Author: Adul

  • 2012

    2012
    Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
    Ada rasa waswas meninggalkan tahun 2011 sekaligus menyambut kedatangan tahun 2012 yang dimulai tengah malam ini. Tradisi kita selalu menaruh harapan besar pada setiap pergantian tahun.
    Apa lacur grafik harapan pada setiap pergantian tahun dalam beberapa tahun terakhir ini semakin menukik ke bawah. Peristiwa demi peristiwa yang menguak harapan baru terjadi hampir setiap bulan sepanjang tahun 2011.
    Namun, harapan demi harapan ternyata pupus. Akibatnya, kita telah terbiasa kecewa dan secara perlahan-lahan tak berani lagi berharap.
    Ambil contoh karut-marut sepak bola kita. Reformasi sepak bola menerbitkan harapan baru. Kecintaan masyarakat kepada tim nasional terus meningkat drastis.
    Namun, gelar juara selalu gagal digenggam dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri dan juga kepada Yang di Atas kenapa kita gagal terus.
    Ini tak hanya terjadi di sepak bola, tetapi juga di bidang-bidang kehidupan lain.
    Kita berharap korupsi wisma atlet dan Ambalang diusut tuntas. Namun, yang terjadi cuma sandiwara berkepanjangan dan membosankan yang dimainkan oleh pihak-pihak yang itu-itu juga.
    Kita berharap penuntasan skandal Century sesuai dengan keputusan konstitusional DPR. Akan tetapi, sampai kini tak ada kemajuan yang berarti dalam penyidikannya meski Opsi C secara jelas memerintahkan penyidikan atas aliran dana Century ke capres-cawapres dan parpol tertentu.
    Siapa yang bertanggung jawab atas kekecewaan demi kekecewaan yang ditelan masyarakat hari demi hari? Jawabannya mudah, yakni penguasa.
    Penguasa dan kekuasaan yang digenggam mereka telanjur menguasai hampir semua jaringan politik dan birokrasi, yang cukup ampuh menahan terungkapnya fakta-fakta kebenaran. Mereka bekerja secara sistematis dan otomatis untuk membendung setiap kekuatan yang mencoba melawan.
    Dan, itulah yang terjadi secara konstan serta konsisten sejak tahun 2009, yang dimulai dengan peristiwa Cicak vs Buaya. Puncaknya terjadi pada 2011 ini, tahun yang mungkin layak disebut sebagai annus horribilis (tahun horor).
    Ibarat sepak bola, gurita kekuasaan yang menyembunyikan korupsi itu menerapkan sistem pertahanan gerendel (catenaccio) yang teramat sukar dibongkar tim lawan. Menurut teori, sistem gerendel wajib dipraktikkan dengan disiplin teguh, kerja sama erat, stamina kuat, dan kemampuan teknis pemain memadai.
    Dasar pemain Indonesia, sistem gerendel ternyata kurang cocok. Kini mulai tampak disiplin mengendur drastis, kerja sama makin kurang harmonis, stamina turun, dan skill yang pas-pasan.
    Dengan kata lain, pusat kekuasaan mulai labil. Para penguasa lupa pada sebuah prinsip penting, yaitu kebenaran akan mencari jalannya sendiri apabila kekuasaan dijalankan tanpa tanggung jawab sosial.
    Teramat mudah berasumsi bahwa kerja sama semakin rapuh karena orang-orang di sekeliling kekuasaan sudah mulai membangkang atau menjaga jarak aman. Lihat saja bagaimana sengketa lahan atau tambang di sejumlah daerah berakhir dengan tragis karena lemahnya kontrol pusat.
    Berhubung upaya mencegah terungkapnya korupsi-korupsi menghabiskan tenaga dan waktu, secara otomatis stamina kekuasaan menurun pula. Pertanyaannya sederhana: sampai kapan, sih, Anda semua mampu mengelak dari tanggung jawab korupsi wisma atlet atau Ambalang?
    Terakhir, kemampuan teknis orang per orang di pusat kekuasaan ternyata juga terbatas. Mereka tidak saja kurang mampu mengerjakan tugas-tugas mulia sebagai abdi negara yang ingin menyejahterakan rakyat, tetapi juga bingung sendiri harus bagaimana lagi menanggulangi kemiskinan atau mempertahankan kedaulatan wilayah.
    Sekali lagi, jika memakai metafora sepak bola, tahun 2012 merupakan babak adu penalti. Anda semua boleh saja bertahan sekuat-kuatnya. Akan tetapi, pada akhirnya mesti menghadapi tos-tosan, saat penjaga gawang tak kuasa lagi menyelamatkan semua lima tendangan penalti ke gawangnya.
    Lalu bagaimana Anda, penonton pertandingan, sekalian? Jangan khawatir, kita sudah sama-sama dewasa dan ogah lagi menyaksikan pertandingan yang berakhir dengan kerusuhan.
    Kita, penonton, tak perlu masuk ke lapangan, apalagi membakar stadion. Kita sudah kapok dengan apa yang terjadi pada tahun 1998. Kita menghendaki perubahan yang konstitusional.
    Masih ada sinar terang di ujung terowongan bagi Anda semua. Mari kita berharap semoga 2012 jadi tahun yang penuh berkah dari Yang di Atas.
    Namun, syaratnya satu. Tetaplah memilih hidup yang bersih karena nurani, pikiran, jiwa, dan raga yang bersih disukai Yang di Atas, alam, keluarga, teman, serta lingkungan sosial kita.
    Kita bersihkan diri dari prasangka, rasa iri, perbuatan tak menyenangkan, keangkuhan, dan keserampangan. Kita wajib bersih dari korupsi, sang musuh nomor satu. Selamat Tahun Baru 2012!
  • 2011, Tahun yang Tidak Tuntas

    2011, Tahun yang Tidak Tuntas
    Khaerudin, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
    Catatan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pada awal 2011 menyebutkan, tahun ini seharusnya digunakan untuk menuntaskan kasus hukum yang menonjol pada 2010 yang juga sempat mengganggu proses politik. Karena itu, Satgas mendorong penegakan hukum pada 2011 dituntaskan secara nondiskriminatif. Namun, kenyataan sebaliknya justru terjadi pada saat tugas Satgas akan berakhir, yaitu semakin banyak penanganan kasus yang tak tuntas.
    Hal itu terutama terjadi bila menyangkut penguasa. Pada 2010 tercatat ada tiga kasus besar yang menonjol ketika itu, yakni pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan, dan pembagian cek perjalanan saat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004.
    Pada 2011, Gayus memang diadili, tetapi penanganannya hanya terlokalisasi pada perbuatan Gayus. Bayangan publik dari pengakuan Gayus akan terseret petinggi Ditjen Pajak dan perusahaan-perusahaan besar yang kongkalikong dengannya tak pernah terealisasi. Pada 2011, penerima suap dalam pemilihan DGS BI telah dihukum. Mereka yang merupakan anggota DPR 2004-2009 dihukum dengan rentang waktu 1-2 tahun penjara. Namun, penegak hukum masih gagal mengungkap siapa sosok yang bertanggung jawab memberi suap tersebut.
    Komisi Pemberantasan Korupsi jilid kedua di akhir periode jabatan mereka memang berhasil menangkap Nunun Nurbaeti. Istri mantan Wakil Kapolri Adang Daradjatun ini didakwa memberi suap. Namun, peran Nunun diyakini sebatas perantara suap ke anggota DPR. Miranda Swaray Goeltom yang terpilih sebagai DGS BI dan merupakan orang yang paling berkepentingan dalam pemilihan itu belum tersentuh.
    Kasus Century
    Kasus besar yang jadi tunggakan pada 2010 dan tak terselesaikan tahun ini tentu saja skandal pemberian dana talangan ke Bank Century. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak mampu dijadikan pintu masuk penegak hukum untuk menyeret pihak yang paling bertanggung jawab menggelontorkan dana Rp 6,7 triliun ke Bank Century dengan alasan jika tak ditalangi, perekonomian Indonesia bisa kolaps. Padahal, faktanya, dari hasil audit BPK, penyelamatan Bank Century ternyata digunakan untuk menyelamatkan deposan besar yang diduga kuat memiliki hubungan kekronian dengan penguasa.
    DPR yang tak puas dengan hasil audit investigasi BPK meminta lembaga yang sama melakukan audit forensik terhadap pemberian dana talangan itu. Harapannya audit forensik akan membuka siapa saja penerima dana talangan itu. BPK pekan lalu memberikan hasil audit forensik, tetapi hasilnya kurang memuaskan DPR. Anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menyebut, pemberian dana talangan (bailout) Bank Century dilakukan untuk menyelamatkan deposan besar yang diduga kuat punya hubungan kekronian dengan penguasa.
    Di luar kisruh politik soal Century ini, pimpinan baru KPK berkomitmen menyelesaikan kasus ini. Bahkan, ada semacam ”pakta integritas” di antara pimpinan KPK baru dengan anggota Komisi III DPR untuk menyelesaikan kasus Century. Setahun ini janji Abraham Samad dan kawan-kawan adalah menuntaskan kasus Century.
    Kasus hukum pada 2010 tak kunjung selesai. Pada 2011 muncul kasus yang tak kalah fenomenal, yaitu megakorupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Setelah melalui episode buron ke luar negeri, Nazaruddin yang akhirnya ditangkap KPK mulai mengungkap siapa saja petinggi partainya yang ikut menikmati hasil korupsi. Dia menuding Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan sejumlah nama politikus partai itu.
    Tak cukup untuk soal korupsi, ”rekayasa” hukum juga terjadi di ranah politik. Lihatlah dalam kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi. Pihak yang melaporkan pemalsuan surat, yakni panitera pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein, malah jadi tersangka, sementara pihak yang sempat menggunakan surat itu, yakni komisioner KPU Andi Nurpati yang kini petinggi Partai Demokrat, selamat.
    Dengan tunggakan kasus pada tahun sebelumnya ditambah kasus-kasus yang terjadi pada tahun ini, gambaran penegakan hukum pada 2012 memang masih suram. Khusus untuk kasus korupsi, harapan tetap ditaruh di pundak KPK.
  • Lidah KPK Soal Century

    Lidah KPK Soal Century
    Margarito Kamis, DOKTOR HUKUM TATA NEGARA, STAF PENGAJAR PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE 
    Sumber : SINDO, 31 Desember 2011
    Pimpinan baru KPK mulai bersuara soal Century. Kali ini suara mereka meluncur beberapa jam setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia menyerahkan hasil audit tertentu lanjutan, Jumat siang tanggal 23 Desember yang lalu kepada DPR.

    Tak tanggungtanggung, Abraham Samad,ketua baru KPK, seorang dirilah yang bersuara. Tegas, itulah kesan yang tersematkan pada lidah Abraham dibanding lidahlidah KPK sebelumnya. Mungkin karena masih sangat baru di lingkungan KPK, Abraham tidak bicara hal-hal teknis.

    Mungkin itu pula sebabnya Abraham tidak bicara, misalnya, KPK belum menemukan niat jahat, bagian dari mensrea dalam kasus ini. Apakah lidah Abraham punya marwah, begitu juga komisioner lainnya, sehingga kepada mereka harapan penuntasan kasus Century dapat digantungkan?

    Lidah Bermarwah

    Seperti lidah semua orang, lidah Abraham, juga lidah tiga komisioner lainnya yang baru terpilih, pasti tak bertulang. Namun, sekalipun sama-sama tak bertulang, marwah lidah setiap orang berbeda. Lidah orang yang tahu beningnya marwah kebesaran, berbeda jauh dengan lidah koruptor. Kebohongan setidak-tidaknya mencla-mencle tidak pernah menjadi teman, apalagi sahabat sejati lidah orang-orang yang punya marwah kebesaran. Kebohongan dan mencla-mencle adalah lidah korup.

    Abraham dan sejawatnya di KPK pastilah tahu bahwa mereka adalah orang-orang besar, punya marwah. Sebagai orang-orang yang punya marwah, tidak mungkin misalnya, pada suatu waktu bilang kami sedang bekerja, dan akan terus bekerja menuntaskan kasus Century, tetapi di lain waktu mencla-mencle. Bilang terusmenerus bekerja menuntaskan kasus Century, tetapi publik menemukan kenyataan yang jauh panggang dari api.

    Mungkin ada kelemahan Timwas Century, tetapi lidah Abraham dan kawan-kawan komisioner yang lain bukan lidah yang pantas dipakai untuk menertawakannya. Sungguh terlalu bila Abraham dan kawan-kawan komisioner yang lain membiarkan hal-hal yang belum diungkapkan oleh Timwas tetap tak terungkapkan.

    Sebaliknya, dunia terasa indah bila Abraham dan kawan-kawan komisioner yang lain memprakarsai langkah-langkah tertentu untuk menutupi kelemahan itu. Mulai sekarang sebaiknya lidah tuan-tuan komisioner semuanya tidak lagi mengatakan, “Kami terus mencari dua alat bukti.” Publik negeri ini telah cukup tahu bahwa sudah sekian ratus orang diperiksa penyidik-penyidik KPK sebagai saksi.

    Sudah ribuan lembar kertas bernilai bukti secara hukum di tangan KPK. Hasil audit tertentu BPK, bahkan hasil audit lanjutan BPK yang sebentar lagi akan diserahkan ke KPK, semuanya lebih dari cukup untuk jadi alat bukti. Satu-satunya soal yang belum terang adalah ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.

    Memang BPK dalam audit pertama telah mengualifikasikan serangkaian perbuatan dalam peristiwa bailout Century sebagai tindakan melawan hukum, tetapi belum menyatakan besaran kerugian keuangan negara. Inilah yang harus jadi fokus penyelidikan Century, bukan mengatakan belum ditemukan niat jahat.

    Perhitungan Kerugian Negara

    Menariknya, seiring dengan ketidakpuasan sebagian besar publik terhadap hasil audit lanjutan BPK, muncul berbagai gagasan di sebagian anggota DPR, yang tergabung dalam Timwas Century. Dua di antaranya: Pertama, minta auditor independen, bahkan berkualifikasi internasional untuk melanjutkannya. Kedua, meminta BPK melakukan audit tambahan. Gagasan di atas baik, tetapi bukan tanpa risiko.

    Risiko paling ringan adalah KPK bisa tersenyum sinis, bahkan tertidur pulas di tengah drama audit lanjutan. Bukan karena KPK tahu bahwa hukum tata negara di negeri ini hanya meletakkan kewenangan menghitung kerugian keuangan negara pada BPK, tetapi lebih dari itu, KPK tahu yang seharusnya dilakukan saat ini adalah audit investigasi yang dimintakan oleh penyidik, bukan oleh DPR.

    Sifat investigasi dua audit itu tidak sama persis dengan sifat investigasi audit investigatif BPK berdasarkan permintaan penyidik dalam kerangka penyidikan satu tindak pidana. Dalam audit investigasi yang diminta penyidik, umumnya penyidik telah memiliki keyakinan bahwa peristiwa yang diselidiki adalah peristiwa pidana.

    Namun, kualifikasinya belum cukup terang atau sempurna. Supaya terang dan sempurna, unsur kerugian keuangan negara harus ditemukan dan dibuat pasti. Supaya tercapai, KPK musti fokus mengenali semua sisi hukum, baik sebelum, saat, maupun setelah bailout. Dalam konteks ini, KPK mesti membuat anatomi peristiwa dalam kerangka hukum.

    Anatomi ini menjadi patokan, sekaligus memudahkan konstruksi predicate crime, dan penentuan siapa yang pantas ditersangkakan, dan siapa yang pantas dijadikan saksi. Rasanya ini soal sepele bagi KPK. Bukankah sifat melawan hukum perbuatan bailout telah dinyatakan BPK dalam audit sebelumnya? Umumnya dalam audit investigasi yang dilakukan atas dasar permintaan penyidik dalam kerangka penyidikan, BPK menentukan tiga hal: Pertama, hukumnya.

    Dalam arti mengurai hukum dari rangkaian peristiwa yang diaudit. Uraian ini berakhir dengan kesimpulan ada atau tidak adanya unsur melawan hukum. Kedua, subjeknya. Karena semua perbuatan para pejabat dipandu dengan kaidah hukum, BPK tahu siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana konsekuensinya. Ketiga, besaran kerugian keuangan negara.

    Seperti dua unsur sebelumnya, BPK akan mengakhiri audit terhadap unsur ini dengan kesimpulan adanya jumlah pasti kerugian keuangan negara. Pada titik ini tidak mungkin BPK tidak menandai gelontoran uang negara sejak November 2008, tepatnya sejak digelontorkan FPJP. FPJP akan dijadikan titik bidik permulaan dalam menentukan besaran keuangan negara.

    Akhirnya, bangsa ini akan menyerukan kepada Abraham Samad dan komisioner lainnya untuk mencegah kemungkinan lidah tuan-tuan komisioner tertandai sebagai lidah khianat. Tuan Abraham dan komisioner lainnya sudilah membuat bangsa ini memiliki sedikit kesempatan untuk bisa tersenyum. Sungguh, bangsa ini sudah sangat letih dengan rindunya yang tak bertepi melihat kasus Century berakhir dengan hukum jelas. Semoga Abraham dan komisioner lainnya menjadi bintangnya.

  • Negeri Para Mafia

    Negeri Para Mafia
    Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RI, ANGGOTA KOMISI III DPR 
    Sumber : SINDO, 31 Desember 2011
    Tahun 2011 berlalu dan meninggalkan sebuah catatan tegas: negara ini masih bertekuk lutut di hadapan para mafia. Ketika masa kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) genap berusia dua tahun pada 30 Desember 2011, bahkan tak sepotong mafia pun yang bisa mereka ungkap.

    Satgas PMH hanya mampu mengantarkan salah satu anggotanya, Denny Indrayana, menjadi wakil menteri hukum dan HAM. Selebihnya, aroma kehadiran para mafia, di sekitar kita, tetap terasa sangat pekat kendati mereka tak pernah jelas sosoknya. Satgas PMH mengaku menerima hampir 5.000 pengaduan publik soal mafia hukum, tapi mereka mengaku hanya bisa menindaklanjuti 163 pengaduan dengan meneruskan aduan itu ke instansi terkait.

    Dari angka terakhir tadi, hanya 73 laporan yang kemudian digarap dan entah seperti apa pula kelanjutannya. Maka semakin berjayalah para mafia di negeri ini. Di Indonesia, dalam setiap aspek kehidupan, nyaris selalu ada mafia yang berkuasa. Mereka menggerogoti semua aspek, dari mulai tingkat ‘cere’ sampai level para ‘don’ di pusat kekuasaan sana. Para mafia memainkan kasus demi kasus.

    Di awal kuartal ketiga 2011,Indonesia dihebohkan oleh sindikat pencurian pulsa telepon seluler. Kala itu ditegaskan, pencurian pulsa mencapai nilai triliunan rupiah. Bulan demi bulan berlalu. Berapa jumlah tersangka kasus pencurian pulsa yang ditangani polisi? Nol Besar! Tidak satu pun. Celaka, bahkan oleh sekadar mafia pulsa, negara bisa dibikin tak berdaya.

    Selain itu, negara juga hanya bisa membiarkan satu per satu imigran gelap tewas dalam perjalanan ke Australia, gara-gara mafia imigran begitu mudahnya bermain di kantor-kantor imigrasi, di kantor-kantor polisi, dan di pelabuhan-pelabuhan. Ketidakberdayaan negara ketika melawan mafia, pada akhirnya, mengorban kan kaum rakyat jelata. Nyawa mereka bahkan kerap harus melayang.

    Apa yang terjadi di Mesuji(Lampung dan Sumatera Selatan) adalah buktinya. Ketika mafia tanah, mafia kehutanan beraksi, rakyat harus tergusur. Kalaupun rakyat mencoba melawan—dan aparat negara berada di pihak sana, yang didapat adalah kematian. Kematian bahkan dengan cara yang brutal. Nasib yang sama tragisnya dihadapi kalangan rakyat, ketika mereka dibiarkan sendirian oleh negara, dan harus menjajal kekuatan mafia pertambangan.

    Di Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Papua, nyawanyawa melayang dibuatnya. Kelakuan mafia pertam bangan semakin menyebalkan ketika ternyata mereka juga banyak yang menunggak kewajiban pajak. Tentu saja, ketika kejadian seperti ini terjadi, ada campur tangan mafia pajak di sana. Hingga akhir 2011, kasus penunggakan pajak oleh perusahaan pertambangan, utamanya asing, sama sekali belum disentuh.

    KPK mencatat terdapat 14 perusahaan migas asing yang mengemplang pajak, senilai Rp1,6 triliun. Ketika KPK sudah menyebut angka-angka, ternyata juga tak banyak perkembangan yang didapat dalam pengungkapan kasus tersebut. Tahun 2011 adalah saksi dari ketidakberdayaan KPK menghadapi masalah ini. Padahal, KPK yang pertama kali merilis ada puluhan perusahaan migas asing yang menunggak pajak.

    Mafia pajak kian bersorak setelah tak ada satu pun tokoh di balik kasus Gayus Tambunan yang terungkap. Padahal, kita tahu, Gayus hanya pegawai junior di Ditjen Pajak. Sangat tidak mungkin ia bekerja sendiri, tanpa melibatkan pejabat di atasnya. Benar, Gayus sempat menyebutkan sejumlah nama.

    Namun, dalam proses penyelidikan dan penyidikan, aparat hukum hanya berkutat pada kasus Gayus, tanpa membidik pejabat penting yang diduga terlibat ataupun kasus penggelapan pajak lainnya, seperti manipulasi restitusi pajak. Anehnya, upaya untukmengungkap mafia pajak justru dihambat pemerintah. Sewaktu DPR berupaya menggelar angket mafia pajak, pemerintah dan partai pemerintah habis-habisan menolak. Hasilnya? Sebanyak 151 perusahaan kakap yang diduga ‘bermain’ pajak menjadi bebas melenggang.

    Tak hanya itu. Pada akhir tahun 2011, media kemudian menulis, ada dua pegawai pajak yang terlibat dalam kasus mafia perpajakan, yang ternyata tetap dipekerjakan di lingkungan Kementerian Keuangan. Kedua orang ini terbukti menerima suap lebih dari Rp500 juta. Mereka juga ditengarai memiliki rekening mencurigakan mencapai miliaran rupiah. Ironisnya, tidak ada sangsi tegas yang dijatuhkan.

    Bebas Berkiprah

    Mengamati kiprah para mafia di negeri ini, memang, amat menyakitkan. Padahal itu belum semuanya. Masih ada mafia perbankanyangmembuatnegara ini keropos setelah dilanda krisis, akibat korupsi dana rekap dan BLBI yang tak karuan juntrungannya. Mafia perbankan menampakkan diri lagi saat terjadi bailout Bank Century.

    Namun, mereka masih bisa berkelit setelah hasil audit forensik BPK, yang diumumkan akhir Desember 2011, ternyata masih menutupi sejumlah skandal yang melingkupi proses bailout tersebut. Dalam kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) 2004, yang dimenangkan Miranda Goeltom, KPK juga tampak gagap. KPK seolah heboh ke sana ke mari, tapi Miranda Goeltom tidak mereka sentuh.

    Aroma konspirasi dalam pengungkapan kasus ini pun tercium kuat. Begitulah, tahun 2011 berlalu meninggalkan rasa miris. Hukum masih diskriminatif, bisa diatur. Hanya tegas ke kalangan rakyat bawah, tapi sangat lemah menghadapi orang berduit atau berkuasa. Jangankan menghadapi mafia perbankan yang bermain di BLBI, Bank Century, ataupun kasus suap pemilihan deputi senior gubernur BI.

    Sekadar membuka tuntas kasus Melinda Dee—seorang pejabat kelas menengah di Citibank Jakarta— aparat kita bahkan tetap tidak mampu. Yang terjadi, mafia bahkan bisa memetieskan kasus yang sudah berjalan. Saya atau siapa pun tentu tidak akan rela Indonesia menjadi negeri para mafia. Diperlukan kemauan dan kerja keras dari semua pihak untuk bersama mengikis habis praktik-praktik mafia.

    Pembenahan sistem yang membuka peluang tumbuh suburnya praktik mafia harus segera dilakukan. Pemberian sangsi yang tegas kepada para pelaku mutlak diperlukan. Dibutuhkan pula partisipasi dan keberanian segenap elemen masyarakat untuk mau mengungkap kasuskasus mafia yang ada. Sangat dibutuhkan pemimpin yang mampu bersikap tegas dan bertindak tanpa pandang bulu.

    Sudah bukan saatnya pemerintah hanya bisa menggembor-gemborkan perang terhadap praktik mafia, tetapi tidak mampu memosisikan diri sebagai panglima di lini depan. Kegalauan penegakan hukum yang dimulai dari atas akan ditiru oleh penegak hukum di bawahnya. Jika itu terjadi, hasil yang didapat hanyalah pencitraan belaka, sementara penegakan hukum akan terus karut-marut.

  • Meniti Tonggak Menuju Kajayaan

    Meniti Tonggak Menuju Kajayaan
    Saratri Wilonoyudho, PENELITI DAN DOSEN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG,
    ANGGOTA DEWAN RISET DAERAH JAWA TENGAH
    Sumber : SUARA MERDEKA, 31 Desember 2011
    PERTANYAAN memasuki Tahun Baru 2012: apakah negeri ini tetap memble atau mengawali kejayaan? Penting mengajukan pertanyaan ini karena kita memiliki segalanya. Ada sejumlah modal penting berkaitan dengan SDM, selain kekayaan alam yang tak tertandingi negara mana pun. Masalahnya hanyalah kepemimpinan. Di tengah kemerosotan mutu berbagai bidang kehidupan, kenyataan itu memunculkan secercah harapan baru. Ketika dalam kompetisi sepak bola kita terus kalah, badminton juga, prestasi SEA Games pun ”merosot”, siswa yang ikut olimpade sains (fisika, kimia, matemaika, dan biologi) tingkat internasional ramai-ramai menyumbangkan medali emas, perak, dan perunggu.

    Karenanya kita boleh optimistis bahwa sebenarnya Indonesia berbakat memimpin dunia. Debat tentang benua Atlantis yang hilang ribuan tahun silam, semuanya hampir menunjuk bahwa benua dengan tingkat peradaban tinggi itu adalah yang kini disebut Indonesia. Rasanya tidak ada negara di dunia yang kekayaan alam, flora, fauna, dan biodiversivitas lainnya sekaya kita.

    Demikian pula tidak ada negara di dunia yang memiliki jumlah bahasa, suku, dan adat kebudayaan selengkap Indonesia. Orang Indonesia sangat piawai memainkan jenis musik di dunia, bahkan bisa persis, malah melebihi pemain aslinya. Konon ketika Eropa Barat masih diliputi zaman batu, kita  sudah bisa membuat keris dari besi mulia yang dibuat berlapis-lapis dengan kekuatan luar biasa. Demikian pula dalam hal pengobatan berbagai jenis penyakit, kemampuan nenek moyang kita luar biasa.

    Mengapa bakat alam luar biasa manusia Indonesia kini tidak menampakkan hasilnya untuk perbaikan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya? Mengapa untuk soal sepele seperti tabung gas meledak atau jalanan macet kita tidak menampakkan kreativitasnya? Apa guna anak-anak jenius yang terus kita kirim belajar ke luar negeri?
    Jawabannya adalah kita tidak memiliki program jelas untuk mengelola SDM bermutu tersebut. Di negeri ini hanya orang yang memiliki kelihaian dekat dengan pusat kekuasaan yang dapat berkembang, dan ini terjadi di segala lini, misalnya di kantor pemerintahan, bahkan di kampus.

    Visi Jelas

    Sebaliknya anak-anak jenius yang kreatif selalu kalah (dikalahkan) oleh kekuatan itu. Banyak proposal penelitian yang bagus justru tidak dibiayai, sebaliknya yang ecek-ecek didukung. Ini terjadi karena yang disebut terakhir memiliki kedekatan hubungan ”proyek”. Di samping itu, pemerintah juga tidak memiliki visi jelas sebagaimana dilakukan Jepang dalam Restorasi Meiji.

    Jepang saat itu mengirim ratusan orang cerdas untuk belajar ke Barat dan kini mereka diberi tempat untuk mengekspresikan kreativitasnya lewat program yang jelas. Belum lama ini Septinus George Saa ”ditemukan” wartawan di proyek perusahaan minyak asing dengan gaji sangat tinggi. George adalah anak Papua yang sukses memenangi First Step to Nobel Prize in Physics 2004 mengalahkan 73 peserta sedunia (Wilonoyudho, SM, 26/07/10).

    Tesisnya, ”Infinite Triangle And Hexagonal Latice Network of Identical” mencengangkan para juri tingkat dunia karena George adalah siswa SMA, bahkan dari daerah terpencil di Papua, sedangkan tesisnya itu amat sulit dipecahkan, bahkan oleh mahasiswa S2 sekali pun. Tapi apa yang terjadi, George lepas ke pelukan perusahaan asing, dan Indonesia yang mendidiknya sejak TK tidak dapat berbuat apa-apa. Agaknya kasus George akan diikuti oleh puluhan pelajar kita yang sukses menjuarai olimpiade sains internasional.

    Anak-anak jenius kita bisa diburu oleh negara-negara lain yang memiliki visi dan misi jelas dalam memanfaatkan potensi mereka. Mestinya pemerintah sudah merancang penempatan anak-anak jenius kita sepulang mereka bersekolah di luar negeri, dengan proyek yang jelas, karier yang jelas, dan kesejahteraan yang juga jelas. Di negeri ini hanya BJ Habibie yang beruntung. Sepulang dari Jerman menggondol gelar doktor summa cum laude: dengan pujian tertinggi, dalam ilmu pesawat terbang, ia dipercaya mengelola IPTN. Dia seakan mendapat mainan baru untuk lebih mengembangkan kreativitasnya.

    Permasalahan di negeri ini kini sangat kompleks dan makin kritis dari hari ke hari. Dengan bahasa yang lebih tegas, kehadiran para jawara olimpiade sains yang dirintis Johanes Surya harus sinkron dengan rencana jangka panjang Kemenristek, Kemendikbud, dan sistem persekolahan kita. Kalau terputus, maka tidak akan berarti apa-apa.

  • Menggugat Setgab

    Menggugat Setgab
    Yunarto Wijaya, DIREKTUR RISET CHARTA POLITIKA INDONESIA 
    Sumber : SINDO, 31 Desember 2011
    Perdebatan mengenai efektivitas keberadaan Setgab kembali muncul. Usulan untuk membubarkan Setgab bahkan sudah mulai disuarakan beberapa politisi.

    Usulan ini muncul sebagai akumulasi dari makin tajamnya perbedaan sikap anggota Setgab dalam pengambilan keputusan beberapa isu strategis. Perbedaan pendapat sebenarnya sudah muncul pada saat bergulirnya hak angket mafia pajak,RUUK DIY, begitu pula dalam menentukan pilihan terhadap pimpinan KPK baru. Puncaknya tentu saja pada saat pembahasan mengenai RUU Pemilu yang berkaitan dengan masa depan elektoral masing-masing partai.

    Keberadaan Setgab bisa dinilai dari dua indikator. Pertama, secara empiris berkaitan dengan keberhasilan upaya pembangunan stabilitas pemerintahan dalam koalisi multipartai. Kedua, secara normatif berkaitan dengan karakter dan sistem kerja dari Setgab yang dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial yang diamanatkan konstitusi.

    Dilihat secara empiris, Setgab sudah terbukti gagal tampil sebagai variabel st-abilisator. Gonjang-ganjing politik terus terjadi di antara elite antaranggota Setgab.Sementara itu, hampir tidak ada satu pun keputusan strategis yang dihasilkan melalui wadah ini. Perlu dianalisis juga, apakah keberadaan Setgab sudah mendukung terciptanya tatanan sistem presidensial secara ideal atau hanya menambah beban proses pencarian bentuk sistem pemerintahan yang masih berada pada situasi anomali.

    Koalisi Salah Arah

    Pembentukan Setgab tidak bisa dilepaskan dari konsep koalisi yang coba dibangun oleh pemerintahan SBY-Boediono.Dengan alasan stabilitas politik, pemerintahan SBY-Boediono membangun koalisi besar dengan enam partai yang menguasai 75,54% kursi di parlemen. Koalisi besar ini diasumsikan dapat menjamin terselenggaranya hubungan yang harmonis antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

    Asumsi ini terbukti meleset ketika hak angket Century bergulir. Ikatan koalisi seakan menjadi sirna ketika Partai Golkar, PKS, dan PPP memosisikan dirinya berseberangan dengan Partai Demokrat.Tidak lama setelah kejadian itulah ide pembentukan Setgab digulirkan. Keberadaan Setgab dianggap bisa memperbaiki hubungan yang renggang di antara anggota koalisi pascaangket Century.

    Berkaca pada situasi ini, pembentukan Setgab bisa dilihat sebagai sebuah bentuk ‘keterpaksaan’ seorang Presiden yang telanjur tersandera oligarki parpol dalam pemerintahannya. Tanpa disadari, pembentukan Setgab malah semakin memperlihatkan besarnya dominasi parpol dalam wilayah eksekutif. Selain itu, perlu diingat juga bahwa eksekutif tidak hanya terbentuk dari gabungan parpol.

    Beberapa menteri,bahkan Wakil Presiden,adalah unsur yang juga membentuk pemerintahan yang ada. Kehadiran Setgab ini bisa jadi akan semakin memperkecil ruang gerak mereka dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Peran Setgab juga berpotensi mengeliminasi fungsi dari lembaga legislatif.

    Setgab bisa dianggap sebagai lembaga ‘ekstraparlemen’ yang memotong proses pengambilan keputusan melalui kompromi politik yang dibuatnya secara informal. DPR hanya akan menjadi lembaga ‘pemberi stempel’ meneruskan apa yang sudah disepakati anggota Setgab dengan kekuatan mayoritas kursi yang dimilikinya.

    Membongkar Koalisi Kartel

    Berkaca dengan kondisi di atas,agak sulit buat kita memahami pilihan presiden untuk terus mempertahan kan Setgab. Alih-alih ingin membangun situasi politik stabil, Setgab terbukti telah bertransformasi menjadi virus yang merusak tatanan sistem politik itu sendiri. Minimal ada dua pilihan yang bisa diambil yakni membubarkan Setgab atau menata ulang koalisi sesuai karakter sistem yang ada.

    Pilihan ekstrem membubarkan Setgab atau koalisi sebenarnya adalah sebuah kewajaran dalam sebuah sistem presidensial. Otoritas presiden yang diberikan melalui pemilihan langsung sebenarnya mengisyaratkan bahwa koalisi dalam sistem presidensial hanya terjadi antara presiden terpilih dan rakyat. Inilah makna dari kekuasaan yang terpisah (divided government) yang menjadi salah satu ciri dari sistem presidensial (Linz,1992).

    Dominasi parpol dalam pemerintahan yang terwujud dalam Setgab dan ‘kabinet politik’ berarti menegasikan peran masyarakat sebagai pemegang kontrak sosial dalam pemilu langsung.Pemerintah harus berani mengembalikan kekuasaan rakyat yang selama ini telah dibarter dengan koalisi kartel yang terbukti tidak efektif keberadaannya.

    Pilihan kedua adalah dengan cara menata ulang koalisi untuk menghasilkan optimalisasi peran dari masing-masing aktor di eksekutif ataupun legislatif. Dalam pemerintahan yang terpisah,koalisi antarpartai hanya mungkin dilakukan di level legislatif.Koalisi bisa terfokus pada kesepakatan berkaitan dengan ketiga fungsi yang dimiliki parlemen. Sementara di level eksekutif, menteri-menteri parpol harus berkonsentrasi penuh pada tugasnya sebagai pembantu presiden.

    ‘Koalisi’ di lembaga ini harus diartikan sebagai kepatuhan dari menteri terhadap pakta integritas dan kontrak kerja yang ditandatangani sebagai anggota kabinet. Roda pemerintahan SBYBoediono masih harus berjalan sekitar tiga tahun ke depan.Selama itu pulalah tugas berat akan terus berdatangan. Sebuah tantangan yang hanya mungkin dijalankan oleh seorang presiden yang memiliki otoritas penuh. Otoritas yang hanya bisa dimiliki manakala belenggu ‘demokrasi kartel’ bisa dibongkar secara utuh. Semoga!

  • Kabut Penegakan Hukum

    Kabut Penegakan Hukum
    Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA SEMARANG, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 31 Desember 2011
    MENGIRING perjalanan waktu menuju berakhirnya 2011, banyak peristiwa kebangsaan kita yang layak mendapatkan perhatian. Rangkaian peristiwa itu merupakan gambaran perjalanan sebuah bangsa. Apa yang kita saksikan hari ini, merupakan investasi untuk potret masa depan. Karena itu, rangkaian peristiwa itu tidak bisa semata-mata dipandang kejadian biasa tapi harus dimaknai sebagai refleksi atas peristiwa-peristiwa yang akan datang.

    Di dalamnya, termasuk potret masa depan hukum. Bahkan, sangat mungkin fenomena penegakan hukum menjadi warna dominan seluruh rangkaian peristiwa. Pasalnya, bangsa yang sedang membangun dan memperkokoh sistem demokrasi pasti mengiringinya dengan penataan sistem hukum. Tidak ada demokrasi tanpa hukum. Prof Satjipto Rahardjo, penggagas hukum progresif melontarkan penilaiannya bahwa Indonesia bagi kalangan akademis merupakan laboratorium terbaik untuk membaca dan membangun kembali secara dialektis prinsip-prinsip dasar hukum.

    Jika selama ini hukum mengidentifikasi diri sebagai benteng keadilan dan kebenaran maka berbagai peristiwa hukum di Indonesia belakangan ini barangkali menjadi sebuah antitesis dari premis-premis dasar hukum. Faktanya dunia hukum menjadi pihak yang paling tertuduh atas tingginya penyimpangan dan penyelewengan di tingkat negara, karena ketidakmampuan instrumen hukum membentengi dan memprevensi berbagai kejahatan.

    Mencermati secara akademis, munculnya konstruksi hukum memiliki beberapa dimensi substansial yang menjadi dasar epistemologis lahirnya hukum. Pertama; adanya kebutuhan untuk memberikan perlindungan bagi individu, kelompok, dan sosial demi terjalinnya hubungan inividu dan kelompok secara adil dengan bertumpu pada prinsip kebenaran sosial yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Karena itu hukum dijadikan sebagai benteng pertahanan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

    Kedua; hukum juga merupakan kontruksi sosial yang berfungsi merekayasa perubahan sosial pada tujuan tertentu yang lebih baik, berbudi, maju, dan berperadaban. Sebagai nilai-nilai keadilan dan kebenaran serta memberikan arah terhadap kemajuan peradaban, sesungguhnya hukum dapat diartikan sebagai sesuatu yang kompleks, meliputi semua dimensi kebaikan kehidupan manusia yang selalu berkembang.

    Dimensi Sakral

    Disparitas hukum atau alienasi hukum dari konteks realitas kepentingan sosial  merefleksikan tumbuhnya dua kecenderungan hukum yang berkembang. Pertama; simplifikasi dan subordinasi konstruksi hukum ke dalam perangkat perundang-undangan. Dua hal itu menyebabkan runtuhnya keagungan nilai-nilai hukum, menjadi sebatas pasal perundang-undangan yang statis dan tertutup serta tidak memiliki roh.

    Kedua; kecenderungan industrialisasi hukum. Kecenderungan ini menempatkan hukum tak ubahnya komoditas yang bisa menghasilkan kepentingan ekonomis melalui pertukaran jasa perkara. Industrialisasi hukum merupakan kelanjutan dari penempatan hukum sebagai instrumen penghukuman dan pembenaran. Jika hukum selama ini dipersepsikan sebagai proteksi bagi keadilan dan kebenaran, dalam industrialisasi hukum, perangkat perundang-undangan ditempatkan sebagai legitimasi bagi kepentingan menghukum atau membebaskan seseorang.

    Merujuk UUD 1945, negara ini adalah negara hukum maka sejatinya kita juga mengimajinasikan pentingnya penguatan sistem hukum sebagai penopang kokohnya eksistensi bangsa dan negara. Tetapi lebih dahulu harus menyempurnakan konstruksi hukum kita dengan menggunakan beberapa prinsip.

    Pertama; pentingnya pengadaptasian sistem nilai hukum modern dalam Indonesian Twist sebagai basis nilai dan norma untuk menopang eksistensi hukum nasional. Indonesian Twist merupakan nilai dan norma genuine yang hidup di tengah masyarakat dengan segala keragaman dan wisdom yang dimiliki. Kedua; menempatkan formula hukum sebagai nilai-nilai yang selalu hidup dan berkembang sehingga hukum menjadi dinamis dan berkembang beriringan dengan perkembangan di masyarakat.

    Ketiga; pentingnya kesadaran hukum berorientasi pada tujuan bukan pada prosedur formal semata. Kesadaran ini menempatkan hukum sebagai meta yuridical yang selalu terhubung dengan nilai-nilai dasar yang membentuknya. Kesadaran ini menuntut adanya diskresi dari tiap penegak hukum untuk lebih mengutamakan tujuan penegakan hukum ketimbang teks dan aturan hukum.

    Prinsip-prinsip ini akan lebih mendekatkan hukum pada dimensinya yang paling sakral dan agung, yakni terkuaknya kebenaran hukum dan terpenuhinya ekspektasi keadilan yang menjadi tuntutan sosial masyarakat. Dengan demikian, formula hukum lebih bisa berjalan seiring dengan keadilan sosial.

  • Ketika Politikus, Pengusaha, dan Media Bersatu

    Ketika Politikus, Pengusaha, dan Media Bersatu
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 30 Desember 2011
    Pekan lalu, Program Pascasarjana Komunikasi FISIP, Universitas Indonesia, meluncurkan buku Dedy N Hidayat Self-Originated Being, untuk mengenang almarhum Prof Dr Dedy Nur Hidayat, salah seorang guru besar di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, yang wafat 9 November 2010.
    Buku yang diluncurkan tersebut berisikan sebagian intellectual exercise almarhum dalam menganalisis dan mengkritik berbagai perkembangan situasi sosial, politik, dan media selama kurun 20 tahun, khusus yang dimuat di harian Kompas.
    Sikap kritisnya dapat dibaca misalnya dalam artikel berjudul “Robohnya Rasionalitas dan Moralitas Politik Kami” (hal 101-106, dimuat pada 19 Februari 2000).
    Di situ dia menilai reformasi politik di Indonesia telah membuka kotak pandora, yakni memunculkan kembali beragam keyakinan, ide, serta tingkah laku yang justru bertentangan dengan hakikat rasionalitas dan moralitas gerakan reformasi itu sendiri.
    Penilaiannya itu relevan, sebab suka atau tidak suka, haruslah diakui apa yang diagung-agungkan Indonesia sebagai demokrasi keempat terbesar di dunia hanya “seolah-olah” menghasilkan kehidupan politik yang lebih demokratis dan didasarkan rasionalitas.
    Namun kenyataannya, yang lebih berkembang malah (mengambil istilah Mas Dedy) “democrazy”, buah dari unjuk kekuatan massa (fisik) dan politik uang di hampir semua level pemilu.
    Karena artikel itu ditulis tahun 2000, dia memberi contoh konflik di Maluku sebagai wujud irasionalitas itu. Namun hari ini, kekerasan dan konflik menjadi bahasa di mana-mana, yang terbaru adalah bentrok di Bima, NTB.
    Irasionalitas muncul karena tidak terjadi optimalisasi sekurangnya atas tiga hal, yakni: (1) pilihan politik yang diambil bukanlah yang terbaik dalam upaya mencapai tujuan bersama; (2) pilihan itu diambil bukan dari sejumlah opsi dan tanpa dasar argumen yang kuat; (3) dalam konsep politik itu tidak terjadi konsistensi internal (tanpa bukti-bukti dan argumen yang memadai, serta tidak selektif atau cenderung manipulatif), atau satunya kata dengan perbuatan.
    Karena itu, kalau 13 tahun setelah reformasi kita tetap mengeluh situasi di banyak bidang tidak membaik bahkan memburuk (misalnya pemerataan korupsi, kesenjangan yang semakin lebar, pemekaran wilayah berbasis etnis atau agama), itu juga buah dari berbagai irasionalitas kita dalam berdemokrasi.
    Sirkuit M-P-M
    Dalam artikelnya yang lain, “Sirkuit Akumulasi Modal dan Kuasa” (dimuat 23 Maret 2005, hal 9-12), Dedy mencemaskan kondisi yang secara sistemik menempatkan negara lebih sebagai instrumen sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan, dengan pertanyaan besar: apakah loyalitas pada perusahaan berakhir setelah seseorang menjadi pejabat negara?
    Sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan itu formulasinya M-P-M (Money-Power-More money). Karena uangnya, pemilik modal/politikus mendapatkan kekuasaan politik, dan kekuasan itu dimanfaatkan untuk menghimpun lebih banyak modal, yang nantinya juga digunakan lagi untuk menumpuk kekuasaan politik yang lebih besar dan seterusnya.
    Dampak sirkuit itu adalah negara mengalami krisis representasi, karena pilihan politik yang dimiliki publik terbatas pada apa yang disodorkan kekuatan ekonomi dan kampanye politik. Bergabungnya para pemilik modal dalam politik makin memperbesar peluang mereka dapat langsung mengatur negara.
    Dari analisisnya, kita terpaksa berpikir apakah demokrasi kita kini sedang menuju ke sebuah oligarki besar. Berbagai fakta dan indikasi menunjukkan sekelompok kecil elite politik dan pemilik modal kini mulai menggalang kekuatan mereka untuk mempersiapkan diri merebut kekuasaan pada 2014.
    Sekadar “Sound Bites”
    Bila kita meninjau dari sudut ekonomi politik, fenomena Sirkuit M-P-M itu sedang terjadi secara kasat mata dan makin mengkristal. Mereka mewakili gabungan tiga kekuatan, politik, bisnis, dan media.
    Misalnya, belum lama ini pengusaha Harry Tanoesoedibjo, pemilik kelompok Media Nusantara Citra (MNC) yang juga menguasai sejumlah jaringan stasiun televisi, radio, surat kabar maupun portal internet dalam skala nasional, bergabung dengan Surya Paloh, mantan politikus Partai Golkar yang mendirikan Partai Nasional Demokrat dan pemilik Media Group. Dari kubu lain, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga memiliki ketiga kekuatan itu dalam satu tangannya.
    Cepat atau lambat segera menyusul penggabungan kekuatan politik, uang, dan media dari kelompok-kelompok politik dan bisnis yang lain, di luar dua kubu yang disebut terdahulu itu.
    Misalnya kedekatan Chairul Tanjung (CT Corp yang menaungi Trans TV, Trans-7, dan detik.com) dengan Hatta Rajasa (ketua umum PAN dan besan Presiden SBY), dan mungkin akan bergabung lagi sejumlah kelompok bisnis lainnya.
    Dalam pemikiran Dedy, seharusnya media massa menjadi salah satu unsur yang mampu mengembangkan rasionalitas dan moralitas politik dalam proses reformasi di Tanah Air, karena para wartawan diharapkan menjadi kekuatan profesional yang independen, tidak berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu, dan mampu mengembangkan diskursus yang sehat melalui public sphere.
    Namun, kalau melihat tren penggabungan politik, bisnis, dan media seperti itu, apakah harapannya itu dapat terwujud? Pertanyaan kita: besarkah peluang masyarakat mendapat informasi politik yang rasional dan independen dalam proses politik menuju 2014? Ke mana demokrasi kita akan bermuara?
    Saya pun khawatir masyarakat pada akhirnya tidak mendapatkan informasi yang cukup baik sehingga mereka bisa membuat keputusan politik yang rasional pada pemilu mendatang.
    Sebagai bandingan, di Amerika, muncul berbagai persoalan etika komunikasi politik sebagai akibat perkembangan teledemocracymelalui televisi, yang terbukti telah mengubah format politik di sana.
    Di tangan para konsultan politik, para kandidat, atau pun partai tak lebih dari sekadar brand, image, dan sama sekali tidak memunculkan diskursus yang hidup, sehat, dan mendalam mengenai program, arah politik, atau latar belakang kandidat, misalnya, namun hanya memunculkan sound bites yang sudah terduga (Robert E Danton, Jr, dalam Political Communication Ethics An Oxymoron?, 2000).
    Di Indonesia kita sudah merasakan buah perkembangan itu. Calon yang dipilih terbukti hanya bagus di kemasan, namun melempem isinya. Hal itu terjadi di berbagai level pemilu atau pilkada.
    Karena itu, menghadapi perkembangan seperti itu, kalangan civil society harus segera bergerak mengadakan civic education agar pemilu kita ke depan lebih berkualitas. Tugas kita semua membangun multiples sources untuk pendidikan politik warga agar tidak mengulang kesalahan memilih pemimpin.
  • Islam dan Kekuasaan

    Islam dan Kekuasaan
    Rahmat Hidayat PhD, DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS TRISAKTI ANGGOTA DSN-MUI
    Sumber : REPUBLIKA, 30 Desember 2011
    Satu hal penting dan strategis bagi kehidupan kita adalah masalah kekuasaan (kepemimpinan). Ibnu Taimiyah (1263-1328) mengatakan, mengatur segala urusan masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting, strategis dan diperlukan. Untuk menyempurnakan segala urusan itu, manusia memerlukan pemimpin yang mengatur segala kebutuhannya melalui organisasi masyarakat yang baik (ijtima’). Oleh karena itu, maka keberadaan pemerintah merupakan keniscayaan untuk membentuk masyarakat sejahtera.

    Islam sebagai agama yang kaffah (lengkap) telah memberikan panduan tentang kekuasan (kepemimpinan) itu. Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi yang menjelaskan masalah tersebut. Di antaranya QS Ali-Imran [3]: 26, Al-An’am [6]: 165. Demikian pula sabda Rasulullah SAW: “Bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinan kalian.” (HR Muslim).

    Berdasarkan Alquran dan hadis diatas, maka kekuasaan itu pada hakikatnya adalah milik Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, maka kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mutlak karena merupakan titipan/amanah dan sekaligus ujian dari-Nya.

    Sebenarnya kekuasaan itu netral tergantung orang yang berkuasa, mau adil dan mendapat ridha Allah atau untuk aniaya. Amanat-kekuasaan itu sangat berat tapi mulia. Rasulullah SAW bersabda, bahwa pemimpin yang adil itu kelak akan mendapatkan perlindungan dari Allah (HR Bukhari-Muslim), menjadi ahli surga (HR Muslim) dan doanya tidak akan ditolak oleh Allah SWT (HR At-Tirmizi).

    Menurut Imam Al-Mawardi (991-1058), sebab timbulnya kekuasaan merupakan kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela antara ahlul halli wal ‘aqdi (ahlu al-hiyar atau para pemilih) dengan pemimpin (Kepala Negara) yang dipilih. Sebagai konsekuensinya, maka lahirlah kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.

    Imam As-Sayuthi mengatakan, untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap rakyat, maka kekuasaan harus didedikasikan untuk kebaikan (maslahah) bagi rakyat (tasharruf al-imam ala ar-raiyah manutun bi al-mashlahah).

    Untuk itu, maka kebijakan yang dibuat para penguasa/pemimpin perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, amar ma’ruf nahi munkar. Sejalan dengan perintah Allah (QS Ali Imran [3]: 110), tujuan utama dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan (ma’ruf) dan mencegah mereka dari perbuatan munkar. Kedua, tegaknya keadilan. Keadilan merupakan hal penting dan mendasar dalam Islam. Bahkan salah satu misi kenabian Muhammad SAW adalah menegakkan keadilan.

    Ketiga, tegaknya “maqashid asy-syariah”. Imam Asy Syatibi mengatakan, bahwa tujuan utama syariah adalah terciptanya kesejahteraan menyeluruh (mashlahah ‘ammah) di seluruh sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut akan tercipta manakala kelima aspek kebutuhan dasar manusia yang dikenal dengan “maqashid asy- syariah” dapat terjamin pelaksanaan dan kelestariannya.

    Kelima kebutuhan dasar tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzh ad-diin), terpelihara pemikiran (hifzh al-‘aql), terpelihara jiwa (hifzh an-nafs), terpelihara keturunan (hifzh an-nasl), dan terpelihara harta (hifzh al-maal). Oleh karena itu, maka prinsip-prinsip kebijakan publik yang akan dibuat dan dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin sudah semestinya memperhatikan maqashid asy-syariah tersebut.

    Sebenarnya telah banyak contoh terbaik (best practice) dalam penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin serta khalifah lainnya. Tapi dalam tulisan ini penulis kemukan dua contoh saja, yaitu Nabi Muhammad dan Umar bin Abdul Aziz.

    Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat madani (civil society) sebagai contoh masyarakat ideal. Pertama, ketika Nabi hijrah dari kota Makkah ke Madinah yang pertama dibangun adalah masjid. Bagi umat Islam, masjid merupakan basis utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim. Masjid merupakan lambang “dimensi Ketuhanan” (spiritualitas).

    Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial yang baik akan tumbuh dan berkembang dari semangat ke-Islaman (spiritualitas) yang ada di masjid. Bagi Nabi, masjid bukan hanya tempat ibadah dalam artian sempit, tetapi juga menjadi tempat mengatur strategi dakwah dan perang termasuk dalam menata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

    Dalam kehidupan berbangsa, para pendiri (founding fathers) Indonesia telah menyadari akan hal tersebut, sehingga menempatkan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam UUD 1945 dan Pancasila. Tapi sayang dalam praktiknya kemudian, aspek tersebut terdistorsi-kalah dan kurang mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya dibandingkan bidang-bidang lain.

    Kedua, Rasul membangun, merajut dan memperkuat kohesi dan relasi sosial antara: kaum Muhajirin (kaum migrant) dengan kaum Anshar (penduduk asli), antarkabilah (suku) di Madinah dan antara muslim dengan non-muslim. Ketiga, menyusun konstitusi negara sebagai dasar dalam mengatur hubungan, kewajiban dan hak negara terhadap rakyat atau sebaliknya.

    Keempat, meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Alquran. Pada masa kepemimpinan Rasul, masyarakat hidup sejahtera lahir dan batin, karena dibangun dengan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah).

    Contoh lain yang spektakuler adalah yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai Khalifah pada tahun717-720M beliau berjanji akan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi penduduk miskin dan orang-orang terlantar di negeri yang dipimpin beliau.

    Untuk mewujudkan janjiannya, beliau melakukan langkah-langkah reformatif. Di antaranya, pertama, menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadinya dan diikuti keluarga. Kedua, mereformasi kehidupan istana, pola hidup istana yang mewah diubah menjadi sederhana, semua fasilitas mewah dicabut dan barang-barang mewah milik istana dilelang dan hasilnya masuk ke kas negara.

    Ketiga, Beliau mendeklarasikan gerakan nasional penghematan total dalam praktik penyelenggaraan negara. Struktur negara yang gemuk dirampingkan, birokrasi yang berbelit-belit, lambat, menghambat dan boros dibuat sederhana, cepat, dan murah. Pejabat yang terindikasi korupsi dibebas tugaskan.

    Keempat, mendistribusikan kekayaan negara secara adil dan mensosialisasikan kepada masyarakat semangat kemandirin, bisnis serta kewirausahaan. Dan kelima, meningkatkan sumber-sumber penerimaan atau pendapatan negara berupa zakat, pajak, jizyah, serta mendistribusikannya secara efisien dan efektif.

    Dengan langkah reformatif tersebut, dalam kurun waktu kepemimpinan beliau yang sangat singkat (tiga tahun), tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka hidup sejahtera, jumlah muzaki meningkat, dan tidak ada lagi fakir miskin, anak yatim, serta janda-janda tua yang terlantar dan kelaparan.

  • Lima Tantangan Ekonomi Dunia 2012

    Lima Tantangan Ekonomi Dunia 2012
    Bambang Prijambodo, DIREKTUR PERENCANAAN MAKRO BAPPENAS
    Sumber : KOMPAS, 30 Desember 2011
    Pada tahun 2012 ekonomi dunia dihadapkan pada lima tantangan pokok, yaitu krisis utang Eropa, perlambatan ekonomi dunia, perubahan iklim dan bencana alam, krisis politik di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta harga pangan dan energi.
    Upaya penyeragaman fiskal serta pemberian pinjaman Bank Sentral Eropa (ECB) 489 miliar euro kepada perbankan Eropa pascapaket menyeluruh akhir November 2011 belum meredakan kekhawatiran terhadap krisis utang Eropa. Sinyal kuat bahwa Eropa mampu keluar dari krisis utang belum muncul. Utang yang besar, risiko menjalar yang cepat, komitmen reformasi dan langkah konkret yang lamban, kemampuan membayar yang lemah, serta kegagalan koordinasi dan sentimen yang tinggi belum mampu diredakan (lihat ”Krisis Utang Eropa Tetap Berat”, Kompas, 5 Desember 2011).
    Kekhawatiran bahkan tak saja terpusat pada Yunani, tetapi melebar pada negara yang berpotensi menimbulkan krisis keuangan global lebih besar, seperti Italia dan Spanyol. Perkembangan terakhir PDB triwulan III- 2011, ekonomi Yunani dan Irlandia turun 5,2 persen dan 0,1 persen (y-o-y). Ekonomi Italia juga turun 0,2 persen (q-t-q) dan diperkirakan mengalami resesi triwulan IV-2011. Pada 2012, ekonomi zona euro diperkirakan resesi. Polling The Economist Desember 2011 memperkirakan ekonomi zona euro 2012 turun 0,3 persen dari prediksi bulan sebelumnya yang diperkirakan tumbuh positif 0,4 persen. Imbal hasil surat utang Yunani per 23 Desember 2011 masih sangat tinggi (29,0 persen). Untuk Italia dan Spanyol 6,9 dan 5,3 persen.
    Solusi mendasar bagi penyelesaian krisis utang Eropa juga belum tampak nyata. Penyesuaian struktural yang diperlukan agar pemulihan tetap berlangsung ketika defisit anggaran dan utang pemerintah harus ditekan, tak terlalu kuat. Tahun 2012 merupakan periode menentukan bagi keberlangsungan zona euro.
    Jika kecepatan penyesuaian struktural lebih lambat dari kontraksi ekonomi akibat pengetatan fiskal serta langkah konkret lain tak mampu mengatasi penurunan tingkat kepercayaan yang terjadi, krisis keuangan global yang mendorong resesi global diperkirakan terulang lagi.
    Seberapa besar bahaya krisis keuangan global yang disebabkan oleh krisis utang Eropa? Sulit dipastikan. Apabila krisis keuangan global hanya dipicu utang Yunani, dampaknya di atas kertas lebih kecil dari krisis keuangan Lehman Brothers 2008. Bolong neraca Lehman sebelum krisis 613 miliar dollar AS, sedangkan utang Pemerintah Yunani 2010 sebesar 435 miliar dollar AS. Namun, jika krisis ini meluas dan mendorong Italia gagal bayar dengan utangnya yang 2,44 triliun dollar AS, krisis utang Eropa berpotensi lebih berbahaya baik terhadap stabilitas keuangan global maupun pemulihan ekonomi dunia. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pasar uang AS mempunyai keterpaparan langsung yang cukup besar terhadap perbankan Eropa.
    Logika yang disampaikan mantan PM Inggris, Gordon Brown, pada 2011 di China cukup beralasan. Apabila krisis keuangan Lehman hanya mencakup utang swasta, krisis Eropa melibatkan utang pemerintah dan perbankan. Pemulihan ekonomi dunia juga diperkirakan perlu waktu lebih lama. Negara-negara maju tak punya ruang yang luas lagi untuk ekspansi fiskal apabila resesi global terjadi kembali.
    Koordinasi langkah penanganan dalam menghadapi kemungkinan krisis keuangan global antara lain melalui G-20 juga tak terlihat sekuat sebelumnya. Satu-satunya faktor yang memperkecil risiko krisis keuangan global adalah unsur predictability. Tak seperti krisis Lehman yang keterkaitan utangnya sebelumnya tak terlihat, krisis utang Eropa yang merupakan utang pemerintah lebih transparan sehingga sudah diantisipasi jauh sebelumnya.
    Pertumbuhan Melambat
    Kalaupun krisis keuangan global dapat dicegah, pertumbuhan ekonomi dunia 2012 dipastikan melambat lebih besar dari perkiraan. Eropa diperkirakan mengalami resesi di 2012. Terdapat perbaikan tingkat kepercayaan di AS dengan pengangguran menurun menjadi 8,6 persen pada November 2011 dan tingkat kepercayaan konsumen secara musiman membaik menjelang akhir tahun. Tetapi sumber pertumbuhan masih rentan.
    Pada triwulan III-2011, konsumsi masyarakat, investasi swasta, dan ekspor melambat masing-masing menjadi 2,0 persen, 1,0 persen, dan 6,0 persen (y-o-y). Pengeluaran pemerintah turun semakin besar (2,4 persen, y-o-y).
    Harapan terletak pada Asia meski dipastikan tidak sekuat sebelumnya. Jepang diperkirakan tumbuh di atas 2 persen. Dorongan ekonomi China dan India (total menyumbang 13,2 persen terhadap PDB dunia) juga diperkirakan tak sekuat sebelumnya. Ekonomi China dan India melambat secara bertahap sejak triwulan III-2010 dan hanya tumbuh 9,1 persen dan 6,9 persen pada triwulan III-2011 (y-o-y).
    Belum melambat seperti triwulan terakhir 2008, tetapi kecenderungan ini menunjukkan Asia tak kebal dari penurunan yang terjadi di Eropa dan kerentanan pemulihan ekonomi di AS. Ekspor dan impor China sejak Agustus 2011 menurun meski belum pada tingkat terendah seperti 2008. Investasi langsung di China juga mulai menurun.
    Terdapat kekhawatiran bahwa ekonomi China akan mengalami krisis besar akibat gelembung ekonomi dan kesehatan perbankan yang diragukan selama ini. Namun, risiko ini kemungkinan tak besar. Cadangan devisa China yang besar (3,2 triliun dollar AS) serta ketahanan fiskal yang kuat akan mampu mencegah kemungkinan krisis mata uang dan perbankan serta memungkinkan China melakukan ekspansi fiskal untuk menjaga momentum pertumbuhannya.
    Proyeksi IMF September 2011, ekonomi dunia 2012 akan tumbuh pada tren jangka panjang 4 persen. Suatu tingkat pertumbuhan ekonomi dunia yang normal, tidak baik, juga tidak terlalu buruk. Dengan perkembangan triwulan terakhir 2011, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih rendah. Meski tidak diturunkan jadi 2,5 persen (batas pertumbuhan di mana ekonomi dunia dikatakan mengalami resesi), perekonomian dunia 2012 tak secerah 2010 dan 2011.
    Krisis Politik
    Risiko krisis politik di Timteng dan Afrika Utara pada 2012 tak boleh diremehkan meski pada 2011 tak membahayakan perekonomian dunia. Benturan antara tuntutan demokrasi dan budaya kesukuan serta rigiditas pemerintahan tetap menjadikan kawasan Timteng dan Afrika Utara rawan konflik internal.
    Krisis selanjutnya dapat berasal dari kekhawatiran terhadap pembangunan instalasi nuklir Iran. Apabila serangan militer Israel, sebagaimana pernyataan Tel Aviv awal November 2012, dilakukan terhadap Iran, dampaknya diperkirakan cukup besar terhadap ekonomi dunia. Gambaran ini diungkapkan Menteri Pertahanan AS. Meski tak dirinci, serangan militer ke Iran dapat mengakibatkan gejolak harga minyak mentah dunia dengan jalur pelayaran di kawasan Teluk yang tidak lagi aman. Risiko juga dapat meluas apabila serangan militer mengundang dukungan negara-negara Arab lain serta melibatkan Rusia dan China baik secara langsung maupun tidak.
    Krisis politik lain dapat berasal dari kegagalan proses transisi di Korea Utara sepeninggal Kim Jong Il. Secara keseluruhan krisis politik 2012 belum pada tahap mengkhawatirkan meski berisiko lebih besar dari 2011. Ini menuntut penyelesaian mendasar dengan mendorong peran aktif PBB, AS, China, Rusia, serta forum di berbagai kawasan dalam menjaga stabilitas politik dunia.
    Iklim dan Bencana Alam
    Perubahan iklim dan bencana alam diperkirakan memengaruhi kondisi ekonomi dunia 2012 dan seterusnya. Rentetan bencana alam yang cukup besar sejak awal 2011 antara lain terjadi di Selandia Baru, Jepang, Turki, Thailand, dan terakhir di Filipina, mengindikasikan risiko bencana yang makin banyak, makin luas, makin besar, dan makin sulit diperkirakan (lihat ”Teguran Keras Pemanasan Global”, Kompas, 19 Desember 2011).
    Perubahan iklim dan bencana alam berpengaruh terhadap rantai produksi ekonomi dunia. Transmisinya segera terasa kepada kegiatan ekonomi dunia. Meski tak berpotensi mengakibatkan resesi ekonomi dunia, perubahan iklim dan bencana alam dapat berpengaruh besar pada perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat negara bersangkutan. Juga dibutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkannya.
    Harga Pangan dan Energi
    Perubahan iklim dan krisis politik Timteng dan Afrika Utara diperkirakan akan mengakibatkan harga pangan dan energi tetap tinggi meski harga komoditas non-energi, terutama bahan baku industri, menurun bertahap sejak awal 2011 oleh sinyal perlambatan ekonomi dunia. Banjir di Thailand ikut mendorong harga beras yang Juli 2010 masih 440 dollar AS menjadi sekitar 600 dollar AS per ton November 2011. Pasar beras internasional 2011 diselamatkan dari bencana banjir Thailand antara lain oleh tak adanya lonjakan permintaan seperti dari Filipina 2008. Harga beras Thailand Mei dan Juni 2008 sempat melonjak hingga sekitar 900 dollar AS per ton.
    Harga pangan dunia 2012 dihadapkan pada risiko gangguan produksi di negara-negara penghasil pangan terbesar serta lonjakan permintaan di negara-negara berpenduduk besar. Harga rata-rata minyak mentah dunia tetap berfluktuasi rata-rata di atas 100 dollar AS per barrel sejak Maret 2011 meski sinyal perlambatan ekonomi dunia cukup kuat. Data terakhir yang dipublikasikan Energy Information Administration mengindikasikan penurunan produksi minyak mentah Iran dapat ditutup oleh peningkatan produksi di Libya.
    Tetapi tidak terlihat peningkatan produksi OPEC yang cukup besar 2012. Ini kemungkinan terkait upaya OPEC menjaga harga minyak mentah pada tingkat 100 dollar AS per barrel. Gambaran peningkatan produksi non OPEC 2012 juga tak setinggi 2011 kecuali untuk kawasan Amerika Lain dan sedikit peningkatan di Laut Utara.
    Secara keseluruhan, risiko ke bawah (downside risk) ekonomi dunia 2012 tetap besar. Perlu langkah cepat, tepat, dan konkret di tingkat global untuk mengatasi krisis utang Eropa, meredakan ketegangan politik di beberapa kawasan penting dunia, serta menyiapkan diri terhadap perubahan iklim dan bencana alam.