Author: Adul

  • Quo Vadiz Penghormatan HAM?

    Quo Vadiz Penghormatan HAM?
    Muhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
    Sumber : SINDO, 10 Desember 2011
    Kondisi HAM di Indonesia saat ini masih memprihatinkan. Hak prinsipil warga negara untuk hidup tenteram, sejahtera, dan bebas dari ancaman belum dapat dilaksanakan sepenuhnya.

    Negara yang semestinya menjamin terpenuhinya HAM, tidak jarang, malah menjadi pelanggar utama. Kasus kekerasan yang menimpa kaum miskin kota dalam kasus penggusuran, atau dalam konteks lebih luas,kekerasan sistematik terhadap penduduk asli di tanah Papua, memperlihatkan bahwa negara, melalui aparatur penegak hukum maupun keamanannya, telah bertindak sewenang-wenang dan abai terhadap asas perikemanusiaan yang adil dan beradab.

    Namun, pelanggaran HAM tidak melulu berkaitan dengan kekerasan fisik/militer.Korupsi, diskriminasi atas akses sosial ekonomi, pengerdilan identitas kelompok tertentu,juga termasuk dalam praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.Dalam kasus ini, pelanggarnya tidak terbatas kepada negara, tapi juga merembet ke kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan modal maupun koersif, atau memiliki kedekatan dengan sumber kuasa.

    Dalam beberapa kasus yang sempat ramai diberitakan, misalnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan razia paksa terhadap restoran yang buka saat bulan puasa. Organisasi masyarakat bahkan melakukan kekerasan fisik dan melakukan tindakan sweeping yang sama sekali bukan wewenangnya (extrajudicial violence). Di Indonesia dewasa ini state violence berpadu dengan civil violence.

    Kedua tipe kekerasan tersebut sama-sama berakibat destruktif. Terlebih,hukum dan sistem penegakan hukum di Indonesia telah dengan mudah dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang. Kondisi yang terjadi adalah pelaku kekerasan tidak tersentuh dan—atau bahkan dapat dengan mudah—lari dari hukum.

    Dengan kondisi seperti itu, potret Indonesia dalam penghormatan terhadap HAM tampak muram.Kebanggaan sebagai salah satu negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan anggota G-20 menjadi pudar ketika dihadapkan kepada wajah bopeng pelanggaran HAM.

    Penghormatan HAM

    Dalam rangka peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Desember,negara dan masyarakat perlu diingatkan kembali mengenai urgensi penghormatan terhadap HAM. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada tiap individu. Kalaupun dengan bernegara, warga meletakkan sebagian haknya untuk dibatasi oleh negara, bukan berarti negara lantas bisa bertindak semaunya.

    Relasi negara-masyarakat di Indonesia mesti diletakkan dalam koridor demokrasi. Penguatan negara (strong state) bukan berarti masyarakat lemah (weak society),atau sebaliknya. Peningkatan kapabilitas dua entitas tersebut pada aspek tertentu sulit dipungkiri akan berlangsung secara divergen karena perbedaan kepentingan maupun perspektif.Namun, pada aspek lain,kondisi konvergen pun mungkin terjadi.

    Dalam urusan penghormatan atas HAM inilah semestinya konvergensi tersebut terjadi: negara dan masyarakat sepakat bahwa HAM merupakan prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah,baik itu untuk pembangunan yang berdimensi ekonomi (development) ataupun keamanan strategis (security).

    Komnas HAM

    Dalam konteks ketatanegaraan, peran ‘lembaga khusus’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjadi penting untuk dikedepankan. Serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Komnas HAM semestinya tidak sungkan untuk bertindak progresif dalam penegakan HAM di Indonesia.Komnas HAM memosisikan dirinya di ‘sepatu’ korban, bukan penguasa atau pelanggar HAM.

    Instrumen hukum tentang HAM telah tersedia,di antaranya UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik,serta UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.Permasalahan yang sedari dulu hingga kini mendera adalah implementasi berkelanjutan serta konsisten atas berbagai regulasi tersebut.

    Pada kondisi demikian,Komnas HAM semakin diperlukan sebagai lembaga yang memiliki militansi dan imparsialitas dalam menyelidiki serta mengadvokasi penyelesaian pelanggaran HAM. Perhatian serius terhadap kinerja Komnas HAM perlu diberikan dan publik pun jangan sampai luput mengawasi.Terlebih, belakangan ini ada tendensi Komnas HAM bersikap plin-plan.

    Komnas HAM sudah saatnya berhenti menjadi ‘lembaga ratapan.’ Tiap pelapor yang mengadu haknya dilanggar patut mendapat kepastian serta keyakinan bahwa Komnas HAM memiliki nyali sekaligus taji guna membela mereka.Wewenang yang telah dimiliki pun mesti dipergunakan semaksimal mungkin bagi penegakan HAM secara holistik sekaligus substantif,dan tercapainya keadilan bagi korban.

    Tanpa harus bersikap keras terhadap negara, peran Komnas HAM yang lebih bersikap imparsial dalam membela rakyat adalah suatu keniscayaan jika Komnas HAM tak ingin kehilangan pamornya di mata masyarakat.Selamat Hari HAM Sedunia!

  • Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak Ekosob

    Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak Ekosob
    Ifdhal Kasim, KETUA KELOMPOK KAJIAN HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIP
    Sumber : SINDO, 10 Desember 2011
    Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terus mengalami koreksi dari tahun ke tahun.Pada masa lalu—ketika rezim otoriter mencengkeram praksis politik di Indonesia—para pejuang HAM di dalam negeri terus menyerukan penghormatan negara atas hak-hak sipil dan politik (sipol).

    Atas nama stabilitas nasional, rezim otoriter pada masa lalu dengan mudah melakukan pelanggaran hak-hak sipol. Kini,ketika praksis demokrasi menjadi suatu keniscayaan sejarah, pelanggaran hakhak sipol memang mengalami penurunan,namun akhir-akhir ini kita juga melihat kecenderungan terjadi arus balik dalam penikmatan hak-hak tersebut. Hak beragama dan berkeyakinan serta hak berpendapat dan berekspresi, misalnya, menghadapi tantangan dan hambatan tersendiri.

    Pada titik ini, perjuangan bagi pemenuhan hak-hak sipol masih harus terus diperjuangkan. Meski demikian, kita juga harus berbagi perhatian pada rumpun lain dalam HAM yang tak kalah pentingnya dari hakhak sipol, yaitu pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ketentuan- ketentuan tentang kewajiban negara dalam hak-hak ekosob tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).

    Dengan lahirnya kovenan ini,paradigma “charity”telah digeser menjadi paradigma “hak”, yang dapat diklaim oleh warga.Melalui UU No 11 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi instrumen tersebut. Ratifikasi tentu belum cukup menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.

    Menurut data pengaduan Komnas HAM pada 2009 dan 2010, sebanyak 36% dari 6.000 pengaduan ke Komnas HAM adalah pengaduan atas terlanggarnya hak-hak ekosob. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan pemenuhan hak-hak ekosob adalah isu HAM yang serius pada saat ini dan masa-masa mendatang.

    Cakupan Hak-Hak Ekosob

    Apa yang kita maksud dengan hak-hak ekosob ini? Yang tercakup ke dalam kategori hakhak ekosob ialah hak atas penentuan nasib sendiri; hak atas jaminan persamaan laki-laki dan perempuan; hak atas pekerjaan; hak atas kebebasan berserikat; hak atas upah yang adil; hak mogok; hak atas pendidikan; hak atas kesehatan; hak atas perumahan; hak atas pangan; hak atas lingkungan yang sehat dan bersih; hak atas hidup yang layak; perlindungan terhadap keluarga; hak atas jaminan reproduksi perempuan; hak untuk mendapatkan akses pada kemajuan ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi.

    Berdasarkan pada kajian- kajian mutakhir hak-hak ekosob,para pakar mulai menyadari bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ternyata tidak melulu merupakan hak-hak positif (positive rights). Ditemukan cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut bukan saja negara tidak mengambil tindakan tertentu untuk melindungi hak (state obligation not to do something). Jadi bukan melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan (state obligation to do something).

    Hal ini dapat kita lihat pada klausulklausul dalam perumusan tentang hak berserikat,hak mogok, kebebasan memilih sekolah,kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anakanak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR.

    Situasi Hak Ekosob

    Hak-hak ekosob belum dinikmati secara menyeluruh oleh warga negara Indonesia. Selain masih merupakan barang mewah, hak-hak ini juga ditandai oleh pelanggaran-pelanggaran yang masif (grave), yang hingga saat ini sulit dicari jalan penyelesaian dan pemenuhannya.

    Bila dibanding dengan pelanggaranpelanggaran di bidang hak-hak sipol yang telah memiliki mekanisme yang memadai baik di tingkat internasional maupun nasional, pelanggaran-pelanggaran yang berskala masif di bidang hak-hak ekosob (ecosoc rights) masih belum memiliki mekanisme dan prosedur penyelesaian yang jelas.

    Seakan-akan pelanggaran terhadap hak ekosob tidak menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menanganinya: seakan ada impunitas yang tersembunyi. Pelanggaran atas hak ekosob bukan hanya mengedepan pada masa transisi sekarang, melainkan sudah mengakar jauh di masa pemerintahan sebelumnya (Orde Baru).

    Saat ini pelanggaran terhadap hak ekosob semakin meluas. Apalagi setelah pemerintah SBY-Boediono memutuskan untuk mencabut berbagai fasilitas subsidi terhadap belanja-belanja sosial (social expenditure), termasuk pencabutan terhadap subsidi sekolah, kesehatan, hingga pada BBM.

    Kita menyaksikan bertambahnya jumlah orang miskin, nelayan-nelayan kecil yang tak melaut, fasilitas kesehatan dasar tak terpenuhi, merebaknya busung lapar, gizi anak yang rendah (sehingga memunculkan isu lost generation), biaya sekolah semakin tak terjangkau oleh rakyat kecil, lapangan kerja semakin langka, dan seterusnya.Semua fenomena itu menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa negara telah melalaikan atau melanggar kewajibannya terhadap pemenuhan hak-hak ekosob.

    Perlu Ada Mekanisme

    Belakangan ini semakin banyak ikhtiar yang dilakukan para sarjana dan aktivis HAM untuk memalingkan perhatian ke arah advokasi hak-hak ekonomi ekosob. Pada 1998, Komite Ecosoc mengeluarkan Komentar Umum (General Comment) No 9 yang mendorong negara menyediakan mekanisme penyelesaian hukum (yustisiabilitas) atas pelanggaran hak-hak ekosob.

    Tidak kalah besar artinya,dalam keseluruhan upaya ini adalah, kajian yang dibuat oleh Sub-Komisi HAM PBB (melalui pelapor khususnya) mengenai impunitas dalam pelanggaran hak-hak ekosob. Kajian itu telah menggugah perhatian orang akan semakin pentingnya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

    Pada 10 Desember 2008 akhirnya PBB berhasil merumuskan Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Resolusi Majelis Umum A/RES/63/117). Melalui Protokol Pilihan tersebut sekarang tersedia mekanisme pengaduan terhadap pelanggaran hak-hak ekosob.

    Protokol Pilihan memperkenalkan mekanisme seperti communication, interim measures, friendly settlement, dan inquiry procedure. Mekanisme ini memberi peluang bagi warga negara atau individu untuk melakukan pengaduan dan meminta tanggung jawab negara atas pemenuhan hak ekosob.

    Komite dapat meminta negara pihak, berdasarkan informasi yang akurat terdapat indikasi pelanggaran yang sistematis atau grave,melakukan inquiry ke negara yang bersangkutan. Pelaksanaan “penyelidikan” memang dilakukan secara rahasia dan kerja sama dari negara pihak. Temuan-temuan penyelidikan akan disampaikan ke negara yang bersangkutan, dan Komite akan memantau followup dari rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil penyelidikan tersebut.

    Hingga kini harus diakui bahwa kita masih menghadapi jalan buntu untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak ekosob. Kondisi ini terjadi karena hingga kini kita belum memiliki mekanisme nasional dalam menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.Protokol Pilihan untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mungkin bisa kita jadikan rujukan dalam upaya kita membangun mekanisme nasional yang dimaksud.

    Tanpa tersedianya suatu mekanisme yang efektif dan aplikatif, sulit bagi kita memutus mata rantai impunitas yang selama ini membelit hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah tantangan kita bersama!

  • Beban Sejarah HAM

    Beban Sejarah HAM
    Rahayu, KETUA KELOMPOK KAJIAN HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIP
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Desember 2011
    UNTUK kali ke-63, hari ini dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), menandai penerimaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara. Dokumen yang diterima 10 Desember 1948 ini telah menjadi fondasi bagi tatanan dunia baru guna menghapus sejarah kelam masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.

    Dengan mendasarkan pada prinsip persamaan (equality), martabat kemanusiaan (dignity), dan persaudaraan (brotherhood), deklarasi yang menegaskan pengakuan atas martabat manusia tersebut masih menjadi inspirasi penting bagi seluruh umat untuk menghormati hak asasi tiap individu.

    Bagi Indonesia, momentum peringatan ini adalah saat tepat untuk merefleksi diri. Pada era reformasi kita meraih capaian positif dengan melahirkan beberapa perubahan penting yang kontributif bagi penghormatan dan perlindungan HAM. Dari amandemen UUD 1945, ratifikasi berbagai instrumen hukum internasional, hingga berbagai UU dan kebijakan berkaitan dengan topik itu. Termasuk pembentukan institusi nasional, yang semuanya menegaskan komitmen pemerintah.

    Namun kemajuan politik hukum tentang HAM ternyata tidak berkorelasi positif dengan penegakannya di lapangan.

    Beberapa kasus pelanggaran berat HAM hingga hari ini tak juga jelas penanganannya. Kasus berat seperti Tragedi 27 Juli dan Mei 1998 yang sudah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM masih mandek di Kejakgung. Adapun korban kerusuhan Mei 1998, meskipun sudah lebih dari 200 kali melakukan aksi di depan istana Presiden, hal itu tak mampu mengusik SBY untuk segera menuntaskan kasus itu.

    Begitu pula penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, yang sudah dimandatkan DPR tak kunjung ditindaklanjuti Presiden dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc. Pembayaran ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo pun hingga hari ini masih terus menyisakan persoalan.

    Belum lagi berbagai kasus kekerasan yang belakangan merebak, seperti yang berlanjut di Papua yang mengakibatkan korban jiwa, konflik horizontal antarkelompok masyarakat yang makin sering terjadi di berbagai tempat, unjuk rasa buruh menuntut perbaikan upah hingga ancaman teroris yang mengusik rasa aman masyarakat. Tak tertanganinya kasus-kasus tersebut secara tuntas makin menegaskan betapa lemahnya penegakan HAM.

    Apa pun alasannya, pelanggaran HAM bukan perbuatan khilaf yang bisa begitu saja dimaafkan melainkan juga kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan. Penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional [Pasal 28 I Ayat (4) UUD NRI 1945] pemerintah di samping kewajiban menghormati, melindungi, memajukan, dan memenuhi HAM tiap warga negara.

    Internasionalisasi Isu

    Sesungguhnya penegakan hukum HAM adalah bukti penghargaan dan perlindungan terhadap nilai kemanusiaan yang menjadi roh kedaulatan bangsa. Bila pemerintah terus melakukan pembiaran atas kejahatan HAM, hal itu makin mempertebal stigma yang masih kuat melekat.

    Keadaan ini dikhawatirkan menjadi kendala bangsa ini dalam membangun diri di tengah pergaulan internasional mengingat salah satu prinsip utama yang mendasari hubungan antarnegara pada era global adalah penghormatan terhadap HAM. 

    Kecenderungan global yang menempatkan HAM sebagai isu sentral dalam hubungan internasional mengakibatkan derajat strategis dan bobot politik persoalan itu makin besar dalam agenda politik luar negeri kita.

    Bila persoalan itu tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengambil alih penyelesaian melalui mekanisme sanksi internasional sebagaimana di Myanmar, Sudan, Libia, dan beberapa negara lain.

    Tekanan internasional semacam ini pernah dialami Indonesia terkait dengan pelanggaran berat HAM di Timor Timur pascajajak pendapat 1999. Internasionalisasi isu HAM menunjukkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan penegakan HAM di sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari domain hukum internasional.

    Yurisdiksi domestik tak lagi dapat dijadikan dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran HAM di suatu negara.

    Tidak ada pilihan bagi pemerintah Indonesia selain secara bersungguh-sungguh harus memperbaiki kinerja keberpihakannya pada penegakan HAM. Apa pun persoalannya harus segera diselesaikan sesuai norma hukum dengan mengedepankan perlindungan dan penghormatan pada HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang.

    Karena, seperti kata Hannah Arendt bahwa negeri yang tak mampu disinari oleh masa lalu hanya akan mengembara dalam kabut masa depan.

  • Hatta dan PAN di Setgab

    Hatta dan PAN di Setgab
    Arya Fernandes, ANALIS DARI CHARTA POLITIKA INDONESIA, FELLOW PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF POLITICAL COMMUNICATION
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Desember 2011
    “Publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi”

    PARTAI Amanat Nasional (PAN) pada 9-11 Desember 2011 menyelenggarakan rapat koordinasi nasional (rakornas) dan silaturahmi nasional (silatnas). Rakernas kali ini terasa berbeda dari sebelumnya karena ada dua isu utama yang diperkirakan jadi perbincangan serius di internal. Pertama; pencalonan ketua umum partai itu, Hatta Rajasa sebagai capres 2014. Kedua; posisi PAN di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Dua isu utama ini bisa memengaruhi konstelasi politik di tingkat nasional.

    Isu pencapresan selalu menarik bagi publik, partai, dan media. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai capres, pemilu 2014 menjadi wilayah tanpa tuan. Semua kandidat punya peluang sama untuk berkompetisi. Apalagi, hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) Oktober 2011 menunjukkan tidak ada figur kuat menjelang Pemilu 2014, selain Megawati dengan tingkat keterpilihan 19,6%.

    Di bawahnya, berderet sejumlah nama, seperti Prabowo Subianto (10,8%), Aburizal Bakrie (8,9%), Wiranto (7,3%), Hamengku Buwono X (6,5%), Hidayat Nur Wahid (3,8%), Surya Paloh (2,3%), Sri Mulyani (2%), Ani Yudhoyono (1,6%), Hatta Rajasa (1,6%), Anas Urbaningrum (1,5%), Sutanto (0,2%), dan Djoko Suyanto (0,2%).

    Dalam pemilu, tren perilaku pemilih selalu menjadi acuan bagi partai atau kandidat untuk merancang dan merumuskan strategi politik. Tak heran, bila survei persepsi publik kemudian menjadi instrumen untuk memetakan perilaku pemilih dan pergerakan opini publik.

    Bagaimana dengan tren perilaku pemilih di Indonesia? Sejumlah riset telah dilakukan untuk melihat pola dan tren perilaku pemilih di Indonesia, terutama, sejak Pemilu 1999 sampai 2009. Di antaranya dilakukan oleh Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan R William Liddle (Ohio State University).

    Studi Mujani dan Liddle (2010) menunjukkan tiga hal utama dalam memengaruhi perilaku pemilih. Yaitu, kepemimpinan, performa kabinet dan evaluasi publik terhadap kondisi ekonomi nasional. Mujani dan Liddle juga menemukan matinya politik aliran dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Menurut keduanya, agama, kelas, suku, dan wilayah tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.

    Tahun 1999 misalnya, keberhasilan PDIP menunjukkan karisma kepemimpinan atau kesukaan pemilih terhadap figur-figur pemimpin. Pilihan publik terhadap PDIP dipengaruhi oleh identifikasi pemilih yang kuat terhadap sosok Megawati. Begitu juga pilihan terhadap PAN melalui figur Amien Rais, dan PKB lewat Gus Dur.

    Pola ini juga terjadi pada 2004. Tingkat kesukaan publik terhadap figur calon berkorelasi positif terhadap pilihan pada partai. Pilihan publik terhadap Partai Demokrat misalnya dipengaruhi oleh kesukaan publik terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pilihan terhadap capres lebih dipengaruhi oleh performa kabinet dan evaluasi positif publik terhadap kondisi perekonomian secara nasional (Mujani, Liddle, 2010). Jika menjelang 2014 perfoma dan kinerja kurang memuaskan dan situasi ekonomi juga tidak mengembirakan, publik akan memberi hukuman bagi Demokrat dan koalisi.

    Dilema Koalisi

    Sebagai partai yang tergabung dalam koalisi, partai-partai koalisi, seperti PAN akan mengalami dilema politik dalam menentukan positioning politiknya jelang 2014: bergabung atau memilih di luar. Dilema bertumpu pada kesulitan merumuskan orientasi dan perilaku, apakah menjadi policy-seeking party, vote-seeking party, atau office-seeking party?

    Menurut Strom (1990), policy-seeking party adalah model perilaku partai yang menekankan pada kebijakan, isu, dan program partai. Vote-seeking party adalah perilaku partai yang menekankan aspek elektoral: unggul dalam perolehan suara. Adapun, office-seeking party menekankan aspek patronase dan pengamanan posisi strategis di pemerintahan.

    Saya kira, sebagai partai koalisi, PAN harus memilih di antara tiga model tersebut. Apakah akan menekankan penguatan pada level isu, kebijakan, dan program untuk merebut dukungan pemilih atau memilih sebagai vote-seeking party yang selalu bermain dengan isu populis dalam merebut hati pemilih. Atau mempertahankan posisi dan patronase politik dengan partai penguasa?

    Ke depan, saya melihat pertarungan isu dan gagasan mewarnai kampanye 2014. Meskipun karisma personal masih memengaruhi, publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi.

  • Gerakan Politik Fundamentalisme

    Gerakan Politik Fundamentalisme
    (Reportase Ceramah Thomas Meyer)
    Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 9 Desember 2011
    Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr. Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung. Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.
    Pada kesempatan itu, Thomas Meyer mengemukakan Sembilan karakter fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme merupakan gejala yang ada di semua agama. Ia tidak terkait dengan agama tertentu. Bahkan sebenarnya fundamentalisme hanya salah satu cara memahami agama.
    Kedua, fundamentalisme lebih sebagai ideology politik ketimbang agama. Dalam banyak sekali kasus, nuansa politik gerakan fundamentalisme sangat kuat. Mereka membangun framing ketertindasan ummat yang kemudian mereka jadikan kerangka gerakan. Mereka mendesakkan suatu sistem politik baru. Tak jarang di antara mereka bermetamorfosis menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum yang demokratis.
    Bagi Meyer, fundamentalisme sesungguhnya adalah bagian dari modernitas. Ia merupakan respon langsung terhadap modernism. Ia adalah bentuk modern dan anti-modernisme. “Fundamentalis is a modern form of anti-modernism,” tegas Meyer.
    Karakter ketiga fundamentalisme, menurut Meyer, adalah bahwa ia lahir sebagai respon terhadap krisis. Ada pengandaian bahwa dunia sekarang ini sedang berada pada situasi kacau balau baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Krisis kepemimpinan dalam segala ranah kehidupan itulah yang mendorong lahirnya gerakan fundamentalisme.
    Keempat, fundamentalisme ditandai dengan suatu prinsip superioritas diri atas yang lain. Di sini politik identitas mewujud. Kaum fundamentalis selalu merasa diri mengatasi yang lain. Mereka menganggap diri sebagai yang paling benar, yang paling saleh, yang paling lurus. Selebihnya adalah kesesatan dan penyimpangan.
    Meyer juga menyebut, kelima, bahwa ciri yang kuat pada fundamentalisme adalah mereka begitu anti dan membenci kampanye kesetaraan gender dan pluralisme. Itulah yang menjelaskan kenapa semua gerakan fundamentalisme selalu menyasar pengungkungan terhadap perempuan. Peraturan-peraturan yang mereka desakkan hampir selalu berkaitan dengan bagaimana perempuan diatur. Mereka begitu bebal dan tak mau menerima gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama apapun latar belakang seks dan budayanya.
     
    Ciri keenam dari fundamentalisme, menurut Meyer, adalah resistance identity. Ini yang kemudian menjustifikasi kenapa gerakan fundamentalisme selalu mengarah pada totalitarianism. Ciri ketujuh adalah bahwa fundamentalisme selalu melakukan penolakan terhadap identitas dan menolak budaya demokrasi.
    Kedelapan, kaum fundamentalis merasa terjebak dalam ketidak-amanan. Ini pula yang biasa disebut sebagai mental terkepung. Ada kekuatan di luar sana yang mereka sangka akan menghancurleburkan mereka. Akibatnya, mereka sangat reaktif dan acapkali agressif.
    Meyer menjelaskan bahwa bahwa demokrasi bukanlah majoritarian rule melainkan rule of law. Memang betul bahwa ada pemilihan umum. Tapi bukan berarti penguasa terpilih harus selalu menjalankan amanat kelompok mayoritas. Demokrasi justru memilih pemimpin untuk bergerak dalam koridor hukum. Rule of law adalah unsur paling penting dalam demokrasi. Kaum fundamentalis dicirikan, kesembilan, oleh penolakannya terhadap rule of law. “Jika kau ingin menyaksikan bahwa semua orang bisa menjalankan ibadah secara bebas, maka yang pertama yang harus ditegakkan adalah rule of law,” demikian Meyer. Meyer mencontohkan bagaimana kekuatan fundamentalis tahun 1920-an dan 1930-an di Jerman begitu kuat dan mereka menegakkan suatu demokrasi mayoritarianisme yang tak lain adalah totalitarianisme.
    Ulil Abshar-Abdalla memberi tanggapan atas paparan Prof. Meyer. Menurut Ulil, ada kesamaan antara fundamentalisme Islam dan komunisme serta Marxisme. Fundamentalisme Islam ditandai dengan klaim ideology komprehensifnya. Semua hal hendak diatur. Semua hal hendak dikontrol.
    Hal lain, menurut Ulil, yang menarik adalah bahwa gerakan fundamentalisme (terutama Islam) pada praktiknya sangat terobsesi untuk mengatur wilayah privat, bukan wilayah publik. Kampanye yang mereka usung sejauh ini justru sangat didominasi oleh isu-isu ruang privat, misalnya moralitas, pakaian perempuan, minuman keras, perzinahan, dan seterusnya. Mereka justru tidak terlalu peduli dengan persoalan publik.
    Prof. Meyer menimpali bahwa sebenarnya kaum fundamentalis ingin mendominasi kehidupan publik untuk mengatur kehidupan privat.
    Ulil menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalisme adalah suatu realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik praktis.
    Pada intinya, Ulil hendak menyatakan bahwa fundamentalisme adalah barang yang terus bergerak dan berubah. Ia tidak diam di tempat dan membatu.

  • Menakar Peluang Papua Pisah dari RI

    Menakar Peluang Papua Pisah dari RI
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Desember 2011
    Judul di atas sekadar hendak mengingatkan pada Jakarta agar tak gegabah bertindak di bumi Papua. Ini karrna rentetan peristiwa demi peristiwa politik yang terjadi sejak pelaksanaan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua sampai insiden Kongres Rakyat Papua III di Abepura 19 Oktober lalu memperlihatkan pelaksanaan kebijakan yang keliru.
    Dalam catatan saya, bukan hanya sekali masyarakat di Papua meminta agar Otsus Papua dikembalikan. Misalnya, ribuan rakyat pada 12 Agustus 2005 menggelar aksi menuntut dikembalikannya Otsus Papua.
    Ini dilakukan karena Jakarta dianggap mengingkari UU No 21/2001 dengan menerbitkan Inpres No 1/2003 mengenai Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 mengenai Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, dan Kota Sorong.
    Dalam UU Otsus Papua, status otonomi khusus di Provinsi Papua adalah satu kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah.  Kalaupun akan ada pemekaran, itu haruslah melalui mekanisme Majelis Rakyat Papua (sesuai PP No 54/2005), yang waktu itu belum terbentuk. Tentunya langkah pemekaran itu dilakukan dalam rangka memecah gerakan ingin merdeka, selain wilayah Papua yang memang terlalu luas.
    Selain itu, sekian tahun pelaksanaan Otsus juga tidak memperbaiki situasi. Penduduk aslinya rata-rata tetap miskin dan terbelakang. Penikmat dana Otsus adalah para birokrat, para elite, atau yang terkait, dan para pendatang di perkotaan.
    Disinyalir sekitar 60 persen dana Otsus kembali ke bank-bank besar di Jakarta, atau menjadi properti antara lain di Jakarta, Manado, Sydney, dan Melbourne.
    Ketika itu pemerintah (Departemen Dalam Negeri) menjanjikan “penyempurnaan” pelaksanaan Otsus Papua, termasuk akan ada audit dan berbagai langkah lain.
    Tuntut Referendum
    Pada Juni 2010, atau lima tahun kemudian, juga berulang aksi politik mendesak pengembalian Otsus Papua. Kali ini melibatkan Majelis Rakyat Papua dan peserta Musyawarah Masyarakat Asli Papua.
    Tuntutannya: gelar referendum yang melibatkan masyarakat internasional, keluar dari RI, hentikan proses pilkada di seluruh Papua, hentikan program transmigasi ke Papua, bebaskan para tahanan politik Papua, dan demiliterisasi di Papua.
    Penyebab kemarahan antara lain selama pelaksanaan Otsus telah terjadi ketimpangan pertumbuhan penduduk antara orang asli dan masyarakat pendatang. Komposisinya adalah penduduk asli 30 persen, pendatang 70 persen. Dengan begitu, logikanya dana Otsus lebih banyak dinikmati pendatang.
    Pemekaran juga dituding sebagai instrumen untuk memecah entitas Papua, sementara bagi uat elite lokal pemekaran berarti posisi, kekuasaan, dan anggaran. Kini, banyak pejabat daerah di Papua ikut menghiasi daftar koruptor yang divonis pidana oleh Pengadilan Tipikor.
    Kajian Drooglever
    Sebagai exercise apakah Papua bisa merdeka, sejarawan Belanda Profesor Drooglever dari Universitas Leiden (2004) membuat kajian ilmiah yang hasilnya menyatakan, proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 tidak sah. Reaksi Jakarta adalah: integrasi Irian Barat ke Republik Indonesia sudah final dan disahkan masyarakat internasional.
    Terkait reaksi itu, seorang diplomat senior, yang pernah aktif di badan HAM PBB, mengingatkan gerakan pemisahan diri Papua sangat kuat di ranah internasional dan mereka memanfaatkan semua lini dan kesempatan. Setiap pelanggaran HAM apa pun di Papua tercatat di Komisi HAM PBB.
    Saya pun sependapat bahwa hasil Pepera sudah final. Meski parameter yang dipakai 40 tahun lalu itu tak sesuai dengan ukuran hari ini. Namun hukum internasional juga tidak menyebutkan formula one man one vote untuk proses penentuan nasib sendiri. Apalagi ketika itu Indonesia dan Belanda bersepakat Pepera dilaksanakan melalui musyawarah perwakilan, 1 : 750.
    Namun saya ragu, apakah pengakuan dunia itu suatu harga mati?
    Dalam sejumlah kasus, wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari induknya (seksesi) atau merdeka pasca-Perang Dingin memenuhi sejumlah aspek: (1) pelanggaran HAM berat, khususnya terhadap kaum minoritas/penduduk asli, (2) sejarah integrasi yang tidak mantap atau dipaksakan, (3) pengakuan internasional terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, dan (4) ada kepentingan negara-negara besar.
    Remedial Seccession”
    Seorang diplomat senior lainnya mengingatkan terbukanya peluang seksesi di Papua karena di sana terjadi pelanggaran HAM berat, “pemusnahan” penduduk secara sistematis, dan diskriminasi.
    Menurutnya, dunia mengenal konsep remedial seccession, yakni pemisahan diri demi mengakhiri diskriminasi dan pelanggaran HAM. Pola itu berlaku pada kasus Bangladesh (pisah dari Pakistan), Kosovo (pisah dari Serbia), dan Timor Timur.
    Kita mengalami, dunia memihak rakyat Timor Timur untuk pisah dari Indonesia. Dewan Keamanan melalui Resolusi 1264 tanggal 15 September 1999 memandatkan penggelaran pasukan multinasional. Segera Australia memimpin pasukan multinasional masuk Timtim pada 19 September 1999, untuk meredam kekacauan selepas jajak pendapat yang dimenangi kubu pro kemerdekaan.
    Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, mendukung kelahiran negara Timor Leste, karena proses integrasinya belum tuntas diakui dunia, terjadi pelanggaran HAM berat di sana, dan pemerintah pusat di Jakarta tak berdaya. Kita beruntung tidak masuk ke pengadilan HAM internasional karena masalah Timor Timur.
    Di Kosovo, situasinya mirip dengan Timor Timur, dan Serbia ditekan secara militer dan politik oleh NATO. Sementara itu, di Chechnya (Rusia), meski di sana juga terjadi pelanggaran berat HAM, Barat enggan ikut campur. Ini karena Moskwa punya hak veto di Dewan Keamanan, juga karena mereka enggan berperang dengan Rusia.
    Akhiri Pelanggaran HAM
    Sulit menyangkal pelanggaran HAM tak terjadi di Papua. Meski begitu, negara-negara besar belum langsung intervensi. Mudah mendeteksi indikasi keterlibatan mereka, yakni bila berbagai media dan LSM internasional mulai aktif mencoba mengubah opini dunia. Kemudian, dukungan militer dan logistik secara konsisten dialirkan untuk kubu yang menuntut pemisahan diri.
    Sejauh ini, Amerika Serikat baru menempatkan 2.500 prajurit di Darwin, Australia (hanya satu jam terbang ke Papua). Pasukan sebesar satu batalion tim pendarat tentulah tak cukup kalau harus berperang di Laut China Selatan, tetapi lebih cocok untuk mengamankan Timika.
    Kembali ke judul tulisan ini, saran saya adalah: segera akhiri pelanggaran HAM di Papua oleh TNI/Polri, jangan ulang kesalahan di Timor Timur. Segera wujudkan kesejahteraan di Papua lewat pembangunan pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.
    Dampingi pelaksanaan Otsus Papua, jangan biarkan mereka berjalan sendiri. Akhiri juga perampasan hak-hak ulayat rakyat hanya demi kepentingan bisnis besar. Sangat mendesak untuk digelarnya investigasi berbagai kasus pelanggaran HAM sampai tuntas. Segera wujudkan pula janji dialog Jakarta-Papua itu.
  • Dihantui Krisis Eropa

    Dihantui Krisis Eropa
    A.  Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM), UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011
    Bagaimana proyeksi ekonomi Indonesia tahun 2012? Tampaknya krisis Eropa masih menghantui perekonomian dunia tahun depan.
    Untuk keempat kalinya dalam setahun, para pemimpin Eropa bertemu di Brussel pada 8-9 Desember. Mereka masih berkutat soal mekanisme penyelesaian krisis. Tema spesifiknya seputar ”paket komprehensif” penyelamatan perekonomian Eropa.
    Duet Jerman (Angela Merkel) dan Perancis (Nicolas Sarkozy) atau ”Merkozy” masih menjadi penyangga masa depan 27 negara Uni Eropa, khususnya 17 negara pengguna mata uang euro.
    Dalam hal ini ada dua pusaran masalah. Pertama, mereka akan menentukan nasib Uni Eropa dan mata uang euro. Kedua, setiap negara juga bergulat dengan masa depannya sendiri. Bahkan, Perancis berpotensi kehilangan peringkat utang AAA.
    Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seperti dikutip majalah The Economist (3/12/2011), telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Perancis dari 2,1 persen menjadi 0,3 persen pada 2012. Lembaga pemeringkat asal Perancis, Fitch, juga memberi outlook negatif kepada negaranya.
    Kini, dari 17 negara pengguna mata uang euro, hanya enam negara yang memiliki peringkat AAA. Jika satu per satu negara melorot peringkat utangnya, masa depan Eropa benar-benar di ujung tanduk.
    Masih amankah Indonesia di tengah bayang-bayang krisis Eropa? Meski ekonomi kita akan terus tumbuh karena permintaan domestik yang kuat, harus ada antisipasi, baik jangka pendek maupun panjang, agar kita tidak termakan oleh siklus krisis itu.
    Dilema Eropa
    Mekanisme penyelesaian krisis menjadi salah satu topik terpanas di antara petinggi Eropa. Wacana pendirian European Stability Mechanism (ESM) sebagai lembaga permanen pemberi dana talangan (bail out) bagi negara terkena krisis masih belum mencapai konsensus. ESM direncanakan mulai bekerja 2013 dan menggantikan fungsi European Financial Stability Facility (EFSF) yang ada saat ini. Untuk itu, harus ada amandemen Maastricht Treaty dengan traktat Uni Eropa baru.
    Meskipun Merkel termasuk pelopor ESM, di dalam negeri pendapatnya tidak populer. Free Democratic Party (FDP), partai terbesar di parlemen, keberatan dengan gagasan tersebut. Christian Democratic Union (CDU), partai di mana Merkel berasal, juga cenderung menolak. Bahkan, partai ini mengusung wacana agar Jerman keluar dari zona euro karena dianggap membebani uang pajak masyarakat.
    Demikian pula di Perancis. Meskipun Sarkozy ngotot memperjuangkan mekanisme integrasi fiskal yang lebih dalam, posisinya dalam Pemilu April 2012 tidak cukup aman. Francois Hollande, kandidat Presiden Partai Sosialis, diprediksi akan memperoleh banyak suara, mengalahkan Sarkozy.
    Proses politik setiap negara menunjukkan adanya fragmentasi sosial-politik seiring dengan fragmentasi ekonomi. Sangat masuk akal karena masyarakat yang selama ini dimanjakan dengan sejumlah jaminan sosial harus kehilangan fasilitas gara-gara kecerobohan negara lain. Tunjangan mereka akan berkurang, ada perpanjangan waktu pensiun, penambahan jam kerja, dan sebagainya. Orientasi politik pun berubah, dan partai berkuasa cenderung tidak dipilih kembali.
    Sebenarnya ada tiga kata kunci restrukturisasi perekonomian Eropa. Pertama, pengurangan defisit anggaran setiap negara. Kedua, membayar kembali utang, baik utang swasta (private debt) maupun pemerintah (sovereign debt). Ketiga, meningkatkan daya saing perekonomian. Negara-negara maju kini harus berpikir keras untuk meningkatkan daya saing produk di pasar global. Mereka harus mampu menjual lebih banyak barang untuk menambah devisa. Itulah satu-satunya cara bertahan hidup. Bisa dibayangkan akan terjadi pertarungan perdagangan global yang sengit setelah ini.
    Momentum
    Meski dibayangi krisis Eropa, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong bagus. Morgan Stanley memprediksi China akan melambat dari perkiraan sebelumnya, 8,7 persen menjadi 8,4 persen, dan India 6,9 persen dari perkiraan sebelumnya 7,4 persen. Pertumbuhan Indonesia hanya terkoreksi dari 5,8 persen menjadi 5,6 persen.
    Menurut Bank Indonesia, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 6,3 persen pada 2012. OECD memproyeksikan Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen pada 2012-2016. Berarti Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan paling tinggi di ASEAN.
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat tergantung pada permintaan domestik yang proporsinya hampir 70 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meskipun dilanda krisis, tetap saja perusahaan-perusahaan berbasis konsumsi meningkat labanya.
    Sejumlah penyalur kebutuhan kelas menengah atas, seperti Mitra Adiperkasa (MAP), Debenhams, Zara, juga Starbucks, akan terus ekspansi di Indonesia. Tahun 2010, emiten sektor barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia (BEI) menempati kinerja teratas, naik 63 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meningkat 46 persen. Hingga pertengahan 2011, meski IHSG terkoreksi 2 persen, sektor konsumsi justru naik 16,3 persen.
    Tumbuh di Indonesia
    Meski dihantui krisis Eropa, L’Oreal tetap saja membangun pabrik terbesarnya di Indonesia. Unilever juga memperbesar belanja modal (capex) sebesar Rp 4,4 triliun pada 2010-2013. Tidak hanya itu, Grup Lotte juga berencana menambah investasi Rp 270 miliar guna menambah outlet. Belum lagi Toyota yang berencana membangun pabrik baru senilai Rp 3,3 triliun.
    Piagio, produsen Vespa yang pernah meninggalkan pasar Indonesia pada 1980-an, kini hadir kembali. Tahun 2010 terjual Scooters sekitar 8 juta unit, sementara di Thailand hanya 1,7 juta. Di India terjual 11,3 juta unit dan di China 16 juta unit.
    Harian Financial Times (24/11/2011) menurunkan berita tentang banyaknya orang-orang kaya Indonesia yang membeli jet pribadi, Ferrari, yacht, dan apartemen mewah di London.
    Perekonomian Indonesia 2012 akan sangat tergantung pada permintaan domestik dengan dukungan daya beli kelas menengah yang terus meningkat. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, hal ini tidak akan bertahan lama. Inflasi harus terkendali, sementara pasokan infrastruktur untuk memperbaiki kondisi logistik harus ditambah. Jika tidak, ekonomi Indonesia akan berujung gelembung (bubble economy).
    Di luar itu, kawasan Afrika oleh The Economist (3/12/2011) dianggap sebagai pesaing serius Asia. Sama dengan Indonesia, negara-negara di Afrika umumnya juga kaya sumber daya alam dan komoditas serta memiliki dividen demografi yang besar. Masalahnya pun sama dengan kita, yaitu pemerintah yang tak berdaya. Maka, seberapa cepat Indonesia mampu melakukan reformasi birokrasi, hal itu akan menjadi salah satu kunci keberhasilan kita.
  • UU (Kedaulatan) Pangan

    UU (Kedaulatan) Pangan
    Dwi Andreas Santosa, DOSEN FAKULTAS PERTANIAN IPB; AKTIF DI GERAKAN PETANI
    Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011
    Pada 23 September 2011, penulis berkesempatan mengunjungi kembali beberapa teman petani di lereng Merapi di Magelang dan Boyolali yang terkena dampak erupsi Merapi setahun sebelumnya.
    Selain bersilaturahim, penulis juga melihat ”dampak” sejumlah program seperti IPB Goes to Field 2011 dan beberapa aktivitas pendampingan yang kami lakukan bersama teman-teman dari gelanggang mahasiswa UGM (Gelanggang Emergency Response) dan yayasan Joglo Tani. Di banyak lokasi, pertanian mulai bergeliat kembali. Tanaman tembakau, sayur-sayuran, dan padi pelan-pelan mulai ditanam lagi meski belum mampu menggerakkan ekonomi petani sebagaimana sebelum erupsi Merapi, November 2010.
    Sangat disayangkan banyak sayuran yang dibiarkan tak dipanen di lahan karena ongkos panennya lebih tinggi dibandingkan dengan harga sayuran tersebut. Kejadian tersebut sangat ironis jika disandingkan dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan total impor hortikultura naik 37,47 persen dan khusus sayuran 51,62 persen dibandingkan dengan periode sama 2010 (Kompas, 6/12/2011).
    Apa yang dialami petani lereng Merapi tersebut sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, pada saat Lebaran dua bulan sebelumnya harga justru jatuh dan banyak petani mengalami kerugian cukup besar. Hal tersebut terjadi di wilayah yang berjarak hanya 45-60 menit dari pusat kota Yogyakarta dengan jalan aspal mulus tanpa hambatan. Bagaimana bagi sebagian besar wilayah Indonesia yang memiliki infrastruktur buruk? Jawaban yang pasti sudah ada di benak kita semua.
    Tidak hanya pada hortikultura, hal yang sama juga terjadi pada sejumlah komoditas lain. Pada awal tahun 2000 pemerintah membuka keran impor kedelai dan Pemerintah Amerika Serikat memberikan fasilitas bagi importir Indonesia melalui GSM 102. Selain itu, importir menerima fasilitas lain, yaitu kredit Impor dan Triple C. Harga kedelai impor saat itu sebesar Rp 2.300 per kilogram dan karena berbagai fasilitas yang diterima pengimpor, harga bisa ditekan menjadi hanya Rp 1.950, sedangkan biaya produksi petani kedelai di Jawa sebesar Rp 2.500 per kilogram.
    Sebelum krisis tahun 1998, impor kedelai dikendalikan sepenuhnya oleh importir tunggal Bulog. Melalui program IMF, Bulog diswastakan dan importir umum diperbolehkan mengimpor kedelai. Pada saat bersamaan, bea masuk diturunkan menjadi 10 persen hingga 0 persen. 
    Dampak berantai kemudian terjadi, petani kedelai terpuruk yang berujung hancurnya program kedelai nasional yang pernah hampir mencapai swasembada pada awal tahun 1990-an.
    Beberapa hal tersebut merupakan contoh bagaimana kebijakan di bidang pangan dan pertanian semakin jauh dari upaya untuk menguatkan petani dan sistem pangan nasional. Banyak pihak sangat berharap dua RUU, yaitu RUU Pangan serta RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bisa menjadi terobosan besar dalam mengurai berbagai permasalahan terkait pertanian dan pangan.
    UU Kedaulatan Pangan
    Dibandingkan dengan UU No 7/1996 tentang Pangan yang praktis hanya mengatur soal ”teknis pangan”, RUU Pangan jauh lebih maju. Nuansa politik pangan juga terasa kental dalam RUU tersebut. Tiga paradigma besar masuk sekaligus dalam RUU Pangan yang baru, yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan sengaja ditempatkan paling depan. Sangat disayangkan istilah ini sekadar ditempelkan tanpa makna.
    Desentralisasi urusan pangan justru menjadi ”jiwa” RUU Pangan yang diperkirakan akan memperparah kondisi yang ada saat ini. Impor pangan dapat dilakukan oleh daerah-daerah dalam upaya menjaga ”cadangan pangan pemerintah”. Selain itu, masyarakat (baca: korporasi) juga mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan ”cadangan pangan masyarakat”. Impor yang seharusnya menjadi pilihan paling akhir bisa menjadi pilihan utama karena menggiurkan bagi para ”pemburu rente ekonomi”.
    Hal-hal tersebut tampaknya tidak disadari oleh para perumus RUU Pangan sehingga hampir semua pasal merupakan turunan dari konsep ketahanan pangan, padahal paradigma kedaulatan pangan justru berkebalikan (counterframe) dari ketahanan pangan (Benford and Snow, 2000). Ketahanan pangan dapat dibedakan berdasarkan skalanya, yaitu dari ketahanan pangan rumah tangga, regional, nasional, dan global, meskipun ”ketahanan” (security) hampir selalu berasosiasi dengan skala nasional (Lee, 2007).
    Ketahanan pangan nasional sering kali dipahami juga sebagai kemandirian pangan (food self-sufficiency) yang memiliki tiga elemen kebijakan pasokan pangan, yaitu prediksi/perencanaan, stabilitas, dan ketahanan. Untuk mencapai itu, strategi ketahanan pangan harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur Organisasi Perdagangan Dunia.
    Di skala internasional, negara-negara maju dan korporasi agribisnis mempromosikan peningkatan liberalisasi perdagangan pangan serta mengonsentrasikan produksi pangan ke tangan korporasi agribisnis besar. Kelebihan produksi mereka dilemparkan ke pasar internasional melalui dumping, suatu strategi perdagangan internasional yang menempatkan pangan di negara tujuan ekspor dengan harga di bawah biaya produksi di negara tersebut (Wittman dkk, 2010). Strategi ini terbukti menghancurkan sistem pertanian dan pangan di negara berkembang yang tidak mampu berkompetisi dengan komoditas pangan padat subsidi dari negara maju.
    Kedaulatan pangan secara radikal berbeda bahkan bertolak belakang dengan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan petani, pengedar, dan konsumen pangan pada jantung kebijakan dalam sistem pangan itu sendiri (Deklarasi Nyéléni 2007). Hal ini berbeda dengan pendekatan ketahanan pangan yang menyandarkan diri pada pasar dan korporasi serta mereduksi pangan sekadar sebagai komoditas perdagangan.
    Paradigma ketahanan pangan lebih dari sekadar hak atas pangan, tetapi meliputi dimensi 
    yang jauh lebih besar dengan menghubungkan antara pangan, alam, dan komunitas sebagai satu kesatuan (Wittman dkk, 2010). Kedaulatan pangan mempromosikan reformasi agraria sejati, menempatkan sistem kendali sumber daya produktif (tanah, air, benih, dan sumber daya alam) ke tangan yang memproduksi pangan, mengarusutamakan sistem agroekologi, pasar, dan perdagangan lokal, pembebasan petani kecil dari ancaman privatisasi, serta mendukung hak petani untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di semua lini dan menetapkan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri.
    Di level teori dan praksis, kedaulatan pangan memiliki potensi untuk mempercepat perubahan besar di dalam sistem pertanian, politik, dan sosial yang berkaitan dengan pangan. Kedaulatan pangan menghendaki kita berpikir ulang apa yang sebenarnya ”paling penting” dalam proses perubahan tersebut, menghendaki bahwa pangan tidak sekadar sebagai barang yang cara akses dan produksinya ditetapkan oleh pasar, serta memahami bahwa terdapat keterkaitan sosial dalam proses produksi, konsumsi, dan pertukaran pangan (Handy, 2007).
    Tahun 1999-2009 sudah enam negara di dunia mengintegrasikan kedaulatan pangan dalam legislasi nasional mereka. Pertanyaan selanjutnya sejauh mana negara mampu mengartikulasikan dalam undang-undang dan peraturan serta menciptakan struktur dan mekanisme untuk mengimplementasikan kedaulatan pangan yang akan berdampak pada transformasi sistem pertanian dan pangan yang saat ini dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, RUU Pangan perlu dirumuskan ulang jika menghendaki Kedaulatan Pangan sebagai roh yang mewarnai pasal-pasal di dalam RUU tersebut, tak sekadar mencantumkan tanpa tahu makna sesungguhnya.
  • Abai sejak dalam Pikiran

    Abai sejak dalam Pikiran
    Sri Palupi, KETUA INSTITUTE FOR ECOSOC RIGHTS
    Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011
    Menanggapi Amnesty International terkait konflik dan kekerasan di Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menyatakan tak ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
    Pernyataan presiden ini memunculkan dua persoalan. Pertama, presiden punya pandangan dan ukuran sendiri soal hak asasi. Kedua, pelanggaran hak asasi dipahami sebatas pelanggaran hak sipil politik yang tampak dalam bentuk tindakan kekerasan. Presiden tak memperhatikan akar soal kekerasan dan konflik berkepanjangan. Padahal, pada banyak kasus, pelanggaran hak sipil politik berakar pada pengabaian atas hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam kasus Papua selama ini kita lebih banyak mendengar kematian warga akibat pelanggaran hak sipil politik dalam bentuk kekerasan. Sementara itu, ratusan warga Papua yang mati akibat penyakit dan buruknya pelayanan kesehatan tak cukup mendapat perhatian. Pada 2008, misalnya, tak kurang dari 173 orang Papua tewas akibat kolera.
    Kematian akibat penyakit dan buruknya layanan kesehatan masih berlangsung hingga sekarang karena 90 persen desa di Papua tak mendapat akses atas pelayanan publik dan 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan. Sekolah-sekolah tingkat dasar di Papua bertahun-tahun dibiarkan tanpa guru dan buku. Semua kondisi yang menunjukkan penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya ini belum dilihat sebagai persoalan serius terkait pelanggaran HAM.
    Tak hanya dalam kasus Papua pemerintah abai terhadap pelaksanaan hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam banyak kasus terkait kemiskinan dan pembangunan, pemerintah cenderung menolak hak ekonomi, sosial, budaya. Penolakan itu terjadi sudah sejak dalam pikiran!
    Sejak Dalam Pikiran
    Penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya sudah dimulai sejak pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) sebagai indikator pembangunan. Dengan memilih indikator ini, pemerintah menyadari konsekuensinya: kebijakan dan program pembangunan bias pada kalangan atas yang, meski jumlahnya kecil, berkontribusi tinggi terhadap PDB. Pemerintah mengesampingkan soal ketakadilan!
    Dalam pemerintahan yang mengedepankan citra, ketakadilan tentu saja tak boleh terkuak secara telanjang. Perlu ada mekanisme mengaburkannya melalui, misalnya, penetapan indikator kemiskinan dan pengangguran yang terlalu rendah. Pengangguran dihitung dengan ukuran bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu, yang jauh dari standar internasional: 35 jam per minggu.
    Dalam hal ini pemerintah memaksakan anggapan bahwa dengan bekerja satu jam seminggu orang sudah dapat hidup layak. Sementara itu, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan yang nilainya kurang dari Rp 8.000 sehari. Dengan penghasilan kurang dari Rp 8.000 per hari, orang dianggap bisa makan kenyang dan memenuhi kebutuhan sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
    Selain tak logis, penggunaan indikator seperti itu juga tak manusiawi dan berpotensi melanggar HAM. Jutaan orang miskin bisa kehilangan akses mendapatkan intervensi dari pemerintah hanya karena kondisi mereka berada sedikit di atas kriteria yang ditetapkan pemerintah.
    Padahal, dalam perspektif hak asasi, kemiskinan bukanlah sekadar perkara kurangnya pendapatan, tetapi juga perkara hilangnya kapabilitas dan peluang hidup bermartabat, rentan, dan tak berdaya. Kemiskinan adalah kondisi tak terpenuhinya hak asasi. Karena itu, dalam mengatasi kemiskinan dengan perspektif HAM, kelompok miskin tak dipandang sebagai korban yang tak punya daya, tetapi sebagai subyek hukum sekaligus aktor yang memiliki hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
    Indikator (kemiskinan) itu sendiri pada dasarnya memiliki peran sebagai penunjuk arah kebijakan yang perlu diambil pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Dengan memilih indikator yang jauh dari norma hak asasi, pemerintah membatasi kebijakannya sekadar untuk mengatasi kemiskinan absolut dan bukan untuk menjalankan hak ekonomi, sosial, budaya.
    Potret pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya tak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Melambungnya harga bahan kebutuhan pokok melatarbelakangi serangkaian kematian warga miskin pada awal 2011 akibat kegagalan memenuhi kebutuhan dasar pangan. Rentan pangan dan gizi warga tampak dari fakta: dari 33 provinsi, hanya 8 provinsi yang memiliki prevalensi penderita masalah gizi di bawah 15 persen. Mayoritas provinsi masih di atas 20 persen. Angka penderita gizi kronis secara nasional masih sangat tinggi: 35,6 persen.
    Meski prevalensi anak balita penderita masalah gizi dinyatakan terus menurun, pemerintah sendiri menilai penurunan itu tak signifikan. Soalnya, komitmen pemerintah membiayai pelayanan kesehatan masih sangat rendah, terlihat dari pos anggaran untuk kesehatan yang kurang dari 2 persen dan menurunnya kegiatan posyandu hingga 40 persen. Selain itu, masih ada problem terkait akurasi data kesehatan dan gizi, termasuk angka kematian ibu.
    Rawan Pangan
    Di tengah ancaman rawan pangan, para petani selaku produsen pangan utama masih dihadapkan pada konflik agraria. Empat bulan pertama tahun 2011 konflik agraria membuat 11 petani kehilangan nyawa, puluhan petani terluka, ratusan rumah dan tanaman rusak.
    Belum lagi peningkatan lahan kritis yang mencapai 2,8 juta hektar per tahun dan alih fungsi lahan yang tak dikendalikan. Tak heran, ketika angka kemiskinan dinyatakan kian turun, orang miskin di pedesaan justru meningkat dari 63,35 persen (2009) menjadi 64,23 persen (2010).
    Di sektor lingkungan hidup, kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2011 menunjukkan ada tren peningkatan bencana di Indonesia, dari 190 kejadian (2002) menjadi 930 kejadian (2010). Peningkatan ini tak terlepas dari status Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Dari 180 juta hektar hutan yang ada di Indonesia, tinggal 23 persen saja atau 43 juta hektar yang masih terbebas dari rusak.
    Di sektor perburuhan, pemerintah gagal mewujudkan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, baik di dalam maupun di luar negeri. Rendahnya kualitas perlindungan terlihat dari fakta bahwa dalam satu tahun terakhir, 100 TKI meninggal di Arab Saudi tanpa pembelaan. 
    Sementara itu, Migrant Care mencatat tahun 2009 sedikitnya 1.018 TKI meninggal di luar negeri dan tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 1.075 orang. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI, dan janji ratifikasi konvensi perlindungan pekerja migran belum jelas nasibnya.
    Di bidang pendidikan, akhir 2011 ditandai oleh ambruknya sejumlah bangunan sekolah di daerah dan kota-kota besar. Meski Presiden SBY berjanji perbaikan bangunan sekolah rusak akan selesai pada 2008, kenyataannya masih terdapat 20,97 persen bangunan SD dan 20,06 persen bangunan SMP rusak.
    Kalau bangunan sekolahnya saja roboh, sulit bicara soal mutu pendidikan. Dari 201.557 sekolah yang ada, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Bisa dimengerti, peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua pada 2011 turun dari posisi ke-69 ke posisi ke-65 dari 127 negara. Salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak SD putus sekolah setiap tahun. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia juga merosot tajam, dari posisi ke-108 (dari 169 negara) menjadi ke-124 (dari 187 negara).
    Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya menegaskan bahwa negara wajib menjalankan setiap hak yang dijamin dalam kovenan dengan maksimum sumber daya yang ada. Untuk itu, negara wajib melakukan berbagai langkah menjalankan sepenuhnya hak yang ada dalam kovenan melalui langkah legislatif, administratif, yudisial, ekonomi, sosial, dan edukasi.
    Selain langkah legislatif, pemerintah belum banyak melakukan kewajiban untuk merealisasikan hak. Salah satu hambatan melaksanakan hak ekonomi, sosial, budaya adalah pilihan kebijakan ekonomi yang pro-pasar bebas, minimnya pendidikan publik terkait hak ekonomi, sosial, budaya, dan berlangsungnya impunitas terhadap pelaku pelanggaran hak.
    Berlangsungnya impunitas ini diperburuk belum adanya mekanisme komplain dan penyelesaian pelanggaran hak melalui jalur pengadilan serta pemulihan dan rehabilitasi korban. Berbeda dengan hak sipil politik; hak ekonomi, sosial, budaya masih dianggap bukan hak asasi.
    Selain disahkannya UU Penanggulangan Fakir Miskin dan UU Badan Pengelola Jaminan Sosial, satu kemajuan patut dicatat terjadi pada tahun 2011. Pemerintah terbuka mengaku ihwal ketakakuratan data statistik di bidang kesehatan dan gizi, produksi dan konsumsi, guru, dan kemiskinan.
    Hak ekonomi, sosial, budaya sudah terjadi sejak dalam pikiran dalam bentuk pengukuran kemiskinan dengan angka: manipulasi angka kemiskinan dan menjadikan pengurangan kemiskinan absolut tujuan utama, bukan pencapaian kesejahteraan.
  • ASEAN di Tengah Percaturan Dunia

    ASEAN di Tengah Percaturan Dunia
    Faustinus Andrea, PEMERHATI MASALAH KEAMANAN ASIA PASIFIK, STAF CSIS JAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 9 Desember 2011
    Pernyataan Kimihiro Ishikane, Deputi Direktur Jenderal Kawasan Asia dan Oseania Kementerian Luar Negeri Jepang, tentang ASEAN akan menjadi pusat percaturan
    terbesar kedua di dunia setelah kawasan Timur Tengah, menarik dicermati. Pada persiapan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-19 dan KTT terkait lainnya di Bali, pertengahan November 2011, Ishikane juga mengatakan kini banyak negara dan kelompok kepentingan ingin bermain di ASEAN, setelah kawasan ini mengalami
    perubahan dramatis sejak 2003.
    Pertumbuhan ekonomi yang pesat di kawasan Asia Tenggara telah membuat negara-
    negara yang tergabung dalam ASEAN menjadi salah satu pusat kekuatan dunia. Perkembangan kerja sama secara multilateral di kawasan Asia-Pasifik, seperti APEC, G-20, KTT ASEAN, KTT ASEAN+1, KTT ASEAN+3, dan KTT Asia Timur, dalam dekade sekarang ini telah mengembalikan pamor Asia, khususnya ASEAN. Arsitektur ASEAN dan arsitektur lainnya, seperti ASEAN Regional Forum, Shangri-La Dialogue, dan Jakarta International Defence Dialogue, makin memperkuat ASEAN sebagai organisasi regional di mata dunia.
    Meski demikian, di tengah harapan besar tersebut, dan saat ASEAN sedang menghadapi tantangan untuk mempertahankan sentralitasnya agar tidak terjebak
    di tengah-tengah pertarungan politik negara-negara besar, seperti Amerika Serikat
    dan Cina, ASEAN tampak “limbung” sebagai kekuatan penyeimbang dan pemersatu
    di kawasan. ASEAN tampak kewalahan dengan berbagai manuver politik Amerika dan Cina dalam unjuk kekuatan militer di Asia-Pasifik. Akankah ASEAN masuk percaturan
    sengit kedua negara itu? Bagaimana ASEAN adaptif menghadapi pertarungan itu dan makin memperkuat integritas internalnya sebagai kekuatan dunia?
    Rivalitas Amerika-Cina
    Dalam kondisi dunia yang tidak menentu seperti sekarang ini, manuver Amerika dan Cina membuat tingkat eskalasi konflik di kawasan Asia-Pasifik meningkat. Penempatan
    2.500 anggota pasukan marinir Amerika di Darwin,Australia utara, dan latihan perang Angkatan Laut Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA) Cina di Samudra Pasifik Barat dapat memicu perang baru di kawasan.
    Kebijakan Presiden Barack Obama tentang penempatan pasukan, yang diumumkan secara resmi beberapa hari menjelang kedatangannya di Bali untuk menghadiri KTT Asia Timur, 19 November 2011, itu mengundang reaksi banyak kalangan. Tapi, bagi Obama, kehadiran militer Amerika di Asia-Pasifik untuk kekuatan Pasifik. Sebelumnya,
    Obama malah menyalahkan Cina sebagai biang keladi sengketa di Laut Cina Selatan (LCS). Cina sering bersitegang dengan Vietnam dan Filipina terkait dengan soal perbatasan di LCS, serta dengan Jepang di Laut Cina Timur. Bahkan, kata Obama, konflik LCS dapat menjadi “titik api” perang baru di Asia.
    Sementara itu, melalui Perdana Menteri Wen Jiabao, Cina mengecam kebijakan Obama yang mengungkit soal sengketa di LCS dan pendekatan kekuatan terkait dengan sengketa itu bisa menjadi bumerang yang membahayakan kawasan. Kantor berita Xinhua memberitakan, masalah LCS harus diselesaikan secara langsung oleh
    negara-negara berdaulat melalui “konsultasi dan negosiasi bersahabat”tanpa turut
    campur Amerika.
    Amerika tidak bergeming atas sikap Cina itu. Bahkan, jauh sebelumnya, melalui Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton, di Thailand telah ditandatangani Pakta Kerja Sama dan Persahabatan (TAC) pada Juli 2009. Penandatanganan TAC ini dapat diartikan sebagai politik pembendungan pengaruh Cina di Asia Tenggara, yang akhir-akhir ini semakin kuat. Sementara itu, penempatan pasukan prajurit marinir Amerika di Darwin dinilai sebagai antisipasi agresi Cina di Asia-Pasifik. Dengan kata lain, kehadiran Amerika paling tidak dapat mengurangi kekhawatiran banyak negara akan meningkatnya pengaruh Cina di kawasan.
    The Big Three
    Dalam artikel Kompas yang ditulis I.Wibowo, yang menyitir Parag Khanna (majalah
    NYT, 27 Januari 2008), disebutkan, dunia yang memasuki abad ke-21 akan dikuasai
    The Big Three, yaitu Amerika, Uni  Eropa, dan Cina. Adapun negara-negara lain yang sering disebut sebagai the emerging markets disebutnya sebagai second world, yang akan menjadi tempat persaingan dan pertarungan The Big Three tersebut. Lebih jauh disebutkan bahwa tiaptiap kekuatan itu akan beroperasi di wilayah mereka sendiri, meski tidak tertutup kemungkinan mereka juga saling menyusupi wilayah tersebut. Uni Eropa bergerak di Afrika dan Timur Tengah, Amerika di Amerika Utara dan Amerika Selatan, sedangkan Cina bergerak di Asia Timur.
    Selain Amerika, Uni Eropa, dan Cina, menurut Robert Kagan, kekuatan lain sebagai
    negara yang dianggap punya pengaruh adalah Rusia, Jepang, India, dan Iran. Dalam buku The Return of History and the End of Dreams (2008), Kagan menghitung bahwa dunia akan dikuasai oleh negara-negara itu. Negara-negara kecil tidak masuk dalam hitungan. Baik Khanna maupun Kagan sepakat pengaruh Amerika kini tidak lagi sebesar pada masa lalu. Amerika kini bukan lagi sebagai hegemon dunia, meski masih dianggap sebagai adikuasa (superpower). Adapun kekuatan lain, yang disebut sebagai great powers, yang dilihat menjadi pemegang kekuatan nyata, baik secara ekonomi maupun militer, adalah Cina (I.Wibowo, 2009).
    Perisai Ekonomi
    Bagaimana ASEAN makin asertif di tengah struktur dunia yang multipolar menjadi tantangan tidak ringan. Baik Amerika maupun Cina saat ini berusaha menjadi negara paling berpengaruh di kancah perekonomian global. Karena itu, rivalitas ekonomi dan politik antara Amerika-Cina harus dimanfaatkan dan diarahkan untuk keuntungan ASEAN, bukan untuk diserahkan, apalagi dikuasai oleh mereka.
    ASEAN, dengan jumlah penduduk 558 juta, pertumbuhan ekonomi 7,5 persen pada 2010, jauh di atas pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 4,8 persen, secara paralel dapat tumbuh bareng dengan negara Asia lainnya, mengingat 60 persen dari 7 miliar penduduk dunia tinggal di Asia. Jika komunitas ASEAN 2015 diimplementasikan secara konsisten, ASEAN akan menjadi pasar tunggal raksasa dengan tenaga kerja dan kekayaan alamnya yang menjadi basis produksi yang menjanjikan. Integrasi ekonomi ASEAN akan berarti dihapuskannya semua hambatan investasi dan perdagangan, baik tarif maupun nontarif, serta diharmonisasi dan disederhanakannya berbagai regulasi. Konektivitas ASEAN dengan memperbaiki infrastruktur transportasi juga menjadi bagian penting yang harus dikembangkan.
    Dengan integrasi dan interdependensi yang makin solid dengan kekuatan-kekuatan
    ekonomi besar di Asia, seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan, ASEAN berpeluang menjadi bagian penting dari emerging economies yang akan menjadi alternatif pertumbuhan ekonomi dunia pada saat ekonomi Amerika dan Uni Eropa masih terus dibayangi krisis (Syamsul Hadi, 2011). Dengan demikian, di tengah percaturan dunia saat ini, kekuatan ekonomi ASEAN yang sedang tumbuh dapat menjadi perisai dan bagian penting dari Asia sebagai pusat globalisme baru.