Author: Adul

  • Putin dan Pemilu Rusia

    Putin dan Pemilu Rusia
    Mikahil Kasyanov, PERDANA MENTERI RUSIA (2000-2004),
    PEMIMPIN PARTAI OPOSISI UNI DEMOKRASI RAKYAT
    SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012
    Tidak banyak orang, apalagi Vladimir Putin yang berencana kembali menduduki kursi kepresidenan pada 4 Maret 2012, yang bisa membayangkan Desember tahun lalu bahwa rakyat Rusia akan, pertama kalinya, bangun dan menggelar unjuk rasa dalam jumlah puluhan ribu, menentang pemerintah. Berbeda dengan kebangkitan Musim Bunga Arab, kekuatan di balik protes yang berlangsung di Rusia saat ini bukan rakyat miskin dan mereka yang tersingkirkan, tapi kelas menengah yang sedang tumbuh berkembang. Itulah bedanya, karena secara historis, keberhasilan transisi menuju demokrasi selalu membutuhkan kelas menengah yang politis termobilisasi.
    Kelas menengah yang terdidik dan berhasil di Rusia telah turun ke jalan-jalan menuntut respek dari hierarki Kremlin yang terbenam dalam lumpur penipuan dan korupsi. Pemicu dari semua ini adalah pemalsuan yang kasar hasil pemilihan parlemen pada Desember tahun lalu, yang mengukuhkan perasaan warga bahwa rezim yang berkuasa saat ini memandang rendah keberadaan mereka. Warga Rusia marah terhadap Putin yang memperlakukan jabatan kepresidenannya sebagai sesuatu yang bisa “dipinjamkan” kepada sekutunya–seperti pemegang jabatan presiden saat ini, Dmitri Medvedev–dan menariknya kembali bila dikehendakinya.
    Kendati protes meluas di Moskow, Saint Petersburg, dan kota-kota lainnya, penguasa menolak tuntutan pengunjuk rasa agar hasil pemilihan dibatalkan. Semakin jelas bahwa, dengan cara apa pun, Putin bakal bercokol selama enam tahun lagi sebagai penguasa di Rusia. Apa arti dipegangnya lagi jabatan presiden ini oleh Putin bagi Rusia?
    Putin, yang terpagar aman dari pesaing-pesaing politik yang riil, tidak bisa lagi kembali ke Kremlin sebagai “presiden pembawa harapan”, seperti ia menamakan dirinya sendiri pada 2000 pada awal jabatannya yang pertama. Lagi pula ia tidak lagi mirip Putin “pemimpin nasional”, yang pada masa jabatannya yang kedua berhasil menggairahkan kembali negara dan memimpin negara yang sedang mengalami boomingekonomi.
    Jadi semacam apa Putin III nanti? Bagaimana ia bakal menggunakan kekuasaan yang besar yang diberikan kepada Presiden Rusia dalam suatu sistem politik tanpa checks and balances yang riil. Monolog dan artikel-artikel pra-pemilihan Putin memberikan jawaban yang menggelisahkan: jabatan kepresidenan yang dipegang Putin ini akan bertumpu pada ketidakpahamannya akan struktur hubungan internasional, pasar, dan demokrasi saat ini, serta bakal didorong oleh mesianismenya yang tidak terkendali. Seruan yang menyatakan bahwa liberalisme bisa hidup berdampingan dengan dogma yang statis meremehkan respek terhadap kompleksitas dan pilihan-pilihan sulit yang harus diambil.
    Sebenarnya Putin tidak punya apa-apa yang dapat ditawarkannya kepada rakyat Rusia kecuali retorika vulgar yang diulang-ulang. Ia tidak lagi memahami persoalan yang dihadapi negara dan karena itu tidak punya gambaran apa yang perlu dilakukan. Begitu juga ia tidak merisaukan kerusakan yang terjadi akibat buruknya pemerintahan di bawah kepemimpinannya bagi masa depan Rusia. Jabatan kepresidenan ketiga Putin bakal merupakan pemerintahan berdasarkan naluri dan selera, bukan berdasarkan nalar serta penahanan diri.
    Sudah tentu Putin akan memulai masa jabatan yang baru itu dengan pernyataan yang sungguh-sungguh tentang pembaruan, pembangunan, demokratisasi, dan bahaya korupsi. Ia mungkin bahkan akan memberikan isyarat-isyarat simbolis, seperti menjauhkan diri dari tokoh-tokoh politik dan media yang tidak patut didekati, atau menunjukkan sikap yang lunak terhadap mereka yang telah dipenjarakannya karena menentang kebijakannya. Tapi semua ini dilakukan dengan tujuan mempertahankan kekuasaan politik, bukan mereformasinya.
    Sesungguhnya Kremlin telah banyak berbicara yang muluk-muluk mengenai kebebasan dan modernisasi pada tahun-tahun terakhir ini. Tapi, tanpa kemauan politik untuk melaksanakan perubahan-perubahan itu, janji-janji tersebut pasti menjadi janji-janji saja. Masalahnya adalah bahwa prinsip persaingan bebas dan jujur yang menjadi ciri negara-negara maju dianggap subversif terhadap negara yang telah dibangun Putin–suatu negara yang berdasarkan merger antara pemerintah dan bisnis.
    Akibatnya, walaupun kemauan untuk melakukan perubahan ini bagaikan mukjizat tiba-tiba muncul di Kremlin, tak adanya legitimasi pada pemerintah ini tidak bakal menghasilkan kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan efektif. Bukannya merumuskan dan melaksanakan reformasi yang menyeluruh dan transparan, pemerintah bahkan bakal tidak punya pilihan selain terus memanjakan–dan, terutama, menghindarkan diri dari upaya mengancam–kepentingan golongan tertentu.
    Orang jangan tertipu oleh konsesi-konsesi yang diberikan Kremlin. Kaum liberal Rusia tidak bakal memperoleh apa-apa dengan menggadaikan hati nurani dan merestui masa jabatan ketiga Putin sebagai presiden. Seperti sebelumnya, mereka tidak mendapat imbalan kekuasaan yang rill, dan kemungkinan terjadinya perubahan yang murni dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang kecil sekali. Sesungguhnya langkah-langkah yang diambil penguasa untuk menenangkan opini publik akan terus diiringi dengan tekanan yang bertambah kuat atas oposisi dan organisasi-organisasi masyarakat madani.
    Dan bulan-bulan setelah nanti Putin kembali sebagai presiden bakal banyak bergantung pada masyarakat madani Rusia dan para pemimpin unjuk rasa. Rakyat Rusia harus terus bertahan dan merumuskan serangkaian tuntutan politik yang tegas. Mereka harus menuntut perubahan yang rill dan bukan perubahan kosmetik– pada sistem politik di Rusia. Tujuan utamanya sekarang adalah memperjuangkan pemilihan yang bebas dan jujur menuju terbentuknya suatu pemerintahan yang punya legitimasi dan bertanggung jawab.
    Daftar persoalan mendesak yang dihadapi Rusia sudah cukup panjang dan pemecahan persoalan-persoalan itu tidak lagi bisa ditunda. Selama Putin tetap memegang kekuasaan, daftar itu akan makin bertambah panjang. ●

  • Ideologi Ekonomi, ke Manakah?

    Ideologi Ekonomi, ke Manakah?
    Andi Muhammad Sadat, MAHASISWA PROGRAM PHD
    PADA NORWICH BUSINESS SCHOOL (NBS)-UNIVERSITY OF EAST ANGLIA, UK
    SUMBER : REPUBLIKA, 7 Maret 2012
    Bicara ekonomi Pancasila rasanya menjadi `anomi’ saat ini, Anda seperti tampil dengan kaus ob long di tengah hiruk-pikuk pesta dengan pakaian gemerlap. Terminologi ini menjadi kurang populer sebab tidak lagi senapas dengan arus utama pemikiran ekonomi nasional saat ini yang secara telanjang menganut paham liberal.
    Membicarakan ekonomi Pancasila tentu saja tidak lepas dari ideologi yang diusungnya. Roeslan Abduoelgani (1962) mengemukakan, sebuah ideologi dipandang sebagai sistem pemikiran yang diciptakan oleh suatu kekuatan (baca: bangsa) untuk kepentingan kekuatan itu sendiri. Dari perspektif ini, ideologi ekonomi tidak ditekankan pada kebenaran-kebenaran intelektual, tetapi pada manfaat-manfaat praktikal. Pertanyaannya, mampukah ekonomi Pancasila dengan perangkat ideologisnya saat ini mengantarkan bangsa ini pada sebuah era pencerahan ekonomi di tengah perubahan global?
    Banyak pihak menyangsikannya, apalagi setelah letter of intent (LoI) dengan IMF ditandatangani 14 tahun silam. Pada momen tersebut, Indonesia dengan tegas menabuh genderang liberalisasi pada banyak sektor sehingga menimbulkan kekisruhan ekonomi-politik yang luar biasa. Lalu, ke manakah kekuatan ideologis ekonomi kita dalam melindungi segenap kepentingan bangsa ini?
    Ideologi Tanpa Ideologi
    Terlepas sistem apa yang kita anut, sebenarnya apa yang terjadi pada sistem perekonomian kita saat ini telah disoroti banyak kalangan, selain liberalisasi yang kebablasan, secara fundamental, arahnya telah jauh melenceng dari napas Pancasila dan UUD 1945. Aktivitas perekonomian hanya diarahkan untuk memenuhi kepentingan sesaat kelompok tertentu.
    Pembangunan ekonomi berbasis ideologi Pancasila pun menjadi isapan jempol di tengah arus pragmatisme-oportunisme yang dipraktikkan oleh negara dan segenap perangkatnya. Cara berpikir seperti ini bahkan merasuk sangat jauh pada tatanan ekonomi-politik kita.
    Lihat saja, meskipun ideologi sebuah partai dibahas siang-malam dalam      kongres, tidak pernah aktual. Partai dengan ideologi yang sama tidak bisa hidup berdampingan, sebaliknya mereka justru berkoalisi dengan ideologi berbeda. Ya, kita sudah terbiasa berideologi tanpa ideologi, yang penting kepentingan!
    Kondisi di atas sebenarnya bukan hal baru bagi tatanan bernegara sebuah bangsa. Di dunia ketiga di mana masya rakatnya kurang ‘terdidik’ dan hidup di bawah garis kemiskinan, daripada ber debat persoalan ideologi, mereka hanya butuh makan untuk menyambung napas esok. Wajar jika penguasanya tidak tertarik pada basis pembangunannya, mereka hanya ingin kekuasaannya bertahan.
    Di negara-negara yang kita kenal sebagai dedengkot komunisme pun kini tidak tahan dengan rayuan pragmatisme yang menyerbu layaknya air bah. Gelombang informasi tidak hanya membawa keterbukaan, tetapi juga ‘nafsu baru’ untuk memiliki segala sesuatu secara instan. Wajar jika di Rusia dan Cina, ideologi ekonomi lebih merupakan pajangan daripada substansi. Ideologi ekonomi komunis yang dianut justru da lam praktiknya menjadi sangat liberal.
    Situasi ini adalah gambaran telanjang betapa sebuah ideologi ekonomi yang dulunya memiliki garis demarkasi yang tegas, kini begitu cair, begitu terbuka dan tidak serta-merta tergambar dalam perilaku sehari-hari. Betapa pun, Coca Cola adalah simbolisme Barat. Ia hadir sebagai merek yang lahir di bumi Amerika, negara pelopor utama liberalisme. Namun, Coca Cola saat ini bukan sekadar simbol kapitalis-liberalis ekonomi, melainkan menjelma menjadi simbol pragmatisme-budaya yang tidak mungkin dibendung.
    Ideologi secara fundamental memang mensyaratkan kesetiaan tanpa kompromi, namun keterbukaan saat ini jelas sangat berbeda. Contoh lain, beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh kasus pengunduran diri seorang anggota DPR berbasis agama karena tertangkap kamera jurnalis ‘membuka’ video mesum.
    Terlepas ini adalah bentuk keisengan anggota DPR dalam mengusir penat      karena sidang yang memang membosankan. Video mesum adalah bentuk lain bagaimana sebuah ideologi (informasi) dapat menyusup ke mana pun dalam setiap sisi kehidupan kita (dan tentu saja sebuah bangsa), tanpa perlu memikirkan basis ideologi apa yang mereka anut. Semua terjadi begitu cepat seolah-olah berdiri sendiri.
    Ideologi Ekonomi Substantif
    Perubahan memang terus bergulir dan apa pun ideologinya, gelombang ketidakpuasan pasti terjadi jika ketimpangan sosial-ekonomi terus berlanjut.
    Dengan demikian, perdebatannya bukan pada tatanan ideologis lagi, melainkan pada tataran praksis, artinya apakah perilaku pembangunan mampu menyejahterakan rakyat atau tidak, apalagi pergeseran dua kutub ideologis Timur dan Barat telah lama `padam’ di mana kapitalisme tampil sebagai jawara. Dengan demikian, cara berpikir kita harusnya diarahkan kepada substansi, bukan sekadar ideologi pajangan yang memang tidak berarti apa-apa buat bangsa ini.
    Beberapa dekade silam, Frans Seda pernah mengkritik ideologi pembangunan nasional kita dengan ungkapan `bukanisme’. Kritik ini diarahkan kepada para pengusung konsep ideologi/sistem ekonomi Pancasila saat itu yang kerap menggambarkan aktivitas ekonomi nasional yang `serba ambigu’, yaitu Indonesia bukan kapitalisme, bukan sosialisme, tidak ada monopoli dan oligopoli, serta tidak ada persaingan bebas yang saling mematikan. Tapi, benarkah? Pandangan ini setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa sistem pembangunan yang kita anut belum memiliki konsep tunggal sehingga sangat rawan untuk disalaharahkan seperti saat ini.
    Ideologi pada akhirnya tak akan pernah menampilkan wujud `nyatanya’ jika tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi individu, masyarakat, dan tentu saja negara dalam mengarungi tantangan zaman. Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan mengapa sebuah idelogi lambat laun kehilangan pengikut dan hanya sebatas simbolisme formal dalam setiap seremoni kenegaraan, seperti yang kita alami sebagai bangsa saat ini. Ia kehilangan substansinya dan mencair ke mana-mana bergantung pada kepentingan penguasanya. Nah, kalau begini, hendak dikemanakan arah pembangunan bangsa ini? ●
  • Urgensi Menaikkan Harga BBM

    Urgensi Menaikkan Harga BBM
    Sugiyono Madelan, MAHASISWA SEKOLAH PASCASARJANA IPB DAN PENELITI INDEF
    SUMBER : REPUBLIKA, 7 Maret 2012
    Pemerintah memilih mengalihkan anggaran Rp 200 triliun untuk pembangunan infrastruktur dibandingkan membelanjakannya pada subsidi BBM. Pemerintah lebih menyukai berhemat Rp 25 triliun anggaran untuk dibagikan kepada kepala rumah tangga miskin atas pengorbanan semua penduduk melalui kenaikan harga BBM jenis Premium dan solar masing-masing sebesar Rp 1.500 per liter, atau mematok subsidi BBM jenis premium dan solar masingmasing sebesar Rp 2.000 per liter.
    Dengan memotong subsidi BBM sebesar Rp 1.500 per liter, harga BBM je nis Premium dan solar akan dijual men jadi masing-masing sebesar Rp 6.000 per liter. Dengan patokan harga subsidi sebesar Rp 2.000, ketika harga BBM di pasar internasional yang dijual di dalam negeri sebesar Rp 9.000 per liter, konsumen hanya membayar Rp 7.000 per liter. Ketika harga BBM sebesar Rp 7.000, konsumen di dalam negeri hanya membayar sebesar Rp 5.000 per liter.
    Dengan memilih satu dari dua opsi itu dan untuk mengurangi beban berat penduduk miskin, penghematan sebesar Rp 25 triliun akan dibagikan kepada kepala keluarga miskin lebih besar dari Rp 100 ribu per bulan. Agar tidak         melanggar UU APBN Tahun 2012, pemerin tah bersama DPR berencana mengubah larangan menaikkan harga BBM dan mengubah pengalihan alokasi subsidi BBM jenis Premium yang sebesar 2,5 juta kiloliter meskipun APBN tahun 2012 baru berjalan selama dua bulan.
    Meskipun demikian, rencana alokasi subsidi BBM yang diperkirakan akan membengkak menjadi Rp 200 triliun untuk pengalihan ke pembangunan infrastruktur diubah menjadi kedua opsi di atas. Dengan kedua opsi di atas,   boleh jadi DPR akan memilih opsi menaikkan harga BBM jenis Premium dan solar masing-masing sebesar Rp 1.500 per liter dibandingkan opsi mematok subsidi harga BBM tersebut masingmasing sebesar Rp 2.000 per liter. Internasionalisasi harga BBM yang sukses pada Pertamax dan Pertamax Plus diyakini akan gagal pada konsumen Premium, terutama pada konsumen solar.
    Masa Lalu
    DPR tentu tidak menginginkan masa jabatan yang tinggal dua tahun lagi dipercepat karena internasionalisasi harga Premium dan solar dapat menimbulkan keguncangan ekonomi sebagaimana kekacauan stabilitas nilai tukar di Indonesia sejak pertengahan 1996 hingga 1998. Saat itu, tujuannya supaya pemerintahan terdahulu itu tumbang oleh politik arus modal keluar dan embargo pembayaran ekspor-impor di tengah masalah ketertegunan penanganan utang piutang pada sektor keuangan, yang menimbulkan krisis moneter mulai 1997.
    Kelebihan pasokan rumah mewah dan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit serta penyalahgunaan pembelian kredit pada konglomerasi telah memicu masalah keuangan yang memanas pada 1997 dan memuncak menjadi krisis ekonomi pada 1998. Ketika itu, ketidakstabilan nilai tukar mata uang rupiah berujung menggoyanggoyang pertumbuhan ekonomi. Ketidakstabilan nilai tukar mata uang tertransmisi pada ketidakstabilan suku bunga dan laju inflasi.
    Peristiwa mengguncang pohon pertumbuhan ekonomi tahun 1996-1998 gagal diulangi pada 2008 melalui mekanisme arus modal keluar. Efek domino dari Manila pada pertengahan 1997 itu gagal diulangi pada 2008 meskipun terjadi masalah Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
    Upaya mengguncang harga energi dan harga pangan pada akhir 2010 dan triwulan pertama 2011, yang menimbulkan revolusi Jasmine dan Tahrir, yang meluas dari Tunisia, Mesir, dan Libya, gagal terjalarkan ke Indonesia karena impor beras, impor pangan lainnya, dan impor produk barang jadi pada produsen itu masih dapat diberlakukan. Ketika itu, pemerintah menunda kebijakan pembatasan BBM. Entah siapa yang bernafsu menjalarkan revolusi Jasmine ke Indonesia sehingga ketika APBN 2012 baru berjalan dua bulan, pemerintah hendak memaksa menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik melalui keberhasilan spekulasi pada 2005.
    Wajib Transparan
    Pada 2004 belanja negara sebesar Rp 0,5 kuadriliun dan pada 2012 sebesar Rp 1,4 kuadriliun, sementara jumlah tambahan belanja negara selama 2004 hingga 2012 sebesar Rp 0,92 kuadriliun. Pemerintah perlu lebih transparan dalam peningkatan tambahan belanja negara selama 2004-2012 yang telah mencapai Rp 0,92 kuadriliun.
    Sementara itu, untuk rencana menyantuni lebih dari Rp 100 ribu per kepala keluarga per bulan selama krisis energi atau penghematan subsidi BBM sebesar Rp 25 triliun (1,74 permil dari belanja negara sebesar Rp 1,4 kuadriliun), mengapa APBN tahun 2012 masih harus direvisi kembali meski baru berumur dua bulan, yaitu dengan menaikkan harga BBM jenis Premium dan solar masing-masing sebesar Rp 1.500 per liter.
    Sedangkan, surplus ekspor minyak bumi sebesar Rp 9,59 triliun pada 2011.
    Dari `cadangan minyak terbukti’ yang sebesar 642,32 juta kilo liter pada 2011 itu (4,04 miliar barel), produksi BBM Indonesia sebesar 38,34 juta kiloliter pada 2010 dan impor BBM sebesar 25,35 juta kiloliter pada 2011. Jadi, konsumsi BBM sebesar 61,73 juta kiloliter pada 2010 masih menghasilkan stok BBM sekitar 1,96 juta kiloliter. Pemerintah juga perlu lebih transparan pada selisih `cadangan minyak terbukti’ dengan produksi BBM di atas sebesar 603,98 juta kiloliter itu. ●
  • Superbodi dan Bodi Super

    Superbodi dan Bodi Super
    I Nyoman Tjager, KOMISARIS UTAMA PT BURSA EFEK INDONESIA
    SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012
    Pendirian Otoritas Jasa Keuangan tak bisa ditawar-tawar dan diulur-ulur lagi. Dengan disahkannya UU No 21/2011 tentang OJK pada 22 November 2011, OJK harus segera dibentuk.
    Presiden sudah menunjuk panitia seleksi pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada 30 Januari-14 Februari, panitia seleksi telah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melamar sebagai Dewan Komisioner OJK. Tercatat 309 orang berminat. Pada tahap pertama, dari semua pendaftar, 87 orang lolos seleksi tahap pertama, yakni kelengkapan administrasi. Kini seleksi masuk tahap kedua dan pertengahan Maret harus dihasilkan 21 calon untuk diserahkan ke presiden.
    Sosok Ideal
    Di tengah ingar-bingar pemilihan, berkembang berbagai wacana di masyarakat tentang sosok ideal komandan OJK. Sebagian menghendaki lembaga ini dipimpin seorang bankir karena bidang tugasnya lebih banyak berkaitan dengan kegiatan dan praktik perbankan. 
    Ada yang menginginkan OJK dipimpin ”malaikat” karena OJK lembaga superbodi dengan godaan sangat besar. Ada juga yang mau OJK dipimpin sosok independen yang takut kepada Tuhan serta mempunyai integritas kuat dan nasionalisme tinggi. Singkatnya, OJK harus dipimpin orang-orang yang punya integritas, kemampuan, dan pengalaman di atas rata-rata penduduk Indonesia, bahkan manusia setengah dewa.
    Berbagai wacana di atas menunjukkan harapan dan antusiasme masyarakat terhadap lembaga ini. Masyarakat menginginkan lembaga ini tampil ideal, normatif, dan mampu menjalankan misi tanpa noda. Ini harapan yang sangat wajar di tengah banyaknya kekecewaan masyarakat. Masyarakat kecewa dengan berbagai fakta korupsi yang disuguhkan setiap hari di media massa ataupun jejaring sosial.
    Mereka kecewa dengan munculnya kasus-kasus penyelewengan dan penyalahgunaan yang dibuka secara telanjang. Tak masuk di akal bagaimana seorang PNS golongan IIIc memiliki deposito di atas Rp 60 miliar. Pendek kata, wacana di atas mencerminkan kuatnya harapan agar lembaga ini tidak mengecewakan publik.
    Dalam Pasal 10 UU OJK disebutkan, OJK dipimpin Dewan Komisioner yang bersifat kolektif dan kolegial beranggotakan sembilan orang. Dalam Pasal 2 Ayat (2) disebutkan, OJK lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU ini. Dalam Pasal 4 disebutkan, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
    Dalam Pasal 5 disebutkan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan. Dalam Pasal 6 dinyatakan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain.
    Kewenangan Sangat Besar
    Mengacu pada tujuan, fungsi, dan tugas tersebut, OJK dilengkapi kewenangan sangat besar, diatur di Pasal 7. Dengan kewenangan sebesar itu, muncul kesan betapa besar kekuasaan dan kewenangan yang melekat di OJK. Ia tampil sebagai lembaga powerful. Karena itulah, kerap muncul istilah OJK lembaga superbodi dengan kekuasaan dan kewenangan hampir tak terbatas di sektor jasa keuangan.
    Pendapat ini tak salah, tetapi tak 100 persen benar. Tidak ada lembaga di negeri ini yang memiliki kekuasaan dan kewenangan tanpa batas. Ada perangkat hukum yang memagarinya sehingga setiap kebijakan atau setiap peraturan dalam rangka pengawasan sektor jasa keuangan tidak bisa dibuat dengan seleranya sendiri.
    Bisa jadi karena kesan superbodi itulah, banyak tokoh di bidang keuangan ”kepincut” ingin menjajal jadi pimpinan OJK. Demi jabatan Komisioner OJK, mereka bersedia meninggalkan jabatan prestisius dengan berbagai fasilitas aduhai yang sudah dinikmatinya. Sampai di sini, wacana tadi masih logis dan bisa dipahami. Sayangnya, wacana itu kini berkembang jadi bola liar yang menyebutkan pimpinan OJK atau Komisioner OJK harus didominasi sosok dengan latar belakang profesi tertentu, seolah-olah profesi itulah yang paling menentukan hidup matinya ekonomi negeri ini. Ini jelas cara berpikir keliru karena sudah mengarah pada egoisme profesi dan bahkan egoisme sektoral. Jika cara berpikir ini menggelinding terus, akan berpotensi memunculkan risiko organisasi yang krusial dan menciptakan bibit konflik yang semestinya dihindari.
    OJK, sebagai lembaga baru dengan tujuan, fungsi, dan tugas yang begitu sarat di awal berdirinya, sebisa mungkin menghindari adanya konflik, apa pun bentuk dan latar belakangnya. Pimpinan OJK harus mampu menyatukan energi yang dimiliki dan melekat di setiap komisioner sehingga memunculkan kekuatan yang solid, kerja sama yang kompak, dan saling menutupi kekurangan yang ada, bukannya menonjolkan egoisme sektoral.
    Sektor jasa keuangan sangat vital dan strategis bagi perekonomian nasional. Jika sektor ini bermasalah, hampir dipastikan akan menimbulkan masalah besar pada perekonomian Indonesia. Pengalaman krisis moneter 1997/1998 harus jadi pelajaran. Biaya untuk mengatasi krisis itu mencapai ribuan triliun rupiah dan setelah hampir 13 tahun belum terbayar semua. Krisis itu salah satunya disebabkan lemahnya pengawasan di bidang perbankan dan efeknya menjalar ke mana-mana, menjelma jadi krisis multidimensi yang menjatuhkan rezim politik. Jangan sampai pengalaman pahit ini terulang kembali.
    Kelahiran OJK diwarnai pro-kontra berdasarkan pengalaman negara-negara lain. Namun, keputusan sudah diambil. Karena itu, semua pihak, kaum profesional, birokrat, politisi, pelaku usaha, cendekia, dan pemangku kepentingan, harus merapatkan barisan menjaga dan bahu- membahu agar OJK tidak gagal. Lembaga ini perlu energi besar yang dimiliki tenaga-tenaga potensial Indonesia. OJK perlu banyak karyawan—diperkirakan tak kurang dari 2.500 orang—yang punya dedikasi, komitmen pengabdian. Dengan organisasi yang melibatkan tenaga kerja sebesar itu, lembaga ini tak sekadar superbodi, tetapi juga memiliki bodi super.
    Karena itulah, hilangkan segala bentuk perbedaan, latar belakang, egoisme, dan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi. Masing-masing yang bersatu dalam payung OJK memiliki kemampuan mumpuni di bidang masing-masing, perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan lain. Tak perlu ada dominasi satu sama lain. Yang harus ada adalah tekad, komitmen, semangat, spirit, dan penyatuan energi untuk bersama-sama mendayung kapal besar ini agar mampu mengarungi samudra ekonomi global yang penuh tantangan. Selamat berlayar. ●
  • Integritas Pemimpin

    Integritas Pemimpin
    Kurnia JR, SASTRAWAN
    SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012
    Seorang ”pangeran Jawa” belia di Universitas Leiden menyeru kepada ”putra-putra Jawa” dalam Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda XXV pada 29 Agustus 1899.
    ”Lepaskan diri kalian dari belenggu purbasangka yang masih mengimpit, kembangkan diri kalian dengan bebas sesuai dengan bakat kalian, dan tingkatkan kepribadian… kembangkan seluruh kekuatan kalian untuk membantu rakyat kita membentuk diri, dari kanak-kanak sampai dewasa” (Harry A Poeze, 2008).
    Dialah Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. Pemuda 22 tahun ini dengan bijaksana menyentuh aspek dasar manusia saat menyeru bangsanya untuk meraih ilmu pengetahuan yang setaraf bangsa Belanda, Jepang, dan Amerika sehingga hak-hak Insulinde buat maju terpenuhi. Aspek-aspek itu ialah bakat dan kepribadian yang harus dikembangkan secara bebas. Bagi dia, tugas para pemuka ialah ”membantu rakyat membentuk diri”.
    Pada 1924, majalah Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda berubah dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Di sana ditegaskan, ”pembebasan Indonesia” harus berupa aksi melawan dua bentuk penjajahan: ketatanegaraan dan ekonomi. Didahului ajakan menyingkirkan perbedaan kelompok demi ”Indonesia yang merasa satu”, ditandaskan: ”Aksi ini merupakan persiapan kemerdekaan politik dan pengambilan sikap melawan modal asing yang mengisap.”
    Sekelumit kutipan tersebut menegaskan fondasi bangsa yang dicita-citakan para perintis: penghargaan atas potensi individu dan hak asasi manusia, kebersatuan, serta kemandirian politik dan ekonomi.
    Manakala kekerasan terjadi di seputar kita karena tiada teladan dari pribadi yang disegani dan ketidakpuasan memuncak akibat pengkhianatan para pemangku kekuasaan terhadap sumpah jabatan, sepatutnya kita mengingat mereka yang telah menegakkan tiang-tiang pancang bagi saka guru bangsa dan negara ini.
    Noto Soeroto, Kartini, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir dan banyak kampiun pemikir berkaliber negarawan mencita-citakan suatu bangsa dengan esensi yang jelas dan kukuh. Bangsa yang bersatu, bertenggang rasa dalam kemajemukan, konsisten dan konsekuen dengan gagasan pribadi ataupun kelompok, eksploratif sekaligus progresif menjemput masa depan. Di antara mereka yang terjun ke politik praktis pada umumnya menuliskan pemikiran dalam struktur yang elaboratif dan dengan filosofi yang jelas.
    Ide-ide dipaparkan dengan gaya khas intelektual yang bisa ditelusuri anak-cucu. Pandangan budaya, politik, ekonomi, sosial, dan spiritual diutarakan dengan dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Polemik dilakoni di jalur nalar sekaligus filosofis. Perbenturan ideologi diungkapkan tidak hanya lewat pidato, tetapi juga di mimbar ilmiah yang secara langsung atau tidak memberi pendidikan moral politik bagi orang banyak.
    Pemimpin Visioner
    Pada tahun kemerdekaan, Sjahrir menulis ”Perjuangan Kita”, yakni tentang peta persoalan dalam revolusi Indonesia sekaligus analisis ekonomi-politik dunia seusai Perang Dunia II. Berlawanan dengan Soekarno yang terobsesi oleh persatuan dan kesatuan bangsa, di situ Sjahrir menyatakan, ”Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”
    Meski berseberangan dalam pandangan politik, toh, pada November 1945 Sjahrir ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Sebaliknya, Sjahrir menyebut Soekarno pemimpin republik yang diakui rakyat dan pemersatu bangsa.
    Inilah bukti kemerdekaan berpikir dan hakikat jiwa pemimpin yang visioner. Pemimpin sejati tidak sudi terpaku pada apa yang seakan-akan telah menghablur sebagai pandangan bangsa. Di lain pihak, pertentangan sikap dan tafsir atas kondisi-kondisi sesaat juga tidak dijadikan alasan bagi pembunuhan karakter. Dia cenderung mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas egoisme pribadi. 
    Betapapun hal-hal semacam itulah yang pudar seiring berlalunya era Soekarno. Sebagai gantinya tampil seorang jenderal yang sebagian riwayat dan sepak terjangnya berselimut kabut: Soeharto. Tak berapa lama sejak dia memerintah, suasana perdebatan intelektual di kalangan elite politik dan kebudayaan surut, bahkan selanjutnya sirna.
    Lebih jauh, rezimnya kemudian memberlakukan apa yang disebut normalisasi kehidupan kampus. Sivitas akademika dikurung di ruang kuliah. Perbedaan pendapat diharamkan. Praktik-praktik koruptif mulai berderap dan memerangkap kita hingga hari ini.
    Indonesia kini agaknya tak secantik putri Insulinde yang pernah diangan-angankan: suatu negeri adil-makmur yang para pemimpinnya lekat dengan tradisi intelektual, berbudaya, dan integritasnya bisa dijadikan cermin oleh rakyat jelata. ●
  • Membongkar Mafia dengan UU Pencucian Uang

    Membongkar Mafia dengan UU Pencucian Uang
    Natsir Kongah, PEMBELAJAR MASALAH-MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
    SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012
    Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca berita halaman depan Kompas, Minggu (4/3/2012), ”Laporan PPATK Harus Berindikasi Tindak Pidana”. Yenti Ganarsih yang dalam berita itu disebut sebagai pakar hukum pidana menilai, laporan hasil analisis yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkesan tak kuat dan tak terkait indikasi tindak pidana. ”Kalau tidak ada indikasi pidana, untuk apa diserahkan kepada aparat penegak hukum,” katanya.
    Pada hemat saya, pernyataan itu keliru. Dari alur laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (PJK) kepada PPATK saja sudah terang ada indikasi bahwa LTKM yang disampaikan itu mengandung unsur menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan. LTKM yang diterima PPATK itu kemudian dianalisis dengan menggunakan, mencari, dan meminta data dari berbagai sumber informasi dengan pendekatan berbagai metode analisis yang telah terasah dan teruji.
    Setelah dilakukan proses analisis, dihasilkan apa yang disebut hasil analisis (HA). Tak heran, dari 10.587.703 laporan yang disampaikan PJK serta Direktorat Bea dan Cukai hingga Januari 2012 kepada PPATK, ”hanya” 1.890 HA yang disampaikan kepada penyidik. ”Kecilnya” angka HA yang disampaikan ini karena PPATK tidak hanya sekadar berperan sebagai kantor pos, tetapi juga melakukan proses panjang untuk dapat memastikan bahwa HA yang disampaikan telah memiliki indikasi kuat tindak pidana pencucian uang.
    Informasi intelijen keuangan yang disampaikan oleh PPATK ini relatif ”barang matang”, tinggal sentuhan penyidik untuk mendapatkan barang bukti, lalu kemudian menyampaikannya kepada penuntut umum untuk selanjutnya dibawa ke meja hijau. Dalam praktiknya memang diperlukan keahlian, kemauan, dan kecerdasan untuk dapat mengungkapkan hasil analisis yang dilakukan PPATK menjadi sebuah produk hukum yang mengikat.
    Selain itu, sejatinya membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif di Indonesia tidak hanya tergantung pada salah satu institusi, tetapi juga kerja sama dan kemauan kuat di antara lembaga terkait dengan didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara. Seperti dalam sebuah ekosistem, apabila salah satu pihak mengalami kebocoran, efektivitas dari jalannya roda tersebut tak sesuai harapan.
    Filosofi Lembaga
    Financial intelligence unit (FIU), nama generik internasional dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, merupakan media atau sarana bagi suatu lembaga untuk menjalankan teknik atau metode yang dinilai paling efisien dan efektif untuk memerangi berbagai bentuk kejahatan pada saat sekarang ataupun pada masa mendatang.
    Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus dijalankan oleh suatu FIU. Rekomendasi yang diterbitkan oleh Caribbean Drug Money Laundering Conference, misalnya, hanya mengisyaratkan tentang suatu badan khusus yang bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan, dan penyitaan. Sementara Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering hanya menyebutkan perlunya otoritas yang kompeten yang bertugas menerima laporan dari penyedia jasa keuangan.
    Sementara European Money Laundering Directive menyebut badan yang berwenang memerangi pencucian uang dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan.
    United Nations Convention Against Corruption (2003) memerintahkan agar setiap negara anggota mendirikan FIU yang secara nasional berfungsi sebagai pusat pengumpulan, analisis, dan penyebaran informasi terkait dugaan pencucian uang.
    Keberadaan FIU bagi suatu negara dianggap cukup penting untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Meminjam pernyataan Guy Stessen (Money Laundering A New International Law Enforcement Model), secara umum ada tiga alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat memengaruhi sistem keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya pencucian uang, sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan tak sah dan merugikan masyarakat.
    Kedua, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan penegak hukum menyita hasil tindak pidana. Ketiga, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana serta adanya ketentuan dan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu serta transaksi yang mencurigakan akan kian memudahkan penegak hukum menyelidiki kasus tindak pidana sampai tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.
    Belajar dari Kasus Gayus
    Mari kita belajar dari kasus terpidana Gayus Halomoan Tambunan. Ketika itu, laporan HA yang disampaikan PPATK ”kurang” optimal digali oleh penyidik sehingga proses penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan berjalan secara mulus dan akhirnya Gayus ketika itu diputus bebas oleh majelis hakim. Keputusan itu memicu kecurigaan di tengah masyarakat sehingga akhirnya Mabes Polri membentuk tim khusus untuk membongkar kembali kasus yang sama sehingga terbukti mulai dari pelaku, oknum penyidik, oknum penuntut umum, hingga oknum hakim terbukti ”bermain” dalam persoalan ini. Total hukuman Gayus mencapai 28 tahun penjara setelah mendapatkan vonis selama enam tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. ●
  • Merevisi UU Penyiaran

    Merevisi UU Penyiaran
    Sabam Leo Batubara, PEMERHATI PENYIARAN
    SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012
    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bermasalah. DPR mengagendakan perubahan UU tersebut. Pada 1 dan 8 Maret 2012 Komisi I DPR dijadwalkan menyelenggarakan dengar pendapat menerima masukan dari publik.
    Analisis terhadap performa penyelenggaraan penyiaran menunjukkan bahwa masalah pokok yang dihadapi: Pasal 2 mengamanatkan penyiaran diselenggarakan berasaskan kepastian hukum. Dalam kenyataan selama 10 tahun ini, yang mengemuka adalah konflik kewenangan. Siapa yang berdaulat dalam penyelenggaraan penyiaran?
    Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 22 Juli 2004, hanya pemerintah yang berwenang membuat regulasi penyiaran. Sementara itu, dalam berbagai manuver—kendati kewenangannya telah diamputasi oleh MK—Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih bukan hanya berambisi, melainkan juga terkesan tampil menjadi pemilik trifungsi: sebagai regulator, eksekutor, sekaligus penegak hukum.
    Kepastian Hukum
    Untuk mengupayakan kepastian hukum penyelenggaraan penyiaran, DPR sebagai representasi rakyat pemilik kedaulatan patut mempertimbangkan perubahan UU Penyiaran dengan mengakomodasi dua masukan ini.
    Usul pertama, revisi UU Penyiaran menegaskan siapa sebaiknya yang menjadi regulator penyiaran. Tersedia tiga pilihan. Memilih pemerintah sebagai regulator penyiaran dengan memberinya wewenang menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang penyiaran mengandung paling tidak dua potensi persoalan. Pertama, PP berpotensi mengandung pasal karet dan itu akan mengulangi penyimpangan seperti yang dilakukan rezim Orde Baru. UU Pokok Pers melarang pembredelan pers, tetapi peraturan menteri membolehkannya.
    Pemimpin DPR lewat suratnya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika tanggal 22 Februari 2006 berisi: Komisi I DPR menolak pemberlakuan PP Nomor 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005 karena mengandung pasal yang bertentangan dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Kenyataan selanjutnya, pemerintah menganggap sepi putusan DPR itu.
    Kedua, PP berkandungan konflik kepentingan. Kalau menteri yang merumuskan PP itu berasal dari partai politik X, sangat mungkin kepentingannya menjadi pertimbangan.
    Memilih KPI sebagai regulator sekaligus eksekutor dan penegak hukum hampir pasti akan menjadikan KPI sebagai monster penyiaran. Sasa Djuarsa Sendjaja yang kaya 
    pengalaman tentang kinerja KPI (karena pernah enam tahun menjadi komisioner KPI, termasuk tiga tahun ketua KPI Pusat) menyampaikan pendapatnya lewat media pada 20/2/2012: ”Memberi tambahan kewenangan kepada KPI bakal memunculkan sengketa kewenangan. Jika KPI memiliki mandat sebagai regulator sekaligus pemberi izin, bakal muncul sengketa kewenangan. Di mana-mana lembaga yudikatif dan eksekutif tidak boleh jadi satu.”
    Pilihan dengan 0 sengketa: DPR dan pemerintah merevisi UU Penyiaran dengan merumuskan semua regulasi penyiaran dan mengakomodasinya di dalam UU Penyiaran. Tujuh PP yang berlaku sekarang dapat digunakan sebagai draf untuk dibahas di DPR dengan partisipasi ATVSI, PRSSNI, ATVLI, PWI, AJI, IJTI, KPI, Dewan Pers, dan pemangku kepentingan lainnya.
    Dengan meniru model seperti itu, UU Penyiaran Australia yang tebalnya 561 halaman di satu sisi mengakomodasi demokratisasi penyiaran, demokratisasi ekonomi, dan prinsip ekonomi media. Di sisi lain UU itu bebas dari sengketa kewenangan.
    Desain Mengenai KPI
    Usul kedua, KPI diberi wewenang menjadi penegak Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Negarawan Inggris, Lord Acton, mengatakan, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Merujuk pada kalimat terkenal itu, memberi kekuasaan kepada KPI sebagai regulator, eksekutor, dan penegak hukum sekaligus berarti menjerumuskan KPI ke pintu gerbang korupsi. Oleh karena itu, desain KPI berikut patut dipertimbangkan.
    Pertama, KPI tidak diberi kekuasaan membuat regulasi penyiaran karena sudah dibuat oleh DPR. Kedua, KPI tidak membuat P3SPS, tetapi memfasilitasi organisasi penyiaran dan pers—seperti ATVSI, PRSSNI, ATVLI, PWI, AJI, IJTI, KPI, dan Dewan Pers serta pemangku kepentingan lainnya—dalam penyusunannya. Hasilnya ditetapkan KPI.
    Ketiga, selanjutnya KPI mengawasi pelaksanaan P3SPS itu, memberi pertimbangan, dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang diadukan. Terkait produk jurnalistik, diselesaikan dengan berpedoman pada UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Penilaian akhir atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Terkait content nonproduk jurnalistik, KPI memedomani UU Penyiaran dan P3SPS.
    Keempat, KPI cukup satu dan berdomisili di Jakarta. Di daerah dibentuk perwakilan atau komisariat KPI yang bertanggung jawab kepada KPI Jakarta. Amerika Serikat yang federal punya satu ”KPI” belaka.
    Kelima, seleksi calon komisioner KPI dilakukan panitia seleksi yang profesional. Hasilnya dikirim kepada DPR bukan untuk fit and proper test karena yang melakukannya adalah panitia seleksi. DPR, sesuai dengan hak konstitusionalnya, berfungsi mengawasi, mendeteksi, dan menilai apakah terhadap calon didapat fakta cacat hukum yang mengugurkan calon itu.
    Keenam, anggota KPI ada dari unsur pemerintah, unsur wartawan, dan unsur industri penyiaran.
    Regulasi penyelenggaraan penyiaran yang dibuat DPR dan pemerintah pasti lebih demokratis dan sesuai dengan kepentingan bangsa daripada pembuatannya dipercayakan hanya kepada pemerintah atau KPI. UU Penyiaran yang memuat regulasi penyiaran itu akan lebih menciptakan kepastian hukum dan membebaskan penyelenggaraan penyiaran dari sengketa kewenangan.
    Membebaskan KPI dari multi-kewenangan bertujuan agar lembaga itu fokus jadi penegak P3SPS, mengawasi pelaksanaannya, memberi pertimbangan, dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus terkait content penyiaran nonjurnalistik.
    Menyangkut kasus lain diselesaikan dengan menganut peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian pelanggaran jurnalisme penyiaran menjadi kewenangan Dewan Pers. Isi siaran nonjurnalistik yang bersifat fitnah, bohong, dan atau cabul serta dugaan jual beli frekuensi penyiaran diproses di jalur hukum. Penyelesaian dugaan praktik monopoli diajukan kepada KPPU. ●
  • Jangan Takut

    Jangan Takut
    Dinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI UNIVERSITAS PARAMADINA  
    SUMBER : SINDO, 7 Maret 2012
    ”Jangan Takut. China itu seperti panda, besar tetapi lembut”. Pernyataan tersebut terus diulang oleh Liu Quan, charge d’affairesatau pejabat sementara duta besar dari Kedutaan Besar Republik Rakyat China (Kedubes RRC) dalam forum diskusi 1 Maret 2012 di Universitas Indonesia.

    Berbeda dengan pejabat terdahulu, Ibu Duta Besar Zhang Qiyue yang lemah lembut dan hampir selalu memosisikan diri sebagai pendengar, Liu Quan punya nada bicara yang lebih tegas, suara keras, dan raut wajah yang sangat ekspresif. Apakah perubahan kepemimpinan di Kedubes RRC menandakan pula perubahan pendekatan terhadap Indonesia,saya pikir kita dapat melihatnya pada hari-hari mendatang.

    Namun, pesan Liu Quan sangat jelas dengan gaya bicaranya tersebut. Ia ingin agar hadirin yakin bahwa China tidak perlu ditakuti oleh Indonesia dan bahwa Indonesia sebenarnya lebih “besar” dibandingkan China. Saya melihat keuletan China dalam membuka hubungan yang akrab dengan Indonesia sebagai suatu karakter.

    China memang gigih. Secara konsisten dalam kurun waktu 10 tahun ini, para pejabat China selalu menyuarakan,negeri itu hadir di Asia sebagai kekuatan yang menginginkan kerja sama dan membawa keuntungan besar bagi kawasan ini. Ketika Perdana Menteri China Wen Jiabao berkunjung ke Jakarta pada April 2011,pesan utamanya bangsa Indonesia dapat memegang kata-katanya yakni Pemerintah China tidak akan berpaling dan berkhianat dari janji-janji untuk bersama-sama tumbuh sebagai suatu kawasan yang dinamis pertumbuhan ekonominya.

    PM Jiabao tampaknya memahami benar keragu-raguan adalah karakter kepemimpinan Indonesia saat ini dan keragu- raguan itu mudah menular pada publik. Sebab itu, PM Jiabao perlu menyampaikan pesan dalam bahasa yang terang dan jelas. Pesan Liu Quan selayaknya menjadi bahan refleksi bagi bangsa ini.

    Meskipun Indonesia berpenduduk besar,punya pertumbuhan ekonomi tinggi dan dinamis, serta punya beragam fasilitas mutakhir, politik luar negeri Indonesia terlalu berhati-hati. Awalnya saya pikir hanya saya sebagai orang Indonesia yang berpandangan demikian. Sejumlah diplomat dan duta besar negara sahabat ternyata menyampaikan pandangan serupa. Ada suatu harapan besar dari negara-negara lain agar Indonesia lebih berani dan tegas dalam menyuarakan posisinya.

    Misalnya saja menyangkut hubungan kerja sama dengan China.Sebenarnya negara lain dapat membaca bahwa ratarata masyarakat Indonesia masih berpandangan negatif terhadap kedekatan dengan China.Tetapi, apakah Indonesia setuju pada pendekatan China dalam bermitra? Apakah Indonesia punya syaratsyarat dalam bermitra? Apakah ada langkah konkret untuk membangun rasa percaya antarnegara?

    Belum ada kejelasan. Ketika menghadapi kritik dari publik,yang muncul justru sikap mendua yakni mengkritik China. Padahal bukankah suatu kerja sama selalu diawali oleh kesepakatan dari pihak Indonesia juga? Sebenarnya dalam diplomasi sangatlah dimungkinkan untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan negara lain, bahkan ketika kebijakan tersebut bersifat domestik.

    Di sinilah terjadi tawar-menawar dan negosiasi. Namun, ada satu bekal utama yang diperlukan para diplomat yang bernegosiasi tersebut. Mereka membutuhkan kejelasan arah politik luar negeri dan kepentingan nasional, serta komitmen domestik yang dapat diandalkan sebagai daya tawar dalam negosiasi. Bekal utama ini yang absen dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia.

    Ketika berhadapan dengan China, yang oleh publik notabene masih dicurigai punya motif-motif politik dan ekonomi yang berpotensi merugikan bangsa Indonesia,muncul pertanyaan. Bagaimana caranya memperlakukan China sebagai teman? Teman yang seperti apa? Bukankah kecurigaan bukan berarti menganggap China sebagai musuh? Atau ketika diplomat diarahkan untuk mencari keseimbangan dalam hubungan dengan China, di manakah patokan keseimbangan yang tepat? Menjaga hubungan yang dinamis dengan China adalah pekerjaan relatif mudah.

    Kita bisa menambah kegiatan atau kerangka kerja sama.Tetapi, kedinamisan hubungan tadi memerlukan arah yakni jenis hubungan apa yang sedang ingin dipupuk bersama China. Ada yang berpendapat, sedang terjadi quiet diplomacy atau diplomasi di belakang layar dengan China. Artinya, ketidakjelasan posisi Indonesia adalah suatu strategi demi membantu negosiasi. Bila posisi Indonesia tidak terbaca oleh negara lain, arah negosiasi masih bisa disetir sesuai kemauan.

    Argumen tersebut menarik, tetapi ada satu hal yang sebenarnya kurang tepat dalam logika argumen tersebut. Quiet diplomacy memerlukan target jelas,apalagi karena Indonesia bukan dalam posisi lemah dalam bernegosiasi dengan China. Indonesia punya posisi daya tawar yang besar, baik di tingkat kawasan maupun di tingkat global.

    Kebesaran populasi Indonesia, posisi geopolitik yang strategis, dan citra sebagai negara yang cinta damai dan tidak bermotivasi mencari kekuasaan belaka dalam percaturan politik global adalah daya tawar yang luar biasa. Daya tawar inilah yang mendorong China untuk meyakinkan Indonesia agar tidak takut dan ragu dalam menerima China sebagai mitra utama di kawasan Asia.

    China bisa membaca, sesungguhnya tak ada negara lain di kawasan Asia Tenggara yang relatif bisa dipercaya dan bisa diandalkan dalam menopang pertumbuhan ekonominya selain Indonesia. China butuh tumbuh. Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, mereka butuh mesin pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Mereka butuh pasar yang besar dan haus terhadap produk-produk mereka. Mereka mencari tanah untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

    Mereka mencari proyek untuk menghidupi BUMN mereka. Indonesia bisa memberikan itu semua. Mereka juga butuh saluran dana agar surplus mereka tidak menimbulkan panas ekonomi yang terlalu tinggi di dalam negeri. Wajar jika kemudian muncul skemaskema pinjaman dan investasi dari China ke Indonesia. Karena itu, mari kita lebih mawas diri.

    Pendapatan per kapita Indonesia memang masih lebih rendah dibandingkan China, tetapi fakta bahwa China sangat mengharapkan uluran tangan Indonesia untuk menghidupkan perekonomiannya patut disikapi sebagai modal negosiasi dan kepercayaan diri yang besar. Sudah saatnya pemimpin negeri ini terbuka dan tegas akan arah kebijakan luar negeri Indonesia serta mengembangkan kerja sama luar negeri yang membangun kepercayaan publik akan arah kebijakan luar negeri yang tepat.Apalagi karena China begitu gigih mendekati Indonesia.

  • Kendala Pailitkan Koruptor

    Kendala Pailitkan Koruptor
    Yulianto, ADVOKAT DAN KURATOR,
    SEDANG MENEMPUH PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM DI UNIVERSITAS AIRLANGGA
    SUMBER : JAWA POS, 7 Maret 2012
    SANGAT menarik solusi yang diberikan oleh Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN dari Unair dalam tulisan artikelnya di Jawa Pos kemarin. Dia menunjukkan pintu bagi tekad Presiden SBY memiskinkan koruptor, yaitu Lakukan lewat Kepailitan. Tinjauannya dari prespektif hukum kepailitan di Indonesia, yaitu UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Apabila seseorang -termasuk koruptor- dinyatakan pailit, seluruh kekayaan debitor pailit tersebut merupakan harta pailit dan diletakkan sita umum, yang kemudian akan dilakukan pemberesan oleh seorang kurator (pasal 1 jo 21 UU Kepailitan).

    Praktis, dengan proses kepailitan tersebut, seorang koruptor akan menjadi miskin. Sebab, tidak akan ada sisa kekayaan yang dapat dia nikmati kecuali hanya berupa benda yang benar-benar dibutuhkan, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatannya, tempat tidur dan perlengkapannya, serta bahan makanan hanya untuk 30 hari (pasal 22 UU Kepailitan). Bahkan, terhadap harta yang telah dialihkan kepada keluarganya atau pihak ketiga oleh koruptor yang dinyatakan pailit masih dapat dimintakan pembatalannya. Atau apa yang dikenal dengan actio pauliana yang diatur dalam pasal 41 sampai 50 UU Kepailitan.

    Konsepsi Kepailitan

    Dalam pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan, yang dimaksud kepalitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Istilah ini merupakan serapan dari faillissement dalam bahasa Belanda. Di dalam sistem Common Lawdikenal dengan istilah bankruptcy.

    Lembaga kepailitan menjadi penegak dua pasal penting KUH Perdata. Pasal 1131 menyatakan: segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pasal 1132 mengatur: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

    Secara filosofi, UU Kepailitan kita lebih tertuju kepada si pailit, yakni pembagian boedel atau harta pailit debitor yang berhenti membayar. Hakikat tujuan kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya. Kepailitan adalah jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nanti merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.

    Dua Kendala Kejaksaan

    Akan tetapi, bila kita mengkaji konsepsi kepailitan lebih dalam lagi, syarat-syarat seseorang -termasuk seorang koruptor- dapat dinyatakan pailit oleh permohonan kejaksaan tidaklah mudah. Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan: Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.Jadi, sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut, pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit kepada seorang koruptor, selain demi kepentingan umtum, juga harus memenuhi 2 (dua) syarat lainnya.

    Pertama, syarat koruptor tersebut harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Ini sesuai dengan syarat seorang debitor yang dapat diajukan pailit seperti yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang menyebutkan: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”. Syarat dua atau lebih kreditor rasanya sangat menyulitkan pihak kejaksaan untuk mencari setidaknya 2 (dua) kreditor dari koruptor tersebut. Sebab, seorang koruptor (apalagi seorang koruptor kelas kakap) pada umumnya tidak mungkin mempunyai kreditor lain atau mempunyai utang kepada pihak lain.

    Kedua, adanya syarat bahwa seorang koruptor yang akan dipailitkan oleh kejaksaaan haruslah koruptor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Syarat ini juga sepertinya sangat sulit, Sebab, seorang koruptor yang biasanya “berlimpahan uang” hasil korupsinya tidak mungkin mempunyai utang yang macet. Kalaupun mempunyai utang, pastilah dengan uang hasil korupsinya tersebut dia segera melunasinya terlebih dahulu.

    Adapun yang dimaksud dengan utang berdasar pasal 1 angka 6 UU Kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

    Dengan dua syarat tersebut, yaitu harus ada dua kreditor atau lebih dan ada utang yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar, rasanya sangat sulit bagi pihak kejaksaan untuk mengajukan pailit koruptor. Kecuali persyaratan mengenai pailit dalam UU Kepailitan diubah, khususnya mengenai persyaratan permohonan pailit oleh kejaksaan untuk kasus korupsi. Mungkinkah itu diubah, Pak SBY? ●

  • Dilema Pembuktian Terbalik Pencucian Uang

    Dilema Pembuktian Terbalik Pencucian Uang
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS, ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM   
    SUMBER : SINDO, 7 Maret 2012
    Antara kemauan dan kenyataan bak jauh panggang dari api. Pepatah itu layak ditujukan kepada upaya pemerintah dan Komisi III DPR RI yang telah memasukkan ketentuan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memasuki usia sembilan tahun. Sejak pembentukannya efektivitas UU tersebut masih mandul karena dari laporan ratusan ribu transaksi keuangan mencurigakan (TKM), sampai saat ini tidak lebih dari tiga puluh perkara yang telah diputus pengadilan.

    Sungguh sangat memprihatinkan jika kemauan politik pemerintah dengan UU tersebut tidak ditindaklanjuti sungguh-sungguh oleh aparatur penegak hukum. Pada draf awal RUU Pencucian Uang, penulis telah memasukkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,tetapi wakil pemerintah ketika itu menolak dan sepakat dengan DPR RI untuk hanya membentuk PPATK.

    Sesal kemudian tidak ada gunanya. Demikian pepatah yang pas terhadap sikap pemerintah dan anggota parlemen tersebut. Mandulnya efektivitas undang-undang tersebut antara lain disebabkan ketiadaan komisi yang diharapkan dapat efektif mencegah dan memberantas pencucian uang. Selain itu, terdapat pula kekeliruan dalam merumuskan ketentuan pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 77 dan 78 UU RI Nomor 8 Tahun 2010.

    Pasal 77 UU tersebut menentukan bahwa hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa masih dihubungkan dengan tindak pidana asal (predicate offense) atau fokus pada perbuatan terdakwa (daadstraafrecht).

    Kedua, rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam pasal tersebut dalam praktik tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dulu tindak pidana asal dimuat dalam tuntutan pidana penuntut umum. Ketiga, keberhasilan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya sekalipun ketentuan Pasal 68 UU Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.

    Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010 dalam praktiknya hakim tidak dapat memerintahkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa jika tidak terkait dengan dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat jauh berbeda dengan bunyi ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus pada perampasan aset terdakwa saja tidak harus perlu menghubungkannya dengan tindak pidana asal.Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 200 berbunyi:

    Each state party may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation.” Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi: ”Each state party shall consider…as a criminal offence,when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.

    Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Jika pembentuk Nomor 8 Tahun 2010 memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi, dapat dipastikan UU Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.

    Sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini belum mengakui harta kekayaan terdakwa merupakan subjek hukum pidana tersendiri terlepas dari status hukum seseorang selaku terdakwa. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terdapat dua opsi. Pertama, harta kekayaan terdakwa perlu diakui sebagai subjek hukum pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia, di samping orang perorangan dan korporasi yang bertujuan memperoleh keuntungan finansial atau berhubungan dengan keuangan negara.

    Kedua, mengutamakan sanksi pidana perampasan aset terdakwa atau korporasi sebagai pidana pokok di samping pidana penjara atau pidana denda. Konsekuensi kedua opsi tersebut, perampasan harta kekayaan terdakwa harus ditempatkan sebagai tindak pidana pokok––tidak lagi sebagai pidana tambahan. Saya usulkan agar ketentuan pidana dalam UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang dimasukkan ketentuan pidana perampasan aset kejahatan. Tampaknya usulan tersebut dapat diwujudkan jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang telah dipersiapkan pemerintah segera diundangkan sehingga dapat mewujudkan upaya pemiskinan dalam kasus korupsi.