Ada pula yang berpendapat bahwa moratorium itu bertentangan dengan hukum positif dan konvensi internasional. Bahkan permasalahan tersebut akan memasuki babak baru, terkait dengan kehadiran interpelasi mengenai kebijakan tersebut oleh DPR.
Opera tentang moratorium remisi bagi koruptor, yang termasuk opera hukum itu pasti akan terjadi lewat hadirnya keangkuhan petinggi Kemenkumham yang tidak menggalang pendapat melalui musyawarah untuk memecahkan masalah tetapi justru melalui uraian kontraproduktif. Simak saja, Denny malah menyilakan DPR. ’’Interpelasi itu hak DPR. Namun saya yakin (DPR) sebagai wakil rakyat juga memahami bahwa aspirasi rakyat sangat besar pada kebijakan ini.’’ (SM, 11/12/11).
Permasalahan bakal lebih kompleks jika dukungan yang digalang atas interpelasi itu mengecambah dan membuncah, membuka arena baru pandangan pemikiran apakah DPR itu betul-betul wakil rakyat atau suara rakyat? Atau pandangan Denny memiliki kemampuan dengan mengetengahkan secara sosiologi bahwa kebijakan itu didukung seluruh rakyat?
Kita harus memperhatikan esensi Pasal 14 Huruf I UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan secara jelas bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana. Tidak ada satu pun teks dalam regulasi itu yang bisa ditafsirkan ada pengecualian.
Regulasi itu cukup lugas menyebutkan bahwa narapidana berhak atas remisi, sebagaimana bisa kita lihat pada derivat-derivatnya. Misalnya Pasal 14 Ayat i: berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Ayat j: mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; Ayat k:mendapatkan pembebasan bersyarat; Ayat l: mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Ayat m: mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan revisi kebijakan itu, kita perlu memahami bahwa lingkup persoalannya ada pada korelasi narapidana dengan pemasyarakatan, yang berarti dalam lingkup hukum pemasyarakatan, bukan berat ringannya hukuman. Terlebih lagi negara kita tidak lagi mengenal penjara tetapi pemasyarakatan.
Hakikat utama pembinaan pemasyarakatan bertumpu pada doktrin bahwa napi itu menyadari kesalahan, mau memperbaiki diri, tidak mengulangi perbuatan, dan dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Jadi, pemidanaan sejatinya adalah proses menyadarkan napi agar menyesali perbuatannya, dan (lembaga) pemasyarakatan memiliki peran mengembalikan dia supaya menjadi warga negara yang baik.
Leave a Reply