajarnya terjadi di kota bagian Sumatra Barat ini.Selain Abdul Moqsith Ghazali, dalam diskusi dan launching buku yang dipenuhi oleh sekitar seratus peserta tersebut, juga hadir pembicara dari kalangan muda, yakni Zelfeni Wimra. Dalam paparannya, Zelfeni yang selain dosen pada fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang juga dikenal sebagai seorang cerpenis itu menekankan bahwa ketika pembaruan dikaitkan dengan Islam, terlebih dahulu kita harus menentukan akan mendekati Islam dari segi apa. Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan: pendekatan terhadap Islam sebagai akidah, Islam sebagai gerakan, dan Islam sebagai ilmu pengetahuan. Bagi Wimra, jika ingin mendekati Islam sebagai akidah, maka konsekuensinya harus ada kepatuhan di sana, sami’na wa atha’na. Lain halnya jika kita akan melakukan pembaruan dengan memperlakukan Islam sebagai sebuah gerakan, maka yang ditekankan di sini adalah bagaimana kemudian gerakan ini kembali dievaluasi dan ditafsirkan agar bisa menemukan sistem yang cocok untuk masyarakat Muslim. Sementara, jika pembaruan dilakukan dengan mendekati Islam sebagai pancaran ilmu, maka konsekuensinya adalah konflik. Karena, ilmu itu sendiri lahir dari konflik, dan dengan demikian, Wimra meyakini, bahwa Islam itu sendiri adalah agama konflik. Itulah mengapa sepanjang sejarah kelahirannya, Islam selalu diiringi dengan konflik.Setelah mempertanyakan pijakan awal yang ingin diambil dalam melakukan pembaruan ini, Wimra mempertegas keyakinannya bahwa, “Pembaruan memang perlu dilakukan, terutama dengan titik tolak Islam sebagai pancaran ilmu.” Ia meyakini bahwa dalam al-Quran sendiri termaktub sebuah isyarat akan pentingnya bagi umat Islam untuk terus memproduksi penafsiran. Ia menyebutkan salah satu ayat yang menceritakan bagaimana al-Quran menantang kafir Quraisy manakala mereka meragukan kebenaran al-Quran. Dengan tegas al-Quran menyeru mereka untuk mendatangkan satu saja ayat yang lebih hebat, paling tidak sama kualitasnya dengan al-Quran.Bagi Wimra, jika kalangan yang dipandang menentang Islam saja diberi kesempatan untuk merespon ayat-ayat dalam al-Quran, lantas mengapa umat Islam sendiri tidak bisa? Karena itu, Wimra meyakini bahwa ayat tersebut adalah sebuah isyarat, semacam pintu masuk bagi umat Islam untuk lebih giat lagi melakukan penafsiran terhadap al-Quran, serta mengeksplorasi ayat-ayat yang ada di dalamnya agar bisa membuka penafsiran secara lebih kontekstual. ● -
Solusi Iklim
Solusi IklimTejo Pramono, STAF GERAKAN PETANI INTERNASIONAL, LA VIA CAMPESINASumber : REPUBLIKA, 6 Desember 2011Perundingan perubahan iklim COP 17 masih terus berlangsung sampai 9 Desember ini di Durban, Afrika Selatan. Pertemuan di Durban kali ini cukup menentukan daripada pertemuan sebelumnya karena memutuskan dilanjutkan atau tidaknya Protokol Kyoto pasca-2012.Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) terang-terangan menolak kelanjutan Protokol Kyoto yang mewajibkan pengurangan emisi bagi negara industri (annex 1 countries). Mereka menginginkan pada pengurangan sukarela atau tanpa target tertentu. Sementara itu, Indonesia bersama negara 77 plus Cina mendukung kelanjutan Protokol Kyoto.
Kita berharap Protokol Kyoto dilanjutkan lagi karena tanpa kewajiban pengurangan emisi di negara industri, mustahil dampak perubahan iklim dikurangi secara drastis. Selain soal kelanjutan Protokol Kyoto, perundingan UNFCCC dihujani banyak kritik karena memunculkan solusi palsu perubahan iklim.
Pengurangan emisi karbon melalui model offsettingalias tukar guling karbon adalah solusi palsu. Pasalnya, negara pengemisi tetap boleh mengemisi asalkan membayar kepada negara berkembang yang mereforestasi hutan.
Bukan Jalan Keluar
Proposal mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan serta penjagaan stok karbon atau dikenal dengan REDD+ adalah salah satu bentuk dari praktik tukar guling karbon tersebut. Solusi yang sejati tentunya adalah negara industri melakukan pengurangan emisi secara domestik di negara masing-masing. Sementara, negara berkembang juga menjaga hutannya dari deforestasi.Soal REDD+ yang kini juga banyak didorong oleh delegasi Indonesia sebenarnya menyimpan persoalan lain yang pelik. Setelah REDD+ dijalankan, akan terjadi pindah atau pengalihan tanggung jawab pengurangan emisi. Setelah negara pengemisi setuju REDD+, kewajiban pengurangan emisi karbon beralih ke negara berkembang yang kini banyak mengajukan diri sebagai penerima proyek REDD+. Jika demikian, bukankah REDD+ adalah jalan ‘cuci tangan’ dari ‘dosa’ emisi karbon selama ini dari negara industri.
Hal lain adalah menyangkut kedaulatan pengelolaan hutan di negara berkembang. Setelah REDD+ disepakati, seluruh kegiatan pengelolaan hutan harus disetujui oleh negara yang membiayai REDD+. Artinya, Pemerintah Indonesia dan masyarakat penghuni hutan tidak bebas lagi menentukan pemanfaatan atas hutan yang mereka diami. Bisa dibayangkan apabila negara pendana REDD+ tidak menyetujui, petani dan masyarakat adat di hutan tersebut bisa saja tersingkir karena hutan diperuntukkan bagi karbon, bukan kehidupan rakyat.
Bukan tidak mungkin ke depan konflik antara rakyat penghuni hutan, petani, dan aparat akan meningkat. Pasalnya, pelaksanaan dari REDD+ dipaksakan alias tanpa proses persetujuan dari masyarakat. Walaupun ada mekanisme untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat penghuni hutan melalui //free prior informed consent (FPIP), hingga saat ini, tiada pelaksanaan yang baik. Kalaupun dilaksanakan, prosesnya sangat bias karena masyarakat diiming-imingi dengan janji dana kredit karbon.
Masalah tidak berhenti di situ. Mekanisme pasar karbon untuk pendanaan REDD+ memiliki potensi menjadi ajang spekulasi bisnis karbon oleh spekulan ataupun dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Hal itu karena banyak pialang perantara yang menawarkan proyek-proyek REDD+ ke perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban pengurangan emisi. Dampaknya, akan terjadi pasar karbon di mana transaksi ini menjadi ajang spekulasi.
Dalam situasi semacam ini disayangkan delegasi Indonesia sangat ambisius untuk mendorong pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+. Mereka seolah tanpa berpikir panjang bahwa terdapat banyak sekali prasyarat-prasyarat atau modalitas yang kemudian membatasi kedaulatan masyarakat yang tinggal di hutan untuk mengelola teritorinya.
Dewan nasional perubahan iklim Indonesia juga bahkan tidak membuat pembatasan hal-hal apa saja yang bisa menjurus pada spekulasi karbon. Logika berpikir yang melihat perubahan iklim sebagai peluang bisnis adalah awal dari berlarut-larutnya penyelesaian negosiasi perubahan iklim. Akibatnya, konferensi perubahan iklim bergeser dari tujuan untuk meminta pertanggungjawaban para pengemisi karbon, menjadi ladang bisnis karbon.
Penulis ingin mengingatkan delegasi perubahan iklim Indonesia bahwa menjalankan mekanisme pasar dan tukar guling karbon akan membuat Indonesia rugi berlipat-lipat. Sudah dua tahun berturut-turut ini bencana dampak perubahan iklim telah mengakibatkan serangan hama dan membuat Indonesia kekurangan pasokan pangan.
Tidak terbayangkan bencana apa lagi yang akan muncul bila suhu iklim global terus meningkat. Bencana iklim yang meningkat adalah ongkosnya langsung yang harus dibayar hari ini. Adapun potensi pendapatan dari bisnis karbon tidak lebih dari mengharap dapat lotre dari spekulasi karbon.
Solusi Sejati
Bagi Indonesia, ada beberapa solusi sejati yang harus diperjuangkan dalam mengatasi perubahan iklim di tingkat perundingan iklim dan di dalam negeri. Pertama, delegasi perubahan iklim harus berjuang keras agar Protokol Kyoto dilanjutkan dan diimplementasikan dengan prioritas di negara industri tanpa melalui mekanisme offsetting.Kedua, dana perubahan iklim global melalui Green Climate Fund mempercepat pencairan dana mitigasi dan adaptasi dengan mekanisme yang melibatkan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari bencana iklim. Delegasi perubahan iklim Indonesia harus menolak keterlibatan Bank Dunia dalam pengelolaan dana perubahan iklim atas dasar pencemar tidak layak mengelola dana mitigasi iklim.
Adapun di dalam negeri, karena bencana akibat dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di sektor pertanian, yang harus dilakukan adalah segera melakukan transformasi model pertanian. Sistem pertanian konvensional ala revolusi hijau, selain ikut meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Adapun pertanian agroekologi, yaitu pertanian alami (natural farming) sangat tahan terhadap bencana iklim dengan perolehan hasil yang lebih produktif. Karena itu, untuk menyelamatkan kebutuhan pangan nasional, pemerintah harus segera mengubah pertanian konvensional ke agroekologi.
Kini, telah banyak bukti ilmiah yang menyebut agroekologi bahkan menjadi solusi perubahan iklim. Pertama, agroekologi mampu mengembalikan bahan organik (utamanya karbon) dalam tanah sebanyak 20-35 persen.
Agroekologi akan meningkatkan populasi bakteri nitrogen-fixating yang efektif untuk mengurangi emisi. Bahkan, penelitian Jules Pretty menunjukkan bahwa pertanian agroekologi menggunakan 6-10 kali lipat lebih rendah energi fosil daripada pertanian industrial.
Kedua, mengubah model produksi ternak dan daging yang terkonsentrasi dan industrial menjadi peternakan dengan sistem pakan alami yang terintegrasi dengan produksi pangan, akan mengurangi 5-9 persen emisi GRK. Ketiga, perubahan orientasi konsumen ke konsumsi pangan lokal (food with less carbon foot print) dan segar (minim penyimpanan), akan mengurangi emisi GRK 10-12 persen.Bila konsumen bisa beralih mengonsumsi pangan lokal, transportasi pangan melalui kargo pesawat bisa diturunkan 140 persen. Kondisi ini juga akan berdampak pada pengurangan emisi dari sektor pelayaran dan penerbangan sebesar dua kali lipat atau sama dengan emisi tahun 1990 (Intertanko 2007). Alangkah besarnya pengurangan emisi GRK Indonesia bila mampu mengurangi impor 4 juta ton gandum per tahun dari benua Amerika.
Keempat, penghentian deforestasi dan rekonversi perkebunan monokultur, termasuk perkebunan agrofuel kembali ke agroekologi berbasis rakyat mampu mengurangi emisi GRK sebanyak15-18 persen. Semoga Indonesia tidak terjebak dalam sistem kasino karbon dan muncul dengan agroekologi sebagai solusi nyata perubahan iklim. ●
-
Papua yang Sulit Didekati
Papua yang Sulit DidekatiAnggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANGSumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011Sekitar lima orang berteriak dan berkumpul sambil membawa bendera Bintang Kejora di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. Walaupun teriakan mereka lantang, pesan yang dibawa tidak jelas. Dalam bahasa Indonesia yang kurang fasih, para simpatisan gerakan OPM ini berteriak lantang: “Indonesia pembunuh! Indonesia penjajah! Merdeka Papua!” Pemandangan ini tampak biasa-biasa saja.Tidak ada penjagaan polisi, apalagi barikade tentara Kerajaan Belanda.Menyuarakan Papua merdeka bukan lagi hal yang aneh.Tidak hanya di Den Haag, di mana para simpatisan ini banyak berkumpul, tetapi wacana ini sudah menjadi menu pokok perbincangan di kalangan elite politik Jakarta. Namun yang jelas adalah, apa yang disuarakan dan dipersepsikan oleh lima pemuda di Den Haag itu (yang kesemuanya sebenarnya secara morfologi tidak menunjukkan fisik orang Papua kebanyakan) dan para elite politik di Jakarta atau pembaca surat kabar biasa bisa jadi berbeda.Mengapa bisa terjadi seperti ini? Dalam kacamata epistemologi, untuk bisa berpendapat dibutuhkan bukti atau fakta segar yang lengkap dari obyek yang diteliti. Inilah kemudian yang menjadi “bahan bakar” untuk menilai suatu obyek masalah. Dalam kasus Papua, diskresi informasi muncul di mana semua orang bisa berpendapat semau mereka tanpa risalah atau referensi berupa fakta yang benar. Lebih lanjut, sulit untuk memberi argumen obyektif untuk kasus Papua ketika informasi yang beredar benar-benar tidak ada linearitas (kesesuaian).Bagaimana mungkin ada informasi yang menyebutkan bahwa tambang Freeport sekarang dijaga oleh sekumpulan tentara asing (tentara AS). Selain hal ini begitumengejutkan, terlebih lagi adalah apakah benar memang ada hal seperti itu yang terjadi. Kasus Papua benar-benar bisa dikategorikan sebagai kasus yang sangat tertutup, kalaupun belum bisa dikategorikan masuk dalam kasus luar biasa. Yang kemudian banyak muncul adalah argumen atau penilaian yang abstrak tentang apa yang terjadi. Sampai saat ini, belum ada riset ilmiah atau risalah dokumenter yang bisadipertanggungjawabkan secara publik. Kalaupun ada, hanya bukti catatan perjalananmisionaris atau riset terdahulu yang menyimak kehebatan suku Asmat, Dani, dan Baliem.Apakah mungkin berlarutnya kasus Papua memang terjadi karena interpretasi yang salah atau berlebihan tentang Papua? Jelas kelima pemuda yang berdemo di depanKBRI itu tidak bisa dijadikan panutan. Kalaupun kita harus memilih, seharusnya pemerintah memberi penjelasan atas simpang-siurnya informasi yang ada. Sebagaikhalayak umum, yang kita tahu hanya efek dari masalah yang terjadi di sana. Bisa berupa jumlah korban, intensitas konflik, atau hasil perundingan. Kalaupun terpaksa, hanyalah “update status”dari teman-teman yang aktif di jejaring sosial yang kebetulan berasal dari Papua atau yang pernah bekerja di sana. Lalu, ke mana perginya fakta konkret tentang Papua?Parahnya lagi adalah apabila kesimpangsiuran informasi ini digunakan oleh pihak tertentu atau bahkan dipolitisasi untuk kepentingan beberapa pihak. Alasannya mungkin mudah ditebak, yaitu membuat kasus Papua seperti “floating mass” tidak jelas, tak tentu arah, dan tidak selesai. Sedangkan di pihak lain, masyarakat di sana masih terkungkung dalam kemiskinan, lemahnya birokrasi, dan layanan sosial atau minimnya fasilitas pendidikan. Yang jelas, hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi atau minimal diupayakan untuk “dibongkar” atau ditemukan fakta yang sahih atas apa yang terjadi di Papua.Mungkin berbeda tapi bisa dijadikan pembanding adalah bagaimana rezim di Timur Tengah (Mesir, Libya,Aljazair) tumbang. Serupa tapi tak sama, mereka juga mengalami kasus seperti Papua dalam artian informasi yang ada sangat tidak bisa diandalkan. satu-satunya media alternative adalah suara Al Jazeera, yang memberitakan hari per hari apa yang sedang terjadi. Dalam hal ini juga, media jejaring sosial di sana menjadi faktor kunci keberhasilan gerakan.Sangat sulit untuk mengandalkan informasi dari masyarakat Papua, mengingat infrastruktur yang terbatas, sehingga berita dan fakta pun akhirnya menjadi baranglangka.Tetapi, sangat mungkin untuk dicoba, menyatukan informasi melalui serpihan-serpihan cerita dari teman atau karib yang sedang ada di sana.Yang dibutuhkan hanya kemauan untuk mencatat, mengkoordinasikan fakta, dan mencari celah di mana linearitas itu muncul sehingga member gambar terang tentang fakta. Secara epistemologi, hal ini sangat mungkin terjadi walaupun butuh waktu dan upaya yangdahsyat.Walaupun solusi belum bisa didapatkan, setidaknya benang merah kasus Papua teridentifikasi. Hanya tinggal memilah mana informasi yang sahih dan mana yang telahdirekayasa. Semoga hal ini membantu.● -
Banjir Pangan Impor
Banjir Pangan ImporKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI)Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011Secara agregat, kinerja sektor pertanian Indonesia tidak mengecewakan. Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian masih surplus.Tahun lalu, nilai surplusUS$ 18,537 miliar atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar AS), naik 40 persendari angka pada 2009 (US$ 13,14 miliar). Surplus selalu terjadi karena didukung terus membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Tahun lalu, surplus subsektor perkebunan mencapai US$ 24,674 miliar, naik 39,9 persen dari angka pada 2009 (US$ 17,632 miliar).Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan selalunegatif. Kinerja ketiga subsektor ini jauh dari menggembirakan. Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsector tanaman pangan dan peternakan. Pada 2009, defisit terbesar dialami subsector tanaman pangan. Pada 2010, dengan defisit US$ 3,505 miliar, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (US$ 3,416 miliar).Tahun ini, impor pangan tetap mengalir deras. Pada semester I 2011, impor panganmencapai US$ 6,35 miliar, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (US$5,35 miliar). Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gulapasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapasawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, bawang merah, dan kentang. Melihat cakupannya, betapa luasnya pangan impor kita. Karena begitu luasnya, impor pangan sering kali menimbulkan masalah.Yang terbaru adalah impor kentang. Para petani kentang sampai turun ke jalan karena usaha taninya terancam oleh kehadiran kentang impor murah.Defisit subsektor pangan, peternakan, dan hortikultura memiliki implikasi serius bagi Indonesia. Sebab, sampai saat ini ketiga subsektor tersebut menjadi gantungan hidup jutaan warga. Menurut Kementerian Pertanian, pada 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa, 10 juta di antaranya menekuni kelapa sawit. Adapun subsektor pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap tenaga kerja jauh lebih besar. Subsektor tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dan tebu) saja ditekuni 17,8 juta keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan terdiri atas empat orang, berarti jumlahnya 71,2 juta jiwa (29,7 persen warga Indonesia). Membanjirnya komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor akan membuat produksi petani/peternak domestik terdesak. Ini bukan semata-mata soal daya saing, tapi lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak fair.Hampir semua bahan pangan penting dan pokok dunia, seperti gandum, beras, jagung, gula, kedelai, daging sapi, dan daging unggas, harganya terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor. Sejumlahnegara juga sering membuat kebijakan pembatasan impor, baik negara yang nett importer maupun yang nett exporter. Inilah yang membuat harga pangan di pasardunia amat artifisal, antara ada dan tidak ada, dan tidak menggambarkan tingkatefisiensi. Menjadikan harga pangan dunia sebagai basis referensi efisiensi jelas menyesatkan. Karena itu, ketika ada sebuah produk pangan domestik terdesakoleh pangan impor yang harganya murah, tidak bisa serta-merta produk pangan kitadicap tidak efisien dan tidak bisa bersaing.Harga pangan di pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor. Argumen yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah-payah memproduksipangan sendiri kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik ini adalah soaldaya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi, karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktekkan sejumlah negara maju. Pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di negara-negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah masing-masing mencapai 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Artinya, hanya 22persen pendapatan petani beras di negara OECD yang berasal dari usaha tani. Sisanyadari subsidi pemerintah (Sawit, 2007).Di Amerika Serikat, ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi pemerintah. Dari US$ 24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70-80 persen diterima 20 komoditas ini. Lima komoditas penting adalah beras, jagung, kedelai, gandum, dan kapas. Meskipun dalam perjanjian WTO subsidi itu harus dikurangi, dari tahun ke tahun subsidi tidak berkurang, melainkan terus bertambah dengan beras. Ujung dari beleid subsidi berlebihan itu adalah dumping. Setelah Farm Bill pada 1996, dumping kedelai AS naik dari 2 persen menjadi 13 persen, dumping beras naik dari 13,5 persen menjadi 19,2 persen, dan jagung naik dari 6,8 persen menjadi 19,2 persen.Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor. Pada 2001 kredit ekspor mencapai US$ 750 juta. Fasilitas khusus ini diberikan kepada importir kedelaiIndonesia. Saat itu harga impor cuma Rp 1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp 2.500 per kg. Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor.Kebijakan itu kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari. Bea masuk 5-10 persen sama sekali tidak mampu melindungi petani kedelai dari gempuran impor. Akibatnya, kini kita bergantung pada impor kedelai hampir mutlak dari AS.Akibat kebijakan pro-impor, tanpa banyak disadari, ketergantungan kita pada pangan impor nyaris tidak berubah. Sampai saat ini Indonesia belum bisa keluar dari ketergantungan impor sejumlah bahan pangan penting: susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa. Pada saat yang sama, impor membuat kita kian bergantung pada pangan dari luar negeri. Padahal pasar pangan dunia jauh dari sempurna, hanya dikuasai segelintir pelaku, dan jumlah yang diperdagangkan tipis.Mengimpor pangan dari luar negeri, walaupun dengan harga lebih murah dari pada pharga pangan petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya,kalau mengimpor pangan dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect). Sebaliknya, jika membeli pangan petani domestik, meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi,pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. ● -
Lingkaran Pemodal, Media, Penguasa
Lingkaran Pemodal, Media, PenguasaAgus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERS; WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTASumber : KOMPAS, 6 Desember 2011Ketika berbicara tentang kedudukan pers dalam rezim yang demokratis, mau tak mau kita harus selalu berangkat dari yang ideal tentang lembaga sosial yang independen dan imparsial, terutama saat menghadapi kontestasi politik yang kompleks.Independensi media, pun sulit mewujudkannya, harus selalu jadi titik tolak bagi setiap perbincangan tentang peran politik media. Ketika belakangan ini DPR membahas perubahan UU Pemilu, salah satu persoalan yang muncul: bagaimana pengaturan peran media dalam pemilu.Pada saat yang sama terjadi konsolidasi politik melibatkan pemilik media. Beberapa pemilik media merapatkan diri ke parpol atau beberapa aktor politik mengakuisisi media yang sudah mapan. Perkembangan ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang independensi media. Benarkah independensi pers kita sudah mapan sebagaimana diyakini banyak pihak atau jangan-jangan masih sangat rentan?Di satu sisi, pers Indonesia kini secara politis sangat independen. Tiada kekuatan resmi yang mampu memaksakan kehendaknya secara langsung kepada pers. Pemerintah, DPR, dan lembaga yudikatif selalu jadi bulan-bulanan kritik pedas dan kadang-kadang tidak proporsional dari pers. Namun, di sisi lain muncul keraguan apakah kritisisme itu juga berlaku ketika media berhadapan dengan pemiliknya atau partai politik wadah sang pemilik bergabung.Panggung kepada PemilikKita perlu menunggu pemilu berlangsung untuk mendapat jawaban pasti. Namun, beberapa fakta dapat dipertimbangkan. Pertama, sulit menemukan media nasional ataupun lokal yang berani kritis memberitakan dan mendiskusikan kasus atau skandal yang melibatkan pemilik media itu. Media sangat kritis terhadap kasus KKN, tetapi berbeda urusannya jika tersua keterlibatan pemilik media di dalamnya.Kedua, muncul kecenderungan beberapa media memberikan panggung kepada pemiliknya untuk menyampaikan klarifikasi kasus atau agenda politik. Dalam beberapa momentum, pemilik media bahkan melakukan one man show di media yang ia miliki. Di beberapa daerah lazim terjadi foto pemilik media terpampang di halaman utama sedang berjabat tangan dengan pejabat negara atau figur publik tertentu.Ketika musim pemilu tiba, masalahnya lebih rumit. Yang dihadapi bukan sekadar kasus yang melibatkan pemilik media, melainkan juga partai politik dan politisi yang dekat dengannya. Yang perlu diberitakan secara menguntungkan bukan hanya pemilik media, juga jaringan politiknya. Maka, peraturan tentang peran media dalam pemilu mendesak dirumuskan komprehensif dan transparan. Tujuannya menciptakan keseimbangan antara lembaga sosial dan lembaga bisnis pada diri media, mereduksi praktik instrumentalisasi media, dan penggunaan media sebagai sepenuhnya properti pribadi.Di dalam diri media selalu bersemayam sekaligus entitas sebagai lembaga bisnis dan lembaga sosial. Konsekuensinya media tak seharusnya diperlakukan sebagai properti pribadi. Media harus berdiri di tengah-tengah para kontestan politik yang sama-sama berkepentingan memasarkan politik atau pencitraan diri melalui media. Media profesional harus selalu membentengi pemberitaannya dari infiltrasi motif pribadi atau kelompok dan memastikan bahwa kepentingan publik jadi prioritas utama.Sesungguhnya tak salah jika media memanfaatkan momentum pemilu untuk keuntungan bisnis. Namun, perlu pengaturan agar iklan-iklan politik tak mencederai prinsip ruang publik yang harus adil kepada semua pihak, menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok, dan memperhatikan benar ihwal akuntabilitas dana iklan politik.Sejak Pemilu 1999, iklan politik jadi andalan kontestan menjaring preferensi publik. Namun, gegap gempita iklan politik selalu meninggalkan tanda tanya. Publik tak tahu apakah gebyar iklan pemilu benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik (APBN atau APBD), dari beroperasinya duit pengusaha hitam atau pejabat bermasalah yang ingin cari perlindungan politik.Tak MemadaiAturan main pemilu tak memadai untuk menghadapi masalah ini. Menurut UU Pemilu lama, hanya biaya kampanye parpol yang harus dilaporkan kepada KPU. Tak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari simpatisan. UU Pemilu juga hanya menyatakan ”materi kampanye meliputi visi, misi, dan program” (Pasal 94). Padahal, kampanye pemilu dapat dilakukan dengan slogan partai, warna khas partai, dan profil tokoh partai.Ruang lingkup kampanye yang tak komprehensif mempermudah manipulasi dan munculnya iklan terselubung. Sementara itu, transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada parpol dan tak eksplisit diwajibkan kepada media dan biro iklan yang berurusan langsung dengan pemasang iklan. Peraturan tentang peran politik media harus mengantisipasi munculnya lingkaran politik yang secara eksklusif hanya melibatkan pemodal, media, dan penguasa politik.Lingkaran politik ini akan memfasilitasi praktik instrumentalisasi ruang publik media dan penggunaan media sebagai properti pribadi. Masyarakat pun teralienasi dari ruang publik media. Masyarakat hanya jadi penonton pasif dari apa yang dipanggungkan para elite politik. ● -
Peta Jalan KPK
Peta Jalan KPKTeten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIASumber : KOMPAS, 6 Desember 2011Pimpinan KPK jilid ketiga yang baru terpilih di DPR, puas tak puas, harus diterima sebagai realitas politik.Tak ideal memang, tetapi tak terlalu buruk, di tengah pekatnya warna korupsi politik dan wacana pembubaran KPK yang terus ditiupkan politisi DPR. Bahkan, di luar dugaan, Bambang Widjojanto terpilih. Banyak harapan masyarakat dialamatkan kepada pimpinan baru. Sejak berdiri 2003, KPK menunjukkan kerja mengagumkan dibandingkan lembaga hukum konvensional lain, tetapi dampaknya belum cukup berpengaruh. Efek jera belum bisa dihadirkan. Korupsi terus tumbuh bersamaan gencarnya KPK memburu koruptor. Apalagi kini KPK kehilangan mitra utamanya, pengadilan tipikor, yang belakangan menunjukkan gejala kehancuran dengan banyaknya terdakwa korupsi dibebaskan, seperti lazimnya di pengadilan umum.Sejak berdiri hingga Oktober 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50.000 kasus yang dilaporkan masyarakat. Keuangan negara yang bisa diselamatkan Rp 135,3 triliun, Rp 896,68 miliar disetor ke kas negara dari hasil penindakan. Di tengah korupsi menggurita, angka ini menunjukkan probabilitas koruptor diadili sangat rendah. Hanya koruptor apes masuk penjara. Selama kemungkinan koruptor tertangkap kecil, hukuman yang diterima ringan, dan dengan benefit besar yang mereka nikmati, wajar koruptor tak takut dipenjara di negeri ini. Rata-rata hukuman bagi koruptor di pengadilan tipikor cuma 4 tahun 3 bulan dan di bawah dua tahun di pengadilan umum.Realitas ini harus dijawab dengan kerja keras dan cerdas oleh pimpinan baru KPK. Dari sinilah KPK harus punya peta jalan serta strategi tepat dan efektif. Merujuk keberhasilan ICAC di Hongkong yang legendaris, awalnya mereka mengarahkan seluruh sumber daya fokus pada penegakan hukum yang efektif untuk membersihkan aparat hukum. Baru belakangan mereka lebih memperbesar kerjanya mengintervensi penyusunan rencana aksi pencegahan korupsi di badan-badan pemerintah prioritas dan swasta, termasuk mengembangkan pendidikan publik untuk mengubah budaya korupsi di masyarakat dan memperkuat dukungan masyarakat.Sinergi ketiga pendekatan harus bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, indikator keberhasilan pemberantasan korupsi yang hasilnya nyata bisa dinikmati masyarakat, sehingga pemberantasan korupsi dapat dukungan luas. Dari statistik kasus yang ditangani KPK, terlihat tak ada pilihan prakondisi tertentu yang harus dibenahi lebih dulu untuk mengubah keadaan yang lebih luas. Kasus menyebar, duta besar (4), mantan menteri (2), kepala lembaga/kementerian (6), pejabat eselon (91), kepala daerah (36), hakim (3), anggota DPR/DPRD (46), pimpinan komisi (7), swasta (54), dan lainnya (30).Pilihan random itu entah untuk menebar rasa takut di semua sektor atau dari segi pembuktian relatif paling gampang. Belum lagi jika dikaji lebih dalam program pencegahan dan pendidikan masyarakat yang sepintas tak sinergis satu sama lain. Dengan sumber daya terbatas, ini menunjukkan buruknya manajemen dan organisasi. Salah satu target capaian pembangunan nasional 2014 adalah Indeks Persepsi Korupsi 5,0 (kini 3,0) dan peringkat Kemudahan Berusaha ke-75 (kini ke-129). Untuk itu, agenda pemberantasan korupsi setidaknya harus diarahkan untuk mengurangi transaksi suap dalam perizinan bisnis, pajak, dan bea cukai serta penegakan hukum yang keras untuk membersihkan mafia hukum dan korupsi politik.Ini barangkali relevan untuk tipologi transaksi korupsi yang terfragmentasi secara luas sejak era reformasi, yang hampir sulit menghadirkan efek deteren lewat penegakan hukum meluas seperti ditangani KPK dan aparat hukum lain selama ini. Tugas ini tak bisa seluruhnya bisa dialamatkan kepada KPK. Hanya masalahnya kita tak bisa berharap banyak terhadap institusi kejaksaan dan kepolisian, yang sampai saat ini masih belum pulih.Di negara dengan kualitas tata kelola pemerintahan buruk seperti Indonesia, program antikorupsi yang punya dampak tinggi adalah reformasi kebijakan ekonomi, rule of law, pemangkasan birokrasi, pengadilan yang independen, kebebasan pers, dan perluasan partisipasi masyarakat (Huther and Shah, 2000). Di luar itu hanya pemborosan waktu dan anggaran.Pengembangan institusi yang relatif baik pada era KPK jilid I mulai diabaikan pimpinan KPK berikutnya. Dengan investigator kurang dari 100 orang, rasanya tak masuk akal mengharapkan KPK dapat menebaskan pedangnya di mana-mana meski dengan dukungan teknologi tinggi dan metode investigasi profesional. Kunci keberhasilan pemberantasan korupsi Hongkong sangat ditentukan kecukupan sumber daya. Perbandingan investigator dan pegawai negeri 1 : 200 dan dukungan anggaran 0,38 persen dari anggaran nasional atau 13 dollar AS per kapita (Kwok, 2011). Belum lagi independensi penyidik dan penuntut KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan, yang dalam hal tertentu untuk kepentingan karier mereka lebih loyal ke institusi asal. Kita membangun KPK sejatinya untuk memutus mata rantai mafia hukum, bukan mendaur ulang. Di sini batu ujian nyali pimpinan baru KPK untuk merekrut penyidik dan penuntut sendiri. Pimpinan sebelumnya tak berani karena takut menuai gugatan.Imperioritas dalam kadar tertentu diperlihatkan KPK terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam fungsi koordinasi dan pengawasan kepada kedua institusi. KPK sungkan mengambil alih kasus korupsi yang macet di kedua institusi, padahal ada tendensi kasus yang jadi kewenangan KPK diserobot kejaksaan dan kepolisian.Kemandirian terhadap politik adalah persoalan serius lain. Terbuka lubang sangat lebar bagi campur tangan politisi di DPR terhadap KPK mulai dari proses seleksi, perencanaan prioritas program dan anggaran. Orang per orang politisi berkepentingan membangun relasi dengan pimpinan KPK. Pertemuan Nazaruddin dan petinggi KPK contohnya.Masalah mendasar KPK selama ini adalah miskin dukungan politik tingkat tinggi. Pimpinan KPK kurang memanfaatkan dukungan dari gerakan antikorupsi masyarakat yang besar untuk menghadirkan dukungan politik formal. Dukungan masyarakat hanya digunakan terbatas sebagai tameng dari serangan balik koruptor. KPK produk dari gerakan sosial antikorupsi. Sekali mengingkari sejarah ini sama saja mengabaikan kekuatan utamanya.Dalam jangka pendek, kehadiran pimpinan baru KPK harus segera terasa getarannya. Ini bisa jika berhasil menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang tertunda penyelesaiannya dan dicurigai publik ada pertimbangan tertentu di baliknya. Keadaan harus diubah: koruptor harus gemetar terhadap KPK, bukan sebaliknya. ● -
Adakah Asa di KPK?
Adakah Asa di KPK?Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET DI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG INTERMESTIC AFFAIRSSumber : KOMPAS, 6 Desember 2011Terkejut, kecewa, curiga, marah. Begitulah rentetan ungkapan yang muncul setelah Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menentukan Abraham Samad sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2011-2015 lewat voting kedua, pekan lalu.Abraham Samad menang mutlak dengan 43 suara, mengalahkan Busyro Muqoddas (5), Bambang Widjojanto (4), Zulkarnain (3), dan Adnan Pandupraja (1).Abraham Samad disebut ”hanyalah” anak muda daerah dari Makassar yang prestasinya belum menonjol. Selain itu, ia juga dituduh menjadi pendukung penerapan Syariat Islam di Sulawesi Selatan dan amat dekat dengan kelompok garis keras Islam, seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Laskar Jundulah (The Jakarta Post, 3/12/2011).Pandangan itu dibantah Abraham Samad melalui pernyataan di Metro TV, Sabtu (3/12/2011) petang, bahwa ia adalah nasionalis sejati, anak pejuang 45, yang akan membela tegaknya NKRI sampai akhir hayatnya.Bukan Pilihan PanitiaKekecewaan terjadi karena tokoh-tokoh nasional yang sudah banyak dikenal masyarakat dan memiliki rekam jejak lebih baik di bidang hukum dan pemberantasan korupsi malah tidak terpilih menjadi anggota dan atau ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Bahkan, dari empat besar calon ketua dan anggota KPK versi Panitia Seleksi Anggota dan Ketua KPK—Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudradjat—hanya Bambang Widjojanto yang masuk ke jajaran pimpinan KPK. Permainan politik macam apa lagi yang dilakukan DPR untuk melemahkan KPK?Kecurigaan muncul karena proses pemungutan suara yang mundur panjang. Seharusnya berlangsung pukul 09.00, tetapi diundur menjadi pukul 14.00 karena adanya upaya Partai Demokrat untuk mengegolkan Yunus Husein sebagai anggota dan ketua KPK.Lobi-lobi yang dilakukan Partai Demokrat justru semakin memperkuat kecurigaan banyak pihak akan adanya kedekatan Yunus Husein dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Padahal, seperti diungkapkan oleh Yunus Husein, seharusnya orang mencurigai dirinya lebih dekat dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang dahulu mengangkat dia sebagai Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ketimbang dengan Presiden SBY.Pemilihan Abraham Samad dinilai dimotivasi kepentingan politik para anggota Dewan. Bagaikan mengulang voting saat sidang paripurna DPR tahun lalu terkait hak angket skandal Bank Century, ada enam partai politik (Partai Golkar, PDI-P, PKS, PPP, Partai Hanura, dan Partai Gerindra) yang fraksi-fraksinya di Komisi III secara aklamasi sepakat memilih empat nama baru unsur pimpinan KPK: Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandupraja, dan Zulkarnain.Enam fraksi itu juga sepakat memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK (Kompas, 3/12/2011). Tak heran bila Komisi III DPR dinilai menerapkan model perwakilan politik bertipe wali (karena memutuskan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan konstituen) dan politico (karena keputusan politik itu adalah cermin dari kepentingan partai dan bukan kepentingan masyarakat).Apa yang diinginkan enam fraksi di Komisi III DPR itu sebenarnya tidak jelek-jelek amat, yaitu agar KPK di bawah kepemimpinan baru bersedia mengusut empat kasus besar: skandal pemberian dana talangan kepada Bank Century, korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang (dan tentunya pusat olahraga di Bogor), mafia pajak, dan pemberian cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004.Namun, menjadi perlu diwaspadai bila dilihat dari adanya motivasi politik yang mengaitkan penyelesaian kasus Bank Century sebagai senjata pamungkas untuk melakukan ”leadership challenge” sebelum Pemilu 2014 (The Jakarta Post, 3/12/2011).Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan ”leadership challenge”. Apakah sebatas usulan pergantian ketua DPR ataukah pergantian pimpinan pemerintahan? Jika ucapan Achmad Basarah dari Fraksi PDI-P benar, kita sangat menyayangkan penggunaan kasus hukum yang ditangani KPK sebagai alat manuver politik di DPR.Masih Ada AsaLepas dari adanya berbagai kelemahan Abraham Samad, ada nilai-nilai positif dari pemilihan dirinya sebagai Ketua KPK.Pertama, inilah kesempatan bagi anak-anak muda yang berkarya untuk bangsa di daerah untuk berperan lebih besar secara nasional sebagai ketua KPK. Pada masa lalu, Bambang Widjojanto adalah tokoh pejuang HAM di Tanah Air yang naik pangkat menjadi Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) di Jakarta setelah berkarya nyata sebagai Ketua LBH Jayapura pertengahan 1980-an.Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua KPK Busyro Muqoddas juga anak-anak daerah yang menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, sebelum ke Jakarta.Amien Rais juga dosen di Universitas Gadjah Mada sebelum menjadi Ketua Umum PP Muhammadyah—menggantikan Ahmad Syafii Maarif—sekaligus motor penggerak gerakan reformasi 1997/1998. Ia kemudian menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat pertama era reformasi hasil Pemilu 1999.Kedua, meski pendekatan budaya bukan hal penting dalam menentukan tingkah laku seseorang, Abraham Samad adalah orang Bugis/Makassar yang mengagungkan budaya siri untuk mempertahankan martabat. Dalam budaya siri juga terkandung rasa malu jika ia tidak mampu menjalankan tugas. Tidaklah mengherankan jika Samad bersedia mengundurkan diri jika dalam setahun tidak ada karya monumental sebagai Ketua KPK.Ketiga, Abraham Samad tidak saja telah menandatangani pakta integritas yang disodorkan Partai Hanura, tetapi juga berjanji akan menumpas habis korupsi tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, bahkan sampai ke jajaran DPR dan Istana sekalipun.Keempat, bila pimpinan KPK menjadi lima serangkai yang kompak dan saling mengisi, bukan hal mustahil KPK generasi ketiga ini mampu meningkatkan kembali kepercayaan dan kepuasan publik. Saat ini KPK berada di titik nadir (32 persen), jauh di bawah tingkat kepuasan publik yang dicapai KPK pada Februari 2009, yang sempat mencapai 61,4 persen.KPK juga diharapkan dapat meningkatkan indeks korupsi Indonesia dari saat ini berada pada level 3 dari skala 0-10 (0 sangat buruk dan 10 sangat bersih) ke level 5 atau bahkan 7 dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.Kelima, bila Abraham Samad sebagai anggota dan Ketua KPK termuda dapat bersinergi dengan para seniornya di KPK, bukan mustahil pimpinan KPK periode 2011-2015 adalah yang paling solid yang pernah dimiliki KPK. Jika pandangan penulis ini benar, bukan saja masih ada asa kita kepada KPK, melainkan kita telah melihat secercah sinar di ujung terowongan panjang yang gelap dalam persoalan pemberantasan korupsi di negeri yang kita cintai ini.Mudah-mudahan ini bukan suatu impian semusim! ● -
Demokrasi Model Indonesia?
Demokrasi Model Indonesia?Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik UI; Sedang Belajar di Humboldt Universität-zu Berlin, JermanSumber : KOMPAS, 6 Desember 2011Ketika berada di Jakarta, Presiden Jerman Christian Wulff menyebut Indonesia model demokrasi di tengah negara Islam lain (Deutschlandradio, 1/12).Dia juga mengulang apa yang pernah dikatakannya sebelumnya bahwa Islam adalah bagian dari Jerman sebagaimana Kristen dan Yahudi. Dengan kata lain, Wulff mau menjelaskan Indonesia adalah sahabat Jerman.Memang tak semua sepakat. Bahkan, guru besar di Universitas Humboldt, Prof Dr Boike Rehbein, menyebut itu propaganda seusai kuliah Struktur Sosial dan Politik di Asia Tenggara. Bagaimanapun, kita sambut baik pujian politisi Partai Kristen Demokrat ini sebagai terobosan untuk kerja sama bilateral yang mangkus dan berguna ke depan.Sebenarnya ada kesamaan kondisi kedua negara belakangan ini. Media Jerman minggu-minggu terakhir ramai memberitakan ”Neo-Nazi Trio”: tiga anggota Neo-Nazi (Beate Zschäpe, Uwe Böhnhardt, dan Uwe Mundlos), yang baru terungkap melakukan pembunuhan berantai beberapa tahun terakhir di Jerman. Tahun 2000-2006 mereka membunuh delapan pengusaha keturunan Turki dan tahun 2007 menewaskan dua polisi di Heilbronn. Dua pemuda dari tiga pelaku sudah membakar diri dalam mobil. Beate Zschäpe yang masih hidup menyerahkan diri ke polisi.Hadapi RadikalismeKanselir Angela Merkel nyaris tiap hari mengomentari soal penguatan sistem keamanan sosial menghadapi radikalisme kanan ke depan. Indonesia pun masih bermasalah dengan radikalisme. Ahmadiyah diserang dan rumah ibadah dibakar adalah contohnya. Namun, Wulff kok memuji.Pujian juga pernah diterima Indonesia pada paruh pertama 1990-an dengan sebutan ”Macan Asia”. Tahun 1997-1998 fondasi ekonomi roboh dan krisis politik menghancurkan semua pujian.Memang betul, sesudah 1998, transisi politik pada tataran struktural berjalan normal. Barangkali kekaguman terhadap Indonesia karena kemampuan mengelola ini. Dimensi kebebasan sipil dan hak politik dipuji sejak 2004 oleh Freedom House di Washington. Kita punya banyak media dan segudang parpol.Soal pemerintahan baik dan bersih, Indonesia adalah model kalau KPK dan BPK jadi patokan. Hitung saja, berapa mantan menteri (meski belum ada satu pun mantan presiden!), gubernur, dan bupati/wali kota diperiksa dan dipenjara. Namun, mari kita lihat tataran substansial. Berapa kasus serius besar merugikan negara dan rakyat terungkap tuntas? Bagaimana dengan kasus BLBI,Century, Lapindo, penggelapan pajak Gayus? Bagaimana kadar kebebasan sipil bagi minoritas? Berapa jumlah riil orang miskin dan kehilangan pekerjaan?Berapa manusia diperbudak di berbagai industri dengan jaminan keselamatan dan upah tak manusiawi, serta pekerja wanita di aneka industri hiburan yang luput dari perlindungan hukum?Kejahatan KemanusiaanBelum lama (22/11/2011), Saskia Schäfer, pemerhati Islam di Asia Tenggara, membuat presentasi di Universitas Freie di Berlin soal Ahmadiyah di Indonesia. Pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Temanggung cuma dihukum 4-5 bulan penjara. Model demokrasi macam apa yang mempertimbangkan kejahatan kemanusiaan lebih ringan dari kejahatan konvensional seperti mencuri telur di pasar?Tentu kita tak berpretensi meminta Wulff memikirkan pertanyaan ini, termasuk kalaupun keesokan harinya ia lupa pernah memuji Indonesia. Sama seperti ketika dalam tiap kasus orang asing dibunuh oleh mereka yang terindikasi bagian dari jaringan Neo-Nazi di Jerman, pihak keamanan akan selalu mengatakan, ”Kami sedang telusuri apakah korban terlibat sindikat kriminal tertentu.” Toh, tak ada yang bertanya mengapa korban selalu diduga kriminal? Kenapa tak fokus ke pelaku saja?Jubah demokrasi masih cukup lebar untuk membalut masalah seperti ini. Di atas kertas, demokrasi tak diukur dari apa kata korban, tapi dari apa kata pelaku. Maka tiap penilaian adalah sah. Bahkan, kalaupun tiap hari presiden mau memberi penghargaan kepada tiap kroni atau famili dengan judul ”pahlawan demokrasi”, itu pun sah. Tak ada yang salah, meski tak juga benar. Toh, demokrasi ditentukan pelaku.Akan tetapi, sekali kita berpikir tentang demokrasi dari dimensi korban, kotak pandora akan terbongkar. Bahwa elite demokrasi kita betul berhasil membuat kita merdeka berpikir, tetapi tidak berhasil memikirkan kemerdekaan kita. Kemerdekaan sebagai manusia dan sebagai subyek politik. Benarkah demokrasi seperti ini cuma model atau ini cuma demokrasi model kita? ●