Author: Adul

  • Tahun Prihatin Pertanian-Pangan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Tahun Prihatin Pertanian-Pangan
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Pemerintah tahun 2011 menetapkan sejumlah sasaran produksi pangan dan pertanian. Ada lima komoditas utama yang menjadi prioritas penanganan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
    Produksi empat dari lima komoditas utama itu tidak mencapai target. Produksi beras, jagung, dan kedelai malah turun.
    Jika dibandingkan target produksi 2011, produksi padi lebih rendah 5,2 juta ton gabah kering giling, jagung 4,77 juta ton pipilan kering, kedelai 629.932 ton kupasan kering, dan 400.000 ton gula kristal putih.
    Akibat tak tercapainya target produksi, negara kehilangan potensi pendapatan riil dari empat komoditas strategis itu sebesar Rp 40,2 triliun. Bukan angka yang kecil. Sebab, uang itu akan langsung ada di masyarakat dan nyata menggerakkan perekonomian nasional, terutama di desa.
    Daging sapi berbeda masalahnya. Hasil sensus sapi Badan Pusat Statistik 2010 menunjukkan populasi sapi nasional 15,8 juta ekor. Itu karena selama ini Indonesia jorjoran mengimpor sapi bakalan dan daging sapi. Namun, yang pasti, impor daging sapi dan jeroan sekitar 90.000 ton serta sapi bakalan 500.000 ekor pada 2011.
    Jika dihitung secara keseluruhan, impor komoditas pangan, baik yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Perindustrian, pada 2011 mendekati Rp 100 triliun.
    Dibandingkan era 2004 saat anggaran sektor pertanian hanya Rp 4 triliun, dana APBN dan APBN-P 2011 untuk sektor pertanian di atas Rp 17 triliun atau lebih dari empat kali lipatnya.
    Kalau kinerja lima komoditas utama itu saja loyo, kita tidak usah bicara komoditas pertanian lain karena tentu perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, tidak akan sebesar lima komoditas utama itu. Kalaupun ada peningkatan, sangat mungkin karena sistemnya sudah jalan dan swasta lebih banyak berperan.
    Melihat kenyataan di atas, sangat boleh jadi dikatakan tahun ini merupakan tahun kegagalan produksi pangan dan pertanian. Memang data BPS menunjukkan nilai tukar petani mengalami peningkatan 0,12 poin menjadi 105,64 dibandingkan 2010. Namun, kenaikan nilai tukar petani lebih karena naiknya harga semua komoditas pertanian, bukan karena peningkatan produksi dan produktivitas.
    Wacana
    Ada sejumlah faktor pemicu kegagalan. Yang terutama adalah pemerintah masih senang berwacana. Makin hari, pemerintah justru makin menjauhkan diri dari petani. Pemerintah kurang mendengarkan persoalan petani, menangkap persoalan itu, mendudukkan soal, lalu mencarikan solusi paling tepat, bukan untuk mengejar kepentingan segelintir pejabat dan pengusaha, melainkan untuk bangsa.
    Ibarat orang menderita panas dan demam akibat radang karena bakteri di tenggorokan, yang diberikan hanya obat panas. Itu juga yang terjadi di pertanian.
    Pada saat petani memerlukan berbagai dukungan yang lebih, seperti perbaikan infrastruktur irigasi, jalan, benih, pupuk, alat produksi, sarana pascapanen, lahan, industri pengolahan untuk memberikan jaminan pasar, pengaturan tata niaga yang baik, dan pendampingan, yang diberikan malah program bantuan sosial.
    Sebut saja program pengembangan usaha agribisnis pertanian yang sudah menyalurkan dana lebih dari Rp 2,8 triliun, lembaga mandiri mengakar di masyarakat, dan sarjana membangun desa.
    Sejumlah program itu merupakan program instan untuk meredam panas dan demam petani, itu pun kalau tepat sasaran. Hal itu mengingat dana bansos tersebut, seperti terungkap dalam rapat kerja Komisi IV DPR dan Menteri Pertanian, tak lebih dari sekadar kompromi bagi-bagi uang. Pengawasan dan evaluasi minim.
    Pemerintah juga tidak pernah secara terbuka menunjukkan kepada publik progres berbagai program itu, lengkap dengan evaluasi. Publik juga tidak diajak turut mengawasi, kecuali sekadar formalitas.
    Pada saat yang sama, petani dan para pelaku usaha di bidang hortikultura memimpikan ada gudang penyimpanan lengkap dengan ruang pendingin skala besar untuk menampung komoditas seperti buah dan sayur dalam jumlah puluhan ribu ton di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, dan di sejumlah tempat lain.
    Manajemen stok diperlukan agar saat produksi melimpah, semua barang petani bisa diserap. Dengan demikian, harga bisa dijaga dan petani tetap semangat berproduksi. Kalau perlu, bisa untuk ekspor.
    Sebaliknya, kalau produksi turun, barang di dalam gudang tinggal dikeluarkan. Biayanya tentu murah. Apalagi jika dibandingkan manfaat yang bisa didapat mengingat Indonesia negara dengan jumlah penduduk besar dan 43 persen penduduknya bertumpu pada sektor pertanian.
    Namun, yang terjadi, pemerintah tak pernah mau melakukan lompatan pemikiran. Sudah bisa ditebak, berbagai program biasa-biasa saja yang dilakukan. Kalau membantu ruang pendingin ya cukup ukuran satu kontainer. Dan celakanya, sudah merasa melakukan banyak hal.
    Dalam hal ini, Indonesia harus meniru China. China menyadari memiliki jumlah penduduk besar, apa yang mereka buat selalu berskala raksasa sehingga manfaatnya terasa.
    Kondisi sama juga menimpa tanaman pangan. Sudah tahu produktivitas tak beranjak sejak sepuluh tahun terakhir, tetapi lahan pertanian terus dikonversi. Setiap saat, Menteri Pertanian dan DPR serta masyarakat berteriak, konversi lahan sawah 110.000 hektar per tahun. Namun, tak ada satu pun yang bergerak menghentikannya. Alasannya kendali ada di pemerintah daerah. Sulit dipahami kalau pemerintah pusat punya tujuan baik bagi kepentingan bangsa harus kalah dengan kepentingan sempit daerah. Kok, presiden kalah dengan bupati/wali kota.
    Bagaimana dengan benih. Petani selalu menginginkan benih berkualitas unggul, benih apa saja. Begitu juga dengan pasar, yang mulai senang dengan komoditas spesifik. Yang terjadi, penelitian kita tidak mampu memenuhi itu. Ada baiknya kalau lembaga penelitian berada dalam satu kendali, seperti BPPT, agar semua terpusat, mulai dari perencanaan kebijakan, anggaran, hingga evaluasi.
    Kementerian Pertanian cukup mengorder sesuai kebutuhan dengan batas waktu tertentu. Kalau tidak memenuhi, berarti kegagalan bagi lembaga penelitian sehingga semua jelas.
    Perusahaan BUMN terkait pertanian dan pangan juga senang jalan sendiri. Sampai saat ini, PT Sang Hyang Seri, perusahaan benih BUMN, hanya sibuk menggarap benih padi, itu pun keteteran dan sebagian besar tugas PSO. Jangan harap bisa mengembangkan sayap ke bisnis benih hortikultura, perkebunan, dan sebagainya.
    Industri pupuk dengan rencana penyeragaman pupuk majemuk juga mengingkari keberagaman lokasi. Tentu sulit diterima, apalagi oleh petani.
    Yang sangat penting dan tak boleh diabaikan adalah passion para pemimpin dan pejabat, baik pusat maupun daerah, terhadap sektor pertanian dan pangan. Ini sudah hilang sejak era reformasi. Sepertinya hal ini juga berulang pada 2012.

    (Hermas E Prabowo)

  • Senjakala Perumahan Rakyat

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Senjakala Perumahan Rakyat
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Tahun 2011 menoreh catatan manis bagi industri properti. Derapnya kian lincah, baik sektor perkantoran, kondominium, apartemen sewa, residensial, pusat perbelanjaan, maupun kawasan industri.
    Kegairahan bisnis properti masih menjanjikan harapan cerah pada 2012. Pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri, dan meningkatnya kaum menengah baru menjadi kunci gairah investasi.
    Meski demikian, semarak properti menyisakan potret buram di sektor perumahan rakyat menengah bawah. Perumahan rakyat mulai memasuki ”zona merah”, ditandai dengan kekurangan rumah yang semakin kronis.
    Dalam evaluasi perumahan rakyat, awal Desember lalu, Kementerian Perumahan Rakyat mengakui pemenuhan rumah rakyat di Indonesia sudah mencapai kondisi darurat. Jika pada 2004 rumah tangga di Indonesia kekurangan rumah 5,4 juta unit, tahun 2010, Badan Pusat Statistik mencatat kekurangan bisa 13,6 juta unit.
    Krisis rumah rakyat sesungguhnya sudah bisa diprediksi. Pertumbuhan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 unit, sedangkan ketersediaan rumah tidak lebih dari 500.000 unit. Apabila 70 persen kebutuhan rumah itu berasal dari masyarakat menengah bawah, bisa dipastikan segmen masyarakat ini kian jauh dari hak dasarnya memperoleh rumah layak.
    Harga rumah susun bersubsidi dipatok maksimum Rp 144 juta per unit, rumah tapak maksimum Rp 70 juta per unit, sedangkan rumah murah Rp 25 juta per unit. Sasaran rumah susun subsidi adalah masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan, sedangkan rumah tapak dan rumah murah adalah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 2,5 juta per bulan.
    Untuk membantu penyerapan rumah bagi segmen masyarakat ini, pemerintah menggulirkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP sejak Oktober 2010. FLPP berupa subsidi suku bunga kredit tetap sebesar 8,15-9,95 persen selama tenor 15 tahun. Dana dihimpun dari pemerintah dan perbankan.
    Tahun 2010, anggaran FLPP dari pemerintah sebesar Rp 2,6 triliun untuk membiayai kredit rumah susun, rumah tapak sederhana, dan rumah murah bagi masyarakat menengah bawah. Namun, terobosan pemerintah dalam pembiayaan perumahan terganjal sejumlah masalah.
    Sejak 2010, pengembang menghentikan pembangunan rumah susun bersubsidi di DKI Jakarta, padahal 60 persen kebutuhan rumah susun berada di Jakarta. Pengembang tiarap karena proyek rusun sederhana dinilai tak lagi menguntungkan akibat ketidakjelasan perizinan dan kriteria konsumen rumah susun subsidi yang memberatkan. Oktober 2011, hanya satu pengembang menyatakan minat membangun rumah susun di Jakarta.
    Dari sisi pembiayaan, kinerja bank pelaksana untuk menyalurkan FLPP masih jauh dari harapan. Hingga 7 November 2011, realisasi FLPP baru 74.400 unit atau 46,23 persen dari target penyaluran 160.925 unit, dengan nilai Rp 2,45 miliar. Dari jumlah tersebut, penyerapan rumah susun subsidi hanya 116 unit atau 11 persen dari target 1.000 unit.
    Selama ini, pengembang membangun rumah tapak bersubsidi berukuran 22-36 m2 yang dijual dengan harga maksimum Rp 70 juta per unit. Dengan ketentuan baru tipe rumah minimal 36 m2, pengadaan rumah akan sulit, terutama di kota-kota besar yang harga tanahnya semakin mahal.
    Di tengah krisis pengadaan rumah tapak, pemerintah membuat langkah blunder dengan rencana menaikkan harga patokan maksimum rumah susun subsidi pada 2012. Bisa dipastikan, masalah rumah rakyat akan melebar tidak sebatas pengadaan dan pembiayaan, tetapi juga keterjangkauan rumah.
    Dengan harga patokan maksimum rumah subsidi saat ini, penyerapan rumah masih rendah. Kenaikan harga rumah subsidi akan menambah sulit keterjangkauan rumah bagi masyarakat menengah bawah. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar yang meruncing dapat mengganggu stabilitas sosial kemasyarakatan.
    Kegagalan sistem kelembagaan penyediaan rumah publik harus segera disikapi. Pembangunan rumah tak bisa lagi diserahkan penuh kepada pengembang yang berorientasi mencari keuntungan. Saatnya pemerintah mengikuti jejak negara-negara maju yang dominan dalam penyediaan rumah rakyat. Di Singapura, 80 persen rumah susun publik dibangun pemerintah.
    Pembentukan badan perumahan rakyat di Indonesia dinantikan untuk mendorong program perumahan lebih fokus melalui koordinasi dengan BUMN lain atau pemerintah daerah guna menghimpun lahan (bank tanah) dan memudahkan perizinan. Selain itu, akuisisi lahan, merencanakan pembangunan rumah, mengelola aset negara, dan sumber daya. Tahun 2012 adalah masa pembuktian bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, BUMN, dan pemda—untuk menggerakkan kembali perumahan rakyat.
    (BM Lukita Grahadyarini)
  • Mengungkap Jaringan Korupsi Senayan

    Mengungkap Jaringan Korupsi Senayan
    Sebastian Salang, KOORDINATOR FORUM MASYARAKAT
    PEMANTAU PARLEMEN INDONESIA (FORMAPPI)
    Sumber : SINDO, 13 Desember 2011
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka. Keputusan KPK itu mengejutkan dan kontroversial. Mengapa? Wa Ode dikenal getol mengungkap permainan anggaran di DPR yang diduga melibatkan sejumlah anggota dan pimpinan.
    Pimpinan Banggar bahkan diperiksa KPK lantaran Wa Ode mengungkap indikasi permainan dibalik penetapan daerah penerima dana PPID.Anehnya, status sejumlah orang yang telah diperiksa belum jelas hingga saat ini. Sebaliknya, Wa Ode yang mengaku belum pernah diperiksa justru ditetapkan jadi tersangka. Pertanyaannya, standar apakah yang digunakan KPK?

    Karena Wa Ode ditetapkan sebagai tersangka justru karena kasus yang diungkapnya. Strategi apa yang sedang dimainkan KPK? Wa Ode ingin dijadikan justice collaborator atau ingin dibungkam lantaran suaranya yang terus melengking menyanyikan lagu tentang praktik mafia anggaran di lingkungan Senayan?

    Skenario Pembungkaman

    Keberanian Wa Ode selama ini mengungkap praktik dan modus permainan anggaran di Banggar maupun komisi DPR adalah sikap penuh risiko. Banyak pihak gerah, terancam, dan terganggu permainan “bisnisnya”. Karena itu, yang berkepentingan untuk menghentikan sepak terjang Wa Ode tidak sedikit. Bagi kelompok tersebut banyak cara membungkam Wa Ode, misalnya, dengan mengajaknya menjadi bagian dari permainan mafia anggaran, menyuap atau cara kekerasan seperti mengancam dan intimidasi.

    Pilihan lain melalui Badan Kehormatan (BK) DPR. Ketua DPR Marzuki Alie pernah mengadukan Wa Ode ke Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tuduhan melanggar kode etik. BK DPR juga pernah mengajukan permohonan kepada PPATK untuk mengungkap transaksi Wa Ode yang mencurigakan. Anehnya, transaksi yang diungkap hanya milik Wa Ode, padahal transaksi yang mencurigakan milik anggota DPR cukup banyak. Mengapa tidak semua transaksi yang mencurigakan diungkap jika ingin membongkar dan menegakan hukum yang adil?

    Ada kekhawatiran yang sangat besar dibalik penetapan Wa Ode sebagai tersangka oleh KPK. Pertama, orang yang memiliki keberanian seperti Wa Ode untuk mengungkap kebobrokan dan praktik korupsi lembaganya akan kapok. Itu artinya membunuh semangat setiap warga bangsa yang ingin membantu penegak hukum mengungkap kejahatan lembaganya. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan strategi mengungkap kejahatan oleh orang yang menjadi bagian dari suatu lembaga atau jaringan.

    Kedua, KPK terjebak dalam skenario besar para mafia anggaran yang ingin membungkam dan memutus mata rantai informasi permainan anggaran yang telah menghancur negeri ini. Saya berharap hal ini tidak terjadi karena jika di kemudian hari terbukti, institusi KPK menjadi taruhannya.Penjelasan Nazaruddin tentang ada skenario besar di balik permainan anggaran dan penentuan tersangka oleh KPK hendaknya menjadi pelajaran berharga.

    Meski pernyataan itu perlu dibuktikan lebih jauh, info tersebut telah direkam dengan baik dalam memori publik. Karena itu,saya berharap keputusan KPK ini merupakan sebuah strategi untuk membongkar jaringan kerja politisi dan aparat pemerintah dalam menjarah anggaran negara. Jaringan ini demikian kuat dan solid sehingga tidak mudah diungkap. Jaringan mafia anggaran ini,menurut Busyro Muqoddas, demikian kuat sehingga menguasai semua kekuatan strategis dalam penegak hukum di Indonesia.

    Di sinilah harapan itu diletakkan kepada KPK bahwa mereka bukan bagian dari skenario para mafia, melainkan memiliki strategi sendiri untuk mengungkap jaringan mafia. Wa Ode diharapkan menjadi pintu masuk menerobos jaringan mafia anggaran yang memiliki segala kekuatan (uang, kekuasaan, aparat penegak hukum, dan preman).

    Tantangan Wa Ode dan KPK

    Jika Wa Ode terbukti,harapannya ia bisa mengungkap jaringan mafia anggaran di Senayan. Di sinilah idealisme serta komitmen Wa Ode dibutuhkan. Semua informasinya akan sangat membantu tugas KPK dalam mengungkap korupsi anggaran di DPR maupun pemerintah. Jika hal itu dilakukannya, ia layak mendapat perlindungan dan ditetapkan sebagai justice collaborator. KPK memiliki kewenangan itu dan ia berhak mendapat perlindungan bahkan dibebaskan dari berbagai tuduhan.

    Penghargaan seperti ini menjadi dorongan bagi siapa pun yang menjadi bagian dari pelaku kejahatan dan bersedia membongkar kejahatan tersebut untuk menghentikannya dan meminimalisasi korban atau kerugian negara. Bagi KPK, kasus Wa Ode ini menjadi ujian integritas sekaligus independensinya. Sejak awal keputusan KPK telah dipertanyakan bahkan dicurigai.

    Jika Wa Ode terbukti, hampir dipastikan dia bukan sendirian, permainan anggaran negara bisa terjadi hanya jika ada kerja sama dengan pihak lain di DPR, eksekutif (pusat dan daerah) serta pengusaha. Jika KPK hanya menetapkan Wa Ode sendirian dan tidak ada tersangka lain, dengan mudah publik menyimpulkan bahwa KPK menjadi bagian dari permainan besar. KPK sedang ditantang dalam kasus Nazaruddin, sampai sekarang belum ada nama lain yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal Nazaruddin telah mengungkap keterlibatan begitu banyak pihak.

    Demikian juga dengan kasus Wa Ode,KPK akan diuji profesionalitasnya, kemandirian nya dari intervensi penguasa atau pemilik modal dengan mengungkap keterlibatan sejumlah politisi Senayan dan pejabat pemerintah di pusat maupun daerah. Jika KPK lolos dari dua ujian ini, kepercayaan serta dukungan publik pada lembaga tersebut akan meningkat. Sebaliknya, jika gagal, KPK akan menjadi sasaran cemoohan publik dan akan kehilangan kepercayaan masyarakat.  

  • Pemilu Liberal Vs Pemilu Konstitusional

    Pemilu Liberal Vs Pemilu Konstitusional
    Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RI,
    ANGGOTA PANSUS RUU PERUBAHAN UU PEMILU 
    Sumber : SINDO, 13 Desember 2011
    Jika tidak dikawal dengan baik, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, dan DPRD bisa jadi akan melenceng dari konstitusi.

    Hal tersebut karena beberapa gagasan dan rumusan pasal justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E,Pasal 27 ayat 1,Pasal 28D ayat 3,dan Pasal 28I ayat 2. Beberapagagasanyangmasuk rumusan pasal dimaksud adalah penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) atau ambang batas suara sah nasional sebuah partai untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.

    Tadinya dalam UU No 10/2008 Pasal 202 ambang batas tersebut hanya berlaku pada penentuan kursi DPR dan besarnya 2,5% dari suara sah secara nasional. Sekarang pemerintah menginginkan ambang batas tersebut dinaikkan menjadi empat% dan berlaku untuk tingkat DPR, DPRD provinsi,dan DPRD kabupaten/ kota.

    Adapun sikap fraksi partai-partai di DPR beragam, mulai dari yang menginginkan tetap 2,5% hingga dinaikkan menjadi 5%. Masalahnya bukan seberapa besar PT akan ditetapkan, dan apakah tetap berlaku hanya untuk penentuan kursi DPR, ataukah diperluas ke kursi DPRD. Namun,konsepsi dan implementasi PT itu sudah cacat secara konstitusional.

    Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Norma konstitusi ini sejalan dengan Pasal 28D ayat 3: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

    Dari kedua ayat konstitusi di atas dapat dipahami bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai posisi politik (political standing) dan posisi hukum (legal standing) yang sama tanpa pengecualian sedikit pun. Konsekuensinya, semua warga negara wajib menaati hukum dan pemerintahan negara secara totalitas tanpa ada yang ditinggalkan atau diabaikan karena kepentingan pribadi.

    Semua warga negara juga memiliki peluang dan akses yang sama dalam memasuki dan memengaruhi pemerintahan, termasuk memperoleh jabatan dan kedudukan dalam pemerintahan,memberikan aspirasi,kritik,dan dukungan, serta berkesempatan untuk memilih atau dipilih dalam pemerintahan dan parlemen.

    Dilusi

    Penerapan PT, berapa pun besarnya, akan mendilusi atau menghilangkan kesamaan kedudukan tersebut. Ambang batas parlemen juga mengakibatkan sebagian warga negara mempunyai peluang yang lebih besar dalam pemerintahan, termasuk parlemen, sementara peluang yang lain dikurangi atau dihilangkan. Dengan PT 2,5%, sebanyak 19 juta lebih suara hangus dalam Pemilu 2009 alias tidak terkonversi menjadi kursi DPR.

    Itu kira-kira 18% suara atau beda tipis dengan perolehan suara partai pemenang pemilu. Artinya, 19 juta warga negara telah dihilangkan kesamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, bahkan kesempatannya memperoleh akses dan pengaruh dalam pemerintahan juga dilenyapkan begitu saja. Sebanyak itu pula orangorang yang tidak mempunyai wakil rakyat, padahal mereka telah menggunakan hak pilihnya dengan benar.Yang duduk di DPR bukanlah orang yang mereka pilih.

    Barangkali rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR RI disumbangkan oleh disparitas kedudukan warga negara dan keterwakilan rakyat ini. Para warga yang pilihannya tidak terwakili di parlemen hanya karena memilih peserta pemilu yang tidak lolos PT jelas dirugikan. Mereka hakikatnya tidak terwakili (unrepresented). Sebaliknya, ada warga yang memilih partai politik peserta pemilu yang lolos PT akan mengalami keterwakilan berlebih (over-represented).

    Hal ini karena ketidaklolosan para peserta pemilu tertentu dikonversikan menjadi tambahan kursi bagi peserta pemilu yang lolos PT tanpa perlu mendapat tambahan suara sedikit pun. Selama ini beberapa pakar pemilu, pengamat politik, dan LSM melihat kadar keterwakilan hanya dari jumlah kursi untuk tiap provinsi dan daerah pemilihan (dapil). Namun, kurang atau lebihnya kadar keterwakilan juga bisa dilihat dari ada atau tidaknya PT.

    Bila besaran PT dinaikkan sesuai usul pemerintah dan atau partai-partai tertentu, jumlah suara warga yang hangus akan bertambah hampir dua kali lipatnya. Ketidaksamaan di mata hukum dan pemerintahan juga semakin meluas, dan itu artinya semakin jauh dan melenceng dari amanat konstitusi. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat 2 menegaskan:

    “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Alihalih menghilangkan diskriminasi, keberadaan PT dalam UU Pemilu malah memperbesar diskriminasi.

    Watak Liberal

    Bila penyelenggaraan pemilu melenceng dari konstitusi, lantas pemilu seperti apa yang sedang dan akan digelar? Tampaknya, seperti penyelenggaraan sistem perekonomian negara yang kerap disebut beraliran neoliberal,penyelenggaraan pemilu juga dikhawatirkan berwatak liberal.Pemilu liberal berarti pemilu yang bebas sesuai pilihan pasar politik dan tidak terikat pada empat pilar negara dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

    Pemilu liberal bermakna mematikan semua pesaing seolaholah negara ini miliknya sendiri. Pemilu liberal akan menggerus pelaksanaan Sila Keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Selain itu, pemilu liberal juga menabrak pilar Bhineka Tunggal Ika. Soalnya, yang boleh hidup dalam pemilu liberal hanya yang paling banyak suara, dana, dan kekuatan politiknya.

    Padahal, keempat pilar telah memberi hak hidup dan berkembang bagi setiap aspirasi dan golongan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sepanjang aspirasi dan golongan masyarakat itu tidak berdasarkan dan menyerukan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Misalnya,mengajak kepada atheisme, komunisme, penghinaan agama, separatisme, terorisme, legalisasi kriminalitas, dan sebagainya.

    Jika kita mencermati perkembangan politik di dunia Barat, tampaklah strategi liberalisasi politik yang dijalankan di sana juga ditiru di sini.Di Amerika Serikat misalnya, setelah Partai Republik dan Partai Demokrat menguasai parlemen, kedua partai tersebut menciutkan dapil Anggota DPR (House of Representatives), menetapkan sistem distrik dan penentuan kursi berdasarkan prinsip pemenang meraih semua kursi (the winner takes all).

    Dapil disusun sedemikian rupa sehingga hanya kedua partai tersebut yang menguasai parlemen secara bergantian sejak AS berdiri pada abad ke-18. Dalam beberapa kali pemilihan wakil partai lain mampu menembus parlemen, tapi jumlahnya kecil sekali dan tidak signifikan.

    Berbagai strategi dan taktik boleh disusun dan dikembangkan agar menang dalam pemilu, namun pemilu Indonesia seharusnya tetap diselenggarakan dalam bingkai Pancasila, konstitusi, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Kalau tidak, berbagai ketidakadilan dan instabilitas politik yang sekarang menimpa negara-negara liberal Barat akan menghantam bangsa kita.  

  • Runtuhnya Sosialisme Arab

    Runtuhnya Sosialisme Arab
    Mohammad Affan, PENELITI TIMUR TENGAH DARI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 13 Desember 2011
    Tamat sudah riwayat diktator Libia Moammar Khadafi. Akhir riwayat Khadafi ini sekaligus menandai berakhirnya sosialisme Arab Islam yang dikumandangkannya sejak Revolusi Al-Fatih, 1 September 1969. Saat itu, ia dan pendukungnya berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Idris dan mengganti sistem pemerintahan kerajaan dengan sosialisme.
    Revolusi Al-Fatih, bagi Khadafi, bukanlah kudeta yang menggulingkan kekuasaan raja. Al-Fatih secara harafiah berarti pembuka atau penakluk. Artinya, permulaan atau pengantar kepada era baru yang memerangi keterbelakangan, ketidakpedulian, dan kemiskinan. Karena itulah, rakyat Libia, ketika itu, berharap revolusi Al-Fatih menjadi awal baru bagi sejarah kehidupan mereka yang merdeka, berdaulat, dan sejahtera.
    Harapan itu di awal kepemimpinan Khadafi cukup menjanjikan. Sejumlah kebijakan Khadafi betul-betul pro rakyat. Misalnya, menasionalisasi aset-aset negara yang dikuasai pihak asing dan menyita semua harta kepemilikan warga negara asing yang diperoleh dari pengerukan kekayaan sumber daya Libia.
    Sayang, dalam perjalanannya, kepemimpinan yang sebelumnya berbasis penuh pada kadaulatan rakyat mulai berubah menjadi rezim otoriter dan diktator. Inilah yang membawa pendulum berbalik ke arah Khadafi. Nasibnya bahkan jauh lebih parah dari Raja Idris. Ia ditangkap dalam pelariannya dan dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
    Terlepas dari praktik otoritarianisme Khadafi, ide sosialisme yang diusungnya, sesungguhnya cukup khas. Khadafi menafsirkan sosialisme (isytirakiyah) sebagai suatu sistem yang berdasarkan Alquran dan kebudayaan Arab, bukan pada gagasan Marxis atau ideologi sosialis mana pun. Ini disebutnya dengan ‘sosialisme baru’ atau ‘sosialisme Arab Islam’.
    Ciri pembeda sosialisme berkarakter Islam adalah penghargaannya terhadap hak kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang suci. Ini berbeda sepenuhnya dari sistem kapitalis manakala suatu kelas masyarakat menguasai seluruh kelas yang lain, dan sistem komunis di mana pemerintah menguasai seluruh kelas atas nama buruh.
    Ia meyakini istilah ini selain terdapat dalam Alquran maupun Hadis, juga telah dilaksanakan oleh masyarakat zaman Nabi dan sesudahnya. Di antara prinsip tersebut adalah kepemilikan pribadi, kerja bersama atau produksi, persamaan, dan keadilan sosial. Sumber daya alam (SDA) tidak termasuk dalam kategori kepemilikan pribadi sehingga harus didistribusikan secara merata di kalangan masyarakat.
    Tafsir sosialisme itu ia rumuskan dalam Buku Hijau (Kitab al-Akhdar) yang kemudian menjadi basis ideologi pemerintahannya. Ia menginterpretasi konsep Syura dalam Alquran (QS. 42:38) sebagai jawaban atas demokrasi Barat. Syura ditafsirkan dalam bentuk Komite dan Kongres Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan ekskutif. Ia mendukung pemilihan wakil rakyat secara langsung, karena demokrasi perwakilan menurutnya salah, sebab tidak mewakili rakyat sepenuhnya.
    Eksperimen baru sosialisme ini bersandar kepada ‘kedaulatan rakyat secara langsung’ yang mulai dipraktikkan sejak Maret 1977 dalam sebuah pemerintahan yang disebut ‘Persatuan Rakyat Arab-Libia Sosialis’. Nama itu dimaksudkan untuk membedakan Libia dari sebuah negara republik yang dipimpin presiden. Dalam negara jamahir (rakyat atau massa), setiap orang adalah penguasa dan semua orang setara.
    Namun, di sinilah titik krusialnya. Meskipun secara de jure Khadafi bukan pemimpin tertinggi pemerintahan, namun de facto keputusan kongres tidak bisa jalan tanpa persetujuannya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya yang memegang kendali kongres rakyat. Di sinilah kemudian otoritarianisme Khadafi bersembunyi di balik kedok kongres rakyat yang disebut Persatuan Sosialis Arab.
    Sebagai penggerak revolusi saat ini, NTC menjanjikan kebebasan baru bagi rakyat Libia. Besar kemungkinan NTC akan mengadopsi model demokrasi Barat. Ini adalah konsekuensi dari bantuan NATO dan AS yang telah mendukung penuh perjuangan NTC menggulingkan Khadafi.
    Persoalannya, menerapkan demokrasi Barat di tengah kehidupan masyarakat yang sebelumnya dibangun dengan ideologi sosialisme, tentu tidak mudah. Tantangan utamanya adalah struktur sosial masyarakat yang sudah lama terbentuk di Libia. Rakyat Libia terstruktur di sekitar keluarga, klan, dan suku, yang menopang nilai dan tradisi keagamaan yang dianggap sakral, serta mengembangkan sikap konservatif dan parakis di tengah masyarakat.
    Kunci langgengnya rezim Khadafi adalah kemampuannya menerapkan koalisi kelas atau kesukuan dan bukan partai politik. Sumber utama sosialisme Khadafi, selain agama juga adat atau tradisi masyarakat (‘Urf) yang diterjemahkan sebagai identitas kesukuan atau kebangsaan (qawmiyah). Identitas kesukuan itu diikat dengan konsep umamiyah (nasionalisme multisuku). Jadi, kebangsaan adalah bentuk kesukuan, dan kesukuan berasal dari ikatan keluarga.
    Dengan demikian, masa depan demokrasi di Libia sangat bergantung pada kemampuan mengakomodasi kepentingan suku-suku. Setidaknya ada empat wilayah yang merupakan konsentrasi suku-suku kuat di Libia, yaitu Benghazi di timur, Tripoli di barat, Fezzan di selatan, dan Sirte tempat suku utama
    pendukung Khadafi. Jika kepentingan empat wilayah itu mampu disinergikan dan difasilitasi dengan baik, niscaya stabilitas akan segera terwujud di Libia.
    Sebaliknya, kalau NTC tidak mampu menjembatani kepentingan suku-suku tersebut, sangat mungkin Libia akan kembali ke era sebelum Revolusi Al-Fatih yang diwarnai instabilitas sosial, konflik antarsuku, dan persaingan politik. Bahkan, Libia bisa bernasib sama dengan Irak dan Afganistan.  
  • Kepemimpinan ASEAN dan Politik LN

    Dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-19 Association of South East Asian Nations (ASEAN) Ke-19, baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ASEAN harus mampu mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya dalam berinteraksi dengan mitra wicara, dan dalam kesertaan ASEAN di forum-forum intra kawasan. Poin tersebut merupakan salah satu dari lima hal pokok yang menjadi bahasan pokok pada rangkaian kegiatan KTT ASEAN di Bali dan KTT terkait lainnya.

    Empat hal lain yang dibahas berkaitan dengan langkah konkrit untuk memperkuat tiga pilar komunitas ASEAN, penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara serta Asia Timur, dan pelaksanaan keempat hal tersebut secara bersamaan.

    Mengapa Presiden SBY menekankan pentingnya menjaga sentralitas dan kepemimpinan ASEAN di dalam percaturan politik global? Sekurang-kurangnya ada dua alasan yang mendasarinya.

    Pertama, ASEAN tidak ingin dijadikan sebagai ajang perebutan pengaruh antara Amerika Serikat (AS) dan China. Kedua, sepanjang sejarah, sukses sebuah integrasi sangat dipengaruhi oleh kekuatan besar (great power). Tidak ada integrasi yang sukses murni karena kerja sama fungsional. Tampaknya ASEAN mencoba merubah sejarah, sukses berintegrasi, tanpa bantuan negara adidaya.

    Tantangan Sentralitas dan Kepemimpinan

    Tidak dapat dielakkan lagi, saat ini terjadi persaingan yang ketat antara AS dan China. Kedua negara tersebut berusaha menancapkan pengaruhnya di percaturan politik internasional, tidak terkecuali di kawasan Asia Tenggara yang berkembang sangat dinamis. Semakin intensifnya ASEAN dalam menggaet aktor-aktor utama internasional ke dalam kerangka multilateralisme, merupakan kemajuan yang sangat positif bagi perdamaian dunia.

    Cara ini dapat menghindarkan negara-negara menerapkan politik perimbangan kekuatan (balance of power) yang dominan di era Perang Dunia dan Perang Dingin. Oleh sebab itulah, ASEAN bertekad untuk mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya dalam berinteraksi dengan mitra wicara, dan dalam kesertaan ASEAN di forum-forum intra kawasan.

    Akan tetapi, penerapan kebijakan tersebut tidaklah mudah, terutama karena ASEAN masih belum ‘satu suara’ dalam merespon isu-isu global. Kesepakatan untuk satu suara baru akan dijalankan pada 2020, sesuai kesepakatan pada KTT ke-19 kemarin.

    Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena AS dan China terus berkompetisi untuk menancapkan pengaruh di Asia Tenggara, sedangkan ASEAN masih belum satu suara dalam merespon isu tersebut.

    Salah satu permasalahan yang tampak di depan mata adalah sengketa Laut China Selatan, antara China dan Filipina. Secara terbuka AS menyatakan mendukung Filipina dalam mempertahankan kekuasaan lautnya, termasuk Laut China Selatan. Hal ini tentunya menciptakan ketegangan baru di kawasan, dan menjadi tantangan besar bagi ASEAN untuk memainkan peran sentralnya dalam politik kawasan.

    Sentralitas peran dan kepemimpinan ASEAN di dalam politik internasional kerap kali berbenturan dengan kepentingan negara besar seperti AS. AS memiliki sentralitas peran tersendiri di kawasan Asia Pasifik, melalui US PACOM (Komando Pasifik AS).

    AS dengan Komando Pasifik-nya, memiliki misi melindungi dan membela kepentingan-kepentingan AS sendiri, semua wilayah sekutu dan kepentingannya. Bersama semua Negara Sekutu dan negara mitra, mereka menjunjung keamanan regional dan mencegah agresi; dan jika tidak bisa dicegah, AS siap menanggapi seluruh keadaan darurat militer demi memulihkan stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Fakta ini yang menjadi tantangan besar bagi ASEAN untuk memainkan peran sentral dan kepemimpinannya.

    Mengukir Sejarah Baru?

    Sepanjang sejarah, kesuksesan integrasi sangat ditentukan oleh kekuatan besar. Sebagai contoh, kesuksesan integrasi Eropa sangatlah ditentukan oleh dukungan AS dengan program Marshall Plan-nya pada tahun 1948-1951. Program Marshall Plan atau European Recovery Program tersebut ditujukan untuk membantu Eropa memperbaiki perekonomian pasca Perang Dunia II. Program itu ternyata sukses dalam menstabilkan kondisi perekonomian negara-negara Eropa Barat.

    Selain dukungan ekonomi, AS juga memberikan payung perlindungan terhadap sekutu-sekutunya di Eropa dengan membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pakta pertahanan ini memastikan keamanan negara-negara Eropa Barat dari ekspansi Uni Soviet dan musuh-musuh lainnya. Dengan dukungan yang maksimal dari AS tersebut, integrasi negara-negara Eropa Barat menjadi Uni Eropa menjadi keniscayaan tersendiri.

    Berbeda dengan proses integrasi Uni Eropa, ASEAN justru berusaha melawan sejarah dengan bertekad mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya, selagi membangun integrasi yang lebih dalam di antara negara-negara anggota ASEAN. Ada dua skenario yang mungkin akan terjadi berkaitan dengan hal ini: ASEAN sukses mengukir sejarah baru, integrasi tanpa bantuan negara besar atau justru ASEAN akan kehilangan sentralitas dan kepemimpinan karena dijadikan ajang perebutan pengaruh negara-negara besar.

    Satu hal yang pasti, pemilihan kebijakan yang moderat seperti itu terbukti lebih sulit daripada kebijakan yang memihak. Politik luar negeri bebas aktif RI merupakan contoh nyata, bahwa kebijakan tersebut hanya ada di alam pikiran, tidak nyata. Karena, yang nyata adalah keberpihakan Soekarno kepada Uni Soviet dan Soeharto kepada Amerika Serikat. ●

    Kepemimpinan ASEAN dan Politik LN
    Dion Maulana Prasetya, PENELITI MUDA CENTER FOR EAST ASIA STUDIES
    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG (UMM)
    Sumber : SUARA KARYA, 13 Desember 2011

  • Muda Berani Korupsi

    Muda Berani Korupsi
    Zamhuri, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MURIA KUDUS (UMK)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011
    SETELAH heboh kasus Gayus Halomoan P Tambunan, PNS muda usia pada Ditjen Pajak dalam kasus pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan penggelapan, di pengujung tahun ini publik kembali dikejutkan berita sejumlah PNS muda usia terindikasi korupsi. Hal ini setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyinyalir banyak PNS muda usia dan muda pengabdian melakukan praktik pencucian uang dari anggaran negara. Mereka berasal dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai (SM, 07-09/12/11). Disebutkan, ada 1.818 rekening bermasalah yang terindikasi tipikor.
    Menurut  PPATK, uang haram milik PNS muda tersebut merupakan hasil pencucian uang dari proyek fiktif, gratifikasi, dan suap. Modus yang dilakukan mereka yang saat ini berusia 28-38 tahun adalah dengan mengalirkan dana ke anak, istri, atau suami melalui asuransi. Temuan ini tentu saja menambah beban kerja aparat hukum, terutama KPK, dan memperburuk stigma abdi negara.
    Perilaku korup yang dilakukan PNS sebenarnya bukan berita baru. Namun tatkala hal itu dilakukan oleh PNS muda usia, publik kaget karena semestinya mereka masih idealis, masih bersih, namun faktanya sudah tereduksi oleh perilaku yang jadi penyakit bawaan birokrat. Tindakan mereka termasuk berani mengingat pemerintah kini menggalakkan gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi Kementerian PAN dan RB gencar mereformasi birokrasi, salah satunya melalui kebijakan remunerasi.
    Temuan awal terkait dengan banyak PNS muda usia korupsi menunjukkan bahwa korupsi tidak bisa direduksi dengan kebijakan remunerasi. Penyebab suburnya perilaku korup di kalangan PNS tentu sangat kompleks dan karena hukum sebab-akibat. Korupsi adalah akibat, yaitu akibat birokrasi yang permisif, yang memberikan peluang tumbuhnya korupsi dan karena PNS muda usia tersebut kehilangan idealisme yang seharusnya menjadi roh pengabdian.
    Ladang korupsi subur karena ada persemaian bibit korupsi sejak proses hulu perekrutan CPNS. Sudah menjadi rahasia umum dalam proses itu pelamar harus memberikan uang pelicin agar mudah diterima. Besar kecilnya pelicin bergantung pada jenjang pendidikan dan job yang diincar. Soal sumpah jabatan dan keharusan mengabdi hanya dianggap ritual mekanis yang tidak menumbuhkan efek pengabdian dan etos kepatuhan.
    Paham Materialisme
    Perilaku korup PNS muda itu karena luruhnya etos idealisme yang tereduksi oleh pandangan materialisme. Mereka mengganti medan pengabdian masyarakat dengan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Paham klasik, sebagaimana dilontarkan Epikuros, mendominasi wacana alam pikiran bahwa satu-satunya cara untuk tetap diakui eksistensinya dalam dunia materialisme adalah dengan cara sebanyak mungkin menumpuk harta.
    Dalam kondisi pragmatis, keuangan PNS muda yang bersumber hanya dari gaji tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan materinya yang fluktuaktif. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah menjadi pemicu korupsi. Pada sisi lain, menurut Hamdan Zoelfa, salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan tentang korupsi mendasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide.
    Bisa jadi PNS muda usia yang korup itu menganggap tindakannya bukan sesuatu yang tercela, dengan mendalihkan pada beberapa hal. Pertama; upaya mengembalikan biaya yang mereka keluarkan sewaktu melamar menjadi CPNS. Kedua; alasan pertama menjadi pembenar untuk melakukan tindakan di level berikutnya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan materi terkait dengan gaya hidup (paham materialisme).
    Ketiga; pertentangan antara paham materialisme dalam paham pikiran dan paham idealisme dalam rumusan UU. Pertentangan antara alam pikiran PNS bahwa tindakannya itu merupakan sikap realistis karena tuntutan kebutuhan materi, sementara rumusan UU menganut paham idealisme. Padahal  ide tak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi.
    Fenomena PNS muda usia menjadi generasi muda koruptor menunjukkan bahwa praktik korupsi bukannya mengendor melainkan makin menggurita. Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya mengandalkan aparat hukum, dimotori KPK, tetapi butuh keterlibatan semua komponen bangsa. Amat mungkin mewujudkan upaya nonhukum (positif) sebagaimana gagasan Mahfud MD tentang  kebun koruptor dan tidak menshalati jenazah koruptor supaya ada efek jera.  
  • Kemauan Politik demi Hukum

    Kemauan Politik demi Hukum
    Manunggal K Wardaya, KOORDINATOR SERIKAT PENGAJAR HAK ASASI MANUSIA (SEPAHAM) INDONESIA, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED PURWOKERTO
    Sumber : SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011
    ”Yang ada di Indonesia saat ini bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena negara membiarkan tumbuh suburnya korupsi”
    DALAM penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM), peran sentral dan vital disandang oleh negara. Pasalnya, negara memiliki aparat penegak hukum dan birokrasi, dan dapat memberdayakannya demi terealisasinya pelbagai jaminan hak dan kebebasan manusia. Salah satu prestasi besar gerakan reformasi setelah pengesahan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah pencantuman sejumlah klausul hak dan kebebasan asasi manusia dalam UUD 1945.
    Harapan akan kondisi yang lebih baik makin menguat dengan ratifikasi International Covenant on Economic Social and Cultural Right (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada September 2005.
    Tak dapat dimungkiri ratifikasi dua perjanjian internasional HAM itu dan Deklarasi HAM 1948 sebagai the international bills of human rights merupakan kemajuan yang makin mengukuhkan dasar hukum penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Tanah Air.
    Meskipun instrumen yang menjadi bekal pemerintahan era reformasi kini lebih lengkap ketimbang pada masa Orba, capaian dan implementasinya yang relatif lebih transparan dan demokratik ternyata tak menunjukkan kemajuan signifikan. Memang beberapa hak dan kebebasan dasar dalam bidang sipil dan politik yang terasa lebih baik, misalnya lebih terbukanya ruang kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
    Namun beberapa hak sipil dan politik masih teringkari dan bahkan mengalami kemunduran. Contohnya antara lain masih tidak jelasnya nasib dan keberadaan sejumlah aktivis 1997/1998. Hingga kini tak ada langkah serius pemerintah mengusut keberadaan mereka yang diduga keras dihilangkan secara paksa.
    Terkait dengan perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia, pemerintah juga setengah hati memberikan keadilan atas terampasnya hak hidup Munir. Hal itu terbukti dengan masih tak terungkapnya aktor yang mengotaki pembunuhan pembela hak asasi manusia tersebut.
    Sementara itu, tataran implementasi kebebasan beragama yang dijamin kukuh dalam Deklarasi HAM 1948, ICCPR, dan UUD 1945 justru mengalami kemerosotan. Publik melihat masih ada diskriminasi, perlakuan istimewa (privilege),  pengakuan, dan perlindungan hanya terhadap agama tertentu yang mainstream, yang mayoritas. Padahal Pasal 4 ICCPR menyebutkan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu hak asasi manusia sebagai non-derogable rights yang dalam masa kegentingan sekali pun tak dapat dikurangi.
    Kemauan Politik
    Terkait dengan bidang ekonomi, sosial, dan budaya, berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI menunjukkan lemahnya posisi tawar negara melindungi pekerja migran.
    Ketidakmampuan negara menciptakan lapangan kerja di dalam negeri tak dibarengi dengan perlindungan hukum memadai dan tindakan diplomatik yang preventif manakala warga negara mencari penghidupan di negara lain.
    Kesungguhan pemerintah menuntaskan kasus korupsi pun tidak menggembirakan. Tahun lalu ikon korupsi uang pajak Gayus Tambunan meski berstatus tahanan dapat berkeliaran. Pemberian fasilitas terhadap koruptor adalah bukti ketidaksungguhan memerangi korupsi.
    Tertangkapnya Nunun Nurbaetie, tersangka kasus suap cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, belum menjadi indikator keterjaminan penegakan hukum bila nanti aparat penegak hukum tidak bisa menuntaskan kasus itu.
    Tidak salah kiranya bahwa yang ada di Indonesia bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena tindakan negara yang secara sistematik membiarkan tumbuh suburnya korupsi yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi ekonomi berat yang harus dipikul oleh rakyat.
    Setumpuk instrumen hukum HAM yang dimiliki Indonesia bukanlah tongkat ajaib yang bisa dalam sekejap mata membawa ke arah yang lebih baik. Instrumen hukum apa pun, entah itu ratifikasi perjanjian internasional, jaminan hak dan kebebasan dasar, baik dalam UUD maupun UU organik, akan menjadi macan kertas tanpa ada implementasi yang konkret dan kemauan politik kuat dari pemerintah.  
  • Menyoal HAM Para Koruptor

    Menyoal HAM Para Koruptor
    Peter Lewuk, PENGAMAT POLITIK THE ADAM MALIK CENTER, JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 12 Desember 2011
    Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati hari hak-hak asasi manusia atau HAM sedunia. Dalam rangka itu menarik untuk dipersoalkan HAM para koruptor di negeri ini.
    Di tengah-tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, justru belakangan ini para koruptor dan penasihat hukumnya berteriak lantang tentang hak asasi para koruptor sebagai manusia.
    Gejala itu muncul lantaran adanya pro dan kontra soal obral remisi yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada para narapidana korupsi.
    Selama ini, para koruptor kerah putih itu juga menikmati fasilitas mewah ala hotel di penjara. Tidak itu saja, kolusi antara koruptor dan oknum pejabat rumah tahanan membuat mereka dengan leluasa keluar masuk rumah tahanan, malah ada yang jalan-jalan ke luar negeri.
    Gencarnya pemberitaan media massa tentang “keistimewaan” itu tentu saja membuat publik marah. Ini karena selain tak memberikan efek jera dan penggentar, keistimewaan itu juga melukai rasa keadilan masyarakat maupun para narapidana lainnya yang tak mampu “membeli” oknum aparat penegak hukum.
    Atas Nama HAM
    Memang betul bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak asasi, tetapi janganlah disalahgunakan. Seolah-olah atas nama HAM orang bisa berbuat apa saja termasuk korupsi.
    Padahal, harus dipahami HAM hanya mutlak bagi orang perorangan atau individu sejauh dia tidak pernah berada dan hidup bersama orang lain, namun ini adalah sesuatu yang mustahil. Manusia pada hakikatnya adalah “ada bersama” atau makhluk sosial, semenjak di dalam rahim ibu.
    Oleh karena itu, HAM tidak pernah mutlak melainkan ada batasnya. Dengan kata lain, yang menjadi batas dari HAM seseorang adalah HAM orang lain, terlebih lagi karena manusia hidup bersama dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
    Jadi, HAM tidak penah berdiri sendiri, melainkan selalu dalam konteks sosial dan konteks negara. Oleh karena itu, dalam konteks bernegara, misalnya, sekalipun seorang pejabat memiliki kekuasaan yang besar, dia tidak bisa menggunakan kekuasaannya itu sebebas-bebasnya atas nama HAM.
    Bahwa, misalnya, pejabat negara dan aparatur pemerintah di eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuntut hak mereka dari negara karena mereka telah bekerja untuk negara. Ingat, hak itu telah diberikan oleh negara dalam bentuk gaji yang pantas, tunjangan, dan beberapa privilese lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Harus diingat bahwa pelaksanaan HAM para pejabat negara dan aparatur pemerintah dari pusat sampai daerah justru dibatasi oleh HAM ratusan juta rakyat Indonesia, terutama hak untuk menikmati kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi.
    Bila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah mencuri uang negara secara masif-kuantitatif dari pusat sampai ke daerah di seluruh Indonesia, bisa dibayangkan jutaan rakyat Indonesia yang miskin tak akan mendapatkan hak mereka itu.
    Itulah sebabnya, korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas HAM rakyat atau kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Hal tak lain karena dampak korupsi sangat luar biasa merugikan rakyat Indonesia.
    Satu contoh saja, ketika didesak untuk mengesahkan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, DPR dan pemerintah tampak setengah hati dan ogah dengan alasan uangnya dari mana.
    Padahal, ratusan bahkan ribuan triliun uang negara dirampok oleh para pengusaha hitam yang berkolusi dengan oknum-oknum pejabat yang berwatak korup dan tidak punya rasa malu.
    Meski akhirnya disahkan menjadi UU, keluhan tentang dari mana uang yang akan dikelola BPJS membuktikan betapa DPR dan pemerintah tidak sadar, atau pura-pura tidak sadar, bahwa kalau untuk urusan berkorupsi ria, selalu ada uang, tetapi untuk jaminan sosial bagi rakyat, maka tidak ada uang.
    Nah, apabila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah menjadi koruptor, yang berarti melanggar berat atas HAM seluruh rakyat Indonesia, pantaskah para koruptor itu berbicara tentang HAM yang melekat pada diri mereka?
    Hilangnya HAM
    Sangat tak pantas kalau seorang pelanggar HAM masih berbicara lantang tentang hak asasinya sebagai manusia. Ketika para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah “berubah menjadi tikus”, mereka tidak pernah berpikir tentang HAM rakyat atas kesejahteraan sosial-ekonomi, yang mereka langgar atau rampas.
    Tetapi, ketika sekarang dipidana karena kejahatan korupsinya, malah para koruptor bersama para penasihat hukum berteriak lantang membela hak-hak koruptor sebagai manusia. Pembelaan HAM model ini, tentu akan menjadi bahan cemoohan, cibiran, dan tertawaan orang banyak, yang menyaksikan perilaku para koruptor dan para penasihat hukumnya.
    Karena itu, menurut saya, HAM para koruptor untuk jangka waktu tertentu hilang dengan sendirinya karena kejahatan yang dilakukannya. Masih beruntung koruptor tidak dijatuhi hukuman mati.
    Padahal, hukuman mati untuk para koruptor itu dimungkinkan oleh undang-undang. Jadi, para koruptor itu sudah menghilangkan HAM mereka sendiri selama berapa tahun masa tahanan sesuai vonis hakim.
    Nah, kalau diargumentasikan bahwa moratorium atau penghentian pemberian remisi kepada para koruptor adalah sebuah bentuk pelanggaran atas HAM para koruptor, harus dikontra-argumentasikan pula bahwa HAM para koruptor itu telah ditukar atau dibayar dengan kejahatan korupsi yang mereka lakukan, sehingga remisi tidak perlu diberikan kepada mereka. Biarlah para koruptor itu menikmati hotel prodeo hingga batas waktunya mereka dibebaskan.
    Lebih bijaksana bagi negara untuk “menghilangkan HAM” para koruptor yang merampok uang rakyat sebagai impas terhadap hak rakyat atas keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang dirampas para koruptor.
    Meski uang yang dikorupsi itu tidak dapat kembali ke negara, tetapi dengan penghilangan HAM, terutama melalui hukuman seberat-beratnya, diharapkan menimbulkan efek jera, rasa takut, dan rasa malu serta berpikir sejuta kali sebelum mencuri dari negara.  
  • Koruptor Generasi Gayus

    Koruptor Generasi Gayus
    Masduri, PENELITI DI PUSAT KAJIAN FILSAFAT DAN POLITIK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
    Sumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011
    Korupsi benar-benar telah membuat negara kita limbung. Tidak jelas akan berarah ke mana karena semua kekayaan negara sekarang sedang digerogoti koruptor. Korupsi tidak saja monopoli elite pusat, tapi juga sudah menyebar ke berbagai daerah. Bahkan, pelakunya pun tak lagi para penguasa dan pemilik kebijakan, tapi juga mereka yang masuk dalam kelompok generasi muda.

    Berdasarkan penemuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik pegawai negeri sipil (PNS). Yang mengherankan, para pemiliki rekening tersebut berusia antara 28-38 tahun. Secara logika, jika hanya bekerja sebagai PNS tidak mungkin pada usia yang begitu muda, mereka dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Karena gaji maksimal seorang PNS hanya 12 juta per bulannya.

    Temuan ini tentu semakin memprihatinkan kita semua. Sebab, kasus korupsi yang besar saja masih banyak yang belum terselesaikan (menumpuk), sekarang muncul lagi kasus baru yang tak kalah besarnya. Kita berharap, PPATK segera mengungkap secara terang-terangan dan menyerahkan hasil temuannya itu kepada penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak cepat dan tangkas dalam menyelesaikan kasus temuan PPATK tersebut.

    Persoalan seperti ini merupakan realitas memprihatinkan bagi masa depan negara Indonesia. Kekhawatiran akan ancaman kesejahteraan bangsa semakin merisaukan. Sebab, korupsi sudah mengjangkiti para pegawai negeri sipil (PNS) yang berusia muda. Seharusnya, para generasi muda ini, bersuara lantang dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, bukan malah terlibat dalam perbuatan tak terpuji itu.

    Tentu kita sangat prihatin karena korupsi yang sudah sangat menggurita. Semakin hari, korupsi bukannya makin berkurang, malah berkembang biak sangat cepat. Berbagai hukuman yang diberikan kepada koruptor tampaknya tidak membuat mereka jera untuk berhenti melakukannya. Alih-alih malu dan menghindarinya, sebaliknya malah semakin menjadi dan merajalela.

    Ketidakjeraan para koruptor yang sudah dihukum ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kita masih gagal dalam menjalankan tugasnya. Hukuman yang harusnya dibuat untuk memberikan efek jera dan rasa takut dalam melakukan tindak pelanggaran, malah makin didekati dan dilaksanakan. Faktanya, hukuman bagi mereka yang sudah di penjara, justru memancing yang lain untuk menikmati hal yang sama.

    Ketidakjeraan orang untuk berbuat korupsi membuktikan bahwa hukuman yang diberikan tak berhasil. Hukum belum membuat mereka berhenti untuk melakukannya. Seakan, tinggal di penjara justru sangat mengenakkan dibanding di luar penjara. Mereka pun sepertinya berlomba-lomba untuk melakukan korupsi dan merampas uang negara.

    Apalagi, hukuman bagi koruptor yang hanya berkisar antara tiga hingga empat tahun. Kemudian bila sudah menjalani hukuman hingga dua per tiganya, mereka berkesempatan menghirup udara bebas secara bersyarat. Belum lagi bila mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Kondisi ini jelas tidak adil. Sebab, merampok uang negara hingga puluhan bahkan ratusan miliar, tapi hanya dihukum tak lebih dari lima tahun, menunjukkan bahwa banyak orang yang ingin melakukan upaya serupa.

    Belakangan ini, makin santer terdengar adanya fasilitas mewah di penjara. Kondisi ini bagaikan surga bagi pelaku korupsi sebab mereka bisa menikmati kemewahan kendati berada di balik terali besi. Ketika realitas hukum kita seperti ini, tidak usah heran jika koruptor kian hari terus berkembang biak.

    Kita makin tambah prihatin dengan hasil survei KPK baru-baru ini. Sebab, dari 22 instansi pusat yang disurvei, Kementerian Agama (Kemenag) menempati peringkat pertama instansi paling korup. Fakta ini tentu mengejutkan kita semua. Karena, Kementerian Agama yang seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi instansi lain dalam melakukan perbuatan baik, justru terindikasi lebih korup dibandingkan lainnya.

    Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagamaan masyarakat Indonesia masih jauh dari nilai-nilai esensial yang diajarkan dalam agama. Jika dulu tokoh agama sering mengkritik pemerintah, sekarang saatnya mereka melakukan gebrakan baru internalisasi nilai-nilai agama dalam setiap pemeluknya.

    Kita tentu tak bisa begitu saja membantah hasil survei tersebut. Sebab, survei memiliki bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya konkret dari setiap lembaga untuk memperbaiki kinerjanya.

    Sekarang ini tantangan korupsi semakin berat. Apa yang ditemukan oleh PPATK itu telah menambah panjang daftar kasus korupsi yang makin menumpuk. Karenanya, semua pihak harus berupaya maksimal untuk secara aktif melakukan pemberantasan korupsi. Para penegak hukum harus berjuang mati-matian melawan korupsi. Begitu juga eleman masyarakat lainnya untuk bahu membahu menghapus praktik kotor dan tak terpuji itu dari Tanah Air ini. Para tokoh masyarakat dan agama kita harapkan lebih maksimal lagi dalam membentengi umat, terutama generasi muda dalam menghadapi godaan korupsi.

    Regenerasi Koruptor
    Temuan PPATK terkait dengan rekening gendut para anggota PNS yang rata-rata masih muda adalah fenomena lama korupsi di Indonesia. Tidak begitu lama, kita pernah dihebohkan dengan kasus Gayus Halamoan Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak yang tersangkut kasus korupsi. Usianya masih muda setara dengan kisaran umur PNS yang dipaparkan oleh PPATK.

    Munculnya koruptor-koruptor muda seperti hasil temuan PPATK menunjukkan bahwa di negara kita ada gejala regenerasi koruptor. Kasus rekening gendut PNS tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus Gayus, pasti ada keterkaitan antara uang yang ada di rekening itu dengan atasanya. Sekjen Transparancy Internasional Indonesia, Teten Masduki, menyebut PNS itu hanya operator dari bos-bosnya. Tidak mungkin dengan jabatan yang masih rendah akan bisa melakukan penyelewengan secara maksimal.

    Jika persoalan ini tidak usut secara tuntas dengan hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya, akan ada kemungkinan regenerasi koruptor yang semakin besar. Karena gereget darah muda yang dimiliki PNS atau jajaran elite kita masih panas. Mereka suka mencoba-coba, apalagi melihat hukuman bagi koruptor tidak terlalu berat.