Author: Adul
-
Gus Dur dan Penghormatan atas Perbedaan
Gus Dur dan Penghormatan atas PerbedaanFajar Kurnianto, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK)UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTASumber : SINAR HARAPAN, 2 Januari 2012Tanggal 30 Desember, dua tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur wafat. Seluruh elemen masyarakat bangsa kehilangan salah satu putra terbaiknya yang telah berjuang sepanjang hidupnya demi cintanya pada bangsa dan agamanya.Spirit yang terus ia jaga warisan dari mendiang kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ia telah menghadap Tuhan, tapi pemikirannya tentang keislaman dan keindonesiaan akan terus membumi di negeri ini. Pemikiran yang didasari etos penghormatan atas perbedaan.Pemikiran KeislamanTerkait dengan pemikiran keislaman Gus Dur, beliau pernah mengatakan Islam itu ibarat hutan belantara. Dari jauh terlihat seragam, satu warna, berwarna hijau, tapi jika dilihat lebih dekat ternyata ada banyak pohon yang bermacam-macam.Inilah gambaran Islam menurut Gus Dur; satu nama, tapi ada beraneka ragam tafsir di dalamnya. Penafsiran tentang Islam tidak homogen, tetapi heterogen. Semuanya dalam bingkai Islam, dan Islam sesungguhnya memayungi heterogenitas tafsir tentangnya.Dalam khazanah pemikiran Islam, setidaknya ada dua model tafsir. Ada tafsir yang disebut dengan tafsir “bir ra’yi”, tafsir yang menggunakan atau berdasarkan logika akal.Ada pula tafsir yang disebut dengan tafsir “bil ma’tsur”, tafsir yang berdasarkan pada teks-teks suci lainnya; menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, dengan hadis Nabi, perkataan sahabat Nabi, pengikut sahabat (tabiin), dan pengikut tabiin (tabiut tabiin).Dua model tafsir ini adalah kekayaan khazanah Islam yang menurut Gus Dur harus dihargai. Tidak ada perlunya memaksakan satu model tafsir atas model tafsir lainnya, karena secara metodologi memang berbeda, dan tidak ada monopoli tafsir.Gus Dur amat mengecam upaya-upaya pemaksaan atas satu tafsir dan kemudian merasa tafsirnya paling benar. Ini karena hakikatnya, masing-masing orang berbeda dalam sudut pandang dan pemikiran, tidak mungkin dipaksa untuk ikut pada satu tafsir.Pemaksaan terhadap satu tafsir menurut Gus Dur adalah tindakan otoriter dalam beragama. Otoritarianisme dalam agama sama tidak produktifnya dengan otoritarianisme dalam politik atau kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistik.Masyarakat Islam sifatnya pluralistik dalam hal pemahaman. Menurut Gus Dur, memaksakan agama pada orang yang berlainan agama saja tidak boleh, apalagi memaksakan satu pemahaman pada tubuh masyarakat Islam sendiri.Gus Dur amat menjunjung tinggi pluralitas pemahaman dalam masyarakat Islam. Pluralitas ini bukanlah halangan dan penghambat dalam Islam, tetapi justru aset berharga untuk memajukan Islam dan umat Islam.Dalam pluralitas masyarakat Islam, masing-masing pemahaman tentang Islam dihargai dan dijunjung tinggi. Dengan pluralitas pemahaman yang dihargai ini, diskursus tentang Islam akan terus dan semakin hidup, sehingga pemahaman atas Islam semakin inklusif, tidak eksklusif.Islam hakikatnya bersifat inklusif, selalu terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan tetap tidak kehilangan roh sejatinya yang toleran dan menyampaikan pesan-pesan damai.Pemikiran KeindonesiaanIndonesia adalah bangsa yang pluralistik, multikultural, multietnik, dan multiagama. Menurut Gus Dur, tugas kita semua, terutama negara, adalah menjamin kehidupan yang multi ini agar tetap rukun, damai, dan tidak terjadi konflik. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah asas tunggal yang menjadi landasan bersama untuk itu.Negara ini bukan negara agama, tetapi juga bukan negara atheis. Artinya, agama melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara bukan dalam pengertian formalisme agama, tetapi agama menjadi roh kehidupan berbangsa dan bernegara.Gus Dur sangat mengutamakan integrasi dan persatuan bangsa di atas segalanya. Karena itu, segala upaya yang mengarah pada disintegrasi bangsa harus dicegah. Gus Dur sangat membela kaum minoritas, salah satu dasarnya adalah agar integrasi bangsa tetap terjaga.Ini pemikiran cemerlang dari Gus Dur yang hampir-hampir langka dipraktikkan para pemimpin di negeri ini, yang kebanyakan lebih cenderung pada suara mayoritas. Etnis Tionghoa sangat berterima kasih pada sosok Gus Dur yang memberikan kebebasan pada mereka untuk mempraktikkan ibadah mereka secara tenang, hal yang tidak pernah terjadi pada masa rezim Orde Baru.Munculnya berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang bergaris keras amat dikecam Gus Dur. Kelompok-kelompok ini menurutnya tidak menguntungkan bangsa, tetapi justru merugikan bangsa secara keseluruhan.Menurut Gus Dur, mayoritas bukan untuk menindas dan berbuat seenaknya sendiri. Mayoritas seharusnya melindungi dan mengayomi minoritas.Ini karena hakikatnya, semua berada dalam lingkungan satu bangsa satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang hak-haknya dijamin penuh. HAM dengan demikian amat dijunjung tinggi Gus Dur. Setiap pelanggar HAM harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.Saat ini, Indonesia sedang dan terus-menerus membangun demokrasinya. Gus Dur sudah jauh-jauh hari memperjuangkannya, bahkan ketika rezim Orde Baru berkuasa. Gus Dur yakin, hanya dengan Indonesia yang semakin demokratis, kehidupan berbangsa dan bernegara akan jauh lebih baik dan maju.Kehidupan demokratis yang menjamin kebebasan berpendapat, berkarya, dan bereskpresi, tanpa dihalang-halangi gaya rezim yang otoriter. Falsafah Pancasila menyebutkan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda suku, agama, ras, dan agama tetapi tetap satu, yaitu Indonesia. Indonesia akan tetap eksis jika demokrasi sejati hidup. ● -
Sketsa Politik 2012
Sketsa Politik 2012Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPRSumber : REPUBLIKA, 2 Januari 2012Lanskap politik (political landscap) 2012 akan sangat panas. Betapa tidak! Pada 2012, akan terjadi pertemuan antara berbagai persoalan politik masa lalu (the past) dan kompetisi di masa yang akan datang (the future). Yang lalu dan yang akan datang akan bertemu pada 2012 ini.Permasalahan-permasalahan politik yang mengambang (nggantung) pada 2011 akan menjadi residu politik 2012. Dan, berbagai persaingan politik (antara lain Pemilu dan Pilpres 2014) akan dimulai pada 2012 ini.
Berbagai macam agenda politik pada 2011 yang sebagian besar tidak selesai akan menggumpal pada 2012. Persoalan undang-undang pemilu, seperti parliementary treshold (PT), sistem pemilu, jumlah daerah pemilihan (dapil) akan menuntut penyelesaian pada 2012.
Partai-partai politik pasti akan unjuk perasaan (dan gigi sekaligus) untuk berjuang habis-habisan sampai titik darah penghabisan agar sistem dan format pemilu yang disepakati dalam undang-undang menguntungkan dirinya atau minimal tidak merugikan partainya, apalagi membahayakan eksistensi dirinya. Setgab partai-partai koalisi akan menjadi taruhan dan dijadikan sandera oleh parpol-parpol anggota koalisi: untuk apa bergabung di Setgab Koalisi kalau kepentingan politik masing-masing anggotanya tidak digubris, apalagi diakomodasi.Penekan Mental
Berbagai macam skandal korupsi, seperti skandal bailout Bank Century, mafia pajak, mafia hukum, penyelesaian ganti rugi Lapindo, korupsi Wisma Atlet, Hambalang, dan mega-mega skandal lainnya juga menuntut untuk dituntaskan. Di mata partai-partai politik, isu-isu dan kasus-kasus tersebut di atas mungkin dilihat bukan hanya sebagai persoalan hukum semata, melainkan sarat dengan dimensi politik. Bahkan, tidak jarang dijadikan sebagai komoditas politik semata.Sementara itu, di mata rakyat kasus-kasus ini sepenuhnya adalah kasus-kasus hukum, kasus-kasus korupsi, perampokan uang negara, atau kasus penyalahgunaan kekuasaan, yang mutlak harus diselesaikan setuntas-tuntasnya. Rakyat sama sekali tidak menginginkan persoalan Bank Century mekengkeng seperti sekarang ini. Ekstremnya, kalau memang tidak terjadi pelanggaran, ya segera putuskan bahwa memang tidak terjadi pelanggaran. Jangan seperti sekarang ini: di satu pihak BPK dan DPR mengatakan ada pelanggaran, tetapi hukum tidak bisa menjangkaunya.
Partai-partai politik sering kali tidak menyadari bahwa kasus-kasus tersebut di mata rakyat adalah serius, bahkan sangat serius! Dus harus diselesaikan. Sikap mengambangkan, menggantung, dan membiarkannya tetep mekengkeng seperti sekarang ini adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Bahkan boleh jadi, bagi rakyat, kalau memang tidak ditemukan bukti-bukti korupsi dalam kasus-kasus skandal itu, maka haruslah ada keputusan, baik itu keputusan hukum maupun politik. Katakan dengan berani dan ksatria, bersikaplah terus terang dan jujur bahwa kasus-kasus itu tidak terbukti dan karena itu kita tutup buku!
Sikap membiarkan persoalan tersebut menggantung dan ngambang begitu lama, dengan dalih penyelesaian hukum memang lama, sungguh menjadi beban politik. Berikutnya, situasi ini akan menekan mental rakyat sehingga justru berpotensi melahirkan ketidakpuasan sosial dan bahkan frustrasi sosial.
Partai-partai politiklah yang memulai, maka partai-partai politik pula yang harus mengakhiri. Tak peduli bagaimana format dan solusi penyelesaiannya, apakah penyelesaian hukum ataukah politik, atau kombinasi di antara keduanya, itu adalah urusan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, inklusif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rakyat hanya akan melihat kredibilitas dan akuntabilitas penyelesaiannya, apa pun modus atau moda yang digunakannya.
Yang penting, janganlah kasus-kasus itu dibiarkan mengambang, nggantung, mekengkeng, dan tetap begini saja, sampai akhir zaman. Betapa malunya kita sebagai bangsa kalau tidak mempunyai mekanisme untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Sangatlah ironis, bahkan tragis, bangsa yang sudah merdeka 66 tahun tidak bisa menyelesaikan kasusnya sendiri.
Dalam konteks dan perspektif seperti itu, maka politik Indonesia pada 2012 masih akan sarat dengan isu-isu tersebut. Pergumulan politik akan terus berlangsung dan memanas antara tiga pemain utama yang membentuk konfigurasi kekuasaan politik sekarang ini: Presiden SBY, partai-partai politik, dan kaum oposisi.
Koalisi dan Oposisi
Partai-partai politik, baik yang tergabung dalam koalisi maupun oposisi, akan menari di antara dua poros utama politik itu. Manakala tekanan-tekanan politik dari kaum oposisi menguat, maka mereka akan bergeser ke arah sana, tetapi jika melemah akan bergeser ke arah sebaliknya.Satu hal yang harus disadari adalah fakta bahwa kredibilitas dan integritas lembaga-lembaga politik formal tempat di mana partai-partai politik berperan sangat dominan, popularitas dan opininya terus mengalami dekadensi dan deklinasi. Kepercayaan publik terhadap parpol, benar atau salah, semakin merosot seiring dengan merosotnya popularitas Presiden SBY.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka tahun 2012 sungguh akan sangat berbahaya bagi masa depan partai politik sebagai tulang punggung kekuatan masyarakat dan sekaligus pilar demokrasi. Jika ingin survive, maka pada 2012 partai-partai politik harus benar-benar membenahi dirinya. Persoalannya, apakah cukup banyak yang menyadari alarm ini? Wallahu a’lam. ●
-
KPK dan Politik 2012
KPK dan Politik 2012Saiful Mujani, ANALIS POLITIK DI SAIFULMUJANI R&CSumber : KORAN TEMPO, 2 Januari 2012Masalah utama yang harus diperhatikan dan diantisipasi pada masa mendatang, termasuk pada 2012, berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama rule of law serta kontrol terhadap korupsi. Kejadian yang berkaitan dengan kontrol atas korupsi ini akan menjadi faktor utama naik-turunnya suhu politik, dan bulat-lonjongnya peta kekuatan politik nasional 2012, karena korupsi tersebut menyeret para politikus dan partai-partai politik utama di negeri ini.Kalau memperhatikan Governance Indicators dari World Bank 2010-2011, tata kelola pemerintahan Indonesia secara umum masuk kategori “negatif”: korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi kurang berkualitas, politik kurang stabil, dan pelaksanaan pemerintahan kurang efisien. Dan yang paling negatif berkaitan dengan penegakan hukum, serta secara khusus berkaitan dengan pemberantasan korupsi.Pada 2011 tidak ada tanda-tanda perbaikan. Memang banyak pejabat publik, terutama anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang dijebloskan ke penjara. Namun hukuman terhadap koruptor elite itu terlalu ringan. Bahkan mereka mendapat simpati dari rekan mereka di DPR. Kasus Nazaruddin dan Nunun juga belum menentu. Tahun 2011 belum mampu menyeret pelaku-pelaku lain yang terkait dengan dugaan korupsi kedua orang tersebut. Kita mengakhiri 2011 dengan perasaan tetap kurang percaya kepada elite politik. Publik juga mengakhiri tahun ini dengan perasaan tidak percaya pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kalau memperhatikan sejumlah hasil survei opini publik nasional.Dugaan korupsi berprofil politik tinggi pada 2011 akan tetap mendominasi politik pada 2012. Setidaknya ada empat kasus hukum yang kental bermuatan politik yang akan banyak menaikkan atau menurunkan suhu politik dan bahkan mengubah peta politik 2012: kasus Bank Century, tersangka korupsi Nazaruddin, kasus cek pelawat (Nunun Nurbaetie), dan pengembangan kasus Gayus Tambunan.Bila KPK bisa membuktikan Wakil Presiden Boediono bersalah dalam kasus Bank Century, dan apalagi kalau sampai menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akan terjadi krisis politik yang serius pada 2012. Proses pemakzulan akan bergulir. Sebaliknya, bila KPK menyimpulkan tidak punya bukti atas kesalahan mereka, politik 2012 akan lebih stabil, meskipun sebagian politikus di DPR akan terus bernyanyi. Setelah tidak percaya pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, politikus ini kemudian akan tidak percaya kepada KPK kalau Boediono tidak menjadi tersangka. Tapi, bila BPK dan KPK akuntabel dalam prosesnya dan keputusannya kredibel, nyanyian politikus tersebut tidak akan merdu, dan karena itu tidak akan didengar orang.Namun ada indikasi dari temuan audit BPK bahwa kasus Bank Century tersebut tidak menyentuh Boediono ataupun Sri Mulyani, apalagi Yudhoyono. Bambang Soesatyo, salah satu penggagas panitia khusus ini, menuduh BPK sudah masuk angin dan tidak independen ketika target itu tidak tersentuh. Tuduhan dan opini ini dapat memunculkan ketidakpercayaan publik kepada BPK, dan karena itu BPK harus merespons tuduhan tersebut secara sungguh-sungguh. Bila tidak, orang bilang Bambang benar. Dan opini ini akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik kepada lembaga terkait, dan bahkan kepada pemerintah Yudhoyono-Boediono.Kasus dugaan korupsi Nazaruddin juga akan menaikkan suhu politik 2012 apabila KPK mampu mengembangkan kasus ini hingga ada di antara elite Demokrat, selain Nazaruddin yang menjadi tersangka, apalagi bila masuk ke oknum-oknum di Badan Anggaran DPR. Kemungkinan ini cukup terbuka kalau memperhatikan pernyataan-pernyataan Nazaruddin dan Rosalina yang sudah diputus bersalah oleh hakim.Bila KPK bisa membuktikan secara transparan benar atau salahnya tuduhan-tuduhan Nazaruddin atas keterlibatan sejumlah petinggi Partai Demokrat dalam sejumlah korupsi, publik akan percaya kepada KPK dan pemerintah. Bila pernyataan-pernyataan Nazaruddin terbukti benar, akan terjadi perubahan politik di tingkat elite Demokrat. Namun perubahan ini tidak mudah untuk memulihkan kepercayaan publik kepada partai ini. Partai Demokrat ada kemungkinan akan menjadi tidak populer, dan akan berat menghadapi Pemilihan Umum 2014.Berada dalam tekanan seperti itu, Demokrat ada kemungkinan akan menjadi lebih aktif mendorong pengembangan dugaan korupsi di Badan Anggaran, serta kasus Nunun dan Gayus Tambunan. Di Badan Anggaran, semua partai terlibat, dan bila KPK dapat membongkar dugaan korupsi di dalamnya, semua partai akan kena.Kasus Nunun telah menjebloskan banyak politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar ke penjara, serta terbuka kemungkinan bertambah ketika Miranda dan Nunun memberi keterangan kepada KPK. Bila ini terjadi, suhu politik 2012 akan semakin panas, dan akan meningkat bila KPK juga menemukan bukti-bukti kuat kasus mafia pajak Gayus cs yang melibatkan perusahaan tokoh sebuah partai politik.Yang akan menjadi kunci dari politik-hukum 2012 ini adalah KPK. Pemimpin KPK sendiri telah berjanji akan mundur dari jabatannya bila dalam setahun tak mampu membongkar kasus-kasus korupsi berprofil politik tinggi tersebut. Komitmen ini membuat kehidupan politik nasional 2012 punya nilai khusus, apa pun hasilnya.Bila KPK mampu membongkar korupsi pada kasus-kasus itu, akan banyak elite politik dan partai yang menjadi korban; kepercayaan publik kepada politikus dan partai akan merosot tajam; hubungan antarpartai, termasuk dalam koalisi pendukung pemerintah, akan semakin buruk; koalisi partai semakin tidak efektif; serta kemudian kerja sama pemerintah dan DPR juga semakin sulit. Namun kepercayaan terhadap penegakan hukum, terutama KPK, akan naik. Publik akan optimistis bahwa masih ada harapan di negeri ini.Sebaliknya, bila KPK tidak mampu memenuhi komitmen tersebut, Ketua KPK sendiri yang akan menjadi korban pada 2012. Dan peta kekuatan politik elite tidak akan banyak berubah secara berarti: kekuatan koalisi pendukung pemerintah akan tetap tidak solid, oposisi tidak kredibel, dan kepercayaan publik kepada partai tetap rendah.Yang akan menjadi kunci dari politik-hukum 2012 ini adalah KPK. Pemimpin KPK sendiri telah berjanji akan mundur dari jabatannya bila dalam setahun tak mampu membongkar kasus-kasus korupsi berprofil politik tinggi tersebut. Komitmen ini membuat kehidupan politik nasional 2012 punya nilai khusus, apa pun hasilnya. ● -
Salah Itu Manusiawi
Salah Itu ManusiawiLiek Wilardjo, DOSEN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA (UKSW) SALATIGASumber : SUARA MERDEKA, 2 Januari 2012KONON, dalam pandangan kebudayaan Yunani Kuno, pengetahuan dan nilai-nilai itu berkedudukan terpadu dan sederajat. Begitu pula dalam kebudayaan Timur pada zaman dulu. Tokoh pewayangan, Resi Bisma, mumpuni baik dalam kedigdayaan dan siasat perang, maupun dalam kebatinan dan perikemanusiaan. Kong Hu Cu (Konfucius) —kadang hanya disebut Kongcu— adalah tokoh Sung yang berasal dari keluarga melarat (551-479 SM) dan kemudian menjadi negarawan yang hebat luar biasa, ya dalam akal budi, ya dalam hati-nurani. Dalam kebudayaan jadul itu ada keyakinan bahwa kebanyakan dosa merupakan buah dari ketidaktahuan (ignorance).Sekarang, pada tahun 2012 kita tidak bersikap sekeras itu dalam menghakimi masalah ketidaktahuan. Kesalahan yang tidak disengaja, dan semata-mata akibat ketidaktahuan, dapat kita mengerti. Tetapi kecerobohan karena ketidaktahuan itu tetap saja merupakan kesalahan, dan ada sanksinya. Apalagi kalau kesalahan itu merenggut nyawa. Bahkan, atas kesalahan itu “tak ada ampun bagimu” kalau jatuhnya korban nyawa dan harta benda itu bukan hanya karena ketidaktahuan dan kegegabahan melainkan juga akibat penyimpangan dari spesifikasi teknis dan penurunan mutu bahan dalam suatu proyek pembangunan.
Apakah kesalahan semacam ini yang menyebabkan runtuhnya jembatan gantung di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur? Kita tunggu saja hasil penyelidikan atas musibah tersebut. Lewat e-mail saya menerima dari Prof Dr Bambang Hidayat (astronomiwan, anggota dan mantan ketua AIPI) sebuah ungkapan dalam Bahasa Jerman: irren ist menschlich, obwohl manchmal toedlich. Berbuat salah itu manusiawi, kendati terkadang fatal. Musibah jembatan gantung Mahakam itu membuktikan kebenaran ungkapan ini.
Kita masih bersyukur; untung “hanya” jembatan gantung. Apa jadinya kalau yang rontok itu PLTN?!Sikap terhadap Nuklir
Tetapi kemungkinan terjadinya musibah PLTN itu seakan-akan dinafikan oleh mereka yang sedemikian getol mempromosikan pembangunan PLTN di daerah yang “bebas” gempa. Konon dua kabupaten di Bangka “berlomba” menawarkan calon tapak untuk pembangunan PLTN Indonesia untuk kali pertama, meskipun rencana itu ditentang oleh rakyat. Masyarakat Muntok (Bangka Barat) menolak rencana pembangunan PLTN. Masyarakat Desa Rajik (Bangka Selatan) pun menentang keinginan bupatinya terkait dengan pembangkitan energi tersebut.
Konon tersedia dana Rp 400 miliar untuk menyosialisasikan energi nuklir, termasuk PLTN. Terkesan bahwa sosialisasi itu tidak berimbang karena memberat ke posisi pro. Tengok saja iklan di media. Musibah Fukushima Daiichi tidak menyurutkan niat mereka yang sangat mendambakan PLTN.
Pak Budi Sudarsono adalah ahli nuklir yang pernah menduduki posisi nomor 2 di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Dulu, ketika badan itu masih disebut Lembaga Tenaga Atom (LTA) di bawah pimpinan Prof Dr GA Siwabessy, saya pernah belajar fisika nuklir dari Pak Budi Sudarsono. Waktu itu LTA mendatangkan ahli nuklir dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL), yakni Dr Dahl, untuk suatu program pelatihan. Dari pihak LTA, yang mendampinginya adalah Pak Budi Sudarsono. Bersama dengan beberapa teman dari UGM dan ITB, saya menjadi peserta pelatihan itu.
Putra diplomat dan pahlawan (Dr Soedarsono), serta ahli nuklir lulusan Massachusetts Institute of Tecnology (MIT) termasuk protagonis PLTN yang paling getol. Dia mendukung go nuclear sebab konon menurut Beliau yang salah dalam musibah Fukushima itu bukan teknologi PLTN-nya.Musibah itu terjadi karena ahli-ahli nuklir di Jepang yang membangun PLTN itu tidak mengira bahwa kekuatan gempa yang menimpa PLTN itu akan sedemikian hebatnya hingga memorakporandakan konstruksi reaktornya. Jadi yang salah bukan PLTN dan ahli nuklirnya.
Kelihatannya ahli-ahli nuklir Jepang sendiri tidak mencari kambing hitam. Mereka (dan rakyat Jepang) menerima musibah itu dengan tawakal, dan berusaha sebisa-bisanya untuk memitigasi akibat musibah tersebjut. Sikap dan semangat mereka pantas kita acungi jempol. ●
-
Tangan Pendek Pemerintah di Bidang Kesehatan
Tangan Pendek Pemerintah di Bidang KesehatanHandrawan Nadesul, DOKTER, PENGASUH RUBRIK KESEHATAN, PENULIS BUKU,DAN MOTIVATOR KESEHATANSumber : KORAN TEMPO, 2 Januari 2012Pembangunan kesehatan kita belum selesai. Kita melihat penyelesaian masalah kesehatan rakyat yang sudah kecukupan makan saja masih menggantung. Di kalangan rakyat yang belum tuntas melawan kemiskinan strukturalnya, apalagi. Belum tentu setiap kali sakit mereka mampu berobat. Kondisi mereka masih membuat miris. Ketika sehat, mereka menunggu sakit. Dan ketika sakit, mungkin tinggal menunggu ajal.Kebanyakan penyakit–kalau bukan semua–sebetulnya tak perlu terjadi kalau masyarakat diberi penyuluhan. Ketika anggaran kesehatan masih menjadi dalih beratnya membuat rakyat jadi sehat, upaya pencegahan penyakit sejatinya ada di barisan paling depan pembangunan kesehatan kita.Memberdayakan MasyarakatAmbil contoh kasus diare. Masih tingginya angka diare menimbulkan dampak sosial yang luas. Selain pada tingkat keluarga, pada pencapaian target MDGs (millennium development goals), dan sudah barang tentu pada kualitas indeks manusia (human development index). Angka diare belum selesai ditekan dalam hitungan sekian dasawarsa. Kita tahu diare urusan sederhana. Tapi, kalau angkanya masih tak masuk akal, sementara pembangunan kesehatan berjalan sudah begitu lama, di mana letak salahnya?Solusi menekan angka diare pada beberapa kasus sesungguhnya adalah penyuluhan hidup bersih, tentang sanitasi, dan implementasi ketersediaan air bersih. Tengok rendahnya perilaku hidup bersih anak sekolah, higiene penjaja makanan, dan kebiasaan salah memilih minuman, yang merupakan penyebab tak terpisahkan masih tingginya angka diare kita.Ongkos penyuluhan tak lebih tinggi dibanding apabila pemerintah harus memikul ongkos berobat diare, selain dampak buruknya terhadap kesehatan keluarga serta tingginya kematian anak. Paling sedikit sepuluh penyakit mengintai bila kebiasaan mencuci tangan masyarakat tidak terbentuk. Ini juga urusan penyuluhan.Kemunculan kanker banyak disebabkan masyarakat salah mengkonsumsi. Kelebihan makan daging sama buruknya dengan membanjirnya polusi udara, air, dan cemaran zat aditif dalam jajanan. Radiasi gelombang elektromagnetik peralatan elektronik kini sama jahatnya dengan jamu nakal, produk herbal berbahaya, dalam memicu kemunculan kanker.Menu masyarakat berkecukupan didominasi menu berprotein tinggi, misalnya kelebihan daging. Ini menjadi bagian dari gaya makan orang sekarang. Tanpa disadari, pola makan seperti itu lebih sering mencetuskan kanker. Anak sekarang lebih memilih ayam goreng, bistik, burger, dan sosis ketimbang ikan, tempe, tahu, serta sayur asam yang lebih menyehatkan. Jenis menu “tiger diet” semacam inilah yang menjadikan generasi sekarang memiliki pola makan yang kian mencemaskan, termasuk “westernisasi” dalam pola makan. Hal ini tidak hanya bikin anak lebih tambun, tapi juga menyimpan “bom waktu” bakal meledaknya ragam penyakit orang modern. Itu sebabnya, penyakit metabolisme, komplotan darah tinggi, kencing manis, asam urat, ginjal, dan komplikasinya, selain kanker, kian banyak menimpa serta merenggut kaum berusia muda (premature death).Pengawasan pemerintah terhadap jajanan nakal dan segala yang merugikan masyarakat tak cukup panjang untuk menjangkau begitu luas serta jauhnya wilayah kita. Di kota-kota besar pun masih bebas beredar warung makan, bahkan restoran, dan kedai yang menjajakan makanan yang belum tentu seluruhnya menyehatkan, nyaris tanpa pengawasan. Minyak goreng yang tak menyehatkan, serta cara olah, cara penyajian, dan bahan bakunya yang buruk, dalam jangka panjang, berpotensi merusak kesehatan konsumen.Kalau tangan pemerintah begitu pendek untuk mengawasi segala yang merugikan masyarakat, cara mudah dan sederhana menyelamatkan masyarakat dari bahaya laten menu serta jajanan tak menyehatkan adalah dengan memberi penyuluhan agar masyarakat hidup cerdas (sehat). Cerdas memilih makanan sehat. Cerdas bergaya hidup sehat. Untuk itu, penyuluhan juga menjadi kunci pamungkasnya.“Bom waktu” bagi generasi sekarang bukan cuma akibat mereka tercemar begitu banyak zat berbahaya yang timbul dari tak sehatnya menu harian, tapi juga makin gampangnya anak ataupun orang dewasa menjadi gemuk. Kegemukan juga “bom waktu” buat munculnya banyak penyakit orang sekarang, selain terkait dengan tercetusnya kanker. Tugas pemerintahlah, dan peranan setiap ibu, untuk menginsafi bahwa gemuk itu penyakit. Dan tidak gemuk tidak juga kurus adalah target membangun keluarga dan generasi berkualitas.Pembodohan MasyarakatFokus masalah kesehatan kita ada dua. Masalah terbesar ada pada empat perlima masyarakat yang masih perlu diberdayakan dalam soal pola hidup sehat. Seperlima tergolong masyarakat yang sudah berkecukupan dan selalu bisa berobat setiap kali sakit. Maka, jika kita bicara masalah kesehatan, sebetulnya pembicaraan akan lebih membahas soal empat perlima masyarakat ketimbang seperlima yang bisa bebas berobat ke mana saja kapan mereka suka.Namun, yang terjadi, masyarakat papa memikul masalah kesehatannya sendiri, selain terbebani oleh akibat kesalahan orang lain yang lebih mapan. Polusi industri, burger, serta hotdog sudah masuk kampung dan desa, sehingga masyarakat papa sama-sama memikul risiko kena penyakit orang berkecukupan dengan kondisi yang berbeda. HIV/AIDS sebagai akibat pola seks orang kota juga sudah masuk desa.Di tengah miskinnya wawasan kesehatan masyarakat, tidak hanya di desa, kalangan berpendidikan juga terkecoh ketika memilih alamat berobat. Di mata medis, tidak setiap pihak yang mengaku sebagai pengobatan alternatif layak dipercaya. Dunia medis tidak menafikan pengobatan (terapi) dan penyembuhan (healing) alternatif. WHO menggariskan mana terapi dan penyembuhan alternatif yang bisa diterima akal medis, mana yang tidak (complementary alternatives medicine). Di mata masyarakat negara sedang berkembang seperti kita, apa saja yang alternatif seakan pasti benar.Maka segala wujud dan jenis terapi ataupun healingalternatif subur di sini. Padahal banyak terapi alternatif yang sejatinya tak masuk nalar medis. Bagaimana mungkin satu bahan berkhasiat, atau satu cara terapi atau penyembuhan, bisa untuk segala jenis penyakit, padahal setiap penyakit memiliki mekanisme dan penyebab yang tidak sama. Mana mungkin satu bahan berkhasiat bisa mengobati darah tinggi sekaligus juga darah rendah, padahal kedua keadaan itu berbeda mekanismenya di dalam tubuh.Banyak kasus kanker di Indonesia yang gagal ditolong dokter karena bertahun-tahun mampir dulu ke “orang pintar”. Karena tak berhasil sembuh, barulah si pasien berobat medis, sedangkan kankernya sudah berlanjut dan dokter sudah angkat tangan. Ketersesatan berobat yang sama juga terjadi untuk penyakit lain yang sebetulnya domain dunia medis.Devisa hilang karena masyarakat yang mampu membayar berobat ke luar negeri untuk penyakit yang bisa disembuhkan di negeri sendiri, bukan karena dokter kita dungu. Bobot kerja, rendahnya penghargaan pemerintah terhadap profesi medis, merongrong praktisi medis sehingga mereka bekerja kurang profesional. Jika dalam sehari terpaksa memeriksa pasien ratusan agar bisa hidup dengan profesi dokter, bagaimana bisa melayani secara profesional? Dokter kita jadi kutu loncat ke banyak tempat praktek supaya bisa punya rumah dan mobil kecil. Sebab, tanpa itu, citra sebagai seorang dokter menurun.Pembangunan di HuluUntuk mengentaskan itu semua, pembangunan kesehatan yang khas milik Indonesia sejatinya dimulai di hulu. Dimulai di hulu berarti memberdayakan masyarakat untuk dapat hidup sehat lewat penyuluhan (komunikasi, informasi, dan edukasi) sebelum telanjur sakit. Selama pembangunan berkutat di hilir, anggaran kesehatan tersedot habis buat belanja obat. Sementara itu, masyarakat tidak bertambah cerdas cara hidupnya.Pembangunan di hulu berarti memberi penyuluhan kepada masyarakat untuk mengenal menu bergizi secara murah dan sederhana; mengajak masyarakat membangun saluran air bersih, selokan, dan jamban keluarga; ikut menyiangi lingkungan; serta mau ikut imunisasi. Ongkos untuk itu tak lebih tinggi ketimbang menunggu masyarakat telanjur sakit, yang sebetulnya tidak perlu ada, dan memberi obat murah serta rumah sakit gratis. Pembangunan di hulu berarti memberdayakan masyarakat untuk bisa membatalkan jatuh sakitnya, dan meningkatkan harkat hidup sehatnya. ● -
“Tapi Kerja Belum Selesai…”
“Tapi Kerja Belum Selesai…”Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE;DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIASumber : KOMPAS, 1 Januari 2012Tapi kerja belum selesai…”. Kita tahu penyair Chairil Anwar tak menulis baris sajak itu untuk ekonomi Indonesia. Walau demikian, mungkin baik bagi kita untuk mengingatnya, terutama ketika kita mulai melangkah di tahun 2012 ini dan ketika rasa puas diri mulai merambat di perekonomian kita. Saya kira, kita pantas memberikan apresiasi atas masuknya Indonesia ke peringkat layak investasi (investment grade) setelah menunggu 14 tahun.Ini bukan waktu yang pendek. Prestasi ini membuktikan betapa benarnya adagium: manfaat reformasi ekonomi ada di masa depan, sementara pengorbanan harus diberikan seketika. Itu sebabnya, tak banyak politisi mendukung penuh reformasi karena hasilnya bukan untuk mereka—tetapi untuk masa depan—sementara pada jangka pendek popularitas bisa menurun. Lihat saja, kehati-hatian kebijakan makro—yang kerap dikritik—tenyata membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, serta kerangka kebijakan makro yang hati-hati.Apa dampaknya bagi kita? Negara dengan status investment grade dianggap memiliki risiko default lebih rendah dibandingkan dengan negara nonperingkat investasi. Implikasinya: semakin banyak investor memasukkan Indonesia sebagai tujuan investasi. Ekonom Jaramillo dan Tejada (2011) menunjukkan, negara yang masuk peringkat layak investasi menikmati penurunan spreads sebesar 36 persen. Bisa dibayangkan, akses ke pasar keuangan menjadi lebih mudah dan biayanya menjadi lebih murah.Di sini kita melihat: dari sisi minat (permintaan) terhadap investasi, Indonesia ada di posisi yang baik. Namun perlu dicatat, dampaknya baru akan dirasakan pada jangka menengah. Mengapa? Krisis utang di Eropa— saat ini—mengakibatkan ketatnya persaingan untuk mendapatkan modal. Likuiditas mengetat. Investor melikuidasi portofolionya di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, walau Indonesia masuk peringkat investasi, arus modal baru akan meningkat tajam setelah Eropa relatif stabil.Jika dari sisi permintaan kondisinya relatif baik, bagaimana kesiapan kita menerima investasi? Di sini soalnya. Studi Soesastro dan Basri (2005) menunjukkan bahwa soal kita bukan pada sisi permintaan, melainkan sisi penawaran. Solikin (2004) dari Bank Indonesia menunjukkan, peran kesenjangan keluaran (output-gap) pada inflasi (dampak inflasi karena meningkatnya permintaan) relatif kecil pada periode prakrisis 1998. Ia juga menemukan bahwa kurva Phillips, yang menunjukkan hubungan pengangguran dan inflasi, relatif datar. Artinya, peningkatan output (penurunan pengangguran) terjadi praktis tanpa terlalu banyak mendorong inflasi. Namun, situasi berubah setelah krisis ekonomi 1998. Kendala penawaran memberikan kontribusi yang lebih besar pada inflasi, kurva Phillips menjadi lebih curam. Temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan tidak bisa diimbangi oleh sisi penawaran.Saya khawatir hal inilah yang akan mengganggu prestasi investment grade Indonesia. Arus modal masuk, tetapi infrastruktur tak memadai dan birokrasi lamban. Akhirnya, kita tak mampu memanfaatkan arus modal ini dengan optimal. Risiko inflasi meningkat dan produksi terhambat. Tanpa percepatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, perekonomian tumbuh jauh di bawah potensinya. Jika saja kita bisa menyelesaikan masalah infrastruktur, ekonomi bisa tumbuh di atas 8 persen. Itulah tingkat pertumbuhan yang wajar untuk negeri dengan potensi seperti kita. Benar, pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum adalah sebuah kemajuan. Namun, tak boleh berhenti di sana. Selesaikan segera peraturan pemerintahnya dan tuntaskan proyek infrastrukturnya.Soal lain adalah birokrasi dan aturan yang menghambat. Salah satu faktor yang harus diperbaiki adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Revisi yang sudah dilakukan tak mengubah banyak substansi dan hambatan yang dihadapi. Proses lelang di lembaga pemerintah praktis rumit. Ini diperburuk lagi dengan birokrasi yang lamban.Birokrasi memang tak mudah berubah. Pemikir politik Alexis de Tocqueville pernah menulis bahwa setiap pemerintah pusat mengagungkan keseragaman. Mungkin karena itu budayawan Goenawan Mohamad menulis mengenai keraguannya tentang ikhtiar baru yang bisa muncul dari birokrasi. Saya kira benar, birokrasi ogah terobosan. Terobosan mengancam keseragaman. Dan, itu berarti kekacauan dalam birokrasi. Di sini dilemanya: birokrasi harus menjamin keseragaman. Tanpa itu, ketidakpastian akan muncul dan birokrasi bisa disalahgunakan.Namun, di sisi lain, keseragaman tak ramah pada inovasi. Akibatnya, birokrasi tak berubah dan peraturan menjadi berhala. Di negeri ini, presiden dan menteri berganti, tetapi birokrasi dan kekakuannya tak bergeser. Inilah soal kita. Oleh karena itu, reformasi birokrasi mutlak diperlukan, rantai birokrasi harus dipotong, dan peraturan disederhanakan. Untuk jangka pendek, gunakan sistem dalam jaringan (online) untuk memangkas birokrasi. Ini bukan kerja mudah. Itu sebabnya, sebelum rasa puas diri menguasai kita dan sebelum krisis Eropa berdampak lebih buruk, pada awal tahun 2012 ini baik kita mengingat baris sajak di atas. Chairil benar. Kerja belum selesai, belum apa-apa. ● -
Privatisasi dan Pembonsaian Kereta Api
Privatisasi dan Pembonsaian Kereta ApiHarun Al-Rasyid Lubis, ASSOCIATE PROFESSOR, TRANSPORTATION RESEARCH GROUP, ITBSumber : SINDO, 1 Januari 2012Dualisme komando kebijakan perkeretaapian makin terbukti dengan terbitnya Perpres No 83/2011. Isinya menugaskan PT Kereta Api Indonesia menyelenggarakan prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek.Perpres ini sekilas memang memisahkan fungsi regulasi dan operasi antara Ditjenka dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), dua lembaga pemerintah yang selama ini menjalankan fungsi ganda. Namun, penjelasan bahwa pelaksanaan tugas oleh PT KAI tak diperbolehkan menggunakan dana APBN dan APBD menjadikan penugasan ini ibarat buah simalakama bagi korporasi.Dua pertiga pengoperasian perkeretaapian dunia masih membutuhkan dukungan pemerintah berupa subsidi tahunan. Itu di luar pengadaan prasarana yang lazimnya berupa biaya yang sudah tertanam (sunk cost), seperti jalur KA yang ada sekarang. Sisanya, sepertiga operasi KA dunia bisa menutup biaya operasi kalau rute KA menghubungkan dan melayani daerah terpadat permukiman serta bisnis, seperti di Hongkong, Singapura, dan beberapa kota di Jepang. Itu pun kalau operator KA diberi kesempatan dan hak istimewa mengelola properti prima di sepanjang jalur KA. Penjualan tiket tidak menutup biaya operasi.RevitalisasiRangkaian restrukturisasi dan agenda revitalisasi KA sesuai UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian boleh dibilang gagal. Ukurannya adalah Pasal 214 UU No 23/2007 yang mengamanatkan antara lain audit perkeretaapian dan penetapan kembali neraca awal PT KAI, tetapi tak terlaksana. Ini sebagai tindak lanjut dikeluarkannya 5 kepmenhub pada 2010. Empat dari kepmen itu mirip Perpres No 83/2011, di mana PT KAI adalah badan usaha/ operator prasarana dan sarana perkeretaapian yang sah. Sisanya khusus mengatur manajemen prasarana (Kepmenhub No 219/2010), di mana prasarana milik pemerintah diwadahi dengan perjanjian kontrak operasi dan pemeliharaan kepada PT KAI.Terbitnya Perpres No 83/2011 adalah reaksi atas kemandekan manajemen prasarana KA selama ini, bukan sebagai platform lanjutan reformasi dan revitalisasi perkeretaapian sesuai UU No 23/2007. Mengembangkan jalan tol pun saat ini perlu dan sudah didukung dana pemerintah (APBN), bagaimana mungkin KA tidak memerlukan APBN?Politik infrastruktur transportasi dan politik anggaran berjalan tidak konsisten. Kisruh harga BBM bersubsidi bagi angkutan barang KA baru-baru ini menunjukkan betapa birokrasi tidak berkomunikasi walau saling bicara. Menambah pasokan BBM bersubsidi lebih disenangi pemerintah ketimbang menaikkan harga BBM dan mengalihkan peruntukan subsidi bagi pemberdayaan angkutan umum, termasuk angkutan berbasis rel.Maka, satu-satunya cara adalah menaikkan tarif. Persyaratan ini sangat terkait dengan penilaian pemeringkatan pengembalian utang PT KA di mata lembaga keuangan. Berbeda dengan angkutan KA batubara yang sangat komersial—terdapat jaminan off-taker (permintaan) dan tarif komersial yang dapat meyakinkan lembaga keuangan, angkutan penumpang KA perkotaan tidak demikian.Pelayanan PublikKA komuter adalah pelayanan publik untuk tujuan sosial dalam rangka pemerataan dan pengurangan eksternalitas. Mekanisme bantuan atau cara mendistribusi subsidi kepada para penumpang perlu dicarikan jalan keluar, selain subsidi langsung ke operator KA seperti skema public service obligation (PSO). Sebaliknya kebijakan biaya infrastructure maintenance and operation (IMO) ataupun PSO bertentangan dengan Perpres No 83/2011 karena semua bersumber dari APBN.Sampai sekarang hubungan regulator versus operator KA belum terpayungi dalam kontrak manajemen yang adil. Benturan kepentingan tak terhindarkan serta terjadi moral hazard di kedua lini, di Ditjen KA sebagai regulator (principal) dan PT KAI (agent). Alhasil, semua inefisiensi ditanggung pengguna jasa.Menaikkan tarif sepanjang masih terjangkau daya beli masyarakat bukanlah masalah. Namun, bagi masyarakat tidak mampu—andai KA perkotaan masih menjadi alat tujuan sosial—pemerintah yang harus mencari solusi subsidi.Dengan Perpres No 83/2011, jika ingin menyelenggarakan pelayanan KA ataupun lewat moda angkutan lain, pemerintah harus membentuk badan usaha not-for-profit semacam badan layanan umum atau tetap memanfaatkan PT KAI.Mungkin perpanjangan trek KA menuju bandara dapat diwujudkan, tetapi dengan mengurangi peluang terbangunnya KA bandara premium service lewat jalur khusus. ● -
Refleksi terhadap UU Politik
Refleksi terhadap UU PolitikReza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIASumber : SINDO, 1 Januari 2012DPR periode 2009-2014 mengalami disorientasi dalam pelaksanaan fungsi konstitusionalnya dalam bidang legislasi. Politik legislasi DPR di 2011 mengalami kegagalan yang lebih kurang sama dengan tahun sebelumnya (2010).Kegagalan ini tak hanya dilihat dari pencapaian target legislasi yang semakin jauh dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011, tetapi juga kehilangan makna dari sisi substansi.Perundang-undangan bidang politik misalnya, jadi salah satu bukti absurdnya desain legislasi yang digagas DPR. Setidaknya terdapat tiga UU bidang politik yang didesain keliru oleh pembentuk UU, yaitu UU No 2/2011 tentang Perubahan UU Partai Politik (Parpol); UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu; serta UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang sedang dalam proses revisi.Perubahan ketiga UU tersebut tanpa didasarkan pada diagnosis yang jelas mengenai problem yang sesungguhnya terjadi dalam proses implementasinya. Akibatnya, perubahan UU hanya menambah masalah baru dalam proses politik di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pemilihan umum.Menyuburkan OligarkiUU Parpol menjadi UU bidang politik yang pertama kali diubah pada 2011. Dari sisi substansi, perubahan hanya terkait penambahan jumlah sumbangan badan usaha terhadap parpol dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar. Sementara problem akuntabilitas dan transparansi keuangan parpol tak jadi agenda dalam perubahan tersebut.Implikasi dari pengaturan keuangan parpol yang absurd ini hanya menyuburkan oligarki di internal partai. Akan timbul kelompok-kelompok tertentu yang akan menguasai partai secara mutlak karena pendanaan parpol dikuasai oleh satu pihak. Paling tidak ini tergambarkan dari situasi parpol saat ini, ketika terdapat gejala yang mengarah pada patronase politik.Dalam isu akuntabilitas dan transparansi, pendanaan parpol juga mengalami distorsi. Laporan keuangan parpol menjadi ”barang mahal” karena tidak tersentuh oleh publik.Melihat problem ini, ada dua hal yang diabaikan. Pertama, soal pembatasan sumber pendanaan parpol, terutama yang berasal dari anggota dan pengurus parpol. UU terlalu ”pasrah” menyerahkan pembatasan tersebut dalam aturan internal parpol. Akibatnya, terjadi ”monopoli” pendanaan oleh petinggi parpol.Kedua, ketiadaan sanksi yang tegas dan jelas jika parpol tidak terbuka dengan laporan keuangannya, apalagi tidak membuat laporan keuangan sebagaimana diwajibkan UU. Seharusnya sanksi diberlakukan untuk mendorong partai jadi lebih terbuka ke publik. Sanksi dapat berupa penghentian subsidi dari negara atau bahkan sanksi tidak diikutkan dalam pemilu berikutnya.Pemilu juga terancam oleh terlalu kuatnya peran parpol dan DPR dalam pemilihan penyelenggara pemilu. UU No 15/2011 meninggalkan celah hukum yang begitu besar dan mengarah pada ”pembajakan” pemilu.Jika dikaitkan dengan proses pemilihan penyelenggara pemilu, ada dua hal yang patut diwaspadai. Pertama, adanya persyaratan yang membolehkan anggota parpol mencalonkan diri sebagai penyelenggara pemilu. Syarat ini menjadi ”parasit” untuk terbentuknya penyelenggara pemilu yang independen.Kedua, adanya klausul dalam UU No 15/2011 yang memberi ruang bagi DPR menolak calon yang disampaikan oleh panitia seleksi. Ketentuan ini ”aneh” karena tak pernah ditemukan dalam pengaturan proses seleksi komisi negara lain, misalnya proses seleksi pimpinan KPK.Kehadiran klausul ini tak hanya mengganggu independensi panitia seleksi, tapi juga ”mengancam” terbentuknya penyelenggara pemilu tepat waktu sesuai amanat UU. Situasi ini pada akhirnya akan berpotensi ”membajak” penyelenggaraan pemilu.Menyuburkan KorupsiTerkait revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, ada empat isu krusial yang masih diperdebatkan, yaitu tentang sistem pemilu, ambang batas parlemen, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan metode penghitungan suara.Butir perubahan ini hampir tak menyentuh akar korupsi politik dalam konteks pemilu. Contoh, bagaimana merumuskan ketentuan yang dapat mencegah terjadinya praktik politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara oleh petahana, dan penggunaan ”uang haram” untuk kegiatan kampanye (money laundering). Perubahan bahkan cenderung lebih memperlihatkan pertarungan antarpartai untuk memperoleh kekuasaan di legislatif.Semua problem ini dihadirkan untuk menyegarkan ingatan publik mengenai potret buram UU bidang politik yang menyuburkan praktik korupsi dan membahayakan demokrasi. Kita berharap, tahun mendatang ada perbaikan dalam kehidupan politik melalui perbaikan regulasi bidang politik yang lebih menjamin terselenggaranya kehidupan demokrasi di Indonesia. ● -
Pasal 33, Freeport, dan Papua
Pasal 33, Freeport, dan PapuaSri-Edi Swasono, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UISumber : SINDO, 1 Januari 2012Dasar hukum penanaman modal asing di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.Pada 1968, mahasiswa Indonesia di AS yang tergabung dalam Permias dan dike- tuai Tony Agus Ardie menyambut positif UU No 1/1967. Bekerja sama dengan KBRI di Washington DC dan Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Permias mengadakan seminar ”Investment in Indonesia” untuk mendorong pengusaha AS berinvestasi di Indonesia. Selaku Ketua Permias Cabang Pittsburgh, saya menolak hadir. Merasa tak sreg. Insting saya: UU ini awal kembalinya kapitalisme asing di Indonesia.Mengapa UU No 1/1967 diteken Presiden Soekarno, yang sebelumnya meneriakkan go to hell with your aid kepada kapitalis-imperialis Barat, bahkan keluar dari keanggotaan di PBB?Barangkali Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, dan 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD 1945), yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; tenaga atom; dan media massa.Kemudian terbukti UU No 1/1967 menjadi awal dominasi asing, ”dikasih hati, minta ampela pula”. Sejak 1982 merebak peraturan perundang-undangan deregulasi ekonomi yang samar-samar melanggar Pasal 33 UUD 1945.Selanjutnya PP No 20/1994 mulai terang-terangan membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. Porsi pemilikan saham Indonesia dicukupkan 5 persen dalam berpatungan dengan investor asing. Indonesia sejak itu jadi lahan eksploitasi perusahaan asing.Dan, 40 tahun kemudian, Tony Agus Ardie selaku tokoh Kadin dan Hippi menolak RUU yang menyetarakan investor asing dengan investor nasional. Kesetaraan sok imparsial ini justru diskriminatif terhadap anak-negeri yang masih lemah. RUU itu jadi UU No 25/2007 yang menggelar karpet merah buat investasi asing.Catatan pribadi saya kepada Tony Agus Ardie dan almarhum Hartojo Wignjowijoto tentang kehadiran Presiden Obama di Kampus UI tahun lalu, ”Bung, meski saya tak bilang mereka mirip inlander, kalian dan saya boleh heran, ketika Presiden Obama mengawali uluk salamnya ’Pulang kampung nih’, kok mereka berlebihan bersorak-sorai kegirangan. Namun, tak semua ramah murah macam itu. Ada sekelompok mahasiswa menyiapkan spanduk bertuliskan ’Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment’. Ini sopan dan intelektual.”Kelengahan IdeologisDerasnya investasi asing ke Indonesia memang problematik. Dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara tak sekadar mewajibkan para investor asing dalam pertambangan mineral merenegosiasi kontrak kerja, tetapi juga wajib melaksanakan perintah UU. UU No 4/2009 menyebutkan enam isu strategis: luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.Kontrak kerja generasi I tahun 1967 dengan PT Freeport Indonesia (FI) diperbarui dengan kontrak kerja generasi II pada 1991. Namun, pembaruan tak optimal keuntungannya bagi Indonesia. Kita lengah melulu. UU No 4/2009 mengamanatkan perlunya negosiasi ulang kontrak semua perusahaan tambang asing.Saham PT FI 90,64 persen dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold dan 9,36 persen dikuasai Pemerintah Indonesia. Terkait UU No 4/2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir September 2011 mengakui 65 persen dari 118 perusahaan tambang setuju dan 35 persen masih dalam tahap negosiasi, salah satunya PT FI yang terang-terangan ogah-ogahan. Bahkan diberitakan, Direktur PT FI Armado Mahler dan Juru Bicara PT FI Ramdani Sirait menegaskan tak ada yang salah dalam kontrak kerja: sudah cukup adil bagi sesama pihak.Kelengahan ideologis DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU plus rakusnya imperialisme korporasi PT FI, sebagai wujud baru kolonialisme Eropa abad-abad lalu, tak saja telah mengakibatkan tak ber- akhirnya kepedihan hidup dan ”keterting- galan” saudara-saudara kita di Papua, tetapi juga merupakan pembiaran atas compang-campingnya kedaulatan negara.Mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri di sekitar lokasi pertambangan PT FI di Pegunungan Ertsberg dan Grasberg yang superkaya logam mulia. Tindakan ekstraordinari penyejahteraan dan pembahagiaan rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhkah aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa? SBY jadi sangat tak populer karena kelakuan aparat dan pembiaran seperti ini.Teringat pada pertemuan saya dengan PM Xanana Gusmao pada 2010 di pesang- grahannya, saya menasihatinya mengemban doktrin kemerdekaan nasional agar benar-benar menjadi master (tuan) di negeri sendiri. Jawabnya, ”Tentu, jangan kita sekadar menjadi master of ceremony.”Ia benar. Jangan kita hanya mengantar tuan-tuan asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral SDA, dan menyilakan memilih hutan mana, tambang apa, lahan di mana, serta infrastruktur apa. Korupsi telah menyebar ke segala tingkat birokrasi pusat dan daerah. Artinya, rezim merampok negara.Meningkatkan Pemilikan SahamNegosiasi ulang kontrak kerja harus berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Kita tak anti-asing. Kita batasi investasi asing agar tak mendominasi ekonomi nasional. Arah negosiasi ulang adalah meningkatkan bertahap pemilikan saham untuk cabang produksi yang penting bagi negara: minimal Indonesia 51 persen. Jadi, idiom ”dikuasai oleh negara” akan mangkus terwujud.Jangka waktu kontrak kerja dipendekkan, mengakhiri model konsesi, lalu mengubahnya menjadi kontrak bagi hasil. Selama kontrak kerja berjalan, royalti ditingkatkan dua kali lipat. Peran menentukan manajer Indonesia ditingkatkan. Pengelolaan perusahaan dan proses produksi harus transparan.Mahkamah Konstitusi perlu lebih memahami roh dan misi kemerdekaan Indonesia. Konstitusi tak sekadar rentetan kata-kata. Kecanggihan jangan tereduksi sikap the King can do wrong. Komisi Hukum Nasional harus proaktif nasionalistis. Demikian pula ISEI: tak berpang- ku tangan jadi organisasi yang terkesan abai terhadap imperativisme ekonomi konstitusi. Jangan sampai ISEI memilih berpedoman pada silabus ruang kelas yang penuh dengan hegemoni akademis. ● -
Impor Pangan yang Mencemaskan
Impor Pangan yang MencemaskanKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI); ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)Sumber : SINDO, 1 Januari 2012Dalam pelbagai diskusi, saya sering ditanya bagaimana kondisi pertanian pangan Indonesia. Saya menjawab, secara agregat kinerja sektor pertanian menggembirakan.Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian selalu surplus. Tahun lalu nilainya 18,537 miliar dollar AS atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dollar AS). Surplus terjadi karena membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan negatif. Kinerja ketiga subsektor itu jauh dari menggembirakan.Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Tahun 2009, defisit terbesar terjadi di subsektor tanaman pangan. Akan tetapi, tahun 2010 dengan defisit 3,505 miliar dollar AS, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (3,416 miliar dollar AS).Dengan demikian, di luar impor hortikultura, impor pangan dan produk peternakan justru paling mencemaskan. Tahun lalu, defisit subsektor hortikultura 1,197 miliar dollar AS. Kalaupun tahun ini impor meledak (Kompas, 5-6/12/2011), nilainya tak akan melampaui impor tanaman pangan atau peternakan.Impor PanganTahun ini, impor pangan tetap mengalir deras. Pada semester I-2011 (BPS), impor pangan mencapai 6,35 miliar dollar AS, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (5,35 miliar dollar AS). Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Dari cakupannya, tampak betapa luasnya komoditas pangan impor ini. Tanpa kita sadari, negeri agraris yang klaimnya kaya sumber daya alam ternyata pangannya bergantung pada impor.Padahal, dari sisi produksi, Indonesia salah satu negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), untuk peringkat 1-5 dunia, cakupannya meliputi cengkeh (nomor 1), kelapa sawit (1), palem kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1), kelapa (1), daun bawang (1), vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2), kacang hijau (2), beras (3), pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat (3), telur burung (3), cabai dan paprika (4), kopi (4), singkong (4), pepaya, mangga, manggis, jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5).Untuk sejumlah komoditas pangan penting, ketergantungan kita makin akut dan belum ada tanda-tanda membaik. Sampai kini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.Logikanya, impor dilakukan apabila produksi domestik tidak mencukupi kebutuhan. Menjadi pertanyaan: mengapa kita mengimpor beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao. Bukankah produksi beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao surplus? Mengapa ada aliran impor dari luar negeri? Mengapa arus impor justru mengalir semakin deras?Masalahnya memang tidak pada produksi berlebih atau surplus, tetapi pada kebijakan yang tidak memihak. Dalam kasus beras, misalnya, kebijakan yang ada, terutama kebijakan perdagangan, tidak hanya bersifat anomali, tetapi juga lebih pro-impor.Salah satu anomali adalah kebijakan impor beras (lagi), yang tahun ini kuotanya 1,6 juta ton. Meskipun beleid itu dibungkus argumen untuk menjaga stok beras nasional, publik—terutama petani—pasti bingung. Soalnya, Juli lalu BPS merilis produksi padi pada 2011 diperkirakan 68 juta ton gabah kering giling (GKG), yang kemudian direvisi menjadi 65,4 juta ton. Dengan rendemen gabah 57 persen dan tingkat konsumsi 139 kilogram per kapita, masih ada surplus 3 juta-3,5 juta ton beras. Cukup untuk sebulan konsumsi.Jika benar surplus, seharusnya tidak perlu impor beras, seperti periode November 2010-Maret 2011 yang tercatat 1,95 juta ton. Apakah instrumennya tidak tepat atau basis akademik dan landasan teorinya tidak lagi mutakhir? Atau ada perburuan rente ekonomi superbesar di balik beleid itu? Publik tidak mendapatkan informasi pasti.Komplikasi KebijakanPublik justru disuguhi debat kusir komplikasi kebijakan antarsektor: Kementerian Perdagangan versus Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian yakin surplus dan tidak setuju impor beras, tetapi Kementerian Perdagangan bersikap sebaliknya: mendorong impor. Ada apa di balik beleid impor ini?Selain komplikasi kebijakan, pangan impor mengalir karena pintu penghalang lemah. Misalnya, sesuai kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia menotifikasi tarif bea masuk impor komoditas yang dilindungi. Bea masuk beras, gula, dan susu masing-masing 9-160 persen, 40-95 persen, dan 40-120 persen. Namun, gara-gara liberalisasi agresif lewat aneka perjanjian perdagangan bebas (FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Bahkan, bea masuk kedelai dan jagung 0 persen. Padahal, di WTO bea masuk yang dicatatkan 30-40 persen dan 9-40 persen.Sebetulnya Indonesia masih memiliki keleluasaan menerapkan bea masuk guna melindungi pasar dan produk petani domestik. Namun, lagi-lagi perlindungan itu diobrak-abrik arus liberalisasi lewat berbagai FTA. Indonesia percaya, perdagangan antarnegara yang tanpa hambatan akan bermanfaat bagi setiap negara lewat spesialisasi komoditas unggul. Padahal, itu hanya teori.Dalam praktiknya, liberalisasi lewat FTA justru berdampak negatif pada pasar domestik. Ini terjadi karena distorsi harga akibat subsidi negara maju tidak dibahas efektif dalam FTA, termasuk pemaksaan petani miskin untuk mengikuti standar kebersihan internasional (sanitary and phytosanitary, UNDP, 2005).Adalah ceroboh mengintegrasikan perekonomian dengan perekonomian regional dan global tanpa memperkuat perekonomian nasional lebih dulu. Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai regulasi FTA, tetapi integrasi ekonomi nasional tak dibenahi. Bagaimana mungkin produk kita bersaing jika praktik ekonomi biaya tinggi masih mendera.Bagaimana mungkin produk dari Sumatera Barat bisa bersaing di Jakarta dengan produk serupa dari luar negeri kalau ongkos angkut Padang-Jakarta 600 dollar AS per kontainer, sedangkan dari Singapura ke Jakarta 185 dollar AS per kontainer. Bagaimana mungkin jeruk pontianak bisa bersaing dengan jeruk dari China kalau ongkos angkut dari China ke Jakarta lebih murah daripada ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta.Pemerintah agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring pengaman pasar. Regulasi Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) dan label berbahasa Indonesia, misalnya, tak pernah ditegakkan dan dengan sanksi tegas.Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri. Makin ironis lagi karena barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah hasil produksi dari industri kita yang punya keunggulan komparatif. ●