JAKARTA POST, 7 Desember 2011
http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/07/kpk-could-go-full-strength-with-fresh-blood.html
Didasarkan pada pengumuman Kementerian Hukum dan HAM, ada Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang dinyatakan sudah memenuhi syarat sebagai badan hukum, dua partai lainnya, Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI,masih diberi tenggat waktu untuk memenuhi persyaratan. Fenomena kemunculan partai baru ini selalu menarik untuk dicermati.
Kehadirannya dalam pemilu selalu mengundang berbagai reaksi, dari yang memandang sebelah mata sampai ada yang menjadikannya ‘pelarian’ akibat kecewa terhadap pilihan yang lama. Secara empiris, sejarah elektoral kita pascareformasi memang membuktikan tidak banyak partai baru yang bisa langsung ‘unjuk gigi’.
Prospek Pasar Elektoral
Layaknya produk komersial yang baru diluncurkan, peluang partai baru juga ditentukan oleh seberapa besar pangsa pasar yang belum tergarap oleh para ‘pemain’ lama.Selain itu, kemampuan partai baru untuk menghadirkan diferensiasi juga akan menentukan kuatnya posisi mereka untuk masuk dalam arena kompetisi. Dilihat dari pangsa pasar pemilih, ada beberapa kondisi yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh partai baru.
Tingginya angka swing voters, tingginya angka undecided voters, dan rendahnya tingkat Party ID menunjukkan bahwa hukum pasar masih berlaku. Sebagian besar dari segmen pemilih ternyata masih bisa mengubah pilihannya, termasuk kepada aktor baru yang muncul apabila dirasakan lebih menguntungkan dirinya.
Tingginya angka swingvoters (suara mengambang) misalnya bisa dilihat di survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Mei 2011 yang memperlihatkan hanya sedikit partai yang bisa mempertahankan pemilihnya dari 2009 sampai sekarang. Hanya Golkar, PDIP, dan PPP yang berhasil mempertahankan pemilih 2009 sampai di atas angka 70%.
Padahal Pemilu 2009 baru dilakukan belum sampai dua tahun sampai dengan saat survei dilakukan. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa pemenang pemilu legislatif dari tahun 1999 selalu berubah. Bisa dikatakan, tidak ada satu partai yang bisa mengklaim bahwa mereka memiliki captive market yang bersifat solid dan loyal. Selain itu, beberapa hasil survei juga menunjukkan bahwa pemilih kebanyakan masih belum menentukan pilihannya terhadap salah satu partai.
Undecided voters masih menjadi ‘partai’ pemenang survei. Masih dalam survei nasional LSI bulan Mei 2011, pemilih yang belum menentukan pilihan masih berada di angka 29,6%,jauh lebih tinggi dibandingkan semua partai yang menjadi pilihan. Tingkat loyalitas pemilih juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh partai-partai selama ini.Tingkat Party ID (perasaan kedekatan dengan partai) hanya berkisar di angka 20-30 persen.
Angka ini jauh di bawah tingkat Party ID di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia yang pemilihnya cenderung sudah lebih solid dalam menentukan pilihan. Kondisi ini tidak serta-merta akan menguntungkan partai baru secara elektoral.Peluang ini hanya bisa dimanfaatkan dengan kejelian partai dalam menampilkan diferensiasi yang bisa menjawab kekecewaan pemilih selama ini.
Diferensiasi ini bisa berupa brand, kebijakan dan pesan politik yang tentu saja orientasinya adalah konsumen (Lees-Marshment, 2001). Brand di sini bukan hanya terbatas pada institutional branding sebagai sebuah partai,tapi perlu diimbangi pula dengan variabel personal branding yang berfungsi sebagai magnet elektoral.
Bisa dilihat bagaimana kekuatan personal branding seorang SBY,Prabowo,dan Wiranto bisa menjadi faktor pendongkrak Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura dalam keikutsertaan mereka sebagai partai baru dalam pemilu. Selain itu variabel ‘infrastruktur politik’ juga masih sangat berpengaruh buat partai melakukan penguasaan secara elektoral di tingkat daerah.
Jaringan tokoh-tokoh daerah yang mengakar akan menjadi saluran informasi yang paling baik bagi partai baru untuk bisa menyampaikan kebijakan dan pesan politik untuk merebut hari pemilih (O’Shaughnessy, 2001).
Hambatan Sistem
Di luar segala peluang yang terbuka lebar,partai baru juga akan menghadapi beberapa tantangan teknis ataupun sistemik. Sudah menjadi sebuah konsekuensi yang harus diemban bahwa partai baru akan lebih sulit beradaptasi dengan aturan-aturan pemilu yang ada. Seperti kita ketahui, DPR sedang menggodok revisi UU pemilu legislatif yang baru sampai beberapa bulan mendatang.
Disinyalir akan muncul revisi yang akan menaikkan angka parliamentary threshold (PT) dan pengecilan jumlah kursi per daerah pemilihan yang tentu saja akan lebih menguntungkan buat partai besar secara elektoral. Naiknya ambang batas dan pemberlakuan PT sampai di level DPRD provinsi dan kabupaten/ kota akan menghadapkan partai baru dalam ‘zero-sum game’.
Kegagalan mencapai persyaratan PT akan memberangus suara partai sampai ke level daerah. Sementara itu pengurangan jumlah kursi per daerah pemilihan akan berdampak pada ‘pengetatan’ sistem kompetisi per daerah pemilihan. Masih banyak permasalahan lain yang akan menjadi tantangan buat partai baru untuk bisa tampil eksis di Pemilu 2014 nanti.
Tantangan yang tidak bisa sekadar dikeluhkan dan harus diatasi apabila memang target mereka adalah membuat perubahan besar, bukan sekadar menjadi kembang penghias pemilu semata. ●
Malah, dia berjanji akan mundur jika dalam setahun tidak melakukan gebrakan atau menuntaskan kasus-kasus besar. Janji yang tergolong nekat paling tidak akan menjadi dinamika tersendiri bagi KPK yang selama dua tahun terakhir mendapat sorotan lantaran tidak mampu mengungkap kasuskasus besar yang jadi perhatian publik.
Tentu ada yang optimistis, ada pula yang skeptis jika dengan kaca mata kuda melihat Komisi III DPR sebagai lembaga politik.Tetapi trek integritas dan keberanian yang dimiliki Abraham dan Bambang kemudian dipadukan dengan tiga komisioner lainnya, bisa menafikan semua keniscayaan kepentingan politik.
Momentum Tokoh Muda
Manakala berpijak pada pentingnya “momentum”, maka saatnyalah tokoh muda menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi. Sebab, selama ini begitu gampangnya negeri ini kehilangan momentum yang semestinya mendorong terjadinya perubahan yang betul-betul berguna bagi perbaikan penegakan hukum. Momentum bagi tokoh muda yang terbuka lebar ini,tak boleh disia-siakan.
Paling tidak ada dua aspek yang perlu diatensi Abraham sebagai Ketua KPK. Pertama, aspek kolegial dalam mengambil keputusan yang harus bekerja secara bersama. Abraham harus mampu menekan ambisi pribadinya dengan cara memaksakan keinginannya, terutama saat terkejar waktu setahun tetapi belum berbuat apa-apa.Tanpa menafikan kepentingan tertentu, tetapi meyakinkan komisioner lainnya bahwa gebrakan untuk membongkar kasus besar tanpa tebang pulih adalah kerja tambahan Abraham.
Kedua,pemikiran konstruktif yang terbentuk di benak Abraham terhadap skala prioritas kasus kakap yang harus diungkap belum tentu sepaham dengan komisioner lainnya. Apalagi, saat uji kelayakan, Abraham sempat mengungkap bahwa pimpinan KPK tidak boleh banyak berkomentar di media, yang dibutuhkan adalah kerja.
Ungkapan itu menohok Busyro Muqoddas, yang tentu saja secara psikologis bisa berpengaruh dalam kerja sama keduanya. Selaku Ketua KPK,Abraham harus meyakinkan Busyro bahwa kepentingan institusi harus dijaga dari kemungkinan sorotan dan intervensi akibat pernyataan yang pada akhirnya tidak diimplementasi.
Masih segar dalam ingatan, Busyro pernah berjanji akan ada tersangka baru dari kalangan DPR dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet, tetapi tersangka baru dimaksud tak pernah diumumkan. Pernyataan ke ruang publik yang tidak segera dibuktikan sudah pasti akan menjatuhkan citra institusi. Bagi publik, pelaksana hukum lebih diharapkan menunjukkan kinerjanya ketimbang bicara yang tidak pernah dibuktikan.
Meski Abraham tergolong muda,kalau ia mampu memosisikan dirinya dengan baik di antara komisioner lain yang lebihsenior, bukantidakmungkin risiko pulang kampung tidak akan terjadi. Sembari mengawal KPK agar energi politik kekuasaan tidak memengaruhi dan melemahkan arah pemberantasan korupsi, boleh jadi negeri ini akan sedikit bernafas lega dari kungkungan koruptor. Kita tidak ingin kekuatan hegemonik terus menerus mengacak- acak rasa keadilan rakyat.
Kepentingan Politik?
Telah lama paradoks pemberantasan korupsi menyengsarakan rakyat. Korupsi yang semakin menggurita dalam realitasnya masih dihadapi dengan cara-cara biasa. Malah lebih sering dihadapi dengan menoleransi pelaku yang berasal dari elit politik dan kekuasaan. Proses penyidikan dan peradilan terkesan di-setting sesuai pesanan,sehingga tak mengherankan kalau banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas.
Kepemimpinan KPK baru membuat harapan rakyat kembali menggunung, apalagi diketuai tokoh muda. Realitas menunjukkan, kepemimpinan KPK sebelumnya belum pernah menunjukkan kehebatannya dengan menggunakan kewenangan besar yang dimilikinya untuk membongkar kasus korupsi kelas kakap dengan jumlah kerugian uang negara yang besar.
Rakyat berharap agar janji Abraham mampu diapresiasi secara kolegial untuk mengusut secara tuntas kasuskasus korupsi besar. KPK tak boleh hanya menangkap jaksa atau hakim yang menerima suap, sementara aparat hukum lain seperti polisi sama sekali tak tersentuh.Kasus rekening gendut perwira polisi yang diduga bermasalah, bisa dijadikan ukuran apakah Pimpinan KPK baru ini tidak diskriminatif.
Pengungkapan kasus-kasus besar tidak boleh menjebak KPK ke ranah pertarungan politik untuk kepentingan Pemilihan Umum 2014.Abraham harus mampu berkelit dari jebakan itu sebab banyak kalangan yang sangsi,jangan-jangan Abraham dipilih ketua untuk kepentingan politik.Rakyat menanti gebrakan Abraham, bukan hanya memenuhi janjinya.
Tetapi yang juga penting,menepis kemungkinan dijadikan boneka kepentingan politik. Publik juga sering membandingkan performa Busyro dengan yang digantikannya, Antasari Azhar yang berani menahan besan Presiden SBY.
Apakah ini bisa dijadikan acuan untuk lebih menguatkan nyali Abraham? Ataukah pimpinan baru KPK itu hanya mengikuti genderang penguasa? Rakyat menanti bukti dan waktu jugalah yang menjawabnya. ●
Namun,KPK sesungguhnya berhadapan dengan kepentingan ekonomi politik elite yang selama ini bergantung dari praktik-praktik korupsi. Dalam konteks ini, sehebat apa pun pimpinan KPK, mereka belum tentu mampu menahan gempuran dan perlawanan dari koruptor yang mewakili kepentingan ekonomi politik elite.
Korupsi dan Oligarki Predator
Di balik tekanan publik untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus cek pelawat, kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin hingga kasus Century, KPK telah sampai pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan secara langsung kepentingan elite. Kasus-kasus besar itu terkait dengan pusat kekuasaan dan melibatkan jaringan kepentingan elite politik dan ekonomi negeri ini.
KPK telah berhadapan dengan kepentingan oligarki predator pada kasuskasus besar itu. Oligarki tidak merujuk pada satu keluarga atau kekuatan politik tunggal melainkan aliansi cair antara kepentingan birokrasi, politisi, pengusaha dan kekuatan bersenjata yang dulu direpresentasikan oleh militer tetapi saat ini oleh polisi.
Oligarki ini telah terbentuk dan dibesarkan oleh Orde Baru yang merentang dari istana hingga ke tingkat daerah (Hadiz&Robison, 2004). Selama ini oligarki predator hidup dari praktik mencari rente, mendapatkan fasilitas dan proteksi negara serta berbagai macam korupsi. Ketika Soeharto tumbang,sesungguhnya yang pergi hanya Soeharto sementara oligarki masih tetap utuh.
Oligarki predator juga mampu mempertahankan jaringan dan dominasi hingga ke tingkat lokal di dalam kerangka politik yang baru,terutama setelah kebijakan otonomi daerah. Eliteelite politik lokal kini juga mulai mampu beradaptasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Di beberapa daerah elite politik lokal menjalin relasi yang erat dengan oligarki di tingkat nasional.
Pertemuan kepentingan itu merupakan simbiosis yang saling menguntungkan. Oligarki membutuhkan dukungan di tingkat lokal karena dukungan ini sangat penting untuk memenangi politik elektoral. Desentralisasi yang mendelegasikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah menempatkan posisi elite lokal menjadi sangat penting bagi kepentingan oligarki. Misalnya, konsesi untuk mendapatkan kuasa pertambangan atau pembukaan lahan bagi perkebunan sawit.
Di sisi lain,elite politik lokal membutuhkan dukungan dari oligarki untuk memastikan kepentingan mereka tidak terganggu. Elite politik lokal di Indonesia sangat tergantung pada anggaran publik yang diatur dengan sangat ketat pascaReformasi. Penguasaan elite lokal atas politik tidak akan ada artinya bila mereka dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya publik di tingkat lokal yang sangat penting untuk mempertahankan basis dukungan politik.
Keberadaan KPK sesungguhnya adalah ancaman bagi konsolidasi oligarki dan keberlanjutan koalisi dengan elite lokal.KPK yang didesain sebagai lembaga independen dengan kekuasaan yang besar dalam penindakan terbukti mampu mengacakacak kerja sama ini. Eksistensi oligarki predator jugabisadilihatpadaparapengusaha terkaya di Indonesia. Praktis tidak ada wajah yang benar-benar baru dari para pengusaha terkaya di Indonesia.
Reformasi ekonomi dan structural adjusment program (SAP) yang didorong oleh IMF pascakrisis ekonomi 1997 tidak berhasil mengubah struktur ekonomi Indonesia. Yang terjadi adalah bangkitnya kembali konglomerasi lama yang sempat terpuruk pada krisis finansial tahun 1997 lalu. Bahkan, seperti ditulis oleh Christian Chua dalam studinya tentang pengusaha China di Indonesia pascaReformasi (Chua, 2008), sistem demokrasi dan otonomi daerah justru memberikan jalan bagi konglomerasi lama untuk langsung mengakses sumber daya publik.
Bila dulu mereka harus mendapatkannya melalui dan di bawah koordinasi Soeharto, kini mereka mampu melakukannya secara langsung. Sistem demokrasi justru melapangkan jalan bagi konglomerat untuk mengakumulasi modal. Demikian juga pengusaha pribumi yang dulu pada masa Orde Baru berada di bawah kendali Soeharto, kini justru malah dengan leluasa bisa mendominasi politik.
Dalam konteks ini, keberadaan KPK jelas menjadi hambatan yang sangat nyata.KPK menjadi faktor yang berada di luar kontrol dan mampu mengancam kepentingan bisnis mereka. Kasus cek pelawat menjadi contoh riil bagaimana KPK telah mengganggu kepentingan bisnis oligarki. Karena dilindungi oleh kepentingan langsung oligarki, terutama kekuatan modal nasional dan regional, maka Nunun sangat sulit untuk ditangkap KPK.
Mencegah Kompromi
Berangkat dari kerangka pemikiran oligarki, maka korupsi bukanlah tindakan individual. Korupsi tidak didorong semata-mata untuk memperkaya diri sendiri atau hidup hedonis dan bergelimang harta. Korupsi adalah strategi untuk mempertahankan dominasi atas negara untuk mengontrol alokasi dan distribusi sumber daya publik.
Oleh karena itu, korupsi tidak cukup diperangi melalui penegakan hukum, apalagi oleh KPK sendirian. Korupsi hanya bisa diberantas melalui gerakan sosial yang terus dilakukan tanpa kenal lelah. Mesin korupsi adalah kepentingan oligarki predator yang hanya bisa dimatikan melalui perlawanan terhadap praktik korupsi di semua lini.
Abraham Samad yang dipilih sebagai Ketua KPK oleh DPR bisa dibaca bahwa ia dianggap mampu menjamin kepentingan oligarki predator. Abraham yang belum banyak dikenal oleh publik dianggap mampu mengamankan kepentingan politisi dan kepentingan predator dalam skala yang lebih luas.Tetapi, KPK bukan hanya dipimpin oleh satu orang melainkan oleh lima orang secara kolektif.
Karena posisinya independen, KPK juga relatif otonom ketika melakukan penegakan hukum. Dan, tentu saja tekanan dan kritik dari publik harus terus dilakukan agar KPK tidak berkompromi dan menyerah ketika berhadapan dengan kepentingan predator. ●
Selama ini, ada anggapan, program KB kaitannya dengan lonjakan jumlah penduduk hanya dipahami pada pembatasan jumlah kelahiran. Itulah sebabnya, gagal mengerem laju pertumbuhan pendudukan akan dianggap sebagai kemunduran, bahkan kegagalan program. Benar, tanpa diimbangi kualitas, pertumbuhan penduduk tak terkendali akan menjadi beban dan menanam bencana, baik ekonomi maupun sosial politik. Benar pula, bahwa penduduk besar dengan dominasi struktur usia muda memang menjadi aset tak ternilai dan keunggulan kompetitif ekonomi.
Dalam konteks ini, pertanyaan serius harus diajukan dan dijawab. Apakah program KB hanya sekadar merupakan pembatasan kelahiran? Apakah sebetulnya yang menjadi inti pokok dari program itu yang benar dan sejati menurut perspektif moral kultural religius?
Secara moral kultural religius, adalah suatu kesalahan fundamental, bila program KB hanya dipahami pada soal pembatasan jumlah kelahiran anak. Perspektif yang sempit, maka laju pertumbuhan penduduk harus direm, merupakan sesat pikir. Ekspresinya, gagal mengerem laju pertumbuhan penduduk adalah kemunduran atau kegagalan program KB pula.
Logika selanjutnya, pertumbuhan penduduk tak terkendali adalah beban, bahkan ancaman bencana masa depan. Lonjakan jumlah penduduk identik dengan program KB yang terbengkalai, bahkan gagal! Apakah memang demikian?
Program KB adalah perencanaan matang, cermat, dan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam rangka keluarga bahagia dan sejahtera. Itulah sesungguhnya, inti dan maksud program yang sejati. Ketika suami istri merancang kehidupan keluarganya secara matang, cermat, dan manusiawi, berapa pun jumlah anak yang dianugerahkan Tuhan bukanlah beban melainkan berkat. Dengan demikian, suami istri tidak terjebak dalam upaya membatasi jumlah anak, apalagi dengan menghalalkan segala cara yang kemudian mengabaikan aspek moral dan kemanusiaan.
Pengaturan Kelahiran
Hakikat KB bukan pembatasan kelahiran, melainkan pengaturan kelahiran (birth control). Pengaturan kelahiran tidak sama dan jangan dipersempit menjadi pembatasan jumlah kelahiran anak. Salah kaprah pemahaman hakikat KB sebagai pembatasan jumlah anak, apalagi dengan penggunaan alat kontrasepsi, secara moral kehidupan justru melanggar prinsip-prinsip etis humanis religius.
Program KB yang benar, bertanggung jawab, dan manusiawi tidak hanya sekadar pembatasan kelahiran dan jumlah anak tetapi strategi merancang semua aspek dan dimensi kehidupan keluarga. Bahkan, sekiranya proses pengaturan kelahiran dilakukan, prinsip etis humanis religius harus menjadi pegangan utama.
Tanggung jawab pengaturan kelahiran lalu tidak pertama-tama diatur oleh pemerintah, tapi oleh suami istri. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dengan mempersiapkan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan demi perkembangan masa depannya.
Prinsipnya, KB adalah upaya dan usaha mencapai kesejahteraan jasmani dan rohani bagi seluruh anggota keluarga, melalui perencanaan yang matang dan bijaksana. Lebih dari sifat etatistik, campur tangan pemerintah yang terlalu dominan, prinsip subsidiaritas dan solidaritaslah yang harus dikembangkan. Cara-cara yang bersifat abortif dan sterilisasi (pengguguran dan pemandulan) harus dihindari. Cara-cara ini merendahkan martabat kehidupan dan berlawanan dengan hidup manusiawi.
Peran pemerintah mestinya difokuskan pada penyediaan segala infrastruktur yang dibutuhkan untuk menopang penduduk agar mereka hidup bahagia dan sejahtera dari sisi ekonomi, sosial, dan politik. Infrastruktur itu tak terbatas pada aspek pangan dan air bersih, tapi juga papan dan penyediaan lapangan kerja. Benar, dalam arti ini, pemerintah memang belum maksimal mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, untuk tidak mengatakan gagal mewujudkan program KB secara benar.
Karenanya, peran pemerintah mengatasi kegagalan program KB adalah dengan meningkatkan tersedianya berbagai fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi. Propaganda program KB sebagai pembatasan kelahiran dan jumlah anak harus diganti dengan implementasi kesejahteraan dan peningkatan sarana prasarana yang menunjang perencanaan keluarga yang bahagia dan sejahtera. ●
Pilihan DPR itu lebih pada sosok yang belum populer, belum memiliki prestasi besar, dan bukan tokoh nasional. Kelebihannya masih muda, baru berusia 45 tahun pada 27 November lalu dan belum terkontaminasi oleh kekuasaan politik. Dia mengungguli Bambang Widjojanto, rangking I seleksi versi pansel bentukan pemerintah. Ketidakterpilihan Bambang lebih disebabkan kedekatannya dengan pegiat sejumlah LSM antikorupsi dan membuat takut DPR.
Busyro Muqoddas tak diminati karena terlalu keras mengkritik anggota DPR, yang disebutnya hedonis dan boros. Adapun Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Aryanto Sutadi dianggapnya telah terlibat jauh dengan kekuasaan politik. Posisi itu mereka khawatirkan mudah menjegal kekuatan politik di parlemen.
Lebih dari itu, ketiganya di mata DPR tak memiliki rekam jejak prestasi luar biasa. Husein saat memimpin PPATK dinilai tak berhasil mendorong transparansi rekening pejabat publik yang diduga korup. Abdullah Hehamahua sebagai Penasihat KPK gagal mendorong lembaganya mengusut kasus-kasus besar korupsi, dan Aryanto Sutadi disebut dalam beberapa kasus gratifikasi saat menjabat di Polri.
Pilihan terhadap pimpinan baru KPK itu bukannya tanpa cacat mengingat keterpilihan mereka adalah hasil kompromi elite politik di parlemen, terutama anggota setgab koalisi parpol pendukung pemerintah, yang terdiri atas PD, PKB, PAN, PKS, PPP, dan Golkar. Hal itu bisa terlihat saat molornya rapat Komisi III dalam voting.
Bahkan, jauh sebelumnya lobi-lobi intensif telah dilakukan di kantor setgab untuk menyamakan persepsi. Kelima pimpinan baru itu tampaknya dianggap paling bisa mengakomodasi kepentingan politik partai-partai di DPR agar selamat dari gempuran KPK lima tahun ke depan.
Terpilihnya Abraham Samad juga mencerminkan betapa DPR tak cukup memiliki komitmen memberantas karena wajah baru tersebut dianggap lebih mudah dititipi kepentingan politik. Lain halnya bila Bambang Widjojanto yang terpilih yang ketegasan sikapnya dapat membahayakan posisi politik partai di DPR dan nasib pemerintahan SBY. Apalagi 2012-2014 adalah tahun krusial politik nasional. Dalam tiga tahun kecenderungan korupsi kekuasaan dan anggaran negara pasti cukup besar dari politikus dan birokrat guna mengisi pundi-pundi guna penggalangan kekuatan politik menuju Pemilu 2014. Di titik ini, dugaan adanya kepentingan menempatkan sosok yang sesuai dengan selera DPR dan pemerintah menemukan relevansinya.
Model Pencegahan
Tantangan pimpinan baru KPK adalah keberanian mengusut kasus-kasus besar yang selama ini dibentengi kekuatan politik. Misalnya, kasus bailout Bank Century, korupsi wisma atlet SEA Games, mafia pajak, dan kasus cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.
Jika Abraham Samad dan komisioner lainnya bisa mengusut tuntas sejumlah megaskandal, hal itu dapat memulihkan citra pemberantasan korupsi yang selama ini cenderung tebang piilih dan penuh rekayasa politik. Namun bila gagal maka pergantian pimpinan KPK itu hanyalah rutinitas sebagaimana layaknya pergantian kepengurusan organisasi.
Upaya itu bisa dilakukan dengan mendorong reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, remunerasi pada semua insitusi pelayanan publik, pembatasan transaksi tunai bagi pejabat publik dan menggantinya lewat rekening bank, serta merancang ’’kurikulum’’ antikorupsi pada semua lini lembaga pendidikan.
Apakah pimpinan baru komisi antikorupsi itu bisa mewujudkan harapan masyarakat agar negeri ini segera beranjak dari indeks korupsi yang anjlok menuju negara yang bersih? Sejarahlah yang akan mengujinya. ●