Author: Adul

  • Hari Antikorupsi dan Pimpinan Baru KPK

    Hari Antikorupsi dan Pimpinan Baru KPK
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
    Sumber : SINDO, 9 Desember 2011
    Hari ini masyarakat dunia merayakan Hari Antikorupsi. Di tengah geliat antikorupsi yang sedang tumbuh setelah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru terbentuk, kita dikagetkan oleh adanya temuan PPATK tentang 10 pegawai negeri sipil (PNS) muda yang memiliki rekening miliaran rupiah.

    SINDO mengulasnya pada edisi (8/12/2011) dengan judul “Kasus Rekening PNS Muda Sistemik”. Temuan PPATK tersebut menambah daftar tugas pimpinan KPK yang baru. Kita tahu, masyarakat berharap banyak kepada pimpinan KPK untuk segera menyelesaikan kasus Bank Century, Nazaruddin, Gayus, Nunun, mafia pajak, dan berbagai kasus megakorupsi, termasuk temuan PPATK tersebut.

    Tugas ini memang tidak ringan karena berbagai kepentingan politik saling tersandera. Namun, pada Hari Antikorupsi Sedunia hari ini,pimpinan KPK harus menjadikan momentum ini untuk segera melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja pemberantasan korupsi.

    Pertama, KPK mendapatkan legitimasi politik sebagaimana diberikan UU. Setelah masyarakat menunggu sekian lama, melalui proses seleksi yang cukup panjang dan ketat, pimpinan KPK yang baru telah ditetapkan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Persoalannya, mampukah KPK menjadikan modal legitimasi ini untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan menyentuh persoalan korupsi yang besar?

    Kedua, dukungan masyarakat kepada KPK juga tinggi.Sebagaimana kita amati bersama, pada saat proses seleksi pimpinan KPK,dukungan masyarakat begitu besar,baik melalui media koran, televisi maupun media sosial Facebook dan Twitter. Ini bukti bahwa masyarakat menaruh harapan yang tinggi kepada pimpinan KPK yang baru yangdipimpin AbrahamSamad, tokoh muda antikorupsi dari daerah.

    Lalu mampukah pimpinan KPK yang baru memenuhi harapan besar masyarakat untuk menjadikan negeri ini bebas dari korupsi atau minimal berkurang dari praktik korupsi? Kedua pertanyaan yang diajukan di atas memiliki relevansi yang sangat kuat dengan konteks perayaan Hari Antikorupsi Sedunia hari ini. Kita tahu bahwa korupsi merupakan musuh bersama, tidak hanya kita di dalam negeri, tapi masyarakat dunia juga memiliki perhatian yang besar terhadap agenda pemberantasan korupsi.

    Korupsi bukan sekadar perbuatan melawan hukum, melainkan juga kejahatan kemanusiaan yang memiliki dampak buruk yang serius terhadap keberlangsungan umat manusia. Korupsi bahkan bisa menjadi salah satu faktor penyebab negara gagal (failed state).

    Dalam studi Noam Chomsky, Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006), karakteristik negara gagal (failed state) antara lain: negara tidak memiliki kemampuan melindungi warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, tidak terjaminnya hak-hak warga negara,lemahnya institusi demokrasi,sikap agresif yang sewenang-wenang dari pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta maraknya penyalahgunaan kekuasaan.

    Artinya,dalamhalinikorupsi merupakan ancaman yang sangat serius. Jika korupsi tidak diberantas,itusamaartinya kita membiarkan kapal besar Indonesia ini segera karam dan tenggelam. Memang mengerikan, tapi itulah kemungkinan yang bisa saja terjadi.Apalagi kalau kita melihat fakta bahwa kita pernah mendapat julukan sebagai negara terkorup.

    Tahun 2010, hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di 16 negara tujuan investasi di kawasanAsia Pasifik,yakniAustralia, India, Malaysia,Taiwan, Kamboja, Filipina,Thailand,China, Jepang, Singapura, Amerika Serikat, Hong Kong, Makao, Korea Selatan, dan Vietnam, menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang paling korup dengan skor 9.07 dari nilai 10.

    Kita lihat juga Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparansi Internasional Indonesia pada 2011 yang baru saja dirilis.Indonesia berada di peringkat ke-100 dari 183 negara dengan skor 3,0, naik 0,2 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,8.Posisi tersebut berada bersama 11 negara lainnya, yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko,Sao Tome & Principe, Suriname,dan Tanzania.

    Kedua survei di atas menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum dilakukan secara maksimal. Meskipun sudah ada KPK dan pengawasan sudah ditingkatkan, praktik penyalahgunaan kekuasaan juga masih cukup besar. Padahal,kita sering disebut sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia di masa depan, emerging economic. Pada 2025 Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu dari 10 kekuatan ekonomi dunia dengan perkiraan pendapatan per kapita mencapai USD15.000.

    Juga pada tataran ekonomi global, Indonesia diperkirakan bersama Brasil, China, India, Korea Selatan, dan Rusia berpotensi menguasai separuh tingkat pertumbuhan ekonomi global. Namun, potensi ekonomi yang besar tersebut dapat terhambat jika korupsi dibiarkan tumbuh subur, baik di pusat maupun daerah. Pertanyaannya, di mana letak kelemahan pemberantasan korupsi selama ini? Jawabannya tentu pengawasan saja tidak cukup.

    Perlu keberanian dari pimpinan KPK yang baru untuk melakukan pencegahan dan penindakan. Pesan Hari Antikorupsi Sedunia ini harus dijadikan sebagai spirit bagi pimpinan KPK yang baru. “Indonesia bebas korupsi, Indonesia bersih dan bermartabat.” Barangkali itulah yang ingin saya katakan di Hari Antikorupsi Sedunia ini.

  • Mempermalukan Pelaku Korupsi

    Mempermalukan Pelaku Korupsi
    Triyono Lukmantoro, DOSEN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 9 Desember 2011
    Sudah  terlalu banyak pelaku korupsi tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wajah, tubuh, dan identitas lengkap mereka tampil sebagai pemberitaan utama media massa. Tapi kejadian semacam itu terus berulang. Demikian juga, sudah amat banyak terpidana korupsi dijebloskan ke penjara. Selama persidangan pun media massa memberikan sorotan intensif. Hanya saja semua itu menjadi ritual rutin yang tidak bisa memberikan efek jera. Para koruptor bagaikan memiliki watak tidak mengenal rasa malu dan rasa bersalah.

    Lalu hukuman berat apa yang pantas dihunjamkan kepada koruptor itu? Pidana mati, kemungkinan besar, sangat cocok. Namun, jika dikaitkan dengan pertimbangan kemanusiaan, hukuman itu tidak relevan dilakukan. Terlebih lagi terdapat pemahaman mendalam bahwa urusan hidup dan mati berada di tangan Tuhan.

    Usulan yang lebih sesuai dengan rasa kemanusiaan bergulir dalam Konferensi Tahunan Advokat Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di Dubai, Uni Emirat Arab. Kegiatan itu membahas gerakan bersama memerangi penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa korupsi sangat menyengsarakan rakyat. Hoyer E Mayer, Wakil Ketua Komisi Antikorupsi IBA, menyatakan sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya. Hal ini akan memberikan efek malu bagi pelakunya (Kompas, 07/11/11).

    Hukuman yang memberikan rasa malu kepada pelaku korupsi harus dicoba. Publikasi gencar adalah salah satu mekanisme. Tidak dalam bentuk pemberitaan kolosal saat koruptor diadili karena dalam situasi itu, koruptor dapat berlaku sebagai pihak teraniaya. Sekian bukti bisa disodorkan. Sekian banyak pembela juga dihadirkan.

    Usulan menarik untuk mempermalukan koruptor dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yaitu membuat ”kebun” bagi koruptor seperti layaknya kebun binatang. Kebun ini didirikan di 33 provinsi. Mahfud mengakui gagasannya dapat disebut gila. Namun ia mendalihkan bahwa koruptor tidak lebih sebagaimana halnya binatang. Publik nantinya bisa menyaksikan kebinatangan pelaku korupsi di kebun koruptor. Melalui cara ini rasa malu dimunculkan sehingga ada efek jera.

    Gagasan itu secara sekilas memang kontroversial, tapi layak dipertimbangkan. Tidak ada alasan kemanusiaan yang dilanggar mengingat yang dilakukan sekadar memamerkan kebinatangan koruptor. Justru, aspek penyampaian pesannya lebih efektif. Dalam perspektif komunikasi, pesan efektif adalah impresi yang mudah diingat secara kognitif, menimbulkan kesan mendalam dari sisi afektif (sikap), dan menghadirkan perubahan perilaku yang signifikan. Itulah yang disebut efek jera dengan memberikan perasaan malu sehingga yang menyaksikannya tak berani menirunya.

    Kontrol Perilaku

    Mempermalukan pelaku kejahatan sebenarnya bukanlah usulan baru. John Braithwaite, ahli kriminologi dari Australia, mengemukakan teori tentang bagaimana mempermalukan dapat digunakan mengontrol perilaku masyarakat. Mempermalukan dalam kaitan ini merujuk pada penghunjaman perasaan bersalah bagi penjahat. Terdapat dua tipe untuk mempermalukan penjahat.   

    Pertama; disintegratif. Dalam domain ini, penjahat dihukum melalui stigmatisasi, yakni ditolak atau disingkirkan dari masyarakat. Teknik ini cocok dalam masyarakat yang memiliki relasi sosial yang lemah. Kedua; reintegratif, yaitu memperlakukan lebih positif, dengan cara memberi pemahaman, pengampunan, dan bahkan penghormatan. Hal yang amat dibenci adalah perbuatannya yang berdosa, sementara si pendosa tetap dicintai. Metode ini cocok dilakukan pada situasi masyarakat yang memiliki relasi sosial kuat.

    Hukuman dengan teknik mempermalukan yang dikemukakan Braithwaite dapat diterapkan terhadap koruptor di Indonesia. Hanya saja terdapat catatan tersendiri.
    Sekali pun ikatan sosial dalam masyarakat kita cukup kuat, pelaku korupsi pantas mendapat hukuman dipermalukan yang bersifat disintegratif. Jika hanya memberi pemahaman, pengampunan, atau penghormatan, mereka tidak akan pernah merasa malu dan bersalah.

    Bagi mereka, korupsi telah menjadi agenda yang harus dijalankan. Dalam situasi demikian, memberikan stigma (label paling buruk), entah sebagai pengkhianat rakyat atau pembunuh kemaslahatan umat, dan bahkan dikerangkeng layaknya binatang untuk dipertontonkan, pantas digulirkan.

  • PAN dan Kelanjutan Reformasi

    PAN dan Kelanjutan Reformasi
    Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK UIN JAKARTA
    Sumber : SINDO, 9 Desember 2011
    Ketika reformasi digulirkan pada 1998, yang berujung dengan berhentinya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digenggamnya selama tiga dasawarsa lebih, banyak orang berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia akan berubah.

    Harapan itu,untuk sebagian, telah terpenuhi. Sampai tingkat tertentu Indonesia telah berubah. Seandainya tidak bisa disebut berubah, sekurang-kurangnya selama 13 tahun terakhir situasi negeri ini sudah berbeda. Relaksasi dan liberalisasi politik merupakan bagian terpenting dari situasi yang berbeda atau berubah itu.

    Jika pada masa pemerintahan Orde Baru kehidupan politik boleh dikatakan bersifat berpusat pada negara (state-centered), sejak Reformasi 1998 hal itu berganti—tertransformasikan menjadi berpusat pada rakyat (society-centered).Ini dalam artian bahwa kehendak rakyat untuk berhimpun di dalam lembaga atau kekuatan politik tak lagi dihalang-halangi.

    Begitu juga halnya dengan soal keinginan untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan. Demikian liberalnya kehidupan politik itu, khususnya pada masa-masa awal reformasi, sampai-sampai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat banyak. Enam bulan setelah Soeharto mundur, tercatat ada 181 partai politik. Beberapa tahun kemudian, sebagaimana terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah itu bertambah mencapai angka 200-an.

    Demokratisasi politik menjadi semakin kokoh ketika pemilihan umum dilakukan secara langsung,bebas,dan rahasia— dalam pengertian yang sebenarnya.Dalam skala masif rakyat tak lagi merasa takut dan terintimidasi. Melengkapi itu semua,pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota akhirnya juga dilakukan secara langsung.

    Sayangnya prosedur-prosedur kehidupan kenegaraan yang demokratis dan terbuka itu belum sepenuhnya membuahkan sesuatu yang menjadi makna atau saripati dari pemerintahan. Inti dari didirikannya sebuah negara adalah untuk menjaga keamanan warga dan menyejahterakan kehidupan mereka.

    Hakikat dari digulirkannya reformasi pada 1998 adalah untuk mengubah praktik-praktik ekonomi politik yang menghalangi percepatan pencapaian dua tujuan ganda tersebut. Dalam kerangka itu, dapat dipahami jika masih muncul suara-suara yang mengingatkan kita untuk kembali kepada apa yang menjadi api dari Reformasi 1998.

    Kata-kata yang sering didengar bahwa reformasi telah “dibajak”,“diselewengkan”,“ gagal”,dan sebagainya pada dasarnya merupakan ekspresi bahwa memang masih banyak hal yang belum bisa dicapai.

    Posisi PAN

    Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan kekuatan terdepan di dalam menggelorakan Reformasi 1998. Setidaknya, melalui tokoh-tokohnya, para pendiri kekuatan politik ini, reformasi berhasil menuntaskan kesediaan Presiden Soeharto untuk mundur.Tidak ada tokoh yang paling memberi bobot gerakan ketika itu kecuali Amien Rais yang kemudian memimpin PAN.

    Dalam konteks itu, yaitu konteks kepioniran pengguliran reformasi,adalah wajar jika masyarakat menuntut PAN untuk bertanggung jawab atas belum terwujudnya reformasi yang bermakna.Memang,PAN bisa menepis tuntutan itu dengan mengatakan bahwa kehidupan pascareformasi tidak secara dominan diarahkan dan dikendalikan oleh dirinya.

    Dengan kata lain, bukan PAN yang mendominasi jagat elektoral Indonesia. Tidak seperti yang diharapkan banyak pengamat, pada Pemilu 1999 PAN memperoleh 7,4%. Perolehan sebesar itu menempatkan PAN pada posisi tengah kekuatan elektoral politik di Tanah Air—bersamasama dengan PKB dan PPP.

    Kenyataan ini tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga pimpinan PAN sendiri. Meski demikian, posisi tengah tersebut dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh PAN. Melalui kepemimpinan Amien Rais, yang juga ketua MPR, PAN tetap mempertahankan simbol kepioniran reformatif—termasuk dalam mengoreksi kepemimpinan eksekutif di bawah Presiden Abdurrahman Wahid.

    Akan tetapi, kinerja PAN yang cukup baik di parlemen itu—dengan Hatta Rajasa,AM Fatwa, Patrialis Akbar, Afni Achmad, dan lain-lain sebagai penggeraknya—tidak berpengaruh positif bagi kenaikan perolehan suara partai. Pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN justru turun drastis (6,4%).

    Memang, karena peta dukungan yang menyebar ke luar Jawa di mana “harga”kursi relatif “murah”,jumlah kursi PAN di DPR untuk periode 2004–2009 jauh lebih banyak daripada pe-riode 1999–2004 (34 berbanding 52). Ketika Sutrisno Bachir menggantikan Amien Rais sebagai ketua umum PAN pada 2005,ia bermodifikasi sedikit di dalam menjalankan roda kepemimpinan partai.

    Dalam pandangannya, kekuatan elektoral PAN akan dapat ditingkatkan jika partai melebarkan sayap dukungan kepada kalangan lain yang bukan pendukung inti partai.Ketikapartaididirikan, pendukung utamanya adalah Muhammadiyah, masyarakat terdidik dan urban. Untuk keperluan diversifikasi dukungan itulah Sutrisno Bachir berhubungan dengan kalangan Nahdlatul Ulama dan masyarakat “bawah”.

    Dalam konteks politik yang berdasarkan pada prinsip “satu orang satu suara”, pembilahan atau strata sosial-ekonomi menjadi tidak begitu penting dalam hal pengindentifikasian karakter pendukung partai. Sutrisno Bachir telah berusaha.

    Kendati apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil yang diinginkan, setidaknya perolehan PAN tidak melorot drastis sebagaimana yang dialami oleh partai-partai tengah yang lain seperti PPP dan PKB. Kekuatan elektoral PAN turun sedikit dalam hal perolehan suara dibandingkan pemilu sebelumnya (6,01%).Tapi jumlah kursi berkurang,menjadi 46.

    Kepemimpinan Hatta Rajasa

    Kini kepemimpinan PAN berada di tangan Hatta Rajasa, salah seorang kader partai dengan sumber daya politik yang sangat besar: pengalaman dan kewenangan. Sejak awal berdirinya partai, Hatta merupakan kader yang terus-menerus memegang posisi penting. Hal ini bukan hanya menandai kefasihan dia terhadap situasi politik Indonesia pasca-Orde Baru, tetapi juga menunjukkan keluwesan dia dalam berpolitik, baik terhadap konstituen PAN maupun kolegakolega politik yang lain.

    Posisi-posisi penting yang pernah dan sedang didudukinya, baik di dalam partai, parlemen maupun birokrasi,menjadikan dirinya sebagai pribadi politik dengan kewenangan yang diperhitungkan.Akankah semua itu berarti banyak bagi peningkatan kekuatan elektoral PAN pada Pemilu 2014?

    Jawaban yang pasti hanya bisa diberikan ketika Pemilu 2014 itu sendiri usai. Yang jelas adalah bahwa dewasa ini partai politik sedang tidak menjadi komoditas favorit bagi publik. Berbagai survei menunjukkan naiknya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Dalam kerangka itu, tantangan partai politik menjadi sangat besar.

    Tak terkecuali PAN, mereka dituntut untuk merebut kembali kepercayaan rakyat, memenangi kembali hati dan nurani mereka. Tanpa itu,jangan diharap dukungan rakyat pada Pemilu 2014 akan mengalir. Konteks tantangan yang dihadapi pada dasarnya bersumber dari cita-cita reformasi yang belum tercapai. Bahkan dalam pandangan sebagian anggota masyarakat, reformasi telah diselewengkan.

    Karena itu, sebagai partai yang berdiri di garis terdepan reformasi,PAN dituntut untuk mengembalikan jalur. Jalur politik dan pemerintahan yang bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketenangan, dan kenyamanan rakyat di satu pihak serta kesejahteraan sosial-ekonomi mereka di pihak lain. Masa dua tahun hingga Pemilu 2014 digelar bukanlah masa yang lama.

    Persiapan yang sungguh-sungguh harus segera dilakukan meski sekadar untuk mempertahankan posisi tengah dalam hal dukungan elektoral. Keinginan untuk memperoleh kenaikan suara secara signifikan bukan merupakan hal yang harus diperbincangkan. Sebaliknya, soal itu harus segera dicerminkan dalam tindakan yang konkret.

    Amien Rais telah memulai dan sampai tingkat tertentu menempatkan PAN pada posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia. Sutrisno Bachir sudah berusaha untuk melakukan diversifikasi dukungan bagi PAN. Tugas Hatta Rajasa adalah mengonsolidasikan berbagai sumberdaya yang ada untuk mengembalikan semangat berpolitik yang reformis di satu pihak dan meningkatkan kekuatan elektoral PAN di pihak lain.

  • PAN, Koalisi, dan Parliamentary Threshold

    PAN, Koalisi, dan Parliamentary Threshold
    Bawono Kumoro, PENELITI POLITIK THE HABIBIE CENTER
    Sumber : SINDO, 9 Desember 2011
    Partai Amanat Nasional (PAN) akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas) pada 9–11 Desember 2011 di Jakarta. Menjelang dihelatnya momen penting ini, muncul seruan di lingkup internal partai untuk melakukan reposisi keanggotaan PAN di dalam koalisi pendukung pemerintah.

    gkalnya adalah kekecewaan terhadap dua anggota koalisi lainnya, Partai Demokrat dan Partai Golkar, mengenai revisi Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,dan DPRD. Kondisi ini merujuk pada daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah yang mengusulkan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) sebesar 4% sesuai dengan keinginan Partai Demokrat.

    Kemudian, jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) sebanyak tiga hingga enam, yang merupakan permintaan Partai Golkar. Sejauh ini memang dua partai tersebutlah yang mendominasi perdebatan di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi sehingga menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan anggota Setgab lainnya yang menginginkan adanya kesetaraan.

    Koalisi Ideal

    Kombinasi presidensialisme dan multipartai di berbagai negara terbukti sulit untuk mewujudkan demokrasi yang stabil. Di antara berbagai contoh sistem presidensial yang stabil, hanya Cile yang memiliki sistem multipartai.Pada titik inilah penyederhanaan jumlah partai politik dengan sistem multipartai sederhana menemukan urgensinya.

    Untuk memperkuat sistem presidensialisme yang dianut Indonesia, dibutuhkan jumlah partai politik yang bisa bekerja secara efektif di parlemen. Jumlah partai yang tidak terlalu banyak diharapkan dapat meminimalkan fragmentasi di DPR sehingga mengurangi terjadinya gesekan politik di legislatif yang cenderung menghambat kinerja pemerintah.

    Salah satu problem mendasar yang menyebabkan rapuhnya koalisi adalah agenda dan target tiap partai untuk meraih kesuksesan pada Pemilu 2014.Walhasil, insentif yang diberikan Presiden SBY kepada anggota koalisi berupa kursi di kabinet pun tidak cukup kuat mengikat komitmen untuk mendukung segala kebijakan yang dilakukan eksekutif. PAN sebagai partai yang selama ini memiliki loyalitas kuat terhadap koalisi semestinya bisa memainkan peran penting.

    Meski hanya memiliki 46 kursi di DPR,PAN memiliki daya tawar yang kuat di hadapan Partai Demokrat mengingat tidak adanya kekuatan mayoritas.Apalagi dua partai anggota koalisi lainnya,yakni Partai Golkar dan PKS, kerap mbalelo dan bermain di dua kaki.Daya tawar itulah yang bisa dimainkan dalam rangka mencapai kesepakatan mengenai angka PT.

    Maka isu penting lain yang perlu menjadi pembahasan dalam rakernas adalah merumuskan aturan main yang lebih implementatif serta pola komunikasi politik di dalam tubuh Setgab Koalisi pemerintah guna meminimalkan friksifriksi yang menguras energi. PAN perlu memperkeras suara dan menegaskan perlunya etika dan kesadaran dalam berkoalisi agar terwujud kedisiplinan dalam berkoalisi.

    Sebab, dilema yang dihadapi dalam koalisi presidensial saat ini, dengan PAN berada di dalamnya, dirasakan sangat mengganggu jalannya pemerintahan serta menjadi tontonan dan pendidikan politik yang tidak apik bagi masyarakat.

    Target 2014

    Wajar saja jika usulan PT sebesar 4% yang didorong oleh Partai Demokrat menimbulkan kegelisahan bagi partai-partai kecil dan menengah, termasuk PAN.Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dalam pernyataannya yang dikutip media massa sebenarnya tidak mempermasalahkan besaran PT.

    Cukup beralasan melihat perolehan suara PAN sebesar 6,01% pada Pemilu 2009 meskipun terjadi penurunan dibandingkan Pemilu 2004 sebesar 6,44%. Agar dapat mempertahankan keberadaan PAN di parlemen pada periode berikutnya, langkah-langkah taktis dan strategis dalam rangka meningkatkan elektabilitas patut menjadi perhatian utama dalam rakernas.

    Apalagi saat ini partai-partai politik (parpol) menghadapi tekanan deparpolisasi. Ini terlihat dari sentimen negatif yang dimuat media massa,kalangan LSM,maupun masyarakat umum. PAN perlu melakukan evaluasi terhadap dukungan massa pemilihnya yang loyal sembari membangun basis-basis baru. Penetapan calon presiden yang akan diusung dalam Pilpres 2014 mendatang juga diharapkan dapat mendongkrak PT.

    Karenanya suara-suara arus bawah agar rakernas mengusung Hatta Rajasa sebagai calon presiden merupakan hal positif. Dengan memunculkan nama Hatta lebih awal, hal itu akan membuat nama besan Presiden SBY tersebut semakin melambung sekaligus mendongkrak perolehan suara PAN nantinya. Yang tak kalah penting adalah melakukan penataan organisasi.

    PAN ditantang untuk dapat membangun kelembagaan dengan paradigma baru dan memiliki basis-basis sosial yang luas.PAN mesti dapat menunjukkan dirinya bukanlah milik salah satu kelompok, melainkan bisa merangkul semua bagian masyarakat.PAN sebagai partai yang dibentuk dengan semangat reformasi memiliki tanggung jawab untuk memperkokoh demokrasi sebagai salah satu amanat reformasi.

  • Kemitraan AS di Pasifik

    Kemitraan AS di Pasifik
    Scot A. Marciel, DUTA BESAR AMERIKA SERIKAT UNTUK INDONESIA
    Sumber : REPUBLIKA, 8 Desember 2011
    Kunjungan Presiden Obama ke Bali untuk berpartisipasi dalam KTT Asia Timur menjadi sangat bersejarah. Karena kunjungannya yang pertama di KTT ini menegaskan komitmen Amerika Serikat untuk memberikan kontribusi positif jangka panjang di kawasan Asia Pasifik. Kunjungan tersebut menjadi puncak upaya diplomasi yang sudah berlangsung lama, tenang, gigih, dan beraneka segi.

    Tujuannya adalah pada keterlibatan berkesinambungan AS di kawasan Asia Pasifik yang merupakan “rumah” bagi hampir separuh penduduk dunia, motor utama ekonomi global, serta penggerak kancah perpolitikan global. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyebut keterlibatan AS di Asia sebagai salah satu tugas diplomasi Amerika yang paling penting untuk satu dasawarsa ke depan.

    Perbaruan fokus kawasan Asia-Pasifik mencerminkan realitas strategis dari kawasan yang dinamis dan bertumbuh ini dan merupakan hal yang sangat penting bagi perekonomian dan politik AS. Kami juga percaya bahwa fokus tersebut sangat krusial untuk masa depan negara-negara di Asia.

    Dengan adanya arus perdagangan dan investasi yang kuat, hadirnya keamanan yang mendukung stabilitas kawasan dan tidak ada ambisi atau maksud apa pun untuk menguasai wilayah, Amerika Serikat menawarkan kemitraan yang tak ternilai harganya bagi perdamaian dan kesejahteraan di kawasan ini.

    Komitmen Amerika sangat luas dan strategis. Dalam bidang ekonomi, komitmen tersebut diejawantahkan melalui kerja sama dengan para mitra dari Australia, Brunei, Cile, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam untuk menghasilkan kesepakatan kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP) yang ambisius. Selanjutnya untuk meningkatkan volume perdagangan serta jumlah investasi, mendorong inovasi dan pertumbuhan untuk pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, serta mendukung penciptaan lapangan kerja.

    Masa depan kawasan ini bergantung pada perdagangan dan perniagaan yang kuat dan kokoh. Kami pun berharap bahwa Indonesia, Cina, dan negara lain yang berminat dalam membuat perjanjian dagang baru pada abad ke-21 akan mempertimbangkan untuk bergabung dengan kami untuk mewujudkan hal tersebut.

    Di Indonesia, sebagai bagian dari kerja sama bidang ekonomi, Amerika Serikat dan Indonesia telah menandatangani sebuah kesepakatan //Millennium Challenge Corporation (MCC) Compact di mana AS akan memberikan bantuan sebesar 600 juta dolar AS untuk mendukung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta peningkatan pelayanan publik di Indonesia.

    Kami juga memberikan dukungan penuh kepada Pemerintah Indonesia yang sekarang ini tengah memfokuskan untuk meningkatkan infrastruktur di negara ini. Kami juga berkeyakinan bahwa perusahaan-perusahaan AS dapat ikut serta mengambil peran yang penting dalam kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk menyelesaikan sasaran-sasaran ambisius yang ingin dicapai dalam rencana ini.

    Kami juga memperkuat traktat kerja sama antarnegara yang telah kami lakukan dan juga membangun kerja sama dengan kekuatan-kekuatan baru di dunia, termasuk dengan Cina, demi mempertahankan kestabilan kawasan yang nantinya akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia-Pasifik. Selain itu, kami juga merasa bahwa hubungan antarbangsa atau //people-to-people contacts antara negara-negara yang berbeda di kawasan Pasifik dapat mengurangi rasa saling curiga dari masing-masing pihak dan hal tersebut telah menjadi bagian yang sangat penting dalam kebijakan diplomasi AS untuk dekade berikutnya.

    Komitmen kami untuk terus memperbarui serta memperkuat kembali kerja sama di bidang pertahanan telah menghasilkan sebuah inisiatif yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Obama dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard. Melalui kesepakatan ini, setiap personil Marinir AS akan dimulai dengan kelompok kecil yang beranggotakan 250 personil dan nantinya akan ditingkatkan menjadi 2.500 orang yang terhimpun dalam suatu Gugus Tugas Darat Udara (MAGTF).

    Anggota-anggota marinir ini akan mendapatkan rotasi penempatan di Darwin dan Australia Utara selama enam bulan guna melakukan latihan bersama dengan Angkatan Bersenjata Australia. Selain itu, kami juga akan menambah akses bagi pesawat terbang di pangkalan udara di Australia Utara dalam rangka meningkatkan kerja sama bilateral. Kedua prakarsa ini membangun kerja sama aliansi yang erat antara AS dan Australia selama bertahum-tahun.

    Kegiatan ini juga nantinya akan membuka kesempatan untuk memperdalam hubungan keamanan dengan mitra-mitra AS di wilayah ini, termasuk dengan Indonesia, dan juga memberikan kemampuan yang lebih baik dalam melakukan kegiatan bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai bencana alam maupun peristiwa darurat lainnya di wilayah ini.

    Kesepakatan antara pemerintah AS dan Australia tersebut bukan dalam rangka untuk membangunan sebuah pangkalan militer AS di Australia, melainkan sebuah bentuk rotasi pasukan marinir di kawasan Australia bagian utara agar latihan bersama AS-Australia tetap berlangsung dan diperluas.

    Meskipun Indonesia dan beberapa negara tetangga menyambut baik prakarsa ini, sejumlah pihak di dalam negeri Indonesia berspekulasi bahwa rotasi pasukan marinir ini kurang lebih akan diarahkan kepada Indonesia. Kebenaran hal tersebut sangat jauh sekali.

    Bukan demikian sesungguhnya, kerja sama keamanan dengan Indonesia dan mitra-mitra lainnya di wilayah ini adalah tujuan utama dari prakarsa baru tersebut. Amerika Serikat memiliki hubungan yang sangat bersahabat dengan Indonesia dan kami memandang Indonesia sebagai mitra yang sangat penting di wilayah ini.

    Kami mendukung sepenuhnya kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Kesepakatan yang baru dengan Australia tersebut adalah bagian dari peninjauan jangka panjang mengenai bagaimana pasukan AS ditempatkan di suatu wilayah dan di seluruh dunia, dan bukan ditujukan untuk satu negara tertentu.

    Amerika Serikat memiliki peran yang sangat krusial terhadap keberhasilan Indonesia sebagai negara demokrasi yang makmur dan terus berkembang. Semua pihak akan mendapatkan keuntungan dari stabilitas serta pertumbuhan bersama.

    Keberadaan serta aktivitas Amerika Serikat di Indonesia adalah untuk mendukung keberhasilan dan kesuksesan Indonesia, baik melalui kerja sama militer seperti pemberian hibah pesawat tempur F-16 kepada TNI-AU, kerja sama pembangunan seperti program bantuan ekonomi melalui Millennium Challenge Corporation (MCC) compact, atau kerja sama pendidikan untuk meningkatkan jumlah siswa yang belajar di masing-masing negara.

    Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai sejarah persahabatan yang panjang dimulai semenjak hari pertama kemerdekaan Indonesia. Komitmen kami untuk melanjutkan kemitraan jangka panjang yang setara dengan semua teman-teman kami di Asia tidak akan tergoyahkan. Sejarah akan mencatat, pembaharuan fokus ke Asia sebagai salah satu perkembangan yang paling signifikan bagi diplomasi Amerika pasca-Perang Dingin.

  • ASEAN Harus Semakin Kohesif

    Pada November lalu di Bali berlangsung rangkaian KTT ASEAN yang utamanya mencoba membangun arsitektur kawasan yang baru di Asia Tenggara dan Asia Timur.
    Keberhasilan KTT itu tak lepas dari peran Indonesia sebagai ketua ASEAN selama 2011 ini, yang mengusung tema “ASEAN in a Global Community of Nations”, dan menelurkan Bali Concord III.

    Ada dua event yang saya kira penting dalam rangkaian KTT itu. Pertama, pada KTT itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan Bali Concord III yang akan menjadi semangat partisipasi dan kontribusi ASEAN untuk mencapai dunia yang lebih damai, makmur, dan demokratis.

    Dengan itu Indonesia ingin membawa ASEAN ke tingkat yang lebih tinggi melalui usulnya memakai suatu platform ASEAN untuk berbagai isu global.

    Lalu event kedua adalah KTT Asia Timur ke-6 (East Asia Summit/EAS), yang untuk pertama kalinya AS dan Rusia ikut berpartisipasi, sehingga jumlah peserta meningkat dari 16 menjadi 18 negara.

    Pada pertemuan itu dikeluarkan Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-prinsip Hubungan yang Saling Menguntungkan (Declaration on East Asia on the Principles for Mutually Beneficial Relations).

    Kehadiran kedua negara besar itu mengundang berbagai komentar dan analisis dari aspek ekonomi dan politik, yang pada umumnya menyambut kehadiran mereka sebagai dua pilar baru untuk perwujudan arsitektur keamanan baru dynamic equilibrium (keseimbangan yang dinamis).

    Konsep tersebut dikembangkan Indonesia dalam upaya menjamin perdamaian dan stabilitas dalam proses mengintegrasikan Asia Timur dengan Asia Tenggara.

    Dalam pandangan saya, konsep dynamic equilibrium dapat dikonsolidasikan lebih lanjut dengan mengajak Uni Eropa. Tentunya kalau tidak bisa langsung, bisa didahului dengan mengadakan kerja sama dalam kerangka Asia Europe Meeting (Asem) dan EAS.

    Dalam pandangan saya, kerja sama itu dapat didasarkan pada prinsip Deklarasi EAS, di mana negara-negara yang terkait ingin meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan.

    Baik sebelum maupun sesudah EAS, diyakini partisipasi AS itu demi meminimalkan penguatan pengaruh China di Asia Timur dan seluruh kawasan. Meski pandangan itu bukannya tanpa dasar, sebaiknya hal itu tidak membawa kita semua kembali kepada retorika Perang Dingin.

    Kehadiran AS itu lebih baik dilihat sebagai partisipasi pentingnya dalam upaya pengintegrasian Asia Timur dan Tenggara, atau Komunitas Asia Timur dengan Komunitas ASEAN. Berbagai pemangku kepentingan diharapkan mau bekerja sama, dan bukan malah saling bertengkar sendiri.

    Faktor Pengimbang

    SBY mengatakan kita beruntung untuk pertama kalinya hubungan antara negara-negara besar saat ini ditandai suasana damai, stabil, dan kerja sama. Namun berbagai pusat kekuatan baru kini bermunculan, dan hubungan antarkekuatan itu kini berubah dan semakin cair.

    Dengan demikian, sangatlah penting kalau hubungan antarkekuatan yang tumbuh tersebut tidak mengarah pada ketegangan strategis yang baru, atau persaingan yang mengguncang stabilitas, atau lebih buruk lagi: konflik.

    Sebaliknya, hubungan-hubungan itu harus mengarah pada peningkatan saling percaya, kerja sama, dan bahkan integrasi, demikian menurut presiden, ketika berbicara di APEC CEO Summit, di Hawaii, 12 November lalu.

    Sebaliknya, kerja sama keamanan menjadi pilihan untuk kawasan ini. KTT ASEAN dan EAS menghasilkan pemikiran positif ke arah itu.

    Peran ASEAN sebagai kekuatan pendorong pada seluruh proses membangun arsitektur kawasan pada kenyataannya merupakan faktor pengimbang di Asia Timur dan Tenggara, khususnya pada hari-hari ini ketika negara-negara besar hadir di kawasan tersebut. Hal itu merupakan prestasi diplomatik yang penting bagi Indonesia sebagai tuan rumah dan anggota ASEAN lainnya.

    Memang diperbincangkan sampai berapa lama peran itu dapat dipertahankan. Ini karena, misalnya, ada beberapa anggota ASEAN berhasil digaet AS untuk bergabung dalam perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP), yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Vietnam, bersama-sama Australia, Cile, Selandia Baru, dan Peru.

    Karena itu, apakah peran ASEAN akan panjang atau tidak, tergantung apa yang dilakukan perhimpunan tersebut. Dengan demikian perwujudan Komunitas ASEAN 2015 dengan tiga pilarnya dan strategi pasca-2015 menjadi sangat penting.

    Perkuat Kohesi ASEAN

    Dalam konsep EAS yang lebih luas, bila ASEAN benar-benar ingin memelihara peran sentralnya, ia perlu memperkuat kohesi internal dan harus bermanfaat bagi para anggotanya.
    Haruslah dipertimbangkan agar ASEAN bekerja lebih keras menyelesaikan agenda-agenda kawasan. Harus jelas masalah-masalah apa yang menjadi prioritas meski itu sangat pelik, khususnya bila terkait harus memihak kepada siapa.

    Saya sependapat dengan pandangan Rizal Sukma dari CSIS bahwa ASEAN perlu menerapkan mekanisme sanksi dalam penerapan berbagai agendanya. Lalu topik lain yang penting adalah internasionalisasi atau tidak masalah Laut China Selatan (LCS).

    Dalam pengamatan saya, salah satu prinsip Deklarasi KTT Asia Timur adalah perlunya menghormati hukum internasional. Saya kira terkait isu LCS kecenderungannya masalah tersebut diinternasionalisasikan.

    Pada saat yang sama juga digarisbawahi prinsip tidak campur tangan dalam persoalan internal negara lain dan menahan diri menggunakan kekerasan terhadap negara lain, sesuai dengan Piagam PBB. Dengan begitu, konsep dynamic equilibrium sudah bekerja di situ.
    Belum tentu keputusan untuk internasionalisasi atau tidak masalah LCS akan memancing kontroversi.

    Namun keputusan itu akan sangat terkait dengan pertanyaan: apakah akan menerima atau menolak kehadiran kekuatan dari luar kawasan sebagai bagian dari solusi? Saya tidak mendukung internasionalisasi masalah LCS. Pendekatan bilateral dan kawasan mungkin jauh lebih baik. ●

    ASEAN Harus Semakin Kohesif
    George Savuica, MANTAN DUTA BESAR ROMANIA DI JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 8 Desember 2011

  • Menggugat Smart Power Obama

    Dalam acara penggalangan dana politik di Manhattan, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengatakan “tak ada sekutu yang lebih penting daripada negara Israel” (Reuters,1/12).

    Pernyataan ini seolah membantah kenyataan bahwa pemerintahnya selama ini dianggap oleh para pendukungnya terlalu keras terhadap sekutu dekatnya,Israel. Sementara itu, rencana kebijakan penempatan 2.500 prajurit korps marinir AS di Darwin, Australia, mengundang kontroversi banyak kalangan.Meski penempatan pasukan itu dibantah Obama sebagai bagian dari salah satu strategi AS untuk mengantisipasi ketegangan di Laut China Selatan (LCS), publik tidak percaya begitu saja.

    Bahkan di sela-sela KTT Asia Timur (EAS) di Bali 3 minggu lalu,pertemuan Obama dengan PM China Wen Jiabao sempat menuai ketegangan. Selain China tidak suka dengan AS atas campur tangan persoalan konflik di LCS, penempatan pasukan itu jelas menambah kecurigaan akan maksud di balik itu. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ngotot atas perlunya isu LCS masuk dalam topik EAS, tetapi ASEAN menolak.

    Publik selalu diingatkan akan cara-cara/strategi politik luar negeri AS dengan ciri khas dan unik,berupa standar ganda. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa dasar politik luar negeri AS ialah kepentingan nasional. Singkatnya, apa saja yang menguntungkan dirinya akan diambil, sebaliknya bila merugikan akan dibuang.Timbul kesan,penempatan pasukan marinir AS itu,selain ada kaitan instabilitas di LCS,juga dengan kondisi politik di Myanmar dan soal konflik PT Freeport di Papua.

    Dengan jarak 820 km dari Indonesia, dalam hitungan menit pasukan AS di Darwin dapat menjangkau Asia Tenggara dan Samudera Hindia.Ini berarti instabilitas kawasan akan dengan mudah mengundang campur tangan AS. Meski kebijakan AS ini merupakan kebijakan baru terhadap fokus kegiatan militer AS yang mengalihkan dari Irak dan Afghanistan ke Asia dan lebih khusus ke Asia Tenggara,meluasnya keberadaan militer asing di kawasan hanya akan mengandung banyak risiko.

    Menurut Menlu Marty Natalegawa, perkembangan ini dapat memprovokasi reaksi dan kontrareaksi, yang dapat menciptakan siklus ketegangan dan ketidakpercayaan atau kesalahpahaman banyak kalangan (SINDO,18/11).Lantas, bagaimana dengan aneka kebijakan smart power AS yang menjadi andalan pemerintah Obama?

    Diplomasi Smart Power

    Diplomasi smart power pertama kali diperkenalkan Menlu AS Clinton ketika berkunjung ke Indonesia, Februari 2009. Konsep smart power digunakan untuk menyebut strategi kebijakan luar negeri AS ke depan di era pemerintahan Obama. Dalam pandangan Clinton, peran global AS lebih bersifat diplomatis.Konsep ini bermaksud memadukan soft power dan hard power.

    Sementara era kepemimpinan Bush lebih mengedepankan kekuatan militer atau hard power dan mengabaikan kepemimpinan berdasarkan pendekatan budaya. Untuk mencapai smart power itu,AS harus menjalankan peran sebagai pemimpin yang melindungi. AS harus memberi perhatian terhadap kebutuhan publik global, menyediakan kebutuhan orang-orang dan pemerintahan di seluruh dunia yang tidak bisa mereka penuhi, mendukung lembaga-lembaga internasional,dst.

    Smart power bukanlah ide murni Obama atau Hillary, tetapi merupakan rekomendasi CSIS AS yang kemudian dibukukan dalam bentuk report dengan judul “CSIS Commission on Smart Power: A Smarter, More Secure America”(November,2007).

    Standar Ganda AS

    Tidak hanya instabilitas kawasan Asia Pasifik, isu tentang kebijakan nuklir dunia selalu mengundang pro-kontra berkepanjangan. Kebijakan Pemerintah AS tentang nuklir,yang dikeluarkan April 2010,sebagai bagian dari strategi Nuclear Posture Review (NPR), mengundang protes Iran dan Korea Utara.Dalam petisi ke Perserikatan Bangsa- Bangsa, kedua negara menuduh AS sebagai penghasut perang dan ancaman perdamaian dunia.

    Sementara bagi AS,perubahan kebijakan dan strategi NPR di samping membatasi penggunaan senjata nuklir AS sendiri,juga AS akan memainkan peran sebagai “stabilisator”bagi para sekutunya. Yang dimaksud membatasi penggunaan senjata nuklir pemerintahan Obama,AS tidak akan menggunakan senjata nuklirnya pada negara-negara yang tidak mengembangkan program nuklir dan negara-negara yang mematuhi kesepakatan nonproliferasi nuklir (NPT).

    Akan tetapi, kebijakan nuklir Obama itu, bagi banyak kalangan, menunjukkan karakter AS dalam menerapkan standar ganda. Apa yang tercantum dalam kebijakan baru NPR itu bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan.AS mewajibkan negara-negara yang memiliki program nuklir untuk patuh pada kesepakatan NPT, sedangkan AS bersama negara India, Pakistan, dan Israel menolak untuk ikut menandatangani NPT.

    AS melarang Iran mengembangkan program nuklir karena takut Iran membuat senjata nuklir, tetapi AS melindungi Israel yang memanfaatkan fasilitas nuklirnya untuk membuat senjata nuklir. Saat ini Israel diyakini memiliki 200 senjata berhulu ledak nuklir. Apa yang digagas pemerintah Obama tentang konsep smart power tidak berlaku bagi diplomasi AS untuk Israel.

    Smart Power Obama Tidak Terbukti

    Sementara upaya Obama untuk mewujudkan negara Palestina merdeka dinilai masih dalam tataran retorika. Proses perdamaian Israel-Palestina masih jalan di tempat,jauh dari harapan karena dihadang arogansi Israel. Semula Obama menganggap keterlibatannya dalam penciptaan perdamaian Palestina-Israel sebagai sangat penting untuk memperbaiki citra AS di dunia muslim dan menarik negara-negara Arab moderat ke dalam front persatuan dalam menghadapi apa yang disebut musuh-musuh AS seperti Iran.

    Janji Obama untuk lebih mengedepankan smart power dengan kehidupan dunia yang lebih adil tidak terbukti.Dalam kebijakan politik luar negeri terhadap dunia Islam, AS acap kali menggunakan kerangka perang terhadap terorisme.

    Kini, banyak kalangan menggugat Obama yang menyatakan bahwa diplomasi smart power menjadi garda depan politik luar negeri AS, yang menggunakan semua perangkat untuk bisa memengaruhi— diplomasi,ekonomi, militer, hukum,politik,dan budaya— dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Akankah ke depan nurani AS tergugah dengan smart power yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan?

    Bukankah keputusan UNESCO barubaru ini untuk menerima Palestina sebagai anggota menjadi sebuah pertanda dan kemenangan Palestina dalam pengakuan dan dukungan internasional yang solid? Saatnya smart power Obama diubah smart humanitarian jika tidak ingin masyarakat dunia menggugat. ●

    Menggugat Smart Power Obama
    Faustinus Andrea, PEMERHATI MASALAH KEAMANAN ASIA PASIFIK, STAF CSIS JAKARTA
    Sumber : SINDO, 8 Desember 2011

  • Degradasi Peradaban Kota

    Degradasi Peradaban Kota
    Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, PENULIS BUKU, ESAIS KEBUDAYAAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 8 Desember 2011
    Peristiwa yang sudah agak lama terjadi ini masih layak dijadikan ilustrasi sakitnya peradaban-kota. Pada medio Oktober 2011 silam, di jalanan Kota Foshan, wilayah Guangzhou, Cina,Yue Yue, 2 tahun, ditabrak sebuah mobil. Yue Yue melesat ke sisi lain, untuk kemudian mobil di belakangnya menyusul menumburnya. Yue Yue terkapar tak berdaya. Kejadian ini berlanjut dengan tragedy memilukan: rekaman CCTV menunjukkan bahwa 18 orang yang lewat di situ tak ada yang peduli, tak ada yang menolong. Barulah orang ke-19, yang ternyata seorang pemulung pendatang dari dusun jauh, menggotong Yue Yue ke tepian jalan. Si balita akhirnya meninggal.
    Sikap ketidakpedulian masyarakat Kota Foshan menjadi perbincangan ramai di seluruh dunia. Tentu semua mengutuk sikap itu. Banyak pengamat sosial menyebut peristiwa itu sebagai fakta mulai melorotnya unsur kemanusiaan orang-orang Cina kontemporer. Akibatnya, Cina yang kini sangat maju ekonominya, dan menjadikan peradaban-kota
    sebagai bendera kehidupan, sekonyong-konyong dianggap sebagai bangsa yang sedang disentuh degradasi moral.
    Kebudayaan Desa
    Peradaban-kota yang cenderung tidak mau peduli kepada orang lain ini di Jakarta
    populer lewat ungkapan “Lu lu, gue gue”. Artinya “yang mengurus engkau adalah engkau sendiri, yang mengurus aku ya aku sendiri”. Sementara itu, dalam ilmu psikologi, fenomena ini dikenal sebagai bystander effect, atau sindrom Genovese (John Darley dan Bibb Latane). Seperti ditulis psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, sindrom Genovese berangkat dari peristiwa yang menimpa Kitty. Syahdan, pada 13 Maret 1964 dinihari, Kitty diserang oleh pencoleng di apartemennya, di kawasan Queens, Kota New York. Kitty, yang ditikam berkalikali, berteriak-teriak meminta tolong. Namun para tetangganya cuma melongokkan kepalanya lewat jendela, tingak-tinguk sejenak, untuk kemudian lelap lagi di kamar masing-masing. Kitty Genovese akhirnya mati sendirian.
    William Cowper, pujangga Inggris abad ke-18, menulis,“Tuhan menciptakan desa, manusia membangun kota.” Dalam tulisan itu Cowper mengatakan bahwa yang dimaksud desa bukan Cuma wilayah tenteram yang dihampari persawahan, disuburi humus, dan diteduhi tanah ladang. Desa adalah juga kehangatan kebudayaan, tempat merebaknya kearifan lokal yang tumbuh dari falsafah memberi dan menerima, tolong-menolong, seperti hubungan manusia dan alam yang menghidupinya.
    Adapun yang dinamakan kota bukan cuma wilayah dengan prasyarat ala Jorge Hardoy, yang menuntut kepermanenan, berstruktur tata ruang, memiliki fungsi hunian, serta mempunyai peran dalam pasar, administrasi, dan pemerintahan. Kota bukan hanya gedung-gedung gemerlap, yang semakin menjulang seolah makin kukuh dalam tampilan. Kota juga sebuah peradaban. Selanjutnya, sementara desa mengajarkan harmoni, peradaban-kota mementingkan kompetisi untuk meraih prestasi. Atau
    persaingan untuk menuju puncak. Adapun persaingan sering kali merangsang masyarakat kota untuk memangkas sikap-sikap peduli.
    Cerita dari Cina dan Amerika di atas mengingatkan kita kepada peristiwa di Indonesia, negeri yang sebagian masyarakatnya masih menganut kearifan lokal, dengan perilaku yang didenyutkan oleh kebudayaan desa. Pada medio November 2010, seorang anak lelaki berusia sekitar 6 tahun tergilas mobil di ujung Jalan Sukasari III, Bogor, tempat
    para pedagang kecil berjualan buah-buahan di lapak-lapak. Puluhan orang menyaksikan langsung peristiwa mengagetkan itu. Belasan pemilik lapak spontan
    berusaha menyelamatkan si anak. Sopir mobil yang (tak sengaja) menggilas lantas turun ikut menolong, dan menyediakan mobilnya untuk keperluan darurat. Seorang lelaki tua berkupluk haji yang kebetulan lewat di situ sepenuh hati membaringkan si anak di pangkuannya selama perjalanan ke rumah sakit. (“Surat Pembaca”Kompas, 3 Januari 2011).
    Kikis
    Membandingkan sepotong perilaku buruk di Cina dan Amerika dengan sekeping kebaikan di Indonesia tentu tidak melahirkan kesimpulan bahwa bangsa Indonesia lebih berbudi baik ketimbang Cina dan Amerika. Pun bila kemudian semua itu dihubungkan dengan realitas bahwa kita punya Pancasila, yang di dalamnya menyimpan sila perikemanusiaan. Atau bila dihubungkan dengan falsafah gotong royong, intisari dari Pancasila, yang menurut Bung Karno merupakan paradigma utama kebudayaan-desa.
    Tapi, yang perlu disadari, kebudayaan-desa yang mengusung rasa peduli dan saling menolong itu tampaknya kini hanya hidup di level bawah. Cuma pada rakyat jelata. Pada level atas, apalagi pada tingkat elite yang berkubang dalam wahana kekuasaan, perilaku seperti itu tampak sudah kikis. Catat korupsi yang melibatkan para petinggi kementerian, para pejabat pengelola kota, para pentolan partai, para senopati kepolisian. Catat permainan uang untuk membolak-balik hukum dalam institusi kejaksaan dan kehakiman. Kongkalikong pengusaha dengan penguasa untuk mengeruk keuntungan haram dengan membikin penderitaan rakyat banyak.
    Lebih mengerucut, catat kasus korupsi para anggota Badan Anggaran DPR atas anggaran pembangunan berbagai desa. Lebih spesifik lagi, catat: penilapan 740
    ton raskin alias beras untuk orang miskin yang melibatkan petinggi lembaga Badan Urusan Logistik (Bulog) Dramaga, Bogor.Ya, beras yang ditanam oleh orang-orang desa yang jelata di sawah-sawah desa, disemai orang-orang desa, ditelikung pemilikannya oleh orang-orang gedean dari kota, untuk kemudian diakali pendistribusiannya oleh orang-orang berkebudayaan kota.
    Korupsi-korupsi seperti ini kemudian memupuk keputus-asaan dan menginspirasi kekerasan, membangkitkan hasrat orang untuk jadi makhluk nekat di segala sisi kota besar. Lalu, generasi remaja pun akan berteriak: kalau para orang tua boleh main gila, kenapa anak-anak muda tak boleh mencoba-coba?
    Maka, terjadilah peristiwa itu. Raafi Aga Winasya, siswa SMA Pangudi Luhur, Jakarta, tewas akibat pertikaian antargeng pada 4 November lalu. Darah itu tertumpah di sebuah kafe mewah, salah satu lambang peradaban-kota. Belum sampai pembunuhan ini diusut, muncul peristiwa lain. Christopher M.T., pelajar belia pemenang Olimpiade Sains Nasional 2007, ditemukan tewas di kawasan Pluit, Jakarta, pada 5 Desember kemarin. Peradaban-kota, yang diaksentuasi mental yang korup, menyebabkan anak-anak muda kota dengan mudah saling menikam satu sama lain.
    Perilaku korup tersebut dalam psikologi sosial ditengarai sebagai bentuk ekstrem dari niat untuk tidak pernah peduli, dan sikap yang murni mementingkan diri sendiri. Padahal Henri Frederic Amiel, filsuf Swiss abad ke-19, berkata, “Nafsu untuk mementingkan diri sendiri tidak lain adalah sisa dari unsur kebinatangan yang ada dalam diri manusia.”
    Mungkin karena itu, dalam peradaban-kota Indonesia yang diramaikan acrobat sosial, trik politik, dan sirkus ekonomi, banyak muncul berbagai jenis binatang. Dari tikus, kucing garong, cicak, buaya, sampai kecoa.
  • Gubernur Jenderal untuk DKI Jakarta

    Gubernur Jenderal untuk DKI Jakarta
    Indra J. Piliang, KETUA BALITBANG DPP PARTAI GOLKAR
    Sumber : KORAN TEMPO, 8 Desember 2011
    Media sosial semacam Twitter dan Facebook adalah sketsa betapa kemacetan di Jakarta jadi hantu yang muncul di pagi, siang, petang, dan malam hari. Menakutkan sebagai umpatan. Dan itu berlangsung bertahun-tahun.Tentu banyak solusi yang diberikan oleh para ahli tentang kota terbesar di Indonesia ini. Hanya, kemacetan—lalu banjir—tetap menjadi cirri dominan. Beban Jakarta demikian besar, termasuk pengisap triliunan uang yang hilang sia-sia akibat bahan bakar fosil menguap ke udara.
    Tahun depan, Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dipilih secara langsung. Para kandidat sudah muncul, berikut program-program yang hendak dijalankan. Padahal Jakarta baru berubah menjadi daerah tingkat I pada 1959, sedangkan sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Status sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) baru didapat pada 1961. Artinya, baru 50 tahun Jakarta menjadi DKI. Sehingga, pengalaman beragam gubernur yang pernah menjabat relatif minim.
    Nah, persoalannya, bagaimana wajah Jakarta 50 tahun ke depan? Apakah berubah
    menjadi kota yang benar-benar tidak lagi layak huni atau menjadi contoh bagi modernisasi Indonesia yang selama ini dijalaninya? Sudah jamak diketahui betapa Jakarta adalah barometer dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga ilmu pengetahuan. Jakarta menjadi hulu dan hilir bagi beragam kepentingan, termasuk politik. Ketika Jakarta berhasil menempatkan diri pada posisi yang menyenangkan bagi
    siapa pun, Indonesia secara keseluruhan bisa dipengaruhi ke arah yang positif. Sebaliknya, kesemrawutan Jakarta member beban bagi Republik Indonesia.
    Sebagai Daerah Khusus Ibu Kota, Jakarta juga menjadi etalase dari kantor-kantor pemerintahan pusat (nasional). Di Jakartalah lembaga-lembaga negara menjalankan
    aktivitas, begitu juga kantor-kantor pemerintahan asing. Jakarta menjadi titik temu kepentingan lokal, nasional, dan internasional sekaligus. Karena itu juga, siapa pun yang memimpin Jakarta layak memiliki keberanian untuk menegakkan kepala berhadapan dengan siapa pun, termasuk presiden.
    ● ● ●
    Mengingat persoalan-persoalan besar di Jakarta, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dievaluasi kembali. Apakah cukup kuat undang-undang itu menampung persoalan-persoalan Jakarta,
    sekaligus visi pengembangannya ke depan? Apabila undang-undang itu membebani
    pelaksanaan jalannya pemerintahan, terutama dalam kedudukannya sebagai pemerintah daerah yang bergantung pada pusat, tentulah penting untuk direvisi.
    Karena Jakarta adalah medan magnet bagi migrasi penduduk dari seluruh Nusantara,
    tentulah persoalan-persoalan di Jakarta terhubung dengan daerah-daerah lain, termasuk Provinsi Banten dan Jawa Barat. Hampir sulit dibedakan daerah-daerah
    perbatasan antara Jakarta dan daerah di sekelilingnya. Gerbang perbatasan seakan hanya ornamen yang tak memperlihatkan perbedaan signifikan. Jakarta hakikatnya dikelilingi oleh kota-kota lain juga yang tingkat pertumbuhannya pesat.
    Dari sini, konsep megapolitan yang pernah dilontarkan oleh Sutiyoso menjadi relevan
    dihadapkan lagi sebagai bahan diskusi. Kita tahu, Bandung menjadi penuh sesak pada Sabtu dan Minggu, ketika orang-orang Jakarta datang untuk berbelanja. Sebaliknya, belum ada satu kawasan pun di Banten yang bisa dijadikan area menarik untuk didatangi penduduk Jakarta. Bagi yang memiliki cukup uang, Singapura dan Bali seakan jadi kampung halaman untuk dikunjungi setiap pekan atau bulan.
    Saking pentingnya provinsi-provinsi tetangga itu, guna mengatasi sebagian masalah
    Jakarta, tentu posisi Gubernur DKI Jakarta layak ditinggikan seranting, dimajukan
    selangkah. Sudah lama memang Gubernur DKI menjadi Ketua Asosiasi Pemerintahan
    Provinsi se-Indonesia (APPSI). Hanya, APPSI hanyalah organisasi yang lemah secara hukum, karena bersifat paguyuban. Tanpa ada kedudukan formal yang tegas terhadap posisi Gubernur DKI dalam kaitannya dengan gubernur-gubernur daerah lain, sulit untuk dilakukan koordinasi. Apalagi, standardisasi nasional dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian terkait.
    Salah satu cara mengatasi hal itu adalah menempatkan kedudukan Gubernur DKI menjadi semacam “gubernur jenderal” bagi pemerintah pusat. Jabatannya bisa saja
    menjadi setingkat menteri atau menjadi anggota resmi dalam sidang-sidang kabinet,
    tetapi tetap sebagai Gubernur DKI. Penempatan ini perlu dikaji oleh para ahli hukum tata negara, sebagaimana kedudukan yang diberikan kepada sejumlah “jabatan setingkat menteri”lainnya. Usaha ini minimal akan memberi kesempatan kepada Gubernur DKI untuk menyinergikan program-programnya dengan agenda-agenda
    nasional.
    Yang selama ini menghegemoni adalah kata-kata “pusat”dan “nasional” yang berarti
    DKI Jakarta. Jakarta sebagai pusat dan Jakarta sebagai daerah semakin sulit dibedakan, ketika pada November dan Desember hotel-hotel sesak dipenuhi kegiatan
    akhir tahun dari seluruh elemen pemerintahan se-Indonesia yang menghabiskan
    anggaran publik.
    ● ● ●
    Tanpa upaya menyesuaikan aturan perundang-undangan dengan kebutuhan Jakarta,
    akan sulit untuk menjalankan roda pemerintahan di DKI Jakarta dan persoalan-persoalan yang menyelimutinya. Jakarta yang sekarang tentu berbeda dengan Jakarta
    50 tahun lalu. Pola kepemimpinan Ali Sadikin, sebagai contoh, hanya akan berhadapan dengan rakyat Jakarta yang sadar hukum. Karakter kepemimpinan yang tegas memang diperlukan, tetapi karakter itu mestinya dipayungi oleh hukum. Apalagi, demokrasi menjadi ciri masyarakat modern Indonesia, sehingga siapa pun tak lagi takut kepada presiden sekalipun.
    Gubernur jenderal untuk Jakarta mungkin terdengar sumir. Atau antidemokrasi. Atau bias kolonial.Tidak ada masalah. Sebutan itu hanya mewakili imajinasi sejarah yang pernah ada, ketika Hindia Belanda dipimpin gubernur jenderal. Gubernur jenderal memang terdengar identik dengan jabatan kemiliteran, tetapi sekaligus juga hukum dan pembangunan. Gubernur jenderal adalah imajinasi tentang penataan dan keamanan, sekaligus juga hukuman, termasuk kepada sanak keluarga sendiri.
    Gubernur jenderal juga simbol dari ketertundukan dan rasa hormat, ketika demokrasi
    semakin menjadikan kritik sebagai cambuk yang digunakan kapan saja untuk penguasa. Jalanan yang dipenuhi oleh para pelanggar lalu lintas, termasuk aparat yang menggunakan sirene, menyebarkan kebisingan yang memekakkan telinga. Bisa saja rakyat Jakarta menemukan calon gubernur yang memiliki hati. Tetapi hati saja, tanpa nyali, akan melemahkan ketegasan dan disiplin. Sebaliknya, gubernur yang hanya bernyali akan kehilangan sandaran ketika tak ada regulasi yang dijadikan sebagai sumber ketaatan.
    Ketika calon-calon gubernur menjajakan program-programnya, bisa saja hanya bersifat imajinatif belaka, karena program-program itu tak bisa berjalan tanpa aturan. Hak prerogatif seorang Gubernur DKI Jakarta layak dimasukkan, tetapi tetap dengan kuasa pengawasan kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta dan DPR RI. Saya kira, apabila posisi Gubernur DKI ditingkatkan “setara menteri”, bisa jadi ia akan lebih leluasa mengadu argumen-argumennya dengan para anggota DPR RI. Berbarengan dengan itu, bisa saja DPRD DKI Jakarta tidak diperlukan lagi, hanya diubah menjadi semacam “Dewan Kota”atau “Dewan Provinsi”yang memiliki kewenangan lebih terbatas.
    Dalam waktu 50 tahun, Jakarta sebagai provinsi mengalami perkembangan pesat.
    Dan bisa dibayangkan dalam 50 tahun lagi Jakarta sebagai ibu kota negara akan
    mengalami stagnasi, bahkan menjadi masalah bagi kita semua. Antisipasi di tingkat
    regulasi menjadi salah satu cara untuk menghindari itu. Semoga.
  • Rekening Gendut “PNS Muda”

    Rekening Gendut “PNS Muda”
    W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 8 Desember 2011
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengungkap adanya rekening miliaran rupiah milik sepuluh pegawai negeri sipil muda. Rekening yang berindikasikan adanya tindak pidana pencucian uang negara ini sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Para pegawai muda ini umumnya golongan IIIB sampai IV yang potensial dan menduduki tempat-tempat strategis di lembaga negara, seperti bendahara. Sebenarnya, PPATK sejak tahun 2002 sudah melaporkan adanya 1.800 rekening senilai miliaran rupiah milik para PNS muda ini.
    Terkait dengan birokrasi, Mill dalam Considerations on Representative Government (1961) pernah menyatakan, di luar bentuk perwakilan, hanya birokrasi yang memiliki keterampilan dan kemampuan politik tinggi, bahkan birokrasi yang dijalankan atas nama sistem pemerintahan monarki atau aristokrasi.
    Posisi birokrasi pemerintah di Indonesia, yang dalam sistem pemerintahan berpuncak pada presiden selaku kepala eksekutif, memiliki kekuatan politik yang amat besar. Dari pembuatan undang-undang di pusat, peraturan daerah di daerah, hingga peraturan pelaksanaan serta eksekusi aturan, semua membutuhkan peran para birokrat.
    Sayangnya, kekuasaan besar yang dimiliki mesin birokrasi dan tidak dikendalikan melalui sistem kontrol memadai itu—baik pengawasan politis, fungsional, maupun yudisial—berpotensi untuk disalahgunakan (abuse of power). Jalinan mafia birokrasi selama ini telah berkelindan dengan cabang kekuasaan negara lainnya, entah itu legislatif ataupun yudikatif, bahkan juga tak jarang bersekongkol dengan mafia bisnis yang menjalankan praktik-praktik bisnis kotor.
    Temuan rekening haram PNS muda tersebut harus dilanjutkan dengan menelusuri aliran kewenangan vertikal dari hierarki satuan jabatan di atasnya sebagai pejabat pengelola keuangan negara/daerah ataupun secara horizontal pada arus percaloan dalam tender pengadaan barang/jasa dan konspirasi dalam berbagai proses administratif.
    Pola Korupsi
    Praktik-praktik korupsi birokrasi yang dilaksanakan selama ini umumnya terpola dalam empat bentuk, yaitu (1) cost-reducing corruption (pejabat menurunkan biaya agen/rekanan di bawah standar tertentu); (2) cost-enhancing corruption (pejabat menaikkan biaya dalam pelayanan); (3) benefit-enhancing corruption (pejabat meminta bagian keuntungan dari agen/rekanan secara melawan hukum); dan (4) benefit-reducing corruption (pejabat birokrasi langsung memotong biaya dari agen/rekanan).
    Semua berlangsung melalui berbagai skenario kebijakan yang melanggar peraturan perundang-undangan ataupun secara terselubung memanfaatkan celah-celah (loopholes) regulasi.
    Beberapa waktu yang lalu juga ramai diberitakan adanya indikasi penyimpangan dana bantuan sosial yang ternyata selama ini banyak dijarah oleh para politisi yang berkonspirasi dengan birokrat.
    Hal itu merupakan contoh praktik kotor dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang menghendaki adanya sanksi tegas terhadap modus operandi penyelewengan alokasi anggaran negara/daerah.
    Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi perlu memetakan ulang sistem reformasi birokrasi yang mampu menata ulang tata kelola pemerintahan berbasis tata kelola yang bersih dan baik.
    Reformasi tak hanya soal remunerasi birokrasi, tetapi juga menyertakan sistem pengawasan yang intensif dalam setiap pelaksanaan fungsi birokrasi. Sangat tak layak jika seorang PNS, yang telah bersumpah mengabdi pada negara dan rakyat, hidup bak raja-raja kecil yang abai dan menelikung aliran dana untuk kesejahteraan rakyat.