Tanpa terobosan dan kemauan superkuat, potensi riset yang solutif tak akan berbuah apa-apa. Seperti tahun-tahun yang lewat. ● (NAWA TUNGGAL)
(Ester Lince Napitupulu)
(ICHWAN SUSANTO)
Para PNS muda yang diduga korup tersebut jelas merupakan bagian dari pengorganisasian kolektif.Mereka mungkin anggota-anggota baru yang direkrut, dilatih, dan diserahi peran kerja oleh jejaring korupsi di mana mereka bekerja. Fenomena sosiologi korupsi ini adalah salah satu dimensi permasalahan yang harus dipecahkan oleh bangsa Indonesia.
Reproduksi Koruptor
Praktik korupsi di lingkungan kekuasaan tahun-tahun lalu belum terungkap bersih dan pemberantasannya saat ini pun masih terseok-seok. Anggota jejaring korupsi tidak berkurang, bahkan seolah makin bertambah. Hal ini menyajikan fenomena bahwa reproduksi jejaring korupsi berlangsung secara lancar dan aman. Proses sosial transmisi pengetahuan berlangsung secara intensif, bertahap, dan sehari-hari.
Mereka, para PNS muda, yang menaati dan menyetujui kandungan pengetahuan tersebut akan diperlakukan istimewa dengan segala fasilitas yang disediakan. Sebaliknya PNS muda yang gagal direproduksi sebagai bayi koruptor, mungkin dikucilkan, dipojokkan, atau bahkan dimutasi ke daerah terpencil Indonesia.
Proses reproduksi koruptor tersebut tidak terjadi di setiap bagian struktur kekuasaan negara, namun bisa dimungkinkan terjadi di sebagian besar struktur kekuasaan negara. Karena, menurut Michael Hartmann (The Sociology of Elites,2007),proses reproduksi generasi-generasi baru merupakan keniscayaan sosial, sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan eksistensi kelompok atau kolektivisme.
Elite atau pimpinan senior merupakan kelembagaan yang sangat esensial dalam proses reproduksi tersebut. Artinya, pada konteks reproduksi generasi-generasi muda korup cenderung berlangsung terus-menerus di tiap bagian struktur kekuasaan di mana terdapat elite senior yang korup. Reproduksi generasigenerasi muda korup pada kenyataannya terus berlangsung. Alhasil, kekuatan jejaring korupsi tetap atau bahkan makin kuat, kokoh, dan terus mengisap harta negara.
KPK sebagai lembaga khusus di era transisi demokrasi Indonesia jelas menghadapi kekuatan jejaring koruptor yang tidak kecil.Pada kondisi inilah KPK, dan lembaga-lembaga hukum lain, tidak bisa lagi bekerja terlalu lembut dan ragu-ragu. Selama ini KPK dipandang tidak tegas dan ikut irama permainan elite-elite politik di pusat kekuasaan.
Potong Generasi
Gagasan yang sering menjadi wacana publik luas dalam isu penaklukan jejaring koruptor adalah gerakan potong generasi (cut off generation). Asumsi dasar gagasan ini, golongan senior (tua) merupakan produk budaya dan jejaring Orde Baru yang korup dan kolutif. Potong generasi mungkin mampu menghentikan atau mereduksi secara signifikan kekuatan jejaring koruptor.
Memang pada kenyataannya posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan negara saat ini masih dipegang oleh elite-elite yang meniti karier sejak masa Orde Baru. Tentu tidak tepat seratus persen menunjuk hidung kalangan PNS senior pasti membawa budaya korup Orde Baru dan bagian dari jejaring koruptor. Ada sebagian pejabat PNS senior yang benar-benar mengabdi pada rakyat.
Namun jumlah pejabat bersih itu tampaknya sangat sedikit. Gerakan potong generasi tentu mensyaratkan metode yang cerdas oleh kekuatan politik demokratis. Mungkin gerakan lustrasi (pembersihan) komunis pada masa Orde Baru merupakan salah satu bentuk metode potong generasi yang bisa dimanfaatkan. Siapa pun yang diindikasikan sebagai anggota dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa diberi sanksi sesuai level posisi dan peranannya.
Tokoh-tokoh yang diposisikan penting atas peran strategisnya menyebarkan ideologi komunisme diasingkan sebagai tahanan politik. Sama halnya gerakan potong generasi komunis di Eropa Timur pada gelombang demokratisasi awal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an dengan pembuatan regulasiregulasi yang membatasi ruang gerak politik kaum komunis.
Gerakan potong generasi koruptor sebenarnya bisa juga mengambil metode lustrasi yang digunakan memangkas kalangan komunis tersebut.Isu mendasar dari gagasan potong generasi ini adalah keseriusan kekuasaan demokratis melakukan formulasi metode yang akurat, efisien, dan tepat sasaran. Seperti menciptakan indikator generasi-generasi yang bisa dipangkas dari struktur pemerintahan.
Salah satu wacana yang perlu dipertimbangkan tentang indikator adalah kualitas dan kuantitas praktik korupsi. Indikator ini menolak usia, seperti PNS tua dan PNS muda. Jika PNS muda secara kuantitas dan kualitas telah mempraktikkan kejahatan korupsi yang merugikan maka bisa dimasukkan kategori potong generasi. Perlu kesadaran dan visi politik yang kuat untuk melakukan gebrakan potong generasi di struktur kekuasaan negara.
Laporan tentang PNS muda dengan rekening miliaran rupiah adalah peringatan yang kesekian kali tentang terus direproduksinya generasi korup dalam pemerintahan. Pada kenyataannya negara bangsa Indonesia saat ini tengah terjebak pada lingkaran setan praktik korupsi yang disebabkan oleh reproduksi generasi-generasi koruptor secara masif. Oleh karenanya kekuasaan demokratis harus mampu membongkar lingkaran setan tersebut dan membawa Indonesia keluar dari bayangan gelap kejahatan korupsi.
●Dalam arti ini,nilai, adalah “apa yang dipandang berharga dalam hidup ini dan layak dihayati untuk kesejahteraannya dan sesamanya”. Nilai hanya akan tampil keluar dalam wujud nyata aksi atau tindakan. Maka diskusi mengenai nilai adalah wacana abstrak karena seharusnya tidak diwacanakan, tetapi dilakukan dan dihayati dalam hidup. Kedua,berada dalam situasi dilematis; simalakama, orang diandaikan menjalaninya dalam tahap-tahap menimbang cermat dengan budi dan hati (baca nurani) lalu mengambil putusannya dan kemudian mengevaluasi setelahnya.
Di sinilah “dilema” mengandaikan penghayatan hidup ini sebagai sebuah “proses’. Situasi dilematis sebenarnya mengungkapkan bahwa pilihan moral hidup manusia itu secara nyata tidak bisa dikalkulasi secara hitunghitungan matematis.Timbangannya bukanlah hitam dan putih namun “abu-abu”. Apa artinya? Maksudnya, realitas hidup nyata kita sesungguhnya adalah “abu-abu”.
Kenyataan ini mesti diterima dahulu untuk bisa menemukan jalan keluar dilematis.Ketika realitas itu abu-abu maka tugas setiap adalah setiap kali dalam aksinya berusaha semakin membuat lebih banyak putihnya dan semakin mengurangi hitamnya dalam keabu-abuan kenyataan moral nyata kita.
Bila hitam menjadi metafora ‘yang jahat’ dan putih menjadi metafora ‘yang baik’ maka usaha tiap orang Indonesia dalam kenyataan keabu-abuan sehari-hari mestinya mengusahakan lebih banyak ‘yang putih’ agar abu-abunya hidup menjadi lebih putih. Di sini, personifikasi dan metafora yang jahat diungkapkan dalam setan atau si jahat.
Memilih
Mengapa kejahatan terus ada di dunia ini kendati tidak kurang-kurang agama dan kata bijak diajarkan? Jawab lugasnya, karena adanya si jahat yang merusak tatanan cipta yang oleh Tuhan atau Allah dalam keyakinan agama dimaksud untuk membahagiakan ciptaan-Nya, manusia, asal ia menuruti jalan dan petunjuk benar dari Allah.
Bila ia menuruti si jahat maka ia akan tersesat. Barangkali inilah sebabnya, teks suci mau menjelaskan dengan bahasa narasi sumber dan asal kejahatan yaitu masuknya “setan atau si jahat” yang sudah merusak sejak awal di taman penciptaan. Barangkali itu pula Freud yang menemukan psikoanalisa atau analisa ketidaksadaran manusia merangkumkan dua gerak kebudayaan yang satu sama lain bertentangan.
Yang satu adalah budaya cinta kehidupan dengan motor sumbernya yaitu eros. Sedang yang kedua adalah death culture: budaya thanatos yang destruktif merusak kehidupan. Inikah personifikasi sang perawat hidup dalam Wisnu? Dan sang perusak hidup dan ciptaan dalam Syiwa? Lalu, ketika dua energi eros dan thanatos yang menggerakkan kebudayaan yang satu menumbuhkannya dan yang kedua mematikannya, kita dalam membahas situasi dilema di atas menjadi lebih mudah dicerahkan dan menemukan pemahaman mendalamnya.
Apa itu? Yaitu memilih adalah sebuah proses. Ia bukan jalan pintas atau instan.Memilih adalah juga bukan lompatan mendadak apalagi dalam proses berkeputusan dalam berbangsa dan bernegara yang majemuk suku, agama, identitas unik masingmasing. Karena itu, dalam pilihan dengan pertaruhan hidup-matinya sebuah bangsa, terletak persoalan penting untuk pilihan-pilihan dilematis yaitu “tanggung jawab”.
Bila belum lama ini, sebuah proses pemilihan seleksi dan pemilihan ketua KPK atau sederet panitia seleksi untuk anggota- anggota yang mestinya penuh tanggung jawab mengemban amanah bangsa dan suara rakyat yang merupakan suara Tuhan, pertanyaan kritis gugatan kita adalah: atas nama siapakahAnda, wakil-wakil rakyat, melakukan proses pemilihan? Atas nama “nilai” sebagai yang baik untuk bangsa ataukah kepentingan Anda sendiri berikut agenda-agenda yang dipolitisasi yang ujung-ujungnya pasti akan cepat tertemukan dan tercium?
Apakah Anda pembawa budaya mati atau pembawa budaya hidup untuk sejahteranya bangsa ini? Ketika simalakama berada di depan Anda antara memakan buahnya Anda ditendang dari partai dan tidak memakan buahnya Anda akan kalah dan tak mampu memenuhi hasrat kekuasaan untuk menang,maka di situ pulalah, saat-saat ini kita jadi belajar.Dua pelajaran pentingnya yaitu yang kesatu, bahwa proses memilih dalam situasi dilematis mengandaikan kematangan pertimbangan budi dan nurani para wakil ini.
Dan kedua pengandaian kemampuan menanggungjawabi pilihannya sebagai “proses kultural”: menimbang apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang indah dalam kehidupan berbangsa ini lalu tidak memberi celah sekecil apa pun untuk si jahat masuk dan merusaknya. Oleh karena itu deskripsi nyata saat pemilihan ketua KPK mutakhir manakala dalam pemilihan untuk calon pemimpin KPK suara 55 samasama ditempati oleh Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Namun ketika proses pemilihan dilakukan untuk memilih ketua KPK, angka suara Abraham Samad mutlak 55 beda jauh separuh dengan Bambang Widjojanto. Sebuah contoh nyata di depan kita antara proses politik. Pertanyaannya: dilematiskah? Kemudian nomor urutan kategorisasi dari yang diunggulkan oleh Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (yang sama sekali tidak diambil pertimbangannya oleh para wakil rakyat ini) hanya menandai saja dan menegaskan “garis merah tebal”
bahwa pada ujungnya proses pemilihan direduksi hanya jadi proses politis dengan kepentingan politis alias kekuasaan. Kita buktikan dengan edar waktu ke depan gaduh riuh politik kuasa yang menang kalah untuk kepentingan partai.Lalu di mana pertanggungan jawab amanah pemilu titipan suara rakyat yang diwakilkan pada pundak Anda-Anda?
●