Author: Adul

  • Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI

    Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI
    Muhammad Royyan Firdaus, MAHASISWA AKIDAH-FILSAFAT IAIN CIREBON
    Sumber : JIL, 15 Desember 2011
    Penghormatan terhadap hak- hak manusia (human rights) tampaknya sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa Indonesia. Negara Republik Indonesia (RI) juga sudah menjadi salah satu dari negara-negara peserta karena sudah menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional hak-hak manusia (international human right treaties) yang utama sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Satu kewajiban tambahan adalah mempromosikan hak-hak manusia supaya dapat diketahui publik.
    Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan terhadap hak-hak manusia. Bahkan, Indonesia berusaha mengakomodasi kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita karena suatu kejahatan serius (serious crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida melalui UU No. 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
    Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan ratusan judul buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana. Begitu pula organisasi-organisasi kemasyarakatan baik organisasi yang punya “hubungan” dengan pemerintah (tercatat dari pemerintahan rezim Soeharto hingga sekarang) atau pun berdiri secara independen, bertumbuh biak layak jamur di musim hujan. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat.
    Secara legal maxim, memang kita akui wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat kita. Ironinya, wacana HAM ini justru dibarengi dengan serangkaian fenomena sebaliknya di negeri tercinta ini. Mulai dari kasus Ahmadiyah, pemaksaan para murid non-Islam untuk mengenakan jilbab di berbagai daerah, kasus pembunuhan Munir, Perda- Perda tentang hukuman cambuk dan hukuman mati. Belum lagi kasus-kasus besar yang hilang begitu saja dari perhatian media. Kita bisa sebut di sini misalnya kasus Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II, serta tragedi Tanjung Priok, penyerbuan ormas Islam pada hari Pancasila di Tugu Monas, dan sebagainya.
    Belum lagi kalau kita memasukkan kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks) yang nota bene perhatian pemerintah dalam soal ini kurang serius. Paradigmanya mungkin begini: menangani pelanggaran HAM berat saja yang menjadi prioritas tidak kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa pun jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik belah bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus diinjak dan dibiarkan terus dalam kondisi ketertindasan.
    Pandangan tentang seksualitas, dalam hal ini LGBTI, menempati posisi peripheral atau pinggiran di dalam konstitusi publik. Bagaimana tidak? Konstitusi publik selalu dilegitimasi kekacauan tafsir keagamaan. Sedangkan tafsir keagamaan dihegemoni oleh “paradigm” heteronormativitas, yaitu pandangan bahwa yang disebut normal dalam relasi seksual adalah dengan lawan jenis. Sementara tafsir keagamaan, kita tahu, memandang fenomena LGBTI sebagai immoral, less-religius, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan. Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas ini jugalah yang ikut serta melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku LGBTI; mulai dari pengasosiaan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS, penayangan sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau mendiskriditkan kaum LGBTI (misal sinetron “Azab bagi Homoseksual”), razia satpol PP, hingga mindset negatif publik terhadap mereka.
    Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang berkisah tentang Nabi Luth (lihat Q.S. al-Naml, 27: 54-58; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26: 160-175). Di samping al-Qur’an, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat al-Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan al-Tirmizi, dan masih banyak dasar teologis lainnya. Atas dasar teologis inilah, sejumlah kelompok tertentu yang konon mengaku paling saleh menghakimi seraya memandang mereka (kaum LGBTI) tidak kurang dan tidak lebih layaknya hewan.
    Benarkah al-Qur’an dan hadis yang kita prioritaskan paling “VVIP” sebagai tibyan li kulli syai’ berkata demikian? jika memang benar adanya, lalu apa yang memotivasi Nabi Luth untuk mengeluarkan fatwa tersebut? Apakah hanya karena kaum Nabi Luth melakukan sesuatu yang ma sabaqokum bihaa min ahadin min al-‘alamin (sesuatu yang belum dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini), lantas secara langsung diorentasikan sebagai kegiatan fahisyah/keji? Di samping itu ditemukan ayat lain dalam Q.S. Hud (11: 77-83) yang menjelaskan tawaran Nabi Luth dalam negosiasi menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh pelaku LGBTI. Ayat di atas jelas sekali beraroma kepentingan individu Nabi Luth.
    Hemat saya pribadi, rasanya naïf mengaitkan satu tragedi (azab) dengan sebab tertentu (perilaku kaum Luth), seolah-olah kita tahu persis apa yang menjadi kehendak Tuhan (tragedi pemusnahan kaum Nabi Luth dianggap sebagai akibat perilaku homoseksualitas mereka).
    Menurut hemat saya, “azab” ini sebenarnya lebih disebabkan kepada pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu kehormatannya, bukan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada kesombongan kaum Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya. Kesimpulan ini berdasarkan pada teks suci yang menyebutkan adanya ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir (la in lam tantahi ya luth latakunanna minal mukhrajin, Q.S. al-Syura [26]: 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa Nabi Luth sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum unasun yatathahharun, Q.S. al-A’raf [7]: 82). Selain menghina nabi, kaum Luth juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan membuatnya malu sampai-sampai Nabi Luth mengatakan, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka janganlah kamu memberi malu” (inna ha-ula’i dhaifii fala tafdlahun). Buruknya lagi, kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan siksa dan azab terhadap mereka.
    Jikalau memang Allah membenci kaum LGBTI, toh kaum LGBTI baik-baik saja di Belanda, kanada, dan Inggris dan Negara- Negara yang sudah melegalkan kaum minoritas ini?
    Pada prinsipnya kaum LGBTI ini memiliki dua “varian”. Pertama, bersifat kontruksi sosial budaya, seperti budaya warok Reog Ponorogo, wandhu dalam tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon. Kedua, bersifat “given” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Seorang dokter syaraf dalam suatu forum tertentu menyatakan tentang laporan terbaru dari penelitian Human Genom Project (proyek gen manusia). Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa potensi homoseksualitas adalah sesuatu yang inheren di dalam setiap orang. Struktur gen manusia “pada-mulanya” adalah perempuan. Kromosom Y yang menjadikan seorang laki- laki, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap susunan kromsom manusia. Hanya saja, di dalam diri setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangannya itu bersifat total, maka manusia itu menjadi laki-laki sepenuhnya, sedangkan jika penyimpangannya itu hanya sedikit atau sebagian saja maka muncullah manusia-manusia “yang-lain”, termasuk homoseksual.
    Membaca kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI, jelas memperlihatkan bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat kaum ini karena memaksa mereka untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu demi sebuah “moral publik” yang konsepnya menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia merupakan sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, bahkan orang-orang terdekatnya. 
    Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga diri dan martabat (dignity) seorang manusia melekat. Martabat manusia adalah hal yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945 hasil amandemen beserta UU HAM telah juga dinyatakan bahwa martabat manusia adalah termasuk jenis kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi.  

  • Liberalisasi Kalangan Islamis

    Liberalisasi Kalangan Islamis
    Darmaningtyas, DI REKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI)
    Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011
    Salah satu fenomena penting Musim Semi Arab yang berlangsung sampai kini adalah proses liberalisasi pemikiran yang terjadi di kalangan Islamis. Dalam sebuah kolom di harian Al-Hayat (11 Desember 2011), pemikir Mesir, Al-Sayyid Yasin, menyiratkan adanya gerakan ke tengah bandul yang kini terjadi dalam kancah politik Islam Timur Tengah. “Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis—seperti di Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko—justru tampak makin liberal.”
    Beberapa pernyataan kalangan Islamis Tunisia, Maroko, maupun Mesir setelah menang pemilihan umum menunjukkan bahwa mereka kini lebih liberal dibanding saat masih menjadi oposisi atau dipinggirkan oleh kekuasaan. Abdul Ilah bin Kiran, Sekjen Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko, misalnya, mengatakan bahwa partainya akan memimpin Maroko sebagaimana layaknya partai politik, bukan sebagai institusi keagamaan. Seakan mengamini sekularisme, dia menegaskan bahwa tempat wacana dan anjuran keagamaan adalah masjid, bukan dunia politik. Karena itu, “Kami akan menjalankan politik praktis sembari tidak mencampuri urusan pribadi warga negara.”
    Upaya menunjukkan moderasi Islam, kalau bukan liberalisme, juga tampak dari berbagai pernyataan petinggi Partai Kebangkitan Tunisia maupun Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir. Mereka kini berupaya menghindar atau berkelit dari isu-isu sensitif yang sangat tipikal di kalangan Islamis, seperti soal Islamisasi konstitusi, pemaksaan aturan-aturan syariat, maupun pembatasan kebebasan sipil. Pertanyaannya: apakah kalangan Islamis kini benar-benar mengalami liberalisasi di tengah kekalahan partai-partai non-Islamis, atau ini hanya propaganda politik yang bersifat sementara belaka?
    Setidaknya ada dua pandangan dalam melihat gejala ini. Dalam pandangan yang pesimistis, kalangan Islamis dianggap hanya “berlagak liberal” karena kekuasaan memang belum benar-benar dalam genggaman mereka. Secara geopolitik pun, mereka tetap harus ekstrahatihati dalam menghadapi jebakan-jebakan kekuasaan yang bisa menyalip mereka di tikungan-tikungan terakhir. Karena iklim global masih kurang bersahabat, mereka justru harus menunjukkan bahwa kehadiran mereka di tampuk kekuasaan tidak perlu dikhawatirkan. Moderasi dan liberalisasi dianggap bukanlah kondisi yang real dan genuine terjadi di kalangan Islamis.
    Sementara itu, kalangan yang optimistis justru menganggap moderasi atau liberalisasi kalangan Islamis ini merupakan bagian dari pergulatan internal yang genuine dan respons Islamis yang masuk akal dalam menghadapi tantangan-tantangan kekuasaan. Pandangan ini juga menyatakan bahwa wacana-wacana yang dikembangkan kalangan liberal dalam soal hubungan agama dan negara serta kebebasan sipil sedikit-banyak telah merembes dan menembus banteng-benteng pertahanan ideologis kaum Islamis arus utama, seperti Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks ini, wacana-wacana ekstrem yang berkembang di kalangan Islamis selama ini dianggap hanya sebagai cara mereka untuk mengadakan dan memobilisasi dukungan populer dalam menghadapi rezim yang otoriter. Pandangan kedua ini setidaknya diperkuat beberapa studi tentang pergolakan di jantung Islamis yang antara lain dilakukan Leonard Binder, Raymond William Baker, Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller.
    Studi Binder dalam Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988), misalnya, menunjukkan wujud dua jenis liberalisme Islam yang berkembang di Timur Tengah. Jenis pertama mengakui bahwa lembaga-lembaga politik liberal, seperti parlemen, pemilihan umum yang regular, dan pentingnya jaminan kebebasan sipil, dapat dibenarkan (justifiable) dari sudut pandang Islam. Ia tak hanya tidak bertentangan dengan teks-teks dasar Islam, tapi juga dapat dilihat sebagai aplikasi terhadap sebagian semangat Quran dan praktek perpolitikan Islam yang historis.
    Jenis kedua liberalisme Islam justru menegaskan bahwa tegaknya negara Islam yang liberal bukan hanya mungkin, tapi bahkan sangat diharapkan. Negara yang Islamis sekaligus menghargai kebebasan warganya tak hanya dianggap sesuai dengan semangat Islam, tapi juga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah legal formal Islam yang tidak secara langsung dan ketat mengatur hubungan antara agama dan politik. Tampaknya, jenis kedua dari liberalisme Islam inilah yang kini mulai berkecambah dan mengalami pengarusutamaan di kalangan Islamis Timur Tengah.
    Pandangan Binder ini lebih jauh diperkuat penulis buku Islam Without Fear: Egypt and The New Islamists (2003), Raymond William Baker. Dalam buku ini, Baker menunjukkan varian-varian baru kalangan Islamis Mesir, seperti Muhammad al-Ghazali, Kamal Abu al-Magd, Muhammad Salim al-Awa, Fahmi Huwaidi, Tareq al-Bishri, dan juga Yusuf al-Qardawi. Mereka bukan hanya kalangan Islamis tercerahkan, tapi juga ikut mentransformasi pemikiran politik Islam secara signifikan ke arah yang lebih liberal.
    Kalangan-kalangan Islamis arus utama seperti merekalah yang kini memainkan peranan penting dalam mengeliminasi wajah garang Islam dalam kancah politik. Itu setidaknya tecermin dari buku Al-Qardawi, seperti Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam (Fikih Kekuasaan dalam Islam) ataupun Thariq al-Bishri dalam Al-Malamih al-Amah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami (Corak Umum Pemikiran Politik Islam Modern). Kecenderungan itu lebih jelas lagi dari buku Fahmi Huwaidi, Demi Islam, Demi Demokrasi (Lil Islam wa li al-Dimoqratiyyah), yang sangat menghargai kebebasan sipil dan mampu menghindarkan bahasa politik Islam dari isu-isu trivial yang khas pada kalangan Islamis.
    Studi-studi Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller juga menunjukkan bahwa akomodasi kalangan Islamis dalam kancah politik praktis justru akan memoderasi dan membuat mereka lebih ahlan wa sahlan terhadap pragmatisme. Wacana-wacana mereka yang bersifat ekstrem maupun eksklusif pelan-pelan akan menjadi lebih inklusif ketika berhadapan dengan tantangan untuk sukses memerintah, yang nyata-nyata penuh rintangan baik di tingkat lokal maupun regional.
    Ini artinya, kecenderungan liberalisasi setidaknya menandakan bahwa wacana Islam liberal tidaklah sia-sia dan kini mulai mengalami perembesan—kalau bukan pengarusutamaan—di kalangan Islamis arus utama seperti Ikhwanul Muslimin. Namun apakah negara-negara Arab akan bertransformasi menjadi negara demokrasi liberal, tentu masih harus ditunggu. Sebab, pembaruan Islam acap kali tidak berhasil mengangkut semua gerbong umatnya. Selalu saja ada beberapa segmen yang ketinggalan kereta peradaban, seperti kaum Salafi Mesir saat ini. Sementara Ikhwani mulai friendly terhadap ide dan pandangan Islam yang liberal dan bergerak mendekati model Islamis Turki, kaum Salafi justru kini mengambil dan menempati posisi kolot Ikhwani. ●
  • Berkaca pada Runtuhnya Jembatan

    Berkaca pada Runtuhnya Jembatan
    W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PASCASARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM
    UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011
    Jembatan merupakan salah satu wujud terpenting dari sarana pelayanan publik pemerintah dalam bentuk barang yang dipergunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi sangat penting karena, di balik sebuah jembatan yang terbentang, tecermin hubungan antar wilayah yang melancarkan akses ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah jembatan juga mencerminkan sebuah komitmen penguasa mengenai perlindungan/jaminan keamanan yang diberikan kepada rakyat pengguna terhadap bahaya alam, terutama sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya perlindungan negara terhadap rakyat yang menggunakan jembatan tersebut.
    Jika menggunakan telaah filosofis, ditinjau dari semiotika, jembatan ibarat sebuah uang publik yang menghubungkan negara dengan ruang privat. Ruang publik mempunyai peran yang sangat sentral, yang melaluinya komunikasi sosial dan politik dapat berlangsung. Ruang publik adalah ruang konkret sekaligus abstrak yang di dalamnya opini publik dibentuk. Ruang publik terbentuk ketika dalam suatu masyarakat berkembang minat bersama (common interest) dan mengkomunikasikan serta mensosialisasi minat bersama tersebut tanpa ada paksaan apa pun. Dalam konstruksi sebuah jembatan tecermin hubungan antara negara yang melaksanakan mandat konstitusional untuk melindungi rakyatnya dan aktivitas antarindividu yang menggunakan jembatan sebagai akses penghubung. Ibarat sebuah ruang publik, jembatan menghubungkan kepentingan privat dan fungsi proteksi negara.
    Sungguh merupakan suatu ironi, di saat para atlet negeri ini berhasil mendulang emas di SEA Games dan di tengah sukses penyelenggaraan KTT ASEAN 2011 yang digelar di Nusa Dua, Bali, dalam waktu yang hampir bersamaan, baru saja Jembatan Mahakam II di Kutai Kartanegara, yang menghubungkan Tenggarong Seberang dan Tenggarong Kota, runtuh dan menimbulkan korban luka, meninggal, dan tenggelam di arus sungai Mahakam, serta menyebabkan beberapa unit mobil rusak. Berdasarkan temuan dari Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Timur, Kodim Tenggarong, Kementerian Pekerjaan Umum Bidang Jalan, dan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Tenggarong, jembatan tersebut ternyata sudah enam kali ditabrak ponton, yaitu kapal pengangkut batu bara yang berlambung datar.
    Tabrakan terakhir diindikasikan terjadi pada 23 Januari 2010, yang mengakibatkan jembatan sepanjang tak kurang dari 700 meter dengan lebar sekitar 10 meter dan memiliki tinggi 5 meter ini hampir ambruk. Sejak peristiwa itu, BNPB meminta BPPT melakukan audit teknologi dan sekaligus perbaikan dengan mengencangkan baut di bawah jembatan. Runtuhnya jembatan itu bisa juga akibat, saat perbaikan, jembatan yang menjadi jalur alternatif utama lalu lintas Tenggarong Seberang-Tenggarong Kota ini tidak ditutup. Jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara ini runtuh dalam waktu 30 detik setelah talitali penyangga jembatan gantung ini satu per satu putus. Menjelang jembatan itu runtuh, beberapa saksi mata mengisahkan puluhan
    kendaraan dengan tujuan Samarinda sedang antre di jalur kiri.
    Jika menilik kisah ambruknya jembatan yang juga dikenal sebagai Jembatan Kutai Kartanegara (Kukar) itu, kultur ketidakdisiplinan bisa diletakkan sebagai salah satu faktor utama penyebab runtuhnya jembatan itu. Melihat rentetan tabrakan kapal dengan tiang penyangga utama jembatan tersebut, seharusnya otoritas yang berwenang mengatur pemanfaatan Sungai Mahakam segera membuat kebijakan menutup akses kapal-kapal yang membahayakan jembatan tersebut. Di sisi lain, sudah jamak di negeri ini, mulai dari pengadaan beras hingga pembangunan jembatan maupun jalan tak lepas dari perilaku koruptif. Contoh material konstruksi dari jembatan yang runtuh tersebut harus diteliti di sebuah laboratorium yang independen untuk meneliti kualitas material konstruksi berdasarkan standar konstruksi menurut regulasi di bidang jasa konstruksi. Setiap kegagalan konstruksi membutuhkan analisis mengacu pada etika maupun regulasi konstruksi untuk menemukan akar masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Kontraktor yang membangun dan merawat jembatan merupakan kunci utama untuk menelusuri penyebab robohnya Jembatan Kukar.
    Pembangunan sebuah jembatan mengharuskan adanya perencanaan berdasarkan analisis konstruksi yang sangat cermat, apalagi sebagai sebuah jembatan gantung yang panjangnya lebih dari 500 meter, tentu membutuhkan standar keamanan yang sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura, Jembatan Suramadu memiliki konstruksi yang berbeda dengan Jembatan Kukar. Bahkan jembatan sepanjang 5,4 km yang menghubungkan akses “Kota Buaya” dengan “Pulau Garam” ini diprediksi mampu bertahan hingga 100 tahun. Ditinjau dari aspek manajemen konstruksi, konstruksi yang dipergunakan untuk kedua jembatan tersebut sangat berbeda. Untuk Jembatan Kukar, dipergunakan konstruksi cable stay yang konvensional, sedangkan Jembatan Suramadu menggunakan cable stay namun dirancang secara lebih kokoh dan tinggi. Berbeda dengan konstruksi yang dipergunakan untuk Jembatan Kukar yang merupakan jembatan rangka yang dimodifikasi.
    Runtuhnya Jembatan Kukar juga menjadi cermin ketidaksigapan pemerintah terhadap manajemen bencana. Hal itu juga dikeluhkan SBY sendiri ihwal lambatnya informasi yang diterimanya setelah ambruknya Jembatan Kukar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik lambatnya sistem pelaporan runtuhnya Jembatan Kukar. SBY mengaku menerima informasi musibah ini malah dari SMS dan berita media massa, bukan dari saluran informasi resmi yang seharusnya segera berfungsi setelah terjadinya musibah tersebut. Di era informasi seperti saat ini, tentunya manajemen informasi seperti yang terjadi pada saat robohnya Jembatan Kukar tentu juga mencerminkan kegagalan sistem informasi dan komunikasi pemerintah.
    Sinergi Kebijakan
    Selain itu, belum adanya sinergi kebijakan antarinstitusi penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah tak jarang turut memperparah kondisi pelayanan publik. Pengawasan dan pembinaan jembatan yang ada di seluruh Indonesia sepenuhnya tetap berada di bawah kendali Kementerian Pekerjaan Umum. Hal itu juga berlaku untuk Jembatan Kutai Kartanegara yang roboh tersebut meski jembatan tersebut hanya menghubungkan antarkecamatan. Meskipun dibangun oleh pemerintah kabupaten, Kementerian Pekerjaan Umum semestinya ikut bertanggung jawab mengawasi sejak pembangunan hingga pemeliharaan. Pada saat pemeliharaan pun ada sejumlah pedoman pemeliharaan yang harus dipatuhi. Pengerjaan harus dilakukan dengan menggunakan tenaga ahli di bidangnya.
    Dinas perhubungan dan kepolisian setempat seharusnya juga bertanggung jawab dalam menentukan izin akses lalu lintas di atas jembatan itu. Jika perbaikan hanya berupa pengecatan jembatan, maka lalu lintas di atas jembatan masih diperkenankan. Namun, jika merupakan perbaikan berkala yang menyangkut struktur jembatan, seharusnya diambil langkah tegas untuk menutup akses lalu lintas di atas jembatan itu.
    Pemeliharaan sebuah jembatan merupakan suatu hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan momentum saat membangun jembatan itu. Pemeliharaan sebuah jembatan harus diserahkan kepada kontraktor yang memiliki standar, karena di balik pemeliharaan sebuah jembatan tecermin manajemen keselamatan terhadap rakyat pengguna jembatan itu. Hal itu menjadi bagian dari fungsi proteksi negara terhadap rakyatnya. Jembatan merupakan salah satu sarana pemerintah (government instrument) yang harus dikelola berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti asas kecermatan, asas kehati-hatian, dan asas perlindungan keselamatan publik.
    Runtuhnya Jembatan Kukar dan beberapa jembatan lain setelah ambruknya Jembatan Kukar, antara lain di Sulawesi Selatan dan Papua, untuk kesekian kalinya bisa digunakan sebagai cermin mengenai perlunya ada sinergi antaraktor kebijakan dan sekaligus pentingnya memiliki kultur kedisiplinan sebagai sebuah bangsa yang besar. Rusaknya sebuah fasilitas publik selama ini sering kali hanya merupakan ujung dari ruwetnya berbagai persoalan di belakangnya, dari soal lemahnya koordinasi hingga korupsi. Sangat mungkin, di balik kegagalan sebuah konstruksi juga tecermin mentalitas korup yang abai terhadap dampak keselamatan sebuah konstruksi fisik, yang pada tingkat tertentu juga merusak konstruksi sosial suatu negara. ●
  • Berharap Masih Ada Asa pada Tahun 2012

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Berharap Masih Ada Asa pada Tahun 2012
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Tujuh bulan lagi Pemilu Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta digelar. Selama masa itu, kemungkinan besar pejabat di lingkup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak berani mengambil keputusan strategis. Selain takut risiko, semua pihak juga disibukkan urusan pilkada dan kampanye.
    Kondisi kritis ini, jika tidak dicermati secara apik, bisa berdampak signifikan terhadap mobilitas ataupun aktivitas Jakarta sebagai ibu kota negara. Padahal, masih banyak persoalan yang tertinggal pada 2011. Pekerjaan yang belum selesai adalah kemacetan yang kian menjadi, perbaikan transportasi publik yang belum maksimal, banjir dan penyediaan ruang terbuka hijau, serta tata ruang yang tak sinkron dengan infrastruktur lainnya.
    Namun, ada juga beberapa catatan positif yang dilakukan pemerintahan Fauzi Bowo selama tahun 2011, yakni perbaikan di bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya, banyak puskesmas tingkat kelurahan memperoleh ISO 9001:2008. Jumlah puskesmas rawat inap terus bertambah dan semua puskesmas kelurahan bisa melayani perawatan gigi hanya dengan tarif Rp 5.000. Sementara pelayanan terhadap keluarga miskin jumlahnya terus naik dari 2,3 juta warga tahun 2009 menjadi 2,5 juta warga tahun 2010. Tahun 2011 ditargetkan naik menjadi 2,7 juta warga.
    Di bidang pendidikan, DKI Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar 27,05 persen dalam APBD. Dalam hal kesejahteraan guru, mereka mampu memberikan gaji hingga Rp 6 juta-Rp 8 juta per bulan.
    Buruknya Koordinasi
    Namun, ada juga catatan tebal yang harus diperhatikan Fauzi Bowo akibat buruknya koordinasi dan ketidakprofesionalan dalam pelaksanaan kerja proyek gorong-gorong di sisi timur Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Proyek yang pengerjaannya dimulai pada pertengahan Oktober 2011 itu mengakibatkan kemacetan hebat selama berminggu-minggu di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Jalan Jenderal Sudirman.
    Selain memakan banyak korban pengendara sepeda motor yang terpeleset akibat ceceran tanah dan lubang yang menganga, proyek itu juga menguras energi warga saat melakukan perjalanan. Belum lagi bicara kerugian ekonomi akibat menurunnya produktivitas dan pemborosan energi.
    Cara kerja seperti ini mencerminkan koordinasi yang buruk di level pelaksana. Kondisi yang sama sering terjadi dalam hal gali lubang tutup lubang di sejumlah wilayah Jakarta, entah untuk pengerjaan serat optik, pipa PDAM, ataupun gorong-gorong. Tidak heran banyak jalan berlubang, rusak, atau bergelombang di Jakarta.
    Padahal, jalan rusak merupakan salah satu penyebab utama kecelakaan. Simak saja data Operasi Zebra yang berlangsung selama dua pekan, terjadi 200 kasus kecelakaan. Dari jumlah itu, 152 kasus kecelakaan akibat faktor jalan, antara lain 75 kasus karena jalan berlubang, 14 kasus jalan rusak, 38 kasus jalan licin, dan 24 kasus jalan berlubang.
    Masalah Banjir
    Catatan lain yang tidak boleh dilupakan adalah banjir yang menimpa warga Kampung Pulo, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, yang terjadi sejak Maret 2011 hingga kini. Selain meminta perlindungan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, warga juga meminta Pemprov DKI menghilangkan banjir akibat penyempitan di Sungai Krukut yang menciut dari 4-6 meter menjadi 1-3 meter agar rumah warga RT 09, 10, 11, dan 14 Kampung Pulo tak lagi terendam.
    Masalah itu cuma satu contoh kasus. Belum lagi bicara banjir di wilayah lain akibat 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Sementara pada saat sama terjadi curah hujan yang tinggi, kapasitas sungai terus menciut, ditambah rob yang menghadang laju air ke laut.
    Selain itu, alih fungsi lahan, sungai, dan situ juga terus terjadi dengan cepat untuk kawasan permukiman ataupun area bisnis. Kondisi ini diperparah oleh besarnya eksploitasi air tanah akibat ketidakmampuan PDAM memasok air bersih secara merata kepada semua warga. Dampaknya, penurunan tanah di Jakarta kian cepat sehingga air kian sulit diserap dan lari ke laut.
    Oleh sebab itu, tugas jangka menengah dan panjang Pemprov DKI adalah konsisten menjaga ekosistem. Tidak bisa semua proyek masuk-keluar semaunya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, seperti proyek Waduk Krukut. Proyek yang akan dikerjakan pada tahun 2012 itu muncul gara-gara banjir di Kampung Pulo.
    Transportasi Publik
    Pembangunan fasilitas transportasi publik kondisinya nyaris setali tiga uang. Tetap buruk dan tidak memadai akibat tidak imbangnya antara jumlah perjalanan orang yang mencapai 22,5 juta trip per hari dan pengadaan armada transportasi publik. Akibatnya, sekitar 78 persen warga memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian, sisanya memakai bus transjakarta berkapasitas angkut 250.000 orang dan kereta komuter 400.000 orang per hari.
    Kemampuan tampung jalan di Jakarta hanya 1 juta unit, sedangkan jumlah kendaraan yang melakukan perjalanan mencapai 3 juta unit. Belum lagi setiap hari bertambah 1.000 sepeda motor baru dan sekitar 300 mobil baru. Praktis jalan di Jakarta nyaris tidak bergerak dan macet sepanjang hari.
    Sementara itu, kualitas kriminalitas di Jakarta kian meningkat, tak mengenal waktu, dan tak mengenal strata ekonomi korban. Kejahatan tersadis menimpa mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Livia. Korban tak hanya dirampok hartanya, tetapi juga diperkosa dan dibunuh. Selain Livia, masih ada kasus serupa, bahkan pada Rabu (14/12) menimpa seorang pedagang sayur.
    Belum lagi kasus mutilasi yang menimpa ibu dan anak di wilayah Jakarta Utara hanya karena diminta dinikahi. Kasus lain yang tak kalah heboh adalah pembunuhan pelajar pemenang olimpiade sains nasional, Christhoper, oleh penganggur hanya karena tergiur telepon seluler.
    Semua itu begitu mudah dilakukan oleh pelaku hanya karena tergiur hal sepele. Semoga masih ada asa pada tahun 2012 di kota yang kian sakit dan terasing ini.(Banu Astono)
  • Belum Ada Satu Kata Hadapi Kemacetan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Belum Ada Satu Kata Hadapi Kemacetan
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Sudah setahun sejak Wakil Presiden Boediono mengeluarkan 20 langkah mengatasi kemacetan di Jabodetabek, yang dikerjakan baru soal penertiban parkir di pinggir jalan, sterilisasi jalur busway, dan penambahan park and ride di dekat stasiun kereta rel listrik.
    Sementara benih otoritas transportasi Jabodetabek cuma sebatas dibahas dan dipresentasikan. Dampaknya, kemacetan seakan tidak pernah beranjak dari Jakarta dan sekitarnya. Saban pagi, ribuan atau bahkan jutaan kendaraan dari Bodetabek masih membanjiri Jakarta.
    Bahkan, di sejumlah titik masuk ke Jakarta kemacetan masih tampak vulgar. Serbuan kendaraan pribadi ke Jakarta, antara lain, terlihat dari kenaikan volume kendaraan yang masuk Gerbang Tol Jagorawi di Bogor 3-4 persen per tahun. Sementara dari 24.000 kendaraan yang masuk di Gerbang Tol Ciawi sekitar 30 persen melaju pada pagi.
    Hal serupa terjadi di Kota Tangerang. Tahun 2010 tercatat 39.081 kendaraan yang menuju Jakarta melalui beberapa jalan. Jumlah ini naik dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
    Yang lebih mendesak dipikirkan, meroketnya pertumbuhan kendaraan di Jabodetabek. 
    Polda Metro Jaya mencatat kendaraan di wilayah hukum Polda sampai Oktober 2011 mencapai 13.122.973 unit, kendaraan pribadi 12,7 juta unit. Padahal, 2009 masih 9,6 juta unit. Eksesnya, angka kecelakaan terus meningkat. Kurun Januari-Oktober 2011, tercatat 6.728 kasus kecelakaan yang menyebabkan 935 orang meninggal. Selama 2010, kecelakaan 8.235 kali, dan 1.048 orang meninggal. Hal ini karena buruknya manajemen angkutan umum, baik untuk mengakomodasi perjalanan komuter maupun perjalanan di dalam Jakarta.
    Kecelakaan dan Pelayanan
    Pembenahan transportasi angkutan umum darat harus dilakukan karena kenyamanan dan keamanannya masih jauh dari harapan. Sedikitnya ada 877 kendaraan umum—termasuk transjakarta—mengalami kecelakaan pada Januari hingga Oktober 2011. Sebagian besar terjadi lantaran sopir yang ugal-ugalan demi ”kejar setoran”.
    Belum lagi kasus pemerkosaan di angkutan umum yang sempat mencuat. Tindakan reaktif diambil jajaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, yakni sebatas menguliti kaca film angkutan umum dan membuat kartu identitas sopir.
    Sementara faktor kenyamanan angkutan umum, seperti kualitas pengemudi, keandalan kendaraan, dan kepemilikan angkutan, belum mendapatkan dorongan penuh untuk berubah. Muncul wacana menghapus kepemilikan kendaraan umum pribadi menjadi kepemilikan kolektif, misalnya koperasi atau badan usaha lainnya, sehingga bisa dikontrol sesuai dengan standar pelayanan minimal.
    Selain itu, sistem setoran diganti dengan penggajian awak bus. Hal ini untuk menghindari persaingan tidak sehat di jalanan yang bisa membahayakan penumpang dan pengguna jalan lainnya. Kondisi trayek yang masih tumpang tindih dan tidak jelas antara angkutan utama dan penyangga juga perlu dibenahi. Kenyamanan dan keamanan angkutan umum merupakan taruhan untuk menarik orang agar mau meninggalkan kendaraan pribadi dan naik angkutan umum. Tanda kehancuran angkutan umum mulai terlihat.
    Di Kota Bogor, hanya 15.000 orang memakai jasa bus per hari. Padahal, ada 207 bus besar dan 152 bus dengan kapasitas angkut 12.080. Apabila setiap bus bisa pergi dua kali ke Jakarta, paling tidak tersedia 24.000 kursi. Di Kota Tangerang, jumlah penumpang angkutan umum juga terus turun, dan kini tinggal 40 persen dari kapasitas angkut.
    Kapasitas Angkut Stagnan
    Kesemrawutan manajemen angkutan umum terlihat dari kapasitas angkut yang cenderung stagnan. KRL, misalnya, masih berkutat di angka angkut 400.000 orang per hari. Padahal, Wapres menargetkan 1,2 juta orang per hari terangkut pada 2014. Namun, target itu akhirnya diundur jadi 2019. Itu pun dengan catatan jika ada komitmen dari semua pihak untuk memajukan KRL. Sejumlah perubahan KRL tahun ini, seperti sistem operasi tunggal dan jalur lingkar, memang mendesain KRL mendekati pola pengangkutan kereta komuter ideal. Namun, ini tak serta-merta mendongkrak signifikan daya angkut.
    Harapan bertumpu pada pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 yang menugaskan PT KAI untuk mengurus sarana dan prasarana jalur lingkar Jabodetabek.
    Sementara bus transjakarta tahun ini secara efektif beroperasi di dua jalur baru, yakni koridor 9 dan 10. Namun, pembukaan jalur baru tidak serta-merta meningkatkan kualitas dan pelayanan busway. Seperti KRL, jadwal kedatangan busway masih acak-acakan. 
    Terobosan untuk menempatkan pemantau bus di koridor 1 belum terlampau efektif untuk memberikan kepastian kepada penumpang. Berbagai persoalan yang perlu dibenahi ini membuat daya angkut transjakarta masih stagnan.
    Pertambahan penumpang umumnya terjadi karena ada pembukaan jalur baru. Dengan jumlah bus 525 unit, kapasitas angkut transjakarta berkisar 350.000 per hari atau 89 juta per tahun. Jika digabungkan antara KRL dan transjakarta, kapasitas angkut sehari berkutat di 750.000-800.000 perjalanan. Padahal, angka perjalanan di Jakarta ditaksir tidak kurang dari 20 juta per hari. Perlu solusi cerdas untuk menyelesaikannya sebelum sebagian besar warga kota ini menjadi ”stroke”.

    (Antony Lee/Pingkan Elita Dundu/Ratih P Sudarsono/Agnes Rita Sulistyawaty)

  • Jangan Lupa Manusianya

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Jangan Lupa Manusianya
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Kesehatan adalah kekayaan yang sesungguhnya, bukanlah kepingan-kepingan perak atau emas. Namun, seseorang yang mengabaikan pendidikan juga akan lumpuh sampai akhir hidupnya.
    Filsuf asal India, Mahatma Gandhi, dan filsuf Yunani kuno, Plato, sudah mengingatkan itu berabad-abad lalu.
    Tak heran, tahun 2011 ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berupaya melakukan sejumlah perbaikan di bidang pendidikan dan kesehatan.
    Hal ini terlihat dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2011. Di bidang pelayanan pendidikan, alokasi APBD Jakarta bahkan melampaui amanat Undang-Undang Dasar, yaitu sekurang-kurangnya 20 persen.
    Alokasi anggaran pendidikan di DKI tahun 2011 mencapai 27,05 persen. Dengan anggaran sebesar itu, DKI mampu memenuhi kebutuhan pemberian bantuan operasional pendidikan (BOP) dan bantuan operasional sekolah (BOS).
    Kesejahteraan guru pun terus ditingkatkan. Saat ini, total penghasilan guru di Jakarta berkisar Rp 6 juta-Rp 8 juta per bulan. Ini merupakan take home pay tertinggi di Indonesia.
    Kemajuan layanan pendidikan dapat dilihat dari indikator tingkat kelulusan. Tahun 2011, tingkat kelulusan untuk SD sebesar 100 persen, SMP 99,99 persen, SMA 99,53 persen, dan SMK 99,87 persen.
    Sektor kesehatan, meski tidak dialokasikan anggaran sebesar pendidikan, juga menunjukkan perbaikan. Membaiknya pelayanan kesehatan di puskesmas adalah salah satu indikatornya.
    Tahun 2011, sebanyak 49 puskesmas kelurahan di DKI Jakarta menerima ISO 9001:2008 atas kualitas pelayanan yang diberikan. Ditambah dengan capaian tahun sebelumnya, sebanyak 85 puskesmas kelurahan di DKI sudah meraih ISO dari total 338 puskesmas.
    Jumlah puskesmas kecamatan yang menerapkan rawat inap pun terus bertambah. Pada tahun 2010 hanya ada tiga puskesmas, tetapi pada tahun 2011 bertambah enam puskesmas.
    Kini, semua puskesmas kelurahan juga telah mampu memberi layanan klinik gigi dengan tarif yang relatif murah, yakni Rp 5.000.
    Layanan poli rawat jalan di puskesmas kelurahan juga semakin bertambah dengan jumlah pengunjung yang semakin meningkat.
    Sementara itu, untuk RSUD, Pemprov DKI menargetkan semua rumah sakit daerah meraih ISO 9001:2008 dan melakukan akreditasi 16 jenis layanan untuk meraih akreditasi pelayanan lengkap.
    Sementara itu, terkait dengan pelayanan kesehatan keluarga miskin, jumlah penerima layanan kesehatan keluarga miskin meningkat dari 2,3 juta warga pada tahun 2009 menjadi 2,5 juta warga pada tahun 2010. Tahun 2011, Pemprov DKI menargetkan 2,7 juta warga dapat dilayani melalui program untuk keluarga miskin ini. Target ini hampir tercapai.
    Layanan kesehatan yang baik tentunya akan berdampak pada peningkatan usia harapan hidup. Dalam tiga tahun terakhir, usia harapan hidup warga Jakarta memang mengalami peningkatan. Tahun 2010, rata-rata usia harapan hidup pria di Jakarta 74,3 tahun dan wanita 77,9 tahun.
    Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 nanti juga bisa lebih memastikan keberhasilan DKI. Tiga tahun terakhir, DKI memang terus mengalami peningkatan. Tahun 2010, IPM mencapai 77,8. Angka itu tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di seluruh Indonesia.
    Jangan Proyek Semata
    Meskipun demikian, terlepas dari sejumlah capaian itu, masih banyak juga pekerjaan rumah yang harus dilakukan DKI pada tahun 2012.
    Wajah suram pendidikan di DKI masih banyak terlihat. Perbaikan fisik yang menjadi fokus dinas pendidikan ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Sejumlah bangunan yang baru saja direhabilitasi ternyata berkualitas tidak baik. Contoh paling baru, runtuhnya plafon ruang kelas III SD Negeri Kelapa Dua 03 Pagi di Kecamatan Kebon Jeruk, 7 Desember lalu.
    November lalu, ambrolnya plafon SDN 01 di Jalan Utan Kayu bahkan melukai 10 siswa. Plafon SDN 13 Pagi/SDN 14 Petang di Jalan Pondok Gede juga runtuh pada bulan sama. Keduanya juga baru direnovasi dalam 1-2 tahun lalu. Sebelumnya, pada Mei, kanopi SDN 02 Kwitang, Jakarta Pusat, juga ambrol dan menghancurkan kantin.
    Kasus pembakaran ruang kelas oleh siswa di SMAN 19 adalah indikasi lain bahwa masih ada yang salah dengan sistem pendidikan yang dijalankan. Ini belum lagi jika bicara soal kekerasan di kalangan pelajar.
    Tidak sedikit pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam. Tawuran antarsekolah juga masih saja terjadi dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Sepanjang tahun 2011, setidaknya empat siswa tewas akibat kekerasan di kalangan pelajar.
    Padahal, fenomena tawuran sudah berlangsung lebih dari 30 tahun di Jakarta. Artinya, sistem untuk menekan tawuran masih jalan di tempat.
    Korupsi di dunia pendidikan pun menjadi catatan tersendiri. Skandal dana BOS/BOP yang diungkap Indonesia Corruption Watch di sejumlah sekolah adalah contohnya.
    Evaluasi juga perlu dilakukan pada proyek-proyek pembangunan fisik sarana kesehatan masyarakat. Meskipun dari sisi kuantitas jumlahnya semakin banyak, hal ini belum meningkatkan kualitas mental masyarakatnya.
    Jakarta ternyata tergolong tinggi dalam hal gangguan mental dan emosional warganya, seperti depresi dan perilaku agresif. Jumlah penderita gangguan jiwa ringan naik dari 159.029 orang pada tahun 2010 menjadi 306.621 orang pada triwulan kedua tahun 2011. Gangguan jiwa juga lebih banyak menimpa warga usia produktif, 20-40 tahun.
    Para ahli kesehatan jiwa bahkan menilai bahwa Jakarta sudah terlambat untuk membangun kota yang bisa menyehatkan jiwa warganya. Lingkungan permukiman yang tidak sehat karena kepadatan dan sanitasi yang tidak memadai adalah beberapa penyebabnya.
    Kemacetan parah di jalan yang hampir setiap saat ditemui warga Jakarta memperparah hal itu. Ini belum lagi beban hidup di kota yang sangat berat. Sementara ruang terbuka hijau sebagai oase warga untuk melepas kepenatan kian tergusur oleh gedung-gedung.
    Tak heran, toleransi semakin menurun dan tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, perceraian, serta bunuh diri kerap terjadi. Jika tahun mendatang perencanaan kota yang sehat jiwa tidak segera dijalankan, bukan tidak mungkin fenomena gunung es ini bisa meledak dan memunculkan kekacauan sosial.
    Sosialisasi nilai-nilai melalui dunia pendidikan menjadi penting. Peran keluarga dalam pendidikan juga menjadi vital. Pemprov DKI Jakarta selaku pembuat kebijakan perlu membuat terobosan. Pembangunan harus sampai menyentuh mental manusianya, tidak cukup sekadar menjadi proyek.

    (M Clara Wresti/Fransisca Romana)

  • Rasa Terasing dan Cari Jalan Pintas

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Rasa Terasing dan Cari Jalan Pintas
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Kejahatan di angkot dan bertambahnya angka bunuh diri kaum menengah ke atas pada tahun ini menjadi babak baru peristiwa kriminal Jakarta.
    Kamis (1/9), RS (27), seorang karyawati, diperkosa saat pulang bekerja. Malam itu, di atas angkot D-02 jurusan Pondok Labu-Ciputat, Jakarta Selatan, perempuan itu ”digilir” empat pemerkosa yang tidak lain adalah awak angkot itu. Sebelumnya, Selasa (16/8), jenazah mahasiswi Bina Nusantara, Livia (21), ditemukan di Cisauk, Kabupaten Tangerang. Terungkap kemudian korban dirampok, diperkosa, dan dibunuh empat sopir tembak mikrolet M-24, Slipi-Srengseng.
    Dinas Perhubungan DKI Jakarta bereaksi dengan seragam dan identitas resmi sopir angkot. Harapan mereka tidak akan ada lagi sopir tembak yang menjadi sumber kejahatan di angkot.
    Ironisnya, di tengah operasi, sopir tembak angkot dengan nomor polisi B 2945 WT, Apriyansyah (16), teler setelah menenggak minuman keras dan empat butir tablet perangsang.
    Pria tanpa surat izin mengemudi yang cuma jebolan SD ini tertidur di atas kemudi kendaraan yang berhenti di persimpangan Jalan Otto Iskandardinata, Jatinegara, sehingga membuat macet lalu lintas.
    Masih Sebatas Atribut
    Kasus Apriyansyah menunjukkan, langkah Pemerintah DKI masih cuma sebatas atribut, dan tidak menyelesaikan akar masalah sopir tembak. Sopir tembak menjamur sejak jumlah angkot melebihi kebutuhan penumpang. Para sopir resmi menjadi sulit membayar setoran harian kepada para pemilik angkot.
    Untuk memperoleh pendapatan lebih banyak, para sopir resmi menggunakan beberapa sopir tembak. Dengan demikian, waktu bekerja bisa lebih panjang. Untuk menekan biaya, para sopir resmi menggunakan anak-anak jalanan. Sopir resmi senang, anak-anak jalanan pun senang karena tidak lagi mendapat sebutan penganggur, tetapi pekerja.
    Dengan kenyataan seperti ini, langkah yang seharusnya dilakukan Pemerintah DKI adalah menghitung kembali kebutuhan angkot di setiap trayek. Caranya mudah. Survei pendapatan sopir dan pemilik angkot.
    Soal bisnis pemilik angkot, patokannya adalah angka rata-rata bunga pinjaman bank berbanding nilai investasi angkot. Patokan untuk sopir angkot adalah pendapatan yang ia bawa pulang setelah dipotong setoran dan biaya operasional. Selama pendapatan sopir mampu memenuhi kebutuhan minimalnya, ia tidak akan menggunakan sopir tembak. Kebutuhan minimal itu adalah kebutuhan makan keluarga dan biaya kontrak rumah.
    Bunuh Diri
    Sejak Januari sampai awal Desember 2011, sekurangnya ada enam pelaku bunuh diri dari lingkungan menengah ke atas di Jakarta. Sabtu (12/2), Siti Nazmatu Sadiah (22) terjun dari lantai 22 Essence Darmawangsa, Jakarta Selatan. Rabu (3/3), Innawati Kusumo (52) meloncat dari lantai 21 Apartemen Mediterania Regency, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sabtu (24/9), Steven Wijaya (23) terjun dari lantai 24 Salemba Residence, Jakarta Pusat. Minggu (21/11), Indah Haspriantini meloncat dari lantai tiga ruko di Kompleks Apartemen Pallazo, Kemayoran, Jakpus.
    Selasa (23/11), Caroline Oktavianie Tamboto (19) terjun dari lantai sembilan Kondominium Golf Karawaci Town Richmond, dan terakhir, Minggu (4/12), Kevin (21) melompat dari lantai 10 areal parkir mal timur Grand Indonesia. Dibanding jumlah total pelaku bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri dari kalangan menengah ke atas masih kurang dari 10 persen. Polda Metro Jaya mencatat, tahun 2009, jumlah pelaku bunuh diri 165 orang, tahun 2010 naik menjadi 176 orang.
    Meski tidak ada penjelasan mengenai kategori kelas ekonomi dan sosial para pelaku dalam catatan tersebut, bisa diduga para pelaku nyaris seluruhnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari identitas dan latar belakang pelaku yang menghadapi tekanan ekonomi. Mereka umumnya memilih terjun dari menara-menara pemancar, melompat dari jembatan, minum racun, menggantung atau membakar diri.
    Kohesi Sosial
    Para pelaku dari golongan menengah ke atas memilih cara yang nyaris seragam, melompat dari mal, apartemen, atau bangunan tinggi lainnya. Meski relatif bebas dari tekanan ekonomi, mereka menghadapi persoalan eksistensi diri, seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia karena kehadirannya tidak lagi dianggap berarti bagi orang lain.
    Ada berbagai sebab yang membuat manusia mengalami perasaan seperti itu. Meski demikian, semuanya bermuara pada melemahnya kohesi sosial.
    Kohesi sosial melemah, antara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski dekat.
    Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi hal mendasar yang harus dibahas. Kita bisa memulai bagaimana semua pihak meminimalkan rasa alienasi warga di perkotaan yang kian menguat.

    (WINDORO ADI/RATIH PRAHESTI SUDARSONO/ COKORDA YUDISTIRA/ MADINA NUSRAT)

  • Doa Parjianti di Akhir Tahun

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Doa Parjianti di Akhir Tahun
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Bangun di pagi hari di akhir November 2011. Mendung menggantung, gerimis mulai mengguyur Kampung Pulo, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Parjianti menghela napas. Sekilas dilihatnya sepasang sepatu bot, ember, kain pel, dan sapu plastik di sudut rumahnya. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia yakin banjir akan menggenangi rumahnya lagi.
    Ingatan Parjianti (38), warga RT 11 Kampung Pulo, kembali ke bulan ketiga di tahun ini. Waktu itu musim hujan baru saja lengser dari puncaknya. Namun, sisa hujan justru menjadi petaka. Sungai Krukut yang melintasi kampungnya sejak Maret itu menyempit semakin parah.
    Dari sungai dengan lebar 4-6 meter, kini menjadi 1-3 meter saja. Sebabnya, pemilik tanah tepat di seberang Kampung Pulo berbenah. Gorong-gorong besar dibuat lengkap dengan talut, sebagian badan sungai tertutup meski di bawahnya ada saluran air, ada jalur pejalan kaki, dan tanah lapang cukup luas. Namun, bagi warga, harus berkubang air kotor berbulan-bulan tentu membutuhkan ketahanan ekstra.
    Tanah Kampung Pulo memang berstatus tanah garapan. Banyak warga mengaku membeli tanah kepada pengurus kampung setempat belasan hingga 25 tahun silam. Sebagian mengaku menyimpan bukti kuitansi pembelian tanah yang rata-rata pada 1980-an seharga Rp 50.000 per meter persegi. Mereka juga warga resmi karena memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga resmi.
    Warga Kampung Pulo hanya bagian kecil dari sekian banyak warga perkampungan pinggir kali. Di sepanjang Ciliwung, dari Kalibata sampai Manggarai, Jakarta Selatan, diperkirakan ada 71.000 keluarga penghuni bantaran.
    Penataan Warga Bantaran
    Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mau dianggap melakukan pembiaran. Selain meragukan mereka, Gubernur Fauzi Bowo juga menyatakan telah mendatangi dan memperingati warga akan adanya ancaman bencana tersebut. Sekaligus menjelaskan soal rencana kerja birokrasinya membuat waduk di Kampung Pulo sebagai parkir air agar potensi banjir bisa dikurangi. ”Saya meragukan legalitas mereka,” ujar Fauzi.
    Hal itu diperkuat oleh penegasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Sarwo Handayani yang menyatakan sudah ada agenda penataan warga bantaran kali. Apabila benar rencana pembangunan waduk itu seperti yang dikatakan Gubernur Fauzi Bowo, proyek tersebut akan mulai dilaksanakan pada 2012.
    Menurut Sarwo, agar hak warga tetap terlindungi dan terlayani, DKI menerapkan resettlement solution framework. ”Kami gunakan konsep ini saat DKI dan pemerintah pusat melaksanakan pengerukan dan penataan 13 sungai mulai 2012. Kami akan melakukan sejumlah pendekatan kepada masyarakat dibantu para ahli, termasuk sosiolog, perencana kota, lingkungan, dan lainnya,” katanya.
    Rencana Pemprov DKI untuk menata bantaran kali bukan persoalan mudah. Menyitir pendapat sosiolog Robertus Robert yang pernah mengadakan penelitian tentang penghuni bantaran, warga di pinggir Ciliwung rata-rata sudah menetap tiga sampai empat generasi. Urbanisasi dan pertarungan mendapatkan rezeki di Ibu Kota yang dipandang lebih mudah dibandingkan dengan di daerah asal melatarbelakangi pilihan hidup warga bantaran tersebut.
    Setelah beradaptasi puluhan tahun mereka tentu butuh pendekatan dari berbagai bidang ilmu dan proses yang cukup memakan waktu agar bersedia ditata dan direlokasi. ”Kalau tidak, yang akan muncul adalah bencana sosial,” kata Robertus.
    Kacau di Mana-Mana
    Ini salah satu sisi wajah kota ini yang menanggung beban dan konsekuensi penataan kota yang tidak baik. Bahkan, ahli tata kota dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, lebih berani lagi mengatakannya, amburadul. Suryono, yang mendalami dan mengikuti perkembangan pemanfaatan lahan dan perkembangan properti di Jabodetabek, khususnya di wilayah Jakarta, menyimpulkan tata Kota Jakarta saat ini kacau-balau.
    Masalah itu tidak hanya terjadi di bantaran kali, tetapi juga kawasan premium. Apabila tertulis dalam draf perencanaan pembangunan, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, itu pun baru sekadar wacana.
    Lihatlah Grogol sekarang, sepanjang Jalan S Parman sampai Gatot Subroto tumbuh berapa pusat perbelanjaan besar? Berapa pintu masuk ataupun keluar tol, adakah jalan-jalan alternatif ketika terjadi kemacetan luar biasa di ruas jalan itu?
    Kondisi ini belum membedah soal manajemen lalu lintas yang kacau, memecahkan masalah limbah air kotor ataupun sampah rumah tangga yang terus meningkat volumenya, plus tidak adanya keseimbangan volume rumah mewah, sedang, dan sederhana.
    Pembangunan fasilitas transportasi publik terasa terengah-engah mengejar pembangunan infrastruktur lain, terkadang terlihat ketidaksinkronan antara keduanya. Misalnya, syarat utama dibangunnya perumahan atau kompleks perkantoran sebenarnya harus dekat dengan fasilitas transportasi publik. Kenyataannya, perumahan, perkantoran, pusat belanja berlomba hadir dekat mulut tol atau jalan layang. Kendaraan pribadi makin merajai jalanan. Boleh dibilang, kendaraan pribadi menjadi ”transportasi massal” di Jakarta.
    Mengapa semua ini terjadi karena seluruh program tidak pernah melibatkan rakyat dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan. Mengutip pendapat planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, rakyat hanya sebagai penonton, sementara semua pembangunan masih berorientasi proyek dan sekadar mengejar keuntungan atau jalan keluar sesaat.
    Di tengah kekacauan itu, penghuni tepi kali yang tidak memiliki kekuatan politis ataupun ekonomi hanya bisa berdoa, semoga ada secercah asa positif pada tahun 2012.

    (NELI TRIANA)

  • Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional

    Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional
    Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN, MAGISTER FILSAFAT UI
    Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011
    Sektor ekonomi 2012 sejatinya merupakan tahun vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya dan risiko) akibat kemungkinan datangnya imbas yang tergelar di tahun ini dan berbagai yang siap menghadang di tahun berikutnya. Oleh karena itu, memetakan berbagai faktor risiko bagi perekonomian Indonesia menjadi suatu keniscayaan. Ibaratnya, sebagai langkah ‘sedia payung sebelum hujan’ untuk menghadapi berbagai kemungkinan buruk di masa depan.
    Sekurangnya ada empat risiko utama memasuki tahun 2012 yang harus kita cermati supaya bisa lebih siap dalam menjalani perekonomian nasional.
    Pertama, faktor risiko berimbasnya krisis ekonomi di AS dan krisis utang di Eropa pada perekonomian Indonesia. Meskipun berbagai kalangan berusaha menenangkan bahwa perekonomian kita cukup kuat dan bahwa krisis global tak akan banyak memengaruhi pendapatan ekspor kita secara keseluruhan karena adanya pasar alternatif, tak urung faktor risiko ini tetap membayang.
    Pasalnya, arus deras hot money asing ke sektor keuangan kita membuat indikator makro-ekonomi domestik seperti IHSG dan nilai tukar rupiah memiliki keterkaitan erat dengan sektor finansial (financial linkage). Alhasil, jika terus berlanjut, krisis finansial global di atas tetap akan menggoyang fundamental perekonomian serta menggerus cadangan devisa kita.
    Belum lagi, bahaya PHK yang sudah terjadi di mana-mana, seperti dalam industri telekomunikasi kita, mengingat pengusaha sekarang bisa berdalih melakukan PHK dengan isu kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
    Kedua, 2012 adalah tahun di mana akan terjadi faktor siklus bencana terkait iklim, utamanya banjir besar lima tahunan sesudah 2002 dan 2007. Artinya, bencana alam yang demikian akan melumpuhkan perekonomian selama beberapa waktu, mengakibatkan masalah dalam stok pangan dan bahan bakar, serta memunculkan masalah logistik dan pengiriman. Akibatnya, harga-harga akan melonjak, inflasi melejit, dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
    Ketiga, akibat iklim yang tak menentu, permintaan bahan bakar pun akan meningkat pesat. Sehingga, harga bahan bakar fosil jelas akan ikut naik. Nah, mengingat Indonesia masih memberikan subsidi pada bahan bakar dan juga energi semisal listrik, dana APBN jelas akan kian tersedot untuk pos subsidi. Dampaknya, anggaran-anggaran untuk pos-pos krusial lain seperti pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya akan terpangkas hingga bisa mencapai taraf yang menurunkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
    Keempat, suka tak suka, tahun depan kita akan mengalami saat di mana bulan puasa, Idul Fitri, dan tahun ajaran baru akan datang secara bersamaan pada akhir Juli hingga akhir Agustus. Kedatangan momen-momen penguras uang seperti ini jelas akan melejitkan inflasi akibat sumbangan kelompok bahan makanan, transportasi, konsumsi bahan bakar, dan pendidikan. Kenaikan harga menggila tanpa disertai peningkatan daya beli tentu akan menjadi bom waktu yang bisa mengerikan dampaknya.
    Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor-faktor risiko di atas, ada lima solusi yang bisa dilaksanakan bersama-sama ke depan.
    Pertama, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada hot money yang seringnya tidak memiliki kaitan dengan sektor riil kita. Caranya, Indonesia harus memperkuat sektor riil dengan mendorong sektor perbankan menggelontorkan kredit berbunga rendah kepada sektor riil. Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah berusaha melakukan itu dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate), namun sayang transmisinya ke tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) masih jauh dari memuaskan. Karena itu, BI harus mencari cara untuk mendesak sektor perbankan menurunkan bunga pinjaman dan memberikan akses kredit lebih mudah bagi sektor riil. Ringkasnya, BI harus merevitalisasi fungsi perbankan agar berjalan sesuai khittahnya sebagai lembaga intermediasi.
    Kedua, pemerintah juga mesti mulai menggalakkan kampanye cinta produk Indonesia seperti ajakan membeli produk-produk Indonesia. Singkat kata, kita harus mulai menggaungkan slogan Buy Indonesia! sebagaimana dilakukan AS dengan Buy America untuk menggerakkan perekonomian. Sehingga, pasar kita tidak menjadi sasaran empuk untuk mengemukkan pundi-pundi negara lain, melainkan juga bermanfaat bagi negara kita sendiri.
    Ketiga, sektor ekspor kita harus lebih kreatif mendongkrak ekspor dengan meningkatkan kualitas, ragam, keamanan, dan higienitas produk supaya dapat memenuhi standar negara tujuan ekspor. Sehingga, negara-negara tujuan ekspor, termasuk negara tujuan alternatif, tidak punya banyak alasan untuk menolak masuk produk kita.
    Keempat, di sisi lain, kita juga harus membatasi impor demi melindungi produk domestik kita. Apabila sektor-sektor tertentu sudah mengalami liberalisasi dalam hal tarif, kita masih bisa mengenakan non-tariff barrier (hambatan nontarif) untuk membendung berlimpahnya produk impor menyesaki pasar Indonesia.
    Hambatan nontarif itu bisa berupa kewajiban memenuhi SNI, standar lingkungan, dan sebagainya. Dengan begitu, pasar domestik bisa terlindungi.
    Terakhir, pemerintah mesti mengevaluasi lagi racikan alokasi subsidi dan transfer dana pembangunan yang pas supaya subsidi bisa tepat sasaran ke kelompok yang berhak dan mampu meningkatkan kualitas pembangunan fisik dan manusia secara keseluruhan. Juga, usaha-usaha mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) perlu digalakkan untuk mencegah kebocoran atau inefisiensi anggaran.
    Berbekal kelima solusi praktis di atas, semoga Indonesia tahun depan mampu melalui tahun vivere pericoloso dengan penuh kemenangan!
  • Sihir “Daya Saing”

    Sihir “Daya Saing”
    Rahmat Pramulya, DOSEN DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR, MEULABOH, ACEH
    Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011
    Daya saing seolah telah menjadi kata kunci sakti. Dengan jargon daya saing, seolah semua harus mengarahkan perhatian kepada prasyarat-prasyarat agar dapat mengantongi bahkan memenangkan persaingan global.
    Daya saing bak ‘dewa’ yang diagung-agungkan. Jargon daya saing sepintas memang tampak apik. Menggunakan ragam indikator yang tampak valid sehingga mampu menyihir dunia, mulai dari kalangan pemerintah, akademisi, pebisnis, hingga politisi. Dunia kemudian didorong untuk bersama-sama mengejar indikator-indikator tersebut.
    Betulkah konsep daya saing seindah yang ditangkap selama ini oleh banyak bangsa di dunia? Jika kita lakukan penelusuran, mantra daya saing ini sengaja dihembuskan oleh barisan pakar ekonomi yang pro-liberal (kaum neolib). Kita pun latah terbawa arus tuntutan daya saing ini.
    Menarik sekali apa yang ditulis Eriyatno (2011) dalam bukunya berjudul Membangun Ekonomi Komparatif tentang pentingnya paradigma ekonomi domestik yang lebih mementingkan swasembada dan swadaya untuk produk-produk strategis, terutama di sektor pangan dan energi. Dikatakannya, meskipun Indonesia tetap dalam jalur partisipatif terhadap pasar global, tetapi masih tetap harus mengkhususkan pada komoditas yang menyangkut harkat hidup orang banyak dan pemanfaatan sumber daya lokal. Upaya ini tentu sangat berseberangan dengan paham neolib yang mengedepankan globalisasi perdagangan dan pencegahan aturan proteksi.
    Ekonomi Komparatif
    Menurut analisis ini, penguatan ekonomi domestik yang mampu meredam gejolak harga perdagangan antar-negara akan membangun interkoneksi dari pusat-pusat ekonomi lokal sehingga mengurangi kesenjangan antar-daerah. Tindakan ini sekaligus memperkokoh bangunan negara.
    Strategi ekonomi komparatif lebih memperhatikan komoditas unggulan daerah seperti hasil bumi, hasil tambang, dan produk kesenian daripada sekuat tenaga dan ngoyo membangun produk-produk industri untuk bersaing di pasaran dunia, seperti tekstil, mobil, pesawat udara, dan lain-lain yang menurut kaum neolib merupakan pilihan cerdas terhadap suatu proses kebijakan globalisasi.
    Model ekonomi komparatif yang diajukan Eriyatno bisa dirujuk sebagai upaya solusi permasalahan bangsa dengan perluasan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, ketersediaan pangan dan energi, kesehatan masyarakat, serta pemerataan hasil pembangunan ke daerah. Berbeda dengan ekonomi neolib yang penggerak utamanya adalah untuk menghasilkan uang dan menggunakan uang untuk menghasilkan uang bagi siapa pun yang punya uang, ekonomi komparatif lebih ditujukan untuk membina kehidupan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
    Terkait dengan tujuan investasi, kaum neolib memandang bahwa tujuan investasi adalah untuk memaksimalkan keuntungan swasta. Dengan kata lain, peran keuntungan (laba) adalah untuk memaksimalkan tujuan akhir. Sementara ekonomi komparatif memandang tujuan investasi adalah untuk meningkatkan hasil yang bermanfaat serta menjadikan keuntungan (laba) sebagai suatu cara untuk mempertahankan daya hidup.
    Ekonomi komparatif berupaya untuk memutar haluan kebijakan ekonomi yang selama ini mengarah pada peningkatan kekayaan yang bersifat semu ke arah pembentukan kekayaan yang bersifat riil. Dicontohkan Eriyatno (2011), apabila kita ingin memaksimalkan keuntungan perusahaan, maka pengukuran kinerja ekonomi dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) merupakan langkah yang masuk akal.
    Namun, apabila tujuan pembangunan adalah kesehatan penduduk dan pelestarian alam, maka penggunaan PDB sebagai indikator untuk mengukur kinerja ekonomi adalah langkah salah. Itu karena kebijakan yang ditetapkan malah mempromosikan pertumbuhan kekayaan semu atas pengorbanan kesejahteraan rakyat dan lingkungan yang riil.
    Penggunaan indikator saham di bursa untuk kinerja sektor riil seperti industri justru bisa mengarah kepada jebakan analisis. Tentu saja hal ini sangat tidak cocok untuk digunakan di Indonesia.
    Sudah semestinya indikator finansial digeser ke indikator kesejahteraan yang nyata seperti tingkat kematian anak, tingkat kecukupan gizi, kejahatan remaja dan lain-lain yang terkait kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara untuk sistem alam, akan lebih tepat jika yang dijadikan ukuran bagi kesehatan lingkungan adalah tingkat biodiversitas, emisi gas, pencemaran lingkungan, tata guna lahan dan konservasi.
    Yang tak kalah pentingnya adalah soal kedaulatan ekonomi negara. Penguatan potensi nasional dalam hubungan antar negara memang sangat diperlukan agar dapat bersaing secara setara, namun kondisi potensi nasional saat ini yang masih sangat lemah telah membuat ketergantungan tehadap para pemodal besar dari luar negeri untuk investasi di Negara kita sangat besar. Situasi ini menjadikan kedaulatan ekonomi nasional terpuruk. Menjadi hal penting menjaga kedaulatan ekonomi nasional yang tali-temali dengan kedaulatan politik.
    Mengamini pandangan ekonom kerakyatan, Prof Mubyarto, bahwa kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat.