Author: Adul

  • Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah

    Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah
    Ginus Partadiredja, STAF PENGAJAR PROGRAM STUDI S2 ILMU KEDOKTERAN DASAR DAN BIOMEDIS, FAKULTAS KEDOKTERAN UGM YOGYAKARTA
    SUMBER : REPUBLIKA, 6 Maret 2012
    Baru-baru ini, Ditjen Dikti Kemendiknas mengeluarkan surat edaran (No 152/E/T/2012) yang mewajibkan publikasi skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Sebagai sebuah langkah untuk memacu publikasi ilmiah, kebijakan ini patut diparesiasi. Hanya saja, ada banyak catatan yang perlu diperhatikan sebelum kebijakan ini diimplementasikan.
    Beberapa di antaranya sudah disuarakan oleh kalangan akademisi, seperti terbatasnya jumlah jurnal ilmiah di Indonesia untuk menampung semua produk karya ilmiah perguruan tinggi (PT). Selain itu, juga soal waktu tunggu penerbitan yang bisa lebih dari satu tahun sejak makalah dikirim, di-review, diperbaiki, diserahkan kembali, dinyatakan diterima, hingga dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi penghambat kelulusan mahasiswa.
    Titik Lemah
    Sebenarnya, sebuah publikasi ilmiah hanyalah merupakan ujung produk dari proses panjang sebuah penelitian. Masalah publikasi dalam jurnal hanya merupakan masalah hilir dari serangkaian masalah hulu dunia penelitian di perguruan tinggi (PT). Apabila pemerintah berkomitmen untuk membenahi masalah publikasi ilmiah di PT, seharus nya tidak memecahkan masalah tersebut secara parsial di muaranya saja, tetapi juga berupaya mengurai masalah secara komprehensif mulai dari pangkalnya.
    Beberapa masalah pokok di hulu yang dapat diinventarisasi adalah, pertama, kebiasaan/budaya menulis yang tidak begitu menggembirakan di kalangan dosen maupun mahasiswa. Bagaimanapun harus diakui bahwa kebiasaan menulis yang lemah ini berakar dari pola pendidikan sejak pendidikan dasar yang tak banyak memberi ruang untuk berlatih menulis atau mengarang.
    Kedua, dosen sangat sibuk mengurusi banyak hal administratif (di luar kegiatan utama Tri Darma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian            masyarakat) serta mencari penghasilan tambahan (untuk menutup kekurangan gaji). Hal ini menyebabkan waktu yang didedikasikan dosen untuk menulis atau membimbing mahasiswa menulis pun menjadi amat terbatas.
    Ketiga, jumlah dana penelitian yang terbatas serta birokrasi dana yang kompleks. Kebanyakan skema bantuan dana penelitian hanya berjumlah terbatas dan tidak memungkinkan dosen peneliti (khususnya di bidang ilmu-ilmu alam) leluasa menerapkan teknik penelitian berbiaya tinggi.
    Memang ada skema bantuan dana penelitian dengan jumlah nominal sedang atau besar. Tetapi, pola pengelolaan dananya kadang dirasakan amat birokratik, kaku, dan kurang bersahabat dengan kebutuhan riil/praktik penelitian. Misalnya, pengadaan bahan-bahan kimiawi harus dilakukan melalui lelang, dengan segala macam kepelikan masalahnya, proses yang bertele-tele ataupun hasil pengadaan yang tak sesuai dengan kebutuhan peneliti (dan menjadi pemubaziran uang negara).
    Dana penelitian juga tidak diperbo lehkan dipakai untuk membeli peralatan penelitian. Padahal, kebutuhan akan alat penelitian ini merupakan keharusan dan tidak mudah pula untuk mendapat kannya dari alokasi anggaran lain.
    Keempat, minimnya ketersediaan alat penelitian dan reagen kimiawi. Sebuah penelitian yang bagus memang tidak selalu membutuhkan alat ataupun bahan kimiawi mahal. Tetapi, juga tidak sedikit penelitian (apalagi penelitian dengan tuntutan publikasi internasional) yang mengharuskan pemakaian peralatan dan bahan kimiawi mahal, yang pengadaannya pun sering kali sukar.
    Kesulitannya dapat bersumber dari ketiadaan dana yang memadai untuk      membeli atau proses impor yang menyusahkan. Kendala dalam proses impor dapat disebabkan oleh waktu pemesanan dan pengiriman yang lama (sementara peneliti dikejar tenggat waktu untuk segera menyelesaikan penelitiannya), atau aturan pajak bea cukai yang dirasakan membuat harga alat atau bahan penelitian menjadi jauh berlipat kali mahalnya.
    Kelima, akses ke jurnal ilmiah internasional yang terbatas. Untuk membuat sebuah desain penelitian yang baik, akses ke referensi jurnal-jurnal ilmiah internasional merupakan keharusan. Kebanyakan jurnal ilmiah internasional yang bagus harus dilanggan dengan biaya mahal dan kebanyakan PT kita tak sanggup membayarnya. Dengan demikian, peneliti sering kali hanya dapat mengandalkan akses ke artikel ilmiah gratis (yang notabene berjumlah terbatas) atau terpaksa meminta salinan PDF dari naskah penelitian langsung ke penulisnya.
    Keenam, batas waktu penelitian yang pendek, sering kali hanya dalam hitungan bulan. Kegiatan penelitian dipandang dan dipatok secara kaku sebagai proyek—disamakan dengan proyek peme rintah lainnya—yang harus selesai dilaporkan pada akhir tahun anggaran yang tengah berjalan. Setelah seorang dosen peneliti menguras energi untuk berakrobat dan bergulat dengan berbagai tetek bengek nonteknis penelitian di atas, sejak menyiapkan sarana dan prasarana penelitian (yang amat mungkin serba lambat), hingga menyiasati bantuan dana yang juga turun lambat, dicicil, serta serbabirokratik. Menyimak hal-hal di atas, sudah seharusnyalah jika tuntutan publikasi pada jurnal ilmiah menjadi satu paket tak terpisahkan dengan pemecahan (minimal) enam permasalahan tersebut oleh pemerintah.
  • Reformasi Pajak Gagal?

    Reformasi Pajak Gagal?
    Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
    SUMBER : REPUBLIKA, 6 Maret 2012
    Kasus rekening gendut milik mantan pegawai Ditjen Pajak, Dhana Widyatmika, membuat sebagian pihak mengaitkannya dengan kegagalan reformasi perpajakan. Pendapat ini memiliki hipotesis bahwa reformasi perpajakan akan membuat Ditjen Pajak menjadi bersih, profesional, dan bertanggung jawab.
    Ketika tujuan ini ternoda oleh kasus Dhana Widyatmika, yang sebelumnya     sempat juga terkotori oleh kasus Gayus Tambunan, hipotesis tersebut berubah menjadi kesimpulan. Parahnya lagi, kegagalan reformasi perpajakan juga          dikaitkan dengan kebijakan memberikan remunerasi. Kebijakan remunerasi, yaitu memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai Ditjen Pajak agar dapat hidup layak, dipandang salah, dan tidak memberikan efek dalam mewujudkan Dit jen Pajak yang bersih. Namun, apakah cukup adil memberikan vonis gagal ke pada proses reformasi di Ditjen Pajak tanpa menilainya secara lebih komprehensif?
    Soal Remunerasi
    Ada tiga komponen pokok dalam proses reformasi perpajakan, yaitu penerapan pengukuran kinerja, penegakan disiplin, dan pemberikan remunerasi. Wujud nyata dari pengukuran kinerja adalah revitalisasi organisasi dengan mentransformasikan unit kerja di Ditjen Pajak menjadi kantor dengan administasi perpajakan modern, penyempurnaan proses bisnis, standard operating procedure (SOP), pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, peningkatan kompetensi, integritas sumber daya manusia, serta pengembangan manajemen berbasis kinerja Balanced Score Card (BSC). Saat ini, juga telah ditetapkan dan ditandatangani kontrak kinerja pada semua level eselon dan pelaksana yang memuat indikator kinerja utama (IKU) yang harus dicapai.
    Penegakan disiplin dimulai dengan penerapan kode etik, budaya kerja, dan nilai-nilai sampai dengan sistem deteksi pelanggaran dini, whistle blowing system. Bahkan, penegakan disiplin telah dimulai pada saat pegawai melakukan absensi finger print dengan skema pemotongan tunjangan. Tentunya, setiap bentuk pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang tidak dapat ditoleransi. Data empiris menunjukkan bahwa proses ini berjalan efektif. Contohnya, pada 2011 telah dijatuhkan hukuman disiplin kepada 263 pegawai, 27 di antaranya diberhentikan dengan tidak hormat.
    Remunerasi sebagai komponen pokok reformasi perpajakan akan membuat dua komponen pokok lainnya, pengukuran kinerja dan penegakan disiplin. Kedua komponen tersebut berjalan sempurna. Namun, remunerasi bukanlah cek kosong. Pemberian remunerasi erat kaitannya dengan kinerja dan disiplin.
    Oleh karena itu, Ditjen Pajak menjalankan skema remunerasi berbasis kinerja dan grading. Pegawai dengan kinerja baik, otomatis masuk ke grading yang lebih tinggi dengan remunerasi yang lebih besar.
    Sebaliknya, pegawai dengan performa kinerja kurang baik, akan memiliki grading yang rendah. Belum lagi, hukuman disiplin yang dikenakan sesuai dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil juga dikaitkan dengan pemotongan remunerasi. Pegawai yang menerima sanksi hukuman berat akan kehilangan 100 persen remunerasinya. Bahkan, untuk pegawai yang masuk kerja tidak sesuai jadwal yang ditentukan, akan dikenakan pemotongan remunerasi maksimal lima persennya.
    Membaca Indikator
    Untuk menilai apakah reformasi perpajakan berhasil atau tidak maka perlu dilihat indikatornya terlebih dahulu. Ada dua indikator yang dapat digunakan, yaitu pertama adalah evaluasi terhadap keberhasilan Ditjen Pajak menggapai misinya dan kedua, hasil survei yang dilakukan oleh pihak eksternal.
    Misi Ditjen Pajak adalah mengumpulkan penerimaan pajak. Sangat relevan apabila data perkembangan realisasi penerimaan pajak per tahun dijadikan acuan untuk indikator pertama tadi. Pada 2008, saat mulainya reformasi perpajakan, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 658,7 triliun. Pada 2011, angka realisasi penerimaan pajak meningkat 40 persen lebih hingga    diperkirakan tahun ini tembus di angka Rp 1.032 triliun.
    Di lain pihak, jumlah wajib pajak terdaftar terus meningkat setiap tahunnya, dari sekitar empat juta pada 2006 menjadi 22 juta lebih pada 2011. Angka-angka ini mengandung arti bahwa fondasi pembayar pajak semakin kuat karena ditopang oleh jutaan wajib pajak.
    Indikator hasil survei pihak eksternal akan memperkuat jawaban bahwa reformasi perpajakan berhasil atau gagal. Setidaknya, ada beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen yang dapat dijadikan acuan, mulai dari survei kepuasan wajib pajak oleh Nielsen (2006, 2007, dan 2008), penilaian inisiatif antikorupsi KPK (2010), survei integritas KPK (2011), hingga survei ke puasan wajib pajak oleh IPB (2011).
    Hasil survei kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan perpajakan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak menunjukkan hasil tinggi. Pada 2006, ketika survei dilaksanakan di Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, indeks kepuasan yang dihasilkan adalah 81 (skala 0100). Nilai indeks ini jauh di atas nilai indeks untuk sektor publik Australia, yaitu 74. Kemudian, pada survei integritas KPK (2011), Ditjen Pajak memperoleh skor 7,65 di atas ambang batas yang ditetapkan 6,0. Pun, untuk urusan inisiatif promosi antikorupsi, Ditjen Pajak memperoleh nilai tinggi 9,82 (skala 0-100).
    Reformasi perpajakan merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus mengubah cara pandang dan budaya kerja. Ketika perubahan tersebut terjadi maka segala bentuk penyalahgunaan wewenang akan semakin sempit ruang geraknya.
    Namun, sistem yang diciptakan sebagai wujud nyata reformasi birokrasi tentunya butuh penyempurnaan yang berkesinambungan. Adanya kasus Gayus dan Dhana Widyatmika bukan berarti reformasi perpajakan telah gagal, melainkan malah membuat reformasi perpajakan semakin sempurna. Kasus-kasus tersebut terlalu kecil untuk menghilangkan semangat reformasi perpajakan yang nyata-nyata telah memberikan hasil positif.
  • Demokrasi dalam Tantangan

    Demokrasi dalam Tantangan
    R. William Liddle, PROFESOR ILMU POLITIK (EMERITUS)
    OHIO STATE UNIVERSITY, COLUMBUS, AS
    SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012
    Robert Dahl, teoretikus demokrasi tersohor abad lalu, pernah menulis bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan kapitalisme merupakan hambatan utama terhadap keberhasilan demokrasi bermutu.
    Demokrasi didefinisikannya sebagai pemerataan sumber daya politik, tempat semua orang punya kemampuan sama untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Dalam politik mutakhir AS, kebenaran kesimpulan Dahl kentara sekali.
    Tandanya makin jelas: politik uang, versi AS, akan memainkan peran yang mengerikan, melebihi pemilu sebelumnya. Alasannya: keputusan Mahkamah Agung 2009 yang membebaskan donatur kaya, perorangan maupun perusahaan, menyumbang uang tanpa batas kepada calon favoritnya. Keputusan itu meniadakan sejumlah UU yang sejak 1972 cenderung mengatasi dampak buruk uang dalam pemilu di AS.
    Wahana yang dipakai donatur itu bernama Super PAC, Panitia Aksi Politik Super, yang secara legal terpisah dari organisasi kampanye seorang calon. Namun, semua orang tahu: di belakang layar, setiap Super PAC diatur panitia kampanye calon bersangkutan. Menurut laporan The New York Times, sampai akhir Februari 2012, 20 pengusaha kaya telah menyumbang 33 juta dollar AS kepada calon-calon favorit mereka. Padahal, musim pemilu baru mulai!
    Kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana mengobatinya? Biang keladinya adalah pola kompetisi yang sedang berkembang dalam percaturan presidensial. Sebagaimana diketahui, petahana Presiden Barack Obama pasti dicalonkan oleh Partai Demokrat. Lawannya, Partai Republik, sedang mencari calon yang mampu mengungguli Obama.
    Konvensi Partai Republik untuk memilih calon presidennya akan diselenggarakan pada minggu terakhir Agustus. Sejumlah pelamar sudah mulai mengumpulkan utusan melalui berbagai cara, terutama primary elections, pemilihan internal cabang partai negara bagian.
    Semua warga negara yang terdaftar di badan elektoral tingkat negara bagian (mirip Komisi Pemilihan Umum di Indonesia) sebagai anggota atau pemilih salah satu partai diberi kesempatan memilih calon favorit mereka menjelang konvensi. Pemilihan-pemilihan tersebut sudah diadakan di sejumlah negara bagian dan akan diteruskan sampai akhir Juni tatkala semua (2.286) utusan konvensi dipilih.
    Gejala pengaruh uang yang kebablasan tampak dalam persaingan antarcalon Partai Republik. Sebelumnya, para pengamat sepakat: Mitt Romney, mantan Gubernur Massachusetts dan pebisnis unggul, paling mungkin dicalonkan oleh partai tersebut. Pada 2008, Romney dikalahkan dalam konvensi partai oleh John McCain (yang kemudian melawan Obama dalam pemilihan presidensial). Partai Republik terkenal punya tradisi giliran. Lagi pula, kans Romney mengalahkan Obama dianggap para profesional partai jauh lebih besar ketimbang calon lain. Ia dicap satu-satunya ikan kakap di lautan presidensial yang sarat ikan teri.
    Menggalang Kekuatan
    Ternyata, para ikan teri itu tak bersedia menerima nasib mereka begitu saja. Selain Romney, tujuh orang juga mencalonkan diri. Satu mewakili sayap kiri Partai Republik, tetapi kekurangan dukungan dan lekas drop out. Yang lain mewakili sayap kanan atau konservatif yang mengusung kebijakan antipajak, prokeluarga tradisional, dan garis keras dalam kebijakan luar negeri.
    Di dalam Partai Republik, penganut sayap ini memang cukup banyak dan aktif memperjuangkan prinsip-prinsip mereka secara intens sedari dulu. Mereka juga terdorong oleh kaum Tea Party, gerakan pro-pemerintah kecil ”Partai Teh” yang melejit sejak 2009. Tahun ini, kaum konservatif dan gerakan Partai Teh cenderung menolak pencalonan Romney, yang mereka anggap terlalu moderat dan plinplan.
    Dalam suasana ini, enam calon itu berhasil meraih dukungan awal untuk diikutkan dalam serentetan perdebatan yang disiarkan langsung TV nasional. Audiensnya besar dan terpukau, khususnya di negara bagian tempat primary elections diadakan.
    Kompetisi seru itulah yang mendorong setiap calon mencari dana sebanyak mungkin, termasuk melalui Super PAC, untuk memasang iklan TV dan membentuk organisasi kampanye. Presiden Obama pun terbawa-bawa. Menyadari memanfaatkan keputusan MA itu, dia pun membentuk Super PAC sendiri meskipun dikecam keras, baik di dalam maupun di luar partainya.
    Saya sendiri waswas melihat peran Super PAC di AS. Lagi pula, saya sadar betul bahwa kepincangan dalam pembiayaan ongkos kampanye merupakan hambatan besar terhadap tercapainya cita-cita kita bersama, baik di AS maupun di Indonesia, demi demokrasi yang bermutu.
    Namun, saya tahu juga bahwa keputusan MA itu baru diambil tiga tahun lalu. Kalau konstelasi politik pasca-Pemilu 2012 memungkinkan, keputusan itu pasti dijungkirbalikkan dengan UU baru. Di belakang layar, para aktivis prodemokrasi mulai menggalang kekuatan untuk tujuan itu. Kalau kemauannya cukup besar, pasti akan ada caranya. ●
  • Media Jadi Kambing Hitam

    Media Jadi Kambing Hitam
    Suryopratomo, DIREKTUR PEMBERITAAN METROTV
    SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012
    Anas Terima Miliaran Rupiah”, itulah judul utama harian Kompas edisi 1 Maret 2012. ”Anas Semakin Sulit Berkelit” merupakan judul utama Koran Tempo pada hari yang sama.
    Kedua judul itu diambil dari hasil persidangan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI dengan terdakwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam persidangan yang menampilkan sejumlah saksi yang bekerja di Grup Permai terungkap bahwa posisi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di dalam perusahaan.
    Para saksi menjelaskan secara rinci hari-hari apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor polisi yang digunakan.
    Juga dijelaskan berapa banyak kardus uang yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung dan berapa yang dibawa kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari perusahaan untuk diberikan kepada Anas.
    Dengan judul seperti itu, apakah Kompas dan Koran Tempo sedang menghakimi Anas? Apakah judul seperti itu tidak mengonotasikan bahwa Anas menerima uang dari perusahaan yang diduga terlibat korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI?
    Apakah tanggapan Anas terhadap kesaksian itu tidak dianggap sebagai bagian dari upaya media memberi asas keberimbangan?
    Kalau media dianggap menghakimi Anas, apakah memang ada motif politik di belakang kebijakan pemberitaan itu? Apakah pemberitaan Kompas merupakan kebijakan dari Pemimpin Umum Jakob Oetama atau Pemimpin Redaksi Rikard Bagun? Apakah pemberitaan yang dibuat Koran Tempo membawa kepentingan Goenawan Mohamad atau Bambang Harymurti?
    Kebenaran Jurnalistik
    Sebagai orang yang pernah ikut dalam proses penetapan kebijakan editorial di Kompas, tidak pernah rapat redaksi menetapkan arah kebijakan editorial atas dasar kepentingan orang per orang. Rapat redaksi merupakan pergumulan pemikiran dari para awak redaksi untuk bisa menangkap fenomena yang terjadi.
    Media tidak pernah menetapkan arah kebijakan editorial berdasarkan sikap emosional. Semua selalu dilakukan dengan menggunakan akal sehat. Media selalu bekerja untuk menemukan kebenaran berdasarkan kebenaran jurnalistik yang diyakini oleh awak redaksinya.
    Tentu media selalu mempertimbangkan prinsip obyektif, independen, dan berimbang. Media selalu berusaha untuk tidak melakukan pemihakan. Namun, seperti disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan saat menerima doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada, obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.
    Oleh karena obyektivitas yang subyektif itu, wartawan dalam bekerja selalu dihinggapi sikap waswas. Wartawan tidak pernah bekerja dengan prinsip publish and be damned, tetapi selalu dikatakan in fear and trembling in anguish, dalam rasa takut dan gemetar. Mengapa? Karena takut salah dalam menjalankan prinsip obyektivitas yang subyektif tadi.
    Oleh karena itu, tidak masuk akal pendapat yang disampaikan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat S Sinansari Ecip yang mengatakan bahwa MetroTV dan TVOne telah menghukum Anas dan Angie. Apalagi, ditarik kesimpulan bahwa MetroTV dan TVOne dikhawatirkan dijadikan corong Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh dan Partai Golkar yang sekarang dipimpin Aburizal Bakrie (Kompas, 2 Maret 2012, halaman 7).
    Cara pandang itu bukan hanya jauh dari kenyataan, melainkan merendahkan martabat wartawan yang bekerja pada institusi tersebut. Seakan-akan wartawan di sana hanya robot yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik. Seakan-akan wartawan yang bekerja pada kedua televisi itu tak paham arti profesionalisme dan tak memiliki idealisme dalam menjalankan profesinya.
    Bisnis televisi sendiri bukanlah bisnis yang tak membutuhkan kapital. Sekali orang memutuskan masuk ke bisnis televisi, ia harus menyediakan modal yang besar untuk bisa beroperasi. Apabila bisnis media cetak ”membakar uang” sehari sekali, bisnis televisi ”membakar uang” setiap detik.
    Agar televisi itu bisa bertahan hidup, prinsip sebagai industri media harus dipahami. Lima prinsip dasar industri media massa, pertama, harus ada idealisme yang diperjuangkan. Idealisme itu tak bisa didasarkan kepentingan golongan atau kelompok. Kita sudah melihat media massa yang dibangun untuk kepentingan partisan tidak pernah bisa bertahan lama.
    Agar idealisme itu bisa dijalankan, dibutuhkan orang-orang yang profesional. Tak mungkin idealisme bisa diterjemahkan ke dalam kegiatan jurnalistik apabila hanya diserahkan kepada orang-orang yang bekerja seperti robot dan mau disuruh-suruh saja oleh pemiliknya.
    Idealisme yang ditopang oleh profesionalisme itulah yang akan membuat institusi media massa itu bisa dipercaya. Ketika media sudah mendapat kepercayaan dari publik, beritanya akan memberikan pengaruh.
    Apabila media bisa memberi pengaruh kepada masyarakat, baru bisnis dari industri media itu akan bisa berkelanjutan. Soalnya, masyarakat penerima informasi bukanlah individu-individu yang tak menggunakan akal sehat. Ketika mereka menonton berita di televisi ataupun membaca koran, ada interaksi antara pembaca dan penyedia informasi. Apabila informasi dan berita yang disampaikan tidak bisa dipercaya, media itu akan ditinggalkan oleh masyarakat.
    Bukan Corong
    Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tentunya memahami prinsip dasar itu. Tidaklah mungkin mereka menerjuni bisnis media hanya untuk membuang uang, tetapi pasti berharap agar bisnis tidak membebani perusahaannya.
    Dalam konteks media dan partai politik, memang ada premis, siapa yang memiliki media massa, ia akan bisa menguasai politik. Kalau memang hubungannya seperti itu, seharusnya Partai Golkar menjadi pemenang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2004 dan 2009. Mengapa? Karena tahun 2000 MetroTV sudah hadir dan Surya Paloh adalah petinggi Golkar.
    Namun, rakyat ternyata mempunyai preferensi sendiri. Golkar yang memenangi Pemilu 2004 gagal untuk menjadikan Wiranto dan Salahuddin Wahid sebagai presiden dan wakil presiden. Yang dipilih oleh rakyat adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
    Demikian pula pada Pemilu 2009. Sebagai ketua Dewan Penasihat Golkar dan pemilik MetroTV, apabila benar media yang menentukan, seharusnya pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang menjadi presiden dan wakil presiden. Kenyataannya rakyat memilih pasangan SBY-Boediono.
    Sekarang ini dengan gencarnya pemberitaan berkaitan dengan korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat, kalau televisi menjadi kepentingan partai politik, hasil survei-survei akan menunjukkan Golkar dan Partai Nasdem sebagai partai pilihan masyarakat. Ternyata hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai yang akan menjadi pemenang apabila pemilu dilaksanakan sekarang. ●
  • Nurani Hakim Antikorupsi

    Nurani Hakim Antikorupsi
    Denny Indrayana, WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAM,
    GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
    SUMBER : SINDO, 6 Maret 2012
    Besok, Rabu, 7 Maret 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta direncanakan memutuskan gugatan terkait Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mencabut pembebasan bersyarat beberapa terpidana kasus korupsi.
    SK Kemenkumham itu salah satu bukti kebijakan Kemenkumham yang lebih mengetatkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Menjelang penyampaian putusan besok izinkan saya menyampaikan pandangan melalui tulisan singkat ini. Saya meyakini setiap kita punya hati nurani. Saya meyakini pula, bertanyalah pada hati nurani, maka jawaban jujur insya Allah akan selalu kita dapatkan.

    Seberkarat apa pun kehidupan kita dikotori berbagai racun kehidupan,jauh di lubuk hati yang paling dalam tetap ada kejujuran, ketulusan, dan kebaikan.Itulah sebabnya setiap perjuangan selalu mempunyai harapan, sepanjang kita tidak lepas dari sisi kemanusiaan itu sendiri.Karena setiap manusia pasti mempunyai hati nurani.

    Berbicara nurani, salah satu profesi yang paling penting untuk sering-sering becermin dan menengok jauh ke dalam hati nuraninya adalah hakim. Profesi yang memutuskan hitam atau putihnya perkara di hadapannya. Profesi yang diamanatkan menghadirkan keadilan, bukan ketidakadilan. Saya haqqulyaqin,masih banyak hakim kita yang antikorupsi. Saya sangat percaya mayoritas hakim kita mempunyai cita-cita yang sama tentang Indonesia.

    Yaitu negeri yang makin bermartabat, negeri yang makin antikorupsi.Jauh di lubuk hati yang terdalam, saya yakin dalam kemanusiaannya, siapa pun—apalagi seorang hakim—pasti tidak ingin melihat Indonesia makin terpuruk dan makin dalam masuk sebagai salah satu negara berpredikat terkorup.

    Kenapa saya memulai tulisan ini dengan optimisme hakim antikorupsi? Bukankah banyak pula yang pesimistis dengan integritas para penegak hukum kita, tidak terkecuali moralitas para hakim kita? Karena bagi saya optimisme bukanlah pilihan. Bagi saya optimisme adalah keharusan. Untuk menciptakan Indonesia yang lebih antikorupsi, kita harus terus berjuang dengan mengobarkan api optimisme; sama sekali bukan dengan menebar pesimisme.

    Termasuk meyakini bahwa masih banyak hakim kita yang akan memutus dengan semangat antikorupsi. Termasuk optimistis bahwa dalam keputusan hakim PTUN Jakarta besok, kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi akan dikuatkan. Saya tidak semata yakin akan dasar hukum kebijakan pengetatan. Kalau itu sudahlah pasti. Tidak ada keraguan sedikit pun, walau perdebatan hukum akan selalu ada.

    Namun,terlepas dari keyakinan posisi hukum itu, yangpalingmembuatsaya tidak ragu adalah tidak mungkin ada warga negara Indonesia yang ingin menghalangi ikhtiar mulia menciptakan Indonesia yang lebih bersih. Juga lebih bermartabat, lebih antikorupsi.Warga Indonesia yang menghalangi Indonesia bersih harus dibatalkan hak dasarnya sebagai warga bangsa.

    Dia batal demi hukum sebagai warga Indonesia.Karena di dalam semangat nurani Indonesia pastilah korupsi tidak mendapatkan tempatnya. Itulah sebenarnya visi dan filosofi dasar kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi tersebut.Tidak lain dan tidak bukan, ikhtiar kesekian untuk menegaskan bahwa korupsi harus diberantas, bahwa koruptor harus dijerakan.

    Tidak hanya dalam slogan dan pidato, tetapi dalam tindakan dan kenyataan. Maka, kalau bicara dasar hukum,kami tentu juga paham dan sudah mempelajari bahwa pencabutan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat, yang digugat di PTUN Jakarta, sudah kami pertimbangkan betul. Tidak mungkin kami mengeluarkan kebijakan yang menabrak aturan perundangan. UU Pemasyarakatan jelas mengatakan pengaturan hak napi dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

    PP Nomor 28/2006 dengan jelas mengatakan, pemberian pembebasan bersyarat harus memperhatikan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Maka, hati nurani tidak akan berbohong: bagaimana rasa keadilan masyarakat Indonesia terkait pemidanaan koruptor? Apakah vonis yang sekarang diberikan sudah cukup adil? Ataukah masih banyak persoalan yang menyebabkan pesan penjeraan kepada koruptor tidak tergambar secara jelas, secara tegas.

    Cukupkah terpidana korupsi divonis rata-rata di bawah lima tahun, bahkan ada yang mendekam di penjara tidak sampai satu tahun? Padahal banyak pencurian ringan harus menghadapi pemidanaan yang jauh lebih berat, jauh lebih lama? Tentu akan ada perdebatan hukum tentang pemidanaan yang menjerakan. Tentang konsep pemasyarakatan yang bukan lagi menghukum.

    Perdebatan yang panjang dan melelahkan. Namun, semuanya sebenarnya akan dengan mudah terjawab jika para hakim kembali bertanya kepada hati nurani. Dalam kondisi Indonesia sekarang ini,yang sedang dirundung banyak persoalan korupsi, mana yang lebih tepat: apakah mengobral remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor? Hati nurani akan dengan mudah menjawab, bahwa pesan penjeraan harus lebih nyaring disuarakan, harus lebih kokoh ditegakkan.

    Termasuk jika timbul perdebatan hukum, bukankah SK Pencabutan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan Kemenkumham tersebut berlaku surut (retroaktif) dan karenanya layak dibatalkan. Nurani yang antikorupsi akan dengan mudah menemukan argumentasi bahwa SK Pembebasan Bersyarat yang dibatalkan adalah SK yang belum berlaku.

    Diktum ketujuh dalam setiap SK itu pada dasarnya mengatakan bahwa SK Pembebasan Bersyarat tersebut berlaku pada saat dilaksanakan. Dengan demikian, selama belum dilaksanakan SK itu belum berlaku, dan karenanya pencabutannya dapat dilaksanakan tanpa harus berlaku surut. Tidak perlu ragu untuk memberikan pesan penjeraan lebih kuat kepada terpidana korupsi.Itu bukanlah diskriminasi.

    Pesan demikian justru adalah konsistensi.Konsisten untuk menyatakan bahwa koruptor adalah musuh bersama utama bangsa ini.Maka,setiap kita, dalam kapasitas masingmasing, berkewajiban membuat jera setiap pelaku korupsi. Kemenkumham sudah mengambil porsinya dengan mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor.

    Besok adalah giliran para majelis hakim PTUN yang terhormat untuk melaksanakan kewajiban terhormatnya: menguatkan kebijakan penjeraan bagi para koruptor. Untuk menegaskan pesan bahwa koruptor tidak boleh hidup nyaman di bumi pertiwi Indonesia. Saya yakin benar, dengan bertanya kepada nurani hakim antikorupsi,putusan yang akan dikeluarkan akan sejalan dengan cita-cita kita akan Indonesia yang lebih berjaya, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.

  • Mencegah Politisasi Kenaikan Harga BBM

    Mencegah Politisasi Kenaikan Harga BBM
    J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
    SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012
    Keputusan politik negara menaikkan harga bahan bakar minyak yang telah ditunda selama lebih kurang setahun tampaknya tak dapat diundur lagi. Kebijakan populis yang merupakan bagian dari politik pencitraan harus tunduk pada kenyataan bahwa keuangan negara tidak mampu menyediakan dana subsidi BBM karena gejolak harga minyak dunia.
    Beban keuangan negara terlalu berat menanggung politik angan-angan dan fantasi yang menguras uang negara. Mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) akan meningkatkan biaya subsidi BBM dan menimbulkan keringkihan APBN. Namun, alasan yang tidak kalah penting adalah karena sebagian besar dana subsidi selama ini, menurut berbagai kajian, justru dinikmati kelompok yang tergolong kaya dan bukan masyarakat miskin. Kebijakan yang salah sasaran ini harus segera diakhiri. Oleh sebab itu, pilihan kebijakan menaikkan harga BBM adalah opsi rasional.
    Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga diharapkan secara bertahap mengurangi problem akut kemiskinan, pengangguran, dan tingginya tingkat kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Dana subsidi harus dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lain dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
    Namun, pilihan rasional tersebut memerlukan upaya sangat keras dari negara agar masyarakat dapat memahami sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik. Usaha ekstra keras diperlukan, mengingat beberapa hal berikut. Pertama, rasionalitas negara menjadi tidak masuk akal bagi publik karena rendahnya tingkat kredibilitas lembaga-lembaga negara dan politik. Bahkan, sebagian kalangan bersuara nyaring meragukan peran, kejujuran, dan niat politik negara mengelola kekuasaan yang amanah. Persepsi tersebut menguat karena perilaku elite politik dan penyelenggara negara yang kering empati, suka pamer kekayaan, jemawa, kedap terhadap tangisan penderitaan rakyat, dan mengumbar keserakahan kekuasaan. Akibat impresi ini, dapat dipastikan rakyat sukar menerima kenaikan harga BBM yang hanya akan menambah beban kehidupan yang telah mencapai ambang batas daya tahan mereka.
    Kedua, kepentingan politik kekuasaan menjelang Pemilu 2014 yang memanas akhir-akhir ini dapat menambah kompleksitas pengambilan keputusan ataupun implementasi kebijakan. Indikasi ini mulai muncul dengan beredarnya kasak-kusuk dari istana bahwa kenaikan harga BBM akan digunakan sebagai pemicu menggulingkan pemerintahan SBY-Boediono. Sementara itu, tidak mustahil kenaikan harga BBM memang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik untuk semakin menggerogoti kredibilitas pemerintah.
    Ketiga, pemerintahan yang lemah serta birokrasi yang korup tidak menjamin semua teori, skema, dan konsep yang di atas kertas bertujuan melindungi masyarakat miskin dan mengurangi beban masyarakat dapat mencapai sasaran.
    Oleh sebab itu, kebijakan menaikkan harga BBM, meski dapat diterima akal sehat, memerlukan kerja keras dan konsolidasi politik di kalangan partai pendukung pemerintah yang kekuatannya nyaris 75 persen di parlemen. Langkah pertama, mereka harus terlebih dahulu membangun tekad dan niat politik yang lurus untuk mengelola kekuasaan negara demi kepentingan rakyat. Risiko tidak menjadi populer harus ditanggung oleh semua kekuatan politik yang menjadi bagian dari pemerintahan.
    Dengan modal tersebut, seluruh kekuatan politik harus melakukan sosialisasi yang disertai dengan sikap penuh simpati dan afinitas terhadap masyarakat yang telah lama mendambakan hidup lebih baik. Tanpa kemampuan merasakan suasana hati rakyat, penjelasan hanya akan menuai sinisme dan daya tolak publik. Para elite politik harus menunjukkan komitmen mereka untuk menemani rakyat yang kelelahan dalam menjalani hidup yang semakin sulit.
    Niat dan keputusan politik itu juga harus dapat ditransformasikan dalam kebijakan pemberian kompensasi yang segera dapat meredam kenaikan harga kebutuhan pokok, misalnya program beras untuk rakyat miskin dan bantuan langsung tunai.
    Selanjutnya, pemerintah harus dapat menjamin pengelolaan kekayaan mineral di masa depan tidak dijarah oleh politisi yang serakah untuk membangun kekuasaan politik. Praktik kebijakan pengelolaan tambang yang menjadi sumber pendanaan politik oleh ambisi buta para kandidat kepala daerah menunjukkan bahwa berkah kekayaan alam mulai menjurus ke arah kutukan.
    Tanpa koreksi dan kemauan keras mengubah perilaku politik, dikhawatirkan berkah melimpah yang seharusnya menjadikan takdir bangsa Indonesia menjadi negara yang makmur akan menjadi kutukan yang menyengsarakan rakyat. Mungkin pengalaman beberapa negara di Benua Afrika dapat dijadikan pelajaran. Negara yang sumber alam mineralnya berlimpah, misalnya Liberia, Sierra Leone, Eritrea, Etiopia, Pantai Gading, dan Nigeria, dapat jatuh miskin karena pertarungan kepentingan kekuasaan yang mengabaikan kepentingan rakyat.
    Berbagai studi di negara-negara tersebut masih menyisakan konklusi retorik dalam bentuk pertanyaan yang mencerminkan tragedi beberapa negara tersebut: apakah kekayaan mineral yang melimpah itu kutukan atau berkah (a curse or a blessing). Mudah-mudahan elite politik dapat memetik pelajaran amat berharga tersebut. ●
  • Jalan Terjal Pemiskinan Koruptor

    Jalan Terjal Pemiskinan Koruptor
    Febri Diansyah, PENELITI HUKUM INDONESIA CORRUPTION WATCH
    SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012
    Presiden SBY menyatakan mendukung pemiskinan koruptor (Kompas, 3/3). Pernyataan ini respons atas vonis pengadilan tindak pidana korupsi terhadap Gayus HP Tambunan yang memerintahkan harta mantan pegawai pajak tersebut dirampas untuk negara.
    Gayus dijerat pasal korupsi dan pencucian uang. Pemiskinan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden? Konsep yang tentu tak boleh hanya bersifat reaksioner dan berhenti pada konsumsi pencitraan semata. Jika dicermati, wacana pemiskinan muncul lantaran kekecewaan mendalam pada realitas penghukuman kita.
    Sering terdengar koruptor divonis ringan atau bahkan bebas. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, sejak pengadilan tipikor daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas/lepas dengan skor tertinggi dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.
    Sanksi yang dijatuhkan pun tergolong rendah. Pada 2011, dari 55 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK, rata-rata vonis hanya 3 tahun 2 bulan. Bahkan, untuk ”korupsi berjemaah” seperti skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, rata-rata vonis hanya 1 tahun 4 bulan. Padahal, pelaku korupsi orang-orang yang sebelumnya berada di posisi terhormat, mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara yang kemudian khianat.
    Angka di atas terasa kian menjengkelkan ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan ”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi sama sekali tak terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa takut korupsi?
    Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada. Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya.
    Kenapa Pemiskinan?
    Argumentasi lebih konseptual pemiskinan koruptor terkait dengan satu isu penting tentang perang terhadap kejahatan serius. Dalam diskursus penerapan UU pencucian uang yang terkait dengan kejahatan transnasional dan terorganisasi, kita mengenal prinsip uang sebagai live blood of the crime. Uang hasil kejahatan sesungguhnya darah yang menghidupi kejahatan tersebut, menutupinya dari proses hukum, dan bahkan modal untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.
    Sebuah kejahatan terorganisasi tentu perlu biaya operasional yang tak sedikit. Ketika kejahatan selesai, hasilnya akan disimpan dan dikelola untuk membiayai ”pertahanan diri” agar tak disentuh hukum, termasuk menyuap penegak hukum dan menyewa pengacara andal. Selain itu, dalam perkembangannya, mekanisme gate-keeper untuk mencuci uang hasil kejahatan—agar seolah-olah sah—juga butuh biaya tinggi. Aliran dana kejahatan ini dapat saja berputar seperti siklus yang kadang sebagian di antaranya masuk dalam aliran dana ”formal” keuangan negara lewat pencucian uang.
    Dari sudut pandang ”darah bagi kejahatan” ini, konsep pemiskinan koruptor dinilai punya arti strategis untuk memotong nadi kejahatan. Selain diperkirakan sebagai titik yang paling rapuh dalam konstruksi kriminal, perampasan kekayaan hasil kejahatan juga punya fungsi pencegahan terhadap kejahatan yang jauh lebih sistematis, besar, dan terorganisasi. Tentu dengan catatan, ke depan konsep pemiskinan ini tak lagi sekadar menyentuh personal, tetapi juga korporasi sehingga upaya pengumpulan dana, pengelolaan, dan siklus uangnya bisa lebih efektif dihentikan dengan sarana hukum.
    Dari sudut pandang teori oligarki, kita bisa menemukan relevansi strategi pemiskinan koruptor ketika ia mampu merusak konsentrasi kekayaan para oligarkis. Seperti diuraikan Jeffrey Winters, hanya oligarkis yang mampu menggunakan kekayaannya untuk mempertahankan kekayaan. Pertahanan kekayaan mencakup dua hal: property defense dan income defense.
    Jika perolehan kekayaan dan sumber pendapatan para oligarkis sesuai aturan hukum, mungkin tak akan jadi soal. Namun, menjadi sangat serius ketika konsentrasi kekayaan berasal dari perampokan keuangan negara atau persekongkolan dengan pejabat pada pengelolaan sumber daya alam atau kebijakan ekonomi yang menguntungkan para oligarkis.
    Singapura sudah melakukannya ketika pemerintah negara itu melakukan pertempuran besar dengan kaum oligarkis yang menumpuk kekayaan lewat korupsi, dengan membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB, semacam KPK) pada 1952 (Winters, 2011: 421).
    Pengalaman Singapura bisa jadi pembelajaran. Bahwa perang terhadap korupsi juga harus dilihat sebagai bagian dari strategi lebih besar untuk memecah konsentrasi kekayaan para perampok yang akhirnya berujung pada distribusi kesejahteraan yang lebih adil. Kewajaran kekayaan para penyelenggara negara bisa jadi titik awal pintu masuk. Kemudian, kekayaan dan transaksi yang mencurigakan itu ditelusuri lebih jauh asal-usul dan relasinya dengan penguasa modal.
    Pembuktian Terbalik
    Secara hukum, komitmen bersama menerapkan pembuktian terbalik yang dianut di UU No 8/2010 tentang Pencucian Uang bersamaan dengan UU Pemberantasan Korupsi menjadi syarat mutlak. Sebanyak 152.000 lebih dokumen laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang sudah di tangan KPK dan ribuan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan harus ditindaklanjuti serius. Tak cukup kerja aparat penegak hukum, harus ada komitmen politik Presiden, DPR, dan masyarakat.
    Tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras penegak hukum dalam kasus Gayus, bicara pemiskinan koruptor, sesungguhnya kita masih menghadapi jalan terjal. Salah satunya, Indonesia belum mengadopsi aturan tentang kekayaan yang diperoleh dengan cara tak wajar (illicit enrichment) meskipun sudah meratifikasi Konvensi PBB melawan Korupsi (UNCAC) sejak 2006. Kewenangan KPK terkait LHKPN masih seperti pengelola arsip, rekening gendut jenderal polisi tak tersentuh, mafia masih membayangi institusi penegak hukum, Presiden cenderung berhenti pada segerobak instruksi dan lemah implementasi. Mengingat korupsi yang begitu merajalela dan perkawinan oligarkis kaya dengan kekuatan politik, kerja pemiskinan koruptor masih panjang. ●
  • Pintu bagi Tekad Presiden SBY Memiskinkan Koruptor

    Pintu bagi Tekad Presiden SBY
    Memiskinkan Koruptor
    M Hadi Shubhan, DOSEN FAKULTAS HUKUM BIDANG HUKUM KEPAILITAN,
    SEKRETARIS UNIVERSITAS AIRLANGGA
    SUMBER : JAWA POS, 6 Maret 2012
    CUKUP menarik pernyataan Presiden SBY yang setuju terhadap upaya hakim untuk memiskinkan para koruptor dengan menyita semua harta benda mereka (JPNN, 3 Maret 2012). Meski brilian, ide itu akan terkendala banyak hal dalam aspek hukum yang berlaku di pengadilan tipikor. Namun, ada solusi. Yaitu, memailitkan para pelaku tindak pidana korupsi.

    Dalam pengadilan tipikor, kendala utama untuk menyita harta koruptor adalah banyaknya harta koruptor yang sudah dicuci menjadi atas nama istri atau anak serta orang/perusahaan kepercayaan mereka. Karena berpindah tangan atau beratas nama pihak lain, hakim dan jaksa tipikor tidak bisa menyita. Kasus Nazaruddin membuktikan kendala tersebut karena hampir semua hasil korupsi dia diatasnamakan istri serta perusahaan-perusahaannya.

    Kendala lain, harta yang dapat disita adalah yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa hakim. Harta lain, meski hasil korupsi uang negara, karena tidak sedang diperiksa perkaranya, tentu tidak bisa disita. Tentunya, jaksa penuntut umum akan sulit membuktikan ketika hasil korupsi dibelikan aset tertentu. Bukti kendala itu, perintah hakim tipikor baru-baru ini mengembalikan uang yang disita KPK karena tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa.

    Kendala yang terakhir adalah penindaklanjutan (eksekusi) atas harta-harta yang disita untuk dilikuidasi dan uang hasil likuidasi disetorkan ke kas negara. Banyak harta koruptor sitaan hakim, tapi sampai saat ini belum berwujud uang dan belum disetorkan ke kas negara. Bukti kendala tersebut adalah banyaknya koruptor BLBI lalu yang sudah dihukum secara in absensia tapi hartanya masih utuh belum dilikuidasi.

    Pintu Kepailitan

    Kendala-kendala tersebut bisa diatasi dengan menggunakan hukum kepailitan. Pengajuan kepailitan terhadap koruptor dilakukan kejaksaan, yang bertindak untuk dan atas nama negara, dengan landasan demi kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan secara expresis verbis (secara tegas, Red) disebutkan UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam pasal 2 ayat (2) UU tersebut ditegaskan, permohonan kepailitan bisa diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

    UU Kepailitan tersebut menjelaskan cakupan kepentingan umum yang seluas-luasnya. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo, atau hal lain yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

    Akibat hukum kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Kepailitan tersebut tidak masuk dalam acara pidana, melainkan acara bidang keperdataan. Karena keperdataan, tujuan akhir proses itu berkaitan dengan nilai finansial atau uang dan tidak berkaitan dengan kepidanaan seperti kurungan atau penjara.

    Jika dalam pengadilan tipikor ada kendala untuk menjangkau harta koruptor yang sudah dialihkan menjadi atas nama istri, anak, atau perusahaan, dalam kepailitan, hal itu bisa diatasi dengan upaya hukum actio pauliana. Gugatan actio pauliana adalah gugatan yang meminta kepada pengadilan untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan debitor pailit (para koruptor) sebelum adanya putusan pailit karena perbuatan tersebut dianggap merugikan harta pailit. Dengan gugatan actio pauliana itu, harta yang sudah beralih dari tangan koruptor kepada anak, istri, serta perusahaannya bisa ditarik kembali dan dimasukkan dalam budel kepailitan (bankrupt estate).

    Jika dalam vonis pengadilan tipikor harta koruptor yang tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa tidak bisa dijangkau, tidak demikian halnya dalam kepailitan. Dengan adanya vonis kepailitan terhadap koruptor, seluruh harta kekayaan mereka berada dalam status sita. Sita karena putusan pailit adalah sita demi hukum dan mencakup semua harta (public attachment ataugerechtelijke beslag).

    Dengan vonis kepailitan itu, koruptor sudah tidak diperbolehkan menyentuh semua harta kekayaannya. Harta kekayaan akan diurus dan dibereskan kurator. Hasil pemberesan oleh kurator itu pun akan dimasukkan ke kas negara sejumlah semua kerugian negara atas semua tindakan koruptor tersebut.

    Eksekusi harta pailit lebih cepat dan transparan karena seluruh pencairannya dilakukan kurator. Kurator tidak hanya terbatas Balai Harta Peninggalan (BHP), tapi juga kurator swasta yang terdiri atas para advokat papan atas yang bisa dianggap lebih profesional. Kurator itulah yang nanti bertugas mencairkan harta pailit melalui lelang umum. Hasil seluruh pencairan budel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya, termasuk negara dalam hal kasus korupsi ini.

    Karena itu, kepailitan juga bisa menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi para koruptor untuk tidak coba-coba menjarah uang rakyat. Sebab, seluruh harta dan perusahaan mereka bisa disita untuk dijadikan harta pailit. Dengan instrumen kepailitan, kejaksaan bisa membusungkan dada seraya berkata kepada koruptor: Korupsilah kau, maka kau akan kumiskinkan!

    Setelah ada cara pemiskinan koruptor lewat pintu kepailitan, beranikah SBY memerintah Kejaksaan Agung untuk menggunakan pintu itu? ●

  • Merebut Kehormatan di Jalanan

    Merebut Kehormatan di Jalanan
    Donny Koesoema A, PEMERHATI PENDIDIKAN;
    ALUMNUS BOSTON COLLEGE LYNCH SCHOOL OF EDUCATION, BOSTON, AS
    SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012
    Ribuan guru honorer berkumpul di jalanan depan Istana Negara untuk merebut kembali kehormatan mereka yang hilang. Inilah ironi yang hari-hari ini kita saksikan di negeri ini. Pemerintah semestinya tidak tuli hati dan buta mata atas situasi ini. Ironi itu terjadi justru ketika guru honorer merasakan bahwa eksistensi hidupnya sebagai guru sudah tidak dihormati lagi.
    Tidak Ada Penghargaan
    Tak adanya penghargaan yang wajar bagi kinerja guru bukan masalah geografis ataupun status sosial. Kehadiran guru di negeri ini sangat tak dihargai secara sistematis. Guru di Papua, Aceh, ataupun di Jakarta sama-sama diperlakukan secara tidak bermartabat melalui berbagai peraturan yang menganggap guru tidak lebih dari pekerja kasar.
    Bayangkan, di Jakarta saja upah guru mengajar selama 1 jam pelajaran masih ada yang hanya Rp 30.000. Aturan jam mengajar minimal yang diperuntukkan bagi guru sesuai aturan pemerintah, yaitu 24 jam, dihitung jumlah jam mengajar per minggu.
    Jadi, kalau guru memenuhi aturan minimal 24 jam mengajar per minggu, dia akan memperoleh bayaran Rp 30.000 dikalikan 24 jam. Penghitungan inilah yang diterima guru dalam pembayaran sebulan. Ini berarti, guru hanya dihargai jam mengajarnya selama seminggu. Ke mana tiga minggu yang lain? Itulah upah gotong royong guru sebab yang tiga minggu tak dibayar!
    Jadi, persoalan nasib guru bukan sekadar masalah pegawai negeri atau honorer. Penghargaan terhadap nasib guru tidak diberikan oleh pemerintah melalui peraturan yang mereka buat. Keberadaan guru honorer lebih miris. Selain status mereka tidak jelas, mereka juga mesti menanggung beban ganda. Posisi mereka sekadar sebagai ban serep yang baru dipakai ketika dibutuhkan. Padahal, tak jarang guru honorer di daerah itu justru menjadi ”ban serep” abadi yang malah telah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah yang kekurangan guru. Di mana apresiasi pemerintah untuk para guru ”ban serep” yang luar biasa ini?
    Kehadiran para guru honorer yang luar biasa ini patut diapresiasi dan perlu diberi perlindungan hukum yang memiliki visi menghargai martabat guru. Guru honorer tak butuh sekadar peraturan, tetapi peraturan yang mampu menghargai, melindungi, dan meningkatkan kemartabatan mereka sebagai guru.
    Namun, ada persoalan mendesak yang perlu dipertimbangkan terkait kehadiran guru honorer. Alasan lamanya keterlibatan mengajar di kelas tak boleh jadi alasan praktis untuk mengangkat guru. Mengapa? Sebab, ini justru akan bertentangan dengan profesionalisme guru.
    Setiap guru yang mengajar di kelas haruslah guru yang kompeten dan dapat mengajar dengan baik. Jika lama jadi guru honorer dipertimbangkan sebagai tata cara mengangkat mereka sebagai guru pegawai negeri sipil, dikhawatirkan kelas-kelas kita diisi oleh guru yang kurang kompeten dan ini akan berdampak pada pendidikan nasional.
    Guru yang sekarang sudah masuk dalam arus besar guru saja masih banyak yang belum profesional. Karena itu, pemerintah memberikan pengembangan melalui sertifikasi. Jika guru baru yang diangkat juga tidak profesional, kita mengulangi kesalahan yang sama.
    Harus Jalan Seiring
    Tentu pemerintah sekarang ini ditantang agar membuat peraturan yang benar-benar mencerminkan visi mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara memberikan penghargaan kepada guru honorer secara adil melalui seleksi yang profesional. Bukan hanya keputusan sesaat karena desakan publik.
    Bagi guru honorer, kehormatan yang mereka perjuangkan itu memiliki konsekuensi atas kompetensi profesional dan semangat mereka sebagai guru. Guru harus jujur pada diri sendiri: apakah usaha meraih kehormatan ini benar-benar karena ingin mengembangkan dunia pendidikan melalui kehadiran mereka yang profesional dan senantiasa memberikan yang terbaik bagi siswa, atau sekadar mencari status sosial, pengakuan diri sebagai pegawai negeri.
    Saya kira, baik pemerintah maupun guru sebaiknya tidak buta mata dan tuli hati terhadap tuntutan profesional tugas masing-masing. Pemerintah harus peduli kepada guru serta menghargai martabat dan profesi mereka sebagai bagian penting bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Di sisi lain, kehadiran guru profesional yang memiliki gairah dan semangat pada perkembangan anak didiklah yang mampu mengubah masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik. Keduanya harus jalan seiring. ●
  • Kosongkan Cangkir Anda !

    Kosongkan Cangkir Anda !
    Muk Kuang, PROFESSIONAL TRAINER, PEMBICARA PENULIS
    MESSAGES OF HOPE, AMAZING LIFE, THINK AND ACT LIKE A WINNER
    SUMBER : SINDO, 6 Maret 2012
    Pada suatu hari, seorang filsuf China menerima profesor dari sebuah universitas ternama yang datang kepadanya untuk mencari tahu tentangajarankebajikan (chinese wisdom).
    Tetapi, sebelum sang filsuf menjelaskan, sang profesor mulai menjelaskan panjang lebar apa yang diketahuinya tentang segala hal,dan pendapatnya terhadap ilmuilmu yang ada. Belum sempat sang filsuf berbicara, sang profesor terus mengutarakan apa yang menjadi kehebatannya. Dengan tenang dan sambil mendengarkan,sang filsuf menuangkan teh ke cangkir profesor.

    Melihat sang profesor yang masih terus berargumentasi mengenai pengetahuan yang ia miliki, sang filsuf juga terus menuangkan teh ke dalam cangkir profesor.Sang profesor yang melihat hal tersebut,langsung berkata “Cangkir ini sudah penuh,teh yang Anda tuangkan menjadi tumpah”.

    Sambil tersenyum bijak, sang filsuf menjawab profesor tersebut “Sama seperti cangkir ini, Anda terlalu banyak pendapat, pandangan pribadi, dan menunjukkan kehebatan diri Anda.Bagaimana saya dapat mengajari Anda mengenai ajaran kebajikan, jika Anda sendiri tidak mau mengosongkan diri atau mengosongkan ‘cangkir’ Anda?” Cerita klasik di atas mungkin pernah Anda dengar sebelumnya.

    Cerita yang menggambarkan realita yang terjadi pada sebagian besar kehidupan manusia. Sebut saja misalnya, dalam sebuah organisasi, banyak individu yang terkadang berpikir bahwa tidak perlu lagi mengikuti pelatihan, tidak perlu lagi membaca buku, tidak perlu lagi mengikuti seminar, tidak perlu lagi memperkaya diri dengan ilmu. Ada orang yang merasa paling tahu, paling berpengalaman, paling pintar, sehingga enggan untuk belajar dari orang lain.

    Hidup adalah sebuah proses pembelajaran tiada henti. Kita dapat belajar dari pengalaman, belajar dari rekan kerja, belajar dari atasan, bahkan dari tim kita sendiri pun kita bisa belajar.Ketika kita memutuskan untuk mau belajar, maka kita juga harus bersedia mengosongkan “cangkir”kita. Mungkin kita memiliki segudang pengalaman, jauh lebih senior, dan telah banyak belajar dari beberapa buku.

    Namun, ketika kita merasa yang paling hebat,paling super,paling tahu segalanya, sebenarnya pada saat itulah kita menutup diri untuk bertumbuh. Dennis Waitley pernah berkata “Never become so much of an expert that you stop gaining expertise. View life as a continuous learning experience”. Seperti ilustrasi cerita di atas, sang filsuf ingin mengatakan bahwa kita harus senantiasa mengosongkan “cangkir” kita jika kita mau belajar dan mendengarkan orang lain.

    Apabila kita tetap berpegang teguh pada ego pribadi dan menutup diri rapat-rapat terhadap masukan,pelajaran,dan ilmu yang diberikan (entah itu lewat sebuah seminar, buku, maupun training), maka tentunya kita tidak akan mampu menerima pelajaran apa pun dari orang lain. Selalu ada hal positif yang dapat kita pelajari dari setiap kondisi maupun dari orang lain. Hanya, semua kembali kepada individu masing-masing, apakah bersedia membuka diri dan mendengarkan orang lain atau sebaliknya justru menyombongkan diri dengan kemampuan yang dimilikinya.

    Hal yang sangat disayangkan adalah ketika seseorang merasa butuh baru mau belajar. Misalnya, ketika seorang siswa menghadapi ujian,baru mulai membuka kembali buku untuk dipelajari. Begitupun halnya dalam organisasi, ketika terjadi permasalahan internal, penjualan yang menurun, biasanya baru sibuk mencari pelatihan yang sesuai. Padahal, jika saja seseorang mau melengkapi dirinya lebih awal, mungkin masalah bisa sedikit diminimalkan.

    Pengalaman saya memberikan beberapa pelatihan,ada peserta yang begitu antusias belajar meski sudah banyak sekali pengalaman yang ia terima sebelumnya, namun ia masih haus untuk belajar dari orang lain. Adapula peserta yang cukup unik, yaitu sama sekali merasa terpaksa ketika mengikuti sebuah pelatihan, merasa sudah tahu banyak dan menganggap tidak perlu lagi diberi pelatihan.

    Entah Anda termasuk yang mana,tapi yang pasti lewat pelatihan yang pernah saya berikan, saya selalu menemukan tipe-tipe yang saya sebutkan. Seorang mentor pernah berkata kepada saya “Jika kamu merasa tidak perlu lagi belajar, sebenarnya saat itu pulalah kamu perlu segera mendapat pelajaran yang berguna”. Sebuah pepatah mengatakan “Di dunia ini terdiri dari dua jenis manusia, yakni manusia yang pembelajar dan manusia yang belum menjadi pembelajar”.

    Manusia yang belum menjadi pembelajar melihat bahwa setelah lulus sekolah, maka proses belajar sudah selesai dan saatnya mencari uang. Manusia pembelajar melihat bahwa setelah lulus sekolah, proses belajar masih terus berjalan. Sebagian ciri pribadi pembelajar: mau mendengarkan orang lain,mau terlibat aktif dalam proses pengembangan diri, dengan rendah hati mau membuka diri untuk belajar dari orang lain.

    Sebagian ciri pribadi yang belum menjadi pembelajar: selalu menganggap dirinya yang hebat, tidak pernah mau mendengarkan orang lain,menutup diri,menganggap proses belajar adalah sia-sia, merasa tahu segala-galanya. Pilihan ada di tangan Anda, mau mengosongkan “cangkir” Anda atau justru menganggap “cangkir” Anda selalu terisi penuh. Buat keputusan yang bijak!