Author: Adul

  • Prioritas Pemerintahan Baru

    Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
    REPUBLIKA, 30 Agustus 2014

    Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara–baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum–telah menanti segera dituntaskan setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada tanggal 20 Oktober mendatang.

    Di bidang ekonomi, sejumlah pekerja an rumah ditinggalkan pemerinta- han Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Memang harus diakui pemerintahan SBY telah menorehkan prestasi ekonomi gemilang berupa pertum- buhan secara konsisten di atas lima persen ketika negara-negara maju terkena dampak resesi ekonomi global.

    Bahkan, pemerintahan Presiden SBY telah menghantarkan ekonomi Indonesia terdepan di kawasan Asia Tenggara di mana kurang lebih setengah produk domestik bruto ASEAN berasal dari Indonesia. Namun, prestasi gemilang di bi dang ekonomi harus juga dicermati dalam konteks persoalan yang dihadapi kelompok rawan secara eko nomi, seperti pekerja upah rendah dan pengangguran.Bagi mereka pertumbuhan ekonomi dapat menjadi bencana. Pertumbuhan ekonomi tinggi otomatis akan mendorong biaya hidup kian mahal.

    Apabila pekerja upah rendah tidak mengalami besaran tingkat upah minimum, maka nilai tambah hasil kerja industri cuma akan jatuh ke pe milik modal. Alhasil ketimpangan ekonomi semakin besar sebagaimana ditunjukkan angka rasio Gini yang meningkat cukup tajam 10 tahun terakhir. Jika di awal pemerintahan SBY tahun 2004 rasio Gini 0,38 kini meningkat menjadi 0,42.

    Selain pekerja upah rendah, pengangguran juga akan menjadi kelompok rawan paling terpukul dengan pertum- buhan ekonomi negara. Mereka tidak memiliki pendapatan tetap, tetapi harga dan standar hidup terus meningkat.

    Konektivitas melalui percepatan dan perbaikan infrastruktur juga menjadi pekerjaan rumah lain dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.Kendala infra- struktur meng akibatkan pusat-pusat produksi tidak terkoneksi sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan ongkos logistik termahal.Kendala infrastruktur ini pula biang keladi rendahnya daya siang Indonesia.

    Pekerjaan rumah lain di bidang ekonomi tidak kalah pelik adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Betapa tidak, subsidi BBM saat ini sudah sangat mem bebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepentingan politik pencitraan pemerintah dan DPR selama ini membuat belanja subsidi BBM terus mengalami kenaikan.

    Pada tahun 2012, realisasi subsidi BBM mencapai Rp 211 triliun. Satu tahun berselang subsidi BBM mengalami se dikit penurunan menjadi Rp 199 triliun. Subsidi BBM kembali naik di tahun 2014 menjadi Rp 249 triliun. Bahkan, di dalam RUU APBN tahun 2015, besar subsidi BBM diperkirakan akan melonjak tajam menjadi Rp 291 triliun.

    Selaras dengan itu, realisasi konsumsi BBM bersubsidi juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, realisasi konsumsi BBM bersubsidi 45,07 juta kiloliter. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi melonjak tahun 2013 menjadi 46,25 juta kiloliter. Sedangkan tahun ini, realisasi konsumsi BBM bersubsidi per 30 Juni 2014 mencapai 22,91 juta kiloliter dan diperkirakan akan melampaui kuota BBM bersubsidi yang dite tap kan pemerintah 46 juta kiloliter.

    Padahal berbagai hasil penelitian menunjukkan subsidi BBM tidak akan tepat sasaran. Alih-alih di nikmati oleh golongan tidak mampu, subsidi BBM justru lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok ekonomi menengah ke atas.

    Karena itu, muncul pemikiran agar subsidi BBM dikurangi atau dicabut untuk kemudian dialihkan kepada sektor-sektor penting lain. Untuk itu dalam 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus tegas memutuskan apakah subsidi akan dicabut atau dikurangi bertahap? Bila dilakukan secara bertahap, berapa nominal besar pencabutan itu dalam setiap tahap dengan diiringi scheduledefinitif.

    Selain terimbas subsidi BBM, APBN mengalami defisit neraca perdagangan akibat impor migas. Konsumsi dalam negeri naik setiap tahun, tetapi lifting minyak tidak mengalami peningkatan signifikan sehingga impor migas dilakukan berlebihan. Pemerintahan JokoWi dodo-Jusuf Kalla harus mulai merencana kan secara serius roadmap melepaskan bangsa ini dari ketergantungan terhadap ba han bakar fosil dan beralih ke energi alternatif, seperti gas.

    Sedangkan pekerjaan rumah paling mendesak pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla di bidang politik dan hukum adalah reformasi hukum. Reformasi hukum dimaksud berupa tumpang tindih aturan, ketidakpastian hukum, dan birokratisasi perizinan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak di berbagai sektor birokrasi pemerintahan.

    Berbagai pekerjaan rumah bidang ekonomi, politik, dan hukum di atas harus menjadi agenda prioritas Joko Widodo-Jusuf Kalla. Memang berbagai pekerjaan rumah itu terlihat sangat sulit dituntaskan dalam waktu lima tahun, tapi bukan berarti tidak bisa.

    Diperlukan kebijakan tepat dan komprehensif plus kepemimpinan tegas dari presiden dan wakil presiden terpilih untuk menuntaskan seluruh pekerjaan rumah tersebut. Kini publik menantikan solusi konkret dari duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla, bukan sekadar janji-janji manis seperti masa kampanye lalu. ●

  • Kebudayaan Indonesia Gagal

    Kebudayaan Indonesia Gagal
    Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
    SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
    Kalau tidak satu-satunya, setidaknya salah satu hal vital dalam hidup berbangsa dan bernegara di republik ini yang senantiasa gagal ditemukan atau disepakati adalah soal ”kebudayaan Indonesia”.
    Apa dan bagaimana ”kebudayaan Indonesia” itu? Rumusan konstitusional yang diilhami oleh Ki Hajar Dewantara tentang, misalnya, ”puncak-puncak kebudayaan”, sudah sejak masa kemerdekaan menuai kritik atau keberatan dari berbagai kalangan, terutama para pemikir dan pekerja kebudayaan. Hingga detik ini.
    Secara teoretis (per definisi) juga praktis, sesungguhnya kita tidak—dan belum pernah—memiliki ”kebudayaan Indonesia”, sebuah tatanan nilai dan simbolik yang secara universal mampu merangkum ratusan budaya lokal yang sudah berusia ratusan dan ribuan tahun. Tampaknya inilah salah satu di antara beberapa sebab substansial yang menciptakan kerancuan, kegamangan di semua kalangan pada hampir seluruh lapisan masyarakat pemilik negeri ini.
    Kebudayaan kita masih berlangsung dengan dasar-dasar etis dan normatif yang berdiam, bertahan, berkembang, dan diwariskan oleh adat dan tradisi. Sebuah kondisi yang sebenarnya tak jadi persoalan karena ia sudah berlangsung ratusan kali lebih lama dari usia republik ini. Namun, ia jadi persoalan besar ketika modernisme, beserta cara berpikir dan kecenderungan mentalnya, menuntut adanya ”universum” di atas yang tak dapat disediakan, baik oleh para pemimpin maupun pemikir negeri ini, juga oleh para pemeluk teguh adat di berbagai etnik.
    Akhirnya, kita kemudian—dengan kesadaran modern itu—berpaling kepada deretan buku di perpustakaan (entah yang tersedia di Oxford, Leiden, Paris, New York, bahkan Tokyo, Beijing, Baghdad, atau Kairo) untuk menemukan dasar-dasar nilai dan etika yang mungkin cocok—tepatnya dicocok-cocokkan—dengan realitas sosial, politik, hukum, akademik, agama, hingga akhirnya kultural kita.
    Terjadilah kemudian fenomena berlapis-lapis, tumpang tindih, bahkan konflik antara nilai-nilai baru (yang modern dan global itu) dan apa yang di lokal telah eksis begitu lamanya. Wajar jika kemudian muncul banyak standar ganda dalam cara kita beretika, berperilaku, bahkan berpikir, beragama, berbudaya di semua lapisan dan tingkatan masyarakat kita. Kita menyaksikan, misalnya, bagaimana seseorang melakukan kesalahan—bahkan terkategori ”dosa”—tanpa sikap, raut wajah, atau jiwa yang merasa bersalah. Betapa kita lihat di televisi, para pelaku korupsi hebat memiliki wajah yang polos, naif, dan bersih.
    Transplantasi Budaya
    Para pelaku kejahatan kemanusiaan saat ini tampaknya memandang tindakannya ”tidak salah” karena menganggap hal itu sudah umum dilakukan. Sebuah keumuman segera berubah menjadi ”lumrah”, dan kelumrahan akan berakhir menjadi norma (yang tidak keliru atau dapat dibenarkan). Alasan lain, apa yang dilanggar adalah norma baru (modern) yang mereka dapat dengan cara transplantasi, cangkokan, tidak melalui internalisasi atau akulturasi sebagaimana adat dalam diri mereka.
    Satu hal yang perlu diingat, semua yang merupakan tempelan atau cangkokan akan menjadi artifisial di negeri ini sebelum ia meruang dalam waktu yang berjangka panjang. Dan semua yang artifisial akan dengan mudah diganti, diperbarui, atau dibuang karena sifatnya yang temporer. Tindakan itu diterima karena tidak melukai adab yang terbangun dalam diri seseorang.
    Dengan penjelasan yang sangat disederhanakan, kita pun dapat mafhum bahwa tidak ada gunanya kita senantiasa ribut tentang sistem yang tepat atau panutan yang tak kunjung lahir jika fondasi kultural yang melahirkan itu tak kunjung kita temukan atau sepakati bersama. Adalah mimpi kosong kita membayangkan sistem sehebat apa pun, yang kita comot dari laci perpustakaan atau rayuan sebagian orientalis, dapat kita terapkan (baca: cangkokan) begitu saja dalam peri hidup kita berbangsa dan bernegara saat ini.
    Adalah juga harapan hampa jika kita mengharapkan mendapat acuan atau panutan dari tokoh-tokoh elite atau para pemimpin masa kini, yang sudah terlampau tenggelam dalam ”rayuan” dan buku-buku teks, sehingga mereka—sadar dan tak sadar—meninggalkan atau menafikan adab dan kultur yang secara primordial mengendap di daging dan batin mereka. Kita akan terus dalam kondisi itu hingga kita menyadari di dasar semua harapan itu ada hal lain yang lebih desisif: kebudayaan. Kebudayaan Indonesia!
    Enam Identifikasi
    Bagaimana sebenarnya ”kebudayaan Indonesia” yang selalu gagal kita pahami, rumuskan, dan sepakati itu? Saya memiliki proposal yang saya ringkas di sini.
    Pertama, ”kebudayaan Indonesia” mesti berani kita tempatkan bukan sebagai rumusan yang beku bahkan mati, sebagaimana postulasi atau teori. Karena itu, lupakan sejenak metodologi saintifik atau cara berpikir yang logosentris karena ia akan gagal di langkah pertama dalam memahami hal ini.
    Kedua, ”kebudayaan Indonesia” sebenarnya adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti dari laku pembudayaan alias ”pemberadaban”, sebagaimana terjadi di semua kultur etnik di kepulauan ini sejak ribuan tahun lalu. Ketika proses ini dibakukan, dalam teori atau definisi, sesungguhnya ia tidak hanya dibakukan, tetapi juga dibekukan.
    Ketiga, ”kebudayaan Indonesia”—sebagai konsekuensi hal di atas—diproduksi, dikembangkan, dan ditransmisi (diwariskan) tidak melalui artefak-artefak material, yang antara lain dibutuhkan para peneliti, tetapi melalui mekanisme yang bersifat sangat praksis, langsung, sehari-hari; melalui ”laku” untuk menjadi ”lakon”. Di sini produk-produk kebudayaan kita dihasilkan lebih secara lisan ketimbang tulisan (sebuah tradisi yang diajarkan oleh bangsa Arya-India di awal Masehi).
    Betapapun budaya tulisan meningkat, karena kebutuhan ilmu dan modernisasi, praktik lisan masih sangat kuat berlangsung di hampir seluruh bagian negeri ini. Hal ini membuat sebuah produk kultural Indonesia sejak mula lebih bersifat komunal/kolektif ketimbang personal/individual sebagaimana tradisi di Eropa (Barat). Hal ini membawa kita pada identifikasi keempat di mana sebuah produk kebudayaan di negeri ini akan memiliki makna dan fungsi ultimnya ketika ia berhasil disignifikansi atau difungsikan oleh semakin banyak orang/kalangan. Sebuah budaya haruslah bersifat sosial.
    Mengapa? Karena, kelima, dalam kebudayaan atau adat-adat lokal kita, manusia (individu) tidak dapat dikonstitusi tanpa keterkaitannya dengan publik di sekelilingnya. Manusia bereksistensi karena adanya eksistensi lainnya. Maka, inilah identifikasi terakhir sementara ini, satu person akan mendapat pengakuan, posisi, hingga harkat dan martabatnya ketika ia menjadi aktor (produsen) kebudayaan yang utama dalam proses dan impaknya. Di sinilah seorang panutan juga pemimpin bisa lahir. ●
  • Kini Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS

    Kini Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS
    Diani Citra, KANDIDAT PHD COLUMBIA UNIVERSITY JOURNALISM SCHOOL
    SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
    Ada satu perbedaan mendasar antara kapitalisme di Amerika Serikat dan kapitalisme di berbagai belahan dunia lainnya. Kalau di negara lain hanyalah praktik kapitalisme, di Amerika Serikat kapitalisme adalah agama.
    Cara paling mudah untuk melihat langsung praktik ”keagamaan” ini adalah dengan melihat sistem penyiaran di AS. Sistem penyiaran di AS sudah lama dinilai mengkhawatirkan oleh banyak pengamat. Keseragaman dan sensasionalisme isi siaran di hampir semua stasiun televisi AS sudah diramalkan sejak kelahiran televisi pertama, NBC. Newton Minow, mantan anggota Lembaga Pengawasan Penyiaran Amerika (FCC), pada 1961—hanya 10 tahun sejak kelahiran televisi di Amerika—menyebut televisi sebagai sebuah tempat sampah yang luas.
    Sekitar tahun 1940-an, muncul gerakan yang dikenal sebagai ”Blue Book Debate” untuk mengurangi pengaruh pasar dan kembali mengarahkan pertelevisian AS kepada kepentingan publik. Gerakan ini mempertanyakan sistem kepemilikan dan kriteria isi siaran dalam kebijakan penyiaran AS.
    Blue Book Debate dianggap sebagai titik penting dalam pembentukan kebijakan sistem penyiaran Amerika. Sayangnya, pengaruh industri terlalu kuat sehingga tuntutan-tuntutan yang menentang dominasi industri pertelevisian dan pasar bebas dimentahkan. Industri pun kembali mendominasi, bahkan lebih kuat daripada sebelumnya.
    Efeknya tampak sangat jelas di wajah pertelevisian AS sekarang. Polarisasi politik antara Partai Republik dan Demokrat sudah tidak asing lagi bagi masyarakat AS.
    Ironisnya, sistem dan industri penyiaran AS justru malah memperparah model politik ini. Televisi di AS pun ikut terpecah menjadi kubu Demokrat dan Republikan. Banyak tokoh partai membawakan acara diskusi, berita, atau analisis politik di stasiun televisi yang mendukung agenda mereka.
    Para tokoh politik ini pun secara terang-terangan mempromosikan kepentingan politik mereka dalam acara-acara tersebut. Contohnya, stasiun televisi Fox sudah tidak dapat dipisahkan dari Partai Republik, seperti halnya MSNBC tampak bersaudara dengan Partai Demokrat.
    Berangkat dari contoh kasus AS, masyarakat dan Pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa bukan hanya kebebasan berekspresi dan demokratisasi penyiaran yang dapat kita pelajari dari mereka. AS memang dikenal sebagai motor demokrasi di berbagai belahan dunia, tetapi hanya sedikit pihak yang mempertanyakan kebobrokan demokrasi di dapur AS sendiri akibat terlalu berkiblat kepada pasar.
    Sangatlah mengkhawatirkan jika Indonesia, mengutip pernyataan Maruarar Siahaan (saksi ahli pemerintah), ingin berbicara mengenai penyiaran, Indonesia harus berbicara mengenai pasar. Kalau tak hati-hati, Indonesia dapat jatuh ke dalam lubang yang telah menelan AS dan menghancurkan demokrasi Indonesia yang telah susah payah dibangun selama 14 tahun.
    Industri TV vs Ibu Budi
    Pengkhianatan sistem pasar bebas terhadap publik AS dimulai pada 1886 ketika Mahkamah Agung AS memutuskan sebuah perusahaan memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara perseorangan. Keputusan ini jadi preseden hukum bagi perusahaan, termasuk perusahaan media, untuk memberikan kontribusi politik kepada kandidat pemilihan umum dalam bentuk dan jumlah yang tak terbatas, mulai dari uang hingga isi siaran. Dari sinilah spiral kapitalisme AS mulai lepas kendali dan gaungnya sampai ke Indonesia.
    Pergerakan Indonesia ke arah deregulasi semacam ini terlihat jelas. Dalam permohonan uji materi terhadap UU Penyiaran yang diajukan industri pertelevisian, pada Maret 2003, para pemohon menuntut agar stasiun penyiaran mendapatkan hak-hak asasi yang sama seperti seorang warga negara. Termasuk di antaranya kebebasan untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani, kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi, serta kebebasan untuk memajukan diri.
    Dengan menggunakan logika hukum itu, media penyiaran yang merupakan perusahaan bermodal triliunan rupiah dan bertujuan utama memaksimalkan keuntungan menuntut negara agar memberi mereka kebebasan asasi yang sama yang tidak hanya dijamin UUD 1945, tetapi juga oleh PBB yang selama ini hanya diberikan kepada individu.
    Mungkin Anda bertanya: lantas apa salahnya jika satu stasiun televisi punya hak yang sama dengan (sebut saja) ibu Budi, seorang ibu yang tinggal di Grogol, Jakarta? Salahnya di sini: hak asasi adalah hak internal yang diberikan kepada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh apa pun. Media massa adalah perusahaan yang memiliki akses terhadap ratusan juta penduduk Indonesia dan kekuatan besar dalam pembentukan opini masyarakat.
    Artinya, stasiun penyiaran dapat menyiarkan informasi apa pun sesuai pendapat para pemiliknya tanpa dapat diganggu gugat oleh pemerintah atau publik. Pada gilirannya, opini ini dapat digunakan oleh para pemiliknya untuk menjamin kepentingan bisnis dan politik mereka.
    Stasiun penyiaran tidak dapat disamakan haknya untuk berpendapat dan menyebarkan informasi seperti halnya ibu Budi. Kalau ibu Budi berpendapat dan ingin menyebarkan pendapatnya, dia mungkin bisa bercerita kepada suami atau anaknya. Paling jauh ibu Budi bisa bercerita kepada ibu-ibu arisan di RT-nya. Jumlah khalayak ibu Budi sangat tak sebanding dengan khalayak Metro TV atau TV-One, misalnya, yang dapat langsung mencapai jutaaan penduduk Indonesia.
    Bahkan, ketika berpendapat pun, ibu Budi harus berhati-hati agar jangan melanggar Pasal KUHP tentang penyebaran fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan. Dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, apakah berlebihan jika kita meminta industri penyiaran yang memiliki kemampuan menyebarkan informasi kepada ratusan juta orang untuk diatur jauh lebih ketat daripada akses berekspresi ibu Budi?
    Uji Materi 2012
    Untungnya, permohonan uji materi 2003 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, kalau kita tak waspada, uji materi yang diajukan pada Februari 2012 dapat dimanfaatkan oleh industri penyiaran untuk menghidupkan kembali tuntutan-tuntutan itu.
    Permohonan ini dapat menjadi momentum yang bisa menyelamatkan sistem pertelevisian Indonesia dengan menegaskan bagian-bagian UU Penyiaran yang dianggap terlalu multitafsir. Namun, uji materi ini juga berpotensi menggagalkan semangat demokratisasi yang di usung oleh UU Penyiaran. Jangan sampai ayat-ayat hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk memajukan dirinya atau memperoleh kesempatan yang sama dijadikan justifikasi pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran atau penyeragaman isi siaran.
    Kalau kita terus berbicara mengenai pasar ketika membicarakan sistem penyiaran, kita harus bersiap-siap menjadi AS. Sebuah negara yang terlihat digdaya, tetapi tidak dapat membedakan antara manusia dan perusahaan. ●
  • Malapetaka yang Terkuak

    Malapetaka yang Terkuak
    Hifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FH-UGM
    SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kembali menyangkal terlibat dugaan tindak pidana korupsi. Muhaimin mengatakan, program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah transmigrasi sama sekali tidak dirapatkan. Bahkan, tidak dilaporkan kepadanya (Kompas, 7 Maret 2012).
    Pernyataan Muhaimin disampaikan terkait dengan kesaksian Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Perencanaan Evaluasi Program dan Pelaporan Ditjen P2KT Kemenakertrans, dalam persidangan kasus suap pencairan dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Dadong menyatakan, uang suap Rp 1,5 miliar dari Dharnawati sudah dikoordinasikan dengan Muhaimin.
    Di lain waktu, dalam persidangan kasus yang sama, Sekretaris Jenderal Kemenakertrans Muchtar Lutfie membeberkan, anggaran PPID diusulkan oleh Kemenakertrans. Surat B97, yang disusul surat B73 pada 5 April 2011, adalah dokumen resmi yang dipakai untuk mengajukan pengucuran dana PPID.
    Logika Kementerian
    Ketentuan mengenai kementerian negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Adapun pembentukannya ataupun tugas menteri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. Dalam Perpres Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara disebutkan, salah satu fungsi kementerian adalah menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya (Pasal 26 Ayat 1 huruf c dan Ayat 2 huruf c).
    Garis aturan tersebut tentu tidak dibentuk sembarangan. Ada norma yang dimaktubkan. Setiap kebijakan yang jadi cerminan tugas kementerian harus diawasi. Fungsi pengawasan itu terang: jangan sampai ada kesewenang-wenangan dan korupsi dalam membentuk kebijakan sehingga membuatnya keluar dari jalur pencapaian tujuan negara.
    Berdasarkan norma Perpres No 47/2009, agak susah menerima keterangan Muhaimin yang menyatakan tidak tahu ada kebijakan PPID di Kemenakertrans, termasuk keberadaan surat pengajuan pencairan dana PPID. Segala kebijakan kementerian, apalagi bernilai strategis, seharusnya lewat meja menteri. Ini juga konsekuensi dari ketentuan ”Menteri mempunyai tugas memimpin kementerian sesuai dengan tugas bidang kementerian” (Pasal 28). Logika kementerian yang top-down dalam pembentukan kebijakan menolak keterangan Muhaimin tersebut.
    Pernyataan Muhaimin yang mengaku tak tahu ada kebijakan PPID ataupun surat pengucuran dana PPID sebenarnya menunjukkan kepada kita secara gamblang adanya benih kehancuran. Ada malapetaka yang terkuak.
    Implikasi menteri sebagai pemimpin kementerian adalah setiap jenjang jajaran yang ada di bawahnya harus bertanggung jawab kepadanya. Sebagaimana diatur dalam Perpres No 47/2009, pejabat di bawah menteri—mulai dari sekretaris jenderal (Pasal 29 Ayat 1), direktur jenderal (Pasal 33 Ayat 1), inspektorat jenderal (Pasal 37 Ayat 1), hingga kepala badan (Pasal 41 Ayat 1) dan kepala pusat (Pasal 41 Ayat 3)—harus bertanggung jawab kepada menteri. Intinya, segala kebijakan yang diterbitkan oleh anak buah menteri harus atau pasti diketahui oleh menteri.
    Logika hukum kepemimpinan seorang menteri di kementerian mencantumkan, sebagai pimpinan puncak, menteri harus membaca dan mengetahui segala kebijakan kementerian. Kalau kemudian ada menteri yang menyatakan tidak tahu kebijakan di kementeriannya, ini bermakna ia tak tanggap dalam melaksanakan kinerjanya. Jadi, apa yang dilakukan menteri itu selama ini?
    Selanjutnya, menteri jika tak tahu karena tak tanggap kinerja, bukankah menteri, hanya makan gaji buta? Bukankah berarti uang negara dihambur-hamburkan guna membayar sebuah kesia-sian? Jika iya, hal ini adalah malapetaka.
    Absurd
    Keterangan Muhaimin yang berbeda dengan anak buahnya secara tidak disadari akan menjadikan absurd kasus korupsi suap di Kemenakertrans. Bagaimana mungkin sebuah program kementerian yang anggarannya mencapai Rp 500 miliar tidak dirapatkan. Lebih parah lagi, anggaran program yang tak dirapatkan itu akan dicairkan. Sungguh tak masuk akal.
    Namun, begitulah korupsi. Ia tak masuk akal. Korupsi mencibir akal sehat. Korupsi hanya masuk akal di kalangan para koruptor.
    Jangan-jangan, keabsurdan kebijakan di Kemenakertrans juga terjadi di 33 kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Jika demikian, bukankah hal ini menunjukkan bahwa negara diurus dengan keabsurdan, negara dijalankan dengan ke-”tidak masuk akal”-an? Jika iya, ini benar-benar malapetaka.
    Pencairan anggaran program pemerintah melibatkan, setidaknya, dua lembaga: Kementerian Keuangan dan lembaga pemerintah pemilik program. Apabila pernyataan Muhaimin benar, bahwa program PPID tak pernah dirapatkan sebelumnya, sehingga walau bukan menjadi program Kemenakertrans, anggaran program tersebut tetap turun, kemungkinan besar ada aktor lain. Dengan demikian, pernyataan Muhaimin memberikan sinyal bahwa suap untuk memuluskan rencana pembangunan infrastruktur transmigrasi di 19 kabupaten/kota itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah.
    Namun, tak berarti menteri aman dari tanggung jawab hukum terhadap korupsi yang dilakukan anak buahnya. Tanggung jawab mahaberat ada di pundak KPK untuk membuktikan keterlibatan sang menteri. Jika cara konfrontasi keterangan antara menteri dan anak buahnya tak menemukan titik kait, cara lain bisa diambil. Misalnya, mencari bukti adanya peralihan wewenang secara mandatori dari menteri ke anak buahnya berkenaan dengan program kementerian. ●
  • Sejarah Peradaban Buku

    Sejarah Peradaban Buku
    Mohammad Takdir Ilahi, PENCINTA BUKU; PERISET THE MUKTI ALI INSTITUTE YOGYAKARTA
    SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
    Sampai saat ini peran buku masih belum tergantikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai sumber pustaka, sumber pengetahuan, dan sumber informasi meskipun banyak jejaring media sosial yang lebih praktis, seperti internet.
    Sampai kapan pun, buku akan tetap jadi primadona ilmu pengetahuan yang paling esensial bagi kemajuan peradaban manusia. Sebuah buku mampu menghadirkan serpihan-serpihan sejarah yang tercecer menjadi terang benderang; serpihan ilmu yang terserak menjadi serangkaian data dan peristiwa yang berguna dalam memberdayakan kehidupan manusia.
    Maka, sejarah peradaban manusia sangat bergantung pada catatan masa silam yang sempat dibukukan dan menjadi sumber informasi paling menentukan bagi masa depan kemanusiaan.
    Petualangan Intelektual
    Sebuah buku lahir dari perkembangan kebutuhan akan pentingnya komunikasi, informasi, dan kemampuan daya pikir manusia, serta kelemahan daya tampung pikiran manusia yang sangat terbatas. Kebutuhan akan lahirnya buku bukan berarti mengesampingkan media dan sumber pengetahuan lain, melainkan karena memang tuntutan zaman: diperlukan sebuah media ideal yang mampu menampung segala bentuk ilmu pengetahuan yang belum tertulis dan dipublikasikan dalam satu kesatuan yang utuh.
    Pada zaman kuno sebelum kita mengenal peradaban buku, tradisi komunikasi masih mengandalkan kelisanan. Tak heran jika penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, doa, ataupun syair masih menggunakan media lisan dari mulut ke mulut. Sampai pada waktunya manusia mulai memikirkan cara untuk menuangkan semua itu dalam tulisan. Maka, lahir apa yang disebut buku kuno pada zaman ketika sarana ilmu pengetahuan belum begitu memadai.
    Bagi saya, peradaban buku menjadi ciri khas kemajuan manusia di masa lampau. Di samping menyokong hubungan ilmu pengetahuan secara luas, buku juga mencerminkan petualangan intelektual yang bisa dibayangkan tanpa harus melihat secara langsung di mana peradaban manusia itu berlangsung.
    Peradaban buku sejak awal membuktikan dahsyatnya kemajuan pemikiran manusia dalam menyongsong kehidupan yang lebih dinamis dan progresif. Salah satu ciri masyarakat berperadaban adalah adanya tulisan dan bahasa yang mewakili pemikiran manusia dalam menjalin interaksi dengan manusia lain. Dari proses interaksi semacam itu lalu terciptalah bangunan peradaban yang, antara lain, ditunjukkan melalui keberadaan buku kuno.
    Apa yang disebut dengan buku kuno ketika pertama dikenal belum seperti tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang. Ia masih berbentuk tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau di atas kertas terbuat dari daun papirus. Papirus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
    Peneliti sejarah Lew Hee Meen (2000: 6) dalam bukunya, Sejarah Peradaban Manusia, menyatakan bahwa tulisan pertama yang tersusun secara alfabet ditemukan di Mesir pada 1800 SM. Bentuk huruf hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno berupa gambar-gambar dan biasanya digunakan untuk menulis di kuil tentang harta dan upacara keagamaan. Pada awalnya ditulis di atas kayu dan batu sebelum akhirnya ditulis di atas lembaran papirus. Kertas papirus bertulis dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagai bentuk awal buku atau buku kuno.
    Pada perkembangan selanjutnya, dunia perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Tak ayal jika lembaran-lembaran kertas telah memantik lompatan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
    Melalui lembaran-lembaran kertas, beragam pemikiran ditorehkan dan elaborasi ilmu pengetahuan pun mulai digalakkan. Lompatan besar melalui kertas menghasilkan berjilid-jilid buku dan jadi cikal bakal lahirnya sejumlah perpustakaan megah dalam sejarah peradaban manusia.
    Kunci Pembuka
    Sejarah panjang pembuatan buku mencerminkan perjuangan panjang manusia dalam mengubah peradaban dari zaman ke zaman. Sekarang, dunia perbukuan sudah semakin modern, dengan desain yang menarik, berwarna, tata letak yang bagus, pembuatan yang singkat, serta hasil yang banyak. Bahkan, teknologi informasi baru sedang bergerak mengubah semua itu melalui jaringan yang distributif dan tidak sentralistis.
    Berkaca ke masa lalu, betapa membuat tulisan untuk dibukukan itu memerlukan ketelitian, ketelatenan, kesabaran, dan pengabdian yang total dengan segala keterbatasan sarana. Maka, hargailah buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Membaca adalah kunci pembuka kemanfaatan sebuah buku. ●
  • Sekarang, atau Tidak Sama Sekali

    Sekarang, atau Tidak Sama Sekali
    James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
    SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
    Pemerintah saat ini telah mengusulkan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak sebesar Rp 1.500, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Usul pemerintah itu diajukan ke DPR dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2012.
    Kini, giliran DPR yang harus memberikan sikap. Kita harapkan DPR dapat mengedepankan kepentingan yang lebih besar daripada sekadar kepentingan partai dengan menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
    Menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang tidak populer dan selalu mendapat tentangan dari masyarakat. Sebab, kenaikan harga BBM akan memicu naiknya harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan harga barang-barang lain. Hal itu terlihat ketika pemerintah mengusulkan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter dalam rapat kerja dengan DPR, 6 Maret lalu. Mahasiswa di sejumlah kota langsung turun ke jalan untuk memprotesnya.
    Bukan itu saja, para pedagang pun segera menaikkan harga-harga bahan kebutuhan pokok. Bahkan, di sejumlah daerah ada orang-orang yang menimbun BBM dengan harapan dapat mengambil keuntungan apabila pemerintah jadi menaikkan harga BBM pada 1 April mendatang.
    Soal penimbunan BBM itu lebih mudah ditangani. Saat ini, di sejumlah daerah telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku penimbunan oleh aparat kepolisian. Dan, setelah harga BBM jadi dinaikkan pada 1 April, tak ada lagi gunanya menimbun BBM.
    Masalah yang menetap adalah kenaikan harga bahan pokok, biaya transportasi, dan barang-barang lain. Situasi seperti itu sangat rawan digunakan oleh partai politik untuk mengambil keuntungan dari usulan pemerintah menaikkan harga BBM.
    Dengan menentang naiknya harga BBM, partai politik dapat meningkatkan posisi tawar mereka di mata masyarakat, yang dapat digunakan untuk memperoleh suara dalam Pemilihan Umum 2014. Namun, kita harapkan perwakilan partai politik, terutama di DPR, dapat menunjukkan sikap kenegarawanannya dengan tidak asal menentang usul kenaikan harga BBM.
    Jangan Sampai Ditunda
    Harapan kita, jika DPR telah menyetujui usul pemerintah untuk menaikkan harga BBM, jangan sampai pemerintah (dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) ragu-ragu dan menunda kenaikan harga BBM atas alasan apa pun. Sebab, jika sampai itu terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ini habis sama sekali. Pilihannya, sekarang, atau tidak sama sekali. Jangan sampai kebijakan menaikkan harga BBM yang akan dilaksanakan pada 1 April itu menjadi April Mop.
    Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sesungguhnya, dari hitung-hitungan ekonomi, kenaikan harga BBM itu semestinya sudah harus dilakukan dua tahun lalu. Namun, pemerintah selalu menunda-nunda karena tidak ingin mengambil kebijakan yang menyurutkan popularitas.
    Banyak analis yang menyatakan, jika saja pemerintah menaikkan harga BBM dua tahun lalu, dampak yang diberikan terhadap masyarakat tidak seberat pada saat ini, mengingat situasi ekonomi dua tahun lalu lebih baik ketimbang saat ini. Namun, sayangnya, sejarah tidak mengenal pengandaian.
    Tahun lalu, ketika ada tuntutan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah memilih membatasi penggunaan BBM bersubsidi dengan mendorong pemilik mobil pribadi untuk membeli BBM nonsubsidi. Sementara BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi pengguna sepeda motor dan kendaraan umum. Suatu hal yang mudah dibicarakan, tetapi sangat sulit dilaksanakan.
    Jika harga BBM tidak dinaikkan, di dalam RAPBN-P, subsidi BBM bakal naik dari Rp 96 triliun menjadi Rp 121 triliun dan subsidi listrik membengkak dari Rp 41 triliun menjadi Rp 66 triliun. Dengan demikian, subsidi energi melonjak dari Rp 137 triliun menjadi Rp 187 triliun.
    Dengan kata lain, pemerintah tidak mempunyai pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM. Jika pemerintah tetap menunda untuk menaikkan harga BBM, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan semakin besar dan akhirnya tidak tertanggungkan.
    Dengan menaikkan harga BBM, sesungguhnya tidak berarti pemerintah menghapuskan subsidi yang diberikan. Pemerintah masih memberikan subsidi BBM sebesar Rp 3.325 per liter.
    Untuk mengantisipasi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM itu, pemerintah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai program kompensasi. Namun, banyak kalangan tidak menyetujui pemberian BLT karena menganggap hal tersebut hanya sebagai memberi ikan dan bukan kail.
    Sesungguhnya ada yang lebih penting daripada sekadar BLT, yakni bagaimana pemerintah menjaga agar kenaikan harga-harga, terutama harga bahan pokok, dan biaya transportasi menjadi tidak terkendali. Jika kenaikan harga bahan pokok dan biaya transportasi tidak dikendalikan, rakyat kecillah yang paling terkena. Dan, jika itu yang terjadi, akan terjadi aksi unjuk rasa di mana-mana.
    Kita berharap para rektor lebih aktif dalam mengingatkan para mahasiswa agar pada saat melakukan aksi unjuk rasa tidak melakukan tindakan anarkistis. Mengeluarkan aspirasi tidak dilarang di negeri ini. ●
  • Mengajak Pocong Bersumpah

    Mengajak Pocong Bersumpah
    Ahmad Sahidah, DOKTOR FALSAFAH;
    DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA
    SUMBER : JAWA POS, 17 Maret 2012
    NAZARUDDIN menantang Anas Urbaningrum untuk bersumpah pocong untuk memastikan siapa yang benar dan bohong. Tantangan ini lahir dari pernyataan ketua umum Partai Demokrat yang bersedia digantung di Monumen Nasional apabila terbukti terlilbat dalam kasus Hambalang.

    Tentu, ini adalah cara yang dianggap paling tuntas mengungkap patgulipat dalam pengaturan proyek oleh pihak eksektutif dan legislatif. Betapa naif apabila keduanya betul-betul melakukan sumpah pocong karena mereka yang sedang berseteru dikenal sebagai kaum terpelajar yang menyadari bahwa mekanisme hukum di negeri lebih dari cukup untuk memastikan siapa yang menilap uang negara.

    Berbeda dengan tradisi ini di dalam masyarakat luas, praktik sumpah pocong berhasil meredam aksi anarkis masyarakat terhadap warga yang dituding menyebarkan ajaran sesat atau kasus sengketa yang melibatkan mereka. Meskipun demikian, ada sebagian yang mendorong untuk menghapuskan tradisi yang dianggap tidak masuk akal.

    Misalnya, penelitian Lucy Dyah Hendrawati dan Sri Indah Kinasih (2005) tentang Makna Sumpah Pocong Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa pada Masyarakatmenyarankan agar kepercayaan semacam ini dihilangkan dan diharapkan para kiai mendorong masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya di pengadilan.

    Padahal, sumpah pocong masih bisa dipertahankan karena masih relevan dengan pengetahuan dan keyakinan masyarakat serta mampu mencegah meruyaknya tindakan main hakim sendiri dalam menuntaskan perselisihan. Kalaupun cara ini tampak berkesan primitif, sebenarnya tidak lebih penyebabnya perbedaan paradigma dan ukuran yang digunakan untuk menilai. Kalau diperhatikan secara cermat, psikologi masyarakat yang mengamalkannya percaya bahwa konsekuensi bagi mereka yang berbohong akan dihukum oleh Tuhan adalah semacam penjara batin yang sangat dahsyat.

    Kearifan Tradisi

    John T. Sidel dalam Riots, Pogroms, and Jihad: Religious Violence in Indonesia (2007: 152) mengungkapkan efektivitas pengambilan sumpah orang-orang yang dituduh sebagai tukang santet di beberapa daerah Jawa Timur untuk menghindari amuk massa dan jatuhnya korban yang tidak perlu pada 1998-an. Betapa banyak pembunuhan yang dilakukan massa terhadap dukun santet pada era awal Reformasi. Apa pun motifnya, sumpah pocong acap kali menjadi katup bagi pelepasan emosi massa.

    Persoalan yang acap kali mendera masyarakat awam, seperti tuduhan santet, utang-piutang, ajaran sesat, dan perselingkuhan, kadang berujung kebuntuan. Karena itu, ada sebagian di antara mereka yang menuntut pelaksanaan sumpah pocong. Menariknya, tuntutan ini pernah juga diutarakan oleh Aji Massaid dan Tommy Soeharto terhadap pasangan hidupnya, namun ditolak. Pendek kata, dalam bawah sadar masyarakat kita, tradisi lama ini sejatinya merupakan ruang yang paling dianggap sesuai untuk menyelesaikan pertikaian dan pada waktu yang sama merupakan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum di negeri ini.

    Pada hakikatnya, gagasan untuk melakukan sumpah adalah salah satu upaya mencari kebenaran dari sesuatu yang dipersengketakan. Kenyataannya, salah seorang pelaku meninggal tidak lama setelah bersumpah sehingga serta-merta diketahui siapa yang berbohong meskipun ini juga tidak dijadikan penanda karena kematian merupakan otoritas Tuhan. Apalagi, secara normatif, Rasulullah Muhammad pernah berdoa kepada Tuhan agar umatnya tidak mengalami azab serta-merta seperti umat sebelumnya ketika melakukan kesalahan.

    Meski demikian, sumpah pocong memiliki akar hukum dalam Islam, yaitu sumpah li’an, meskipun tata caranya menampilkan drama kematian dengan mengafani si tertuduh adalah hasil kreativitas budaya lokal. Melalui upacara yang dipimpin tokoh agama yang melibatkan masyarakat luas, diharapkan penyelesaian perselisihan yang mempunyai efek dramatis sehingga menyentuh jiwa, bukan emosi pihak yang terlibat.

    Memang, dalam tradisi Islam, sumpah itu hanya cukup dengan mengucapkan kalimat Demi Allah, wallahi, tallahi, atau billahi. Namun, pada waktu yang sama, kaidah fikih yang menyatakan bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Karena itu, isu yang harus dikemukakan seberapa jauh adat istiadat ini merupakan bagian dari pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran.

    Metafora Kebenaran

    Nadine Gordimer, novelis pemenang Nobel dari Afrika Selatan, dalam Writing and Being menegaskan bahwa hakikat kebenaran merupakan ”sisi tersembunyi” dari kehidupan manusia (2004:100). Secara tersirat, pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam mengungkapkan kebenaran apa pun. Dengan penyerahan diri kepada kekuasaan adikodrati, manusia secara tidak langsung menegaskan kemanusiannya. Masalahnya, di tengah keikhlasan terhadap kuasa Tuhan, kita diberikan akal budi untuk mencerna pesan, baik kitab suci maupun fenomena alam.

    Lalu, mungkinkah kebenaran itu bisa diraih dengan tradisi sumpah pocong? Tantangan sumpah pocong yang disampaikan oleh Nazar pada hakikatnya jalan terakhir bagi terdakwa tersebut untuk tidak menanggung kesalahan sendirian. Bagaimanapun, bukti-bukti telah lebih dari cukup untuk menyeret mantan bendahara Partai Demokrat ini ke penjara.

    Namun, sebagaimana kasus korupsi di negeri ini, perilaku buruk ini terjadi karena dia sering melibatkan banyak pihak. Tidak mungkin Nazar bisa mengobok-obok begitu banyak kementerian dan koleganya di parlemen untuk mendapatkan komisi (fee) proyek tanpa dukungan pelbagai pihak. Secara tersirat, Nazar mengakui tindakan kejahatan. Namun, pada waktu yang sama, tampaknya, dia tidak ingin dijebloskan sendirian, sementara orang-orang yang terlibat di dalamnya melenggang kangkung.

    Akhirnya, kebenaran terkait kasus Anas-Nazar sejatinya dikembalikan pada Tuhan sebagai puncak tertinggi hierarki. Manusia tidak bisa menjadi hakim dari ketidaktahuannya akan hakikat realitas. Bagaimanapun, dengan sumpah pocong, kita diajari bahwa orang harus berani menerima risiko dari kejahatannya, yang secara kebetulan akibat yang ditanggung pelaku serta-merta diperoleh di dunia.

    Meski demikian, praktik ini tidak bisa menggantikan fungsi penegakan hukum. Tanpa keadilan, tatanan negara akan ambruk. Lebih jauh, kutukan sumpah pocong akan benar-benar terjadi. Sebab, sepandai-pandainya pocong… eh tupai melompat, ia akan gawal juga. ●

  • Jangan Digantung di Monas

    Jangan Digantung di Monas
    Mustafa Ismail, PENGGIAT KEBUDAYAAN
    SUMBER : KORAN TEMPO, 16 Maret 2012
    Dulu–entah sekarang–ada guyonan di kalangan remaja, kalau putus cinta, jangan minum racun, mending gantung diri di pohon cabai atau pohon tomat. Lebih praktis, murah, dan aman. Soalnya, racun itu mahal. Kadang hal itu diucapkan sambil meniru iklan sebuah produk antinyamuk yang menyatakan produk kompetitornya mahal.
    Sekilas, ini memang tanpa makna. Tapi pernyataan seperti itu tentu tidak akan muncul jika tidak ada fakta bahwa ada remaja yang bunuh diri karena putus cinta. Selain itu, guyonan seperti itu memperlihatkan, dalam bawah sadar, tertanam sebuah kesadaran untuk merespons realitas: segala persoalan, betapapun beratnya, tidak perlu diakhiri dengan tindakan fatalis.
    Dalam teori semiotika, kata, warna, sikap, pernyataan, benda, cara berpakaian, tingkah laku, dan sebagainya merupakan simbol-simbol yang menyuguhkan makna. Tokoh semiotika Ferdinand de Saussure menggambarkannya relasi itu sebagai X=Y. X adalah penanda, sementara Y adalah petanda atau makna yang diusung oleh penanda itu.
    Dengan kata lain, tidak ada “sesuatu” pun yang bebas dari taksir. Dalam konsep Lacanian disebutkan, penanda selalu menandakan penanda lain. Menurut Jacques Lacan, tidak ada kata yang bebas dari kemetaforaan (Madam Sarup, 2011:10). Dengan kata lain, kata bukan cuma barisan huruf yang merujuk pada sesuatu. Tapi lebih dari itu, ia memantulkan makna lebih luas dari apa yang dirujuknya.
    Ketika Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, menyatakan bahwa ia “siap digantung di Monas jika terlibat dalam kasus korupsi”, ucapan itu tidak hanya bermakna literer, tapi juga simbolis. Kata “gantung” digunakan untuk menimbulkan efek drama dan kengerian. Bisa dibayangkan bagaimana seseorang yang digantung, lalu mati dengan lidah menjulur.
    Kata Monas tidak hanya bermakna tinggi, tapi juga ruang publik, tempat orang berkumpul. Lagi-lagi, ini mencapai efek drama yang makin luar biasa: digantung di menara yang sangat tinggi dan di depan orang ramai. Dengan kata lain, selain menderita secara fisik, ia juga tersiksa secara psikologis: malu yang luar biasa, ditonton banyak orang. Selain itu, Monas berada di samping Istana Presiden yang juga akan menambah efek drama itu.
    Lalu, kata “tidak terlibat korupsi” tidak cuma bermakna ia bebas dari kejahatan itu, tapi sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa ia adalah sosok pemimpin yang bersih dan idealis. Ia ingin mengatakan bahwa ia masih Anas yang dulu, seperti ketika menjadi aktivis mahasiswa, dengan idealisme tinggi. Sekaligus Anas ingin meyakinkan elite partainya bahwa ia layak dipercaya. Keseluruhan dari ucapan itu menyuguhkan makna bahwa Anas adalah sosok yang bertanggung jawab dan tidak main-main dengan perilaku koruptif. Ia akan bersikap tegas terhadap perilaku koruptif, termasuk pada dirinya sendiri.
    Namun, persoalannya, apakah makna yang disampaikan itu bisa sampai dengan baik kepada publik, termasuk kepada elite partai itu? Apalagi ketika teks-teks lain berseliweran, terutama di ruang sidang yang mengadili Nazaruddin, yang terus menohok Anas. Komunikasi menjadi efektif ketika semua narasi mengerucut pada satu makna. Sebaliknya, jika narasi terpecah ke dalam beberapa fragmen, dengan makna berbeda-beda, komunikasi akan menjadi mengambang. Orang akan ragu: benarkah apa yang disampaikannya?
    Dalam kasus Anas, memang tidak ada narasi yang bermakna tunggal. Selain narasi yang dibeberkan di ruang sidang, ada narasi dari Anas dan pendukungnya. Anas dan pendukungnya terus memproduksi citra visual bahwa Anas adalah sosok yang bersih dan jauh dari perilaku koruptif.
    Ada pula narasi yang dimunculkan kalangan partai Anas, yang juga terbelah: mendukung dan tidak mendukung pemimpinnya itu. Lalu, ada pula narasi dari media, yang selain mengakomodasi dari berbagai kelompok itu, juga melakukan ikhtiar-ikhtiar jurnalistik untuk mengungkap kasus ini dengan caranya sendiri. Di samping itu, ada narasi yang terus bergerak di kepala publik. Makna dari narasi ini bisa sangat beragam, bergantung pada latar belakang mereka.
    Publik kelas menengah, misalnya, yang berada di antara begitu banyak sumber informasi dan referensi, percaya politik adalah kepentingan. Dalam politik tidak ada makan siang gratis. Dalam setiap peristiwa politik selalu ada biaya politik. Untuk menjadi kepala desa pun ada biaya politik, apalagi menjadi ketua organisasi besar. Nah, narasi yang bergerak dalam bawah sadar kelas menengah ini adalah: pertama, dari mana uang seseorang membiayai pencalonannya untuk menjadi ketua organisasi. Kedua, bagaimana mungkin tidak ada balas jasa terhadap mereka yang telah mendukung seseorang untuk menduduki jabatan sebuah organisasi.
    Publik ini juga akan melihat bagaimana penampilan seorang politikus, baik kendaraan, rumah, maupun gaya hidup, dan lain-lain. Fakta-fakta kasatmata ini kemudian dibandingkan dengan pendapatannya dalam sebuah jabatan publik: cukupkah untuk membiayai semua itu? Jika tidak, tentu mereka akan bertanya-tanya: dari mana uang sang tokoh untuk membiayai semua itu?
    Seorang rekan politikus dari sebuah daerah bercerita bagaimana ia sebagai pemimpin partai di sebuah kabupaten harus pontang-panting mencari uang untuk membiayai partainya. Sebab, anggaran dari pemerintah sangat minim. Lalu, dari mana uang itu? Ya, antara lain dari proyek-proyek pemerintah daerah, baik yang dikerjakan oleh perusahaannya maupun dikerjakan oleh perusahaan lain dan ia mendapat sejumlah fee untuk itu.
    Menurut rekan itu, merujuk pada pengalamannya, ada dua biaya dalam aktivisme politik: pertama, biaya politik untuk membiayai aktivitas politik. Ini dikeluarkan misalnya untuk ongkos kampanye, bikin spanduk, rapat, dan lain-lain. Kedua, biaya money politics, yang digunakan untuk balas jasa politik. Faktanya memang banyak politikus hidup mewah. Tidak ada yang pernah mempertanyakan bagaimana mereka membiayai gaya hidup semacam itu. Nah, dalam konteks inilah teori dekonstruksi Jacques Derrida menjadi penting: teks (realitas) harus direspons secara kritis. Sesuatu yang sudah jelas harus dibongkar dan dihadapkan dengan antitesisnya.
    Bahkan Derrida menerapkan sistem “tunda”: bagaimana jika teks itu dibaca kemudian, bukan saat ini, apakah maknanya akan sama atau justru sama sekali bertolak belakang? Jadi, makna suatu tanda atau teks bisa berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Jadi, ketika Anas mengatakan siap digantung di Monas jika terbukti korupsi, pernyataan itu harus dibongkar dan dihadapkan dengan fakta-fakta lain di sekitarnya. Selain itu, menarik juga jika pembacaan narasi itu ditunda enam bulan atau setahun kemudian. ●
  • Satgas Penjaga Moralitas

    Satgas Penjaga Moralitas
    Ahmad Khoirul Fata, DOSEN PADA JURUSAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH IAIN SULTAN AMAI, GORONTALO
    SUMBER : REPUBLIKA, 16 Maret 2012
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Maret 2012 lalu menanda tangani Perpres No 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi sebagai tindak lan jut dari amanat Pasal 42 UU No 44 Ta hun 2008 tentang Pornografi. Dalam Pasal 4 Perpres tersebut, gugus ini bertugas melakukan koordinasi upaya pencegahan dan penanganan masalah pornografi, memantau pelaksanaan pencegahan dan penanganan pornografi, melaksanakan sosialisasi, edukasi, kerja sama pencegahan dan penanganan pornografi, serta melaksanakan evaluasi pelaporan.
    Satgas yang dipimpin oleh Menko Kesra Agung Laksono dan Menag Suryadharma Ali sebagai Ketua Harian itu beranggotakan sejumlah menteri, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPI, dan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF). Sesuai dengan Perpres tersebut, Satgas ini dapat dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
    Kontan pro kontra hadir mengiringi pembentukan Satgas tersebut. Ketua MUI Amidhan mendukung langkah ter sebut. Sementara, politikus PDIP Pramono Anung menilai, Perpres tersebut tidak produktif dan dapat mengundang kontroversi. Lebih dari itu, rekan Pramono, Rieke Dyah Pitaloka, menuding pem bentukan Satgas Antipornografi sebagai upaya mengalihkan isu kenaikan BBM belaka.
    Urgensi Satgas
    Terlepas dari motif politik yang ditudingkan para politikus PDIP tersebut, pembentukan satgas yang khusus menangani persoalan pornografi patut mendapat sambutan. Mengingat, pertama, kepresidenan merupakan lembaga politik yang memastikan setiap kebijakan yang diambilnya tidak lepas dari motif-motif politik tertentu. Menuntut kebijakan presiden nirkepentingan, seperti berharap matahari terbit di tengah malam. Yang terpenting adalah apakah kebijakan yang dikeluarkan tersebut memberikan dampak positif bagi kemaslahatan umum atau tidak.
    Kedua, keberadaan Satgas tersebut akan semakin urgen jika menilik fenomena pornografi dengan segala efek negatifnya yang begitu marak di negeri ini. Dalam sosialisasi dan workshop “Sistem Informasi, Perangkat Lunak, dan Konten” yang diadakan Departemen Komu nikasi dan Informasi (Depkominfo) RI pada April 2009 terungkap, dari satu miliar pengguna internet di dunia, Indonesia berada pada peringkat tujuh negara pengakses situs porno.
    Peringkat pertama yang paling ba nyak mengakses adalah Pakistan, lalu disusul India, Mesir, Turki, Aljazair, Maroko, dan Indonesia. Di bawahnya ada Vietnam, Iran, dan Kroasia. Peringkat itu melompat tinggi ke urutan ketiga pada 2011. Ironisnya, banyak pengakses internet porno itu masih berusia anak-anak. Survei yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati pada Januari 2011 menyebutkan, 67 persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) mengaku pernah mengakses informasi pornografi.
    Fenomena tersebut tentu sangat mem prihatinkan karena pornografi bisa menimbulkan efek negatif terhadap kon sumennya dalam kehidupan sosial. Dalam laporan studi yang berjudul “Sexual Deviation as Conditioned Behavior”, McGuire (1965) menulis bahwa seiring dengan semakin seringnya seorang laki-laki bermasturbasi sambil membayangkan fantasi seksual yang jelas (yang diperoleh dari pengalaman nyata atau materi pornografi), pengalaman yang mengandung kenikmatan semakin memaklumkan fantasi menyimpang (perkosaan, memaksa anak mela ku kan kegiatan seksual, melukai pasangan ketika berhubungan seksual, dsb) dengan disertai penambahan nilai erotis.
    Kesimpulan itu diperkuat dengan studi yang dilakukan Martino, Collins, Elliott, Strachman, Kanousie, dan Berry (Agustus 2006) yang menemukan bahwa pornografi dan mendengarkan musik dengan lirik seksual yang merendahkan berkaitan erat dengan perluasan rentang aktivitas seksual di kalangan remaja.
    Bahkan, pakar adiksi pornografi dari USA, Dr Mark B Kastlemaan, menyatakan, efek negatif pornografi lebih besar daripada narkoba dalam hal merusak otak. Pornografi dapat menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak, terutama pada Pre Frontal Corteks (bagian otak yang tepat berada di belakang dahi). Sedangkan, kecanduan narkoba menyebabkan kerusakan pada tiga bagian otak.
    Kerusakan bagian otak ini akan membuat prestasi akademik menurun, orang tidak bisa membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, mengambil keputusan, dan mengendalikan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls. Bagian inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
    Penjaga Moral
    Memperhatikan itu semua, adalah tidak arif sikap beberapa pihak yang begitu reaktif dan tergesa-gesa menjustifikasi pembentukan Satgas Antipornografi sebagai sesuatu yang tidak produktif atau berbagai negative thinking lainnya.
    Pembentukan satgas tersebut seharusnya dipandang dengan kacamata jernih sebagai upaya pemerintah menjaga kesehatan moral masyarakat, bukan dikaitkan dengan motif-motif politik tertentu. Bahkan, semua pihak seharusnya memberikan dukungan karena, seperti kesimpulan Durkheim, moralitas atau norma-norma sosial diciptakan agar masyarakat dapat hidup teratur dan terciptanya soliditas kelompok/masyarakat.
    Dukungan semua pihak terhadap upaya pemberantasan pornografi dapat menghindarkan Satgas tersebut terjatuh ke dalam jurang yang sama. Seperti, yang dialami oleh satgas-satgas lain yang telah dibentuk oleh presiden sebelumnya. Wallahu a’lam. ●
  • Terorisme Global (1)

    Terorisme Global (1)
    B.J. Habibie, MANTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
    SUMBER : REPUBLIKA, 16 Maret 2012
    “Terorisme sering dimanfaatkan gerakan kelompok perorangan atau institusi politik yang menghendaki destabilisasi pemerintahan atau sistem pemerintahan yang ada dengan sasaran perubahan konstitusi.”
    Terorisme adalah tindakan teror atau tindakan kekerasan yang dilaksanakan secara sistematik dan tidak dapat diperhitungkan (unpredictable), yang dilakukan terhadap negara, terhadap penyelenggara pemerintahan–baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan, terhadap warga elite sosial-politik, terhadap perseorangan dalam negara, untuk memperjuangkan sasaran politik teroris.
    Sejarah membuktikan, baik organisasi politik “kanan“ maupun “kiri“, organisasi nasional, organisasi etnik, organisasi agama, bahkan organisasi angkatan bersenjata, dan organisasi polisi rahasia negara pun pernah melakukan tindakan terorisme. Perkembangan teknologi canggih dalam bidang informasi, bidang komunikasi, bidang peledak (explosive), dan bidang transportasi telah meningkatkan dampak dan keberhasilan aksi terorisme.
    Banyak aktivitas teroris di dunia diilhami dan dipengaruhi oleh gerakan kelompok teroris pada abad ke-19 di Eropa, yang memiliki sasaran politik radikal. Gerkan tersebut juga tidak memihak pada kepentingan masyarakat luas dan anarkistis.
    Pemberitaan mengenai kekerasan terorisme di seluruh dunia bisa disaksikan melalui jaringan televisi, radio, dan jaringan sosial YouTube, facebook, twitter, dan sebagainya dalam tempo yang cepat dan tepat waktu (siaran langsung). Hal itu akan diikuti oleh jutaan manusia yang memperhatikan “pandangan, tuntutan, dan sasaran politik teroris“. Kondisi ini memperlihatkan bahwa melalui aksi teror, perhatian masyarakat pada “tuntutan teroris“ secara efisien dapat ditingkatkan.
    Perbedaan antara terorisme masa kini dan terorisme masa lalu adalah bahwa sekarang korban masyarakat sipil lebih banyak dan luas. Hal itu terjadi karena teroris dengan sengaja merekayasa dan melaksanakan teror secara acak, di mana perilaku teror akan mem beri perhatian utama pada lokasi dengan kesibukan yang tinggi atau yang dipadati banyak orang. Karena teroris tidak    memiliki banyak pendukung atau massa maka tindakan kekerasan berupa penculikan, pengeboman, sandera laut (pirate) dan sandera udara menjadi cara mereka untuk mendapat perhatian tuntutan.
    Pada abad ke 20, terjadi perubahan dan perkembangan terkait motif dan cara terorisme. Terorisme menjadi pra sarana gerakan atau rentetan tuntutan organisasi politik dari hampir semua spektrum aliran, seperti yang terjadi di Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Amerika Utara. Perkembangan teknologi, seperti senjata dan sistem persenjataan serba otomatis, bahan ledakan yang sangat kompak dengan pengendalian jarak jauh, akan memperkuat mobilitas, ketepatan waktu dan kedahsyatan kerusakan akibat tindakan kekerasan berencana oleh teroris.
    Biasanya, terorisme dimanfaatkan oleh gerakan kelompok perorangan atau institusi politik yang menghendaki de stabilisasi pemerintahan atau sistem pemerintahan yang ada dengan sasaran perubahan konstitusi. Baik para pelaku sistem pemerintahan maupun rezim yang ada–dan mereka yang mau mengubahnya–telah memanfaatkan terorisme sebagai prasarana.
    Dari kacamata pemerintah yang sah, gerakan yang memiliki program “perubahan total“ melalui kekerasan dan tidak melaui jalan yang telah diatur dalam UUD negera tersebut, diberi nama “terorisme“. Namun, dari kacamata “pengubah atau pembrontak“, dianggap sebagai suatu proses perjuangan dengan segala dampaknya.
    Sebagai contoh, terorisme dalam arti yang luas yang terjadi pada abad ke-20 dan 21. Di antaranya, gerakan antikolonialis (Indonesia-Belanda, Vietnam-Perancis, Algeria-Perancis, Irlandia-Inggris, Vietnam-USA); permasalahan antarkelompok etnik, masalah keadilan dan wilayah (Palestina-Israel, Spanyol-Bask, India-Pakistan); konflik antara aliran keyakinan agama (Katholik-Protestan di Irlandia Utara atau Islam radikal di Irak, Al-Qaida, Taliban); dan penyelesaian pertentangan radikal dalam suatu masyarakat (Malaysia, Indonesia, Filipina, Iran, Iraq, Nikaragua, El Salvador, Argentina).
    Kelompok revolusioner Baader-Meinhof di Jerman, kelompok “Red Army“ di Jepang, Brigade Merah di Italia, alFatah, Hamas, Taliban dan Alqaidah, Zwickauer Neo-Nazi (Trio di Jerman), serta gerakan ekstrim kanan anti-Islam (Anders Behring Breivik di Norwegia) adalah beberapa contoh terorisme radikal dan revolusioner yang memanfaatkan teknologi sebagai prasarana teror yang paling canggih pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.
    Pemanfaatan teknologi mutakhir dan canggih ternyata tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan suatu masyarakat, tetapi dapat pula disalahgunakan oleh teroris dan penjahat yang merugikan umat manusia. ●