Author: Adul

  • Energi Baru Pemberantasan Korupsi

    Energi Baru Pemberantasan Korupsi
    Donny Syofyan, DOSEN UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 7 Desember 2011
    JAKARTA POST, 7 Desember 2011 
    http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/07/kpk-could-go-full-strength-with-fresh-blood.html
    Abraham Samad, seorang pengacara dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), akhirnya terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi bersama tiga figur lainnya hingga 2015. Tiga pemimpin baru KPK lainnya yang dipilih oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat adalah aktivis hak asasi manusia Bambang Widjojanto,
    anggota Komisi Kepolisian Nasional Adnan Pandu Praja, dan jaksa Zulkarnaen. Busyro Muqoddas,Ketua KPK yang tengah menjabat, juga tetap bergabung dengan pimpinan baru yang terpilih.
    Hasil seleksi pemimpin KPK ini memang telah memicu kontroversi di antara para pengamat dan aktivis antikorupsi serta hak asasi manusia. Abraham Samad, yang berhasil mendapatkan 43 dari 56 suara, adalah figur yang belum dikenal luas oleh publik. Ada yang menilainya sebagai tokoh titipan kekuatan politik tertentu di legislatif. Dugaan ini berawal dari sejumlah pernyataannya ketika mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Ia mengungkapkan bahwa KPK dianggap memiliki otoritas terlalu banyak sehingga lembaga super ini bekerja tidak efektif. Lebih lanjut, ia mengkritik Ketua KPK Busyro Muqoddas yang kelewat sering berpolemik di depan umum.
    Dua pemimpin KPK lainnya, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen, dinilai tidak memiliki rekam jejak yang teruji dalam pemberantasan korupsi. Adapun dua tokoh yang secara luas juga beroleh dukungan masyarakat,Yunus Husein, mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Abdullah Hehamahua, Ketua Komite Etik dan Penasihat KPK, malah tersingkir.
    Di tengah skeptisisme masyarakat terhadap para pemimpin KPK yang baru terpilih ini, lebih-lebih gagalnya Bambang Widjojanto sebagai tokoh paling favorit dan direkomendasikan secara ketat untuk menduduki jabatan Ketua KPK, sokongan publik terhadap KPK tetap jauh lebih kuat dibanding terhadap lembaga penegak hukum lainnya, seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Sejatinya, ini menunjukkan bahwa KPK tetap menjadi superbody yang memiliki energi penuh untuk menjalankan tugasnya. Tingginya harapan publik kepada KPK memiliki legitimasi yang kuat. Sejumlah hal menunjukkan hal tersebut.
    Pertama, hasil pemilihan pemimpin KPK ini merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam sejarah lembaga tersebut. Dibandingkan dengan ketua-ketua KPK sebelumnya,
    Abraham Samad, yang kini berusia 45 tahun, adalah ketua termuda.Taufiequrachman
    Rukie berumur 57 ketika dilantik sebagai ketua pada 2003, dan Antasari Azhar berumur 54 tahun ketika terpilih. Figur Ketua KPK paling senior adalah Busyro Muqoddas, 58 tahun.
    Sebagai tokoh paling muda yang dipercaya memimpin KPK, Abraham Samad telah
    membuktikan diri sebagai tokoh idealis yang tak kenal kompromi dalam memberantas
    korupsi. Bersama lembaga masyarakat sipil dan organisasi yang didirikannya, ACC
    (Anti-Corruption Committee) dan Kemak (Koalisi Masyarakat Anti-Korupsi) di Sulawesi
    Selatan, Abraham dikenal garang menangani dan menyelesaikan kasus korupsi yang
    melibatkan 15 anggota DPRD Sulawesi Selatan pada 2005. Ia juga melarang para pengacara lewat asosiasi pengacaranya untuk membela kasus-kasus para koruptor (Detiknews, 3 Desember).
    Menjadi pendekar muda antikorupsi, Abraham harus menunjukkan bahwa ia benar-benar lepas dari bayang-bayang orang atau pihak lain. Abraham perlu membuktikan bahwa ia tak bisa didikte oleh berbagai tekanan dan kepentingan politik. Sejumlah pihak mempertanyakan independensinya, mengingat kedekatannya dengan kelompok Islam garis keras, semisal Tentara Jundullah dan Hizbut Tahrir Indonesia.
    Karena itu, Abraham dituntut untuk mampu dan serius mengesampingkan agenda politik tertentu dan menjaga independensinya dalam menjalankan tugas. Dari proses pemilihan Ketua KPK yang berlangsung, orang dengan mudah melihat bahwa kemenangannya lebih disebabkan oleh ketakutan anggota DPR kepada sosok Bambang Widjojanto, yang dianggap sebagai tokoh terbaik dan paling tepat menduduki
    posisi Ketua KPK.
    Kedua, terjadinya desentralisasi perjuangan mengentaskan korupsi. Terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK menunjukkan bahwa pejuang antikorupsi tidak harus berasal atau berdomisili di Jakarta atau Jawa. Inilah masanya memberi kesempatan dan kepercayaan kepada tokoh-tokoh daerah untuk menggasak para koruptor secara lebih luas. Perang melawan korupsi perlu mencerminkan daya sentrifugal; sebuah gerakan politik dan intelektual yang menjauhi ibu kota menuju
    daerah-daerah demi mendapatkan profilprofil terbaik dalam perjuangan panjang ini.
    Dari perspektif ini, tidaklah berlebihan bahwa munculnya Abraham sebagai pendekar
    baru KPK merupakan sebuah berkah. Tokoh-tokoh daerah yang kredibel mengatasi skandal korupsi perlu dilihat sebagai kontributor tangguh yang patut mendapatkan kesempatan dan penghargaan dalam kafilah panjang antikorupsi. Ini bukan sekadar tren “go east”dalam banyak hal di negara ini. Ini lebih merupakan upaya mendorong rasa percaya diri kepada para tokoh daerah untuk membidik tersangka korupsi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
    Ketiga, pimpinan baru KPK telah merintis model kepemimpinan teladan. Janji Abraham untuk mundur dalam masa satu tahun bila gagal menyelesaikan kasus-kasus besar di republik ini, seperti kasus Bank Century, menjadi pembelajaran politik yang fenomenal. Ia mempercayai publik untuk menilai dan mengukur kinerjanya sehingga terjauhkan dari kecenderungan politik pencitraan. Ia menangkap kemarahan massa terhadap distingsi kata-kata dan karya nyata dalam penanganan skandal suap-menyuap.
    Sosok teladan juga tampak pada Bambang Widjojanto. Sebagai aktivis LSM dan lembaga antikorupsi, integritas Bambang Widjojanto sebagai tokoh yang independen
    dari pengaruh kekuatan politik mana pun tak perlu dipertanyakan lagi. Sikap nonpartisannya berkelindan dengan kesederhanaannya. Ini terlihat, misalnya, pada pilihannya untuk tetap memilih transportasi umum ketimbang mobil pribadi, dan penolakannya untuk memanfaatkan keberadaan pengawal bagi para tokoh penegakan
    hukum jika dipilih sebagai pemimpin KPK. Terlepas dari risiko yang ditimbulkannya,
    Bambang Widjojanto hendaknya berkomitmen dalam menjaga integritas dan independensinya.
    Perpaduan antara Abraham dan Bambang bakal menghasilkan efek ganda terhadap
    pemberantasan korupsi di negeri ini. Lewat kekuasaan eksekusi yang kini tengah digenggam, Abraham dan Bambang, tentu dengan jajaran pimpinan dan anggota KPK lainnya, dapat mempercepat penyelesaian megaskandal korupsi dibandingkan dengan ketika mereka masih terlibat penuh di LSM dan lembaga pemantau antikorupsi.
  • Manusia Indonesia Maritim

    Manusia Indonesia Maritim
    Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
    Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
    Dalam acara bincang-bincang di stasiun televisi beberapa tahun lalu, saya bertanya kepada beberapa mahasiswa unggulan dari akademi pelayaran di Jakarta Utara. ”Apa yang dimaksud dengan budaya kelautan atau maritim?”
    Tiga mahasiswa yang gagah ternyata hanya menggeleng. Kepala sekolah yang juga datang sebagai narasumber kemudian menjelaskan, budaya kelautan adalah semacam cara hidup para pelaut yang terpaksa tinggal berhari-hari atau berbulan-bulan di atas kapal yang berlayar.
    Saya tercenung. Saya mencoba mengenang ide dan visi presiden pertama kita, Ir Soekarno, saat ia menggagas sekolah para calon pelaut Indonesia itu. Tentu saja, jawaban kepala sekolah di atas tidak termasuk di dalamnya.
    Visi awal sekolah itu jauh lebih lapang dalam ruang dan waktu. Seorang pelaut semestinya memiliki kepekaan dan pemahaman ruang yang lebih kuat dan luas ketimbang mereka yang hidup sebagai ”manusia daratan”.
    Visi dan kepekaan semacam ini sangatlah penting untuk kita, manusia Indonesia, terutama untuk memahami kenyataan kita sebagai insan, kelompok, masyarakat, bahkan juga bangsa.
    Indonesia adalah miniatur terbaik bagi kodrat Bumi karena keduanya memiliki wilayah sama, yaitu dua pertiga diisi air. Maka, secara natural, sesungguhnya manusia Bumi (juga Indonesia) memiliki kodrat sebagai manusia maritim: manusia yang mengacu keberadaan dirinya secara eksistensial, memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis, pada tata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir.
    Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan politiknya dalam sebuah kota pantai atau bandar. Di kota-kota bandar ini, manusia maritim Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah dan pengasuhan bandar: menjadi masyarakat hibrid (melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif.
    Semua itu—sebagai hasil pembudayaan dan pemberadaban—berlangsung sangat lama karena ditransmisikan lewat cara-cara yang juga alamiah, antara lain tuturan (seni/sastra lisan), praktik, dan teladan.
    Adab Daratan
    Paparan di atas adalah untuk menegaskan kembali bahwa cara berpikir, pendekatan, hingga pola hidup kita yang keliru sebagai manusia, kelompok, atau bangsa selama ini, yakni pola hidup yang memaksakan satu pendekatan yang berpotensi konflik. Mengapa?
    Pola hidup di atas selain mengingkari kodrat maritim juga menggunakan warisan adab dan budaya daratan. Sebagai adab, budaya daratan juga dipengaruhi kondisi geografis dan geologis di mana manusia harus ada karena perlawanan dan penguasaan terhadap sekitar (manusia, binatang, dan lingkungan). Tidaklah mengherankan jika adab daratan sejak awal Masehi dipenuhi konflik, bahkan perang yang sangat kejam.
    Dalam peradaban besar yang tersusun selama 1,5 milenium dan terutama 2,5 abad terakhir inilah kita menyaksikan bagaimana dunia: manusia dan kebudayaannya, tercabik-cabik oleh perilaku yang menghamba pada kekuasaan. Sejarah di Jazirah Arab, misalnya, selalu penuh dengan perang dan darah. Konflik dan kekerasan memang menjadi ruh pembentukan bangsa dan negara di wilayah itu.
    Sejarah tentu saja bukan hanya milik bangsa Arab. Sejumlah bangsa dan peradaban daratan lainnya: Mesir, India, China, Persia, hingga Eropa, juga memiliki cerita yang hampir sama hingga hari ini.
    Maka sesungguhnya beruntunglah kita, manusia dan bangsa Indonesia, yang memiliki adab dan budaya maritim. Ia memiliki pendekatan dan cara hidup yang berbeda dalam mengelola diri sendiri, bersosialisasi, berpolitik, bernegara, dan berdiplomasi internal maupun eksternal.
    Begitu pula seharusnya cara kita menghadapi berbagai persoalan di dalam negeri, khususnya pada beberapa isu kritis belakangan ini seperti korupsi, konflik lokal, otonomi daerah, hingga penyelenggaraan demokrasi. Harus diakui saat ini kita lebih menggunakan pendekatan yang lebih dipengaruhi adab daratan: konfliktif, dominatif, dan materialistik. Negara selalu berposisi sebagai pemerintah (dalam arti memberikan perintah yang wajib diikuti), pemecah masalah, pelaksana dan penanggung jawab utama dan pertama, serta lebih khusus lagi: harus jadi pemenang.
    Berlangsung di Indonesia
    Demikianlah cara-cara penyelesaian daratan dalam menangani berbagai persoalan mutakhir kita: terorisme, demonstrasi, kepala daerah yang membangkang, bahkan juga pembangunan ekonomi. Hal itu membuat kita terjebak dalam siklus konflik dan kekerasan tanpa putus. Pemerintah selalu berhadapan secara diametral dengan pihak lain, bahkan rakyatnya sendiri, yang diposisikan sebagai lawan yang harus ditundukkan.
    Kasus Papua, misalnya, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan. Korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks.
    Padahal, dalam adab dan kultur maritim, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan dengan sekadar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.
    Berapa pun banyaknya fasilitas dan uang digelontorkan, masalah Papua tidak akan usai. Sesungguhnya rakyat Papua mempermasalahkan soal kultural yang membutuhkan pemahaman komprehensif multidisiplin. Ini berawal dari kekecewaan saudara Papua kita yang melihat penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru semakin menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara.
    Seperti suku-suku bangsa lain di Nusantara Maritim, orang Papua akan marah jika disuapi fasilitas tetapi dihina diri dan adatnya. Namun, sebagaimana juga pola pergaulan maritim, orang yang datang sebagai tamu akan mereka perlakukan dengan hormat dan sejajar. Itu pula yang mereka harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.
    Maka, hanya dalam kesejajaran itu penyelesaian komprehensif dapat ditemukan. Secara simbolik, hal ini bisa dilakukan oleh seorang pemimpin (menteri, lebih bagus lagi presiden atau wakilnya) dengan datang ke Papua untuk berkunjung, menjadi tamu seorang kepala suku, tanpa representasi ratusan personel Paspampres dan senjata otomatis yang mengerikan. Itulah jalan kultural adab maritim.
    Inilah jati diri kita sesungguhnya yang memiliki keunggulan akulturasi dinamik, yang pada akhirnya mengekalkan Indonesia sebagai bangsa maupun negara. Sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh ”rayuan pulau kelapa” ini. ●
  • Stop Impor Ikan

    Stop Impor Ikan
    Yonvitner, DOSEN MSP-FPIK DAN PENELITI SENIOR PKSPL-IPB
    Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
    Gonjang-ganjing persoalan impor ikan kembali mencuat. Hal ini menunjukkan tidak ada peta jalan yang jelas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membangun sektor perikanan dan kelautan, terutama perikanan tangkap.
    Kebijakan ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah tak mengutamakan pengentasan nelayan miskin. Menurut Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, jumlah nelayan miskin mencapai 60 persen dari total 4 juta rumah tangga perikanan. Jumlah ini dapat meningkat seiring dengan kenaikan harga solar dan tarif dasar listrik yang berdampak signifikan pada biaya operasional nelayan.
    Walau dijelaskan bahwa impor untuk menopang industri hilir perikanan, terutama pengolahan perikanan—pindang, asin, dan asap—yang memegang kendali dan menikmati proses impor adalah pengusaha besar, bukan pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pada kenyataannya ikan impor sering membanjiri pasar lokal. Hal ini berdampak hilangnya pekerjaan nelayan kecil yang terdiri dari nelayan penangkap, pengumpul, dan pengecer. Inilah yang dapat menambah angka kemiskinan nelayan.
    Kalau ditelaah lebih jauh, kebutuhan impor ikan muncul karena ada persoalan keterbatasan bahan baku industri pengolahan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2011, jumlah total unit pengolahan mencapai 60.117 unit. Pada 1.824 unit pengolahan ikan, proses produksinya sangat bergantung pada musim penangkapan.
    Bahan Baku
    Terkait kebutuhan bahan baku ini ada dua pendekatan dari tiga kemungkinan yang bisa dikaji pemerintah. Pendekatan pertama adalah pendekatan berbasis unit pengolahan ikan. Menurut pengertian ini, kebutuhan bahan baku adalah bagian jumlah produksi yang aktif selama sehari (production line), jumlah ulangan produksi dalam satu operasi pengolahan (batch), kapasitas bahan baku, dan frekuensi tahunan dari unit pengolahan.
    Selanjutnya adalah evaluasi terhadap UMKM. Untuk kelompok pindang, tingkat kebutuhan bahan baku per tahun hanya mencapai 0,7 juta ton, ikan asin 2,4 juta ton per tahun, ikan asap 0,7 juta ton, dan kelompok UMKM lainnya mencapai 0,5 juta ton per tahun. Secara keseluruhan, kebutuhan bahan baku hanya 4,3 juta ton per tahun. Kelompok UMKM yang dimaksud di sini adalah usaha pengolahan dengan kapasitas produksi mencapai 3 ton per hari.
    Pendekatan kedua adalah dari kepemilikan aset dan omzet. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha yang memiliki aset Rp 50 juta-Rp 10 miliar dan omzet dari Rp 300 juta sampai Rp 50 miliar per tahun. Dari pendekatan ini sebenarnya tingkat kebutuhan bahan baku dapat dievaluasi dari jumlah penjualan dalam satu tahun, harga produk olahan ikan, dan tingkat rendemen dari setiap jenis ikan olahan dalam suatu unit pengolahan.
    Dengan pendekatan tingkat rendemen rata-rata pindang 75 persen, asin 62,5 persen (KKP, 2011), dan asap 33 persen (Hidayati, 2006), total kebutuhan bahan baku mencapai 5,8 juta ton per tahun. Akan tetapi, jika kelompok usaha pengolahan dengan omzet di atas Rp 5 miliar masuk industri besar, kebutuhan bahan baku untuk usaha mikro kecil hanya 3,1 juta ton.
    Jika dibandingkan dengan data potensi perikanan pelagis yang kita miliki, yaitu ikan pelagis besar 1,14 juta ton per tahun dan pelagis kecil 3,64 juta ton per tahun, kebutuhan industri pengolahan saat ini masih tercukupi dari stok yang ada. Dengan skenario terbesar bahwa setiap unit pengolahan berproduksi selama setahun, kebutuhan 4,3 juta ton dapat tercukupi oleh ikan pelagis besar dan kecil serta masih ada surplus sekitar 0,48 juta ton per tahun.
    Namun, jumlah kebutuhan bahan baku ini akan membengkak jika industri besar (dengan omzet Rp 5 miliar) diperhitungkan. Kita akan mengalami defisit stok 1,1 juta ton dari stok ikan pelagis karena kebutuhan bahan baku industri olahan dengan omzet di atas Rp 5 miliar akan mencapai 1,1 juta ton per tahun.
    Strategi ke Depan
    Agar tak mengimpor ikan, setidaknya ada dua langkah strategis yang dapat dilakukan. Pertama, mengendalikan praktik penangkapan liar (illegal fishing) di Laut Natuna dan Laut Arafura. Jika diperkirakan kebocoran stok kita akibat penangkapan liar mencapai 1,6 juta ton per tahun, jumlah ini setara dengan potensi ikan pelagis di tiga wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Natuna, Arafura, dan Selat Makassar, yang mencapai 1,695 juta ton. Dengan demikian, kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi dari stok di wilayah ini.
    Kedua, melalui modernisasi dan rasionalisasi usaha penangkapan dan pengolahan. Kegiatan penangkapan dan pengolahan harus dikembangkan sesuai daya dukung perikanan dan daya dukung produksi. Melalui kedua langkah di atas, pengelolaan produksi perikanan dapat berlangsung tanpa impor ikan dan menyejahterakan nelayan. ●
  • Menyikapi Putusan Bebas

    Menyikapi Putusan Bebas
    Eddie OS Hiariej, GURU BESAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
    Herman Kantorowichs, seorang yuris agung, pernah mengatakan: menyatakan hukum sebagai apa yang diputus oleh pengadilan sama dengan mengatakan bahwa obat adalah apa yang dituliskan di atas kertas resep oleh dokter.
    Meskipun dokter dapat saja menuliskan racun di atas kertas resep, sang pasien menaruh kepercayaan penuh bahwa obat yang ditulis di resep itu adalah untuk menyembuhkan penyakitnya. Begitu pula putusan pengadilan, haruslah berpegang pada asas res judicata provaritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati.
    Mengapa demikian?
    Kekuasaan mengadili, yang ada pada hakim, bersumber dari Tuhan. Karena itu, setiap kepala putusan pengadilan selalu bertuliskan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kekuasaan hakim dalam mengadili harus bebas merdeka, mandiri, dan tak boleh dipengaruhi oleh apa dan siapa pun, baik oleh kekuasaan maupun tekanan opini publik.
    Akhir-akhir ini terjadi polemik terkait putusan bebas terdakwa korupsi. Bahkan, ada media memberinya judul: ”Koruptor Divonis Bebas”. Judul ini bombastis dan menyesatkan pembaca. Di satu sisi, kata koruptor berarti orang itu telah dinyatakan bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di sisi lain kok divonis bebas. Belum lagi sejumlah komentar yang mempertanyakan kredibilitas hakim Pengadilan Tipikor sampai pada wacana penghapusan Pengadilan Tipikor di daerah. Sejumlah polemik tersebut memberi kesan seolah Pengadilan Tipikor haram menjatuhkan putusan bebas.
    Dalam konteks hukum pidana, mengadili suatu perkara bukan mudah. Selain berpegang pada alat bukti yang sah, hakim harus yakin atas kesalahan terdakwa. KUHAP tegas melarang menjatuhkan pidana jika berdasarkan bukti minimum hakim tak yakin bahwa terdakwa bersalah.
    Ada tiga kemungkinan putusan perkara pidana. Pertama, terdakwa dinyatakan bersalah dan dipidana apabila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan. Kedua, dinyatakan tidak bersalah dan dilepas dari segala tuntutan hukum apabila perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi bukan perbuatan pidana karena ada alasan pembenar atau alasan pemaaf. Ketiga, dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas apabila perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
    Perlu Langkah Eksaminasi
    Kalau ada anggapan bahwa Pengadilan Tipikor harus menjatuhkan pidana kepada terdakwa korupsi, ada dua saran saya. Pertama, ”Pengadilan Tipikor” diganti namanya menjadi ”Penghukuman Tipikor” sehingga hakim wajib menjatuhkan hukuman bergantung berat-ringannya perbuatan terdakwa. Sebab, kalau menggunakan istilah ”pengadilan”, hakim harus melaksanakan fungsi mengadili sehingga ada konsekuensi terdakwa dinyatakan tidak bersalah.
    Kedua, lebih ekstrem lagi, Pengadilan Tipikor dibubarkan saja karena hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Sudah cukup ketika seseorang dinyatakan tersangka kasus korupsi, langsung diputus dia harus mendekam berapa lama dalam penjara sesuai bukti yang diperoleh.
    Terlepas dari kedua saran tersebut, kita pun tak bisa menutup mata terhadap adanya aparat penegak hukum yang terjerembap dalam kubangan mafia peradilan. Fenomena suap-menyuap di kalangan hakim, jaksa, polisi, dan advokat, (maaf) ibarat kentut: baunya sangat busuk, tetapi tak kelihatan. Alhasil, sangat mungkin putusan bebas dilatarbelakangi oleh praktik suap-menyuap antara terdakwa dan aparat penegak hukum.
    Bagaimana menyikapinya?
    Pertama, tak perlu dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Selain KUHAP melarang adanya upaya hukum apa pun terhadap putusan bebas, jika ada indikasi suap-menyuap dalam putusan bebas tersebut, melakukan upaya hukum berarti memberi peluang suap-menyuap di peradilan tingkat atas.
    Kedua, para akademisi harus proaktif melakukan eksaminasi terhadap putusan bebas. Meski eksaminasi tidak akan berpengaruh terhadap putusan, kasus tersebut dapat dikaji lebih mendalam. Sangat mungkin putusan bebas disebabkan jaksa penuntut umum yang tidak profesional dalam membuat dakwaan atau hakim yang tidak kredibel dalam mengadili atau kasus tersebut sengaja direkayasa. Kita tidak bisa menafikan bahwa banyak oknum polisi dan jaksa yang bergerilya dengan isu pemberantasan korupsi untuk merekayasa kasus dengan tujuan memeras calon tersangka sembari mengejar target perkara.
    Jika hasil eksaminasi menunjukkan putusan bebas akibat ketidakprofesionalan jaksa atau hakim, harus diteliti lebih lanjut ada apa di balik ketidakprofesionalan itu. Apakah semata-mata faktor kapasitas intelektual yang kurang memadai ataukah ada indikasi suap.
    Jika ketidakprofesionalan disebabkan kapasitas intelektual yang kurang memadai, usul konkretnya jaksa atau hakim tersebut diberhentikan dari Pengadilan Tipikor. Jika karena adanya indikasi suap, tindakan hukum harus segera dilakukan dengan membuka perkara baru mengenai suap-menyuap antara aparat hukum dan terdakwa, bukan melakukan upaya hukum terhadap putusan bebas. ●
  • Kemiskinan dan Kesejahteraan

    Kemiskinan dan Kesejahteraan
    Samsudin Berlian, PENGAMAT KEADAAN SOSIAL
    Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
    Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2011 yang belum lama diterbitkan untuk Program Pembangunan PBB (UNDP) kembali mengingatkan kita akan beberapa fakta, ilusi, dan pengharapan tentang kemiskinan, pemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia.
    Kesadaran akan kenyataan konkret dan cita-cita kebangsaan ini sangat menentukan sikap kita menanggapi beragam umbaran para politikus sekarang tentang penghidupan rakyat banyak dan kebijakan ekonomi yang diberlakukan dan ditawarkan.
    HDR menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multidimensi, yakni yang diukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup. Walaupun ini angka besar, jumlah orang miskin sebenarnya terus berkurang dari tahun ke ta- hun. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat dari 0,423 pada 1980 menjadi 0,617 pada 2011, hampir 50 persen dalam 30 tahun, suatu pencapaian yang signifikan dibandingkan dengan banyak negeri lain.
    Kenyataan ini tetap benar menurut ukuran yang berbeda. Bank Dunia menyatakan, jumlah orang yang hidup di bawah 2 dollar AS (paritas daya beli) per hari pada 1984 adalah 88,4 persen, dibandingkan dengan 50,6 persen pada 2009, dan yang hidup di bawah 1,25 dollar AS pada 1984 adalah 62,8 persen, dibandingkan dengan 18,9 persen pada 2009. Persentase orang sangat miskin saat ini menurut BPS lebih kecil lagi, 13,33 persen, tetapi dengan garis kemiskinan yang terlalu rendah untuk dianggap serius.
    Data ini membuktikan tiga hal dalam satu generasi terakhir ini. Pertama, orang Indonesia pada umumnya makin sejahtera secara substansial. Kedua, telah terjadi pengurangan kemiskinan yang besar. Ketiga, separuh rakyat Indonesia masih sangat miskin.
    Pemerintah pada umumnya berusaha membesar-besarkan peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan itu dengan angka-angka statistik, tetapi cenderung mengecil-ngecilkan keberadaan orang miskin yang masih sangat besar. Sebaliknya, politikus oposisi serta pejuang dan pembela orang miskin biasanya menekankan kenyataan kemiskinan dan menyorot kesenjangan dengan cara mendramatisasi kepahitan hidup orang miskin dibandingkan dengan kemewahan orang kaya.
    Barisan itu menggugat kemampuan orang kaya menyetir para penyelenggara negara sehingga mengeluarkan kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan mereka dikontraskan dengan ketidakberdayaan orang miskin yang bahkan dengan demonstrasi, teriakan, dan air mata jarang mendapatkan kebutuhan, apalagi keinginan mereka.
    Fakta dan Ilusi
    Untuk sampai pada pemilihan kebijakan ekonomi yang benar-benar bijaksana dan bermanfaat bagi umum serta pada pembukaan mata orang banyak dalam menentukan pilihan atas calon-calon pemimpin secara cerdas demi kesejahteraan mereka sendiri, dan pada arah advokasi yang berwawasan kemakmuran jangka panjang universal oleh organisasi masyarakat sipil (alih-alih demi kemenangan sesaat dan setempat yang justru bisa menghambat pemajuan ekonomi yang diidamkan), fakta dan ilusi harus dipisahkan dengan ketat.
    Pemerintah harus secara terbuka mengadopsi garis kemiskinan yang lebih realistis. Angka 2 dollar AS yang dipakai Bank Dunia adalah angka kasar, dan seperti angka-angka BPS, perlu penjabaran lebih konkret menurut kenyataan kebutuhan hidup setempat.
    Namun, BPS memakai garis yang terkesan direndah-rendahkan, antara di bawah Rp 200.000 
    dan sedikit di atas Rp 300.000 per bulan per orang sehingga alih-alih meyakinkan orang akan keberhasilan pembangunan malah menimbulkan keraguan akan kejujuran pemerintah. Bahwa pa- ling tidak separuh penduduk Indonesia bisa dianggap miskin dapat dijadikan titik tolak kasar untuk saat ini.
    Pemerintah juga perlu mengakui bahwa kesan kesenjangan (bahkan kalaupun dianggap bukan persoalan mendasar menurut ilmu ekonomika dan adalah keniscayaan dalam setiap pertumbuhan ekonomi menuju kemakmuran) bisa menimbulkan ketidakstabilan politik dan memperlemah rasa persatuan kebangsaan apabila dibiarkan sangat melebar sehingga wajib ditangani secara khusus dengan kebijakan ekonomi dan politik yang efektif.
    Keberadaan kantong-kantong kemiskinan, penggerogotan terhadap tanah-tanah adat, dan perusakan lingkungan hidup dalam sejumlah bentuk yang cenderung merugikan orang kecil adalah masalah-masalah serius. Penyelenggara peradilan yang cenderung mudah disuap orang kaya serta korupsi di tingkat menengah yang menjadi fokus sekarang—demikian pula di tingkat atas dan bawah yang berdampak sangat besar terhadap kesejahteraan umum—juga masalah yang tak kalah seriusnya.
    Selain kebijakan yang memajukan ekonomi secara keseluruhan, negara perlu secara khusus, serius, serta meluas memberlakukan dan meneruskan kebijakan yang targetnya hanya demi pendukungan terhadap orang miskin. Jadi, yang berkurang tak hanya kesengsaraan hidup mereka (seperti Askeskin dan jaring keselamatan sosial), tetapi juga mereka mendapat kemudahan melepaskan diri dari kemiskinan (seperti penaikan batas penghasilan terendah untuk pembayaran pajak dan penghilangan pemerasan birokratis, legal ataupun ilegal, atas usaha sangat kecil).
    Pernyataan Bombastis
    Sebaliknya, para politikus oposisi dan organisasi masyarakat sipil pembela kemiskinan perlu mempertimbangkan ulang kecenderungan mengeluarkan pernyataan bombastis yang memang bermanfaat menggugah keprihatinan, tetapi berpotensi membawa orang pada pemilihan jalan keluar yang keliru.
    Apabila orang banyak—bahkan pakar dan ilmuwan—salah percaya bahwa telah terjadi pemiskinan parah yang meluas, makin banyak orang Indonesia kian miskin dan rakyat pada umumnya makin tak sejahtera, sementara hanya sedikit orang yang menarik manfaat dengan curang hingga menjadi kaya raya luar biasa, mereka mungkin akan mengambil kesimpulan keliru bahwa semua kebijakan ekonomi dalam beberapa puluh tahun terakhir telah gagal. Dengan demikian, mereka akan berusaha membuang segala yang baik bersama-sama dengan yang buruk.
    Kesadaran teliti akan fakta dan ilusi ini semoga menolong kita lebih bijak dan cerdas memilah mana padi mana ilalang, mana pupuk mana racun sehingga dengan menyingkirkan kebijakan serta pemimpin buruk dan bodoh, dan terus-menerus mendukung kebijakan serta pemimpin baik dan efektif, seluruh rakyat Indonesia akan terus bergerak menuju kesejahteraan ekonomi sebagaimana dimandatkan konstitusi kita. ●
  • Partai Baru Memburu Pemilu

    Partai Baru Memburu Pemilu
    Yunarto Wijaya, PENGAMAT POLITIK & DIREKTUR RISET CHARTA POLITIKA INDONESIA
    Sumber : SINDO, 7 Desember 2011
    Suasana kompetisi menuju Pemilu 2014 sudah mulai terasa.Padahal pemerintahan terpilih SBY-Boediono baru berjalan sekitar dua tahun. Nama-nama calon presiden mulai bermunculan—ada tokoh lama, ada yang baru.

    Semua pihak sepertinya merasa memiliki kesempatan besar mengingat sosok ‘kuat’ elektoral bernama SBY tidak dimungkinkan lagi secara konstitusional untuk mencalonkan diri. Konstelasi menuju perhelatan pemilu legislatif juga tidak kalah panasnya. Muncul beberapa partai baru yang berpeluang meramaikan pemilihan anggota parlemen nanti.

    Didasarkan pada pengumuman Kementerian Hukum dan HAM, ada Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang dinyatakan sudah memenuhi syarat sebagai badan hukum, dua partai lainnya, Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI,masih diberi tenggat waktu untuk memenuhi persyaratan. Fenomena kemunculan partai baru ini selalu menarik untuk dicermati.

    Kehadirannya dalam pemilu selalu mengundang berbagai reaksi, dari yang memandang sebelah mata sampai ada yang menjadikannya ‘pelarian’ akibat kecewa terhadap pilihan yang lama. Secara empiris, sejarah elektoral kita pascareformasi memang membuktikan tidak banyak partai baru yang bisa langsung ‘unjuk gigi’.

    Prospek Pasar Elektoral

    Layaknya produk komersial yang baru diluncurkan, peluang partai baru juga ditentukan oleh seberapa besar pangsa pasar yang belum tergarap oleh para ‘pemain’ lama.Selain itu, kemampuan partai baru untuk menghadirkan diferensiasi juga akan menentukan kuatnya posisi mereka untuk masuk dalam arena kompetisi. Dilihat dari pangsa pasar pemilih, ada beberapa kondisi yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh partai baru.

    Tingginya angka swing voters, tingginya angka undecided voters, dan rendahnya tingkat Party ID menunjukkan bahwa hukum pasar masih berlaku. Sebagian besar dari segmen pemilih ternyata masih bisa mengubah pilihannya, termasuk kepada aktor baru yang muncul apabila dirasakan lebih menguntungkan dirinya.

    Tingginya angka swingvoters (suara mengambang) misalnya bisa dilihat di survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Mei 2011 yang memperlihatkan hanya sedikit partai yang bisa mempertahankan pemilihnya dari 2009 sampai sekarang. Hanya Golkar, PDIP, dan PPP yang berhasil mempertahankan pemilih 2009 sampai di atas angka 70%.

    Padahal Pemilu 2009 baru dilakukan belum sampai dua tahun sampai dengan saat survei dilakukan. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa pemenang pemilu legislatif dari tahun 1999 selalu berubah. Bisa dikatakan, tidak ada satu partai yang bisa mengklaim bahwa mereka memiliki captive market yang bersifat solid dan loyal. Selain itu, beberapa hasil survei juga menunjukkan bahwa pemilih kebanyakan masih belum menentukan pilihannya terhadap salah satu partai.

    Undecided voters masih menjadi ‘partai’ pemenang survei. Masih dalam survei nasional LSI bulan Mei 2011, pemilih yang belum menentukan pilihan masih berada di angka 29,6%,jauh lebih tinggi dibandingkan semua partai yang menjadi pilihan. Tingkat loyalitas pemilih juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh partai-partai selama ini.Tingkat Party ID (perasaan kedekatan dengan partai) hanya berkisar di angka 20-30 persen.

    Angka ini jauh di bawah tingkat Party ID di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia yang pemilihnya cenderung sudah lebih solid dalam menentukan pilihan. Kondisi ini tidak serta-merta akan menguntungkan partai baru secara elektoral.Peluang ini hanya bisa dimanfaatkan dengan kejelian partai dalam menampilkan diferensiasi yang bisa menjawab kekecewaan pemilih selama ini.

    Diferensiasi ini bisa berupa brand, kebijakan dan pesan politik yang tentu saja orientasinya adalah konsumen (Lees-Marshment, 2001). Brand di sini bukan hanya terbatas pada institutional branding sebagai sebuah partai,tapi perlu diimbangi pula dengan variabel personal branding yang berfungsi sebagai magnet elektoral.

    Bisa dilihat bagaimana kekuatan personal branding seorang SBY,Prabowo,dan Wiranto bisa menjadi faktor pendongkrak Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura dalam keikutsertaan mereka sebagai partai baru dalam pemilu. Selain itu variabel ‘infrastruktur politik’ juga masih sangat berpengaruh buat partai melakukan penguasaan secara elektoral di tingkat daerah.

    Jaringan tokoh-tokoh daerah yang mengakar akan menjadi saluran informasi yang paling baik bagi partai baru untuk bisa menyampaikan kebijakan dan pesan politik untuk merebut hari pemilih (O’Shaughnessy, 2001).

    Hambatan Sistem

    Di luar segala peluang yang terbuka lebar,partai baru juga akan menghadapi beberapa tantangan teknis ataupun sistemik. Sudah menjadi sebuah konsekuensi yang harus diemban bahwa partai baru akan lebih sulit beradaptasi dengan aturan-aturan pemilu yang ada. Seperti kita ketahui, DPR sedang menggodok revisi UU pemilu legislatif yang baru sampai beberapa bulan mendatang.

    Disinyalir akan muncul revisi yang akan menaikkan angka parliamentary threshold (PT) dan pengecilan jumlah kursi per daerah pemilihan yang tentu saja akan lebih menguntungkan buat partai besar secara elektoral. Naiknya ambang batas dan pemberlakuan PT sampai di level DPRD provinsi dan kabupaten/ kota akan menghadapkan partai baru dalam ‘zero-sum game’.

    Kegagalan mencapai persyaratan PT akan memberangus suara partai sampai ke level daerah. Sementara itu pengurangan jumlah kursi per daerah pemilihan akan berdampak pada ‘pengetatan’ sistem kompetisi per daerah pemilihan. Masih banyak permasalahan lain yang akan menjadi tantangan buat partai baru untuk bisa tampil eksis di Pemilu 2014 nanti.

    Tantangan yang tidak bisa sekadar dikeluhkan dan harus diatasi apabila memang target mereka adalah membuat perubahan besar, bukan sekadar menjadi kembang penghias pemilu semata.

  • Menanti Gebrakan Abraham

    Menanti Gebrakan Abraham
    Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
    Sumber : SINDO, 7 Desember 2011
    Di atas kertas,komposisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011–2015 cukup ideal.Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas,Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen,adalah pilihan yang melahirkan optimisme baru dalam memerangi korupsi yang sampai kini belum dimenangkan.

    Pilihan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menetapkan Abraham sebagai ketua juga menyimpan asa terhadap pengungkapan perkara kakap yang menjadi perhatian publik. Meski Abraham tidak secara tegas menunjuk kasus korupsi yang dijanjikan untuk dituntaskan, publik sudah mengarah pandangannya pada kasus bailout Bank Century, kasus pemberian cek pelawat dalam pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, kaburnya Nunun Nurbaeti, kasus proyek Hambalang,serta dugaan korupsi Wisma Atlet SEA Games.

    Malah, dia berjanji akan mundur jika dalam setahun tidak melakukan gebrakan atau menuntaskan kasus-kasus besar. Janji yang tergolong nekat paling tidak akan menjadi dinamika tersendiri bagi KPK yang selama dua tahun terakhir mendapat sorotan lantaran tidak mampu mengungkap kasuskasus besar yang jadi perhatian publik.

    Tentu ada yang optimistis, ada pula yang skeptis jika dengan kaca mata kuda melihat Komisi III DPR sebagai lembaga politik.Tetapi trek integritas dan keberanian yang dimiliki Abraham dan Bambang kemudian dipadukan dengan tiga komisioner lainnya, bisa menafikan semua keniscayaan kepentingan politik.

    Momentum Tokoh Muda

    Manakala berpijak pada pentingnya “momentum”, maka saatnyalah tokoh muda menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi. Sebab, selama ini begitu gampangnya negeri ini kehilangan momentum yang semestinya mendorong terjadinya perubahan yang betul-betul berguna bagi perbaikan penegakan hukum. Momentum bagi tokoh muda yang terbuka lebar ini,tak boleh disia-siakan.

    Paling tidak ada dua aspek yang perlu diatensi Abraham sebagai Ketua KPK. Pertama, aspek kolegial dalam mengambil keputusan yang harus bekerja secara bersama. Abraham harus mampu menekan ambisi pribadinya dengan cara memaksakan keinginannya, terutama saat terkejar waktu setahun tetapi belum berbuat apa-apa.Tanpa menafikan kepentingan tertentu, tetapi meyakinkan komisioner lainnya bahwa gebrakan untuk membongkar kasus besar tanpa tebang pulih adalah kerja tambahan Abraham.

    Kedua,pemikiran konstruktif yang terbentuk di benak Abraham terhadap skala prioritas kasus kakap yang harus diungkap belum tentu sepaham dengan komisioner lainnya. Apalagi, saat uji kelayakan, Abraham sempat mengungkap bahwa pimpinan KPK tidak boleh banyak berkomentar di media, yang dibutuhkan adalah kerja.

    Ungkapan itu menohok Busyro Muqoddas, yang tentu saja secara psikologis bisa berpengaruh dalam kerja sama keduanya. Selaku Ketua KPK,Abraham harus meyakinkan Busyro bahwa kepentingan institusi harus dijaga dari kemungkinan sorotan dan intervensi akibat pernyataan yang pada akhirnya tidak diimplementasi.

    Masih segar dalam ingatan, Busyro pernah berjanji akan ada tersangka baru dari kalangan DPR dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet, tetapi tersangka baru dimaksud tak pernah diumumkan. Pernyataan ke ruang publik yang tidak segera dibuktikan sudah pasti akan menjatuhkan citra institusi. Bagi publik, pelaksana hukum lebih diharapkan menunjukkan kinerjanya ketimbang bicara yang tidak pernah dibuktikan.

    Meski Abraham tergolong muda,kalau ia mampu memosisikan dirinya dengan baik di antara komisioner lain yang lebihsenior, bukantidakmungkin risiko pulang kampung tidak akan terjadi. Sembari mengawal KPK agar energi politik kekuasaan tidak memengaruhi dan melemahkan arah pemberantasan korupsi, boleh jadi negeri ini akan sedikit bernafas lega dari kungkungan koruptor. Kita tidak ingin kekuatan hegemonik terus menerus mengacak- acak rasa keadilan rakyat.

    Kepentingan Politik?

    Telah lama paradoks pemberantasan korupsi menyengsarakan rakyat. Korupsi yang semakin menggurita dalam realitasnya masih dihadapi dengan cara-cara biasa. Malah lebih sering dihadapi dengan menoleransi pelaku yang berasal dari elit politik dan kekuasaan. Proses penyidikan dan peradilan terkesan di-setting sesuai pesanan,sehingga tak mengherankan kalau banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas.

    Kepemimpinan KPK baru membuat harapan rakyat kembali menggunung, apalagi diketuai tokoh muda. Realitas menunjukkan, kepemimpinan KPK sebelumnya belum pernah menunjukkan kehebatannya dengan menggunakan kewenangan besar yang dimilikinya untuk membongkar kasus korupsi kelas kakap dengan jumlah kerugian uang negara yang besar.

    Rakyat berharap agar janji Abraham mampu diapresiasi secara kolegial untuk mengusut secara tuntas kasuskasus korupsi besar. KPK tak boleh hanya menangkap jaksa atau hakim yang menerima suap, sementara aparat hukum lain seperti polisi sama sekali tak tersentuh.Kasus rekening gendut perwira polisi yang diduga bermasalah, bisa dijadikan ukuran apakah Pimpinan KPK baru ini tidak diskriminatif.

    Pengungkapan kasus-kasus besar tidak boleh menjebak KPK ke ranah pertarungan politik untuk kepentingan Pemilihan Umum 2014.Abraham harus mampu berkelit dari jebakan itu sebab banyak kalangan yang sangsi,jangan-jangan Abraham dipilih ketua untuk kepentingan politik.Rakyat menanti gebrakan Abraham, bukan hanya memenuhi janjinya.

    Tetapi yang juga penting,menepis kemungkinan dijadikan boneka kepentingan politik. Publik juga sering membandingkan performa Busyro dengan yang digantikannya, Antasari Azhar yang berani menahan besan Presiden SBY.

    Apakah ini bisa dijadikan acuan untuk lebih menguatkan nyali Abraham? Ataukah pimpinan baru KPK itu hanya mengikuti genderang penguasa? Rakyat menanti bukti dan waktu jugalah yang menjawabnya.

  • Oligarki, Korupsi dan KPK

    Oligarki, Korupsi dan KPK
    J Danang Widoyoko, KOORDINATOR BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
    Sumber : SINDO, 7 Desember 2011
    Secara mengejutkan DPR memilih Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru menggantikan Busyro Muqoddas. Pilihan ini tidak diperkirakan sebelumnya karena Abraham Samad sebelumnya hanya seorang pengacara dan aktivis antikorupsi di Makassar.

    Belum banyak kiprahnya terdengar di tingkat nasional.Apalagi, ada nama-nama besar seperti Bambang Widjojanto atau Yunus Husein yang kemudian justru terpental. Sejauh ini tidak ada persoalan mengenai latar belakang Ketua KPK baru ini. Tidak (belum) ada komplain soal keterlibatannya dengan praktik korupsi atau pelanggaran etika lainnya di masa lalu. Dengan demikian,kita bisa berharap ia tidak memiliki beban untuk memimpin pemberantasan korupsi.

    Namun,KPK sesungguhnya berhadapan dengan kepentingan ekonomi politik elite yang selama ini bergantung dari praktik-praktik korupsi. Dalam konteks ini, sehebat apa pun pimpinan KPK, mereka belum tentu mampu menahan gempuran dan perlawanan dari koruptor yang mewakili kepentingan ekonomi politik elite.

    Korupsi dan Oligarki Predator

    Di balik tekanan publik untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus cek pelawat, kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin hingga kasus Century, KPK telah sampai pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan secara langsung kepentingan elite. Kasus-kasus besar itu terkait dengan pusat kekuasaan dan melibatkan jaringan kepentingan elite politik dan ekonomi negeri ini.

    KPK telah berhadapan dengan kepentingan oligarki predator pada kasuskasus besar itu. Oligarki tidak merujuk pada satu keluarga atau kekuatan politik tunggal melainkan aliansi cair antara kepentingan birokrasi, politisi, pengusaha dan kekuatan bersenjata yang dulu direpresentasikan oleh militer tetapi saat ini oleh polisi.

    Oligarki ini telah terbentuk dan dibesarkan oleh Orde Baru yang merentang dari istana hingga ke tingkat daerah (Hadiz&Robison, 2004). Selama ini oligarki predator hidup dari praktik mencari rente, mendapatkan fasilitas dan proteksi negara serta berbagai macam korupsi. Ketika Soeharto tumbang,sesungguhnya yang pergi hanya Soeharto sementara oligarki masih tetap utuh.

    Oligarki predator juga mampu mempertahankan jaringan dan dominasi hingga ke tingkat lokal di dalam kerangka politik yang baru,terutama setelah kebijakan otonomi daerah. Eliteelite politik lokal kini juga mulai mampu beradaptasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Di beberapa daerah elite politik lokal menjalin relasi yang erat dengan oligarki di tingkat nasional.

    Pertemuan kepentingan itu merupakan simbiosis yang saling menguntungkan. Oligarki membutuhkan dukungan di tingkat lokal karena dukungan ini sangat penting untuk memenangi politik elektoral. Desentralisasi yang mendelegasikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah menempatkan posisi elite lokal menjadi sangat penting bagi kepentingan oligarki. Misalnya, konsesi untuk mendapatkan kuasa pertambangan atau pembukaan lahan bagi perkebunan sawit.

    Di sisi lain,elite politik lokal membutuhkan dukungan dari oligarki untuk memastikan kepentingan mereka tidak terganggu. Elite politik lokal di Indonesia sangat tergantung pada anggaran publik yang diatur dengan sangat ketat pascaReformasi. Penguasaan elite lokal atas politik tidak akan ada artinya bila mereka dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya publik di tingkat lokal yang sangat penting untuk mempertahankan basis dukungan politik.

    Keberadaan KPK sesungguhnya adalah ancaman bagi konsolidasi oligarki dan keberlanjutan koalisi dengan elite lokal.KPK yang didesain sebagai lembaga independen dengan kekuasaan yang besar dalam penindakan terbukti mampu mengacakacak kerja sama ini. Eksistensi oligarki predator jugabisadilihatpadaparapengusaha terkaya di Indonesia. Praktis tidak ada wajah yang benar-benar baru dari para pengusaha terkaya di Indonesia.

    Reformasi ekonomi dan structural adjusment program (SAP) yang didorong oleh IMF pascakrisis ekonomi 1997 tidak berhasil mengubah struktur ekonomi Indonesia. Yang terjadi adalah bangkitnya kembali konglomerasi lama yang sempat terpuruk pada krisis finansial tahun 1997 lalu. Bahkan, seperti ditulis oleh Christian Chua dalam studinya tentang pengusaha China di Indonesia pascaReformasi (Chua, 2008), sistem demokrasi dan otonomi daerah justru memberikan jalan bagi konglomerasi lama untuk langsung mengakses sumber daya publik.

    Bila dulu mereka harus mendapatkannya melalui dan di bawah koordinasi Soeharto, kini mereka mampu melakukannya secara langsung. Sistem demokrasi justru melapangkan jalan bagi konglomerat untuk mengakumulasi modal. Demikian juga pengusaha pribumi yang dulu pada masa Orde Baru berada di bawah kendali Soeharto, kini justru malah dengan leluasa bisa mendominasi politik.

    Dalam konteks ini, keberadaan KPK jelas menjadi hambatan yang sangat nyata.KPK menjadi faktor yang berada di luar kontrol dan mampu mengancam kepentingan bisnis mereka. Kasus cek pelawat menjadi contoh riil bagaimana KPK telah mengganggu kepentingan bisnis oligarki. Karena dilindungi oleh kepentingan langsung oligarki, terutama kekuatan modal nasional dan regional, maka Nunun sangat sulit untuk ditangkap KPK.

    Mencegah Kompromi

    Berangkat dari kerangka pemikiran oligarki, maka korupsi bukanlah tindakan individual. Korupsi tidak didorong semata-mata untuk memperkaya diri sendiri atau hidup hedonis dan bergelimang harta. Korupsi adalah strategi untuk mempertahankan dominasi atas negara untuk mengontrol alokasi dan distribusi sumber daya publik.

    Oleh karena itu, korupsi tidak cukup diperangi melalui penegakan hukum, apalagi oleh KPK sendirian. Korupsi hanya bisa diberantas melalui gerakan sosial yang terus dilakukan tanpa kenal lelah. Mesin korupsi adalah kepentingan oligarki predator yang hanya bisa dimatikan melalui perlawanan terhadap praktik korupsi di semua lini.

    Abraham Samad yang dipilih sebagai Ketua KPK oleh DPR bisa dibaca bahwa ia dianggap mampu menjamin kepentingan oligarki predator. Abraham yang belum banyak dikenal oleh publik dianggap mampu mengamankan kepentingan politisi dan kepentingan predator dalam skala yang lebih luas.Tetapi, KPK bukan hanya dipimpin oleh satu orang melainkan oleh lima orang secara kolektif.

    Karena posisinya independen, KPK juga relatif otonom ketika melakukan penegakan hukum. Dan, tentu saja tekanan dan kritik dari publik harus terus dilakukan agar KPK tidak berkompromi dan menyerah ketika berhadapan dengan kepentingan predator.

  • Keluarga Berencana yang Manusiawi

    Keluarga Berencana yang Manusiawi
    Aloys Budi Purnomo, ROHANIWAN, BUDAYAWAN INTERRELIGIUS, ANGGOTA DEWAN PENASIHAT BKKBN JAWA TENGAH
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Desember 2011
    Kepala BKKBN mengingatkan, hanya dalam satu dekade, penduduk melonjak 32 juta jiwa lebih karena kita membiarkan terbengkalainya program keluarga berencana (KB). Diingatkan pula kemungkinan penduduk naik lipat dua mendekati 500 juta jiwa dalam 50 tahun ke depan. Lonjakan jumlah penduduk dan sinyalemen kegagalan program keluarga berencana (KB) menjadi ancaman masa depan demografis kita. Namun, kegagalan dan ancaman itu masih sangat terfokus pada kalkulasi jumlah dan angka kelahiran.

    Selama ini, ada anggapan, program KB kaitannya dengan lonjakan jumlah penduduk hanya dipahami pada pembatasan jumlah kelahiran. Itulah sebabnya, gagal mengerem laju pertumbuhan pendudukan akan dianggap sebagai kemunduran, bahkan kegagalan program. Benar, tanpa diimbangi kualitas, pertumbuhan penduduk tak terkendali akan menjadi beban dan menanam bencana, baik ekonomi maupun sosial politik. Benar pula, bahwa penduduk besar dengan dominasi struktur usia muda memang menjadi aset tak ternilai dan keunggulan kompetitif ekonomi.

    Dalam konteks ini, pertanyaan serius harus diajukan dan dijawab. Apakah program KB hanya sekadar merupakan pembatasan kelahiran? Apakah sebetulnya yang menjadi inti pokok dari program itu yang benar dan sejati menurut perspektif moral kultural religius?

    Secara moral kultural religius, adalah suatu kesalahan fundamental, bila program KB hanya dipahami pada soal pembatasan jumlah kelahiran anak. Perspektif yang sempit, maka laju pertumbuhan penduduk harus direm, merupakan sesat pikir. Ekspresinya, gagal mengerem laju pertumbuhan penduduk adalah kemunduran atau kegagalan program KB pula.

    Logika selanjutnya, pertumbuhan penduduk tak terkendali adalah beban, bahkan ancaman bencana masa depan. Lonjakan jumlah penduduk identik dengan program KB yang terbengkalai, bahkan gagal! Apakah memang demikian?

    Mari kita tempatkan kesejatian program KB bukan semata-mata dalam ranah pembatasan kelahiran atau jumlah penduduk. Program ini harus diletakkan dalam konteks membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera dalam semangat keadilan dan menghargai martabat kehidupan.

    Program KB adalah perencanaan matang, cermat, dan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam rangka keluarga bahagia dan sejahtera.  Itulah sesungguhnya, inti dan maksud program yang sejati. Ketika suami istri merancang kehidupan keluarganya secara matang, cermat, dan manusiawi, berapa pun jumlah anak yang dianugerahkan Tuhan bukanlah beban melainkan berkat. Dengan demikian, suami istri tidak terjebak dalam upaya membatasi jumlah anak, apalagi dengan menghalalkan segala cara yang kemudian mengabaikan aspek moral dan kemanusiaan.

    Pengaturan Kelahiran

    Hakikat KB bukan pembatasan kelahiran, melainkan pengaturan kelahiran (birth control). Pengaturan kelahiran tidak sama dan jangan dipersempit menjadi pembatasan jumlah kelahiran anak. Salah kaprah pemahaman hakikat KB sebagai pembatasan jumlah anak, apalagi dengan penggunaan alat kontrasepsi, secara moral kehidupan justru melanggar prinsip-prinsip etis humanis religius.

    Program KB yang benar, bertanggung jawab, dan manusiawi tidak hanya sekadar pembatasan kelahiran dan jumlah anak tetapi strategi merancang semua aspek dan dimensi kehidupan keluarga. Bahkan, sekiranya proses pengaturan kelahiran dilakukan, prinsip etis humanis religius harus menjadi pegangan utama.

    Tanggung jawab pengaturan kelahiran lalu tidak pertama-tama diatur oleh pemerintah, tapi oleh suami istri. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dengan mempersiapkan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan demi perkembangan masa depannya.

    Prinsipnya, KB adalah upaya dan usaha mencapai kesejahteraan jasmani dan rohani bagi seluruh anggota keluarga, melalui perencanaan yang matang dan bijaksana. Lebih dari sifat etatistik, campur tangan pemerintah yang terlalu dominan, prinsip subsidiaritas dan solidaritaslah yang harus dikembangkan. Cara-cara yang bersifat abortif dan sterilisasi (pengguguran dan pemandulan) harus dihindari. Cara-cara ini merendahkan martabat kehidupan dan berlawanan dengan hidup manusiawi.

    Peran pemerintah mestinya difokuskan pada penyediaan segala infrastruktur yang dibutuhkan untuk menopang penduduk agar mereka hidup bahagia dan sejahtera dari sisi ekonomi, sosial, dan politik. Infrastruktur itu tak terbatas pada aspek pangan dan air bersih, tapi juga papan dan penyediaan lapangan kerja. Benar, dalam arti ini, pemerintah memang belum maksimal mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, untuk tidak mengatakan gagal mewujudkan program KB secara benar.

    Karenanya, peran pemerintah mengatasi kegagalan program KB adalah dengan meningkatkan tersedianya berbagai fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi. Propaganda program KB sebagai pembatasan kelahiran dan jumlah anak harus diganti dengan implementasi kesejahteraan dan peningkatan sarana prasarana yang menunjang perencanaan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

  • Menakar KPK Selera DPR

    Menakar KPK Selera DPR
    Agus Riewanto, KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM UNS SURAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Desember 2011
    Keterpilihan Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru ini menyiratkan Komisi III DPR lebih mengutamakan energi baru dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana prospek pimpinan baru komisi antikorupsi itu, dengan melihat konstelasi mutakhir politik hukum dalam pemberantasan korupsi lima tahun ke depan?

    Pilihan DPR itu lebih pada sosok yang belum populer, belum memiliki prestasi besar, dan bukan tokoh nasional. Kelebihannya masih muda, baru berusia 45 tahun pada 27 November lalu dan belum terkontaminasi oleh kekuasaan politik. Dia mengungguli Bambang Widjojanto, rangking I seleksi versi pansel bentukan pemerintah. Ketidakterpilihan Bambang lebih disebabkan kedekatannya dengan pegiat sejumlah LSM antikorupsi dan membuat takut DPR.

    Busyro Muqoddas tak diminati karena terlalu keras mengkritik anggota DPR, yang disebutnya hedonis dan boros. Adapun Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Aryanto Sutadi dianggapnya telah terlibat jauh dengan kekuasaan politik. Posisi itu mereka khawatirkan mudah menjegal kekuatan politik di parlemen.

    Lebih dari itu, ketiganya di mata DPR tak memiliki rekam jejak prestasi luar biasa. Husein saat memimpin PPATK dinilai tak berhasil mendorong transparansi rekening pejabat publik yang diduga korup. Abdullah Hehamahua sebagai Penasihat KPK gagal mendorong lembaganya mengusut kasus-kasus besar korupsi, dan Aryanto Sutadi disebut dalam beberapa kasus gratifikasi saat menjabat di Polri.

    Pilihan terhadap pimpinan baru KPK itu bukannya tanpa cacat mengingat keterpilihan mereka adalah hasil kompromi elite politik di parlemen, terutama anggota setgab koalisi parpol pendukung pemerintah, yang terdiri atas PD, PKB, PAN, PKS, PPP, dan Golkar. Hal itu bisa terlihat saat molornya rapat Komisi III dalam voting.

    Bahkan, jauh sebelumnya lobi-lobi intensif telah dilakukan di kantor setgab untuk menyamakan persepsi. Kelima pimpinan baru itu tampaknya dianggap paling bisa mengakomodasi kepentingan politik partai-partai di DPR agar selamat dari gempuran KPK lima tahun ke depan.

    Terpilihnya Abraham Samad juga mencerminkan betapa DPR tak cukup memiliki komitmen memberantas karena wajah baru tersebut dianggap lebih mudah dititipi kepentingan politik. Lain halnya bila Bambang Widjojanto yang terpilih yang ketegasan sikapnya dapat membahayakan posisi politik partai di DPR dan nasib pemerintahan SBY. Apalagi 2012-2014 adalah tahun krusial politik nasional. Dalam tiga tahun kecenderungan korupsi kekuasaan dan anggaran negara pasti cukup besar dari politikus dan birokrat guna mengisi pundi-pundi guna penggalangan kekuatan politik menuju Pemilu 2014. Di titik ini, dugaan adanya kepentingan menempatkan sosok yang sesuai dengan selera DPR dan pemerintah menemukan relevansinya.

    Model Pencegahan

    Tantangan pimpinan baru KPK adalah keberanian mengusut kasus-kasus besar yang selama ini dibentengi kekuatan politik. Misalnya, kasus bailout Bank Century, korupsi wisma atlet SEA Games, mafia pajak, dan kasus cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.

    Jika Abraham Samad dan komisioner lainnya bisa mengusut tuntas sejumlah megaskandal, hal itu dapat memulihkan citra pemberantasan korupsi yang selama ini cenderung tebang piilih dan penuh rekayasa politik. Namun bila gagal maka pergantian pimpinan KPK itu hanyalah rutinitas sebagaimana layaknya pergantian kepengurusan organisasi.

    Nakhoda baru komisi antikorupsi itu dituntut segera menyinergikan relasi penegakan hukum, bersama Polri dan kejaksaan mengingat selama ini sinergi itu tidak berjalan karena egosektoral masing-masing institusi. Publik juga berharap pimpinan baru KPK mampu mengubah pemberantasan korupsi menjadi model pencegahan, seperti dilakukan China, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru.

    Upaya itu bisa dilakukan dengan mendorong reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, remunerasi pada semua insitusi pelayanan publik, pembatasan transaksi tunai bagi pejabat publik dan menggantinya lewat rekening bank, serta merancang ’’kurikulum’’ antikorupsi pada semua lini lembaga pendidikan.

    Apakah pimpinan baru komisi antikorupsi itu bisa mewujudkan harapan masyarakat agar negeri ini segera beranjak dari indeks korupsi yang anjlok menuju negara yang bersih? Sejarahlah yang akan mengujinya.