(HRD/AHA/ACI/AYS)
(HRD/AHA/ACI/AYS)
(B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)
(Jannes Eudes Wawa/ Irma Tambunan/Yulvianus Harjono/Kris Razianto Mada)
(Agnes Swetta Pandia/Sri Rejeki/Putra Erlangga)
(Nasrullah Nara/ Harry Susilo/Dwi Bayu Radius/Rini Kustiasih)
Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga sangat terbatas,”kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School of Economics, Inggris. Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46–48 tahun.
Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air? Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif, salinitas mencemari sawah,lahan rusak, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?
Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Untuk bisa memberi makan 9,5 juta miliar pada 2050,dunia harus meningkatkan produksi pangan sebesar 70% (FAO, 2011). Jika tidak, akan terjadi kelaparan massal. Bukankah saat ini ada sekitar semiliar manusia dengan perut lapar saat pergi ke tempat tidur?
Kelaparan masif ini sering kali dimanipulasi secara sesat dengan mengatakan terjadi kelangkaan pangan di planet bernama bumi. Dunia saat ini telah menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah penduduk bumi. Sejumlah studi menunjukkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa, populasi puncak planet ini (http://www.foodfirst.org/en/n ode/1778).
Suplai pangan yang melimpah itu tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan, terutama ketika harga pangan melambung tinggi. Argumen harga pangan melambung karena lonjakan permintaan dari China dan India,
dua negara berpenduduk besar, telah misleading alias tidak benar. Sementara argumen lain mengenai tekanan pasar dari sisi pasokan tidak mampu menjelaskan volatilitas ekstrem dan lonjakan harga di pasar pangan global dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2007–2008.
Bahan Spekulasi
Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan adalah hasil dari fenomena baru: penimbunan besar-besaran produk derivatif komoditas pangan. Menurut Executive Director Food First Eric Holt Gimenez (2011), ini produk keuangan khusus yang dikreasi lembaga keuangan kuat. Dimotori Wall Street, para investor institusional, baik bank investasi, hedge fund, reksa dana, dana pensiun maupun hibah universitas, berebut menimbun.
Cara kerjanya, pertama, investor institusional mengubah komoditas pangan jadi aset spekulatif. Keuntungan spekulatif, bukan permintaan riil, jadi pembimbing harga pangan. Kedua, investor kuat melobi dan menyuap anggota parlemen guna menderegulasi pasar keuangan dengan membebaskan mereka dari tanggung jawab publik. Ketiga, investor institusional menimbun produk derivatif dengan memperjualbelikan secara berulang-ulang sehingga menciptakan kelangkaan pangan (semu) di pasar berjangka.
Hasil dari serangkaian ini adalah harga meroket karena investor institusional telah menciptakan kejutan permintaan sehingga terjadi kelangkaanbuatan( semu) yangsangat besar di pasar pangan global. Hal itu terjadi pada rentang 2007–2008 saat krisis pangan mencapai puncak dan berulang pada 2010.Pada periode itu harga sejumlah pangan pokok seperti beras,gandum,dan jagung naik dua-tiga kali lipat.Kejutan permintaan itu menciptakan ratusan juta barisan warga miskin baru.
Sebaliknya,korporasi multinasional menangguk keuntungan besar lewat spekulasi. Misal, pada 2008 spekulasi berkontribusi pada sepertiga (USD1,5 miliar) laba Goldman Sachs (The Wall Street Journal, 19/11/2008). Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan akibat spekulasi memiliki ramifikasi rumit karena spekulan bukan perusahaan guram, tapi korporasi transnasional (TNCs) yang kekuatan kapitalnya jauh melampaui entitas sebuah negara.
Misalnya, per Maret 2008, dua korporasi (Morgan Stanley dan Goldman Sachs) di pasar komoditas menguasai 1,5 dari 11 miliar bushelkontrak berjangka jagung di Chicago Board of Trade (The Brock Report, 2008). Kedua perusahaan mendominasi pasar melalui penguasaan commodity index funds––gabungan dari 24 komoditas pertanian dan nonpertanian dalam satu instrumen investasi yang sering disebut “perjudian” harga (Suppan, 2009).
Pada 2006–2008, perusahaan-perusahaan yang tidak diatur (unregulated funds) ini mengontrol 33% dari seluruh kontrak berjangka komoditas pertanian (Christopher,2008). Ketika tenang,spekulan nyaman membiakkan investasi di pasar finansial: uang, modal, dan utang. Saat bergejolak, mereka berhamburan dari sarang membawa portofolio investasi.Mereka mencari tempat yang lebih aman untuk mengeramkan investasi, salah satunya di pasar komoditas.
Menurut Bank of International Settlements,investasi di pasar komoditas (di luar emas dan logam mulia) pada 2002 baru USD770 miliar, naik USD7 triliun pada Juni 2007, dan meledak jadi USD12,6 triliun pada Juni 2008. Sampai saat ini belum ada aturan ketat yang membatasi gerak perusahaan untuk berspekulasi di pasar komoditas.Tanpa aturan ketat, spekulasi di pasar komoditas akan membuat harga pangan tidak stabil karena kelangkaan semu. Para pemrotes Occupy Wall Street tidak salah menduduki Wall Street karena penggerak pasar keuangan itu menciptakan malapetaka.
●
Dijamin, kalau setorannya pas,dana pun mengucur.Itu sebabnya banyak wakil rakyat yang berkeberatan dengan wacana pembubaran Badan Anggaran di lembaga legislatif. Alasannya jelas: itu “proyek” mereka. Inilah Indonesia. Benar, hampir dalam semua urusan mesti ada uang tunainya. Untuk memarkir kendaraan, misalnya, hampir-hampir tak ada lahan publik yang bebas dari petugas parkir, baik yang berseragam resmi maupun tidak.
Tapi keduanya sama saja: sama-sama tidak memberikan karcis parkir meski kita sudah membayar ongkos parkir. Berikut ini saya kutipkan beberapa berita aktual. Pertama, 17 Oktober lalu, Bupati (nonaktif) Lampung Timur Satono divonis bebas dari dakwaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp119 miliar.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang,Bandar Lampung, menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan seluruh pasal yang didakwakan secara berlapis. Padahal,jaksa menuntut 12 tahun penjara.Hanya selisih dua hari, 19 Oktober, giliran mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya divonis bebas dari tuntutan 10 tahun penjara dalam perkara korupsi APBD senilai Rp28 miliar.
Beberapa hari sebelum itu, ada juga terdakwa korupsi yang dibebaskan. Mochtar Muhammad,Wali Kota Bekasi (nonaktif), dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Mochtar dituntut 12 tahun penjara dan denda subsider enam bulan oleh jaksa KPK karena didakwa melakukan empat perkara. Bayangkan, ketiga pejabat yang didakwa korup dan dituntut hukuman minimal 10 tahun penjara itu bebas.
Tidakkah ini merupakan indikator bahwa pemberantasan korupsi di Tanah Air menapaki jalan terjal? Sudah sanksi hukum bagi para koruptor lemah, komisi antikorupsi (KPK) pun terusmenerus dilemahkan oleh berbagai pihak. Tak pelak, bersoraklah para pelaku kejahatan luar biasa itu karena Indonesia masih merupakan surga bagi mereka.
Maka, jangan heran kalau hasil survei KPK barubaru ini menyebutkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Ironis! Para birokrat yang pekerjaan sehariharinya mengurusi agama justru paling rakus mencuri uang negara.
Mempermalukan
Atas dasar itulah upayaupaya memerangi korupsi dari segala sisi patut didukung pelbagai pihak dan kalangan.Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor, misalnya, jelas harus didukung.Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan itu: demi semakin menggentarkan para koruptor (maupun calon koruptor) agar tak mudah melaksanakan niat busuknya.
Kita harus menyadari bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan luar biasa. Karena itulah kita harus memeranginya dengan cara-cara yang luar biasa pula. Maka ide yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD baru-baru ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan antikorupsi berikutnya. Menurut Mahfud, para koruptor layak ditempatkan di kebun khusus yang didirikan di sebelah kebun binatang.”Saya putus asa (menghadapi koruptor).
Saya punya ide gila. Buat saja kebun koruptor di samping kebun binatang. Kalau Bambang Widjojanto terpilih (sebagai ketua KPK),saya mau mengusulkan itu,” ujar Mahfud beberapa waktu lalu. Kini Bambang Widjojanto telah terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK.Meskipun Bambang tidak menjadi ketua komisi antikorupsi itu, kiranya Mahfud tetap bersemangat memperjuangkan ide gilanya itu menjadi kenyataan.
Meski ide tersebut,menurut Mahfud, terkesan main-main, kita berharap kelak dapat menjadi terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sungguh kita tak dapat membayangkan apa jadinya bangsa ini ke depan jika tumor korupsi bukannya menjinak, tetapi justru mengganas. Mungkin selama ini negara memang salah bersikap terhadap koruptor.
Bayangkan,selain memberi “hadiah”berupa diskon masa tahanan setiap tahunnya, negara pun pernah memberi “anugerah” berupa pengampunan kepada seorang koruptor karena alasan sakit parah. Setelah bebas, si koruptor langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektare yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.
Ternyata ia masih kaya-raya.Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau begitu mampukah praktik korupsi diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata, “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati.
Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect.” (Tempo, 16/9/2007).
●
Atas dasar latar belakang pemikiran di atas, pertamatama penulis ingin mengkritik bakal aturan yang sedang dibahas mengenai konflik ini,yaitu RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Judul RUU ini terkesan kurang memberikan kejelasan substansi yang diaturnya dan tampak sempitnya pemahaman perancang RUU terhadap permasalahan konflik sosial. Dalam RUU ini terlihat bahwa dari segi makna, kata “penanganan” konflik sosial lebih berorientasi pada tindakan yang dilakukan saat konflik terjadi.
Keterbelahan Konsep
Dalam RUU ini pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah pencegahan konflik sosial kurang jelas dan kabur. Selain itu definisi konflik sosial hanya bersifat fisikal. Contohnya sebagaimana tertulis bahwa benturan konflik sosial adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan atau jatuhnya korban jiwa,kerugian harta benda berdampak luas,
dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Padahal konflik sosial dapat bersifat nonkekerasan atau bersifat laten seperti dalam persaingan perdagangan, ekonomi, diskriminasi pendidikan. Itu semua juga bisa berujung pada kekerasan fisik.
Fungsi pengamanan dalam RUU ini akan menimbulkan masalah karena tidak adanya kepastian hukum yang disebabkan konsep pendekatan adat yang sangat dominan.Padahal keberadaan aparat kepolisian sangatlah penting dalam penangan konflik sosial,terutama pada saat terjadinya konflik. Dan di dalam UU kepolisian maupun dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, langkah-langkah pengamanan sudah diatur secara jelas.
Penangan secara adat yang dominan akan menyebabkan tergerusnya kepastian hukum.Mestinya kedua penangan tersebut dapat bersinergi satu sama lain dengan Polri sebagai koordinator di lapangan. Seharusnya sistem peringatan dini yang merupakan tulang punggung dari pengelolaan konflik diatur secara terperinci dan terintegrasi dalam sistem hukum positif.
Banyak UU yang sudah mengatur peringatan dini,di antaranya dalam UU Penanganan Bencana, UU Kepolisian maupun UU Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Namun dalam RUU ini pasal-pasalnya belum mengatur secara jelas substansi sistem peringatan dini.Untuk itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).
Revisi
Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam merevisi RUU ini, di antaranya sebagai berikut. Pertama,RUU ini juga kurang menyentuh masalah ekonomi yang sering menjadi akar masalah konflik sosial dan kecemburuan sosial.Termasuk eksploitasi habis-habisan sumber daya alam suatu wilayah seperti yang terjadi sekarang di Papua (Freeport). Kedua, dalam pengaturan pengamanan, mekanisme resolusi konflik belum diatur secara jelas. Ketiga, pelimpahan penanganan konflik sosial dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah harus diatur secara hati-hati agar tidak ada benturan kepentingan di daerah.
Keempat,RUU ini akan melahirkan suatu bentuk ketidakpastian hukum karena ada kewenangan ganda, yaitu penyelesaian konflik melalui pranata adat dan versi penegak hukum.Kelima,dalam RUU ini tidak diatur dengan jelas mengenai kesebandingan antara besar kecilnya konflik dengan upaya pengamanan yang dilakukan Polri sehingga sulit untuk memprediksi seberapa besar kekuatan Polri boleh digunakan dalam mengendalikan suatu konflik sosial.
RUU penanganan konflik ini hanya berorientasi pada penanganan konflik (conflict manifest), tetapi belum memuat proses pengelolaan konflik (conflict management) secara utuh menyeluruh. Untuk itu revisi benar-benar harus menukik pada beberapa substansi tahap awal terjadinya konflik sosial, yaitu, pertama, di mana mulai tersemai benih-benih masalah. Kedua, semakin sering dan semakin banyak benih-benih tersebut.
Ketiga, tahap pematangan, adanya kelompok yang terorganisasi dalam konflik. Keempat, tahap pemanasan,yaitu coba-coba (testing the water). Kelima, tahap letupan dengan korban-korban fisik dan manusia. RUU Penangan Konflik Sosial ini berkecenderungan hanya mengatur tahap kelima. Oleh sebab itu RUU Penanganan Konflik ini harus dirombak atau ditolak oleh DPR karena jangan sampai nantinya menjadi sebuah UU tentang PenangananKonflikSosialyangmendatangkan konflik sosial.
Kedaulatan Bangsa dan Negara
Dalam RUU ini dicantumkan pula Pasal 53 ayat 3 dan ayat 4 yang melibatkan pihak internasional dalam penanganan konflik di dalam negara RI. Namun, naskah akademiknya justru mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa pihak internasional adalah salah satu faktor yang sering menjadi penyebab konflik sosial di berbagai negara.
Tentunya dalam hal ini harus dianalisis secara mendalam sehingga kedaulatan negara tidak terlukai meskipun tidaklah dapat dimungkiri segi-segi positif dari keberadaan masyarakat internasional dalam penanganan konflik di suatu negara. Kita punya pengalaman tentang hal ini, contohnya di Aceh.
●
Revolusi Arab memberikan arah baru bagi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di negara-negara tersebut. Mereka setidaknya sepakat menolak otoritarianisme, diskriminasi, dan ketertutupan sosial, serta penumpukan kapital dan alat-alat produksi di tangan segelintir orang. Dengan berbagai penyederhanaan, masyarakat Timur Tengah secara umum menginginkan demokrasi, kesetaraan sosial, dan keadilan ekonomi.
Tiga situasi baru itu menuntut gerakan dan partai politik Islam untuk memiliki spirit kuat guna mendorong peningkatan kemampuan dan kebangkitan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan, dan memiliki komitmen kuat terhadap nilai keterbukaan dan humanitarian. Komitmen itu bukan hanya memandang nilai itu sebatas instrumen untuk merebut kekuasaan atau kepentingan sempit kelompok melainkan juga sebagai ajaran substansial dan dipraktikkan dalam sebagian episode sejarah Islam.
Beberapa hal itulah yang kini diupayakan oleh partai dan gerakan politik Islam di negara-negara hasil Arab Springs, misalnya Tunisia, Mesir, Libia, Maroko, dan negara lain yang dilanda gerakan rakyat. Mereka tidak hanya berupaya menampilkan diri sebagai partai dan gerakan yang mampu menemukan kembali vitalitas masyarakatnya namun juga berupaya melakukan bedah ideologi yang membawa mereka ke spektrum ideologi Tengah.
Fakta Baru
Partai Hurriyah wa al-Adalah di Mesir, al-Nahdhah al-Islamiy di Tunisia, Partai al-Adalah wa Tanmiyah di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki, dan partai-partai Islam di negara-negara Arab lainnya, sudah tak lagi mewacanakan khilafah dan negara Islam. Tentu merupakan kekeliruan besar jika kita mengatakan bahwa keinginan membangun negara atau khilafah Islam itu dengan serta merta hilang dari pengikut partai-partai itu.
Faktanya pernyataan resmi dan tokoh-tokoh mereka jelas sekali menunjukkan adanya perubahan diskursus secara signifikan.
Sebagai yang paling populer dan terbesar di negara masing-masing, partai dan gerakan itu sudah menyatakan dan menunjukkan sebagian komitmennya bahwa mereka memperjuangkan terwujudnya negara yang demokratis, masyarakat madani yang kuat dan terbuka, dan menjunjung nilai-nilai humanitarian.
Partai al-Hurriyah wa al-Adalah sebagai contoh kecil, menjelang pendiriannya menyatakan bahwa inti dari demokrasi sesungguhnya adalah syura yakni pertukaran pikiran, pendapat, dan kepentingan untuk mencari yang terbaik bagi kepentingan bersama. Itulah satu-satunya jalan yang bisa menghindarkan kelompok-kelompok yang bisa jadi saling bertentangan untuk tidak menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan.
Namun partai-partai Jihadi dan Salafi, seperti Hizb al-Tanmiyah wa al-Adalah (Jamaah Islamiyah), Hiz al-Nur (Salafi), Hiz al-Fadhila, dan kelompok lain yang berorientasi sama tetap ada dan tumbuh di hampir semua negara di Timur Tengah, terutama negara-negara Arab hasil revolusi rakyat sekarang ini.
Kendati mereka terus berupaya menjatuhkan legitimasi partai Islam yang ke Tengah itu dengan jargon-jargon Islam yang murni dan kewajiban melaksanakan jihad, partai-partai tersebut sepertinya tidak bisa memperoleh popularitas dan penerimaan yang melampaui partai-partai moderat. Salah satu sebabnya karena mereka mengingkari begitu saja kenyataan-kenyataan baru yang melingkupi.
●
Perubahan itu mengingat bangsa kita pada era reformasi berkomitmen terhadap demokrasi, yang bukan hanya memuja hukum melainkan juga memegang teguh dan menaatinya sebagai aturan main. Bila hanya memuja kebebasan tanpa supremasi hukum maka yang ada hanya segerombolan orang yang cenderung bertindak destruktif.
Keluhan Kiki selain wajar, menurut saya pantas disampaikan kepada generasi seprofesinya dengan mendalilkan meskipun TNI mengklaim sudah mereformasi diri, kenyataannya tidak banyak berubah. Meskipun UU tentang TNI, dan juga regulasi mengenai Polri, mengamanatkan bahwa anggota korps itu tidak boleh berhadapan dengan rakyat sipil, faktanya banyak rakyat menjadi korban keperkasaan salah tempat.
Hal itu terlihat sebagaimana kesaksian korban kekerasan di Mesuji yang mengatakan bahwa ada anggota Polri terlibat dalam kekerasan itu, yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Ini membuktikan bahwa perilaku buram pada masa lalu, sebagaimana dikatakan mantan Aster KSAD Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi warga Mesuji mengadu ke Komisi III DPR, masih berlanjut sampai saat ini.
Bedanya pada masa lalu, didahului dengan pelabelan stigma pengikut komunisme, ekstrem dan sebagainya. Bisa jadi rekan sekorpsnya yang kini masih aktif menilai pernyataan Saurip hipokrit karena pada masa lalu juga terjadi praktik serupa. Bisa jadi karena dia sudah di luar kekuasaan.
Melindungi Warga
Tapi saya menilai pengakuannya itu justru lebih baik ketimbang banyak melakukan tindakan antikemanusiaan, bahkan menghilangkan nyawa orang, tapi merasa tidak bersalah. Bahkan mengidam-idamkan praktik represif itu masih boleh diterapkan pada masa kini.
Alangkah indahnya jika semua lapisan masyarakat di Indonesia hirau terhadap kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, tidak harus menunggu setelah keluar dari sistem, karena hal itu tidak ubahnya orang sekarat.
Artinya, sudah tidak ada faedahnya selain hanya menambah wacana. Malah lebih baik meniru Dicky Chandra yang ketika merasa tidak bisa memperbaiki sebuah keadaan ia memilih keluar dari sistem apa pun risikonya, sembari kemudian menyuarakan keadilan dan kebenaran.
Praktik seperti terjadi di Mesuji, sebagai sebuah bentuk penindasan, sudah lama terjadi, terutama semasa Orba. Negara yang seharusnya melindungi warganya malah sering tampil menjadi penindas. Bedanya zaman dulu tidak banyak orang meributkan karena penguasa lebih dahulu menguncinya dengan melabeli dengan sebutan kelompok ekstrem, pengikut PKI, dan sebagainya.
Dengan ada stigma buruk yang disematkan itu, negara seperti sah membinatangkan warganya, bahkan jika perlu menghilangkan hak hidupnya. Anehnya, rezim itu mengklaim sebagai pengamal sejati Pancasila dan UUD 1945. Perilaku penguasa seperti itulah yang kini dipertontonkan di Mesuji. Saya kira banyak ”Mesuji” lain di negara kita, yang membuat rakyat harus kalah meskipun secara hukum mereka benar. Hal itu tentu menjadi tantangan bagi MPR yang kini giat mengampanyekan UUD 1945, yang salah satu teksnya yang sering muncul di ruang publik adalah ”guna melindungi warga negara”.
Pertanyaan, kapan UUD 1945 bisa menjadi pelindung warga jika sampai saat ini, sudah sekian lama, hal itu tidak bisa juga dilakukan. Jawabannya, tentu –mengingat saat ini masih tahap sosialisasi– ”akan”, bukan ”sedang”. Mengingat UUD 1945 sudah kali keempat diamendemen dan di dalamnya ada penegasan masalah HAM, seharusnya tidak boleh ada lagi praktik otoritarian negara kepada rakyatnya.
●