Author: Adul

  • Paradigma Administrasi Pelayanan Haji

    Paradigma Administrasi Pelayanan Haji
    Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA
    FISIP UNIVERSITAS INDONESIA; KETUA PROGRAM MIA-SPS-UMJ    
    Sumber : SINDO, 15 Desember 2011
    Tidak terasa musim haji telah berlalu. Jamaah haji Indonesia pun sudah pulang ke Tanah Air. Keluhan terhadap segala hal mengenai kegiatan pergi haji masyarakat Indonesia yang diatur dan diurus oleh pemerintah tidak pernah sepi dari kritik, kajian, analisis, baik oleh akal sehat maupun secara ilmiah di berbagai diskusi politik,pidato tokoh politik,dan forum-forum resmi maupun tidak resmi.

    Pergi haji masyarakat Indonesia sama tuanya dengan usia bangsa Indonesia. Sejarahnya bersifat khas, mulai diurus secara privat, oleh pemerintah jajahan Hindia-Belanda, oleh kongsi-kongsi Hindia-Belanda sampai di masa kemerdekaan kini oleh Pemerintah RI dan swasta. Saat ini pergi haji tersebut menjadi komoditas politik yang tidak bisa dipandang sebelah mata yang ternyata selalu bermasalah.Tentu membutuhkan curahan pikiran kita semua agar dicari jalan keluar terbaik.

    Barang Publik?

    Dari kacamata administrasi negara, memperbaiki pelayanan pergi haji ini tidak bisa dilepaskan dari karakter barang /jasa yang terjadi. Secara teoretis, jenis barang (jasa) dapat diperinci menurut dua dimensi (Savas: 1985). Pertama, pola konsumsinya.Kedua, dari sifat eksklusivitasnya. Suatu barang (jasa) dikatakan barang publik jika pola konsumsinya dapat bersama-sama (kolektif) dan sifat eksklusivitasnya tidak ada. Sebaliknya barang yang pola konsumsinya berpola individual dan sifat eksklusivitasnya nyata dikatakan sebagai barang privat (pribadi).

    Di sini terdapat barang antara, yakni adanya kecenderungan dari dua dimensi tersebut bersifat campuran atau bisa dominan salah satunya dan tidak ekstrem serta memiliki dampak (eksternalitas). Di antara kedua jenis barang terdapat barang jenis tol (toll goods),yakni dari pola konsumsinya bersifat kolektif, tetapi eksklusivitasnya muncul karena harus bersaing untuk mendapatkannya, contohnya di sini adalah jalan tol.

    Di samping itu ada barang jenis wadah-bersama (common-pool-goods),yakni jika bersifat tidak eksklusif, tetapi pola konsumsinya individual, contohnya adalah air bawah tanah. Sebuah bangsa yang umumnya berhaluan sosialis dapat menggerakkan segala jenis barang (jasa) yang dikonsumsi masyarakatnya menjadi barang publik jika untuk mendapatkannya semua disediakan negara tanpa perlu bersaing, baik dikonsumsi secara individual maupun secara kolektif.

    Jadi di negara tersebut hanya terdapat barang publik murni dan barang “wadah bersama”. Sebaliknya di negara-negara kapitalis, negara mengatur sedemikian rupa beberapa barang (jasa), diperoleh dengan bersaing. Terciptalah yang semula barang publik menjadi barang tol, bahkan barang pribadi. Pergi haji dari sisi jenis barang (jasanya) dikonsumsi secara kolektif dan karena terdapat paket pesawat terbang, penginapan,dan lain-lain yang dikonsumsi secara pribadi dan harus bersaing, tampak jenis barang (jasa) pergi haji ini cenderung ke arah toll goods.

    Kecenderungan seperti ini menjadikan haji tidak harus dikelola dari A hingga Z oleh pemerintah sendiri. Jika dilakukan pemerintah, secara teoretis akan membuat tidak efisien dari sisi pengelolaannya. Jika hal itu terjadi,berapa banyak pajak akan tersedot untuk hal-hal yang sebetulnya dikonsumsi secara individu. Terdapat ketidakadilan bagi masyarakat luas, kepentingan negara yang lebih luas pun dapat terganggu.

    Jika pemerintah tetap mengandalkan ongkos pergi haji dari jamaah (charging) pun jelas akan mengaburkan sumber pembiayaan negara.Yang ideal dari jenis toll goods ini adalah pemerintah menjadi fasilitator atau regulator yang bertindak dengan pola steering rather than rowing. Dengan demikian,pelayanan pergi haji dari pendanaan oleh sumber pajak hanya untuk soal strategis, tidak perlu sampai operasional- teknis. Kemungkinan operasional-teknis, kalaupun ada, adalah dalam rangka pengawasan oleh pemerintah.

    Pergeseran Paradigma Pelayanan

    Sifat internasional dalam pergi haji adalah poin utama dalam pelayanan ini pula sehingga mau tidak mau membawa intervensi negara. Di dalam negeri,Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (Amphuri) harus menjadi operator. Pemerintah harus menjadi pengawas yang mumpuni. Paradigma pelayanan saat ini adalah ke arah new public services, yaitu masyarakat harus diberdayakan.

    Negara harus kuat dalam fungsinya sebagai law enforcer. Negara harus mampu menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia ke Pemerintah Arab Saudi.Kepentingan ini untuk mendapatkan kuota haji. Negara dalam hal ini Kementerian Agama adalah regulator dan fasilitator.Kuota ini harus di-share per daerah. Kementerian Agama juga yang mengatur standar ongkos haji. Ongkos ini dipantau, jika ada biro haji yang melanggar, harus ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu.

    Dari segi ongkos ini, negara dapat memberikan subsidi mengingat dana haji sejak lama telah terkumpul sampai tak terbatas, bahkan ada wakaf tanah para haji Indonesia di Arab Saudi yang hingga kini dapat digunakan. Tapi subsidi negara ini tetap perlu dihitung dengan cermat agar tidak terjadi pemborosan uang negara. Dalam hal ini akhirnya jamaah haji dalam mengurus pergi hajinya hanya berurusan dengan biro haji swasta saja.

    Selebihnya biar biro tersebut berurusan dengan Kementerian Agama sebagai pengatur. Biro tersebut bekerja menurut domisilinya. Sifat toll goods ini menjadi alat ukur bahwa konsumen (jamaah-haji) tidak berurusan dengan negara, tetapi dengan operator.Operator yang efektif dalam toll goods dari praktik berbagai negara dan berbagai jenis barang cenderung oleh vendor di luar institusi pemerintah, kalaupun pemerintah berupa badan usaha. Dengan demikian tidak cocok pula pergi haji diurus oleh sebuah badan pemerintah. Kalaupun akan ada badan pemerintah, sebaiknya hanya sebagai regulator-law-enforcer semata.  

  • Kerja Sama Kaya Problem

    Kerja Sama Kaya Problem
    Latif Adam, PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)-
    LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)    
    Sumber : SINDO, 15 Desember 2011
    Dengan segala kekurangan yang dihadapi pemerintah dalam melakukan pembangunan, public private partnership (PPP) tampak menjadi solusi terbaik. Paling tidak terdapat tiga alasan yang mendasari mengapa negeri ini membutuhkan PPP.

    Pertama, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan.Kedua,kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat terbatas. Ketiga, sektor swasta memiliki keahlian yang mumpuni untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efisien.

    Berdasarkan alasan di atas, pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mendukung PPP. Indonesia Infrastructure Summit diadakan beberapa kali untuk menyosialisasikan, mempromosikan, dan mengundang keterlibatan swasta untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur melalui skema PPP. Beberapa institusi seperti PT Sarana Multi Infrastructure (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dibentuk untuk memperkuat implementasi PPP.

    Pemerintah juga telah menyusun nota kesepahaman antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Kepala BKPM untuk memperkuat koordinasi dan memperjelas pembagian tugas serta mengharmoniskan langkah dan kegiatan dalam melakukan fasilitasi pelaksanaan PPP.

    Sayangnya, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Sektor swasta belum banyak yang tertarik untuk terlibat di dalam PPP.Sampai saat ini,dari target 100 proyek yang akan ditawarkan kepada sektor swasta pada periode 2010–2014, baru sekitar 4%-an yang baru berhasil ditenderkan.

    Beragam Masalah

    Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa lambatnya implementasi PPP di Indonesia merupakan akumulasi dari beberapa masalah. Pertama, pemerintah dan DPR terlambat menyediakan legal framework yang bisa mendukung percepatan pelaksanaan PPP. Misalnya,proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berjalan lambat dan masih terdapat peraturan yang bersifat tumpang tindih di antara satu dengan yang lainnya.

    Masalah itu kemudian membuat semakin tingginya ketidakpastian, risiko, dan biaya yang harus dipikul swasta jika mereka terlibat dalam pembangunan infrastruktur melalui PPP. Kedua, PPP belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya investasi dari pemerintah bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan karena problem pengadaan lahan ataupun munculnya konflik dengan masyarakat di sekitar proyek.

    Ketiga, proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada swasta tidak dipersiapkan secara matang.Penyebabnya, penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) di kementerian/ lembaga/pemda/ BUMN/BUMD belum punya pengalaman bagaimana mempersiapkan proyek yang akan ditawarkan kepada swasta. PJPK lebih terbiasa mempersiapkan proyek-proyek yang didanai APBN/ APBD.

    Karena itu, dokumen studi kelayakan PJPK cenderung lebih teknis dan belum memasukkan isuisu yang terkait dengan masalah hukum, ekonomi dan keuangan, risiko, kebutuhan dan dukungan yang akan diberikan pemerintah, serta masalah yang mungkin muncul jika swasta terlibat dalam proyek PPP Keempat, di mata swasta, komitmen PJPK untuk menjaga kerja sama relatif masih rendah.

    Tidak jarang kerja sama di antara pemerintah dan swasta berakhir di tengah jalan karena PJPK mengalihkan pembiayaan dari skema PPP menjadi skema APBN. Kondisi seperti ini membuat sektor swasta memiliki persepsi bahwa PJPK merupakan pihak yang tidak terlalu bisa dipercaya. Kelima, PJPK (birokrat) lebih suka menggunakan APBN daripada menawarkan kepada swasta untuk membangun beberapa jenis infrastruktur.

    Pertimbangannya adalah PJPK mendapatkan kesempatan untuk memperoleh insentif dan fee (baik legal ataupun ilegal) dari setiap proyek yang dibiayai APBN. Karena itu, PJPK sering memilih proyek dengan rate of return on investment (RoI) relatif tinggi yang justru dikerjakan dengan pembiayaan APBN,sementara proyek dengan RoI relatif rendah malah ditawarkan kepada sektor swasta. Keenam, rendahnya RoI dari proyekproyek infrastruktur yang ditawarkan semakin membuat swasta tidak tertarik terlibat dalam PPP karena sampai saat ini PPP tidak dilengkapi dengan jaminan mengenai viability gap.

    Artinya, di satu sisi, RoI dari proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta berada di kisaran 14%-an.Di sisi lain,sektor swasta menghitung agar mereka mendapat keuntungan yang layak, maka RoI harus berada pada level 18%-an. Ketujuh, kapasitas kelembagaan di beberapa kementerian belum terbangun secara solid karena adanya dualisme pengelolaan proyek.

    Misalnya, di Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat BPJT yang bertanggung jawab dalam pengelolaan jalan tol dan Binamarga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jalan umum. Masalahnya adalah Badan Penyelenggara Jalan Tol (BPJT) dan Binamarga sering kali bekerja secara tidak harmonis. Artinya, ketika BPJT membangun satu ruas jalan tol, Binamarga justru membangun jaringan jalan yang berdekatan dan menjadi alternatif dari jalan tol.

    Kedelapan, pola pikir pemerintah, khususnya pemerintah daerah, mengenai PPP belum terbangun secara baik. Pemerintah daerah masih sering mengasumsikan PPP sebagai salah satu sumber pendapatan sehingga menerbitkan berbagai macam peraturan yang membebani sektor swasta.

    Agenda Prioritas

    Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa PPP memiliki peran penting untuk mendukung pembangunan kuantitas dan kualitas infrastruktur. Beberapa negara seperti Amerika,Inggris,Belanda, Australia, dan India sudah sejak puluhan tahun yang lalu mengadopsi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini.

    Misalnya, di Australia, melalui PPP, pemerintah negara itu mampu membangun dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan pelaku bisnis tanpa terlalu membebani keuangan negara (Foster,2010).Terdapat indikasi bahwa implementasi PPP di negara lain memberikan manfaat yang sifatnya simbiosis mutualisme bagi pemerintah dan sektor swasta yang terlibat.

    Mengacu pada pengalaman negara-negara seperti di atas, ada baiknya pemerintah,DPR, dan stakeholders lainnya lebih fokus dan serius mengatasi berbagai masalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera menyelesai kan proses legislasi UU Pengadaan Lahan, meminimalkan overlapping beberapa peraturan, menyiapkan sistem insentif (seperti viability gap dan jaminan penggantian biaya investasi bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan), serta meningkatkan kualitas dan kapabilitas PJPK.  

  • Politik Ketakutan Putin

    Politik Ketakutan Putin
    Awaludin Marwan, PENELITI DARI SATJIPTO RAHARDJO INSTITUTE;
    PEMERHATI POLITIK INTERNASIONAL     
    Sumber : SUARA MERDEKA, 15 Desember 2011
    TIADA jalan lain, selain menebarkan teror bagi penguasa diktator untuk melanggengkan kekuasaannya. Bermodalitas teror semuanya bisa dijinakan. Media yang seharusnya menjadi simbol kebebasan ditaklukkan oleh Vladimir Putin. Demikian tulis Aljazeera Oktober lalu. Begitu disiplinnya kekuasaan Putin sehingga sistem ekonomi, politik, dan hukum dikendalikan efektif. Demonstrasi pada hari Sabtu diikuti lebih dari 60 ribu orang merupakan pukulan berat baginya. Rezim otoritarianis kembali terlihat warnanya manakala lebih dari 1.600 demonstran ditangkap.

    Dengan dalih keamanan, adanya tahanan politik adalah penanda (signifier) yang mencerminkan konstruksi politik rezim diktator, ungkap John Elster dalam Political Psychology: 1993. Demonstran yang meluber dengan kekuatan massa besar hanya bisa ditangani dengan model mediasi dan komunikasi proseduralistik.

    Putin tampaknya tidak menghitung ekses dari penangkapan membabi-buta demonstran itu. Aksi represif militer itu menurunkan elektabilitasnya dalam pilpres yang diajukannya sendiri pada 4 Maret tahun depan. Partainya, United Russia pada Minggu lalu mendapatkan peruntungan 49,5 sehingga  mendapatkan 238 kursi.

    Perolehan yang jauh jika dibandingkan dengan kubu oposisi karena Partai Komunis mendapatkan 92 kursi dan Partai Liberal Demokrasi 56 kursi. Meski legitimasi politik pemilu dipertanyakan, hasil akhir masih mendudukkan partai Putin dalam peringkat wahid. Posisi Putin sebenarnya di atas angin. Namun kondisi politik yang kian memanas bisa membalikkan posisinya. Apalagi dengan arogansinya, bisa jadi ia terpuruk, bahkan lebih mengerikan jika dijebloskan dalam skandal kekerasan negara.

    Di seberang jalan, ruang dunia internasional telah menanti dengan godamnya untuk meluluhlantakkan kekuasaan Putin hanya dengan hitungan hari. Hillary Clinton sudah menyerukan pidato tentang problem aksi represif Putin terhadap demonstran sebagai masalah yang diperhatikan serius. Adapun kubu Barat, dengan Organization for the Secuirty and Co-operation in Europe (OSCE), sudah memasang kuda-kuda perang.

    Rezim otoriter telah menjadi momok menakutkan bagi rezim demokrasi. Demokrasi telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault sebagai taksonomi politik. Atas nama demorasi, banyak korban jiwa bergelimpangan. Bahkan bagi Zizek lebih percaya negara paling demokratis seperti Amerika memiliki terornya sendiri dengan simbol Guantanamo.

    Tebar Teror

    Tuduhan Putin bahwa Amerika mendalangi protes rakyat terhadapnya agak berlebihan. Ia harusnya berkaca terlebih dahulu karena dia sendiri yang membangun dinasti dalam tubuh politik negara. Namun tentu saja etika politik mengatakan hal yang berseberangan, jika demokrasi itu mengharuskan pula sirkulasi penguasa, bukan penguasa yang mapan dan tak tergantikan.

    Putin membangun kastil, seperti ditulis Sean Guillory dalam artikelnya ‘’The ‘New Desembrists’ Face off Against Putin’’.


    Publik Rusia sebenarnya sudah mengetahui sejak awal adanya trik politik hingga puncaknya di Stadion Luzhniki akhir November, Putin memperoleh nominasi calon presiden. Namun kenapa demonstrasi besar-besaran di kota Vladivostok, Novosibirsk, Arkhangelsk, Kaliningrad, St Petersburg, dan kota lain itu baru terjadi setelah pemilu?

    Tuntutannya demonstran yang diwakili oleh Vladimir Ryzhkow yang menginginkan pemilu ulang, pembubaran komisi pemilihan, dan pembebasan tahan politik tampaknya tak digubris oleh status quo. Malah Putin memberikan instruksi penambahan aparat kepolisian dalam jumlah besar untuk berjaga-jaga mengamankan situasi chaos.

    Dalam situasi konflik ini, mediasi merupakan sarana paling manjur ketimbang insiden militer. Kita tahu bersama Rusia pernah beberapa kali mengalami revolusi bersenjata, dari transisi Grand Duchy Mosko 1283, Kerajaan Tzar Rusia 1547, Kekaisaran Rusia 1721, hingga puncaknya Revolusi Bolshevik 1917. Bedanya, sejarah zaman dulu belum ada koordinasi tiap-tiap bangsa yang membangun kekaisarannya sendiri.

    Namun sekarang, Yves Dezalay dan Madsen kekaisaran sudah terbangun dalam peradaban dunia dalam era posindustrial dan posteknologi, yang dikawal oleh Amerika dan Eropa sehingga segala keputusan di dunia ditentukan oleh kepentingan-kepentingan negara adidaya tersebut.  

  • Di Bawah Naungan Islamis

    Di Bawah Naungan Islamis
    Novriantoni Kahar, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 5 Desember 2011
    “Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.”
    Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia, Maroko, Mesir, dan kemungkinan Libya, Yaman dan Suriah belakangan ini membuat pengamat Timur Tengah memplesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-‘Arabi) menjadi Musim Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi). Panen raya elektoral kaum Islamis ini kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme ketika berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal dan memaksakan agenda-agenda yang akan mengekang kebebasan sipil? Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau justru akan dipaksa berubah oleh sistem (be transformed by the system) sembari mengompromikan ideologi asasi mereka?
    Belum Terjadi, Mari Diuiji
     
    Tentu banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan pesaing-pesaing mereka dari partai-partai sekular. Dengan resiko mensimplifikasi, percobaan yang error oleh rezim-rezim otoriter non-Islamis berhasil dimanfaatkan kaum Islamis yang selama ini beroposisi atau menjaga jarak dengan kekuasaan. Stigmatisasi “akibat tidak menerapkan syariat, westernis, kolaborator Zionis” yang mereka tinjukan kepada lawan-lawan politik mereka, berhasil memberi keuntungan elektoral.
    Percobaan Islamisme yang banal dan error di Afganistan, Iran, maupun Palestina tentu bukan rahasia. Namun mereka berkilah bahwa itu disebabkan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka seperti konspirasi Barat, tekanan Zionis, dan lain-lain. Bagi mereka, eksperimentasi Islamisme par excellent belum pernah terjadi dan teruji. Kini tibalah saatnya mencoba dan membuktikan bahwa “Islam adalah solusi” di dalam suatu iklim berdemokrasi.
    Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.
    Menuju Demokrasi Illiberal
     
    Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang cukup beralasan juga. Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir, Essam El-Arian, misalnya mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Itu tugas Allah dan kehendak rakyat. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti soal jilbab bisa saja akan diagendakan ketika mereka berkuasa. Karenanya Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari “negara otoriter semi-liberal” menuju “negara demokrasi illiberal” sebagaimana formulasi Fareed Zakaria.
    Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS (www.shorouqnews.com, 13/12/11)—sama-sama melanggar hak asasi manusia. Hanya saja, otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan primordial individu, namun ia dapat ditunda, diabaikan, atau dilanggar bila dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah yang terjadi pada masa Husni Mubarak. Sementara dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas. Jenis dan volume kebebasan yang diberikan kepada warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap bukan sesuatu yang melekat secara primordial pada tiap individu melainkan karunia yang dihibahkan mayoritas yang beriman kepada supremasi prosedural demokrasi.
    Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat berasalan di Mesir maupun Libya; namun tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin merumuskan: bila kesempatan terbuka lebar, kalangan Islamis yang berkuasa dipastikan akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual, pengetatan aturan perempuan, atau aspek-aspek trivial dari Islam. Namun sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi-legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).

    Memeluk atau Dipeluk Kekuasaan
     
    Karena itu, pilihan kaum Islamis di era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy misalnya percaya, alih-alih sukses memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan terpaksa memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state). Namun penilaian normatif seperti ini kurang memberi gambaran tentang pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina setidaknya menampilkan beberapa catatan menarik.
    Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah serta merta akan menjadi rompi pengekang (straitjacket) bagi kalangan Islamis untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun berubah dari retorika “perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom keluarga” menjadi penyerta perempuan secara lebih aktif di dalam kegiatan sosial, di parlemen, bahkan menjadi polwan.
    Memang (2) tantangan riil memerintah juga tidak serta merta akan mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam soal ekonomi. Namun yang pasti, mereka akan lebih welcome dengan pragmatisme. Kalangan Islamis tidak akan mengubah persepsi konflik Arab-Israel dari “konflik eksistensial-peradaban” menjadi “konflik situasional-teritorial”. Namun di tingkat aksi, besar kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).
    (3) Radikalisasi atau moderasi kalangan Islamis juga ditentukan oleh sistem politik di negara masing-masing. Faktor ini ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau tetap otoriter sebagaimana Iran maupun Gaza. Di Tunisia maupun Mesir, kini masih berlangsung tarik menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, maupun posisi militer. Semua itu kelak akan ikut menentukan paras dan performa kaum Islamis di kekuasaan. Ingat, kaum Islamis Turki bermetamerfosa sedemikian rupa karena berbagai faktor seperti sistem politik dan militer, massa sekuler yang kritis, ditambah soal geo-politik.
    Dan terakhir (4), kaum Islamis hanya bersedia mengompromikan nilai-nilai ideal dan ideologi asasi mereka “dengan berat hati” dan “hanya oleh suatu tekanan yang sangat besar”. Selain itu yang membedakan mereka secara kategoris dengan para kompetitor, aspek itu pulalah yang menjadi alasan konstituen untuk memberi mereka mandat. Kegagalan memperoleh mayoritas mutlak di parleman dan wujudnya lapisan masyarakat sekular yang kritis seperti di Tunisia dan Mesir, kemungkinan akan memaksa mereka menjadi moderat. Interdependensi dengan dunia luar juga akan sangat mempengaruhi fluktuasi radikalisasi dan moderasi.
    Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari Partai Kebebasan dan Keadilan yang akan berkoalisi dengan kalangan Salafis Partai Cahaya (Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi-legislasi konservatif yang berdampak membatasi kebebasan sipil. Namun mereka tak akan membatalkan Perjanjian Damai Camp David (1979) sehingga memicu ketegangan diplomatik dengan Israel dan suporter utamanya. Selain merisikokan hilangnya kompensasi damai sebesar 3 miliar dolar per tahun dari Paman Sam, aksi itu juga akan berimplikasi perang-damai yang terbukti mempercepat ketuntuhan suatu rezim seperti di masa Abdel Nasser.
    Intinya, beberapa studi menunjukkan bahwa perilaku kaum Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang radikalisasi. Retorika dan gertak sambal mereka sebelum berkuasa tak akan serta merta dibuktikan setelah mereka berkuasa, terlebih bila eksistensi mereka justru terancam. Mereka akan dipeluk kekuasaan ketimbang sebaliknya. ●  
  • Minoritas Muslim Perlu Fikih Minoritas

    Minoritas Muslim Perlu Fikih Minoritas
    Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 14 Desember 2011
    “Belajar dari pengalaman Mekah, yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.”
    Sebagian umat Islam tak betah tinggal di negeri-negeri Muslim yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tak sedikit umat Islam berpindah ke beberapa negara di Barat yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam, seperti Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan lain-lain. Motif perpindahannya sangat beragam, mulai dari niat awal untuk mencari ilmu lalu menetap sebagai warga negara, mencari pekerjaan demi meningkatkan taraf hidup-ekonominya hingga mencari suaka politik akibat serentetan ancaman di negerinya sendiri.
    Kita tahu bahwa sebagian besar umat Islam yang pindah ke Barat adalah awam di bidang ilmu-ilmu keislaman. Karena itu, sesampainya di tanah tujuan (Barat), banyak di antara mereka yang gagap dan bingung. Di satu sisi umat Islam yang pindah itu harus tetap bekerja di sejumlah perusahaan Barat untuk memenuhi nafkah keluarga. Namun, di sisi lain, mereka menghadapi sebuah kenyataan betapa tak mudahnya melaksanakan ajaran Islam di Barat yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Sejumlah keluhan kerap di sampaikan.
    Jika dikelompokkan, keluhan minoritas muslim tentang pelaksanaan ajaran Islam di Barat menyentuh hampir semua aspek dalam Islam. Pertama, keluhan di bidang ibadah mahdlah (ibadah murni), seperti shalat (termasuk shalat Jum’at), dan puasa. Mencari masjid untuk shalat Jum’at di Barat susah. Umat Islam tak jarang harus menempuh perjalanan jauh agar shalat Jum’at bisa dilangsungkan, sementara yang bersangkutan pada saat yang sama juga harus bekerja di perusahaan. Terlampau sering meninggalkan pekerjaan dengan alasan shalat Jum’at kadang tak segera dipahami oleh atasan mereka di Barat.
    Kedua, dalam bidang ahwâl syakhshiyyah (hukum keluarga) juga ada masalah. Di bidang ini, sebagian minoritas muslim di Barat menghadapi soal pelik mengenai status perkawinan. Banyak dijumpai, suami dan istri pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri memeluk Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten dengan fikih lama-konvensional, maka si isteri harus bercerai dari suaminya. Karena perempuan Islam tak dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan Islam. Hingga sekarang, pernikahan beda agama masih sulit untuk ditembus kehalalannya karena begitu kukuhnya argumen naqliyah yang mengharamkannya. Namun, tak jarang fikih Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Tak sedikit umat Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya sekalipun beda agama, dengan alasan tak mungkin menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak dengan peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih mempertahankan keluarga daripada menghancurkannya.
    Berbagai upaya telah ditempuh agar keharaman nikah beda agama bisa dilonggarkan. Jika kita menganggap bahwa non-Islam di Barat adalah Ahli Kitab, maka semestinya tak ada masalah sekiranya orang Islam hendak menikahi perempuan Yahudi dan Kristen di sana. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan tentang kehalalan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fath al-Mu’in, membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Yahudi-Israel. Sementara tentang pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab, semua ulama cenderung mengharamkannya. Pengharaman ini muncul dari sebuah kekhawatiran: bahwa jika laki-lakinya non-muslim dan perempuannya yang muslim, maka besar kemungkinan agama isteri dan anak-anak akan mengikuti agama sang suami. Namun, kekhawatiran ini tak banyak terbukti. Berbagai riset menunjukkan, anak-anak yang lahir dari orang tua berbeda agama banyak mengikuti agama ibu. Di tengah masyarakat Barat yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, tekanan suami agar isteri dan anak-anak mengikuti agama diri si suami sebenarnya tak terlampau mengkhawatirkan.   
    Soal dalam perkawinan ini tak pelak juga akan berimbas pada pewarisan. Pandangan fikih yang (konon) diacukan pada sebuah hadits melarang umat Islam mewariskan hartanya pada keluarga atau keturunan non-muslim. Perbedaan agama (ikhtilâf al-dîn) dianggap sebagai penghalang (mâni’) terjadinya proses waris-mewarisi. Ketentuan ini tak mudah ditunaikan keluarga muslim di Barat di mana salah satu anggota keluarganya ada yang berbeda agama. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap ketentuan fiqhiyyah seperti ini. Yusuf al-Qardhawi berusaha memberi solusi: bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-muslim, tapi tidak buat sebaliknya. Pendapat ini tanggung dan tak menyelesaikan masalah. Orang akan menggugat pandangan al-Qardhawi ini: bahwa umat Islam hanya mencari “enaknya saja”—siap menerima warisan tapi tak siap mewariskan. Ia dinilai tidak adil (unfair).
    Jika ditelusuri, ikatan kewarisan dalam Islam terjadi karena ikatan darah bukan ikatan agama. Perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang kewarisan (mâni’ al-irtsi) dalam fikih Islam terdahulu, karena umat Islam terlibat konflik dengan umat agama lain. Artinya, dalam suasana normal (ketika umat Islam tak berada dalam suasana perang dengan umat agama lain), maka fikih Islam kembali ke hukum normal lagi. Bahwa perbedaan agama tak boleh dijadikan sebagai penghalang. Saya cenderung tak mempersoalkan sekiranya seorang anak yang beragama Kristen di Barat hendak mewariskan harta kepada orang tuanya yang beragama Islam. Begitu juga sebaliknya. Darah yang mengalir dalam tubuh anak adalah darah orang tua. Sementara dalam kasus suami-istri, sekalipun tak ada hubungan darah, mereka telah sepakat mengadakan satu ikatan kukuh (mîtsâqan ghalîzhan) untuk hidup bersama dalam hubungan sebagai suami-isteri, karena itu wajar kalau terjadi waris-mewarisi. 
    Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada masalah. Tak sedikit ulama fikih yang berpendapat perihal haramnya umat Islam bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya disitu, bahkan juga diharamkan untuk memilih kepala negara non-muslim. Menerapkan pandangan fikih demikian di Barat potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan kian teralienasi dari komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari lalu lalang pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks agama yang melarang umat Islam bergaul dengan umat non-muslim, umat Islam di Barat akhirnya cenderung tak mempedulikannya.
    Dengan latar itu, ulama Islam berfikir agar minoritas muslim di Barat mendapatkan penanganan khusus dari sudut fikih. Sebab, bertumpu pada fikih arus utama akan merepotkan posisi umat Islam di sana. Jabir Thaha al-‘Alwani dan Yusuf al-Qardhawi menempuh solusi progresif dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-aqalliyyat). Jabir al-‘Alwani menulis buku berjudul Toward a Fiqh for Minorities. Yusuf al-Qaradhawi menulis buku “Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah”. Di Indonesia, Ahmad Imam Mawardi menulis buku Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah, dari Konsep ke Pendekatan.   
    Bagi saya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan untuk mengukuhkan argumen-argumen para penggagas fikih minoritas itu. Pertama, fikih minoritas harus dilandaskan pada pengalaman umat Islam awal di Mekah ketika menjadi minoritas. Dalam periode Mekah, Islam fokus pada penyampaian pokok-pokok ajaran Islam, seperti akidah dan etika. Persoalan syariat tak menjadi bahasan utama. Fakhr al-Din al-Razi berkata, kehadiran Nabi Muhammad bukan untuk membawa syariat baru, melainkan untuk meneguhkan syariat Nabi Ibrahim. Merujuk kepada al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 163), sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad diutus pada mulanya untuk menggenapi syariat Nabi Nuh.
    Belajar dari pengalaman Mekah ini, yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.
    Kedua, melakukan penafsiran ulang terhadap hadits, juga al-Qur’an. Sebab, banyak pandangan fikih yang sempit disandarkan pada al-Qur’an. Tak selayaknya minoritas muslim mengembangkan fikih eksklusif, fikih tertutup yang selalu memandang orang lain secara negatif. Umat Islam di Barat membutuhkan fikih pluralis, yaitu sejenis tafsir keagamaan yang lebih positif memandang umat agama lain. Umat Islam tak perlu membesar-besarkan hal-hal kecil yang cenderung memisahkan dirinya secara sosial dari umat agama lain, tapi justru perlu memperbanyak kesamaan-kesamaan di antara umat beragama. Dengan tegas al-Qur’an meminta umat Islam untuk mencari kesamaan bukan perbedaan dengan umat agama lain. Mencari perbedaan itu mudah, sementara mencari persamaan itu susah.
    Jika mengikuti tuntunan etik-moral al-Qur’an dan sejarah keteladanan Nabi Muhammad, kita akan tahu bahwa umat agama lain bukanlah ancaman bagi umat Islam. Pluralitas keagamaan itu menjelma dalam keluarga Nabi Muhammad. Buku-buku sejarah menunjukkan, Nabi Muhammad pernah memiliki menantu musyrik (Abu al-‘Ash, suami dari Zainab binti al-Rasul), budak perempuan beragama Kristen Koptik (Maria al-Qibthiyah) dan Yahudi (Raihanah), mertua beragama Yahudi (ayahanda dari Shafiyah, istri Nabi). Waraqah ibn Naufal yang memberi kesaksian dan pengakuan atas kenabian Muhammad adalah saudara sepupu Khadijah binti Khuwailid (isteri Nabi).
    Ketiga, umat Islam di Barat tak boleh memposisikan diri sebagai muslim dzimmi apalagi muslim harbi. Di bidang politik dan pemerintahan, umat Islam bisa menjadi bagian dari proses dan dinamika perpolitikan di sana. Sekularisasi yang menjadi pilihan negara-negara Barat sesungguhnya merupakan peluang atau kesempatan bagi umat Islam untuk terlibat dalam berbagai aktivitas publik. Umat Islam bisa menjadi anggota parlemen dan pejabat publik lainnya.
    Namun, umat Islam harus tahu batas-batas terjauh yang tak mungkin diterobos. Misalnya, umat Islam di Barat tak usahlah berimajinasi untuk memiliki lembaga peradilan sendiri yang khusus menyelesaikan persoalan perdata dan pidana umat Islam. Umat Islam tak perlu mengusulkan sanski-sanksi hukum fikih jinayat (pidana) Islam seperti hukum qishash, hukum rajam, hukum potong tangan, hukum pancung, dan lain-lain. Hukum penjara bagi pelaku kriminal tak usah diusulkan untuk diganti hukum potong tangan, hukum pancung, hukum qishash seperti yang diujarkan secara harafiah dalam al-Qur’an. Menangkap spirit al-Qur’an, kita tahu bahwa yang terpenting dari pemberian sanksi hukum adalah bagaimana menjerakan para pelaku kriminal (zawâjir). Jika dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka tuntutan untuk menerapkan sanksi hukum seperti potong tangan sudah tak diperlukan lagi.
    Keempat, menyelesaikan masalah dalam fikih keseharian, mulai dari soal ibadah mahdlah sampai soal makanan-minuman (al-ath’imah wa al-asyribah). Di antaranya: (a) Tentang penyembelihan hewan kurban. Banyak ulama berpendirian bahwa hewan kurban bisa diganti dengan mata uang. Dengan demikian, minoritas muslim tak perlu berkeras ingin menyembelih hewan kurban secara massal. Barat yang menjunjung tinggi kebersihan tak akan mengijinkan penyembelihan hewan kurban secara sembarangan seperti yang kerap kita saksikan di Indonesia. Minoritas muslim juga harus sadar bahwa penyembelihan hewan kurban merupakan perkara sunnah saja. Sekiranya tak mungkin dilakukan, tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Ada banyak saluran yang bisa dipakai orang kaya Islam di Barat untuk membantu mereka yang papa-miskin. 
    (b) Soal poligami dan pemukulan istri. Minoritas muslim tak usah menerapkan poligami. Dalam pandangan Barat, menikah dengan banyak perempuan itu adalah bagian dari perkawinan primitif. Menyemarakkan poligami akan menimbulkan stigma negatif, bukan hanya terhadap minoritas muslim di Barat, melainkan juga terhadap agama Islam sendiri. Begitu juga soal pemukulan suami terhadap istri. Masyarakat Barat tak mengerti kenapa seorang suami diberi kewenangan untuk memukul istrinya. Bagi Barat, memukul seorang istri tak bisa dipahami. Memukul tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, sekalipun dengan merujuk pada al-Qur’an. Sejumlah tafsir kontemporer telah diedarkan bahwa ayat al-Qur’an yang memperkenalkan pemukulan istri ((misalnya Q.S. al-Nisa [4]: 34) itu tak bisa dimaknai secara harafiah. Ia lahir dari sebuah konteks yang berbeda dengan konteks umat Islam hari ini.
    (c) Soal shalat Jum’at. Sekiranya tak mungkin melaksanakan shalat Jum’at, karena satu dan lain hal, maka minoritas muslim bisa segera menggantinya dengan shalat zhuhur. Dalam pandangan fikih, hujan saja bisa dijadikan alasan untuk tak mengikuti shalat Jum’at. Jika tak memungkinkan menyelenggarakan shalat Jum’at karena tak memenuhi ambang batas 40 orang seperti yang ditetapkan mazhab Syafii, dengan mengikuti mazhab Hanafi, shalat Jum’at bisa tetap dilakukan:  yaitu dengan empat orang (satu dari yang empat adalah imam). Al-Thabari, seperti dikutip Ibn Rushd, berkata bahwa shalat Jum’at bisa diselenggarakan dengan satu imam dan satu makmum. Ada yang berkata, shalat Jum’at itu termasuk fardlu kifayah. Jika dalam satu negara bagian atau satu provinsi tertentu, satu kelompok kecil muslim telah menyelenggarakan shalat Jum’at, maka gugurlah kewajiban bagi kelompok muslim lain untuk melakukan ibadah shalat Jum’at. Bahkan, ada yang berkata, ibadah Jum’at itu hanya sunnah belaka (baca Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid Juz I, hlm. 113-114). Beragam pandangan fikih ini sengaja saya kemukakan agar umat Islam memiliki banyak pilihan, sehingga mereka bebas untuk menentukan yang terbaik dan maslahat buat dirinya.
    (d) Dalam soal makanan dan minuman, fikih Islam sangat tegas perihal halal dan haramnya. Menghadapi rigiditas fikih Islam, minoritas muslim beruntung dengan tranparansi Barat yang melengkapi seluruh jenis makanan dan minuman dengan mencantumkan daftar komposisi dan ingredients-nya di bungkus produk itu. Dengan demikian, minoritas muslim di Barat akan mengetahui tentang jenis-jenis makanan yang mengandung unsur babi, misalnya. Namun, jika ragu dengan kehalalan makanan atau minuman, minoritas muslim di Barat bisa mengatasinya dengan membawa makanan dan minuman sendiri—seperti kerap dilakukan para aktivis Islam di Jakarta.
    Dalam perkara fikih sehari-hari ini, sejumlah kaidah fikih bisa dipakai untuk mengatasi kebuntuan. Misalnya, al-masyaqqatu tajlibu al-taisîr (kesulitan dapat mendatangkan kemudahan); dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih (menghindari kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan); al-dlarûrah tubîhu al-mahdhûrah (kemudaratan bisa menghalalkan yang terlarang); al-amr idzâ dlâqa ittasa’a wa idza ittasa’a dlâqa (segala sesuatu jika sempit akan meluas, dan jika meluas akan menyempit); al-umûr bi maqâshidihâ (segala sesuatu tergantung maksud-tujuannya). Dengan bersandar pada beberapa kaidah fikih tersebut, maka minoritas muslim bisa keluar dari kekakuan fikih konvensional.  
  • Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa

    Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa
    Sirikit Syah, DIREKTUR MEDIA WATCH,
    MAHASISWA PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA.
    Sumber : SINAR HARAPAN, 14 Desember 2011
    Pada suatu pagi di pompa bensin, saya merasa dihina negara dalam antrean di mana sebuah spanduk berbunyi “BBM hanya untuk orang tidak mampu!”, dan petugas memisahkan pembeli golongan mampu dan tak mampu berdasarkan jenis kendaraan.
    Pagi itu kami perlu membeli BBM, bersama belasan pembeli lainnya yang segolongan dengan kami. Pengalaman itu amat tidak menyenangkan. Kendaraan kami menuju antrean, dan ketika petugas bertanya, “Beli apa, pak?”, suami saya menjawab, “Yang untuk orang miskin. Kami bagian dari rakyat Indonesia yang miskin alias tidak mampu.”
    Nada suami saya dongkol karena merasa telah dicap (distempel) atau diberi label pemerintah, melalui petugas pompa bensin, sebagai “orang tidak mampu”.
    Rasanya tidak ada negara yang mempermalukan rakyatnya sendiri seperti ini. Mempermalukan di depan publik, di ranah terbuka. Bahkan belakangan dijadikan ILM (iklan layanan masyarakat) di televisi.
    Semua orang diberi tahu dan saling tahu tentang siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu. Negara tidak pernah berpikir dampak psikologis pada para pembeli BBM yang diberi label “orang tak mampu”. Negara menanamkan perasaan terhina dan rendah diri di benak sebagian rakyatnya. Rakyat Indonesia dikondisikan untuk kehilangan martabat dan harga diri.
    Betapa paradoksnya tindakan melecehkan bangsa sendiri ini oleh pemerintahan Presiden SBY, dengan pidato 14 Mei tahun ini juga dari presiden yang sama tentang “Pencanangan Tahun Pendidikan Karakter”.
    Pemimpin yang berbicara tentang perlunya pendidikan karakter bagi bangsa, pada tarikan napas yang sama menghilangkan harga diri bangsa dengan cara menggolong-golongkan rakyat mampu–tak mampu di ranah publik. Mungkinkah pendidikan karakter yang dimaksud tidak memasukkan unsur “bangga akan harga diri” atau “martabat” sebagai individu rakyat maupun sebagai bangsa?
    Kita menjadi tak tahu lagi maksud sesungguhnya para pemimpin kita. Kita bahkan tak tahu lagi apa yang diajarkan para guru pada anak-anak kita di sekolah. Bukankah perkara rasa malu, kejujuran, ketertiban, kebersihan, kedisplinan, itu tidak ada teorinya, melainkan harus dicontohkan? Tak ada gunanya mulut berbusa bicara kejujuran, kalau kelakuan tidak jujur.
    Apa gunanya sekolah-sekolah memasang spanduk “Jaga Kebersihan” kalau tak ada tempat sampah di tiap sudut sekolah? Apa gunanya kantor mempunyai slogan “Cintai dan Lestarikan Lingkungan”, kalau sampah organik dan sampah daur ulang tempatnya sama?
    Apa gunanya seorang ayah menasihati anaknya untuk jujur, kalau kemudian dia menyekolahkan anaknya itu melalui pintu belakang alias menyuap? Atau presiden menyerukan “Kita Bisa”, bila di tempat-tempat umum kita digiring ke golongan “tidak mampu”?
    Menggembosi Pendidikan Karakter
    Perilaku rakyat kecil yang miskin banyak yang lebih terhormat daripada perilaku para pemimpin yang mabuk kekuasaan, tamak harta benda, tak punya malu, dan tak punya harga diri.
    Ada yang mengaku lupa (alias hilang ingatan), ada yang mengaku sakit-sakitan, dan ada yang meninggalkan jabatan menteri di tengah jalan karena tak mampu menjawab persoalan Bank Century. Semuanya bertentangan dengan “pendidikan karakter bangsa” yang dicanangkan Presiden SBY Mei lalu.
    “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah itu tampaknya menjadi amat signifikan ketika kita membahas persoalan pendidikan karakter. Namun pemerintah telah menggembosi sendiri semangat pendidikan karakternya ketika di pompa-pompa bensin rakyat diklarifikasi menjadi dua kelas sederhana: golongan mampu dan tak mampu.
    Memang rasanya hanya di Indonesia pemerintah mendesakkan mental “tidak mampu” ke benak rakyatnya. Banyak orang tua dipaksa mengaku miskin agar mereka mendapatkan haknya untuk pendidikan anak-anak mereka, atau untuk mengakses layanan kesehatan.
    Anak-anak muda, generasi penerus bangsa, sejak muda sudah diajari untuk “tidak tahu malu”. Meskipun UUD 45 mengatakan pendidikan anak Indonesia dibiayai negara, untuk mengaksesnya anak harus mengaku miskin lebih dulu, yang prosesnya (mengurus dari RT, RW, kelurahan) pasti akan menyakitkan dan memalukan bagi rakyat yang hanya ingin bisa sekolah atau mendapatkan keringanan biaya rumah sakit.
    Para orang tua ini dipermalukan dalam memperoleh “surat keterangan miskin” agar anaknya bisa sekolah tanpa bayar, atau bila ada kerabat yang membutuhkan layanan rumah sakit.
    Sekarang untuk menjalankan kehidupan sehari-hari kita juga harus menahan malu dicap sebagai orang miskin oleh negara. Di pompa bensin, para pengendara sepeda motor, para sopir angkot, dan para pegawai swasta antre membeli BBM “khusus untuk orang tak mampu”.
    Orang-orang ini, rakyat kecil ini, sesungguhnya jauh lebih terhormat daripada Gayus Tambunan, Nazarudin, Nunun, para hakim yang rakus suap, bahkan Sri Mulyani. Mereka ini, meski digolongkan “tidak mampu”, adalah orang “paling mampu” di negeri ini.
    Mereka menciptakan pekerjaannya sendiri, mempekerjakan orang lain, tidak menerima gaji dari negara, tidak korupsi, bahkan membayar pajak. Mereka survive dengan penuh martabat, dan pemerintah masih saja menghina mereka.
    Rakyat Indonesia menyaksikan ditemukan begitu banyak uang, rupiah-dolar-yen, di rumah-rumah para tersangka koruptor (bahkan sampai di bak cucian di kamar mandi!).
    Begitu banyak uang beredar di kalangan petinggi partai politik, wakil rakyat, dan pemimpin pemerintahan. Namun betapa teganya mereka yang berkecimpung dalam uang ini berkata kepada rakyat: “Indonesia sedang bangkrut, kalian beli BBM agak mahal dikit ya. Kalau nggak mau mahal ya kena stempel miskin.”
    Pemerintahan ini telah sangat menyakiti hati rakyat Indonesia, para penabung di Bank Century yang ditilep dananya, warga negara non-PNS yang rajin bayar pajak tapi tak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah, dan para pemberi suara yang ditinggalkan.
    Mungkin presiden perlu duduk merenung di akhir tahun ini: “Karakter bangsa bagaimana yang mesti dididikkan pada generasi muda Indonesia, dan bagaimana menerapkannya.” 
  • Berkaca dari Sondang

    Berkaca dari Sondang
    Lilik H.S., PENELITI DI LEMBAGA PEMBEBASAN, MEDIA, DAN ILMU SOSIAL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 14 Desember 2011
    “Stop eksploitasi buruh! Jangan biarkan kematianku sia-sia!” teriak Chun Tae-il sesaat sebelum api menjilat tubuhnya. Tanggal 13 November 1970, buruh pabrik garmen di Kota Seoul, Korea Selatan itu membakar diri di depan aksi massa.
    Barangkali hanya kebetulan Sondang Hutagalung dan Chun Tae-il sama-sama berusia 22 tahun ketika mengakhiri hidupnya. Kebetulan juga Sondang melakukan aksinya di bulan yang sama dengan Mohammed Bouazizi yang tewas terpanggang api pada 17 Desember 2010, bulan ketika dunia memperingati Hari HAM sedunia.
    Aksi Chun Tae-il pada 1970-an itu segera mengguncang Korea Selatan. Aksi dan pemogokan buruh bergemuruh seantero negeri. Buruknya kondisi kerja, upah rendah, dan PHK massal adalah lahan kering yang dengan cepat tersulut api.
    Berjarak 40 tahun kemudian, tindakan nekad Bouazizi, pedagang kecil dari Tunisia yang dilatari frustasi ekononi akut, mendapat respons serupa. Api perlawanan massa menjalar cepat di Tunisia, hingga rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pun terjungkal.
    Bagaimana dengan Sondang? Rakyat di negeri ini pun dibuat terperangah. Pertama kali dalam sejarah orang membakar diri tepat di depan Istana Negara. Reaksi yang timbul beragam. Banyak yang mengutuk, tak sedikit yang menempatkannya sebagai martir perjuangan.
    Tapi sejumlah reaksi yang bergema di sosial media tak lantas bersambut dengan tumpah ruah orang turun ke jalan. Orang justru lebih banyak memperdebatkan motif dan cara kematian Sondang. Banyak yang menilai sebagai konyol dan sia-sia.
    Sondang mati tanpa meninggalkan pesan politik secara harfiah. Tetapi, apakah pesan selalu harus selalu tersurat? Dalam rekaman video pada aksi Kamisan pada 18 Agustus 2011, aksi korban pelanggaran HAM yang rutin digelar tiap minggu di depan istana, Sondang menyatakan, “Kalau saya bermimpi menjadi anggota DPR, saya akan ajak anggota DPR, menteri, presiden untuk bisa melihat kondisi rakyat sekarang.”
    Menerobos Kemampatan
    Sondang adalah bagian dari anak muda yang gelisah. Ia hanya tak tahu metode perjuangan paling tepat untuk menyuarakan aspirasinya. Ia juga berada di tengah situasi ekonomi politik yang tengah mampat. Barangkali, dia berharap aksinya mampu menerobos kemampatan ini. Kebetulan cara yang dipilihnya ganjil dan tak dapat dinalar sebagian besar orang.
    Gelombang neoliberalisme telah menerjang setiap sendi kehidupan rakyat. Dampak pasar bebas, privatisasi, dan penghapusan subsidi ini telah menjerat di segala sektor masyarakat.
    Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, petani kehilangan akses lahan, para buruh menjadi tenaga outsourcing,dan perempuan kian terdesak menjadi buruh migran. Tingkat pengangguran meningkat dan kesenjangan sosial pun semakin lebar. Dalam kondisi ini, protes-protes rakyat bak membentur tembok.
    Semoga kita belum lupa bahwa sejarah perubahan selalu ditabuh anak-anak muda yang gelisah, yang tak bisa nyaman ketika menyaksikan kemiskinan dan penindasan dibiarkan merajalela, sementara hukum menjadi pajangan belaka.
    Pada periode akhir 1980-an, di bawah cengkeraman sistem otoritarian Soeharto, ada sekelompok anak muda yang gelisah, yang mengadang risiko menyelinap di dusun-dusun di Kedung Ombo, Boyolali, Jawa Tengah, dan mengadvokasi para petani yang dirampas tanahnya dengan dalih pembangunan waduk.
    Anak-anak muda itu kemudian juga menyelinap di basis kampung-kampung buruh serta mengorganisasi kekuatan dari kampus, yang ketika itu tengah sekarat oleh kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
    Bertahun kemudian, orang juga mencibir ketika anak-anak muda ini membentuk partai, yakni PRD (Partai Rakyat Demokratik), dengan mengusung program politik pencabutan dwifungsi ABRI, lima Paket UU Politik, serta pembebasan Timor-Timur.
    Kelak, bertahun kemudian, tuntutan politik itu berbuah. Sayang, transisi demokrasi pada 1998 tak berjalan mulus. Kekuatan ekonomi dan politik tetap dipegang tangan-tangan lama.
    Negeri Paradoks
    Keresahan Sondang adalah keresahan bersama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perih ketika api mulai menjilat tubuhnya.
    Barangkali, ia ingin menghayati keperihan yang diderita para korban pelanggaran HAM, para ibu yang anak dan suaminya diculik, yang tiada kabar hingga berbelas tahun lamanya, juga keperihan rakyat Papua yang puluhan tahun hidup nestapa di atas limpahan emas yang dikeruk dan dijual negara.
    Mungkin lewat perih itulah Sondang ingin bicara. Dia ingin penguasa mendengar. Dia ingin gerakan rakyat menggeliat kembali dan kembali ke khittah membangun pemberdayaan rakyat.
    Sayangnya, negeri Sondang adalah Indonesia, sebuah negeri yang dihuni banyak orang yang gampang lupa. Bergunung kasus hukum dan pelanggaran HAM menguap begitu saja, kemudian kita sudah tersihir berita-berita baru. Kemudian sibuk lagi memperdebatkan hal-hal baru dan lupa problem utama bangsa ini.
    Negeri ini juga penuh paradoks. Pejabat dan politikus bisa dengan nyaman menggerogoti uang negara dan pamer kekayaan sementara di belahan Nusa Tenggara Timur, busung lapar yang melanda balita, dan angka kematian ibu terus meningkat.
    Korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sehingga koruptor masih bisa berdiri tegak dan tersenyum ketika disorot kamera televisi.
    Mereka juga tak merasa resah kendati Indonesia nyaris berdiri di jurang kebangkrutan. Sumber daya alam telah habis dikeruk dan dijual, dan beban utang luar negeri mencapai triliunan rupiah. Jangan lupa, Indonesia juga bertengger dalam jajaran negara terkorup di dunia.
    Chun Tae-il, Bouazizi, dan Sondang sama-sama rakyat kecil, sama-sama dipagut resah akibat kekuasaan yang korup. Sayangnya para pejabat, politikus, dan sebagian besar dari kita tak cukup merasa resah, juga ketika ada anak manusia demi didengar suaranya membakar diri di depan mata kita.  
  • Catatan untuk Sondang

    Catatan untuk Sondang
    Samdysara Saragih, MAHASISWA JURUSAN TEKNIK FISIKA ITS SURABAYA
    Sumber : REPUBLIKA, 14 Desember 2011
    Belum genap setahun aksi bakar diri pemuda Tunisia bernama Mohamed Bouazizi yang dilakukan pada 17 Desember 2010, aksi yang mirip juga terjadi di Indonesia. Adalah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno Jakarta bernama Sondang Hutagalung yang melakukannya di depan Istana Merdeka pada Rabu, 7 Desember lalu. Sampai sekarang, tidak jelas motif utama yang melatarbelakangi tindakannya itu. Dan sepertinya, ini akan terus jadi pertanyaan karena pada Sabtu (10/12), nyawanya tidak tertolong.

    Sebagai seorang berlatar belakang mahasiswa cum aktivis, banyak yang menduga aksinya itu punya muatan politik. Beberapa di antaranya mengatakan, Sondang kecewa karena berbagai aksinya tidak ditanggapi oleh pemerintah. Salah satu contoh ialah dalam penanganan hukum atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.

    Tapi, yang kemudian jadi pertanyaan penting adalah: apakah Sondang memang berniat menjadikan dirinya sebagai martir untuk membangkitkan gerakan rakyat, seperti terjadi di Tunisia? Apalagi, momentun aksinya itu dilakukan menjelang peringatan Hari Antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember dan Hari HAM sedunia 10 Desember. Dua tahun lalu, masyarakat antikorupsi melancarkan unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka sampai-sampai presiden perlu ‘mengasingkan diri’ ke luar kota.

    Bisa jadi, sebagai aktivis yang paham dalam psikologi ‘aksi massa’, Sondang menginginkan hal yang sama terjadi pada tahun ini. Malah lebih besar dengan momentum kematiannya. Dari situ, aksi bisa menjalar lebih luas hingga kalau perlu menjadikan pemerintahan SBY-Boediono seperti rezim Ben Ali yang akhirnya jatuh.

    Jika benar dugaan ini, ‘eksperimen’ Sondang dengan sendirinya telah gagal. Aktivis dan mantan aktivis menanggapi dingin pelancaran aksi besar-besaran. Pemimpin politik yang nyata-nyata bisa memanfaatkan situasi ini pun terkesan tidak bereaksi macam-macam.
    Media massa menjadikannya berita ‘kelas dua’ yang tidak berpretensi menghasut sama sekali. Dengan kata lain, boro-boro jadi martir, malah banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kebodohan. Sama dengan bunuh diri gara-gara putus cinta atau kelaparan.

    Berkat Demokrasi?
    Pertanda apakah ini? Bisakah kita mengatakan bahwa rakyat Indonesia menikmati demokratisasi sedemikian rupa sehingga sebuah people power dirasa tidak perlu? Bisa jadi ya! Kaum oposan tentu percaya sejelek-jeleknya pemerintah, mereka masih bisa mengadakan koreksi terhadapnya. Masih banyak ruang konstitusional yang bisa digunakan untuk, katakanlah dalam bentuk paling ekstrem, menjatuhkan pemerintahan yang korup dan inkonstitusional. Dan, yang lebih penting lagi, rezim ini toh akan berakhir secara alami lewat pemilihan umum.

    Para mantan aktivis sadar, apabila cara seperti 13 tahun lalu kembali digunakan, dengan sendirinya reformasi telah gagal. Ketika mereka dulu berjuang, yang ada dalam kepala mereka tentu supaya cara-cara ‘parlemen jalanan’ tidak perlu ada jika lembaga negara bisa memainkan peranannya. Jangan sampai cara yang sama terus berulang. Seperti yang pernah dikatakan mantan aktivis 1990-an Budiman Soedjatmiko, jangan sampai ‘kutukan Mpu Gandring’ berlaku.

    Lagi pula, dalam alam demokratis ini, pilar keempat demokrasi, yakni pers masih memainkan perannya dengan maksimal. Bermacam kritikan, opini, anekdot, kartun bernada kecaman terhadap pemerintah hadir setiap hari di media-media cetak dan elektronik Indonesia. Meski tidak semuanya direspons oleh pemerintah, baik di pusat maupun daerah, tapi tidak sedikit pula yang langsung mendapat tanggapan dan tindakan. Pemerintah sendiri membiarkan semua kebebasan ini tanpa berkeinginan mengulangi masa-masa kelam rezim Orde Baru.

    Dalam alam demokratisasi seperti ini, tentu pikiran-pikiran untuk mengadakan revolusi disingkirkan sementara waktu. Hal inilah yang membedakan mengapa di Tunisia, kematian Bouazizi bisa memantik emosi rakyat. Di bawah rezim tiran Ben Ali, kebebasan dipasung. Musuh politik disingkirkan serta pers dibatasi. Ditambah lagi kondisi perekonomian warga yang terpuruk.

    Lagi-lagi, kecuali yang terakhir, Indonesia jelas berbanding terbalik dengan Tunisia. Hak mengeluarkan pendapat entah lewat lisan maupun tulisan, dijamin oleh undang-undang. Filosof Friedrich Hegel (1770-1831) ketika menjadi profesor di Universitas Berlin mengatakan, apabila hak rakyat bersuara tidak dipasung, maka keinginan untuk memberontak dengan kekerasan terhadap pemerintah akan teredam secara alami (Marsilam Simanjuntak, 1996).

    Inilah yang menjadi filosofi dasar demokrasi supaya jatuh bangunnya pemerintahan terjadi bukan lewat revolusi melainkan cara-cara damai. Rakyat dapat menghukum pemimpinnya lewat pemilu.

    Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemerintah mau tak mau harus membuka daun telinga dan hatinya lebar-lebar guna mendengar suara rakyat. Suara rakyat sudah diadagiumkan sama dengan suara Tuhan: vox populi vox dei. Sebagai pengemban amanat, pemimpin wajib mendengar suara rakyat layaknya mendengar wangsit dari Yang Atas.

    Tanpa perlu berdemonstrasi, apalagi sampai bunuh diri, pemimpin sudah seharusnya tahu mana yang harus dikerjakannya. Aksi unjuk rasa sangat dibolehkan dalam sistem demokrasi. Tapi, semakin banyaknya rakyat yang turun ke jalan itu adalah pertanda bahwa pilar-pilar utama demokrasi lagi sakit. Bahwa lembaga negara tidak menjalankan perannya dengan maksimal.

    Pemerintahan SBY-Budiono beruntung mereka dipilih dalam sistem demokrasi dengan 60 persen suara rakyat. Sampai sekarang tidak ada kondisi bergolak berarti yang dapat mengusik pemerintahannya akibat aksi one man show Sondang. Orang-orang masih pergi ke mal, berekreasi, dan menonton pertandingan seru olahraga di televisi.

    Mungkin ini tidak dibayangkan oleh Sondang sendiri. Atau, jangan-jangan justru dia sengaja mau lari dari ini semua. Bahwa dunia ini sungguh tidak adil dan dia tak sanggup untuk melihat ketidakadilan itu tanpa berbuat apa-apa. Dia frustrasi seperti halnya seorang ibu di Jakarta yang membakar diri sendiri dan anaknya gara-gara tidak punya uang untuk beli makanan.

    Bedanya, barangkali, tindakan Sondang punya pesan politik, sedang orang yang tidak bakar diri di depan Istana hanya dianggap efek sosial-psikologis biasa. Tapi, dalam negara demokratis, pemerintah wajib memandang kedua kejadian ini secara sama bahwa mereka untuk sementara gagal dalam memenuhi keinginan rakyat!  

  • Humanisme untuk Papua

    Humanisme untuk Papua
    Budi Susilo Soepandji, GUBERNUR LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
    Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember 2011
    Papua ibarat satu koin mata uang. Di satu sisi, tanah Papua kaya akan sumber kekayaan alam.Tapi, di sisi lainnya, Papua ternyata masih miskin sarana-prasarana dan infrastruktur hasil pembangunan. Kesejahteraan masih sebatas impian dan angan-angan masyarakat Papua. Besarnya dana otonomi khusus yang telah dikucurkan pemerintah ternyata tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua ke arah yang lebih baik. Muaranya, otonomi khusus dipandang belum efektif mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua.
    Rasa frustrasi karena kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua berujung pada keinginan ekstrem sebagian putra-putri Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Ironis, memang. Papua, yang eksotik dan kaya akan sumber daya alam, ternyata rendah tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
    Lantas, di mana letak permasalahannya? Mengapa terasa begitu sulit mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di tanah Papua? Apakah kebijakan penyelenggara negara yang belum mampu memenuhi harapan masyarakat Papua? Atau sebab lain yang bersumber dari lingkungan internal masyarakat Papua sendiri? Atau karena dorongan faktor kepentingan eksternal yang menginginkan pemisahan Papua dari NKRI? Bagaimana bangsa ini harus bersikap untuk mendapatkan solusi cerdas mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian di Papua?
    Human Security dan Humanisme
    Tanah Papua memang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan, tapi proses pembangunan di tanah Papua harus berjalan serasi dan seirama dengan pembangunan wilayah lain di Indonesia. Masyarakat Papua, sebagai warga negara, memiliki hak yang sama untuk menikmati pembangunan yang berkeadilan di wilayahnya. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengamanatkan kewajiban penyelenggara negara untuk memenuhi hak-hak konstitusi warga negaranya.
    Terkait dengan hal tersebut, Rudolfo Severindo, mantan Sekjen ASEAN, berpendapat bahwa masalah hak asasi manusia selalu dihadapkan pada dua dilema besar, yaitu keseimbangan hak antara sipil dan politik di satu sisi; serta keseimbangan hak ekonomi dan sosial di sisi lainnya. UUD 1945 jelas mencantumkan bahwa hak sipil dan politik warga negara dijamin oleh negara. Demikian pula hak sosial dan ekonomi.
    Meski demikian, dalam pelaksanaannya negara memiliki keterbatasan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya. Hal yang paling utama bagi negara bukan terletak pada dicukupinya segala keinginan rakyat oleh negara, melainkan bagaimana negara memberikan jaminan dan peluang sebesar-besarnya bagi rakyatnya untuk memperoleh hak-hak mereka. Dengan realitas seperti itu, terpenuhinya hak–hak konstitusi warga negara akan berpulang kembali kepada bagaimana peran aktif masyarakat itu sendiri untuk memanfaatkan jaminan dan peluang yang diberikan oleh
    negara.
    Dalam konteks Papua, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat Papua itu sendiri. Keinginan memisahkan diri dari NKRI dengan alasan peningkatan kesejahteraan bukan merupakan pilihan cerdas. Bagi negara, tantangan dalam menyelesaikan masalah Papua bukan hanya bagaimana menangani kekuatan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), tetapi bagaimana memenangi hati dan pikiran rakyat Papua dengan memberikan jaminan terhadap keamanan individual dan keamanan politik. Untuk mencapai tujuan itu, tidak ada pilihan selain memberdayakan masyarakat Papua dengan pendekatan humanistik yang menghormati harkat dan martabat masyarakat Papua sebagaimana mestinya. Dari sinilah alasan pentingnya pengarusutamaan kesejahteraan dan humanisme dalam menyelesaikan masalah Papua.
    Empat Fondasi Utama
    Setidaknya terdapat empat fondasi utama yang perlu dibangun secara paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan, yaitu demokrasi lokal, penegakan hukum, keadilan ekonomi, dan penghormatan akan harkat dan martabat masyarakat Papua. Empat fondasi utama tersebut harus diupayakan oleh semua pihak melalui pendekatan yang seimbang antara soft power (humanisme) dan hard power. Pendekatan hard power, dalam bentuk penegakan hukum dan keamanan, masih dibutuhkan untuk memberikan jaminan terhadap terpenuhinya hak-hak konstitusi masyarakat Papua terkait dengan keamanan individual (security from physical violence and threat), dan keamanan politik
    (protection of basic human rights and freedom).
    Apabila pada 2005 bangsa ini mampu menyelesaikan masalah Aceh, yang juga tidak kalah beratnya, secara damai, penyelesaian serupa terhadap persoalan Papua bukan suatu hal yang mustahil. Komunikasi dan dialog yang konstruktif yang melibatkan pemerintah (pusat dan daerah) dan unsur–unsur masyarakat Papua harus dibangun sebagaimana preseden perdamaian di Aceh. Dialog harus berangkat dari kesamaan tujuan yang mendasar, kesejahteraan masyarakat Papua. Perbedaanperbedaan pandangan harus dapat dikelola dari sudut pandang kesamaan derajat dan kesetaraan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
    Pendekatan dan perspektif humanisme tidak mengenal adanya perbedaan fisik, gender, budaya, dan ras sebagai manusia. Humanisme hanya mengenal harkat dan martabat manusia sebagai inti humanisme. Karena itu, dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Papua, semua pihak harus jujur kepada diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan serta agenda politik individu maupun kelompok mana pun yang mengedepankan perbedaan.
    Dalam perspektif humanisme pula, bukan suatu kemustahilan untuk hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Dari sudut pandang agama pun, kita tidak mengenal pemisahan-pemisahan karena perbedaan ragawi. Melalui humanisme, Afrika Selatan dapat bersatu dan bebas dari belenggu apartheid. Melalui humanisme pula seharusnya bangsa Indonesia dapat melakukan dan berbuat hal yang sama untuk masyarakat Papua. Bersama kita bisa…! 
  • Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak

    Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak
    Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI KOTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember 2011
    Ternyata bukan hanya ganja, mariyuana, rokok, atau bahkan kopi yang membuat seseorang kecanduan. Sebuah kebijakan yang dilanggengkan selama puluhan tahun pun mengakibatkan masyarakat “nyandu”terhadap kebijakan tersebut. Subsidi bahan bakar minyak adalah contoh konkret untuk menggambarkan fenomena tersebut. Selama puluhan tahun, sejak rezim Soeharto, subsidi bahan bakar minyak mendarah-daging di sebagian kelompok masyarakat. Seolah, jika subsidi bahan bakar minyak dicabut, perekonomiannya bangkrut, mati suri. Lalu, bagaimana sebenarnya potret kebijakan subsidi bahan bakar minyak itu?
    Di dunia ini, hanya beberapa gelintir negara yang masih menggelontorkan subsidi via bahan bakar minyak, yaitu Arab Saudi, Iran,Venezuela, plus Indonesia. Bedanya, ketiga negara yang disebut pertama masih surplus minyak, bahkan untuk diekspor. Sedangkan Indonesia? Alih-alih untuk ekspor, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja tak mampu. Secara nasional, kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,3 juta barel per hari. Tetapi produksi minyak nasional hanya mampu memasok sekitar 900 ribu barel. Untuk menambal kekurangan itu, ya, impor.
    Benar, Indonesia telah menjadi nett importer minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi aneh bin ajaib, kendati mengimpor, pemerintah justru menggelontorkan subsidinya makin kencang. Pada 2011, pemerintah menggelontorkan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 126 triliun. Belum lagi subsidi sektor ketenagalistrikan Rp 65 triliun. Bandingkan dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan (Rp 92 triliun), sektor kesehatan (Rp 14 triliun), dan jaminan sosial yang hanya Rp 9 triliun. Jadi, alokasi subsidi bahan bakar minyak tiga kali lipat dari angka yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial! Padahal ketiga sektor itu merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
    Penikmat Subsidi
    Tak bisa dielakkan, secara dominan yang menyeruput gurihnya subsidi bahan bakar minyak adalah kelas menengah perkotaan. Khususnya pemilik kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, sebuah studi menunjukkan lebih dari 50 persen golongan terkaya di Indonesia menikmati hampir 90 persen subsidi bahan bakar minyak.
    Sementara itu, dan ini sangat ironis, kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah justru hanya menikmati sekitar 10 persen. Hasil studi ini menjadi sangat meyakinkan jika dikaitkan dengan data dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas (2010) bahwa tidak kurang dari 85-90 persen subsidi bahan bakar minyak dikonsumsi oleh sektor transportasi, terutama sektor transportasi darat; dengan perincian mobil pribadi 53 persen dan sepeda motor 40 persen. Sedangkan angkutan barang hanya mendapat 4 persen, dan angkutan umum bahkan hanya 3 persen.
    Dengan ilustrasi itu, sektor yang memetik keuntungan besar dari subsidi bahan bakar minyak adalah industri otomotif. Mereka, industri otomotif, bertempik-sorak. Terbukti, pada 2012 Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikondo) menargetkan mobil baru yang terjual sebanyak 800 ribu unit. Dan 70 persennya akan terjual di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Relevan dengan data itu, menurut data Polda Metro Jaya, di Jakarta setiap hari pihaknya mengeluarkan 1.500 STNK untuk sepeda motor baru, plus 300 STNK untuk mobil baru.
    Selain sangat tidak tepat sasaran, subsidi bahan bakar menimbulkan dampak ikutan yang amat parah; misalnya, pertama, dalam konteks perkotaan, akibat langsung dari fenomena ini adalah kemacetan. Bahkan, menurut studi USAID, kerugian sosial dan ekonomi akibat kemacetan di Jakarta minimal mencapai Rp 57 triliun (2008).
    Kedua, relevan dengan hal itu, pemerintah menjadi malas membangun sarana transportasi massal cepat di kota-kota besar. Kalaupun dibangun, belum tentu angkutan massal cepat itu diminati oleh konsumen. Untuk apa menggunakan angkutan umum massal, toh biaya operasi kendaraan pribadi masih sangat murah, karena bahan bakarnya masih disubsidi?
    Ketiga, pemerintah pun menjadi malas untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Padahal negeri Khatulistiwa ini sangat kaya akan sumber-sumber energi baru dan terbarukan, misalnya panas bumi. Bahkan 40 persen energi panas bumi (geothermal) dunia disimpan di perut bumi Indonesia. Itu semua tak pernah dikembangkan, karena pemerintah dikerangkeng oleh subsidi bahan bakar minyak.
    Kesimpulan, Saran
    Pemerintah, bersama DPR, telah menetapkan bahwa pada 2012 tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Artinya, alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak makin tinggi. Jelas, ini suatu pelanggengan kebijakan yang sangat tidak tepat, bahkan sesat pikir. Aneh dan ironis, justru pemerintah berpromosi via iklan di berbagai media, plus di area SPBU, bahwa “bahan bakar minyak bersubsidi hanya untuk golongan yang tidak mampu”. Substansi iklan itu benar. Masalahnya, mengapa  pemerintah hanya berani mengimbau, padahal secara normatif-konstitusional pemerintah mempunyai instrumen yang lebih kuat, yaitu pricing policy. Lagi pula, kalau sudah tahu bahwa pengguna bahan bakar bersubsidi bukan dari golongan yang tidak mampu, mengapa pemerintah hanya berpangku tangan?
    Penggelontoran subsidi via bahan bakar, dan penikmatnya adalah kendaraan pribadi, merupakan kebijakan sesat pikir. Peruntukan subsidi seharusnya dialokasikan untuk komoditas berjangka panjang: subsidi produk pertanian, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jadi, Presiden Yudhoyono (bahkan DPR) seharusnya tidak ciut nyali untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak dengan cara menaikkan harga. Bukan malah menjadikan subsidi bahan bakar minyak sebagai komoditas politik jangka pendek. Bebaskan masyarakat dari penyakit “racun candu” subsidi bahan bakar minyak!