Author: Adul

  • Korupsi yang Tidak Mati Mati

    Korupsi yang Tidak Mati Mati
    Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 12 Desember 2011
    SEBAGAI anak bangsa, sungguh sulit menerima rangkaian parade penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan yang tampil begitu vulgar dalam bentuk lomba mengeruk kekayaan negara. Korupsi demi korupsi terjadi secara berlapis. Belum tuntas penuntutan sebuah kasus perkara korupsi, muncul lagi kasus korupsi yang lain. Negara ini tak ubahnya seperti puding untuk diiris dan dinikmati dalam pesta megakorupsi yang tidak berujung.

    Jika korupsi selama ini biasa terjadi pada level elite, baru-baru ini Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening gendut milik PNS yang usia pengabdiannya masih sangat muda. Secara kalkulasi, perbandingan gaji dan usia pengabdiannya, tidak memungkinkan mreka memiliki nilai rekening sebesar itu. Semuanya menjadi mungkin manakala menggunakan jalan pintas: korupsi. Karena itu, korupsi akan terus jadi model bagi upaya percepatan pengerukan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

    Maka benar kiranya ketika mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menyentil bahwa pejabat publik kita terasuki hedonisme komunal yang mempertontonkan kemegahan dan kemewahan di atas keterbatasan ekonomi rakyat. Hedonisme ini merupakan penyakit birokrasi paling berbahaya sebab merangsang seseorang mengeruk kekayaan untuk melayani nafsu keserakahan yang tidak terbatas. Ukurannya bukan lagi kebutuhan melainkan kesenangan; mobil mewah, fasilitas berlebih, kenyamanan, dan menuntut dilayani.

    Merujuk Satjipto Rahardjo (2010), hedonisme mengakumulasi korupsi dalam dua bentuk yang berjalan bersamaan. Pertama; terjadinya korupsi konvensional, berupa pengerukan kekayaan negara secara membabi-buta untuk melayani kesenangan diri. Jenis ini mudah dipahami dan dipantau publik. Kedua; korupsi kekuasaan dengan menempatkan sistem otoritas yang dimiliki bertentangan dengan keinginan rakyat, yaitu penyelewengan kekuasaan, tidak peduli pada rakyat.

    Jika jenis pertama hanya berkaitan dengan aset, jenis kedua lebih mengarah pada penggunaan otoritas tidak pada tempatnya. Sistem otoritas ini cenderung menjadi alat negosiasi yang memiliki potensi ekonomi sangat besar. Fakta ini bisa dibaca dalam jual-beli perizinan, kebijakan impor garam saat petani panen garam, atau impor beras saat panen raya gabah. Tindakan atau kebijakan semacam ini merupakan bentuk korupsi kekuasaan yang mengingkari keinginan dan kebutuhan rakyat.

    Sesungguhnya, secara formal kita memiliki regulasi yang tegas melarang korupsi. Ada UU mengatur mengenai hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Antikorupsi (UU Nomor 31 Tahun1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Kita juga memiliki Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan lembaga yang angker yakni KPK. Namun, perangkat hukum dan keangkeran lembaga itu masih kurang efektif mencegah korupsi. Bahkan korupsi kian merajalela sehingga menimbulkan pesimisme terhadap masa depan pemberantasannya.

    Alat Legitimasi

    Jika hukum hanya dianggap kumpulan pasal demi pasal maka korupsi kekuasaan tidak akan pernah tersentuh oleh tajamnya pisau hukum. Pasalnya UU Antikorupsi hanya menyebut kerugian keuangan negara. Padahal ada kerugian lain dari korupsi kekuasaan, yaitu terjadinya kesengsaraan pada lapis masyarakat karena mereka dikorbankan melalui kebijakan negara atau kebijakan yang dibuat oleh pemangku otoritas negara.

    Kelemahan sistem seperti ini, mengutip Nonet Selznick, menyebabkan hukum terisolasi dari kepentingan sosial. Seolah hukum tidak memiliki daya respons terhadap basis dasar kebutuhan masyarakat dan hukum semacam ini tidak dapat dijadikan alat untuk mencapai keadilan substantif. Karena itu, perilaku pejabat yang hedonis, memperjualbelikan kebijakan, atau komersialisasi perizinan, tidak akan pernah tersentuh oleh formula hukum konvensional.

    Sebagai upaya penyempurnaan sistem hukum demi terberangusnya korupsi maka Nonet-Selznick menawarkan beberapa formula,  yakni keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum; peraturan sebagai subordinasi keadilan dan kebijakan; pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan kemaslahatan masyarakat; memupuk sistem kewajiban sebagai ganti dari sistem paksa; kekuasaan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; serta keterbukaan dan akomodasi aspirasi publik untuk menjaga integrasi advokasi hukum dan cita sosial.

    Jika prinsip-prinsip ini bisa diterapkan maka korupsi dalam berbagai bentuknya mudah dijinakkan melalui instrumen hukum sehingga hukum benar-benar dapat diandalkan sebagai alat legitimasi bagi kebaikan dan keadilan substantif secara komunal.

  • “Powerful Words by Heart”

    “Powerful Words by Heart”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
    Pada suatu kesempatan, saya pernah menjadi salah satu pembicara dalam seminar mahasiswa di Jakarta dengan judul “Wordsmart di Era Multimedia”.
    Salah satu topik yang dibahas pada waktu itu adalah kemampuan menyampaikan gagasan melalui kata-kata atau tulisan merupakan salah satu potensi besar yang dapat menjadi alternatif profesi di masa kini.
    Howard Gardner, penulis Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), berpendapat bahwa di antara ketujuh kecerdasan yang dimiliki manusia, salah satu di antaranya adalah kecerdasan bahasa.
    Ini merupakan suatu kepekaan terhadap bahasa lisan atau bahasa tulis (baca: kata-kata). Seseorang dengan kecerdasan ini akan mampu mempelajari bahasa dengan cepat serta menggunakannya dengan tepat.
    Rangkaian kata yang mengandung arti (lazim kita sebut kalimat) merupakan bagian yang sangat penting dalam proses berkomunikasi. Dengan demikian, tujuan berkomunikasi kita akan tercapai.
    Walau dalam proses komunikasi sering ketika sender (komunikator) menyampaikan pesan kepada receiver (komunikan), terjadi banyak variabel yang sering menjadi penghalang pesan dapat diterima dengan baik, namun saya ingin menyampaikan bahwa hampir 80 persen proses berkomunikasi diwakili oleh rangkaian kata.
    Seorang pengarang buku best seller menggunakan kata-kata yang tepat untuk menghibur, menginformasikan pengetahuan, atau memberi motivasi, memberi manfaat kepada orang lain (pembacanya), sehingga buku-buku mereka dapat laris dibeli orang.
    Namun, di sisi lain, oleh pihak lain, rangkaian kata juga dapat digunakan untuk mengungkapkan emosi seseorang, untuk menuduh, memfitnah, memaki-maki orang lain, bahkan mengintimidasi seseorang.
    Tidak lama setelah seminar tersebut, seorang senior saya, sebut saja Pak Adit, seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional menelepon saya dari luar pulau dalam sebuah perjalanan dinasnya. Selain karena akan mengoordinasikan suatu hal, beliau juga menceritakan kegemasannya pada seseorang, sebut saja Pak Hiro.
    Pak Adit bercerita bahwa Pak Hiro telah melakukan tindakan tidak terpuji sebagai seorang profesional, menelepon sekretarisnya dengan “penuh amarah”. Ia memaki-maki sang sekretaris karena permohonannya agar Pak Adit dapat menjadi pembicara dalam suatu sarasehan internal perusahaan tempat Pak Hiro bekerja tidak kunjung mendapat tanggapan.
    Sementara itu, menurut sekretaris Pak Adit, hal tu terjadi karena jadwal Pak Adit padat sekali sehingga sekretaris Pak Adit belum dapat memberikan konfirmasi sebagai pembicara, seperti yang diminta oleh Pak Hiro.
    Pak Adit memang salah seorang ahli di Indonesia dalam materi yang diajukan Pak Hiro untuk sarasehan internal di perusahaannya.
    Pak Hiro merasa memiliki kuasa dengan mengatasnamakan sebuah perusahaannya untuk “memaksa” Pak Adit memberikan konfirmasi segera, karena tentu saja eventinternal tersebut akan lebih menarik kehadiran para karyawan perusahaan tersebut jika dapat menghadirkan Pak Adit.
    Namun, apa yang terjadi pada akhirnya? Karena kata-kata yang penuh amarah, ditambah dengan penyampaian dengan emosi tinggi dari Pak Hiro, tanpa berpikir panjang, tanpa melihat perusahaan apa yang mengundang, langsung saja Pak Adit memutuskan menolak permintaan tersebut.
    Bahkan, Pak Adit menginstruksikan kepada sang sekretaris bahwa jika suatu ketika ada permintaan lagi dari Pak Hiro, sebaiknya langsung saja ditolak dengan cara yang profesional.
    Pak Adit tidak tertarik lagi kepada content (isi pesan) yang disampaikan oleh Pak Hiro melalui sekretarisnya, namun hanya satu hal yang menjadi pertimbangan Pak Adit, yaitu context (situasi) bahwa seseorang telah meminta sesuatu dengan penuh amarah adalah tindakan yang tidak profesional.
    The real art of conversation is not only to say the right thing at the right time, but also to leave unsaid the wrong thing at the tempting moment.
    Kata-kata yang disampaikan pada saat kita berkomunikasi, dengan siapa pun, selalu keluar dari hati kita. Kata-kata yang penuh amarah justru berpotensi menggagalkan tujuan proses berkomunikasi. Kata-kata yang penuh amarah dari Pak Hiro, membuat Pak Adit tidak pernah merasa trust (percaya) lagi kepada Pak Hiro.
    Kata-kata seperti pedang, seperti pedang bermata dua. Ketika kita berkomunikasi, setelah kita mendengarkan pihak lain, kemudian pada saat kita akan memberikan feedback, kata-kata yang kita rangkai dengan benar, kita sampaikan secara asertif, dalam waktu yang tepat akan membuahkan hasil luar biasa. Itulah the powerful word by heart, yang akan sangat berpengaruh apakah komunikasi kita dapat efektif atau tidak.
    Kata-kata yang kita sampaikan dalam proses komunikasi kita, sudah seharusnya mewakili isi hati kita. Kata-kata yang telah kita sampaikan kepada orang lain, tidak akan lenyap diterbangkan angin dan hilang begitu saja. Setiap perkataan kita akan mempunyai makna tertentu bagi yang mendengarkannya.
    Hati kitalah yang menentukan apakah kita berkata-kata untuk memberikan manfaat kepada orang lain atau tidak.
    Ketika kita ingin membangun generasi muda untuk menjadi pemimpin yang lebih baik di masa yang akan datang, kata-kata yang kita sampaikan kepada mereka adalah kata-kata yang memercayakan sebuah tanggung jawab kepada mereka, misalnya “Kalian pasti bisa menyelesaikan ujian dengan baik, bahkan dapat berprestasi lebih baik lagi dari semester sebelumnya”. Sebaiknya kita tidak hanya menyampaikan kata-kata yang sekadarnya, misalnya “Kalau ujian, kalian jangan lupa belajar ya…”
    Pernyataan pertama dan pernyataan yang kedua akan menghasilkan dampak yang berbeda. Pernyataan pertama mengandung arti: memercayakan tanggung jawab, mendukung perolehan prestasi yang meningkat dari sebelumnya, membuka diskusi (open communications) lebih jauh tentang bagaimana solusi untuk mencapai prestasi yang lebih baik lagi.
    Namun, komunikasi dengan pernyataan yang kedua, hanyalah sekadar mengingatkan bahwa ketika ujian jangan lupa belajar, tidak mengandung makna lebih, bahkan kecil kemungkinan menghasilkan prestasi.
    Kata-kata yang dirangkai dengan tujuan positif sesuai dengan isi hati kita yang positif, menjadikan kita menyampaikan powerful words by heart dalam berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan efektif adalah tidak hanya menyampaikan kata-kata, namun menyampaikan powerful words by heart. Wise men speak because they have something to say; fools because they have to say something (Plato).
  • Akankah Toleransi Agama di Indonesia Berlanjut?

    Akankah Toleransi Agama di Indonesia Berlanjut?
    Franz Magnis-Suseno SJ, ROHANIWAN DAN DOSEN DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
    Kekerasan terhadap orang Kristen di Indonesia sering kali menjadi berita. Namun, tindak-tindak kekerasan atas orang Kristen tidak semestinya mengaburkan fakta bahwa mayoritas umat kristiani hidup dan beribadah bebas dari ketakutan dan gangguan di sebuah negara mayoritas muslim, dan bahwa pindah agama pun tidak pernah dilarang di sini.
    Namun, dalam beberapa tahun belakangan, tingkat kebebasan beragama telah menurun. Pemerintah harus memiliki keberanian untuk menghentikan tren ini dan melindungi minoritas agama untuk terus menegakkan kebebasan beragama.
    Dalam sembilan bulan pertama di 2011 saja, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta mencatat adanya 31 kali kejadian gangguan terhadap gereja. Pada 2010, mereka mencatat ada 47 insiden.
    Di banyak daerah, hampir tidak mungkin untuk membangun gedung gereja baru dan ketika umat kristiani melaksanakan kebaktian Minggu mereka di tempat yang tidak berizin, mereka sering kali terpaksa berhenti di bawah ancaman kekerasan. Bahkan, tahun ini beberapa ancaman bermotif agama berubah menjadi insiden kekerasan.
    Meski sangat berhasil memerangi terorisme, pemerintah seperti enggan mengambil tindakan ketika kalangan minoritas terancam. Meski pemerintah mengecam penggunaan kekerasan, ini tidak selalu didukung dengan aksi.
    Misalnya, ketika tiga orang Ahmadiyah terbunuh di Cikeusik, polisi lokal tidak turun tangan, dan kemudian, para pelaku hanya menerima hukuman tiga sampai tujuh bulan kurungan penjara.
    Adanya kesenjangan antara pernyataan mengecam kekerasan dan konsekuensinya, mendorong orang-orang di daerah masuk dalam politik sektarian yang menindas kalangan minoritas.
    Sudah lebih dari setahun, jemaat Presbiterian di Bogor kerap diusik oleh kelompok-kelompok non-Kristen karena harus menggelar kebaktian hari Minggu di pinggir jalan setelah gerejanya ditutup oleh wali kota.
    Kendati Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa penutupan ini tidak sah, gereja tersebut tetap ditutup oleh wali kota, yang menghiraukan pandangan sebagian warga muslimnya.
    Ini memperlihatkan macetnya toleransi dan ketertiban masyarakat. Pada masa lalu, perlawanan terhadap pembangunan gereja sering kali dijustifikasi dengan argumen bahwa gereja-gereja yang dibangun ini akan memurtadkan warga muslim. Argumen-argumen ini biasanya dibantah melalui dialog atau diselesaikan lewat pengadilan.
    Kini, orang tidak lagi peduli dengan dalih-dalih seperti itu dan langsung saja mengatakan bahwa mereka tidak ingin ada gereja di kawasan perumahan mereka.
    Pada saat yang sama, banyak pemerintah daerah tengah memberlakukan peraturan berdasarkan syariat Islam yang semakin membatasi tidak saja aktivitas kaum minoritas agama, tetapi juga hak-hak warga negara, terutama perempuan.
    Pemerintah perlu mengumumkan bahwa ada wilayah-wilayah – seperti kebebasan beragama dan hak asasi manusia – yang tidak bisa menjadi kewenangan yurisdiksi pemerintah daerah, yang rentan akan kepentingan politik yang memecah-belah, dan yang diatur dan dilindungi oleh pemerintah pusat.
    Perkembangan Positif
    Namun, kendati ada berita-berita yang mengganggu, telah ada berbagai perkembangan positif yang perlu kita ingat dan lanjutkan. Dalam 15 tahun terakhir, hubungan antara orang Kristen dan muslim arus utama terus membaik.
    Bila empat puluh tahun yang lalu orang Kristen cenderung meminta perlindungan dari militer ketika ada masalah muncul, kini mereka berpaling ke Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar di Indonesia, tidak saja untuk meminta perlindungan tetapi juga untuk memperlihatkan pada publik bahwa hubungan antaragama di tingkat akar rumput masihlah kuat.
    Di banyak tempat, hubungan yang saling percaya terjalin antara tokoh Kristen dan tokoh muslim arus utama di tingkat daerah.
    Mahasiswa sekolah teologi Katolik secara rutin menggelar acara dan singgah di pesantren, dan di beberapa tempat, pemuda Banser Nahdlatul Ulama melindungi gereja-gereja selama perayaan Natal dan Paskah, yang kian memperlihatkan adanya ikatan antaragama yang kuat.
    Di tingkat tokoh agama, pada 10 Januari silam, beberapa tokoh terkenal dari berbagai agama mengeluarkan deklarasi bersama yang mengkritik pemerintah karena gagal mewujudkan janji yang telah dibuatnya kepada publik. Tiga contoh ini memperlihatkan bahwa mempertahankan hubungan baik dan pengertian adalah kunci untuk membangun hubungan antaragama yang baik.
    Lantas, apakah orang Kristen di Indonesia menghadapi lebih banyak tantangan di masa depan? Kebebasan beragama cukup berakar pada budaya Indonesia dan dihormati oleh Islam arus utama.
    Perbaikan nyata dalam hubungan antara orang Kristen dan muslim arus utama dalam 15 tahun terakhir mungkin menjadi penjamin kuat akan masa depan toleransi beragama dan ketertiban masyarakat di Indonesia. 
  • Sondang Hutagalung

    Sondang Hutagalung
    Budiarto Shambazy, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Mohamed Bouazizi drop out dari SMP karena orangtuanya tak mampu bayar uang sekolah. Untuk memperbaiki nasib, mereka pindah ke kota lebih kecil, R’gueb, dan bekerja di peternakan saudara.
    Namun, peternakan bangkrut karena jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia, Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid, Tunisia tengah.
    Ia memutuskan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang, usaha kaki lima dilarang, gerobaknya jadi langganan disita polisi.
    Jumat, 17 Desember 2010, pagi, ia tak tahan karena frustrasinya memuncak. Utangnya sekitar Rp 1,7 juta. Ia pergi mengadu ke gubernur mengapa polisi belum mengembalikan gerobaknya.
    Namun, ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi, Bouazizi mengambil jalan pintas. Ia lalu membakar diri di depan kantor gubernur.
    Aksi konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang akhir pekan setelahnya, massa melakukan demonstrasi dan menjarah.
    Pembakaran dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi pasti, rakyat tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para pejabat.
    Rezim Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali berupaya bertahan. Namun, percuma karena ihwal pembakaran dan penjarahan ditiru di mana-mana karena menyebar melalui media sosial.
    Aksi Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair karena efektif memicu revolusi. Kurang dari dua bulan, ”Revolusi Melati” di Tunisia merembet ke sejumlah negara Timur Tengah.
    Padahal, kultur membakar diri akibat frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua kawasan itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan.
    Kita jelas tak mengenal kultur bakar diri, makanya tercengang menyaksikan aksi itu dilakukan Sondang Hutagalung. Tak pernah ada yang bakar diri di depan istana sejak 1945.
    Sudah beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung, menjatuhkan diri dari jembatan penyeberangan, atau membakar diri sekeluarga.
    Padahal, budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih berwatak jinak, misalnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern dari mépé (berjemur diri di alun-alun).
    Kita lebih kenal amarah politik yang diwarisi budaya Melayu yang lebih mengerikan, yakni amuk (to run amok). Itulah yang terjadi, misalnya, pada 1965-1966 dan 1998.
    Apa yang dilakukan pembakar diri adalah perbuatan kurang waras dan bertentangan dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya motivasi mereka nekat karena putus asa akibat kondisi sosial dan ekonomi terpuruk.
    Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.
    Kalau bukan para pemimpin, lalu siapa? Pasalnya, hanya jajaran pemimpin negara—pemerintah dan parlemen yang mengawasi pemerintah serta yudikatif yang mengemban keadilan—yang wajib mengurus rakyat.
    Lihat ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan ”Trias Poli-thieves”. Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”.
    Tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutif dan yudikatif.
    Korupsi mudah ketahuan dan segera diperiksa KPK, Kepolisian, ataupun Kejaksaan. Namun, mereka ternyata bukan sapu-sapu yang bersih sehingga sukar diharapkan menyapu kotoran.
    ”Judica-thieves”? Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang kini disidik Panitia Kerja Mafia Kursi DPR.
    Betul kata judul buku politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi ibarat anak-anak yang bermain perang-perangan semata.
    Kepolisian dan Kejaksaan menjalankan peran memainkan ”penyidik-penyidikan” sekaligus ”penyelidik-penyelidikan” skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai aktor yang bermain ”periksa-periksaan” koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan peran menjalankan ”sidang-sidangan” seperti yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.
    Korupsi makin hari makin absurd. Permainan perangan-perangan melawan korupsi sudah berlangsung sekitar dua tahun. Sondang menjadi peringatan bagi kita bahwa korupsi di republik ini sudah mencapai kondisi luar biasa.
    Selain membakar diri, muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional, mahasiswa dan aktivis pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai Demokrat.
    Pembakar diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka disebut sebagai ”korban” yang ingin agar rakyat ”bangkit”.
    Makna dua kata, korban dan bangkit, itulah yang menjadi esensial. Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan harapan rakyat agar nasib bangsa jadi lebih baik lagi.
    Kita wajib periksa diri: walau sistem demokratis, apakah the ruling elite yang berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jika tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri.
  • Menuju HAM Hijau

    Menuju HAM Hijau
    Andang L. Binawan, PENGAJAR SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, ANGGOTA THE CLIMATE REALITY PROJECT
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Hak asasi manusia, dalam pengertian yuridis sampai hari ini, lebih dipahami dalam konteks relasi kekuasaan individu dengan negara. Suatu pemahaman yang menjadi terlalu sempit dalam kehidupan modern saat ini.
    Merunut dari sejarahnya, paham HAM memang muncul dalam dua konteks penting. Di satu sisi berupa penyalahgunaan kekuasaan negara—terutama kekuatan politik—terhadap warganya yang semakin besar. Di sisi lain, kesadaran akan martabat individu yang semakin tinggi.
    Dalam perjalanannya, pemahaman itu menjadi terlalu sempit karena kekuasaan pada zaman modern tidak lagi menjadi monopoli negara. Hal itu bisa muncul dalam wujud kekuasaan ekonomi yang juga sangat besar pada korporasi-korporasi bisnis. Dalam kaitan itulah, jaminan HAM ke depan juga semakin luas.
    Konteks Baru
    Sudah banyak dibicarakan bagaimana banyak korporasi bisnis berkembang menjadi raksasa. Pada tahun 2000 saja, laporan penelitian Sarah Anderson dan John Cavanagh yang berjudul Top 200: The Rise of Corporate Global Power menyebutkan, ada 51 korporasi bisnis yang masuk dalam 100 kekuatan ekonomi dunia. Itu berarti sudah melewati jumlah 49 negara yang menjadi kekuatan ekonomi.
    Anderson dan Cavanagh juga menemukan bahwa 200 korporasi bisnis terbesar ini tumbuh lebih cepat dibanding aktivitas ekonomi yang lain. Jika penjualan mereka ditotal, hasilnya lebih besar daripada total ”penjualan” semua negara dikurangi 10 negara terbesar. Data itu jelas menggarisbawahi bahwa kekuasaan ekonomi korporasi bisnis sangatlah besar. Dengan demikian, dampaknya pada jaminan HAM tentu juga besar.
    Makin menjulangnya kekuasaan ekonomi korporasi bisnis itu sangat mudah dipahami. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi memungkinkan pertumbuhan korporasi bisnis melampaui batas-batas politis dan geografis suatu negara. Digitalisasi uang memegang peran paling penting dalam pertumbuhan itu karena membuka peluang penumpukan modal menjadi tak terbatas.
    Jika tidak cepat tanggap, kekuasaan ekonomi itu juga menjadi tak terbatas. Potensi ancamannya tinggi, terutama jika mengacu pada Lord Acton: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely: orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, kecenderungan jahat semakin menjadi-jadi. Kekuasaan politis tidak lagi bisa mengaturnya.
    Sekarang saja dampaknya sudah sangat terasa, baik terhadap individu manusia maupun terhadap lingkungan, langsung maupun tidak langsung. Pembatasan dan pengaturan yang lebih ketat dan terkoordinasi menjadi semakin mendesak, terutama karena pengaturan yang ada masih terkesan parsial, belum sinergis.
    Nilai Bersama
    Meski demikian, besarnya kekuatan dan perkembangan zaman yang bergerak cepat membuat pengaturan eksternal atau pemaksaan dari luar tidak selalu efektif. Maka pertanyaannya kemudian, mungkinkah ada pengaturan dari dalam, yang berarti internalisasi pembatasan kekuasaan tersebut?
    Hal itu tidak akan gampang dipahami mengingat pembatasan kekuasaan berarti pembatasan upaya meraih laba sebanyak-banyaknya, yang selama ini dipahami sebagai esensi dari sebuah korporasi bisnis. Corporate social responsibility (CSR)—semacam upaya perusahaan untuk lebih bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya—masih berkesan sebagai upaya memoles diri.
    Mark Kramer dan Michael Porter, dua akademisi Amerika Serikat, menawarkan upaya membatasi penyalahgunaan kekuasaan secara internal ini melalui creating shared value (CSV) atau pengembangan nilai bersama. Muncul tahun 2006, konsep ini makin matang dalam artikel mereka di Harvard Business Review edisi Februari 2011.
    CSV bertolak dari keprihatinan bahwa kapitalisme dipahami dan dijalankan secara sempit, berpusat pada keuntungan finansial korporasi semata. Akibatnya, bukan hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga diri sendiri. Prinsip saling tergantung menjadi penting di sini.
    Pengembangan CSV juga bertolak dari terlalu minimnya CSR. CSV memang secara mendasar berbeda dari CSR dalam beberapa pokok. Menurut kedua penulis itu, ada enam perbedaan. Yang terpenting adalah bahwa dalam CSR, nilai yang mau diperjuangkan ”hanya” berbuat baik. Sebaliknya, CSV mendasarkan diri pada nilai bahwa keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial punya kaitan erat, termasuk dalam hal pembiayaan. Karena itu, nilai yang diperjuangkan sebuah korporasi tidak bisa terpisah dari nilai dalam masyarakat.
    HAM Hijau
    Pokok penting dari konsep CSV yang diluncurkan Kramer dan Porter itu memberi angin optimisme bagi jaminan HAM yang lebih menyeluruh. Kesadaran yang lebih mendalam bahwa lembaga atau korporasi bisnis terkait secara integral dengan bagian ”dunia” yang lain berimplikasi bahwa keprihatinan dunia adalah juga keprihatinan sebuah perusahaan. Mengingat HAM adalah salah satu nilai penting yang diperjuangkan dunia, tidak terlalu sulit nantinya lembaga bisnis mengadopsi nilai HAM dalam perjuangannya.
    CSV mungkin masih jauh untuk Indonesia. Akan tetapi, beberapa pokok gagasan CSV bisa dikembangkan, terutama dalam rangka negosiasi memadukan kepentingan masyarakat dan perusahaan. Dalam hal ini, sangatlah mungkin, misalnya, gagasan CSV diadopsi oleh perusahaan semacam Freeport yang menghadapi banyak konflik untuk bernegosiasi dengan pemerintah dan masyarakat setempat.
    Lebih jauh, dalam konteks HAM, berpijak pada kesamaan pandangan akan kesalingtergantungan antara lembaga bisnis dan masyarakat, individu dan negara, manusia dan alam, sekat-sekat yang selama ini menghalangi penegakan HAM bisa makin relatif. HAM lalu tidak hanya dipahami dalam konteks hidup individu vis-a-vis negara, tetapi juga vis-a-vis lembaga bisnis, khususnya yang besar, dan di situ pula konsep HAM menjadi jauh lebih luas dan integral.
    HAM akan makin hijau karena juga terkait dengan jaminan pemeliharaan lingkungan demi hidup manusia, baik yang sekarang maupun generasi mendatang.
  • Berharap KPI Jemput Bola

    Berharap KPI Jemput Bola
    Veven Sp. Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Desember 2011
    Selasa malam, 6 Desember 2011, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelenggarakan perhelatan Anugerah KPI 2011, penghargaan untuk pelbagai produk yang ditayangkan stasiun televisi di Indonesia —yang kali sekarang memasuki tahun keempat. Saya termasuk salah satu juri untuk salah satu mata tayangan khas televisi, yakni talk show—sementara bidang lainnya: program anak, sinetron lepas, film dokumenter, liputan investigatif, ditambah khusus pengabdian atau lifetime achievement dan televisi peduli keberagaman.
    Untuk peristiwa ini, sedikitnya saya punya tiga catatan. Pertama, jika kali ini merupakan perhelatan yang keempat kalinya, berarti ada yang pertama, kedua, dan ketiga—dan itu yang gaungnya boleh dikatakan kurang terasa. Gaung yang berkaitan dengan KPI selama ini lebih pada adanya pelbagai teguran KPI terhadap stasiun atau tayangan televisi itu sendiri—plus siasat stasiun televisi dalam menghadapinya.
    Kedua adalah soal bagaimana mekanisme penilaian dilakukan. Catatan ketiga berkaitan dengan pemahaman penggunaan terminologi mata tayangan yang dinilai untuk disemati Anugerah KPI.
    Dalam hal gaung dan gema KPI sebagai lembaga penyemprit, apa boleh buat, saya cenderung menaruh hormat mengingat kenyataan selama ini sudah begitu banyak keluhan dan kritik masyarakat terhadap mata acara televisi—terutama televisi komersial (boleh baca: televisi swasta)—yang nyaris tak digubris para pengelola penyiaran. KPI setidaknya sudah secara resmi menyuarakan kritik itu menjadi teguran, yang bisa saja memiliki konsekuensi hukum, misalnya dicabutnya atau setidaknya diistirahatkannya sebuah mata acara sebelum pengelola atau kreator melakukan pembenahan ke dalam.
    Tentu, mandeknya sebuah tayangan lebih berdampak ekonomi ketimbang hukum pidana. Belum pernah terjadi, atas putusan pengadilan, sebuah stasiun televisi harus membayar ganti rugi atau pemimpinnya dijebloskan ke bui. Paling-paling, jika sebuah
    acara melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan/atau Standar Program Siaran
    (SPS), serta KPI memintanya “istirahat”, pasokan iklanlah yang terkena dampaknya. Toh, stasiun televisi tak pernah kurang akal. Tanpa perlu berpayah-payah benar, tayangan pusparagam Empat Mata, yang kena palu ketok teguran itu, bisa kembali muncul dalam waktu relatif ringkas dengan tambahan embel-embel dalam kurung,
    sehingga menjadi (Bukan) Empat Mata—dan sepertinya mulus-mulus belaka.
    Surya Citra Televisi (SCTV) rupanya punya kiat sama dan sebangun. Sesudah KPI melayangkan surat resmi teguran pada 26 Agustus 2011 atas sinetron serial Islam KTP, belakangan hari sinema televisi ini bermimikri menjadi Bukan Islam KTP (tanpa harus ada tambahan dalam kurung).Teguran diarahkan juga ke sisipan iklan—yang jauh lebih diburu stasiun penyiaran—yang akibat ekonominya pastilah jauh lebih besar. Terakhir, KPI menegur iklan “Gigi Palu Nyangkut di Buah Dada”dan “Oli Top 1 Action Matic”. Keduanya mengeksploitasi buah dada perempuan model yang sama sekali sungguh- sungguh tak ada kaitannya dengan produk yang diiklankan. Juga iklan kartu pulsa yang menggunakan ikon (lagi-lagi) Tukul Arwana, terutama ungkapan yang dianggap merendahkan, “wong ndeso!”.
    Lantas, bagaimana pertimbangan pemberian penghargaan Anugerah KPI itu? Saat saya diminta menjadi salah satu penilai, kepada salah seorang panitia saya tanyakan:
    apakah yang dinilai itu paket yang diseleksi oleh KPI sebagai penyelenggara ataukah berdasarkan kiriman dari masing-masing stasiun televisi. Bagi saya, mekanisme ini
    sangat penting. Jika KPI yang memilihkan paket-paket untuk dinilai para juri, maknanya paket-paket tersebut sudah layak KPI, dan diharapkan tak akan ada kerja ganda jika di kemudian waktu koridor P3 dan SPS ala KPI itu ternyata memberikan catatan cacat terhadap paket-paket yang sudah kadung dinilai tim juri. Pihak panitia, sebagaimana juga Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, menyatakan saat memberikan sambutannya dalam acara Anugerah KPI 2011—disiarkan langsung oleh TVRI—program yang dinilai para juri berdasarkan yang didaftarkan masing-masing stasiun televisi.
    Sungguh tak berbeda dibandingkan dengan penghargaan yang pertama kali diselenggarakan KPI, pada 2007, yang kala itu menggunakan nama “asing”: KPI Awards—yang saya juga sempat diminta menjadi juri. Dibandingkan dengan perhelatan pertama Anugerah KPI, kali ini saya tak mencoba melakukan konfirmasi ke masing-masing stasiun televisi yang tidak mengirimkan karya mereka, sehingga saya tak tahu persis kemungkinan persamaan dan perbedaan yang mendasarinya tak menyertakan tayangan mereka dalam momentum penganugerahan ini. Untuk yang pertama, rata-rata stasiun televisi yang tak mengirimkan produk dan/atau program mereka disebabkan oleh kekurangpercayaan mereka atas kinerja KPI, yang menurut analisis saya lebih disebabkan masa-masa “bulan racun”(untuk melawankatakan dengan “bulan madu”) lembaga-lembaga penyiaran swasta dengan KPI, yang lahir atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang banyak pasal dan ayatnya ditentang oleh lembaga penyiaran.
    Karena itu, untuk masa mendatang, KPI tak lagi perlu semata menunggu kiriman tiap stasiun televisi. KPI harus jemput antena (mestinya: jemput bola) sebagaimana ketika
    mereka menilai mata tayangan yang dianggap tak layak siar karena menerabas P3 dan/ atau SPS. Momentum Anugerah KPI bukanlah diniatkan untuk mendapatkan pemenang atau juara sebagaimana laiknya sebuah lomba atau sayembara. Boleh dibilang, perhelatan ini merupakan semacam tradisi rutin untuk mengevaluasi berjenis-jenis tayangan di televisi—mestinya juga siaran radio—yang kemudian dinilai layak, sehat, dan, hmm?, bertanggung jawab terhadap publik.
    Justru dengan pemilihan yang dilakukan lebih dulu oleh KPI—ini menyangkut catatan ketiga—tak bakal lagi ada jenis atau format tayangan yang salah kirim, salah kotak, atau salah terminologi, yang tak sebatas salah administrasi. Setidaknya, dalam program talk show, ada dua tayangan yang lebih cocok dikategorikan sebagai reality show. Dari program film dokumenter—sebagaimana dinyatakan Tedjabayu, salah satu penilai, juga terjadi kesalahkaprahan senada dan seirama: reality show didaftarkan sebagai film dokumenter. Di bidang sinetron atau sinema televisi, juri Maman Suherman juga membisikkan: seharusnya yang dinilai adalah yang berjenis sinetron lepas (satu tayang
    usai). Namun tak sedikit stasiun televisi mengirim dan mendaftarkan berepisode-episode sinema serial bersambungan. Sesungguhnya sih tak jadi soal jika memang ada kategorisasi macam itu—dan sebaiknya memang ada mengingat Festival Film Indonesia malah menyingkirkannya sebagai sinema televisi dengan memberikan label minor bahwa sinetron itu beda kelas dengan FTV alias film televisi.
    Atau KPI sendiri masih gagap dan gugup menerapkan pelbagai terminologi dan kategorisasi yang memang menjadi kekhasan budaya televisi itu.
  • Desa Menuntut Rekognisi Negara

    Desa Menuntut Rekognisi Negara
    Robert Endi Jaweng, MANAJER HUBUNGAN EKSTERNAL KOMITE PEMANTAUAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Demonstrasi yang mulai rutin dilakukan perangkat desa, asosiasi pemerintahan desa, dan berbagai kelompok terkait lain berisi satu tuntutan puncak: segera sahkan UU Desa!
    Mereka menilai lemahnya posisi desa—bahkan pada era otonomi ini—disebabkan oleh dominasi lembaga supradesa yang menyubordinasikan desa sebagai bagian rezim pemda dan norma pengaturan desa hanya dicantolkan dalam sejumlah pasal di UU No 22/1999 atau UU No 32/2004 saat ini.
    Patut dicatat, sejumlah institusi pemegang fungsi legislasi di pusat sudah bergerak. Berdasarkan konsensus DPR-pemerintah untuk memisahkan pengaturan pemda, desa, dan pilkada dalam tiga UU berbeda, Kementerian Dalam Negeri telah bolak-balik mengundang banyak pihak mendiskusikan draf persiapan sebelum diusulkan ke DPR. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan sudah menyelesaikan dan menyetujui susunan RUU tersebut dalam Sidang Paripurna DPD Juli 2011 untuk dijadikan usulan RUU ke DPR.
    Jantung Perkara
    Terlepas dari proses legislasi yang mungkin membuat berbagai pihak tak sabar menanti, perhatian pada mutu materi muatan UU baru nanti adalah niscaya. Para pejuang desa dituntut untuk menyiapkan draf tandingan yang solid-komprehensif, tidak semata melemparkan wacana yang berserakan, terpisah-pisah, sehingga sulit diuji koherensi antar-isu yang diperjuangkan.
    Keseriusan juga penting untuk menjawab tudingan bahwa unjuk rasa belakangan ini hanya mengekspresikan kepentingan sempit—perangkat desa jadi PNS, misalnya—bahkan banyak partai politik besar yang membonceng dengan agendanya.
    Sejauh niatnya murni memberdayakan desa agar fungsional, terkelola secara efektif, dan jadi basis demokrasi yang kokoh di ranah lokal, hemat saya, wacana penataan (pengaturan) harus dimulai dari pencarian jati diri kedudukan desa. Isu ini, selain banyak memancing polemik, juga amat fundamental sebagai basis (re)konstruksi desa. Apalagi, ada utang masa lalu saat entitas lokal itu ”diberangus” sikap prasangka-desa (Chambers: 1988), anti-desa (Lawang: 2006), lewat ”intervensi negara atas desa dan integrasi desa ke dalam negara”.
    Ikhtiar ”mendudukkan” desa secara pas berarti membaca otonomi desa secara berbeda dari otonomi daerah di level supradesa. Meski pilar desentralisasi dan otonomi saling terkait, dalam konteks desa terdapat logika sistem yang berlainan.
    Di level daerah, otonomi hanya akan ada jika didahului desentralisasi kewenangan dari Jakarta (otonomi pemberian). Sebaliknya, otonomi desa bukanlah lantaran adanya desentralisasi, tetapi memang secara nyata sudah lama eksis, berbasis lokal-asali, serta inheren dalam dirinya. Maka, yang dibutuhkan semata rekognisi negara dan lembaga supradesa atas eksistensi desa (otonomi pengakuan) dan tak bisa dicabut lantaran bukan otonomi pemberian dari otoritas supradesa. Inilah hakikat self-governing community yang diimajinasikan sebagai prototipe pengelolaan desa sesungguhnya.
    Kental Rekognisi
    Maka, arah dasar legislasi nanti mesti kental politik rekognisi, bukan desentralisasi. Pekerjaan pemerintah/DPR/DPD memang jadi sulit karena tak bisa asal pukul rata seperti halnya UU Pemda. Lebih dari sekadar kemampuan teknis legal-drafting, yang jauh lebih dibutuhkan adalah kecerdasan legislative-assessment guna menakar ”segala yang eksistensial” tadi di 70.000 desa seantero Nusantara. Jelas, derajat kebertahanan otonomi asali tidak merata, di sebagian tempat malah telah lama hilang digerus ”modernisasi” atau diberangus mesin Orba yang menghendaki keseragaman desa. Tingkat perkembangan sosio-ekonomi juga pasti bervariasi, bahkan senjang luar biasa antara desa di Jawa dan di Papua.
    Untuk ”keluar” dari kesulitan politik legislasi, sebagian pihak mengusulkan: UU Desa bersifat generik, digariskan nada dasarnya saja, sementara rincian lebih lanjut diatur kabupaten. Sebagian pakar datang dengan substansi usulan lain: pembuatan tipologi desa sebagai formula akomodasi pluralitas lokal dan derajat perkembangan sosial sehingga pengaturan mesti bersifat asimetris. Namun, ada saja yang optimistis: realitas keragaman lokal dan hakikat otonomi asali dalam instrumen kebijakan akan terpelihara sejauh anggota DPR/DPD bisa memahami karakter desa perwakilannya.
    Apa pun itu, garis dasar yang wajib dipegang adalah tidak lagi mengulang corak pengaturan Orba (UU No 5/1974) yang kental uniformisasi, jangan juga latah dengan pola era desentralisasi yang mengatur serba terbatas dan hanya menyentuh segi instrumen yang justru problematik. Jika perkara kedudukan desa ini tetap tak selesai secara baik, boleh jadi kita hanya kembali ke cerita lama ketika desa dijadikan miniatur negara. Otonomi desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah.
    Jadi, RUU Desa bukan semata polemik soal status sekretaris desa ataupun perangkat desa sebagai PNS, mengalokasikan pembiayaan desa dalam APBN hingga 10 persen, dan seterusnya. Ini jelas ironis dan menimbulkan kecurigaan ketika keprihatinan dasar adalah soal lemahnya posisi desa di depan kedigdayaan lembaga supradesa, padahal kondisi yang memprihatinkan justru soal kesejahteraan dan status kepegawaian pejabat desa. Lalu, apa beda mereka dengan elite penyelenggara negara yang lain?
  • Sentralisasi Pendidikan

    Sentralisasi Pendidikan
    Mohammad Abduhzen, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA; VISITING SCHOLAR DI OHIO STATE UNIVERSITY COLUMBUS, AMERIKA SERIKAT
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Mengatasi masalah distribusi dan peningkatan mutu pendidikan, pemerintah memutuskan menyentralisasi pengelolaan guru. Sesederhana inikah solusinya?
    Masalah ketidakmerataan guru muncul sebelum dan bukan disebabkan oleh desentralisasi, melainkan sikap pemerintah yang sering kali menggampangkan urusan pendidikan. Pemerintah jarang melihat pendidikan dalam perspektif yang lebih substansial. Sentralisasi mestinya dikaitkan dengan ide reformasi pendidikan yang total, fundamental, dan gradual.
    Rencana kebijakan untuk menyentralisasi pengelolaan guru, melalui surat keputusan bersama (SKB) lima menteri terkait, juga menunjukkan ”cara mudah” menangani pendidikan.
    Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengutak-atik mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari model tahun 2010, yang tanpa melibatkan pemerintah daerah, ke mekanisme 2011 melalui pemerintah kabupaten/kota. Tahun 2012 mendatang, mekanisme itu dikembalikan seperti 2010 dengan alasan yang sama: untuk mengatasi keterlambatan.
    Begitu pula dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang lama dipersiapkan, tanpa ”ba-bi-bu”, pada 2006 pemerintah malah memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Manajemen manasuka telah membuat pendidikan kita jalan di tempat, tetapi mengigau tentang sekolah bertaraf internasional.
    Memang Dibutuhkan
    Sentralisasi pendidikan memang dibutuhkan, pertama, karena posisi strategis pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan bukan hanya untuk pemberantasan buta huruf atau sekadar sekolah seperti yang dipahami kebanyakan orang. Lebih dari itu, pendidikan adalah upaya mempertahankan eksistensi: cara menyelesaikan berbagai persoalan dan jalan utama menuju terwujudnya kesejahteraan, kecerdasan, dan martabat bangsa.
    Sensitivitas bidang pendidikan setidaknya setara dengan (atau malah lebih) dari 6 bidang yang kini jadi urusan pemerintah (pusat), yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan fiskal. Namun, resentralisasi menuntut pendidikan masuk urusan pemerintah harus merevisi UU Pemerintahan Daerah.
    Kedua, pilihan desentralisasi pendidikan dalam situasi kebangsaan dan kenegaraan yang belum memiliki pola-pola efektif serta baik seperti sekarang tidak hanya menghambat kemajuan, tetapi juga melahirkan berbagai efek destruktif. Janji desentralisasi akan membawa berbagai inovasi dan akselerasi melalui otoritas pemerintah daerah ternyata tak terbukti. Modal kemanusiaan kita sangat terbatas dan masih dalam fantasi sentralistis sehingga ketika desentralisasi dipaksakan yang terjadi hanyalah eror. Bahwa selama Orde Baru pendidikan kita sentralistis dan tidak mengalami kemajuan, penyebabnya bukan sentralisasi, melainkan lebih karena mentalitas birokrasi kita.
    Ketiga, selama ini desentralisasi pendidikan kita sebetulnya semu. Praktis sebagian besar urusan pendidikan dijalankan secara sentralistis. Pembelajaran, misalnya, meskipun ada KTSP yang seyogianya memberi otoritas lebih luas kepada sekolah, komite sekolah, dan pemerintah daerah dalam menentukan apa yang seharusnya diajarkan, kenyataannya waktu yang disediakan cuma dua jam pelajaran (masing-masing 40 menit) pada muatan lokal. Selebihnya, mata pelajaran, materi, dan jam pelajaran ditetapkan dari pusat melalui Kepmen No 23-24/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Kurikulum, gaji guru, BOS, sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga ditetapkan pusat. Jadi, gagasan resentralisasi pendidikan sesungguhnya hanyalah sebuah penegasan, formalitas yang memang diperlukan.
    Keempat, sentralisasi pendidikan dibutuhkan untuk menggalakkan reformasi yang secara normatif telah dimulai sejak amendemen UUD 1945, di mana anggaran pendidikan ditetapkan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
    Kemudian berlanjut dengan perubahan diametral tentang definisi pendidikan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengutamakan peran aktif murid dalam pembelajaran. Lalu, masalah profesionalisme guru dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
    Perlunya Reformasi Pendidikan
    Gagasan pembaruan ini seharusnya menjadikan pendidikan kita secara operasional lebih baik. Namun, sayangnya, arah dan gejala perbaikan itu sampai kini belum tampak jelas sehingga reformasi di bidang pendidikan perlu dipacu kembali.
    Reformasi pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia jika ingin menangkap peluang di tengah pergeseran kekuatan ekonomi yang pendulumnya tengah berayun dari Barat ke Timur/Asia.
    Tak ada negara di dunia ini yang mengalami akselerasi kemajuan tanpa terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya. Negara-negara yang memahami formula kemajuan dan konstelasi perubahan global ini dengan serius berinvestasi pada bidang pendidikan, di antaranya dengan mengirimkan mahasiswa ke sentra-sentra kemajuan iptek dunia.
    Peluang Indonesia untuk maju dan berperan dalam globalisasi yang cepat dan dahsyat ini terbuka lebar. Potensi sumber daya manusia, alam, dan budaya kita sangat menjanjikan. Namun, semua itu perlu perombakan serius, terutama dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan kita terlalu usang dan tidak kompatibel untuk mengantarkan bangsa ini masuk dan bermain pada lingkaran tengah kemajuan.
    Latar pendidikan kita adalah situasi terjajah 100 tahun lalu ketika pemerintah kolonial menerapkan politik etisnya. Kendati bangsa ini telah merdeka, realitas pendidikan kita belum beranjak dari menyiapkan calon pegawai sipil pribumi (sekarang PNS) dan tenaga kerja murah.
    Reformasi harus menjadikan pendidikan sebagai wahana pemerdekaan dan perwujudan cita-cita kemerdekaan. Untuk itu, pendidikan perlu disentralisasikan.
  • Mantan Polisi, Bekas Selebritas

    Mantan Polisi, Bekas Selebritas
    Reza Indragiri Amriel, PSIKOLOG
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Desember 2011
    Norman Kamaru tidak lagi berpangkat brigadir satu. Polisi yang dibuat tenar lewat rekaman lipsync-nya di laman youtube.com itu dipecat dengan tidak hormat dari institusi Kepolisian RI. Bagi Norman, dijatuhi sanksi pemecatan secara tidak hormat tampaknya bukan persoalan. Di ruang publik, Norman tetap tampil high profile. Walau persidangan etik profesi atas dirinya belum rampung, Norman justru hinggap dari satu etalase ke etalase selebritas lainnya.
    Iming-iming kekayaan, sulit diingkari, menjadi pesona yang begitu menggiurkan. Walau perlu diingat, kesejahteraan finansial yang membaik—bisa jadi—bukan satu-satunya motif yang mendorong Norman sehingga berani banting setir dari pelayan masyarakat menjadi penghibur masyarakat. Salah satu fakta yang diidentifikasi sebagai sumber stres yang signifikan di organisasi kepolisian adalah pengakuan.
    Tingginya tuntutan tugas, termasuk risiko bahaya, dapat mengisap personel kepolisian
    ke dalam pusaran ketidaknyamanan kerja. Pada saat yang sama, institusi kepolisian direpresentasikan oleh penyelia tidak memiliki waktu dan kepedulian memadai terhadap kebutuhan manusiawi bawahannya. Tekanan terhadap polisi juga datang dari masyarakat. “Sempurna”sudah, menjadi polisi sama artinya dengan menjadi manusia super, yang pantang takut, haram mengaku letih, dan aib berkata sedih. Pokoknya bekerja, titik.
    Berprofesi sebagai polisi berarti mendekatkan diri pada keadaan dehumanisasi. Suasana hati yang demikian galau, serta  terus-menerus berada di luar jarak pandang
    organisasi, akan menjadi faktor risiko bagi munculnya perilaku yang tak pantas (misconducts). Wujudnya bisa sikap apatis, bisa pula yang memangsa, semisal korupsi
    dan perilaku brutal. Semuanya adalah manifestasi aspirasi personel yang tidak terpenuhi dan atensi lembaga yang tidak memadai.
    Dari situ, keputusan Norman mengundurkan diri dari institusi Polri barangkali seharusnya justru memberikan inspirasi, bahkan alternatif solusi, bagi sistem  pengembangan sumber daya manusia Polri, yang oleh banyak kalangan dinilai masih
    belum sepenuhnya obyektif dan transparan berbasis kinerja—tanpa menihilkan  sentuhan kemanusiaannya.
    Kalau selama ini keluar dari Polri lebih berawal dari penyikapan lembaga, sebagai sanksi atas pelanggaran personel, misalnya, di masa mendatang perlu didorong agar undur diri lebih banyak berangkat dari inisiatif pribadi personel. Para punggawa tribrata memeriksa dan menakar diri masing-masing guna menjawab apakah mereka masih pantas atau sudah tak layak berada di korps Polri.
    Keluarnya personel dari kepolisian tidak selamanya menjadi kabar buruk bagi institusi
    kepolisian. Turnover merupakan kesempatan bagi lembaga mengganti para aparatnya yang tidak efektif bekerja dan tidak menjunjung etika. Secara keseluruhan, turnover adalah peluang pembenahan sistem dan—terlebih—kultur organisasi.
    Di atas itu semua, yang menjadi pertimbangan utama sebenarnya adalah kepentingan
    masyarakat. Logikanya sederhana: ketika jiwa pengabdian sudah pupus dari batin personel, dan digantikan oleh obsesiobsesi baru, kebutuhan publik akan layanan terbaik kepolisian harus tetap berada di prioritas tertinggi. Dengan kata lain, apa
    boleh buat, sudah menjadi risiko “kodrati” profesi: dalam kondisi seburuk apa pun,
    tetap polisi yang harus memahami masyarakat, bukan masyarakat yang harus mendengarkan keluh-kesah polisi.
    Walau terkesan positif, pengunduran diri personel kepolisian menyisakan persoalan
    menyangkut biaya finansial yang telanjur dikeluarkan guna merekrut dan membina
    personel-personel tersebut. Hal ini yang melatari penilaian bahwa problem turnover
    pada organisasi kepolisian di sejumlah negara sudah mencapai titik kritis. Contoh dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat, tingkat pengunduran diri polisi (14 persen) lebih tinggi daripada profesi perawat (12 persen) dan guru (13 persen). Masa kerja mereka rata-rata 33 bulan sejak bergabung. Yang terbanyak adalah personel yang masih berada pada usia emas, yakni 26-30 tahun dan 31-36 tahun.
    Tapi, karena mempertahankan personel yang tidak layak berimbas pada lebih besarnya
    biaya ataupun beban yang harus ditanggung oleh lembaga dan masyarakat, turnover tetap dipandang sebagai kenyataan dengan efek kerugian lebih minimal.
    Norman bagaimana?
    Atas diri Norman sendiri, saya hanya mengkhawatirkan pilihan kariernya setelah —kasarnya—dipecat dari Polri. Norman selama ini dikenal, bahkan dielu-elukan masyarakat, karena ia adalah polisi yang bernyanyi.Tidak sungguh-sungguh bernyanyi
    sebenarnya.Kunci ketenaran Norman adalah tatkala ia mengenakan seragam Brimob dan berlenggak-lenggok tanpa mengeluarkan sepatah nada pun dari mulutnya. Publik tidak pernah mendengar, apalagi mengagumi, tarikan suaranya. Jangan-jangan, hanya dengan formula serupa Norman tetap asyik ditonton khalayak. Norman yang berbusana selain seragam polisi tidak akan dilirik orang. Norman yang bernyanyi dengan suaranya sendiri juga tidak akan didengar orang. Ah, nasib orang siapa tahu! Wallahualam.
  • Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-Sondang

    Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-Sondang
    Usman Hamid, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
    Sumber : SINDO, 10 Desember 2011
    Saya terhentak ketika mendengar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas kepada perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    Bagaimana kita memaknainya dalam peringatan Hari HAM kali ini? Sondang Hutagalung––jika benar hasil tes DNA dokter–– adalah mahasiswa yang kerap ada dan aktif berperan dalam prakarsa-prakarsa Kontras untuk memperjuangkan keadilan dan HAM.

    Jika ke Kontras,hampir selalu kita temui dia sedang berkumpul sesama aktivis mahasiswa dan mendiskusikan permasalahan HAM atau seputar bagaimana membangun gerakan mahasiswa dan peranan pemuda. Sondang aktif mempersiapkan kegiatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk melakukan aksi diam pada setiap Kamis,pukul 4 sore, di depan Istana.

    Ia dikenal ramah, menyukai olahraga sepak bola. Pada akhir pekan, saya kerap melihatnya membaca buku di perpustakaan Kontras. Dalam dua bulan terakhir, Sondang tak hadir di tengahtengah berbagai kegiatan Kontras yang belakangan begitu intensif memantau perkembangan Papua.

    Ketidakhadiran ini hal biasa karena sebagai seorang aktivis mahasiswa, mungkin saja dia tengah mengikuti kegiatan dengan organisasi lain ataumelakukan tugastugas mahasiswa. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Yang pasti, orang tua, keluarga, dan kerabat dekatnya amat bersedih hati. Kita pun bersedih dan dibuatnya tak percaya.

    Dan bila direnungkan lebih mendalam lagi, kita seperti diajak untuk merefleksikan aksi ini sebagai suatu bentuk pengorbanan diri sekaligus untuk membangun perhatian dan menggelorakan spirit kejuangan (martyrdom) yang lebih luas. Tindakan ini dikenal sebagai self-immolation yang dikenal selama berabad-abad sebagai protes politik terhadap ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan yang nyaris mustahil dikoreksi.

    Keadaan yang nyaris tak terkoreksi itu melahirkan semacam tindakan dramatik dan revolusioner pada diri aktor selfimmolation untuk menarik perhatian dari khalayak luas dengan menyerahkan tubuhnya pada api sebagai aksi pengabdian diri. Majalah Times dan New York Times mencatat, setidaknya terdapat 100 orang dalam kurun 1963–1971 yang melakukan self-immolation sebagai protes terhadap Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

    Dalam gelombang baru dari revolusi sosial, Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang dagangannya dirampas oleh aparat karena dianggap ilegal.Di tengah ketatnya kontrol kekuasaan, dia kemudian menempatkan aksi bakar tubuhnya sebagai wujud protes terhadap kesewenangwenangan.

    Bouazizi atau Sondang juga seperti mengulangi Jan Palach, seorang mahasiswa Czechnya yang menentang aksi pendudukan militer Soviet dengan cara membakar diri dan kemudian melahirkan perlawanan yang meluas.

    Tak Menentu

    Lalu apakah kondisi kehidupan masyarakat Indonesia sudah sedemikian kritisnya sehingga seorang mahasiswa seperti Sondang berani mengambil tindakan demikian? Keadaan penegakan HAM di Tanah Air memang semakin tak menentu. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.

    Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil.Tindakan-tindakan represif negara semakin dihidupkan kembali sekaligus semakin gagal meredam suara-suara protes.

    Dalam penelitian mendalam, Imparsial dan Kontras bekerja sama dengan Federasi Internasional HAM yang berbasis di Paris, Prancis (FIDH) menyimpulkan bahwa walaupun sejak 1998 terjadi perbaikan melalui berbagai pernyataan politik mengenai komitmen penegakan HAM, Indonesia terus menghadapi tantangan serius dalam isu HAM.

    Di antaranya ketiadaan hukuman dalam kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara, berbagai legislasi yang inkonsisten dengan kewajiban Indonesia kepada konvensi HAM internasional, sistem peradilan yang lemah dan korup, serta berkembangnya intoleransi terhadap kaum minoritas.

    Penelitian yang berjudul “Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady Legacy,Uncertain Future (2010)” menemukan budaya kebal hukum dan ketiadaan hukuman (impunitas) terbawa dari pemerintahan Soeharto. Ini adalah persenyawaan dari besarnya kekuasaan militer,reformasi polisi yang tak memadai, dan kerentanan sistem peradilan dari pengaruh eksternal.

    Penyelidikan kredibel terhadap pelanggaran HAM berat, terutama yang melibatkan aparat keamanan, jarang dilakukan. Sejumlah anggota militer, apalagi perwira, yang dituduh atau didakwa dalam pelanggaran HAM tetap menjalankan tugas aktifnya, bahkan mendapat kenaikan pangkat dan promosi jabatan militer hingga jabatan di jajaran kementerian. Status kontrol sipil dari pemerintah dan DPR terhadap tentara masih meragukan.

    Dalam merespons Papua, taktik bersenjata ala Orde Baru masih diterapkan untuk membungkam suara kritis di Papua, termasuk dengan penyiksaan warga sipil secara brutal dengan stigma separatis. Contoh lainnya adalah rendahnya akuntabilitas atas pembunuhan pembela HAM Munir Thalib Said pada 2004 dan putusan bebas bagi terdakwa dalang pembunuhan tersebut,Muchdi Purwo-pranjono, setelah melalui persidangan yang penuh cacat.

    Berlakunya legislasi antiterorisme dan penyalahgunaannya juga telah menyebabkan pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan dan intelijen. Baru-baru ini Badan Intelijen Negara diberi wewenang yang eksesif, mengatasi institusi hukum. Sebelumnya Undang- Undang Antiterorisme (UU 15/2003) memuat definisi “terorisme” yang luas sehingga membuka pintu pelaksanaan sewenang-wenang oleh negara. Praktik dari UU ini membuktikan kekuasaan yang luas tanpa kendali pada pelaksana hukum.

    Nah, kondisi seperti inilah yang mungkin dipikirkan oleh seorang mahasiswa seperti Sondang. Kita selayaknya berempati dan mengambil prakarsa untuk mengubah keadaan ini.