Author: Adul

  • Revivalisme Islam Asia Tenggara

    Revivalisme Islam Asia Tenggara
    Hery Sucipto, DIREKTUR PUSAT KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM (PKTTDI) FISIP-UMJ
    Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011
    Perang Salib telah membuat dunia Islam semakin terpuruk. Dunia Islam berada di bawah penjajahan negara-negara Barat. Sejak saat itu dunia Islam menghadapi fron perjuangan selanjutnya, yakni melawan penjajahan. Hasilnya, pada pertengahan abad 20, dunia Islam berhasil mengenyahkan penjajahan dan merebut kembali kemerdekaan. Dengan diperolehnya kemerdekaan, umat Islam punya kesempatan untuk membangun kembali kejayaan peradabannya sebagaimana pernah diraih kekhalifahan Umayah di Baghdad dan kekhalifahan Abbasiyah di Kordova.

    Jika di masa lalu peradaban Islam bersinar di Timur Tengah dan Eropa, di era globalisasi sekarang ini banyak yang meyakini bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia menjadi bagian terpenting yang berpotensi untuk memimpin dunia baru Islam. Sementara cahaya peradaban yang pernah terbit di Timur Tengah kini telah redup. Di abad modern ini tidak ada lagi optimisme bahwa Timur Tengah akan mampu mempertahankan kegemilangan peradaban yang pernah ditorehkan di pentas sejarah.

    Sementara itu, Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, semakin solid. Berbagai rintangan dan krisis yang mewarnai perjalanan menuju kebangkitan dan kemajuan dapat diatasi secara perlahan tapi pasti. Konsolidasi yang semakin solid di tingkat regional dan internasional menjadi instrumen ampuh untuk mewujukan potensinya sebagai pemimpin baru dunia Islam.

    Islam kontemporer

    Islam di Asia Tenggara tumbuh subur dan berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan besar yang patut diperhitungkan. John L Esposito dalam artikelnya berjudul “Islam’s Southeast Asia Shift, a success that Could Lead Renewal in the Muslim World” yang dimuat Asiaweek edisi 4 April 1997 menyoroti perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa kontemporer ini. Ketika banyak orang mengidentikkan Islam dengan Arab, Esposito mengatakan, Islam Asia Tenggara adalah Islam periferal. Pada tahun 1990-an, Esposito mengungkapkan kekagumannya bahwa Islam di Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia akan memainkan peranan penting dalam memimpin dunia Islam.

    Ramalan bahwa fajar kebangkitan dunia Islam akan terbit dari Asia Tenggara telah banyak disampaikan para pakar dan ilmuwan, baik sarjana Barat maupun sarjana Timur (buku-buku yang membahas soal ini antara lain: Mohammed Ayoob (Ed), 1981, The Politic of Islamic Resurgence, Croom Helm London; James P Piscatory (Ed), 1983, Islam in the Political Process, Cambridge University  Press; John L Esposito (Ed), 1983, Voices of Resurgent Islam, Oxford University Press). Mereka hampir memiliki keyakinan yang seragam bahwa kebangkitan Islam Asia Tenggara merupakan sesuatu yang taken for granted. Para sarjana Barat dan Timur mengakui kebangkitan Asia Tenggara, baik secara historis, sosiologis, politis, maupun secara natural.

    Di samping ramalan itu, berdasarkan pada catatan sejarah, pembaruan Islam baik secara politis maupun kultural pada umumnya selalu datang dari kawasan periferal, seperti Iran, Turki Usmani, Asia Selatan, dan Asing Tenggara, yang membentangkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan besar. Pada abad ke-21 ini, sejarah itu sepertinya akan mengulangi dirinya sendiri, yakni pembaruan akan kembali datang dari kawasan periferal. Kawasan Asia Tenggara akan terus bergeser dengan bergerak menuju ‘pusat’ sebagai sebuah kekuatan dinamis, yakni pembaruan dalam tubuh Islam dan masyarakat Islam. Alhasil, dunia baru Islam di era globalisasi ini akan dimulai dari Asia Tenggara.

    Era globalisasi yang ditandai dengan globalisasi ekonomi menampilkan Asia sebagai sebuah pasar kuat. Komunikasi massa juga telah memacu penemuan kembali Islam Asia Tenggara, baik secara kultural maupun ekonomi. Pada saat dunia Arab dibayang-bayangi kepentingan strategis minyak dan ledakan politik Asia Barat, Malaysia dan Indonesia muncul sebagai pemain penting dalam kepemimpinan dunia Islam. Pertumbuhan ekonomi Malaysia, politik Muslim, dan pluralisme mengubur stereotip negatif yang ditampilkan oleh peristiwa-peristiwa dari Revolusi Iran sampai perang sipil Aljazair.

    Ketika dunia memandang Islam tidak cocok dengan abad modern dengan tuduhan terorisme dan radikalisme, Islam Asia Tenggara memperlihatkan alternatif-alternatifnya. Islam di Asia Tenggara jauh lebih multireligius, multikultural, moderat, dan pluralistik. Di Asia Tenggara terdapat dinamisme, kesejahteraan, dan pertumbuhan yang tidak terdapat di kawasan Asia Barat. Para intelektual Muslim memainkan peran lebih besar dalam membangun Indonesia dan Malaysia.

    Di Indonesia, peran Islam sudah semakin transparan dalam lanskap politik dan institusi, dalam pemerintahan sampai ke LSM-LSM. Para sarjana dan profesional sedang memformulasikan suatu bentuk pemikiran kreatif tentang pembaruan keagamaan, sosial, demokratisasi, pluralisme, dan hak-hak perempuan dalam dunia Islam.

    Malaysia dan Indonesia adalah sebentuk jawaban bahwa Islam sangat kompatibel dengan era modernisasi, dan peradaban Islam juga tidak pernah berkonflik dengan Barat. Kedua negara itu juga dengan terang-terangan menegaskan identitas keislamannya, namun pada saat yang sama mempromosikan pluralisme.

    Karakteristik Islam Asia Tenggara

    Melihat perkembangan dan dinamikanya saat ini, Islam di Asia Tenggara sangatlah unik dan setidaknya memiliki empat karakteristik. Pertama, pluralis. Fakta sejarah memang mencatat bahwa budaya Islam Melayu dari segi keagamaannya, secara fikih yang menonjol adalah madzhab Syafi’i, dan secara teologis adalah Asy’ari. Namun, pada perkembangan kontemporer di era globalisasi ini, di mana berbagai aliran dapat masuk dan berkembang pesat, dunia Melayu semakin menonjolkan pluralisme keagamaan.

    Kedua, toleran. Di samping kebudayaan orang-orang Melayu sendiri yang menonjolkan budaya toleransi yang kuat, penyebaran Islam di bumi Melayu tidak pernah mengenal model fundamentalisme Islam. Fundamentalisme tersebut hanya terjadi sekali ketika gerakan Paderi muncul di Sumatra Barat dengan menempuh jalan kekerasan. Fundamentalisme juga muncul belakangan ini, namun sudah banyak ditentang oleh arus utama yang lebih representatif. 

    Ketiga, moderat. Islam yang tumbuh di Malaysia dan Indonesia memiliki sikap yang lebih moderat, toleran, dan kooperatif kepada penguasa. Berbeda dengan pertumbuhan Islam di Timur Tengah yang lebih opresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ideologi politik Indonesia dan Malaysia adalah ideologi yang sangat relevan dengan ajaran-ajaran Islam. Ideologi Pancasila di Indonesia dinilai sudah sesuai dengan Islam sehingga tidak perlu ditentang dengan kekerasan. Bahkan di Malaysia, Islam disebut agama seni sehingga persoalan-persoalan ideologis tidak akan pernah menjurus pada konflik kekerasan.

    Keempat, pendekatan kultural. Di Malaysia, Islam dikembangkan dengan jalan kultural. Salah satunya dengan pembentukan Jaringan Usahawan Melayu Antarbangsa (JUMA). Begitu juga di Indonesia, sejak berlakunya kebijakan fusi partai-partai Islam umat Islam lebih memilih jalur kultural sebagai wahana perjuangannya. Berbeda dengan dunia Timur Tengah, Islam disebarkan dengan pendekatan politik sehingga sampai detik ini sering kali mengalami kegagalan.  

  • Ekumenisme dan Masyarakat Terbuka

    Ekumenisme dan Masyarakat Terbuka
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) 
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    Dalam setiap peradaban atau lingkungan kebudayaan, atau lebih kecil lagi lingkungan tradisi tertentu, selalu akan kita jumpai dua kelompok yang saling berseberangan: kaum puritan dan kaum ekumenis. Kaum puritan – yakni mereka yang hendak menjaga kemurnian tradisi dan peradaban. Kaum ekumenis – yakni mereka yang membuka diri pada komunikasi dengan, juga pengaruh dari tradisi dan peradaban yang lain.
    Entah kenapa, tampaknya setiap peradaban cenderung membutuhkan semacam “lawan” di seberang yang menjadi kebalikan dari citra-diri (self image) peradaban itu – semacam “enemy in the mirror” (istilah Roxanne L. Euben). Mungkin dengan lawan semacam itu, suatu peradaban agak mudah menegakkan garis batas antara apa yang tergolong “peradaban” dan “non-peradaban”.
    Bangsa Yunani, misalnya, mengenal istilah “barbar” (dari kata barbaros): mereka yang bukan warga negara (civis), dan dengan demikian juga tak beradab. Dalam tradisi Yahudi, dikenal istilah gentiles: orang-orang non-Yahudi yang dipandang lebih rendah karena menyembah “ilah-ilah” atau Tuhan palsu. Dalam tradisi Arab, dikenal istilah ‘ajami (plural: ‘ajam): orang-orang non-Arab yang berkomunikasi dalam bahasa yang buruk (‘ujmah), dan karena itu sulit dipahami. Dalam tradisi fikih Islam klasik, dikenal dua istilah yang oleh kaum Islamis-radikal di era modern dieksploitasi untuk merumuskan pandangan dunia yang dikotomis: dar al-Islam (negara Islam) dan dar al-harb (negara perang atau non-Islam). Dalam peradaban India kuno dikenal istilah mleccha – yakni orang-orang yang berasal dari luar etnik Aria dan dianggap sebagai bangsa yang kotor. Dan seterusnya, dan seterusnya.
    Dalam setiap peradaban terdapat juga kecenderungan “centrism” – kecenderungan melihat dirinya sebagai pusat dunia (paku buwana, paku dunia, istilah dalam tradisi politik Jawa), sebagai puncak perkembangan dari yang terbaik pada zamannya, dan karena itu cenderung memandang orang-orang lain yang berada di luar lingkup pengaruhnya dengan mata yang agak merendahkan. Bahkan, suatu peradaban kadang memandang “peradaban” lain sebagai pesaing, kalau tidak malah lawan yang harus disingkirkan.
    Tentu saja, kecurigaan antara peradaban tak menghalangi adanya kontak dan saling pengaruh antar mereka. Secara historis kontak antar peradaban sebetulnya jauh lebih sering berlangsung ketimbang permusuhan. Meskipun tetap ada, permusuhan biasanya bersifat intermittent, kadang-kadang saja, tidak berlangsung terus-menerus.
    Wahana di mana kontak ini berlangsung sangat beragam, umumnya pada sektor budaya, pengetahuan, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari yang berwatak fluid, cair. Salah satu contoh sangat baik adalah kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani pada era Islam klasik, persisnya pada zaman dinasti Abbasiyah (r. 750-1519 M) di Baghdad – terutama buku-buku filsafat. Kegiatan penerjemahan yang penuh antusiasme ini direkam oleh seorang Arabist dari Universitas Yale, Dimitri Gutas, dalam bukunya Greek Thought, Arabic Culture (1998).
    Kontak dan saling pengaruh antar peradaban memang sama sekali tak terhindarkan. Hampir mustahil membayangkan suatu peradaban yang “murni” secara total, serta terisolasi sama sekali dari pengaruh-pengaruh di sekitarnya. Memang, dalam setiap peradaban/kebudayaan selalu kita jumpai kaum purist, mereka yang menghendaki kemurnian total bagi peradaban tertentu, serta hendak membersihkan elemen-elemen asing yang “najis” yang akan mengotorinya.
    Tetapi, yang menghuni peradaban, bukan hanya kaum puritan saja. Ada orang-orang lain yang, saya kira, jauh lebih banyak jumlahnya, yang ingin saya sebut sebagai kaum ekumenis – mereka yang hendak membangun kontak dan komunikasi antar peradaban dan kebudayaan (hiwar al-hadarat, istilah mantan presiden Iran Muhammad Khatami dulu).
    Yang menarik, permusuhan antar peradaban biasanya cenderung terjadi antara kaum “puritan” dari peradaban yang satu vis-a-vis kaum puritan dari peradaban lain. Apa yang pernah dikatakan oleh Tariq Ali, penulis The Clash of Fundamentalisms, memang tepat: yang kerap terjadi adalah benturan antara kaum fundamentalis dari satu tradisi tertentu dengan kaum fundamentalis dari tradisi lain – fundamentalisme Usamah bin Ladin di satu pihak, dan fundamentalisme George W. Bush di pihak lain.
    “Permusuhan” juga biasa terjadi antara kaum puritan dan ekumenis dalam peradaban (atau agama) tertentu; sementara kaum ekumenis dari pelbagai peradaban yang berbeda-beda biasanya akan mudah untuk saling berjumpa satu dengan yang lain. Kaum ekumenis yang biasanya pro-dialog dari agama tertentu, misalnya, juga akan dengan mudah bertemu serta berkomunikasi dengan kaum ekumenis dari agama lain.
    Jumlah kaum ekumenis dalam setiap peradaban biasanya jauh lebih banyak ketimbang kaum puritan. Salah satu penjelasannya sederhana: wahana peradaban yang paling kongkrit adalah kehidupan sehari-hari yang dihuni oleh masyarakat pada umumnya. Watak kehidupan semacam itu biasanya terbuka, cair, dan akomodatif. Dalam arena kehidupan sehari-hari inilah perjumpaan dan saling-pengaruh antar peradaban dan kebudayaan biasa berlangsung secara diam-diam. Proses saling pengaruh itu kerap berlangsung di luar pengawasan kaum “literati” atau “terpelajar” (the learned) yang biasanya menobatkan dirinya sebagai penjaga kemurnian.
    Pengaruh kaum puritan kerap menguat dalam momen-momen tertentu – misalnya saat terjadi perubahan yang cepat yang menghancurkan fondasi normatif dan kelembagaan yang lama dalam sebuah masyarakat, sementara fondasi yang baru belum dirumuskan. Dalam momen-momen krisis atau adanya ancaman dari “luar”, pengaruh kaum puritan juga biasanya akan meningkat. Bahaya akan muncul manakala puritanisme itu kemudian bercampur-aduk dengan unsur “politik” (dalam pengertian perebutan sumber-sumber daya yang biasanya langka dalam masyarakat). Fundamentalisme muncul persis pada titik itu: yakni proses politisasi atas “perbedaan” yang ada antar budaya, peradaban, tradisi, atau agama (politicization of difference, dalam istilah Thomas Meyer, seorang political theorist dari Jerman).
    Sebagaimana ditunjukkan dalam banyak kasus di negeri-negeri Timur Tengah dan lainnya, peran kaum puritan juga membesar dalam situasi di mana kekuasaan politik otoriter bercokol untuk waktu yang lama (Indonesia, Mesir, Tunisia, ds.), menghancurkan kekuatan-kekuatan pengimbang (oposisi) dalam masyarakat. Dalam situasi semacam itu, biasanya puritanisme muncul sebagai artikulator kepentingan masyarakat luas yang ditindas oleh penguasa otoriter.
    Begitu kekuasaan otoriter itu tumbang, digantikan dengan sistem baru yang lebih terbuka, pelan-pelan pengaruh kaum puritan akan memudar, sementara kecenderugan ekumenis akan menguat. Politisasi identitas dan perbedaan yang dilakukan oleh kaum puritan biasanya akan mudah terjadi dalam masyarakat yang tertutup. Dalam masyarakat terbuka (open society dalam pengertian yang dipahami oleh Karl Popper), di mana informasi, pengetahuan serta ‘penelaahan kritis’ (critical inquiry) tersedia secara memadai bagi masyarakat, puritanisme (fundamentalisme) biasanya akan pelan-pelan melemah, sementara ekumenisme akan mengalami pengukuhan. Masyarakat pengetahuan tidak bisa lain kecuali akan menjadi masyarakat yang terbuka, karena watak pengetahuan itu sendiri yang selalu membuka diri pada kritik dan kontra-kritik (bandingkan dengan ideologi yang biasanya cenderung menutup).
    Yang menarik ialah tekanan yang begitu besar yang diberikan oleh Islam terhadap dimensi pengetahuan (‘ilm). Dalam pandangan saya, ini menandakan visi sosial yang dikehendaki Islam ialah tegaknya masyarakat yang terbuka (open society), di mana pertukaran informasi, pengetahuan dan perbedaan pendapat bisa berlangsung dengan bebas. Masyarakat yang tertutup (biasanya menjadi ciri khas puritanisme) tidaklah meggambarkan visi sosial yang dikehendaki oleh Islam.
    Masyarakat yang terbuka biasanya juga akan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang moderat dalam masyarakat, sementara masyarakat yang tertutup justru mendorong tumbuhnya sejumlah kecenderungan puritan yang ekstrem. Tentu saja, dalam masyarakat yang terbuka bisa saja muncul tendensi puritan pada golongan tertentu, biasanya sebagai reaksi atas lanskap kultural dalam masyarakat yang kian mencair, melemahnya identitas, serta suasana sosial yang cenderung “serba boleh” (easy-going-ism).
    Akan tetapi kecenderungan puritan semacam ini sulit meluaskan cakupan pengaruhnya karena kleim puritanisme oleh satu kelompok akan dengan mudah disanggah oleh kleim serupa dari kelompok lain. Dalam masyarakat yang terbuka, sejumlah kleim yang berbeda-beda tentang puritanisme bisa muncul secara simultan dan berkompetisi satu dengan yang lain. Dalam suasana semacam ini, terjadi proses “check and recheck” pada tataran kehidupan kebudayaan. Inilah yang menjelaskan kenapa moderasi adalah ciri yang selalu menandai masyarakat yang terbuka.
    Jika Islam menghendaki tegaknya masyarakat yang moderat (ummatan wasathan; QS 2:143), maka cita-cita ini tidak bisa lain kecuali dicapai dengan bentuk masyarakat yang terbuka. Ada kecenderungan untuk memahami ide “moderasi” sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja dari awalnya (given). Moderasi, menutu hemat saya, adalah hasil akhir dari suatu proses, dan harus diperjuangkan, bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia begitu saja dalam masyarakat. Proses menuju moderasi tak bisa dicapai kecuali melalui masyarakat yang terbuka di mana pandangan-pandangan yang “ekstrem” (termasuk juga yang puritan) dengan bebas bisa dikemukakan, dan pelan-pelan, melalui proses dialog terus-meneru, dua kecenderungan itu kemudian mengalami proses “pelunakan”.
    Dalam masyarakat yang terbuka, fungsi dialog adalah persis seperti mesin bubut yang menghaluskan permukaan yang kasar pada setiap benda. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tertutup, “permukaan-permukaan yang kasar” itu tak mendapatkan kesempatan untuk mengalami proses gesekan dengan kecenderungan yang beragam dalam masyarakat untuk kemudian, melalui gesekan itu, mengalami penghalusan (moderasi).
    Demikianlah, jika kita menghendaki agar kecenderungan ekumenistis, dialog, dan moderasi makin menguat dalam masyarakat, maka tiada jalan lain kecuali kita harus terus berusaha membangun masyarakat yang terbuka, sekaligus mempunya komitmen yang kuat pada kerangka etis tertentu. Saya hendak menyebutnya “open and ethical society”. 
  • Mampukah Kapitalisme Modern Bertahan?

    Mampukah Kapitalisme Modern Bertahan?
    Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY, MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
    Sumber : KORAN TEMPO, 12 Desember 2011
    Saya sering ditanya apakah krisis keuangan global yang terjadi saat ini menandai awal berakhirnya kapitalisme modern. Suatu pertanyaan yang menggelitik, karena ia tampaknya beranggapan bahwa sudah ada penggantinya yang menunggu di balik ayar. Sebenarnya, untuk saat ini, satu-satunya alternatif yang serius untuk menggantikan paradigma Anglo-Amerika yang saat ini dominan adalah bentuk lain dari kapitalisme itu
    sendiri.
    Kapitalisme kontinental Eropa, yang menggabungkan tunjangan sosial dan kesehatan yang murah hati dengan jam kerja yang wajar, cuti yang panjang, pensiun muda, dan distribusi pendapatan yang relatif merata, tampaknya memiliki segalanya yang bisa diterima—kecuali kesinambungannya. Kapitalisme Cina, yang keras, dengan persaingan yang ketat di antara perusahaan-perusahaan ekspor negeri itu dan jaring pengaman sosial yang lemah serta campur tangan pemerintah yang luas, banyak disebut-sebut sebagai ahli waris tak terelakkan dari kapitalisme Barat. Ini bukan hanya karena luasnya negeri itu serta laju pertumbuhannya yang konsisten tetap tinggi. Tapi sistem ekonomi Cina itu sendiri juga terus mengalami evolusi.
    Sesungguhnya tidak jelas seberapa jauh struktur politik, ekonomi, dan keuangan Cina ini bakal terus bertransformasi, dan apakah Cina pada akhirnya akan berubah menjadi lembaran kapitalisme baru. Bagaimanapun, Cina masih dibebani kerentanan sosial, ekonomi, dan keuangan suatu negara berpenghasilan rendah yang tumbuh dengan pesat.
    Barangkali persoalan yang sebenarnya adalah bahwa, dalam lingkup sejarah, semua bentuk kapitalisme sekarang ini pada akhirnya bakal mengalami transisi. Kapitalisme modern sudah mengalami perjalanan yang luar biasa panjangnya sejak dimulainya revolusi Industri dua abad yang lalu, yang berhasil mengangkat miliaran manusia awam dari lembah kemiskinan. Bandingkan dengan Marxisme dan sosialisme, yang punya catatan yang penuh bencana. Tapi, sementara industrialisasi dan kemajuan teknologi menyebar ke Asia (dan sekarang ke Afrika), suatu hari kelak perjuangan untuk hidup itu bakal tidak lagi menjadi tujuan utama, sementara berbagai cacat kapitalisme terlihat makin terang-benderang.
    Pertama, bahkan ekonomi-ekonomi utama kapitalis telah gagal mengenakan harga pada public goods, seperti udara dan air yang bersih, dengan efektif. Gagalnya upaya mencapai kesepakatan yang baru mengenai perubahan iklim menunjukkan gejala-gejala kelumpuhan ini.
    Kedua, bersama dengan berlimpahnya kekayaan, kapitalisme telah menghasilkan tingkatan ketidakmerataan yang luar biasa. Kesenjangan yang semakin lebar sebagian merupakan produk sampingan dari inovasi dan kewiraswastaan. Orang tidak mengeluh mengenai keberhasilan Steve Jobs; sumbangan yang diberikannya jelas. Tapi tidak selalu begitu: kekayaan yang berlimpah telah memberi jalan bagi kelompok-kelompok dan individu-individu untuk membeli kekuasaan dan pengaruh politik, yang kemudian digunakan untuk menambah kekayaan. Cuma segelintir negara—Swedia, misalnya—yang berhasil mengekang lingkaran setan itu tanpa menyebabkan lumpuhnya pertumbuhan.
    Persoalan ketiga adalah penyediaan dan distribusi layanan medis, suatu pasar yang gagal memenuhi kebutuhan dasar mekanisme harga yang menghasilkan efisiensi ekonomi, dimulai dari sulitnya konsumen menilai kualitas perawatan medis yang mereka terima.
    Masalah ini cuma bakal bertambah buruk: biaya layanan kesehatan dibandingkan dengan proporsi pendapatan pasti meningkat, sementara masyarakat semakin kaya dan semakin tua, mungkin lebih dari 30 persen dari PDB dalam beberapa dekade. Dalam layanan kesehatan, yang mungkin lebih daripada pasar lainnya mana pun, banyak negara menghadapi dilema moral bagaimana mempertahankan insentif produksi dan konsumsi dengan efisien tanpa menimbulkan disparitas yang tidak bisa diterima dalam akses memperoleh layanan kesehatan ini.
    Ironisnya, masyarakat kapitalis modern gigih melakukan kampanye publik yang menganjurkan orang agar lebih memperhatikan kesehatan mereka, sementara di sisi lain mendorong suatu ekosistem ekonomi yang memikat konsumen melakukan diet atau cara makan yang tidak sehat. Menurut Centers for Disease Control di Amerika Serikat, 34 persen rakyat negeri itu mengalami obesitas. Jelas, pertumbuhan ekonomi menurut ukuran konvensional, yang ditekankan pada tingginya konsumsi, tidak bisa menjadi tujuan yang hendak dicapai itu sendiri.
    Keempat, sistem kapitalis saat ini sangat tidak menghargai kesejahteraan generasi yang belum lahir. Sepanjang sejarah sejak Revolusi Industri, hal ini tidak dianggap
    penting. Sedangkan manfaat kemajuan teknologi telah dijadikan alasan diberlakukannya kebijakan-kebijakan yang dangkal. Secara keseluruhan, tiap generasi
    mengalami hidup yang lebih dari generasi sebelumnya, Tapi, dengan melonjaknya jumlah penduduk dunia yang sekarang sudah mencapai lebih dari tujuh miliar, serta ancaman kendala sumber daya yang tampak semakin nyata, tidak ada jaminan bahwa kemajuan ini bisa terus dipertahankan.
    Krisis keuangan jelas merupakan masalah kelima, mungkin masalah yang telah menimbulkan pemikiran yang mendalam akhir-akhir ini. Dalam dunia keuangan, inovasi teknologi yang terus-menerus itu tidak berhasil mengurangi risiko, dan mungkin bahkan telah memperbesarnya.
    Pada prinsipnya, tidak ada di antara masalah-masalah kapitalisme itu yang tidak bisa diatasi, dan para ekonom telah menawarkan berbagai solusi berbasis pasar. Dikenakannya harga karbon secara global akan mendorong perusahaan-perusahaan
    dan individu-individu menginternalisasi ongkos berbagai kegiatan yang menimbulkan solusi. Sistem perpajakan bisa dirancang untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi redistribusi pendapatan tanpa perlu melibatkan langkah-langkah ang mendistorsi keadaan, dengan mengurangi pengeluaran dana pajak yang tidak transparan dan menekan tingkat laba. Pengenaan harga layanan kesehatan yang efektif bisa mendorong keseimbangan yang lebih baik antara pemerataan dan efisiensi. Sistem keuangan bisa diregulasi dengan lebih baik, dengan perhatian yang lebih ketat diberikan pada akumulasi utang yang berlebihan.
    Akankah kapitalisme menjadi korban dari keberhasilannya sendiri dalam memberikan
    kelimpahan kekayaan? Di saat topik berakhirnya kapitalisme banyak dibicarakan, kecil kemungkinan hal itu akan terjadi. Meski demikian, sementara polusi, ketidakstabilan
    keuangan, masalah kesehatan, dan ketidakmerataan terus meningkat, dan sementara sistem politik mengalami kelumpuhan, masa depan kapitalisme tampaknya tidak begitu pasti seperti terlihat sekarang.  
    HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011.
  • Aksi Bakar Diri dan Moralitas Negara

    Aksi Bakar Diri dan Moralitas Negara
    Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN (PUSKALITBA) SOLO
    Sumber : KORAN TEMPO, 12 Desember 2011
    Saya terentak ketika mendengar kabar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas terhadap perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia adalah Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno angkatan 2007. Sondang adalah aktivis komunitas Sahabat Munir sejak satu setengah tahun lalu (Koran Tempo, 10 Desember 2011).
    Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan Istana Negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rezim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono.
    Sangat mungkin, motif dari aksi protes bakar diri adalah ketidakpuasan terhadap rezim SBY-Boediono. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.
    Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang melakukan bakar diri di depan khalayak ramai. Aksi bakar diri Bouazizi, seorang pedagang sayur dan buah-buahan, ini merupakan protes atas kesewenangan
    dan ketertindasannya selama ini yang dilakukan oleh penguasa setempat. Juga Chun Tae Il, aktivis buruh di Korea Selatan, melakukan bakar diri karena tidak tahan terhadap kondisi pemerintahannya.
    Tindakan bakar diri ini jelas sudah menjurus pada “kenekatan” rakyat. Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil. Tapi pemerintah sepertinya tidak pernah mau mendengarkan suara rakyat yang disuarakan mahasiswa, disuarakan para aktivis/LSM, dan disuarakan tokoh lintas agama. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.
    Inilah ironisnya, di mana negara sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang sama. Tetapi, dalam praksisnya, negara tidak pernah sanggup membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara.
    Masyarakat tidak pernah mengalami proteksi sosial, politik, dan ekonomi memadai. Itu juga merupakan gambaran situasi dan kondisi kehidupan masyarakat bangsa di mana negara tidak pernah hadir secara serius untuk menunjukkan keberpihakannya. Artinya, semua itu merupakan wujud konkret tak terbantahkan dari materialisme politik, hedonisme ekonomi, dan kapitalisme total kekuasaan yang sedang mencapai puncak popularitasnya dalam rangkaian hidup negara selama ini. Dan kaum miskin pun benar-benar kian terjungkal dan semakin dijadikan obyek penderita, ibarat domba korban yang diantar ke pelataran mesbah, bisu, tiada berkata, hanya sorot mata pilu pengiringinya.
    Ternyata kemerdekaan kita yang sudah 66 tahun ini tak diiringi dengan kemerdekaan dari penderitaan dan kesejahteraan. Penderitaan rakyat di republik ini mirip yang digambarkan dalam metafora Antony Giddens dalam The Third Way (1990) dengan sebutan Juggernaut (truk besar yang meluncur tanpa kendali karena beratnya beban).
    Bahkan mungkin republik ini mirip pula dengan sinyalemen lain (Giddens, 1994: 4): manufactures uncertainty (perusahaan ketidakpastian).
    Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci— “momen krisis”. Ini momen di mana rakyat mulai tidak puas terhadap kinerja para pejabat di pemerintahan. Maka, kita bertanya sudah sejauh mana implementasi moralitas negara menunjukkan bentuknya dalam mensejahterakan rakyat. Pertanyaan itu perlu diadopsi di sini, mengingat sudah lama kesejahteraan rakyat tidak pernah tercipta di negeri ini. Lantas, kapan rakyat bisa tersenyum (mesem), apalagi tertawa (gemuyu)?
    Moralitas negara adalah sebentuk perilaku keberpihakan negara yang benar-benar jujur kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilikinya. Negara tanpa moral adalah negara otoritarianisme dan diktator. Filsuf Jean Jacques Rousseau
    mengistilahkannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak-pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya.
    Aksi bakar diri di depan Istana, seharusnya, menggugah kesadaran pemerintahan SBY-Boediono untuk secepatnya berbenah, karena makin banyak rakyat yang frustrasi akibat berbagai ketidakadilan. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Presiden SBY dilantik, komitmennya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, dan membumikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji itulah yang kini dan terus ditagih rakyat sepanjang periode pemerintahan SBY-Boediono.
    Di mata rakyat, pemimpin ideal itu “melindungi tiap orang untuk hidup dengan cara yang layak, dan harus mencegah kemungkinan bahwa seseorang menjadi terlunta-lunta dan
    sengsara dalam kehidupan materiilnya” (Kleden, 2004: xxi). Negara tidak selayaknya membuat rakyat sengsara. Pada tataran itulah, segala macam kepincangan dalam tata ruang negara, kemiskinan, pengangguran, kapitalisme, monopoli ekonomi, krisis energi
    dan pangan, sepenuhnya harus menjadi tanggung jawab moral negara untuk direkonstruksi. Dan sinilah peran dan kebijakan pemimpin sangat dibutuhkan dalam membebaskan rakyat dari kesengsaraan, yang selanjutnya membuat rakyat sejahtera sehingga rakyat pun bisa tersenyum, bukan melakukan aksi bakar diri.
  • Berita Gembira (?) dari Eropa

    Berita Gembira (?) dari Eropa
    Sunarsip, CHIEF ECONOMIST  
    Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011
    Pada 8-9 Desember lalu, telah berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Eropa (UE). Tujuan utama digelarnya KTT ini adalah untuk merumuskan pakta kebijakan fiskal baru sebagai syarat untuk menjamin kelancaran program penyelesaian krisis di Eropa.

    Terdapat dua butir kesepakatan penting dari pakta kebijakan fiskal baru ini. Pertama, negara UE berkewajiban menjaga defisit struktural anggaran pemerintah sebesar 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ketentuan ini harus diinternalisasikan ke dalam konstitusi mereka. Ketentuan ini juga harus mengandung mekanisme koreksi secara otomatis ketika terjadi penyimpangan.

    Kedua, kesepakatan fiskal baru ini juga akan memiliki prosedur dan kontrol bagi negara-negara yang defisit anggarannya melebihi 3 persen dari PDB (sesuai Maastricht Treaty). Konsekuensinya, akan ada penalti bagi anggota UE yang memiliki defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB.

    KTT UE juga menyepakati sejumlah rencana percepatan penyelesaian krisis di Eropa. Pertama, menghentikan keterlibatan swasta dalam penyelesaian utang dan akan lebih mengandalkan IMF. Kedua, UE akan menaikkan plafon dana talangan melalui the European Stability Mechanism (ESM) atau the European Financial Stability Facility (EFSF) hingga 500 miliar euro (670 miliar dolar AS) pada Maret 2012.

    Ketiga, UE juga sepakat untuk menyuntikkan dana tambahan kepada IMF sebesar 200 miliar euro (270 miliar dolar AS) dalam bentuk pinjaman bilateral untuk menjamin IMF memiliki dana yang cukup guna mengatasi krisis di Eropa. Dari jumlah itu, sebesar 150 miliar euro berasal dari negara-negara Zona Euro.

    Secara umum, hasil kesepakatan dari KTT UE menyiratkan sentimen positif bagi proses pemulihan krisis Eropa. Setelah kesepakatan tersebut, negara-negara lain juga menyatakan minatnya untuk membantu penyelesaian krisis di Eropa, terutama setelah dibukanya mekanisme penyelesaian krisis melalui IMF. Cina yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia menegaskan kesediaannya untuk membantu Eropa. Negara-negara G-20 juga membuka diri ikut terlibat dalam penyelesaian krisis Eropa melalui peminjaman dana kepada IMF dengan syarat negara-negara tersebut melakukan hal yang sama seperti yang telah digariskan dalam kesepakatan KTT UE tersebut.

    Serangkaian kejadian pada akhir pekan lalu tersebut menjadi berita gembira bagi pemulihan krisis di Eropa. Faktanya, pascadicapainya kesepakatan tersebut, pasar keuangan global memberikan reaksi positif. Indeks Dow Jones pada Jumat (9 Desember) mengalami kenaikan 186,56 poin atau 1,6 persen menjadi 12.184,26 poin. Pasar saham Eropa secara umum juga menguat. Sayangnya, pasar obligasi pemerintah tidak bergerak setelah European Central Bank (ECB) menegaskan tidak akan melakukan pembelian obligasi pemerintah secara agresif. Padahal, pasar berharap ECB aktif membeli obligasi pemerintah, terutama obligasi dari negara Eropa yang terkena krisis.

    Namun, sinyal positif ini diperkirakan belum akan memberikan keyakinan yang cukup bahwa krisis Eropa akan cepat berakhir. Ini mengingat di saat yang sama juga terdapat berita negatif terkait dengan krisis Eropa. Belum lama ini, Standard & Poor’s (S&P) mengancam akan menurunkan credit rating untuk EFSF sebesar satu-dua peringkat jika ada penurunan credit rating dari negara-negara yang menjadi penjaminnya.

    Di sisi lain, Moody’s juga telah memotong peringkat utang tiga bank raksasa asal Prancis, seperti BNP Paribas, Societe Generale dan Credit Agricole. Moody’s menurunkan peringkat utang BNP dan Credit Agricole sebanyak satu tingkat menjadi Aa3, sedangkan peringkat Societe Generale dipotong satu tingkat menjadi A1.

    Seiring dengan penurunan peringkat utang yang dialami sejumlah negara dan lembaga keuangan di Eropa, harga obligasi sejumlah negara di Eropa kembali tertekan. Secara otomatis, imbal hasil atau yield obligasi tersebut terkerek naik. Pemangkasan peringkat utang itu tentunya akan meningkatkan biaya utang yang secara tak langsung akan menambah beban bagi negara Eropa yang memperoleh pembiayaan dari surat utang tersebut.

    Krisis di Eropa ini tentunya perlu dicermati secara serius. Ini mengingat krisis yang disebabkan akibat membengkaknya utang pemerintah ini diperkirakan masih akan berlangsung lama akibat ketidakpastian atas penyelesaiannya serta dimensi permasalahannya yang sangat luas. Saat ini tengah terjadi suatu lingkaran buruk yang secara negatif saling memengaruhi, yaitu antara krisis utang pemerintah, kondisi perbankan yang merapuh, dan aktivitas ekonomi yang melambat, yang pada gilirannya dapat mengeskalasi krisis lebih buruk dan berkepanjangan.

    Krisis Eropa jelas telah memberikan efek negatif terhadap perekonomian kita sekalipun masih relatif minimal. Pengaruh dari krisis Yunani telah kita rasakan sejak pertengahan 2010. Pada 2011, optimisme yang tumbuh pada awal tahun atas prospek ekonomi global kembali memudar ketika lembaga pemeringkat kredit Fitch menurunkan peringkat kredit utang Portugal dan Yunani pada April dan Mei 2011. Pada awal September 2011, skala krisis meluas ke Italia dan Spanyol dan memicu investor menilai ulang risiko berinvestasi serta mereposisi portofolio pada aset emerging market, termasuk di Indonesia.

    Kita menyaksikan rupiah mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir di tengah kondisi pasokan valas yang tidak berimbang. Cadangan devisa kita dalam beberapa bulan terakhir juga mengalami penurunan signifikan, baik karena capital outflow maupun untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar. Pada akhir November 2011, cadangan devisa turun menjadi 111,32 miliar dolar AS dari posisi 113,96 miliar dolar pada Oktober 2011. Dalam tiga bulan terakhir ini, cadangan devisa menurun sebesar 13,3 miliar dolar AS.

    Dari jalur perdagangan, krisis Eropa juga telah memperlihatkan pengaruh negatifnya. Ekspor pada Oktober lalu memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar -4,21 persen, sedangkan impor mengalami kenaikan sebesar 3,18 persen. Kinerja ekspor impor ini menyebabkan surplus perdagangan mengalami penurunan signifikan menjadi 1,15 miliar dolar dari 2,37 miliar dolar AS pada September 2011. Beruntung, selama 2011, ekonomi Indonesia relatif masih terisolasi dari dampak rambatan krisis Eropa melalui jalur perdagangan karena kuatnya basis permintaan domestik dalam struktur perekonomian.

    Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan krisis sering menelan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Sehubungan dengan belum pastinya prospek pemulihan krisis di Eropa, otoritas sektor keuangan perlu mengantisipasi dampak lanjutan dari krisis di Eropa ini dengan mempersiapkan Protokol Manajemen Krisis (PMK).

    Ke depan, nantinya PMK ini perlu dituangkan menjadi suatu pedoman dan payung hukum yang mengatur proses pencegahan dan penanganan krisis secara sistematis dan terintegrasi dalam skala nasional melalui Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dengan kata lain, semestinya pengesahan RUU JPSK ini mendapat prioritas untuk diselesaikan pemerintah dan DPR RI. ● 

  • Ironi Agrobisnis Hortikultura

    Ironi Agrobisnis Hortikultura
    Bustanul Arifin, GURU BESAR UNIVERSITAS LAMPUNG; PROFESSORIAL FELLOW INTERCAFE DAN MB-IPB
    Sumber : KOMPAS, 12 Desember 2011
    Diskusi publik tentang kinerja hortikultura Indonesia selama seminggu terakhir seharusnya menjadi panggilan bangun tidur (wake-up call) bagi perumus kebijakan dan pejabat pemerintah.
    Sektor agrobisnis yang seharusnya berpotensi mendorong kesejahteraan petani dan memajukan pertanian Indonesia ternyata jauh dari harapan. Kinerja produksi tidak kunjung membaik, jika tidak dikatakan semuanya hampir menurun.
    Pada periode 2007-2010, produksi mangga turun 29 persen menjadi 1,3 juta ton, jeruk turun 23 persen menjadi 2 juta ton, durian turun 17 persen menjadi 0,5 juta ton, rambutan turun 27 persen menjadi 0,5 juta ton, dan manggis turun 24 persen menjadi hanya 84.000 kilogram. Produksi pepaya, pisang, dan markisa naik tipis.
    Pada periode yang sama, produksi bawang merah naik 31 persen menjadi 1,1 juta ton, produksi cabai naik 17 persen menjadi 1,3 juta ton, produksi kubis naik 7 persen menjadi 1,4 juta ton, produksi wortel naik 14 persen menjadi 400.000 ton, dan produksi kentang naik 6 persen menjadi 1,1 juta ton.
    Kinerja perdagangan hortikultura setali tiga uang. Alih-alih menghasilkan devisa negara, impor sektor hortikultura semakin besar. Sampai Oktober 2011, nilai impor komoditas dan produk olahannya itu tercatat Rp 17,6 triliun atau naik 38 persen dari periode yang sama tahun 2010.
    Sebaliknya, upaya menembus pasar ekspor komoditas hortikultura tropis nan eksotis, seperti markisa, manggis, paprika, anggrek ungu, dan mawar hitam, seakan menghadapi tembok besar. Persyaratan karantina yang superketat di negara tujuan masih sangat sulit ditembus oleh pelaku hortikultura domestik, kecuali hanya beberapa eksportir. Dalam urusan ini, pemerintah masih belum menunjukkan kinerja yang dapat dibanggakan.
    Agrobisnis hortikultura memang sangat bervariasi, baik dalam kapasitas pelaku, skala usaha dan akses terhadap informasi, jaringan pasar, teknologi, pembiayaan, maupun perbankan. Subsektor sayuran umumnya melibatkan petani kecil dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, skala usaha ekonomi tidak terlalu efisien, dan sering terombang-ambing oleh struktur pasar yang tidak bersahabat.
    Subsektor buah-buahan masih mengandalkan musim, tanpa sentuhan teknik budidaya yang memadai sehingga juga cukup sulit menghadapi keganasan administrasi bisnis supermarket dan ritel modern. Kedua subsektor ini seakan mewakili sebagian besar dari agrobisnis hortikultura Indonesia yang sampai saat ini masih sangat rentan terhadap kejutan-kejutan perdagangan internasional, seperti pada kasus banjir impor kentang dan bawang merah selama ini.
    Sebagaimana khasnya sektor lain yang berisiko tinggi, kesalahan penghitungan sedikit saja pada ekonomi hortikultura dapat mengakibatkan kerugian yang tidak kecil. Tidak terlalu mengherankan apabila inisiatif investasi di sektor hortikultura yang sebenarnya berpenghasilan sangat tinggi itu juga cukup rendah. Pemerintah seakan tidak mampu bekerja keras untuk memfasilitasi aktivitas investasi sektor hortikultura yang amat dibutuhkan saat ini.
    Beberapa kasus lapangan seakan mengonfirmasi ironi agrobisnis hortikultura sehingga solusi yang harus diambil juga perlu lebih spesifik, tidak pukul rata.
    Beberapa petani bawang di Brebes, Jawa Tengah, dua minggu lalu, bercerita tentang ketidakpastian dan keterpurukan agrobisnis bawang merah yang mereka usahakan. Petani jelas menderita kerugian ekonomi (dan emosional) jika harga jual bawang merah jatuh sampai Rp 3.000 per kilogram. Ekspektasi petani ketika mulai tanam, harga jual bawang merah setidaknya Rp 10.000 per kilogram. Ketua kelompok tani dengan emosional menyampaikan usul kepada pemerintah agar menutup total impor bawang merah.
    Seorang sahabat yang menekuni bisnis buah-buahan sejak mahasiswa di era 1980-an ternyata harus mengalami jatuh-bangun yang dahsyat karena agrobisnis buah-buahan memang penuh tantangan dan risiko.
    Risiko usaha, seperti gangguan cuaca serta serangan hama dan penyakit tumbuhan, tidak terlalu berat dan masih dalam batas toleransi. Beban menjadi besar ketika pelaku di sektor hulu ini harus menanggung risiko pemasaran, potongan harga, kontribusi promosi, dan lain-lain yang diterapkan supermarket dan hipermarket yang menjadi outlet pelaku agrobisnis buah-buahan.
    Pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan. Pertama, izin impor produk hortikultura lebih diperketat, terutama yang berpotensi mencederai ekonomi petani kecil yang jumlahnya sangat besar. Kementerian Pertanian perlu lebih selektif memberikan rekomendasi impor sambil memanfaatkan kaidah-kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana yang menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.
    Kedua, pembenahan struktur pasar hortikultura dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas pelaku tentang peningkatan mutu, persyaratan kesehatan sesuai tuntutan konsumen modern yang lebih beragam.
    Ketiga, pembenahan fungsi intelijen pasar dan perbaikan diplomasi ekonomi oleh semua kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Langkah ini selain bermanfaat untuk promosi negara Indonesia, juga akan berkontribusi pada peningkatan daya saing agrobisnis secara umum.  
  • Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas

    Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD)
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Putusan bebas dalam perkara pidana bukan hal yang terlarang karena ada pijakan hukum dalam KUHAP.Semua sarjana hukum pasti harus sudah mengetahui. Tetapi,mengapa putusan bebas dalam perkara korupsi menjadi heboh luar biasa?

    Hal ini disebabkan masyarakat telah memandang korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan membawa akibat kerugian negara yang sangat signifikan sehingga dianggap tidak pantas/ tidak layak terdakwa korupsi dapat dibebaskan. Pandangan ini keliru karena hukum tidak membedabedakan orang dan harus diperlakukan sama di muka hukum sekalipun terdakwa korupsi ketika dibandingkan dengan perkara maling ayam atau terorisme.

    Pandangan ini benar jika putusan bebas terdakwa korupsi adalah hasil rekayasa seperti penyuapan terhadap hakim atau jaksa penuntut umum. Apakah makna kedua pandangan tersebut? Kedua pandangan tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa pemeriksaan perkara pidana termasuk perkara korupsi harus didasarkan pada ketentuan UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.

    Lalu harus diperkuat oleh fakta persidangan dan putusan pengadilan harus diambil berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti yang terbukti di muka persidangan. Jika terbukti dan hakim yakin, putusan pengadilan menjadi bebas. Jika perbuatan yang dituduhkan terdakwa terbukti, tetapi ada unsur pembenar atau penghapus pidana, putusan pengadilan adalah dilepaskan dari segala tuntutan pidana.

    Jika perbuatan terdakwa terbukti dan hakim berdasarkan dua alat bukti di persidangan berkeyakinan terdakwa bersalah,putusan pengadilan adalah menghukum terdakwa.Sistem hukum acara pidana Indonesia secara objektif telah memuat ketentuan tentang jenis putusan pengadilan yang dipandang adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.

    Multitafsir

    UU Korupsi tahun 1999 yang diubah dengan tahun 2001 memang diakui memuat ketentuan-ketentuan yang rentan multitafsir seperti unsur melawan hukum. Sekalipun telah ada putusan MKRI mengenai penafsiran hukum yang dibenarkan dari sudut UUD 1945, tetapi tetap saja masih ada putusan pengadilan yang menafsirkan unsur melawan hukum dengan fungsi yang positif yaitu apriori harus menghukum, bukan sebaliknya menafsirkan unsur melawan hukum yang negatif, yang dapat membebaskan terdakwa.

    Perbedaan penafsiran hukum itu merupakan hal yang lazim terjadi. Namun, jika hakim majelis memiliki satu pendapat yaitu harus menghukum dalam perkara korupsi, sikap hakim tersebut tergolong “abuse of power” karena sikap tersebut tidak mencerminkan imparsialitas dan integritas seorang hakim.

    Putusan bebas atau menghukum atau dilepas dari segala tuntutan pidana harus dihormati oleh siapa pun, termasuk penuntut umum karena masih ada upaya hukum yang disediakan di dalam KUHAP kecuali untuk putusan bebas. Namun, praktik pengadilan sampai saat ini masih terdapat yurisprudensi yang membolehkan penuntut umum mengajukan perlawanan terhadap putusan bebas melalui upaya banding atau kasasi dengan alasan teknis yuridis semata-mata.

    Hal ini sulit dipahami sebagian besar orang awam termasuk terdakwa yang diputus bebas karena bagi mereka hukum adalah hukum, harus dibaca dan ditafsirkan sebagaimana tertulis di dalam UU-nya. Pandangan ini sesungguhnya sejalan dengan asas lex certa yaitu bunyi ketentuan tidak boleh di multitafsirkan dan harus dibaca sebagaimana bunyi ketentuannya.

    Mengapa demikian,karena hukum pidana merupakan “pisau bermata dua”yaitu di satu sisi berfungsi menghukum terdakwa dan sekaligus melindungi orang lain dari kejahatan. Dengan dua fungsi tersebut, penggunaan hukum pidana tidak boleh berada dalam keragu-raguan. Jika hal ini terjadi, pilihan hakim satu-satunya hanyalah membebaskan terdakwa, bukan malahan menghukumnya; inilah salah asas fundamental hukum pidana yang telah dianut dan berkembang sejak abad ke 18.

    Praduga

    Pisau hukum pidana yang tajam itu sejak diundangkannya selalu dikawal oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan di sinilah letak perbedaannya dengan pisau hukum perdata atau hukum administrasi negara. Namun dalam praktik,pengawalan asas praduga tak bersalah sering disubstitusi sebagai asas praduga bersalah (presumption of guilt).

    Meski demikian, penegak hukum seperti itu melupakan satu hal yang fundamental yaitu bahwa seseorang yang diduga melakukan kejahatan adalah seorang sosok manusia bukan “hewan peliharaan” yang setiap saat dapat dicampakkan begitu saja. Di sinilah titik persoalan sesungguhnya dari judul tulisan ini bahwa terdakwa adalah tetap seorang homo sapiens termasuk salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

    Menjadi jelas kiranya mengapa putusan pengadilan di Indonesia menggunakan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang hakim harus diakui sebagai “wakil Tuhan YME”di dunia yang fana ini. Ketiga jenis putusan tetap harus dihormati oleh semua pihak termasuk oleh negara sendiri yang diwakili penuntut umum.

    Adapun upaya hukum yang masih diperbolehkan menurut hukum acara merupakan cara untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan dengan cara menemukan kebenaran materil dari suatu perkara pidana. Jika upaya hukum tersebut telah dilaksanakan dan tiba pada putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kewajiban jaksa sebagai wakil negara untuk melakukan eksekusinya tanpa ditunda-tunda dengan alasan apa pun.

    Dalam hal putusan bebas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, eksekusi harus segera dilaksanakan karena penundaan eksekusi satu hari pun adalah pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan terdakwa yang bersangkutan.

    Di sinilah kekuatan moral spiritual sila perikemanusiaan yang adil dan beradab sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang telah menempatkan Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia.

  • Dimana Rasa Keadilan Itu?

    Dimana Rasa Keadilan Itu?
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Di tengah keputusasaan masyarakat akan keadilan di negeri ini,dua kejadian beruntun terjadi.

    Pertama, tertangkapnya Nunun Nurbaeti di Thailand setelah sekian lama melakukan pelarian ke luar negeri.Terlepas dari kontroversi apa pun, tertangkapnya Nunun menjadi kabar baik bagi upaya pemberantasan korupsi setelah Nazaruddin juga berhasil ditangkap di Kolombia, sekaligus kado istimewa bagi Ketua KPK Busyro Muqoddas yang akan segera berakhir masa jabatannya.

    Kedua, Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) yang membakar diri di depan Istana Negara beberapa waktu lalu, meninggal dunia. Meninggalnya Sondang menjadi berita duka yang mengiris hati para penggiat demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua kejadian ini memang paradoks. Tertangkapnya Nunun merupakan bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi mulai menemukan titik terang.

    Mulai terlihat ada upaya dari aparatur penegak hukum, terutama KPK, untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang saat ini mendapat sorotan masyarakat luas. Kita tentu mengapresiasi upaya-upaya seperti ini. Karena bagaimanapun korupsi adalah ancaman serius. Jika ada, dugaan itu harus diproses secara hukum demi kepastian bagi masyarakat.

    Semakin tinggi kepastian,semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum. Namun, meninggalnya Sondang menyisakan sebuah tanda tanya tentang keadilan yang sesungguhnya. Sondang merelakan nyawanya demi menyuarakan keadilan dan hak asasi manusia di depan Istana Negara tanpa pamrih.

    Sondang adalah tubuh yang menjadi api suci,membakar jiwanya dalam lautan keputusasaan yang mendalam.Sondang adalah sebuah pengorbanan tanpa menghitung untung-rugi. Di mana rasa keadilan itu? Inilah yang dipertanyakan Sondang ketika melakukan aksi bakar diri.

    Negara dan Keadilan Masyarakat

    Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara dibentuk untuk empat tujuan yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Empat tujuan bernegara tersebut sesungguhnya sangat bertautan dengan keadilan.

    Bahkan dalam Pancasila, sila terakhir yang menjadi penutup dari falsafah dasar negara adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, keadilan merupakan tujuan utama yang penting. Kita semua sepakat bahwa kesejahteraan itu tidak hanya diukur dari statistik ekonomi (pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi,dan investasi), tetapi juga dari keadilan bagi semua orang, yang mencakup keadilan hukum, politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

    Dalam hal ekonomi misalnya, dari tahun ke tahun ekonomi kita memang terus tumbuh dengan baik.Namun,pertumbuhan itu belum dirasakan dampaknya secara merata oleh masyarakat, karena pertumbuhan tersebut masih berpusat di kota-kota besar, didominasi oleh sektor modern,belum meratanya kualitas pendidikan masyarakat, serta berbagai faktor lainnya.

    Pun dari sisi demokrasi, seringkali kita terlalu terlena dengan status kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.Dalam hal proses,masyarakat dunia memang memberi apresiasi yang besar atas proses transisi demokrasi yang terjadi.Namun, jika kita jujur melihat, nyatanya demokrasi, otonomi, dan desentralisasi belum serta-merta berjalan lurus dengan berkurangnya korupsi, meningkatnya kesejahteraan dan pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan), rasa keamanan, ketertiban, dan jaminan sosial.

    Demokrasi tidak sekadar bertujuan untuk sirkulasi kekuasaan lima tahunan secara demokratis. Bukan sekadar urusan siapa menjadi presiden, wakil presiden, anggota DPR dan DPD, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota, melainkan bagaimana negara menciptakan keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial-budaya, meningkatkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kenyamanan bagi semua warga negara.

    Ada fenomena akhir-akhir ini yang membutuhkan sebuah analisis sosiologis yang mendalam. Bagaimana menjelaskan pembunuhan yang dilakukan para pelajar yang bermula dari sebuah perkelahian biasa, peraih medali emas olimpiade matematika yang dibunuh dengan motif pencurian BB, seorang TKW Tuti Tursilawati yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati, dan tentu masih banyak lagi kejadiankejadian seperti ini di daerah.

    Masyarakat kebanyakan sedang berhadapan dengan kenyataan sulitnya mendapatkan akses ekonomi, kesejahteraan yang masih jauh dari harapan, ketidakadilan yang makin melebar, korupsi yang makin merajalela, hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil, rasa aman yang terusik, serta berbagai fenomena sosial lainnya. Barangkali kondisi-kondisi inilah yang memicu rasa frustrasi masyarakat.

    Mari coba kita tengok sebuah fakta tentang penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. The World Justice Project dalam Rule of Law Index 2010 memberi sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan. Dari 35 negara yang disurvei seperti Amerika Serikat,Swedia, Prancis, Jepang,Korea Selatan, Spanyol, Australia, Afrika Selatan,Meksiko,Argentina, Turki,Thailand, Peru, Bolivia, Maroko, dan sebagainya, Indonesia mendapatkan nilai rendah untuk keadilan (access to justice) dengan peringkat ke-32 dari 35 negara.

    Sementara untuk kategori pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,kita berada di posisi tengah-bawah di peringkat ke-25 dari 35 negara. Data ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen terhadap hukum dan keadilan. Sistem demokrasi yang kita adopsi ternyata belum mampu memberi perlindungan hukum kepada warga negara, keadilan bagi semua orang, karena masih ada diskriminasi serta rendahnya kesadaran akan pentingnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

    Padahal keadilan itu sangat penting. Ada sebuah ungkapan yang sangat populer, yang seringkali menginspirasi saya,hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan meski langit runtuh. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya penegakan hukum yang dilandasi nilai kejujuran, moral, etika, dan tanggung jawab. Sebagai negara hukum yang demokratis, hukum harus memayungi hak-hak semua orang.

    Sangat menyedihkan dan miris manakala hukum dipermainkan dan keadilan diperjualbelikan. Inilah saatnya untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Jangan ada lagi pertanyaan yang muncul, di mana rasa keadilan itu kini berada?

  • Tembakau sebagai Obat

    Tembakau sebagai Obat
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Kelihatannya, tulisan John Josselyn tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, yang dikutip Wanda Hamilton untuk bukunya, Nicotine War, dari tulisan CA Weslager, Magic Medicine of the Indian, kita menemukan informasi yang berkebalikan dengan sikap pihak-pihak yang antitembakau.

    Josselyn menyebutkan, tembakau bisa melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi, bisa membikin badan hangat, tapi sekaligus bisa menyejukkan mereka yang berkeringat, memulihkan semangat yang sudah loyo, serta mencegah nafsu makan.

    Tembakau bahkan bisa membunuh kutu rambut dan telurnya,dan tumbukan daunnya yang masih hijau bisa menyembuhkan luka, bisa dibikin sirup untuk aneka penyakit, dan bisa dijadikan asap untuk sakit tuberkolusis, batuk paru-paru dan rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin yang lembab. Selama berabad-abad, suku Indian,yang memiliki peradaban canggih,menggunakan tembakau untuk obat sebagaimana disebutkan di atas.

    Tradisi pengobatan itu terpelihara dalam lintas abad yang panjang. Namun,kepentingan bisnis farmasi Amerika,dengan dukungan dokter-dokter ahli yang meyakinkan, menyatakan tembakau berbahaya.Orang harus berhenti merokok. Obat yang dipakai menghentikan merokok dibuat pabrik farmasi. Dan pabrik farmasi bisa membikin rokok sintetis tanpa tembakau.

    Di halaman 111 buku Hamilton, Nicotine War tadi, kita temukan kesangsian: argumen untuk membangun kesehatan publik, yang ditempuh Amerika Serikat, lama-lama menimbulkan pertanyaan: ini program menyelamatkan nyawa manusia apa memaksakan obat dan agenda? Setelah para ahli mempelajari kekuatan tembakau sebagai obat, orang bisa membuat obat lain—yang bukan tembakau—dan menjadikan obatnya sebagai satu-satunya rujukan obat bagi penyakitpenyakit tertentu.

    Sekali lagi, temuannya bisa diracik dari kandungan tembakau,tapi untuk memusuhi dan membunuh tembakau. Perhitungan daganglah— dan kepentingan politik dagang— yang menjadi penyebab gencarnya ‘perang melawan tembakau’. Argumen kesehatan publik diutamakan.Faktor ekonomi—bahwa orang miskin bisa makin miskin karena merokok— menjadi argumen tambahan.

    Agar lebih dramatis, disebutlah ‘baby smokers’, dan banyak labeling yang membunuh harkat tembakau yang pada hakikatnya—seperti dipertahankan berabad-abad di masyarakat suku Indian—merupakan obat, disebut sumber penyakit. Dengan membaca uruturutan logis argumen Hamilton di dalam Nicotine War tadi,kita menjadi tahu bahwa tradisi hebat suku Indian itu bukan mati dalam perjalanan melintasi abad ilmu pengetahuan, melainkan dibunuh secara semena- mena,dengan kebohongan ilmiah, untuk kepentingan dagang.

    Sekali lagi, tradisi hebat itu bukan mati, melainkan dibunuh. Apa yang sampai di negeri kita, usaha membunuh tembakau— artinya membunuh kebenaran ilmiah juga—dibantu dengan kekuatan rohaniah. Karena argumen kesehatan tak terlalu meyakinkan,dan argumen ekonomi tak membikin guncangan yang diharapkan, berikutnya digunakan argumen moral untuk mengharamkan tembakau—di sini bahasa teknisnya mengharamkan merokok—dan perang total melawan tembakau pun meluas ke seluruh dunia.

    Pedagang itu jenis manusia yang menempatkan kata hemat pada urutan nomor satu bagi prioritas nilai hidupnya. Tapi pedagang besar, berskala besar, memperlihatkan pada kita semangat murah hati, mengucurkan dana besar seolah tanpa memikirkan untungrugi. Siapa saja yang memiliki potensi untuk membantunya membunuh tembakau dibantu. Semua pihak yang menguntungkan diperlakukan sebagai sahabat.

    Dan sahabat lebih penting daripada keuntungan. Sikap kapitalis tulen kelihatan lebih manusiawi daripada sikap pedagang biasa. Rangkul sana rangkul sini, pesta sana pesta sini,anggur, kemabukan, makanan mewah, dan bau parfum yang lembut, menandai “persahabatan” dengan semua pihak. Betul mereka tak menghitung untung-rugi? Semua dihitung. Sudah pasti dengan sangat cermat agar jangan sampai rugi.

    Sikap menyebar dana ke seluruh dunia bukan sikap orang mabuk, melainkan sikap kapitalis yang sangat waras. Di seluruh dunia ada lembaga-lembaga yang didanai untuk membantunya membunuh tembakau. Di seluruh dunia ada tokoh-tokoh— ilmuwan, aktivis, rohaniwan, atau yang agak kelihatan seperti rohaniwan dan para pejabat negara maupun para anggota DPR—yang sukarela menjadi sahabat “orang kaya” ini.

    Dan kelihatannya mereka inilah yang mabuk karena bantuan tersebut.Mereka sedemikian mabuk, sampai lupa bahwa “persahabatan”mereka dengan “orang kaya” itu menghancurkan kepentingan negerinya, bangsanya, dan rakyat, yang semula. Rakyat, baik petani tembakau, buruh-buruh tani tembakau, buruh pabrik kretek, pengecer kretek, dan berjutajuta warga yang bergantung pada mereka,dirugikan oleh sikap bersahabat dari “orangorang kaya” tadi, dan kita dirugikan oleh orang mabuk, hanya karena merasa bersahabat dengan orang kaya.

    Bagaimanapun, kelihatannya ini cerminan mentalitas kuli.Watak kuli—maaf—biarpun kelihatan agak terpelajar, dan pernah menikmati pendidikan tinggi, termasuk di luar negeri, tetap minder biarpun diam-diam. Jiwanya mudah terpukul oleh pihak yang lebih kaya.Mereka tunduk pada pemilik uang yang menjamin kehidupan mereka menjadi lebih baik.

    Mentalitas kuli itu juga tampak pada semangat hidupnya untuk “menelan tanpa mengunyah”, argumen para pemilik pabrik farmasi bahwa rokok berbahaya, dan produk pabriknya yang sehat.Mereka menerima tanpa “reserve” argumen para pedagang besar yang mencelakai kita itu sebagai kebenaran. Selebihnya, sikap rendahan juga tampak pada mereka. Melawan “orang kaya”—apalagi bule yang memberi uang—tidak mungkin.

    Maka, mereka gigih melawan bangsanya sendiri. Mereka gencar mengancam petani. Mereka sebarkan perda, dan ancaman kriminal kepada bangsanya sendiri. Kepatuhan sudah tumpah seutuhnya pada bos Amerika. Maka, tembakau sebagai obat, tak boleh disebut, tak boleh diingat, tak boleh hidup dalam kesadaran. Yang dipompakan ialah kebohongan: tembakau sebagai sumber penyakit. Dan “koeli-koeli”itu pun patuh.

  • Perspektif Penangkapan Nunun

    Perspektif Penangkapan Nunun
    Yeferson Kameo, DOSEN FAKULTAS HUKUM, TINGGAL DI SALATIGA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 12 Desember 2011
    HARUS diakui, bahwa di tengah kritik keras aktivis antikorupsi terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air, pemerintah telah menorehkan prestasi dalam upaya memberantas korupsi. Terkait dengan penangkapan Nunun Nurbaetie pada 9 Desember 2011 oleh polisi Thailand di rumah kontrakan mewah di negara itu, yang kemudian menyerahkannya kepada petugas KPK di atas pesawat Garuda di bandara di Bangkok, kita perlu mengacungi jempol kepada pemerintah, termasuk media sebagai pilar keempat demokrasi di Tanah Air, setelah hukum.

    Wanita sosialita itu menjadi buron Interpol terkait dengan dugaan suap menggunakan 480 cek perjalanan (traveller’s cheque) senilai tak kurang dari Rp 24 miliar. Cek itu diberikan kepada sejumlah anggota DPR untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur BI.

    Seperti diketahui bersama, dalam perspektif hukum sebagaimana artikel penulis berjudul ”Misteri Tas Hitam Nazaruddin” (SM, 15/08/11), proses pemulangan mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu dari persembunyiannya di Kolombia,  juga menorehkan prestasi luar biasa bagi pemerintah, termasuk Polri, jajaran Ditjen Keimigrasian, dan KPK yang bekerja keras memburu dan memulangkannya.

    Kembali perlu dicatat bahwa pemulangan Nazaruddin dan Nunun, selain menorehkan prestasi, juga melahirkan kejutan (presedensi) fenomenal bagi hukum acara perburuan koruptor yang melarikan diri dari Tanah Air setelah merampok harta publik atau uang rakyat untuk memperkaya diri dan keluarga atau kelompoknya.

    Terobosan itu tidak ada dalam text book hukum, meskipun diskresi dapat ditemukan dalam UU tentang Polri. Terobosan hukum fenomenal yang dapat memberi andil bagi kepustakaan hukum dunia adalah,” meskipun negara tempat buron korupsi itu singgah dan bersembunyi tidak memiliki perjanjian ekstradisi (extradition treaty) dengan kita, buron dapat dikembalikan dengan mulus.” (Lihat  ”Wacana Nasional” , SM, 15/08/11).

    Apa di balik semua prestasi luar biasa dan terobosan hukum yang signifikan bagi kepustakaan hukum dunia itersebut? Dalam perspektif hukum, kuncinya adalah pada kemauan politik (political will) pemerintah dalam memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa (extraordinary). Hal ini sejalan dengan pengertian korupsi yang oleh berbagai peraturan perundang-undangan, terutama KUHPidana, dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

    Namun, perkenankanlah saya menyampaikan perspektif untuk mewaspadai politisasi (politicking) di balik kemauan politik (politic will) penangkapan Nunun dan persidangan Nazaruddin.

    Mematuhi Hukum

    Jangan sampai kemauan politik memberantas korupsi yang telah ditunjukkan secara meyakinkan oleh pemerintah ternyata sekadar didorong oleh kesadaran yang mengandung kepalsuan. Artinya, kesadaran yang muncul secara tiba-tiba karena hanya mengejar tujuan atau agenda politik sempit golongan politik dalam pemerintahan atau yang ingin berkuasa, bersifat temporer dan dangkal.

    Pandangan itu penting dikemukakan mengingat masih banyak pengamat antikorupsi yang menyinyalir bahwa yang dilakukan pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi hanya adegan sandiwara.

    Maksudnya, ketika pemerintah terdesak oleh kepungan politik pesaing mereka yang tidak berada di pusat pemerintahan, apalagi disertai dengan ancaman penggunaan hak politik yaitu hak menyatakan pendapat maka reaksi yang muncul adalah menciptakan bargaining politik dengan cara mencari tumbal, bisa jadi seperti yang dilakukan terhadap Nunun.

    Ditambah lagi, citra politik sangat mahal; manakala sejumlah partai mulai menyusun strategi menghadapi pemilu, suksesi kepemimpinan nasional 2014 dengan cara mulai mengelus-elus capres dan wapres yang sudah pasti akan menggantikan SBY.

    Perspektif hukum mendikte, bahwa kemauan politik pemberantasan korupsi wajib dimulai dari kepatuhan terhadap hukum, tanpa syarat, atau tanpa bermaksud untuk tawar-menawar (political bargaining). Selain itu, perlu mewaspadai politisasi dari penguasa dalam upaya menyandera atau menyumbat suara kritis yang ingin membongkar korupsi, yang senyatanya telah menyandera prinsip konstitusional bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.